• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERMOHONAN SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DILUAR GUGATAN PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERMOHONAN SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DILUAR GUGATAN PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERMOHONAN SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DILUAR GUGATAN PERCERAIAN

MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

(Studi Kasus Putusan No. 2188/Pdt.G/2012/PA JS)

TESIS

OLEH :

AZIRAH 157005005/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERMOHONAN SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DILUAR GUGATAN PERCERAIAN

MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

(Studi Kasus Putusan No. 2188/Pdt.G/2012/PA JS)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

AZIRAH 157005005/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

JUDUL TESIS : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERMOHONAN SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DILUAR GUGATAN PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN NO.

2188/PDT.G/2012/PA JS) NAMA MAHASISWA : AZIRAH

NOMOR POKOK : 157005005

PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU HUKUM

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum

Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum

Anggota Anggota

Dr. Sutiarnoto, SH, M.Hum

Mengetahui,

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

Tanggal Lulus : 24 Agustus 2017

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 24 Agustus 2017

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum

Anggota : 1. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum 2. Dr. Sutiarnoto, SH, M.Hum

3. Dr.Utary Maharani Barus, SH, M.Hum 4. Dr. Yefrizawati, SH, M.Hum

(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : AZIRAH

NIM : 157005005

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERMOHONAN SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA DILUAR GUGATAN PERCERAIAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 2188/PDT.G/2012/PA JS)

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan plagiat, apabila dikemudian hari diketahui tesis saya tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, Agustus 2017 Yang Membuat Pernyataan

Nama : AZIRAH Nim : 157005005

(6)

ABSTRAK

Pada saat perkawinan terjadi, tidak jarang masalah harta bersama merupakan salah satu faktor terjadinya keretakan dan perselisihan dalam rumah tangga. Salah satu perselisihan tersebut dapat disebabkan karena salah satu pihak melakukan pemborosan terhadap harta bersama. Maka dalam hal ini pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan “sita marital”.

Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah bagaimana penerapan sita marital atas sengketa harta bersama ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, apa yang menjadi alasan pengajuan sita marital oleh istri selaku Pemohon dalam putusan perkara perdata No. 2188/Pdt.G/2012/PA JS serta bagaimana pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan sehingga menolak permohonan sita marital Pemohon seluruhnya dalam putusan perkara perdata No.

2188/Pdt.G/2012/PA JS. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analistis. Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan yang didukung dengan wawancara untuk memperoleh data yang lebih lengkap.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan sita marital atas sengketa harta bersama terbagi dua yakni pada sita marital yang dilakukan karena gugatan perceraian yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 78 huruf c UU No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 136 ayat (2) huruf b KHI dan diluar gugatan perceraian dalam Pasal 95 ayat (1) KHI dan Pasal 186 KUHPerdata. Akan tetapi dalam arti luas, penerapannya meliputi beberapa sengketa yang timbul diantara suami istri yakni : pada perkara perceraian, perkara pembagian harta bersama dan pada perbuatan yang membahayakan harta bersama. Dalam putusan perkara perdata No.

2188/Pdt.G/2012/PA JS diketahui bahwa alasan pengajuan sita marital oleh istri selaku Pemohon ialah adanya persangkaan atau dugaan bahwa suami dalam hal ini Termohon telah memiliki hubungan gelap dengan wanita lain sehingga dalam hal ini Termohon telah dan patut diduga melakukan pemborosan terhadap harta bersama.

Dalam Putusan ini, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan menolak permohonan sita marital Pemohon seluruhnya disebabkan karena tidak terpenuhinya unsur pembuktian selama proses perkara permohonan sita marital ini berlangsung. Selain itu Majelis Hakim menilai bahwa penerapan pasal yang dipakai oleh Pemohon dalam gugatannya tidaklah sesuai. Oleh karena itu, sebaiknya masyarakat harus lebih cermat dalam menerapkan pasal terhadap sita marital yang dimohonkannya sehingga upaya hukum yang dilakukannya tidak sia-sia.

Kata Kunci : Sita Marital, Harta Bersama, Perkawinan

(7)

ABSTRACT

Joint property is one of the factors that cause a friction and a conflict in a marriage.

The conflict appears because one of the parties usesthe joint property extravagantly.

Consequently, the injured party can file for “marital confiscation”

The research problem is that how the application of marital confiscation on the conflict of the joint property viewed from Law No.1/1974 about marriage and Compilation of Islamic Law is, what are the reasons of filing marital confiscation by a wife as the Petitioner in the ruling of civil case No.2188/Pdt.G/2012/PA JS, and what the legal consideration of the Judge of the Religious Court of South Jakarta is that he refused all thePetitioner’s request for the marital confiscation. The research method is juridical normative with descriptive analysis using the statutory approach. Data are collected through library studies and interviews.

The research results show thatthe requestsof marital confiscation on the conflict of the joint property are divided into two that is;firstly, marital confiscation done because of divorce claim as stipulated in Article 24 paragraph (2) letter c of PP No. 9/1975, Article 78 letter c UU No.7/1989, Article 136 paragraph (2) letter b of KHI, and secondly out of divorce claim in Article 95 paragraph (1) of KHI and Article 186 of Civil Code. However, in the broader sense, the request covers some conflicts between a husband and a wife that is in a divorce case, distribution of joint property case, and actions that endanger the joint property.

In the ruling of civil case No. 2188/Pdt.G/2012/PA JS, it is found out that the reason why the marital confiscation is filed by a wife as the Petitioner is that there is an allegation or a suspicion that her husband as the Respondenthas a backstreet relationship with another woman that in this case the Respondenthas been reasonably suspected to use the joint property extravagantly. In the Ruling, the Judge of South Jakarta Religious Court has refused all of the Petitioner’s requests for the marital confiscation because the evidence element is not fulfilled during the hearing process of the joint property case. Besides, the Penal of Judges considers that the application of the article used by the Petitioner is not appropriate.

Therefore, people should be more careful to apply the article on the marital confiscation they fileso that the legal effort done is not useless.

