commit to user
BAB II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka
1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Menurut Notoatmodjo (2007) keselamatan dapat didefiniskan sebagai keadaan terbebas dari risiko yang relatif sangat kecil di bawah tingkat tertentu.
Sementara definisi risiko yaitu kemungkinan terjadinya suatu bahaya yang mengakibatkan kecelakaan dan intensitas bahaya tersebut. Suardi (2007) mendefinisikan keselamatan kerja merupakan sarana utama dalam pencegahan kecelakaan, kematian dan cacat karena kecelakaan kerja. Keselamatan kerja yang baik adalah jendela bagi keamanan tenaga kerja. Berbagai kerugian secara tidak langsung dalam kecelakaan kerja diantaranya yaitu kerusakan mesin dan peralatan kerja, terhentinya proses produksi untuk beberapa saat, kerusakan pada lingkungan kerja, dan sebagainya.
Rangkaian usaha dalam membuat kondisi yang relatif aman dan nyaman untuk para pekerja yang bekerja pada suatu perusahaan merupakan definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) (Suma’mur, 2001). Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 mengenai Keselamatan Kerja secara rinci yaitu:
a. Semua tenaga kerja memiliki hak untuk perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan agar dapat kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksitivitas.
b. Semua orang selain pekerja yang sedang berada di tempat kerja perlu dijamin juga keselamatannya.
c. Semua sumber produksi harud digunakan secara aman dan efisien.
d. Perlunya upaya mengajarkan norma-norma dalam perlindungan kerja.
e. Pengajaran tersebut harus terwujud dalam Undang-Undang mengenai kaidah umum dalam keselamatan kerja yang sesuai terhadap tumbuh kembang masyarakat, industrialisasi, teknologi dan teknik.
Dalam K3 terdapat prinsip dasar yaitu setiap kecelakaan mampu untuk dicegah, karena semua kecelakaan memiliki sebab yamg pasti. Oleh karena itu bila sebab kecelakaan dapat dihapus maka kemungkinan kecelakaan dapat dicegah.
Prinsip tersebut menjadi acuan dalam berkembangnya ilmu K3 meliputi
pengetahuan dalam berbagai jenis bahaya, penyakit akibat kerja, kesehatan kerja,
commit to user
hygiene industri, kondisi tidak aman, tindakan tidak aman dan perilaku manusia.
Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya dorongan dalam mencegah kecelakaan (Ramli, 2010).
Beberapa aspek keselamatan kerja menurut beberapa ahli, yaitu:
a. Program Pelatihan Keselamatan Kerja bagi karyawan baru dan bukan karyawan baru tergolong pada program keselamatan yang diperhatikan. Dalam program pelatihan tersebut dibutuhkan teknik yang tepat seperti peragaan, ceramah, simulasi kecelakaan dan film (Miner, 1992)
b. Lomba dan Publisitas Keselamatan bisa dilakukan dengan berbagai bentuk seperti poster, nota khusus, booklet dan artikel dari perusahaan. Di sisi lain, perusahaan bisa melakukan lomba dalam mengingatkan pentingnya keselamatan seperti dengan melakukan perlombaan antar divisi yang mempunyai tingkat kecelakaan yang sepadan (Miner, 1992).
c. Monitoring Lingkungan Kerja, perancangan lokasi kerja dan peralatan yang tersedia merupakan suatu pendekatan yang utama. Hal ini dilakukan dalam rangka pencegahan kecelakaan dan paling efektif. Perusahaan kontraktor wajib menyediakan peralatan perlindungan diri atau Personal Protective Equipment (PPE) bagi semua karyawan seperti sarung tangan, helm, pakaian kerja, sepatu kerja, kacamata kerja, penutup telinga, masker, sabuk pengaman, tangga, jas hujan, dan P3K. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pekerjaan adalah tempat pekerjaan dan merokok pada saat kerja. Selain itu, kebersihan pada tempat bekerja akan ikut menyumbang kinerja para pekerja. Begitu pula dengan kebiasaan merokok bagi para pekerja yang merokok di lingkungan bekerja akan memberikan efek negative seperti terjadinya kebakaran dan juga menimbulkan gangguan kesehatan (Ervianto, 2011).
