BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut UUP No. 1 Tahun 1974), berbunyi bahwa
“perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Apabila mereka
melangsungkan perkawinan maka timbulah hak dan kewajiban antara suami-istri
secara timbal balik, demikian juga akan timbul hak dan kewajiban antara orang
tua dan anak secara timbal balik.1
Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka UUP No.
1 Tahun 1974 mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian
berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia,
kekal dan sejahtera akibat perbuatan manusia. Lain halnya terjadi putus
perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa
yang tidak dapat dielakkan manusia.2
Dengan lahirnya UUP No. 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974
yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 yakni sejak mulai
1
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang,Universitas Diponegoro, 2008), hal 6.
2
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (selanjutnya disebut PP
No. 9 Tahun 1975) sebagai peraturan pelaksanaannya, maka perceraian tidak
dapat bisa lagi dilakukan dengan semaunya seperti banyak terjadi pada masa
sebelumnya, melainkan harus dengan prosedur tertentu dan hanya boleh dilakukan
kalau ada alasan atau alasan-alasan yang dapat dibenarkan.3
Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan
perceraian, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UUP No. 1
Tahun 1974, dan diulang lagi dengan bunyi yang sama dalam Pasal 19 PP No. 9
Tahun 1975 adalah
Menurut Pasal 38 UUP No. 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan
disebabkan karena 3 (tiga) hal, yaitu : a. Kematian, b. perceraian dan c. atas
keputusan pengadilan. Terjadinya peristiwa-peristiwa dalam rumah tangga, yaitu
perselisihan, pertengkaran atau percekcokkan antara suami istri akan
mengakibatkan terjadinya perceraian, jika tidak diselesaikan dengan baik.
4
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya serta sukar disembuhkan;
:
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;
3
Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Edisi Pertama, (Jakarta, Media Sarana Press, 1986), hal 50.
4
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan-alasan perceraian tersebut menurut R.Sardjono, sifatnya limitatif
artinya tidak ada alasan lain yang dapat dipergunakan untuk bercerai selain yang
disebut Undang-Undang.5
Pembuat Undang-Undang ternyata tidak memberikan penjelasan apa-apa
kecuali disebutkan “cukup jelas” terhadap alasan-alasan itu. Padahal dalam
perumusan alasan-alasan perceraian tersebut sifatnya masih terlalu umum,
karenanya perlu penafsiran yang sesuai dengan jiwanya, agar kesalahan
pengertian dari masyarakat dapat dihindarkan. Sehubungan dengan ini maka
peranan yurisprudensi terutama dari Mahkamah Agung sangat besar sekali dalam
menginterpretasi dan memberi arti alasan-alasan perceraian tersebut.6
“Untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Adapun alasan-alasan perceraian dalam UUP No. 1 Tahun 1974 tersebut
apabila ditinjau dari segi tujuan perkawinan yaitu :
7
5
R.Sardjono, Masalah Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan 1974 Nomor 1, Burgerlijk Wetboek Indonesia, Burgerlijk Wetboek Belanda Lama dan Burgerlijk Wetboek Belanda Baru, (Jakarta, Academica, 1979), hal 26.
6
Ibid.
7
Pasal 1 UUP No. 1 Tahun 1974.
.
Maka dari uraian diatas dapat dilihat bahwa apabila tujuan perkawinan
tersebut tidak mungkin lagi akan tercapai, maka sudah sewajarnya rumah tangga
Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka suami atau istri dapat
mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama
setempat, yaitu untuk mengajukan cerai talak atau cerai gugat.8
Putusan perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat hukum
terhadap :
Cerai talak adalah
diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam sedangkan cerai gugat, adalah diperuntukkan bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya selain agama
Islam dan bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama
Islam. Kemudian hakim akan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada
pihak suami atau istri setelah diterimanya surat gugatan. Hakim akan menawarkan
kepada para pihak untuk menghendaki perdamaian atau tidak. Jika tidak
menghendaki perdamaian, maka hakim akan memutuskan putusan gugatan
perceraian tersebut yang dilakukan dalam sidang terbuka yang dapat dihadiri oleh
umum, dihitung sejak saat pendaftaran putusan perceraian itu di Kantor Catatan
Sipil.