Keywords: Marital Confiscation, Joint Property, Marriage

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan kesempatan yang telah diberikan oleh-Nya mulai dari masa perkuliahan sampai dengan tahapan penyelesaian tesis seperti sekarang ini di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara.

Tesis ini diberi judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Permohonan Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Diluar Gugatan Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan No. 2188/Pdt.G/2012/PA JS)”.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, Penulis tidak lupa ingin mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa dari nama-nama yang disebut di bawah ini. Beliau-beliau tersebut merupakan panutan dan juga motivasi yang mendukung Penulis dari awal masa perkuliahan hingga sekarang sampai selesainya tesis ini. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

(9)

4. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH., M. Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum., selaku Ketua Komisi Pembimbing/

Dosen Pembimbing I penulis dalam penulisan tesis ini yang telah banyak memberikan masukan dan arahan yang berarti serta dengan sabar memberikan petunjuk dalam penulisan ini.

6. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II Penulis yang telah banyak memberikan bimbingan dan juga masukan bagi penulis untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

7. Bapak Dr. Sutiarnoto, SH, M.Hum., selaku Dosen pembimbing III Penulis yang telah membimbing dan memberikan masukan bagi penulis dalam pendalaman materi tesis.

8. Ibu Dr.Utary Maharani Barus, SH, M.Hum., selaku Dosen Penguji penulis yang telah dengan sabar memberikan kritik dan saran yang berarti untuk penulisan ini, serta informasi dan cara penulisan tesis yang benar.

9. Ibu Dr. Yefrizawati, SH, M.Hum., selaku Dosen Penguji Penulis yang telah memberikan masukan secara teliti agar tesis penulis menjadi lebih baik.

10. Bapak dan Ibu Guru Besar juga segenap Dosen dan staf pengajar Program Studi Magister Ilmu Hukum, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, tanpa bisa disebutkan satu per satu namanya, atas jasa-jasanya dalam memberikan ilmu dan bimbingan selama masa perkuliahan.

(10)

11. Pada Pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam manajemen administrasi yang diperlukan.

12. Yang terkasih buat rekan - rekan penulis yang setia menemani selama masa perkuliahan: Syarifah Sarah, Intan Pasaribu, Rurin Tambun, Roland, Puji Marpaung, dan Kak Mei.

13. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara Stambuk 2015 khususnya Grup A yang telah berjuang bersama-sama selama ini serta telah memberikan banyak dukungan dan kerjasamanya selama penulis menjalankan pendidikan. Semoga sukses untuk kita semua.

14. Kepada teman-teman terbaik saya, Yuliana Siregar, Ditami, Fadillah Mahraini, Nurul Pertiwi, Aja Chairina Rahmah, Shofa Husra, Dila Armaya, Thahrina ZH, Rahma Hayati, dan teman satu kos saya Hanifah yang selama ini selalu memberikan semangat dan dorongan agar penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

Teristimewa penulis ucapkan untuk yang tercinta Ayahanda Drs. A. Aziz, SH.MH, Ibunda Ir. Syarifah Samrah, Adek Mhd. Alfarisi Pase, Nenek tercinta Syarifah Azizah beserta seluruh keluarga besar yang telah memberikan doa, semangat dan dukungan yang sangat berarti baik secara moril maupun materil kepada penulis dari awal sampai akhir tesis ini.

(11)

Tesis yang telah diselesaikan dengan segenap hati dan pemikiran ini tentunya masih perlu untuk diperbaiki karena sendiri juga yakin apa yang telah ditulis dalam tesis ini hanyalah sebagian kecil daripada ruang lingkup sita marital atas sengketa harta bersama diluar gugatan perceraian, yang tentunya di dalamnya masih terdapat kekurangan-kekurangan. Untuk itu, dengan tangan terbuka akan menerima segala kritik maupun saran yang sifatnya membangun demi kemajuan kita bersama.

Akhir kata, atas segala perhatian yang telah diberikan untuk tesis ini, sekali lagi mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini sedikit banyak juga dapat bermanfaat bagi kita semua. Wassalam.

Medan, 19 Agustus 2017

Azirah

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Azirah

2. NIM : 157005005

3. Tempat/Tanggal lahir : Medan, 05 Februari 1994

4. Program Studi : Magister Ilmu Hukum / Hukum Perdata BW 5. Nama Ayah : Drs. A. Aziz, SH, MH

6. Nama Ibu : Ir. Syarifah Samrah 7. Nama Adik : Mhd. Alfarisi Pase 8. Jenis Kelamin : Perempuan 9. Status : Belum menikah 10. Agama : Islam

11. Alamat : Jalan Jamin Ginting, Padang Bulan, No. 402, Medan

II. PENDIDIKAN

1. SD : Negeri Sentosa Stabat, Sumut (1999-2005)

2. SMP : SMP Negeri 1 Lubuk Pakam, Sumut (2005- 2008) 3. SMA : SMA Negeri 1 Langsa, NAD (2008-2011)

4. Strata I : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2011-2015) 5. Strata II : Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (2015-2017)

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR ISTILAH ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitan ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsi ... 22

G. Metode Penelitian ... 25

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 25

2. Sumber Data ... 26

3. Teknik dan Alat Pegumpulan Data ... 28

(14)

4. Analisis Data ... 29

BAB II PENERAPAN SITA MARITAL ATAS SENGKETA HARTA BERSAMA YANG DIAJUKAN DI LUAR PERKARA POKOK (GUGATAN PERCERAIAN) DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ……… 31

A. Ruang Lingkup Harta Bersama Dalam Perkawinan ... 31

1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan ... 31

2. Pengertian Harta Bersama ... 33

3. Pengertian Harta Bawaan ... 38

4. Dasar Hukum Pembagian Harta Bersama ... 43

5. Wewenang Suami Istri Atas Harta Bersama ... 49

6. Prinsip Perjanjian Perkawinan Tentang Harta Bersama ... 50

7. Asas – Asas Hukum terhadap Harta Bersama dalam Perkawinan ... 56

B. Penerapan Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama di Luar Gugatan Perceraian Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ... 60

1. Gugatan dan Permohonan ... 60

2. Tujuan Sita dan Jenis-Jenis nya ... 62

3. Pengaturan Sita Marital ... 86

4. Lingkup Penerapan Sita Marital ... 92

5. Tata Cara Pelaksanaan Penyelesaian Sita Marital ... 96

6. Akibat Hukum Sita Marital terhadap Harta Bersama ... 97

7. Analisis Sita Marital Di Luar Perkara Pokok (Gugatan Perceraian) ... 99

(15)

BAB III ALASAN PENGAJUAN SITA MARITAL OLEH ISTRI SELAKU PEMOHON DALAM PUTUSAN PERKARA PERDATA NO.