d. Inspeksi dan penerapan disiplin dalam berbagai bentuk inspeksi, seperti pada
peringatan awal saat kecelakaan dan memiliki OSHA (Occupational Safety and
Health Administration). Inspeksi ini dilakukan oleh berbagai stakeholder yang
berkepentingan dalam menilai keselamatan kerja seperti pihak asuransi atau
pengawas komite keselamatan dan pengawas (Ervianto, 2011).
commit to user 2. Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
Peranan penting Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia pada perekonomian Indonesia dapat dilihat dari jumlah usaha dan penciptaan lapangan kerja (Rudjito, 2003). Bila dilihat secara rinci, defnisi Usaha Kecil dan Menengah (UKM ) tertuang dalam undang-undang, yaitu undang-undanf No 20 tahun 2008 Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2. Dalam undang-undang tersebut, definisi Usaha Mikro merupakan usaha produktif yang dimiliki oleh perseorangan dan atau badan usaha perseorangan yang telah memenuhi kriteria dalam usaha mikro yang terdapat dalam pasal ini. Sementara definisi usaha kecil yaitu usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri dan dijalankan oleh perorangan atau badan usaha yangb bukan cabang perusahaan yang dimiliki, yang menjadibagian langsung atau tidak langsung dari usaha menengah atau besar yang telah sesuai dengan syarat usaha kecil yang terdapat dalam pasal ini.
3. Kriteria UMKM
Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang telah tertuang pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah yaitu:
a. Kriteria Usaha Mikro adalah :
1) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau;
2) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300,000.000 (tiga ratus juta rupiah).
b. Kriteria Usaha Kecil adalah :
1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
c. Kriteria Usaha Menengah adalah :
commit to user
1) Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau 2) Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua
milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
4. Tenaga Kerja
Penduduk yang berada dalam umur kerja adalah tenaga kerja. Subijanto (2011) menyebutkan bahwa tenaga kerja menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 yaitu setiap orang yang memiliki kemampuan untuk bekerja guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Dalam suatu negara terdapat 2 kategori kelompok yaitu tenaga kerja dan bukan tenaga kerja
Sementara itu menurut Simanjuntak (1985) orang yang sudah atau sedang bekerja, yang mencari pekerjaan, dan yang melakukan aktivitas lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga dapat disebut dengan tenaga kerja.
Pengertian sempit tenaga kerja dan bukan tenaga kerja dibedakan dengan batasan usia. Secara garis besar, tenaga kerja dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang mencari atau sudah bekerja menghasilkan barang atau jasa yang dibuktikan dengan telah terpenuhinya persyaratan ataupun batasan umur yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk mendapatkan upah atau gaji untuk memenuhi kebutuhan harian.
5. Klasifikasi Tenaga Kerja
Dalam tenaga kerja terddapat beberapa klasifikasi, diantara adalah sebagai berikut:
a. Menurut penduduk:
1) Tenaga kerja
Semua penduduk yang dianggap mampu bekerja dan mau bekerja bila tidak
terdapat permintaan kerja. Penduduk yang termasuk dalam tenaga kerja
adalah penduduk yang berusia produktif yaitu usia 15 tahun sampai usia 64
tahun.
commit to user 2) Bukan tenaga kerja
Penduduk yang dianggap tidak mampu dan tidak sanggup bekerja, walaupun terdapat permintaan bekerja. Penduduk yang termasuk dalam bukan tenaga kerja adalah penduduk usia non produktif yang berumur di bawah 15 tahun dan berumur di atas 64 tahun. Contoh golongan bukan tenaga kerja yaitu anak-anak, lansia (lanjut usia) dan pensiunan.
b. Menurut penduduk:
1) Angkatan kerja
Penduduk yang memiliki usia produktif dengan usia 15-64 tahun yang sudah memiliki pekerjaan namun tidak bekerja, ataupun yang sedang mencari pekerjaan.