9
1. Orang tua / anak
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Pasal 41 UUP
No. 1 Tahun 1974 ialah :
a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
8
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1980), hal 38.
9
b. Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Mengenai kedudukan anak, apabila anak sudah dewasa dapat mengikuti
ayahnya dan apabila anak belum dewasa mengikuti ibunya. Apabila anak-anak
sudah menjadi dewasa, keputusan diserahkan kepada mereka hendak mengikuti
ayah atau ibunya. Dalam melakukan pembagian harta benda perkawinan harus
memperhatikan kepentingan anak dan kepada siapa akan diserahkan Tentang
pemeliharaan, dan pendidikan anak.
Mengenai status suami istri yang telah bercerai menjadi duda atau
janda, dapat melakukan perkawinan kembali dengan orang lain, dengan
memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh UUP No. 1 Tahun
1974.
2. Harta benda perkawinan
Ketentuan mengenai harta benda perkawinan dalam UUP No. 1 Tahun
1974 diatur dalam Pasal 35, 36, dan 37.10
10
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta, Tinta Mas, 1975), hal 24-25.
Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan, menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami
istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (1) dan (2) UUP No. 1 Tahun 1974).
Harta bawaan suami atau istri kembali kepada para pihak masing-masing, yang
Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak. Harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal
36 ayat (1) dan (2) UUP No. 1 Tahun 1974). Bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Adapun
yang dimaksud menurut hukumnya masing-masing yaitu menurut hukum agama,
hukum adat, dan Kitab Undang-undnag Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata) (Penjelasan Pasal 37 UUP No. 1 Tahun 1974).
Para pencari keadilan (justiabelen), tentu mengharapkan agar keadilan dan
perlindungan hukum yang diperolehnya menjadi kenyataan. Untuk menjamin
hak-hak pencari keadilan tersebut maka hukum memberi jalan dengan hak-hak baginya
untuk mengajukan permohonan sita terhadap barang - barang sengketa atau yang
dijadikan jaminan. Didalam praktik dikenal ada 4 (empat) macam sita yaitu 11
a. Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)
:
b. Sita Hak Milik (Rivindicatoir Beslag)
c. Sita Harta Bersama (Maritale Beslag)
d. Sita Eksekusi (Executorial Beslag)
Setiap sita mempunyai tujuan tertentu (berbeda-beda) namun tujuan akhir
daripada sita tidak lain untuk menjamin agar :
1) Putusan Hakim secara nyata dapat diwujudkan
2) Putusan Hakim tidak hampa karena barang sengketa telah
tiada/dipindahtangankan.
11
Apabila terjadi sengketa perceraian di Pengadilan untuk pembagian harta
bersama perkawinan terdapat bentuk sita khusus yang diterapkan terhadap harta
bersama suami istri yang disebut dengan sita marital.12
1) Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri :
Perkataan marital tetap
seperti istilah aslinya dalam bahasa Belanda, tidak diIndonesiakan. Istilah sita
marital berasal dari maritale beslag yang disebut juga dengan sita matrimonial
(matrimonial beslag), bahkan pada saat ini dalam perkembangan hukum Belanda
lebih populer dengan sebutan matrimonial beslag, karena mengandung makna
kesetaraan antara suami istri dalam perkawinan. Sedang istilah sita marital
mengandung konotasi yang menempatkan istri dibawah kekuasaan suami dalam
perkawinan, yang dikenal dengan lembaga matriale macht sebagaimana selama
ini digariskan dalam Pasal 105 dan 106 KUHPerdata, yang menegaskan :
- memberi bantuan kepada istri dimuka pengadilan, dan
- mengemudikan harta milik pribadi istri
2) Setiap istri harus tunduk-patuh kepada suami (Pasal 106
KUHPerdata).
Demikian kesan diskrimianatif yang terkandung dalam perkataan sita
marital, dan dianggap layak untuk menggantinya dengan istilah sita matrimonial.