2188/PDT.G/2012/PA JS ……….. 102

A. Syarat Pengajuan Sita ... 102

B. Alasan-Alasan Permohonan Sita Marital Yang Diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan ... 105

C. Analisis Hukum terhadap Alasan Pengajuan Sita Marital Oleh Istri Selaku Pemohon Dalam Putusan Perkara Perdata No. 2188/Pdt.G/2012/PA JS ……….……… 111

BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN DALAM MENOLAK PERMOHONAN SITA MARITAL PEMOHON SELURUHNYA PADA PUTUSAN PERKARA PERDATA NO. 2188/PDT.G/2012/PA JS ……… 115

A. Kasus Posisi Putusan Perkara Perdata No. 2188/Pdt.G/2012/PA JS … 115 B. Analisis Hukum terhadap Putusan Perkara Perdata No. 2188/Pdt.G/2012/PA JS ... 121

1. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim ... 121

2. Putusan Majelis Hakim ………. 128

3. Analisis Hukum ………. 129

BAB V PENUTUP ... 150

A. Kesimpulan ... 150

B. Saran ... 151

DAFTAR PUSTAKA ... 155 LAMPIRAN

(16)

DAFTAR ISTILAH

Algehele gemeenschup van goederen : persatuan bulat harta kekayaan perkawinan.

Beperkte gemeenschap van goederen : persatuan terbatas harta kekayaan perkawinan.

Bezit : kedudukan menguasai atau menikmati suatu barang yang ada dalam kekuasaan seseorang secara pribadi atau perantaraan orang lain, seakan-akan barang itu miliknya.

Custody : tindakan paksa penjagaan.

Conservatoir beslag : sita yang diletakkan baik terhadap harta yang disengketakan maupun terhadap harta kekayaan Tergugat yang bergerak maupun yang tidak bergerak atas ganti rugi atau hutang piutang, yang bertujuan untuk memberi jaminan kepada Penggugat, terhadap harta yang disengketakan atau harta milik Tergugat akibat ganti rugi atau hutang piutang, agar tetap ada dan utuh, sehingga sita itu memberi jaminan kepada penggugat bahwa kelak gugatannya “tidak illusoir” atau

(17)

“tidak hampa” pada saat putusan dieksekusi (dilaksanakan).

Dharuriyah : secara bahasa diartikan sebagai keadaan yang sangat sulit, atau keadaan yang memaksa untuk melakukan apa yang dilarang oleh syari’at islam. Apabila tidak dilakukan akan mengakibatkan kemudharatan bagi dirinya sendiri.

Doctrinal : penelitian-penelitian atas hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep dan/atau sang pengembangnya.

Eigendom : hak atas sesuatu benda untuk mengenyam kenikmatan seluas-luasnya dan mempergunakannya secara tidak terbatas asal penggunaannya tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan- peraturan umum yang dikeluarkan oleh sesuatu kekuasaan yang memang berhak mengeluarkannya, dan tidak mengganggu hak orang lain

Eigen richting : perbuatan main hakim sendiri.

Executorial Beslag : sita yang bertujuan untuk melaksanakan lelang eksekusi harta Tergugat guna memenuhi putusan,

(18)

apabila keputusan telah berkekuatan hukum yang tetap.

Executorial verkoop : penjualan lelang.

Gemeenschap van winst : persatuan untung dan rugi.

en verlies

Gemeenschap van vruchten : persatuan hasil dan pendapatan.

en inkomsten

Hajiyat : kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana tidak terwujudkan keperluan ini tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan dan kesukaran bahkan mungkin berkepanjangan, tetapi tidak sampai ketingkat menyebabkan kepunahan atau sama sekali tidak berdaya

Illusoir : gugatan tidak hampa

Jurisdictie contentieusa : gugatan

Jurisdictie voluntaire : permohonan

Kausaliteit : hubungan antara suatu kejadian (sebab) dan kejadian kedua (akibat atau dampak), yang mana kejadian kedua dipahami sebagai konsekuensi dari yang pertama

(19)

Legal term : istilah hukum.

Lichammelijk on : barang-barang bergerak dan barang-barang tidak bergerak.

lichammelijk

Lichammelyk en : barang- barang berwujud dan tidak berwujud.

onlichammelyk

Marital Beslag : penyitaan yang dilakukan untuk menjamin agar barang yang disita tidak dijual, untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di Pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita agar jangan sampai jatuh ditangan pihak ketiga.

Mawaddah : tenang atau tentram.

Mitsaqan ghalizan : perjanjian yang amat kukuh.

Nuul and void : jual beli atau pemindahan batal demi hukum.

Pandenbeslag : sita yang biasanya dimohonkan oleh seseorang yang menyewakan rumah, agar perabotan milik orang yang menyewa disita untuk menjamin agar ia membayar uang sewa rumah.

Pre-nuptial agreement : perjanjian perkawianan atau perjanjian yang dilaksanakan sebelum terjadinya perkawinan.

(20)

Presumptio factie : persangkaan-persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang diserahkan kepada pertimbangan dan kebijaksanaan hakim. Akan tetapi, persangkaan tersebut harus memperhatikan hal-hal yang penting dengan suatu ketelitian dan ada hubungan antara satu dengan yang lain.

Presumtio juris : persangkaan-persangkaan menurut undang-undang ialah persangkaan yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.