2) Bukan angkatan kerja
Penduduk yang memiliki usia 10 tahun ke atas yang kegiatannya bersekolah, mengurus rumah tangga dan sebagainya. Contoh golongan ini adalah: anak sekolah dan mahasiswa, ibu rumah tangga, dan pengangguran sukarela.
c. Menurut kualitas:
1) Tenaga kerja terdidik
Tenaga kerja yang mempunyai ketrampilan dalam bidang tertentu dengan melalui pendidikan formal dan nonformal. Contohnya:
pengacara, dokter, guru, dan lain-lain.
2) Tenaga kerja terlatih
Tenaga kerja ini merupakan tenaga kerja yang mempunyai ketrampilan dalam bidang tertentu melalui pengalaman kerja. Tenaga kerja terampil ini memerlukan latihan terus menerus sampau dirasa sudah menguasai pekerjaan tersebut. Contohnya: apoteker, ahli bedah, mekanik, dan lain- lain.
3) Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih
Tenaga kerja ini merupakan tenaga kerja yang tergolong dalam tenaga kerja yang kasar. Artinya hanya bergantung pada tenaga saja. Contoh:
kuli, buruh angkut, pembantu rumah tangga, dan sebagainya.
commit to user 6. Safety climate
Safety Climate (iklim keselamatan) adalah kondisi kerja yang berasal dari individu, kelompok, persepsi, sikap dan perilaku yang menetapkan sebuah komitmen dan kemampuan dalam mengelola sebuah organisasi keselamatan keselamatan menurut International Atomic Energy Agency (1991). Safety climate (iklim keselamatan) dapat dianggap sebagai fitur permukaan dari safety culture (Flin, 2000). Istilah safety culture dan safety climate terkadang digunakan secara bergantian, pada dasarnya safety climate mencerminkan safety culture suatu organisasi tetapi dapat lebih akurat diukur (Brand, 2010).
Dalam pekerjaan dengan resiko tinggi, umumnya safety climate dipandang menjadi panduan penting dalam menginformasikan mengenai tingkat risiko yang berbahaya, sementara panduan hanya dapat mengidentifikasi setelah kecelakaan terjadi. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pengukuran safety climate yaitu mengidentifikasi dan mengatur keselamatan dengan kondisi dan lingkungan kerja dan melihat perkembangan berdasarkanpenilaian (Flin, 2007) (Nieva dan Sorra, 2003).
Safety climate dapat dianalisis dengan menggunakan instrumen penelitian yang dilakukan pekerja dalam menilai komitmen dari manajemen terhadap penerapan keselamatan (DeJoy et al., 2004) (Moore et al., 2005). Safety climate digambarkan sebagai ringkasan dari persepsi karyawan tentang keamanan lingkungan kerja mereka (Zohar, 1980). Penelitian yang menggunakan metode subyektif yaitu dengan menggunakan kuesioner. Metode subyektif dilakukan dengan mengumpulkan informasi subyektif atas apa yang dirasakan oleh obyek penelitian. Penelitian subyektif biasanya dilakukan dengan menjawab kuesioner, mengisi buku harian ataupun dengan wawancara. Saat ini telah banyak dikembangkan berbagai perangkat penilaian safety climate dengan metode subyektif. Bentuk kuesioner paling banyak digunakan dalam metode subyektif karena memerlukan waktu yang cukup singkat (De Vries et al., 2003).
Oleh karena itu penilaian safety climate adalah suatu hal yang penting
dilakukan untuk dapat mengetahui implementasi K3 yang telah dilakukan pada
tempat kerja. Karena pentingnya penilaian safety climate pada industri maka
dalam penelitian ini mencoba untuk melakukan penilaian penerapan safety
commit to user
climate pada UKM furnitur dengan mengembangkan sebuah instrumen penelitian sebagai salah satu bentuk penilaian safety climate secara subyektif di UKM furniture.