Dalam sistem hukum di Indonesia dapat dipergunakan istilah sita harta bersama,
sebutan ini memperlihatkan kedudukan yang setara (equal) antara suami istri
dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan itu secara tegas dirumuskan dalam
Pasal 31 ayat (1) UUP No.1 Tahun 1974, bahwa hak dan kedudukan istri
12
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Bahkan pada ayat (2) ditegaskan
lagi, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Sehubungan dengan hal ini beralasan kiranya dipergunakan istilah tersebut tanpa
mengurangi kemungkinan penggunaan istilah sita marital.13
Tujuan Maritale Beslag sudah jelas, untuk menjamin agar harta
perkawinan tetap utuh dan terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Apalagi, jika selama proses pemeriksaan perkara telah
terjadi pemisahan tempat tinggal atas izin hakim, semakin besar kemungkinan
terancam keutuhan dan pemeliharaan harta perkawinan. Misalnya atas persetujuan
hakim istri sudah terpisah tempat tinggalnya selama pemeriksaan perkara
berlangsung, dan harta perkawinan semuanya dikuasai suami untuk menjual atau
menggelapkan sebagian dari harta perkawinan (harta bersama) Undang-Undang
memberi hak kepada istri untuk mengajukan permohonan Maritale Beslag.14
Pada dasarnya, Maritale Beslag sama dan serupa dengan Sita Jaminan
(Conservatoir Beslag). Sita ini merupakan pengkhususan yang hanya dapat
berfungsi terhadap jenis perkara sengketa perceraian. Jika berorientasi kepada
ketentuan Pasal 215 KUHPerdata, Maritale Beslag adalah perwujudan sita
jaminan. Pada kalimat terakhir Pasal 215 ayat (1) KUHPerdata tersebut
menyatakan bahwa “tak mengurangi keleluasaan istri untuk mengamankan
13
Djokoprakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta, Bina aksara, 1987), hal 52.
14
haknya dengan mempergunakan upaya-upaya seperti yang diatur dalam ketentuan
hukum acara perdata”.15
“Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat
atau Tergugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami
istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang
menjadi hak istri”
Dalam Undang-Undang Perkawinan dimungkinkan melakukan sita
terhadap harta perkawinan, ini diatur dalam PP No. 9 Tahun 1975 yang
menyatakan bahwa :
16
Walaupun rumusannya tidak begitu tegas, namun isi yang terkandung di
dalamnya merupakan isyarat adanya hak bagi istri atau suami untuk mengajukan
permintaan sita terhadap harta perkawinan selama proses pemeriksaan perkara
perceraian berlangsung. .
17
Rumusan pasal ini memang kurang jelas mengarah kepada upaya tindakan
penyitaan harta perkawinan. Akan tetapi dengan memperlihatkan kalimat
“menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang”,
pada hakekatnya sudah tersirat makna tindakan atau upaya penyitaan terhadap
harta perkawinan. Dan tindakan yang dianggap dapat menjamin terpeliharanya
harta perkawinan selama proses perkara perceraian berlangsung adalah sita
15
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan Ketujuh, (Bandung, Sumur, 1981), hal 39.
16
Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975
17
jaminan (conservatoir beslag) yang disebut Maritale Beslag. Dengan demikian
maksud yang terkandung dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c adalah :
a) Memberi hak kepada suami istri untuk mengajukan Maritale
Beslag atas harta perkawinan selama proses perkara perceraian
berlangsung, dan
b) Pengadilan berwenang untuk mengabulkan Maritale Beslag agar
terjamin pemeliharaan dan keutuhan harta perkawinan selama
proses perkara perceraian masih berlangsung.