Positivistis : aliran yang menyamakan hukum dengan undang- undang, tidak ada hukum di luar undang-undang, sehingga harus diakui bahwa satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang (legisme). Undang- undang dibuat oleh penguasa, oleh karena itu hukum merupakan perintah dari penguasa dalam arti bahwa perintah dari pemegang kekuasaan yang paling tinggi atau pemegang kedaulatan. manusia tidak mampu untuk mengetahui realitas selain melalui ilmu pengetahuan.

(21)

Rahmah : kasih sayang.

Rivindicatoir Beslag : penyitaan atas barang bergerak milik penggugat yang dikuasai oleh tergugat dengan untuk menjaga kepentingan orang yang memiliki barang tersebut supaya tidak dialihkan kepada orang lain oleh yang memegangnya sampai putusan terhadap perkara yang diajukan itu ditetapkan oleh hakim yang mengadilinya sehingga barang tersebut dapat kembali kepadanya.

Sakinah : kedamaian; ketenteraman; ketenangan; kebahagiaan.

Tahsiniyat : kebutuhan tersier atau semua keperluan dan perlindungan yang diperlukan agar kehidupan menjadi nyaman, mudah dan lapang

Testimonium de auditu : kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain (kesaksian tidak langsung).

Uitsluiting van alle : pemisahan mutlak harta kekayaan perkawinan

Uitsluiting van alle : pemisahan mutlak harta kekayaan perkawinan gemeenschap van goederen

Unus testis nulus testis : satu saksi bukanlah saksi

(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU No. 1 Tahun 1974), berbunyi bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Perkawinan adalah perjanjian yang lahir dari keinginan seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam ikatan akad.1 Perkawinan adalah salah satu institusi dasar (basic institution) dalam hukum keluarga.2 Perkawinan tidak hanya bermakna perjanjian perdata, tetapi juga perjanjian yang memiliki makna spiritual.3 Dalam perkawinan, berkumpul dua insan (suami-istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut dengan

“keluarga”.4 Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha Allah SWT.5

1 Vijay Malik, Muslim Law of Marriage, Divorce and Maintenance, (Delhi : Eastern Book Company, 1988), hal. 60.

2 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Naional, (Jakarta : Kencana, 2009), hal.175

3 Mahmoud Hoballah, Marriage, Divorce and Inheritance in Islamic Law, (New York :Altamira Press, 2006), hal. 111.

4 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 1.

5 Ibid.

Di dalam perkawinan juga akan

(23)

timbul hak dan kewajiban antara suami-istri secara timbal balik, demikian juga akan timbul hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik.6

Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana hal itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sedangkan di dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI), pengertian perkawinan dan tujuannya dinyatakan dalam Pasal 2 dan 3. Di dalam Pasal 2, Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan di dalam Pasal 3 disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.7 Sakinah adalah suasana kehidupan dalam rumah tangga suami-istri itu terdapat keadaan yang aman dan tenteram, gemah ripah looh jinawi, tidak terjadi silih sengketa atau pertentangan pendapat yang prinsipil.8 Mawaddah adalah hubungan antara suami istri harus selalu dijamin akan tetap saling cinta-mencintai dan sayang menyayangi. Rahmah sendiri diartikan rasa saling membela, saling memerlukan di masa tua.9

6 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang : Universitas Diponegoro, 2008), hal. 6.

7 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 10.

8 M. Idris Ramulyo, Masalah Harta Bersama dalam Proses Pemutusan Hubungan Perkawinan, Hukum dan Pembangunan 1 (Jakarta : Ind Hill ,1984), hal. 42.

9 Ibid.

Muhammad Mustafa Tsalaby memberi makna perkawinan dengan akad yang kuat (mitsaqan ghalizan) antara

(24)

seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama berdasarkan ketentuan syara’ sebagai bentuk ibadah kepada Allah.10

Pada saat perkawinan terjadi, maka suami istri pun terikat dalam sebuah keluarga dimana dalam keluarga tersebut terdapat harta benda perkawinan. Dalam UU No. 1 Tahun 1974, ketentuan mengenai harta benda perkawinan diatur dalam Pasal 35, 36 dan 37.

11

Menurut Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974, pada saat terjadinya perkawinan, maka berlakulah persatuan harta kekayaan dalam perkawinan antara suami istri dan tidak menutup kemungkinan harta kekayaan dalam perkawinan terdapat harta milik pribadi masing-masing suami istri. Sedangkan dalam Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) disebutkan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami dan istri dan dalam Pasal 86 KHI disebutkan, pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri. Harta istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri, begitu juga sebaliknya.

12

Masalah harta bersama juga merupakan salah satu faktor terjadinya keretakan dan perselisihan dalam rumah tangga. Menurut data Pustlitbang Kementerian Agama tahun 2016, setidaknya ada 4 (empat) alasan utama pasangan di Indonesia bercerai,

10 Ketentuan syara’ yang dimaksud adalah perkawinan dapat dilakukan bila terpenuhi syarat dan rukunnya. Syarat perkawinan berupa syarat yang dimiliki oleh mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, misalnya mereka tidak terikat dengan hubunngan darah (ayah-anak, adik-kaka, dan lain- lain), mereka melakukan perkawinan tidak dibawah ancaman, dan mempelai perempuan tidak terikat dengan perkawinan dengan pihak lain yang sah. Sedangkan rukun perkawinan antara lain : adanya mempelai laki-laki dan perempuan, ijab Kabul, wqali dan saksi. Muhammad Mustafa Tsalaby, Ahkam al-Usrah fi al-Islam, ( Beirut : Dar an-Nadhah al-‘Arabiyah, 1977), hal. 260-268.

11 Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta : Tinta Mas, 1975), hal. 24-25.