Safety climate dibangun oleh berbagai faktor (dimensi) dan berbagai peneliti mencoba mengidentifikasi dimensi-dimensi tersebut. Penelitian ini mengadopsi penelitian Vinodkumar (2009) dengan 8 dimensi/variabel. Berikut 8 varibel dari safety climate yaitu:
a) Komitmen manajemen dan tindakan untuk keselamatan (management commitment and actions for safety)
b) Pengetahuan sikap pekerja terhadap keselamatan (worker's attitudes toward safety)
c) Pengetahuan pekerja dan kepatuhan terhadap keselamatan (worker's knowledge and compliance to safety)
d) Partisipasi pekerja dan komitmen terhadap keselamatan (workers' participation
& commitment to safety)
e) Lingkungan kerja yang aman (safeness of work Environment)
f) Kesiapan organisasi saat keadaan darurat (emergency preparedness in the organization)
g) Prioritas keselamatan pada produksi (priority for safety over production) h) Justifikasi resiko (risk Justification)
7. Judgement Sampling
Metode judgement sampling merupakan nama lain dari purposive sampling
(Babbie, 2013). Metode purposive atau judgement sampling adalah teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu, sehingga data yang diperoleh
lebih representatif dengan melalukan proses penelitian yang kompeten dibidangnya
(Sugiyono, 2008). Metode judgement sampling dilakukan dengan cara wawancara
kepada responden saat peneliti sedang berada di tempat penelitian dengan
pertimbangan tertentu. Metode pengambilan sampel ini dilakukan jika peneliti
melakukan pengambilan sampel berdasarkan keputusan dari peneliti sendiri, yaitu
pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Menurut Simamora (2005)
dalam analisis faktor, judgement tetap dilakukan agar memberikan hasil baik.
commit to user
8. Uji Validitas dan Relibilitas Instrumen dan data a. Uji Validitas
Uji Validitas menggambarkan sebuah alat pengukur yang mampu mengukur apa yang ingin diukur (Umar, 2003). Sebuah alat ukur dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Dengan kata lain, mampu memperoleh data yang tepat dari variabel yang diteliti. Hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti (Sugiyono, 2008).
b. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih (Umar, 2003). Instrumen yang baik tidak akan bersifat tendensius yang mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban tertentu. Menurut Simamora (2004) kuesioner yang reliabel adalah kuisioner yang apabila dicobakan secara berulang-ulang kepada kelompok yang sama menghasilkan data yang sama.
Uji reabilitas dilakukan untuk menguji penafsiran responden terkait pernyataan yang ada di instrumen penelitian yang ditunjukan dengan konsistensi jawaban yang ada. Reabilitas adalah ukuran tentang konsistensi internal yang berasal dari indikator sebuah faktor yang memperlihatkankan tingkat masing- masing indikator tersebut dengan indikasi sebuah faktor laten yang umum. Ambang batas dalam menilai atau menguji tiap-tiap variabel akurat yang menggunakan peritungan koefisien alpha dari Cronbach. Variabel dinyatakan reliabel bila memiliki koefisien Alpha Cronbach> 0.60, maka tingkat reliabilitas sebesar 0.60 adalah indikasi reliabelnya sebuah faktor.