Ada sesuatu hal yang dianggap terlampau sempit dalam aturan Pasal 24
ayat (2) huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975. Menurut pasal ini, pengajuan
permintaan Maritale Beslag ke pengadilan hanya terbatas jika ada perkara
perceraian. Hal ini secara tegas disebut dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c PP Nomor
9 Tahun 1975 dalam kalimat “selama berlangsungnya gugatan perceraian”. Secara
a contrario, kalau tidak ada gugatan perceraian, istri tidak dapat mengajukan
permintaan Maritale Beslag.18
Namun hal ini berbeda dengan apa yang diatur pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 186 KUHPerdata, bisa saja istri
mengajukan permintaan Maritale Beslag kepada pengadilan, apabila istri
mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan (harta perkawinan). KUHPerdata
memperkenankan permintaan Maritale Beslag di luar gugatan perceraian. Dapat
diajukan permintaan Maritale Beslag berdasar gugatan pemisahan harta
18
perkawinan19
1. Mengajukan Maritale Beslag di luar gugatan perceraian.
. Dari ketentuan Pasal 186 KUHPerdata tersebut memberi hak
kepada istri untuk :
2. Mengajukan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang
masih utuh :
a. Apabila kelakuan suami secara nyata memboroskan harta kekayaan
keluarga yang bisa mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga
(Pasal 186 ayat (1) KUHPerdata), atau
b. Apabila cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib, sehingga
tidak terjamin keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama (Pasal
186 ayat (2) KUHPerdata).
Ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 186 KUHPerdata, nampaknya
tidak ada dijumpai dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam PP Nomor 9
Tahun 1975.
Menurut Abdul Manan, pernyataan terhadap sita marital dalam kerangka UUP Nomor 1 Tahun 1974 adalah kurang etis. Adapun istilah yang dianggap kurang pas dan cocok dengan pandangan filosofis UUP No. 1 Tahun 1974 adalah sita harta bersama dan ini sesuai dengan legal term
sebagaimana tersebut dalam Pasal 35 UUP Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.20
Oleh karena itu penggunaan sita harta bersama perlu dibakukan agar
menjadi law standard. Padahal aturan yang seperti ini sangat penting, guna
melindungi hak istri terhadap harta bersama pada satu sisi, dan memperlindungi
19
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002), hal 66.
20
keutuhan harta perkawinan pada segi yang lain. Kelalaian pembuat
Undang-Undang mengatur hal yang demikian, merupakan hambatan bagi istri membela
haknya terhadap suami yang boros dan berkelakuan tidak baik. Karena hak untuk
mengajukan maritale beslag hanya diperkenankan apabila ada sengketa
perceraian21
21
Ibid.
.
Dalam putusan Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon Nomor
330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk tanggal 12 Maret 2014 menyatakan sah secara hukum
mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, menyatakan menurut hukum
bahwa Perkawinan Penggugat Nurjannah binti Abdurrahman dan Tergugat
Marzuki bin M. Naseb, putus karena perceraian dengan segala akibat hukumnya,
menyatakan menurut hukum bahwa sita jaminan yang telah diletakkan oleh
Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon adalah sah dan berharga, serta telah berkekuatan
hukum tetap. Seperti diketahui bahwa sita itu sendiri masing-masing mempunyai
tujuan tertentu, khususnya dalam kasus perkara perdata No.
330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bertujuan untuk
membekukan/menjamin agar barang yang disita berupa harta bersama tidak
dipindahkan/dijual.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) huruf b dan PP No.9 Tahun 1975 beserta
penjelasannya, sita marital berfungsi untuk melindungi hak pemohon sita (baik
Penggugat/Tergugat) selama pemeriksaan sengketa perceraian di Pengadilan
berlangsung dengan menyimpan/membekukan barang-barang yang disita agar
Oleh karena sifatnya hanya menyimpan/membekukan maka apakah sita
marital itu apabila dikabulkan dalam gugatannya perlu dinyatakan sah dan
berharga/tidak dalam amar putusannya, sebab seperti diketahui banyak praktik di
lapangan mengenai sengketa harta bersama dimana dalam amar putusannya
dinyatakan sah dan berharga dan sudah berkekuatan hukum tetap, namun tidak
bisa dilaksanakan pembagian harta bersamanya oleh para pihak karena tidak
ditindak lanjuti dengan adanya sita eksekutorial.
Selain itu ketentuan mengenai pemisahan harta perkawinan yang dibarengi
dengan permintaan sita marital menimbulkan kebimbangan. Sebab menurut
undang-undang dan praktik pengadilan, pengajuan gugatan pemisahan/pembagian
harta perkawinan baru dapat diajukan setelah putusan perceraian memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Seolah-olah selama perkawinan masih berjalan, tidak dimungkinkan
mengajukan pemisahan harta perkawinan. Padahal dilihat dari segi kepentingan
istri atau suami adalah layak memberi hak pengajuan pemisahan harta perkawinan
dalam suatu perkawinan yang masih utuh, apabila secara nyata suami atau istri
suka menghamburkan harta kekayaan bersama.22
22
M.Yahya Harahap, Permasalahan dan Penerapan Sita Jaminan Conservatoir Beslag, Op. Cit, hal 144-145.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, maka penulis
mengambil pokok pembahasan dan topik penulisan skripsi yang berjudul
B. Rumusan Masalah
Ada beberapa masalah pokok yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi
ini, yaitu :
1. Bagaimana penerapan hukum positif Tentang sita marital dalam perkara
pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian antara suami istri ?
2. Apakah sita marital dalam amar putusan hakim yang telah dinyatakan sah
dan berharga dapat ditingkatkan menjadi sita eksekutorial?
3. Apakah yang menjadi dasar pengajuan sita marital oleh mantan istri selaku
Penggugat dalam putusan perkara perdata nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini berusaha memaparkan permasalahan berkaitan
dengan tinjauan yuridis terhadap sita marital atas sengketa harta bersama dalam
perkawinan menurut UUP No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata. Maka berdasarkan
uraian latar belakang di atas secara rinci tujuan pokok dari pembahasan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan penerapan hukum positif Tentang sita marital dalam
perkara pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian antara suami
istri.
2. Untuk menjelaskan peningkatan status sita marital di dalam amar putusan
hakim yang dinyatakan sah dan berharga menjadi sita eksekutorial.
3. Untuk menjelaskan dasar pengajuan sita marital oleh mantan istri selaku
Tentu saja salah satu dari tujuan dari pembuatan dan pembahasan materi
dalam skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
D. Manfaat Penulisan
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, adapun beberapa manfaat
dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
serta pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi bahan kajian lebih
lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada.
Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman
dan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan sita marital
pada khususnya, terutama Tentang aspek hukum sita marital terhadap sengketa
harta bersama dalam perkawinan menurut KUHPerdata dan UUP No. 1 Tahun
1974.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian dibidang yang
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum dapat dibagi dalam dua
kelompok23
Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang digunakan dalam
penelitian normatif. Sedangkan bagi penelitian empiris (sosiologis), studi
kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang dipergunakan
bersama-sama metode lain seperti wawancara, pengamatan (observasi) dan
kuesioner
yaitu penelitian hukum normatif yang terdiri dari penelitian
terhadap asas-asas hukum, penelitian hukum terhadap sistematika hukum,
penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum,
penelitian perbandingan hukum. Sedangkan jenis penelitian hukum kedua
adalah penelitian hukum sosiologis (empiris) yang terdiri dari penelitian
terhadap identifikasi hukum dan penelitian terhadap efektivitas hukum.
24
2. Data dan Sumber Data
. Pada penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian
hukum normatif yaitu sebuah bentuk/ jenis penelitian yang mengandalkan data
dan informasi Tentang hukum, baik bahan hukum pimer, bahan hukum
sekunder maupun bahan hukum tersier.
Penyusunan skripsi ini menggunakan data dan sumber data berupa
bahan hukum primer, sekunder dan tersier.
23
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007), hal 42.
24
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat berupa
Peraturan Perundang-undangan, putusan Pengadilan, yang terdiri dari:
1) Rv (Reglement Op De Rechtsvordering Staatsblad 1847 Nomor 52
jo. 1849 Nomor 63);
2) HIR (Herziene Inlandsch Reglement);
3) RBg (Rechtsreglement Voor de Buitengewesten);
4) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
7) KHI (Kompilasi Hukum Islam).
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat
dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan
hukum primer, yang terdiri dari buku-buku, hasil-hasil penelitian
hukum dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum mengenai sita
marital.
Bahan hukum tersier merupakan bahan pendukung di luar bidang
hukum seperti kamus, ensiklopedia atau majalah yang berkaitan
dengan sita marital.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan suatu penelitian
kepustakaan (Library Research). Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan
dengan cara melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan,
buku-buku, berbagai literatur, dan juga peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tinjauan yuridis terhadap sita marital atas sengketa harta
bersama dalam perkawinan. Metode Library Research adalah mempelajari
sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang dijadikan bahan dalam
penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini termasuk ke
dalam tipe penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakikatnya
merupakan kegiatan untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang
akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :25
a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan
permasalahan yang diteliti.
25
b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan
penelitian.
c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, asas atau doktrin.
d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.
F. Keaslian Penulisan
Untuk mengetahui keaslian penulisan skripsi, sebelum melakukan
penulisan “Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama
Dalam Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawianan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, penulis telah
melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan penelusuran dan
pemeriksaan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, penulisan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Sita
Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kitab Undang-Undang-Undang-Undang
Hukum Perdata” belum pernah dilakukan.
Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan di Perpustakaan
Universitas Cabang Fakultas Hukum/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum
FH USU antara lain :
1. Tinjauan Yuridis Sita Marital Harta Bersama dalam Perkawinan yang
Tidak di Catatkan (Studi Putusan Pengadilan Agama No.
2. Tinjauan Yuridis Pembuatan Perjanjian Kawin Sebelum dan Sesudah
Perkawinan Dilaksanakan Menurut KUHPerdata dan Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 ( Venny RD/920200240)
3. Anak yang Belum Dewasa Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
dan Kedudukannya dalam Harta Warisan dan Hubungannya dengan
Perwalian (Abdul Rahman Sembiring/000221001)
4. Harta Bersama Ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 (Sri Ramahdhani/010222194)
Sekalipun penulisan skripsi ini memiliki sedikit kesamaan dengan
beberapa skripsi yang telah disebutkan diatas, namun permasalahan dan
pembahasan yang diangkat dalam penulisan ini merupakan hasil pemikirin penulis
sendiri dan juga karena referensi dari buku-buku, peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan perkawinan, perceraian, harta bersama dalam perkawianan,
sita jaminan khusus nya sita marital, serta informasi yang diperoleh dari media
cetak dan elektronik.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan
kemudahan dalam membaca, memahami makna dan dapat pula memperoleh
manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat
berhubungan antara satu dengan yang lainnya.
BAB I Pendahuluan, membahas mengenai latar belakang penulisan
penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan dan diakhiri dengan sistematika
penulisan skripsi.
BAB II Tinjauan Umum Tentang Perkawinan, membahas mengenai
perkawinan, perceraian, serta harta bersama dalam perkawinan, dalam hal ini
terkait dengan pengertian, tujuan, dasar hukum, serta hal-hal lain yang berkaitan
dengan perkawinan.
BAB III Tinjauan Umum Tentang Sita, membahas mengenai pengertian
dan tujuan sita, syarat dan alasan penyitaan, bentuk-bentuk penyitaan, ruang
lingkup penerapan penyitaan, prosedur pelaksanaan dan kewajiban juru sita.
BAB IV Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta
Bersama dalam Perkawinan Pada Putusan Nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk,
membahas sita marital pada umumnya, penerapan sita marital dalam pembagian
harta bersama apabila terjadi perceraian, dasar pengajuan sita marital oleh mantan
istri selaku penggugat dalam perkara perdata putusan nomor
330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk, serta peningkatan status sita marital yang dinyatakan sah dan berharga dalam
putusan nomor 330/Pdt.G/2013/Ms-Lsk menjadi sita eksekutorial .
BAB V Kesimpulan dan Saran, merupakan bab terakhir dalam penulisan
skripsi ini dimana penulis akan membuat kesimpulan dari keseluruhan uraian
skripsi sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini dan
memberikan beberapa saran yang diajukan penulis sehubungan dengan tinjauan
yuridis terhadap sita marital atas sengketa harta bersama dalam perkawinan
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kitab