12 Abdul Manan, Op.Cit., hal. 100.

(25)

antara lain: hubungan sudah tidak harmonis, tidak ada tanggung jawab khususnya terhadap anak, kehadiran pihak ketiga dan persoalan ekonomi salah satunya terkait dengan harta bersama.13 Selain itu, berdasarkan data Badilag MA, perceraian 70%

(tujuh puluh persen) diajukan oleh perempuan (cerai gugat), dan selebihnya cerai talak.14 Terkait dengan harta bersama, maka berdasarkan Pasal 88 KHI dikatakan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Dalam hal ini, apabila terjadi sengketa perceraian di Pengadilan untuk pembagian harta bersama perkawinan terdapat bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta bersama suami istri yang disebut dengan sita marital.15

Sita marital atau lebih dikenal dengan sita harta bersama merupakan tindakan hukum yang dapat diajukan baik dari pihak suami maupun istri. Hal ini memperlihatkan adanya kedudukan yang setara (equal) antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan itu secara tegas dirumuskan dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan lagi, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.16

13 Dwi Purnawan, Tingkat Perceraian di Indonesia Termasuk yang Tertinggi di Dunia, 26 September 2016, diperoleh dari www.gulalives.co, terakhir kali diakses pada tanggal 30 Maret 2016.

14 Bas, Tren Cerai Gugat Di Kalangan Masyarakat Muslim Indonesia, 26 Mei 2016, diperoleh dari https://balitbangdiklat.kemenag.go.id, terakhir kali diakses pada tanggal 30 Maret 2016.

15 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 2006), hal. 57.

16 Djokoprakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hal. 52.

(26)

Tujuan sita marital sudah jelas yakni untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap. Apalagi, jika selama proses pemeriksaan perkara telah terjadi pemisahan tempat tinggal atas izin hakim, semakin besar kemungkinan terancam keutuhan dan pemeliharaan harta perkawinan. Misalnya atas persetujuan hakim istri sudah terpisah tempat tinggalnya selama pemeriksaan perkara berlangsung, dan harta perkawinan semuanya dikuasai suami untuk menjual atau menggelapkan sebagian dari harta perkawinan (harta bersama), undang-undang memberi hak kepada istri untuk mengajukan permohonan sita marital.17 Dengan adanya penyitaan terhadap harta bersama, baik penggugat atau tergugat (suami-istri), dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi.18 Dengan demikian, pembekuan harta bersama di bawah penyitaan berfungsi untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab dari tergugat.19

“Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin Sita terhadap harta perkawinan didalam UU No. 1 Tahun 1974 dimungkinkan untuk dilakukan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut PP No. 9 Tahun 1975) yang menyatakan bahwa :

17 M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag), (Bandung : Pustaka, 1990), hal. 142.

18 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal. 64

19 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan Keenam belas, (Jakarta : Sinar Grafika, 2016), hal. 369.

(27)

terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”.20

Walaupun rumusannya tidak begitu tegas, namun isi yang terkandung di dalamnya merupakan isyarat adanya hak bagi istri atau suami untuk mengajukan permintaan sita terhadap harta perkawinan selama proses pemeriksaan perkara perceraian berlangsung.21

a. Memberi hak kepada suami istri untuk mengajukan sita marital atas harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung, dan

Rumusan pasal ini tidak secara tegas mengarah kepada upaya tindakan penyitaan harta perkawinan. Akan tetapi di dalam kalimat

“menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang”, pada hakekatnya sudah tersirat makna tindakan atau upaya penyitaan terhadap harta perkawinan. Dan tindakan yang dianggap dapat menjamin terpeliharanya harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung adalah sita jaminan (conservatoir beslag) yang disebut sita marital. Dengan demikian maksud yang terkandung dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No.9 Tahun 1975 adalah:

b. Pengadilan berwenang untuk mengabulkan sita marital agar terjamin pemeliharaan dan keutuhan harta perkawinan selama proses perkara perceraian masih berlangsung.

Ada sesuatu hal yang dianggap terlampau sempit dalam aturan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975. Menurut pasal ini, pengajuan permintaan sita

20 Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No.9 Tahun 1975

21 Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundangan Tentang Perkawinan, Edisi Pertama, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1986), hal. 25.

(28)

marital ke pengadilan hanya terbatas jika ada perkara perceraian. Hal ini secara tegas disebut dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975 dalam kalimat

“selama berlangsungnya gugatan perceraian”. Secara a contorario, kalau tidak ada gugatan perceraian, maka tidak dapat mengajukan permintaan sita marital. 22

Menurut Abdul Manan, pernyataan terhadap sita marital dalam kerangka UU No. 1 Tahun 1974 adalah kurang etis.23 Adapun istilah yang dianggap kurang pas dan cocok dengan pandangan filosofis UU No. 1 Tahun 1974 adalah sita harta bersama dan ini sesuai dengan legal term sebagaimana tersebut dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut. Oleh karena itu penggunaan sita harta bersama perlu dibakukan agar menjadi law standard. Padahal aturan yang seperti ini sangat penting, guna melindungi hak istri terhadap harta bersama pada satu sisi, dan melindungi keutuhan harta perkawinan pada segi yang lain. Kelalaian pembuat Undang-Undang mengatur hal yang demikian, merupakan hambatan bagi istri membela haknya terhadap suami yang boros dan berkelakuan tidak baik. Karena hak untuk mengajukan sita marital hanya diperkenankan apabila ada sengketa perceraian.24

Seiring dalam pelaksanaannya, terdapat sebuah perselisihan mengenai permasalahan harta bersama yakni contohnya pada putusan perkara perdata No.

2188/Pdt.G/2012/PA JS dimana terdapat pengajuan permohonan sita marital yang diajukan oleh istri sebagai Pemohon kepada suaminya sebagai Termohon, yang masih dalam status perkawinan yang terdapat di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Permohonan ini diajukan oleh istri kepada suami, dimana istri telah mengajukan

22 Mulyadi, Op.Cit., hal. 16.

23 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 50.

24 Ibid.

(29)

gugatan cerai terhadap suaminya akan tetapi masih dalam proses persidangan dan belum mencapai putusan. Dengan demikian, dalam hal ini antara Pemohon dan Termohon masih dalam ikatan perkawinan yang sah dan permohonan sita marital yang diajukan oleh istri selaku Pemohon berdasar pada permohonan sita marital diluar gugatan perceraian.