9. Analisis Faktor
Analisis Faktor merupakan salah satu analisis statistika yang bertujuan
untuk mengidentifikasikan, mengelompokan dan meringkas faktor-faktor yang
merupakan dimensi suatu variabel (Sujarweni, 2014). Analisis faktor dapat
digunakan untuk mengidentifikasi struktur hubungan antarvariabel ataupun antar
responden. Analisis faktor juga dapat digunakan untuk mencari korelasi antar
responden. Dengan kata lain, dengan analisis faktor, kita dapat mengelompokkan
responden berdasarkan kesamaan karakteristik yang dimilikinya (Simamora, 2005).
commit to user
Analisis faktor merupakan perluasan dari analisis komponen utama. Pada dasarnya analisis faktor bertujuan untuk mendapatkan sejumlah faktor yang memiliki sifat-sifat (1) mampu menerangkan semaksimal mungkin keragaman data (2) faktor-faktor saling bebas. Analisis faktor menerangkan variasi sejumlah variabel asal dengan menggunakan faktor yang lebih sedikit dan yang tidak teramati dengan anggapan bahwa semua variabel asal dapat dinyatakan sebagai kombinasi linear dari faktor-faktor itu ditambahkan dengan suku residual (Wijaya, 2010).
Tidak ada minimal dalam ukuran sampel pada analisis factor, namun semakin besar ukuran sampelnya maka akan semakin valid. Ukuran aman dalam analisis factor sebaiknya berjumlah 100, bila lebih maka akan semakin akurat (Simamora, 2005).
Ada dua metode analisis faktor yaitu:
a. Exploratory Factor Analysis
Exploratory Factor Analysis (EFA) adalah salah satu metode analisis faktor untuk mengidentifikasi hubungan antara variabel manifest atau variabel indikator dalam membangun sebuah konstruk. EFA digunakan dalam kondisi dimana peneliti tidak memiliki informasi awal atau hipotesis harus dikelompokkan ke dalam variabel mana saja sekumpulan indikator yang telah dibuat. jadi peneliti berangkat dari indikator (manifest) kemudian membentuk variabel. EFA juga digunakan dalam kondisi dimana variabel laten memiliki indikator yang belum jelas. indikator satu variabel laten dimungkinkan overlap dengan indikator variabel laten lainnya.
b. Confirmatory Factor Analysis
Confirmatory Factor analysis (CFA) adalah analisis faktor untuk menguji apakah indikator-indikator yang sudah dikelompokkan berdasarkan variabel latennya (konstruknya) konsisten berada dalam konstruknya tersebut atau tidak (Huang, 2016). Pada CFA, peneliti menguji apakah data fit dengan model yang dibentuk sebelumnya atau tidak. Perbedaan yang mendasar antara CFA dan EFA adalah pada CFA peneliti menjustifikasi bahwa indikator-indikator masuk ke dalam konstruk valid.
B. Penelitian-Penelitian Sebelumnya
Penelitian terdahulu digunakan sebagai referensi tambahan selain buku
maupun informasi dari narasumber. Pada penelitian ini terdapat beberapa kesamaan
topik dengan kasus yang berbeda pada beberapa penelitian-penelitian sebelumnya.
commit to user
Berikut ini Tabel 2.1, Tabel 2.2 dan Tabel 2.3 memaparkan penelitian-penelitian
terdahulu yang terkait dengan penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
commit to user
Tabel 2.1 Penelitian-Penelitian Sebelumnya
No Nama Metode Jumlah
Sample Kuesioner
Hasil
1
M.N.
Vinodkumara dan M. Bhasi
Confirmatory
factor analysis 1803
Kuesioner 8 faktor dan 54 item pertanyaan
Persaingan antara UKM ditemukan menjadi alasan utama untuk pelaksanaan praktik keselamatan kerja di UKM. Kontribusi utama dari penelitian ini adalah membangun kesadaran tentang kasus keselamatan di UKM yang berpartisipasi dalam proyek
2
Tan Shy Ching dan Jafri Mohd. Rohani
Exploratory Factor analysis
298
Kuesiner 8 faktor dengan 36 item pertanyaan
Persepsi iklim keselamatan kerja di industri kimia Malaysia diukur secara andal dengan 36 item kuesioner, mewakili delapan faktor (Komitmen manajemen dan tindakan untuk keselamatan; sikap pekerja terhadap keselamatan; pengetahuan dan kepatuhan pekerja terhadap keselamatan; partisipasi dan komitmen pekerja untuk keamanan; keamanan lingkungan kerja; kesiapan darurat dalam organisasi;
prioritas untuk keamanan atas produksi; pembenaran risiko).