Apabila suami atau istri menginginkan agar semua masalah yang berkaitan dengan perceraian (salah satunya pembagian harta bersama) sekaligus tuntas, maka Pengadilan Agama memperbolehkan suami atau istri tersebut untuk menggabungkan tuntutan perceraian dengan tuntutan pembagian harta bersama tersebut dalam satu surat gugatan (disebut kumulasi obyektif). Untuk penggabungan tuntutan atau kumulasi obyektif ini tidak diisyaratkan dengan keharusan adanya hubungan yang erat antara tuntutan satu obyek dengan tuntutan obyek lainnya, kecuali mengenai 25

1. Untuk tuntutan tertentu yang diperlukan acara khusus seperti, perceraian dalam sidang tertutup untuk umum seharusnya tidak digabungkan dengan tuntutan lain yang harus diperiksa dengan acara biasa, demikian pula suatu perkara tidak dapat digabungkan dengan perkara lain yang menjadi kewenangan lingkungan peradilan lain.

:

2. Demikian pula yang menyangkut kewenangan relatif, bahwa salah satu obyek sengketa merupakan kewenangan pengadilan lain.

3. Tuntutan tentang “bezit” tidak dapat digabungkan dengan tuntutan tentang

“eigendom”.

25 H. Hensyah Syahlani, Pembuktian Dalam Beracara Perdata dan Teknis Penyusunan Putusan Pengadilan Tinngkat Pertama, (Jakarta: Grafgab Lestari, 2007), hal.72-73.

(30)

Selanjutnya menurut acara perdata, kumulasi obyektif diperkenankan asal berkaitan langsung yang merupakan satu rangkaian kesatuan (biasanya kausaliteit).

Mereka yang mengerti beracara selalu akan mempergunakan kumulasi obyektif itu.26 Ditinjau dari segi berperkara, tata cara seperti ini paling efisien dan tidak banyak membuang waktu, karena pada saat penggugat mengajukan gugatan, sekaligus mencakup gugatan pokok (gugatan perceraian) dengan gugatan pembagian harta bersama.27

Dalam pengajuan permohonan sita marital di Peradilan Agama yakni berdasarkan Pasal 95 ayat (1) KHI dan Pasal 186 KUH Perdata, istri sebagai Pemohon dapat mengajukan permohonan sita marital kepada Pengadilan Agama terhadap harta bersama, sekalipun di luar adanya permohonan gugatan cerai.

Gunanya adalah untuk melindungi harta bersama dari perbuatan salah satu pihak yang Adapun kebolehan menggabungkan gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama ini, berdasar pada Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yaitu : “Gugatan soal penguasaan anak , nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat mengajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Berdasarkan pasal tersebut, terdapat pilihan bagi penggugat, apakah dia ingin menggabung gugatan perceraian dengan pembagian harta bersama, atau akan menggugatnya tersendiri setelah perkara perceraian memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

26 Raihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 66.

27 M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Cet. Pertama, (Jakarta, Sinar Grafika, 2001), hal. 267.

(31)

merugikan, seperti mabuk, judi, boros dan sebagainya,28

B. Perumusan Masalah

dan dalam hal putusan perkara perdata No. 2188/Pdt.G/2012/PA JS Pemohon mengajukan permohonan sita marital namun ia telah mengajukan gugatan perceraian pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Hal ini tidaklah sesuai dengan apa yang dianut dalam Pasal 95 ayat (1) KHI dan Pasal 186 KUH Perdata. Untuk itulah, maka dilakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Permohonan Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Diluar Gugatan Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan No.

2188/Pdt.G/2012/PA JS)”.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas dalam penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan sita marital atas sengketa harta bersama ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ?

2. Apa yang menjadi alasan pengajuan sita marital oleh istri selaku Pemohon dalam putusan perkara perdata No. 2188/Pdt.G/2012/PA JS ?

3. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan sehingga menolak permohonan sita marital Pemohon seluruhnya dalam putusan perkara perdata No. 2188/Pdt.G/2012/PA JS ?

28 M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Op.Cit., hal. 374.

(32)

C. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan yang ada diatas, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis penerapan sita marital atas sengketa harta bersama ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

2. Untuk menganalisis alasan pengajuan sita marital oleh istri selaku Pemohon dalam putusan perkara perdata No. 2188/Pdt.G/2012/PA.

3. Untuk menganalisis pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan sehingga menolak permohonan sita marital Pemohon seluruhnya dalam putusan perkara perdata No. 2188/Pdt.G/2012/PA JS.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, adapun beberapa manfaat dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada.

(33)

Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman dan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan sita marital pada khususnya, terutama mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Permohonan Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Diluar Gugatan Perceraian Menurut UU No.

1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam dalam Putusan No.

2188/Pdt.G/2012/PA JS.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian dibidang yang sama yakni dalam hal sita marital.

Selain itu bagi praktisi khususnya Hakim, diharapkan dapat menerapkan aturan sita marital dalam mengadili dan menyelesaikan perkara sesuai dengan perkembangannya sehingga dapat menjamin kepentingan pihak-pihak yang berperkara agar tidak ada yang dirugikan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul

“Tinjauan Yuridis Terhadap Permohonan Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Diluar Gugatan Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

(34)

Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan No.

2188/Pdt.G/2012/PA JS)” belum ada yang membahasnya.

Namun ada beberapa judul penelitian sebelumnya yang membahas masalah harta bersama, seperti penelitian yang dilakukan oleh :

1. Lusinda Maranatha Siahaan (027011037), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Putusnya Perkawinan Karena Perceraian (Studi Pada Masyarakat Batak Toba Kristen di Kota Medan)”. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :

a. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen di Kota Medan?

b. Bagaimana pengertian harta bersama dalam perkawinan pada masyarakat Batak Toba Kristen di Kota Medan?

c. Bagaimana upaya yang dilakukan para pihak untuk menyelesaikan pembagian harta bersama dalam hal perkawinan putus karena perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen di Kota Medan?

d. Bagaimana besarnya hak masing-masing suami istri atas harta bersama dalam hal putusnya perkawinan karena perceraian pada masyarakat Batak Toba Kristen di Kota Medan?

2. Ismy Syafriani Nasution (077011030) , Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan

(35)

Kompilasi Hukum Islam”. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :

a. Bagaimana akibat hukum penyelesaian sengketa terhadap harta bersama menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ?

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan pembagian harta bersama akibat hukum perceraian ?

c. Bagaimanakah akibat hukum penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan pemeliharaan anak dari pembagian harta bersama setelah terjadinya perceraian dikaitkan dengan perjanjian perkawinan ?

3. Lydia Natalia Tanaka (107011042), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :

a. Bagaimana kedudukan hukum harta bersama dalam perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan dalam hal terjadinya perceraian antara suami istri ?

b. Bagaimana penerapan ketentuan hukum positip tentang sita marital dalam perkara pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian suami istri ?

(36)

c. Apakah yang menjadi dasar pengajuan sita marital oleh istri selaku penggugat dalam perkara perdata antara Felicia Juliati melawan Iwan Gunawan dahulu Tjioe Kok An dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 390 / K / Pdt / 2002, tanggal 26 Maret 2007 serta konsekwensi hukumnya ?

Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.29 Dalam setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data. Suatu kerangka teori mempunyai beberapa kegunaan bagi suatu penelitian, yakni :30

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

29 M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Madju,1994), hal. 80.

30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 121.

(37)

b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi- definisi.

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh faktor- faktor tersebut akan timbul lagi pada masa mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.31 Teori menempati tempat yang terpenting dalam penelitian, sebab teori memberikan sarana untuk merangkum dan memahami masalah yang dikaji secara lebih baik. Hal-hal yang pada awalnya terlihat tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditujukan kaitannya satu sama lain secara bermakna, sehingga teori berfungsi memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dikaji.32

31 Ibid., hal. 6

32 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 53.

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan penemuan- penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori

(38)

merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.33

Dalam menjawab rumusan permasalahan yang ada, kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan ini adalah teori kepastian hukum.

Teori kepastian hukum oleh Gustav Radbruch menyatakan bahwa ”sesuatu yang dibuat pasti memiliki cita atau tujuan”.34 Jadi, hukum dibuat pun ada tujuannya, tujuannya ini merupakan suatu nilai yang ingin diwujudkan manusia, tujuan hukum yang utama ada tiga, yaitu: keadilan untuk keseimbangan, kepastian untuk ketetapan, dan kemanfaatan untuk kebahagian.35

Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.36

Dalam kasus Putusan No.2188/Pdt.G/2012/PA JS, istri sebagai Pemohon ingin meminta kepastian hukum dalam hal ini mengenai permohonan sita marital

Dalam penelitian ini, kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum dalam hal sita marital terhadap harta bersama dimana dalam sita marirtal ini perlu adanya pengaturan khusus dalam penerapannya sehingga menciptakan kepastian hukum yang memberikan keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pihak-pihak tertentu.

33 M.Solly Lubis, Op.Cit., hal. 17.

34 Muhamad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi krisis terhadap hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 123.

35 Moh.Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta : LP3S 2006), hal. 63.

36Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta : Gunung Agung, 2002), hal. 82-83 .

(39)

karena Pemohon merasa khawatir Termohon akan merugikan dan membahayakan harta bersama sehingga Pemohon meminta agar Pengadilan Agama Jakarta Selatan mengabulkan permohonan sita marital yang telah Ia ajukan demi keselamatan harta bersama. Dengan adanya penyitaan terhadap harta bersama, maka seluruh harta bersama akan terlindungi dan tidak dapat beralih kepada pihak lain, sehingga dengan sendirinya hak Pemohon terhadap harta akan terlindungi dan terciptalah kepastian hukum. Kepastian hukum tersebut dibutuhkan demi tegaknya ketertiban dan keadilan khusus nya kepada pihak yang berperkara. Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keberadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasana kekacauan sosial.37

Pengaturan sita marital sendiri dapat dilihat dalam Pasal 190 BW (Burgerlijk Wetboek), Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 78 huruf c UU No.

Sita marital pada dasarnya adalah salah satu jenis dari sita jaminan, akan tetapi jenis sita ini adalah bertujuan untuk membekukan harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan melalui penyitaan agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian/pembagian harta bersama berlangsung. Dalam konteks ini pembekuan harta bersama tersebut adalah harta bersama yang dikuasai langsung baik oleh penggugat/pemohon atau tergugat/termohon sehingga tujuan dari sita marital sendiri adalah untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.

37 M.Yahya Harahap, Pembahasan,Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal.76.

(40)

7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama 38, Pasal 136 ayat (2) huruf b KHI39, serta Pasal 823-830 RV. Suami maupun istri berdasarkan Pasal 24 PP No. 9 Tahun 1975 sama-sama mempunyai hak untuk mengajukan sita marital. Permohonan sita marital dapat dibenarkan jika ada alasan bahwa tindakan suami/istri telah secara nyata memboroskan harta bersama yang dapat menimbulkan kerugian bagi tergugat/termohon dan jika tidak adanya ketertiban dalam mengelola dan mengurus harta bersama yang dapat membahayakan keutuhan harta bersama.40

Sudah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam hidup bermasyarakat diperlukan aturan-aturan yang bersifat umum.41 Undang-undang yang berisi aturan- aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.42

Dengan demikian, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat

38 Pasal 78 huruf c UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa

“menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”.

39 Pasal 136 ayat (2) huruf b KHI menyatakan bahwa “menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”.

40Anggara, Makalah Sita Marital, 9 Juli 2008, diperoleh dari http://anggara.org , terakhir kali diakses pada tanggal 2 Februari 2017.

41 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 157.

42 Ibid., hal. 158.

(41)

umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.43

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.

Meskipun aturan hukum atau penerapan hukum terasa tidak adil dan tidak memberikan manfaat yang besar bagi mayoritas warga masyarakat, hal itu tidak menjadi soal, asalkan kepastian hukum dapat terwujud. Hukum identik dengan kepastian44. Salah satu penganut aliran positivisme yang terpenting adalah John Austin, yang inti ajarannya, hukum adalah perintah pihak yang berdaulat. Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas dapat disebut demikian yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan dan keburukannya.45 Sementara Mahfud MD menyatakan bahwa walaupun secara prinsip harus diutamakan adalah kepastian hukum namun juga harus dititikberatkan kepada keadilan dan kemanfaatan.46

Selain teori kepastian hukum tersebut, dalam penelitian ini digunakan teori perlindungan hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif

43 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hal 23.