3 Abdillah dan Rumita
Parametrik:
Regresi Linier Berganda
72
Kuesioner 7 variabel dengan 30 item pertanyaan
Faktor-faktor safety climate berpengaruh secara simultan terhadap safety behaviour, variabel yang memiliki signifikan tertinggi terhadap safety behaviour yaitu Work Pressure, Personal Protective Equipment, Relationships & Safety Rule. Sementara variable yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap safety behaviour adalah variabel Communication & Support dan Adequacy of Procedures.
4 Yudithia Lisnandhita
Structural Equation Model : Lisrel
132
Kuesioner 4 variabel dengan 22 item pertanyaan
Budaya keselamatan kerja mampu memperbaharui kepemimpinan dengna iklim keselamatan kerja, namun tidka bisa mempengaruhi iklim keselamatan kerja dan perilaku keselamatan kerja.
commit to user
Tabel 2.2 Penelitian-Penelitian Sebelumnya (Lanjutan)
No Nama Metode Jumlah
Sample Kuesioner
Hasil
5
Setiawan M.A. dan Tri Siwi A
Parametrik:
Regresi Linier Berganda
86
Kuesioner 3 variabel dengan 15 item pertanyaan
Safety climate memiliki signifikansi yang berpengaruh terhadap kecelakaan kerja.
Safety climate mempunyai pengaruh
tidak langsung dan signifikan terhadap kecelakaan kerja dengan safety behavior yang menunjukkan variabel intervening.
6
Savitri M, Gunung S, dan Yohanes J.S
Chi Square 48
Kuesioner 5 variabel dengan 9 item pertanyaan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara umur dan tingkat pendidikan dengan kecelakaan kerja. Sebanyak 40 orang pernah
mengalami kecelakaan kerja seperti terpeleset, tertusuk, dan tersayat.
7 Gavinov I.T
Parametrik:
Regresi Linier Berganda
171
Kuesioner 3 variabel dengan 40 item pertanyaan
Iklim organisasi memiliki pengaruh terhadap perilaku keselamatan sebesar 55%, iklim keselamatan memiliki pengaruh terhadap perilaku keselamatan yang terjadi sebesar 9,7%, pengaruh iklim organisasi dan terhadap perilaku keselamatan yang terjadi di Jumlah 65%.
Fasilitas keselamatan yang lengkap dan sosialisasi dari komite keselamatan yang rutin akan berdampak pada safety behavior karyawan
8
Milijic N, Ivan M, Nada S, dan Zivan Z.
Analisis Varians (MANOVA) Model:
LISREL 8.30 software
1098
Kuesioner 8 variabel dengan 21 item pertanyaan
Pengukuran iklim keselamatan kerja yaitu faktor- faktor yang memiliki nilai praktis untuk pencegahan kecelakaan kerja yaitu
faktor (keselamatan kesadaran dan kompetensi, komunikasi keselamatan, lingkungan organisasi, dukungan manajemen, penilaian risiko dan reaksi manajemen, tindakan pencegahan dan pencegahan kecelakaan, dan pelatihan keselamatan)
commit to user
Tabel 2.3 Penelitian-Penelitian Sebelumnya (Lanjutan)
No Nama Metode Jumlah
Sample Kuesioner
Hasil
9. Kanten S.
Korelasi, Regresi Multidimen sional
240
Kuesioner 7 variabel dengan 30 item pertanyaan
Elemen iklim keselamatan muncul sebagai prediktor perilaku tidak aman atau
kecelakaan kerja dalam berbagai studi empiris dan diterima bahwa iklim
keselamatan yang baik sangat penting untuk keamanan operasional.
Iklim keselamatan, perilaku keselamatan dan kondisi kerja yang
berkorelasi dengan kecelakaan dan cedera kerja.
10. Tayaparan S, et. al.
Multiple linear regression
220
Kuesioner 3 variabel dengan 36 item pertanyaan
Faktor-faktor iklim keselamatan (manajemen keselamatan dan tekanan kerja, kompetensi keselamatan, keselamatan komunikasi dan prosedur keselamatan) mampu menjelaskan 47,2% dari variasi kinerja keselamatan.
Meskipun demikian, itu ditemukan bahwa
refleksi faktor-faktor iklim keselamatan pada
kinerja keselamatan tidak bisa sama dengan
masing-masing industri, karena temuan akan
berfluktuasi karena konteks geografis dan
konteks individu.
commit to user
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang lain adalah pengadopsian kuesioner dari penelitian Tan Shy Ching dan Jafri Mohd. Rohani (2016).
Kuesioner ini belum pernah diadopsi di penelitian manapun. Selain itu Penelitian ini menggunakan dua analisis sekaligus exploratory factor analisis dan confirmatory factor analysis. Dari kedua metode inilah akan terbentuk konstruk/faktor baru sehingga dapat diketahui sumber masalah sebenarnya di . Selain itu ruang lingkup penelitian ini dilakukan di UKM sentra industri furniter di Jawa Tengah dengan pengambilan sampel dibeberapa perusahaan dan beberapa kota di Jawa Tengah. Sedangkan penelitian serupa hanya fokus di satu perusahaan saja atau di satu kota saja. Hal-hal inilah yang memberikan pembaharuan dari penelitian-penelitian sebelumnya.
C. Kerangka Berpikir
Penelitian ini mengadopsi penelitian mengenai safety climate pada industri kimia di Malaysia oleh Jafri (2016). Dalam penelitian Jafri (2016) beberapa variabel dalam safety climate diantaranya adalah komitmen manajemen dan tindakan untuk keselamatan (management commitment and actions for safety), pengetahuan pekerja dan kepatuhan terhadap keselamatan (worker's attitudes toward safety), pengetahuan sikap pekerja terhadap keselamatan (worker's knowledge and compliance to safety), partisipasi dan komitmen pekerja terhadap keselamatan (workers' participation & commitment to safety), lingkungan kerja yang aman (safeness of work environment), kesiapan organisasi saat keadaan darurat (emergency preparedness in the organization), prioritas keselamatan pada produksi (priority for safety over production), dan justifikasi resiko (risk justification).
Bila dilihat dalam beberapa penelitian sebelumnya, safety climate utamanaya mempengaruhi dua sub faktor yaitu dari manajemen perusahaan dan perilaku pekerja.
Menurut Lisnandhita (2012) iklim kerja yang mendukung keselamatan kerja akan mempengaruhi karyawan dalam menyikapi mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.
Iklim kerja yang mendukung keselamatan akan membuat persepsi karyawan dalam
meningkatkan keselamatan lebih tinggi. Safety climate sendiri terdiri dari beberapa faktor
diantaranya yaitu management commitment dan workmate’s influences. Sementara untuk
commit to user
variabel pekerja sendiri meliputi safety attitudes, employee’s involvement, safety management systems and procedures, dan safety knowledge (Zou et al, 2007).
Penelitian ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi komitmen manajemen terhadap K3. Faktor-faktor tersebut dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran dibawah ini:
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Komitmen manajemen dan tindakan untuk
keselamatan
Lingkungan kerja yang aman
Pengetahuan pekerja dan kepatuhan terhadap
keselamatan
pengetahuan sikap pekerja terhadap
keselamatan
partisipasi dan komitmen pekerja terhadap keselamatan
justifikasi resiko Safety Climate
(pekerja)
Kesiapan organisasi saat keadaan darurat Prioritas keselamatan pada produksi Safety Climate
(Manajemen dan lingkungan kerja)
Exploratory Factor Analysis
Confirmatory Factor Analysis