44 Ibid., hal. 83.

45 Ibid., hal. 266-267.

46 Mahfud MD , Asas Keadilan dan Kemanfaatan, Suara Karya, 12 Desember 2006.

(42)

maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.47

Menurut Satjipto Rahardjo48

Selain itu menurut Setiono

mengatakan :

“Perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu Hak Asasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.”

49

47 Rahayu, Pengangkutan Orang, 2009, diperoleh dari

:

“Perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.”

http://etd.eprints.ums.ac.id terakhir kali diakses pada tanggal 4 April 2017.

48Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta : Kompas, 2003), hal.121.

49 Setiono, Rule of Law, (Surakarta : Disertasi dalam Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2004), hal. 3.

(43)

Suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut50

Perlindungan hukum bagi warga Negara Indonesia adalah perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila.

:

1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya.

2. Jaminan kepastian hukum.

3. Berkaitan dengan hak-hak warga negara.

4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.

Dalam penelitian ini, kerangka teori yang digunakan mengacu pada teori perlindungan hukum, dimana dalam kasus Putusan No.2188/Pdt.G/2012/PA JS, istri sebagai Pemohon meminta perlindungan hukum agar hak nya tidak dilanggar terkait dengan harta bersama. Pemohon merasa dirugikan atas perbuatan sang suami yang dinilai merugikan dan membahayakan harta bersama. Terkait dengan hal ini, dalam prakteknya perempuan memang sering sekali mendapatkan perlakuan yang tidak adil sehingga perlu mendapatkan perhatian khususnya dalam perlindungan hukum.

51

50 Ibid.

51 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya : Bina Ilmu, 1987), hal. 25.

Perlindungan hukum yang diberikan kepada warga negara Indonesia sangat diperlukan demi terciptanya peraturan umum dan kaidah hukum yang berlaku umum. Demi terciptanya fungsi hukum sebagai masyarakat yang tertib diperlukan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau peraturan serta jaminan atas terwujudnya kaidah hukum dimaksud dalam praktek hukum dengan kata lain adanya jaminan penegakan hukum yang baik dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa membeda-bedakan suku ras serta kedudukan sosialnya

(44)

serta tidak membeda-bedakan gender.52 Perlindungan hukum atau legal protection merupakan kegiatan untuk menjaga atau memelihara masyarakat demi mencapai keadilan. Kemudian perlindungan hukum dikonstruksikan sebagai bentuk pelayanan, dan subjek yang dilindungi.53

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analistis.

2. Konsepsi

54 Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Konsepsi ini bertujuan untuk menghindari salah pengertian atau penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini.55

a. Sita adalah penyitaan atas harta kekayaan milik seseorang, baik barang bergerak atau barang tak bergerak untuk menjamin hak-hak si penggugat dalam perkara perdata, atau atas barang-barang untuk mendapatkan bukti Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar atau istilah, agar di dalam pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :

52 Munir Fuady , Aliran Hukum Kritis (paradigm ketidak Berdayaan Hukum), Cet. 1, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 40.

53 Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Cet. 1, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2013), hal. 261.

54 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Op.Cit., hal. 21.

55 Ibid.

(45)

dalam perkara pidana; jaminan barang dibawah kuasa pengadilan sampai proses perkara selesai.56

b. Sita Marital adalah penyitaan yang dilakukan untuk menjamin agar barang yang disita tidak dijual, untuk melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di Pengadilan berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-barang yang disita agar jangan sampai jatuh ditangan pihak ketiga.57

c. Sita Jaminan adalah sita yang diletakkan baik terhadap harta yang disengketakan maupun terhadap harta kekayaan Tergugat yang bergerak maupun yang tidak bergerak atas ganti rugi atau hutang piutang, yang bertujuan untuk memberi jaminan kepada Penggugat, terhadap harta yang disengketakan atau harta milik Tergugat akibat ganti rugi atau hutang piutang, agar tetap ada dan utuh, sehingga sita itu memberi jaminan kepada penggugat bahwa kelak gugatannya “tidak illusoir” atau “tidak hampa” pada saat putusan dieksekusi (dilaksanakan).58

d. Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.59

56 M.Marwan dan Jimmy.P, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan Pertama, (Surabaya : Reality Publisher, 2009), hal. 574.

57 Ibid., hal. 574-575.

58 M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan (Conservatoir Beslag), Op.Cit., hal. 3.

59 Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974.

(46)

e. Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.60

f. Cerai Gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud.61

g. Sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih perkara dalam pengadilan.62

h. Harta Bersama adalah hak milik bersama yang terikat yang terjadi karena perjanjian perkawinan antara suami dan istri berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, dimana perjanjian perkawinan terjadi sejak atau sesudah dilangsungkan perkawinan.63

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sararan dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan, sedangkan cara penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Metode penelitian hukum merupakan suatu cara yang teratur (sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.64

60 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1985), hal. 23.

61 H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.

81.

62 Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hal. 433.

63 M.Marwan dan Jimmy.P, Op.Cit., hal. 249-250.

64 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum , Cetakan ke-1, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 57.

Pada

(47)

penelitian hukum ini menjadikan bidang ilmu hukum sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya. Menurut Soejono Soekanto65

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif maksudnya untuk mengetahui dan memperoleh gambaran secara menyeluruh dan sistematis tentang peraturan yang dipergunakan

, yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang timbul dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (doctrinal). Sebagai sebuah penelitian hukum normatif (juridis normatif), titik berat penelitian adalah pada penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder. Penelitian ini menggunakan penelitian normatif yang bersifat kualitatif yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum yang selalu berkaitan dengan filosofi hukum.

66 berkaitan dengan sita marital. Analisis maksudnya menguraikan secara cermat terhadap aspek-aspek hukum dari apa yang telah digambarkan secara menyeluruh dan juga sistematis dari permasalahan yang dikemukakan.67

65 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 43

66 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta :, Prenada Media Group, 2009), hal.

22.

67 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait