• Tidak ada hasil yang ditemukan

Psikologis Komunikasi Remaja Broken Home Terhadap Konsep Diri Dan Keterbukaan Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Psikologis Komunikasi Remaja Dari Keluarga Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serd

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Psikologis Komunikasi Remaja Broken Home Terhadap Konsep Diri Dan Keterbukaan Diri (Studi Deskriptif Kualitatif Psikologis Komunikasi Remaja Dari Keluarga Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serd"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

PSIKOLOGIS KOMUNIKASI REMAJA BROKEN HOME TERHADAP

KONSEP DIRI DAN KETERBUKAAN DIRI

(

Studi Deskriptif Kualitatif Psikologis Komunikasi Remaja Dari

Keluarga Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri

di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai)

SKRIPSI

RIZA FADLA LUBIS

110904009

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KUMUNIKASI

MEDAN

(2)

PSIKOLOGIS KOMUNIKASI REMAJA BROKEN HOME TERHADAP

KONSEP DIRI DAN KETERBUKAAN DIRI

(Studi Deskriptif Kualitatif Psikologis Komunikasi Remaja Dari Keluarga

Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

RIZA FADLA LUBIS

110904009

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Riza Fadla Lubis

NIM : 110904009

Tanda Tangan:

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : RIZA FADLA LUBIS

NIM : 110904009

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi :PSIKOLOGIS KOMUNIKASI REMAJA BROKEN HOME TERHADAP KONSEP DIRI DAN KETERBUKAAN DIRI (Studi Deskriptif Kualitatif Psikologis Komunikasi Remaja Dari Keluarga Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai)

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ( )

Penguji I : ( )

Penguji Utama : ( )

Ditetapkan di :

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan nikmat iman dan kesehatan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam tak lupa pula saya hanturkan kepada junjungan umat Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita semua dari zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU). Dalam penelitian ini, peneliti dapat belajar dan menerapkan teori-teori yang pernah didapat selama perkuliahan di Jurusan Ilmu Komunikasi khusunya mengenai psikologis komunikasi dan konsep diri serta keterbukaan diri, selain itu penelitian ini juga membuat peneliti semakin tertarik untuk tetap mendalami Ilmu Komunikasi di kemudian hari.

Secara khusus, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orangtua

saya: Bapak Zulkifli Lubis dan Ibu: Mariani, serta adik saya: Muhammad Hafiz Lubis dan Muhammad Faridh Abbas Lubis yang telah memberikan dukungan moril dan materil yang sangat berarti dari segala apapun dalam penyelesaian skripsi ini.

Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak dari masa perkuliahan sampai pada menyusun skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, saya mengucapkan terimakasih kepada :

(1) Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik.

(6)

(3) Bapak Dr.Iskandar Zulkarnain,M.Si selaku Dosen Pembimbing yang setia memberikan ilmu, waktu dan bimbingannya dalam penulisan skripsi ini. (4) Ibu Dewi Kurniawati, DRA,M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang membantu selama perkuliahan.

(5) Seluruh Dosen dan Staf Pengajar yang telah mendidik dan membimbing penulis selama menjadi mahasiswi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

(6) Kelima Informan: Muhammad Ali Akbar Syihab, Mulyani, Zaitun Khamariah, Tomi dan Nurhabibah atas bantuan informasi yang telah diberikan serta telah meluangkan waktu bersedia diwawancara bahkan hingga hal yang bersifat pribadi.

(7) Tommy Putra Sidabutar ANT III yang setia membantu dan selalu memotivasi peneliti dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini.

(8) Nukleous, kelompok yang setia mendoakan peneliti selama masa

penelitian.

(9) Teman-teman Kost Hardupan, yang tetap menghibur dan setia memberi

semangat kepada peneliti.

(10) OJT Angkatan I PT Inalum (Persero), yang tetap memberikan dukungan dan semangat selama proses penelitian.

(11) Seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi khususnya angkatan 2011 FISIP USU yang selama ini setia menjadi teman, tempat berbagi dan memberikan support dari awal hingga selesainya penelitian skripsi ini.

Medan, Januari 2015

Penulis

(7)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Riza Fadla Lubis

NIM : 110904009

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui dan memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-Eksklusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

PSIKOLOGIS KOMUNIKASI REMAJA BROKEN HOME TERHADAP KONSEP DIRI DAN KETERBUKAAN DIRI (Studi Deskriptif Kualitatif Psikologis Komunikasi Remaja Dari Keluarga Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai).

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti non eksklusive ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, Mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada tanggal : 16 Januari 2015

Yang menyatakan

(8)

ABSTRAK

Penelitian yang berjudul Psikologis Komunikasi Remaja Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri: sebuah studi Deskriptif Kualitatif Psikologis Komunikasi Remaja Dari Keluarga Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai, ingin mengkaji mengenai psikologis komunikasi remaja broken home terhadap konsep diri dan keterbukaan diri. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma interpretif dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yang mendeskripsikan dan menjelaskan secara mendalam mengenai permasalahan yang sedang diteliti. Paradigma Interpretif merupakan cara pandang yang bertumpu pada tujuan untuk memahami dan menjelaskan dunia sosial dari kacamata aktor yang terlibat di dalamnya. Melalui metode deskriptif, peneliti ingin memberi gambaran remaja broken home yaitu mengenai psikologis komunikasi, konsep diri dan keterbukaan dirinya. Pemilihan informan dilakukan dengan Purposive Sampling Technique yaitu cara penentuan sejumlah informan sebelum penelitian dilaksanakan dengan menyebutkan secara jelas siapa yang dijadikan informan serta informasi apa yang diinginkan dari masing-masing informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga broken home cenderung memiliki perubahan sikap dan komunikasi terutama didalam keluarga,komunikasi mereka cenderung tertutup dengan orang tua, memiliki sikap sensitif, egois, dan suka murung, sementara pada konsep diri, remaja yang termasuk dalam kelurga broken home cenderung memiliki konsep diri negatif karena mereka memiliki ketertekanan mental sehingga cenderung jatuh dan susah untuk membangunkan kembali semangatnya, serta lebih sensitif terhadap kritikan dan penolakan. Untuk keterbukaa diri sendiri mereka cenderung bebas namun tidak terlalu menyelahgunakan makna kebebasan tersebut, mereka cenderung memiliki kasih sayang yang lebih terhadap salah satu orang tua yang tinggal bersama mereka sehingga ada keterikatan didalam hidup mereka.

(9)

ABSTRACT

The Research title is Adolescent Psychological Communication Broken Home to Self-Concept and Self Disclosure: a research qualitative descriptive about Adolescent Psychological Communication Broken Home to Self-Concept and Self-Disclosure in Tanjung Beringin district, Serdang Bedagai regency, want to examine how the effect of a broken home to psychological communication , self-concept and self-disclosure for adolescent. The paradigm used in this research is an interpretive paradigm by using descriptive qualitative research methods that describe and explain in depth the issues being studied. An interpretive paradigm perspective rests on purpose to understand and explain the social world through the eyes of the actors involved . Through descriptive method, the researcher would like to give an overview adolescents broken home is about psychological communication, self-concept and self disclosure. Selection of informants conducted by purposive sampling Technique is a way of determining a number of informants prior to the study carried out by stating clearly who is used as informants and information what you want from each informant. Its results showed is adolescents who comes from a broken home tend to have a change of attitude and communication, especially in the family, they are to be closed communication with parents, have a sensitive attitude, selfish, and moody, while to self-concept is Adolescent from family that broken home tend have a negative self-concept because they have mental distress so that tends to fall and difficult to reawaken the spirit it, more sensitive to criticism and rejection. To self disclosure is tend they are to be free, but not also abuse of freedom it, they are tend to have more affection towards to parents who live with them so that there is an attachment in their lives.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 8

1.3 Pembatasan Masalah ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian ... 10

2.2 Kajian Pustaka ... 12

2.1.1 Komunikasi ... 12

2.1.2 Psikologi Komunikasi ... 14

2.1.3 Teori Behaviour ... 17

2.1.4 Konsep Diri (Self-Concept)... 21

2.1.5 Teori Keterbukaan Diri (Self Disclosure) ... 29

2.1.6 Keluarga Broken Home ... 33

2.2 Model teoritik ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 37

(11)

3.2 Objek Penelitian ... 38

3.3 Subjek Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 3.4 Kerangka Analisis ... 40

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 40

3.5.1 Penentuan Informan ... 42

3.5.2 Keabsahan Data ... 42

3.6 Teknik Analisis Data ... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 46

4.1.1 Lokasi Penelitian ... 46

4.1.2 Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 47

4.1.3 Deskripsi Informan Dalam Keluarga ... 49

4.1.4 Deskripsi Hasil Penelitian ... 51

4.2 Pembahasan ... 106

4.2.1 Psikologis Komunikasi ... Error! Bookmark not defined. 4.2.2 Konsep Diri ... 110

4.2.3 Keterbukaan Diri (Self Disclosure) ... 116

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 122

5.2, Saran ... 125

DAFTAR REFERENSI

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1 Klasifikasi Psikologi Komunikasi Remaja Broken 98

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Konsep Self Social 18

2.2 Konsep Johari Window 26

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

(15)

ABSTRAK

Penelitian yang berjudul Psikologis Komunikasi Remaja Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri: sebuah studi Deskriptif Kualitatif Psikologis Komunikasi Remaja Dari Keluarga Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai, ingin mengkaji mengenai psikologis komunikasi remaja broken home terhadap konsep diri dan keterbukaan diri. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma interpretif dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yang mendeskripsikan dan menjelaskan secara mendalam mengenai permasalahan yang sedang diteliti. Paradigma Interpretif merupakan cara pandang yang bertumpu pada tujuan untuk memahami dan menjelaskan dunia sosial dari kacamata aktor yang terlibat di dalamnya. Melalui metode deskriptif, peneliti ingin memberi gambaran remaja broken home yaitu mengenai psikologis komunikasi, konsep diri dan keterbukaan dirinya. Pemilihan informan dilakukan dengan Purposive Sampling Technique yaitu cara penentuan sejumlah informan sebelum penelitian dilaksanakan dengan menyebutkan secara jelas siapa yang dijadikan informan serta informasi apa yang diinginkan dari masing-masing informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga broken home cenderung memiliki perubahan sikap dan komunikasi terutama didalam keluarga,komunikasi mereka cenderung tertutup dengan orang tua, memiliki sikap sensitif, egois, dan suka murung, sementara pada konsep diri, remaja yang termasuk dalam kelurga broken home cenderung memiliki konsep diri negatif karena mereka memiliki ketertekanan mental sehingga cenderung jatuh dan susah untuk membangunkan kembali semangatnya, serta lebih sensitif terhadap kritikan dan penolakan. Untuk keterbukaa diri sendiri mereka cenderung bebas namun tidak terlalu menyelahgunakan makna kebebasan tersebut, mereka cenderung memiliki kasih sayang yang lebih terhadap salah satu orang tua yang tinggal bersama mereka sehingga ada keterikatan didalam hidup mereka.

(16)

ABSTRACT

The Research title is Adolescent Psychological Communication Broken Home to Self-Concept and Self Disclosure: a research qualitative descriptive about Adolescent Psychological Communication Broken Home to Self-Concept and Self-Disclosure in Tanjung Beringin district, Serdang Bedagai regency, want to examine how the effect of a broken home to psychological communication , self-concept and self-disclosure for adolescent. The paradigm used in this research is an interpretive paradigm by using descriptive qualitative research methods that describe and explain in depth the issues being studied. An interpretive paradigm perspective rests on purpose to understand and explain the social world through the eyes of the actors involved . Through descriptive method, the researcher would like to give an overview adolescents broken home is about psychological communication, self-concept and self disclosure. Selection of informants conducted by purposive sampling Technique is a way of determining a number of informants prior to the study carried out by stating clearly who is used as informants and information what you want from each informant. Its results showed is adolescents who comes from a broken home tend to have a change of attitude and communication, especially in the family, they are to be closed communication with parents, have a sensitive attitude, selfish, and moody, while to self-concept is Adolescent from family that broken home tend have a negative self-concept because they have mental distress so that tends to fall and difficult to reawaken the spirit it, more sensitive to criticism and rejection. To self disclosure is tend they are to be free, but not also abuse of freedom it, they are tend to have more affection towards to parents who live with them so that there is an attachment in their lives.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 KONTEKS MASALAH

Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia yang tidak akan pernah terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Kita mengetahui bahwa manusia merupakan makhluk yang paling sempurna dimana manusia memiliki akal dan pikiran dalam bertindak dan berperilaku dikehidupan sosialnya. Sebagai makhluk sosial, manusia pada hakekatnya membutuhkan manusia lain untuk bertahan hidup sekaligus saling berinteraksi dengan sesamanya, satu-satunya cara untuk dapat berinteraksi adalah dengan berkomunikasi. Komunikasi juga dapat diartikan sebagai aspek terpenting dan kompleks bagi kehidupan manusia(Morisan,2009:1).

Dengan berkomunikasi manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam komunikasi, melalui komunikasi dapat terjalin interaksi manusia. Interaksi manusia yang paling dasar terjadi didalam sebuah keluarga.

Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan satu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan yang lainnya. Dari dimensi darah dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti, Sedangkan dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial

yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lainnya, walaupun diantara mereka

tidak terdapat hubungan darah. Keluarga berdimensi hubungan sosial ini dinamakan keluarga psikologis (Soekanto, 1990:70-71).

(18)

memiliki peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga (Soelaeman,1994:5-10).

Beberapa pendapat ahli yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia yang telah diikat dengan tali perkawinan. Di dalam keluarga manusia pertama-tama belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain, belajar bekerjasama, tolong-menolong, dan lain-lain. Pengalaman interaksi sosial di dalam keluarga turut menentukan pula cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain. Apabila interaksi sosialnya didalam keluarga berjalan lancar maka besar kemungkinan memiliki tingkah laku yang bagus didalam bermasyarakat. Begitupun sebaliknya, jika interaksi sosial di dalam keluarga tidak berjalan lancar maka besar kemungkinan tingkah lakunya tidak disenangi oleh masyarakat.

Di dalam suatu keluarga tidak jarang terjadi suatu perselisihan dan keributan, hal ini dirasa cukup wajar terjadi. Perbedaan pendapat dan perselisihan terjadi di dalam keluarga karena dalam sebuah keluarga terdapat beberapa kepala dengan pemikiran yang berbeda-beda. Keharmonisan dalam keluarga pun sering

terjadi kerusakan karena adanya sikap emosional antara sesama anggota keluarga. Keharmonisan didalam keluarga akan tetap terjalin apabila sesama anggota keluarga saling memahami, menghormati dan menjalankan perannya masing-masing, namun jika dalam keluarga tidak ada saling menghargai dan menghormati akan berakibat perpecahan dalam keluarga tersebut.

(19)

Ditinjau dari psikologi (dalam Ahmadi,2007:221), remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal dewasa yang dimasuki pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada 18 tahun hingga 22 tahun. Dari sudut batas usia saja sudah tampak bahwa golongan remaja sebenarnya tergolong kalangan yang transasional. Artinya, keremajaan merupakan gejala sosial yang bersifat sementara, oleh karena berada antara usia kanak-kanak dengan usia dewasa. Sifat sementara dari kedudukannya mengakibatkan remaja masih mencari identitasnya, karena oleh anak-anak mereka sudah dianggap dewasa sedangkan oleh orang dewasa mereka masih dianggap anak-anak. Kesulitan-kesulitan mengadakan hubungan yang serasi antara orang tua dengan remaja pasti akan ada, akan tetapi kesulitan-kesulitan itu ada yang dengan mudah teratasi, namun ada pula yang sulit untuk diatasi. Walaupun tidak selalu demikian, akan tetapi ada kecenderungan-kecenderungan umum mengenai masalah-masalah yang sulit atau kurang sulit untuk ditanggulangi. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah itu, Misalnya keadaan sosial-ekonomis, mentalistis, pekerjaan, lingkungan sosial dan seterusnya.

(20)

tindakan-tindakan yang agresif, keluarga itu tidak dapat disebut utuh. (soekanto,1990:73).

Di Indonesia tidak sedikit keluarga yang mengalami perpecahan. perpecahan dalam keluarga dapat terjadi baik antar sesama orang tua, orang tua dengan anak, maupun antar anak dengan anak. Perpecahan orang tua itu dapat berakibat pada perpisahan atau perceraian orang tua dan dalam kenyataannya perceraian orang tua selalu berakibat pada anak-anaknya. Anak-anak selalu menjadi korban atas perceraian orang tuanya. Akibat dari perceraian orang tua itu ada anak-anak yang bisa tetap bangkit dan tidak dijadikan beban hidup atas perceraian orang tuanya. Namun, tidak sedikit pula yang terpuruk atas perceraian orang tuanya. Anak-anak yang terpuruk akibat perceraian orang tua sering menjadi anak-anak yang tidak bisa bangkit dan menjadikan hal ini beban didalam kehidupannya.

Psikologis komunikasi pada anak remaja yang berasal dari keluarga broken home juga mengalami perubahan. Sikap anak broken home dengan anak

yang berasal dari keluarga utuh bisa saja berbeda karena kurangnya komunikasi,

perhatian dan bimbingan dari kedua orang tua. Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak dapat mempengaruhi perubahan sikap anak baik dalam keluarga, teman-teman maupun lingkungannya. Remaja dalam hal ini mempunyai kelabilan sehingga peran keluarga sangat mempengaruhi mereka dalam bersikap. Perubahan struktur didalam keluarga membuat anak harus membiasakan diri atas perbedaan peran orang tuanya, tidak semua anak mampu dalam membiasakan perubahan struktur tersebut, sebagian anak mengalami ketertekanan ketika salah seorang dari orang tua harus pergi meninggalkannya, ketertekanan tersebut berdampak pada sikap mereka yang suka melakukan pelanggaran, egois dan sebagainya, dan adapula anak-anak yang cenderung lebih pendiam dan murung atas perceraian kedua orang tua yang dialaminya.

(21)

broken home, demikian pula sekurang-kurangnya 50% dari anak-anak di

Prayuwana (lembaga atau perkumpulan anak-anak nakal yang pernah melakukan kejahatan) dan penjara anak-anak di Indonesia berasal dari keluarga broken home, dimana hal ini terjadi karena kebebasan pergaulan yang dialami oleh anak-anak broken home. Hal ini merupakan hal yang memprihatinkan, walau tak semua anak

dari keluarga broken home mengalami hal tersebut.

Tidak hanya berakhir pada penilaian orang lain tentang keluarga broken home, anak remaja yang berasal dari keluarga broken home pun memberikan

pandangan dan perasaan tentang dirinya sendiri atau disebut dengan konsep diri. Konsep diri merupakan pandangan atau persepsi kita mengenai siapa diri kita dan itu hanya bisa kita peroleh lewat informasi yang diberikan orang lain kepada kita. Persepsi tentang diri boleh bersifat psikologi sosial dan fisik. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif tetapi juga penilaian tentang diri sendiri. Setiap manusia memiliki konsep dirinya masing-masing begitupun pada anak remaja yang termasuk dalam keluarga broken home ini. Pembentukan konsep diri bisa jadi berubah karena telah menjadi anak broken home atau sama ketika

posisinya sebagai anak yang berasal dari keluarga yang utuh. Penilaian terhadap diri sendiri dapat menimbulkan berbagai perilaku yang berbeda-beda dari setiap orang termasuk pada anak remaja yang berasal dari keluarga broken home. Orang lain merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam pembentukan konsep diri. Konsep diri kita yang paling dini dipengaruhi oleh keluarga, teman dekat dan lingkungan tempat kita tinggal.

(22)

juga anak yang termasuk dalam keluarga broken home memiliki perilaku yang tidak disenangi masyarakat karena kebebasannya dalam bergaul. Perbedaan perilaku pada anak yang termasuk dalam keluarga broken home ini dikarenakan perbedaan dan konsistensi mereka dalam membentuk konsep dirinya masing-masing.

Konsep diri dapat mempengaruhi pada komunikasi interpersonal (Rakhmat 2007:104-109), yaitu:

a. Nubuat yang dipenuhi diri sendiri : setiap orang cenderung bertingkah laku sesuai dengann konsep diri. Bila seseorang berpikir dia bodoh, maka akan benar-benar menjadi orang bodoh. Positif atau negatifnya seseorang tergantung pada konsep diri yang terbentuk. Menurut William D.Brooks dan Philip Emmert ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif : (1) peka terhadap kritik, (2) responsif terhadap pujian, (3) sikap hiperkritis, (4) selalu merasa tidak disenangi orang lain, (5) bersikap pesimis. Sebaliknya orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan : keyakinan akan kemampuan mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu,

kesadaran akan perasaan orang lain dan kemampuan memeperbaiki diri karena merasa sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya.

b. Membuka diri : pengetahuan tentang diri akan meningkatkan komunikasi dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pngalaman dan gagasan-gagasan baru, lebih cermat memandang diri kita dan orang lain.

(23)

d. selektivitas : konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita, karena konsep diri mempengaruhi kepada pesan apakah seseorang bersedia membuka diri (terpaan selektif), bagaimana kita mempersepsi pesan (persepsi selektif) dan apa yang kita ingat (ingatan selektif).

Penelitian ini lebih mengkhususkan pada pengaruh konsep diri terhadap keterbukaan diri seorang anak remaja yang termasuk dalam keluarga broken home. keterbukaan diri dapat terlihat dari cara mereka berkomunikasi dengan

orang lain, bekerjasama dan lain sebagainya. Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi dan self disclosure (keterbukaan diri) seseorang. Menurut Morton (dalam Dayakisni, 2003:87) keterbukaan diri (Self disclosure) merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi didalam keterbukaan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui oleh pendengar, seperti: jenis pekerjaan, alamat dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya seperti tipe orang yang kita suka atau hal-hal yang kita sukai atau kita

(24)

mendapatkan perhatian penuh dari orang tua sehingga anak tidak dapat memilih pergaulan yang positif maupun pergaulan yang negatif.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan, peneliti tertarik meneliti mengenai Psikologis Komunikasi Anak Broken Home Terhadap Konsep diri dan Keterbukaan Diri dengan menggunakan studi Deskriptif Kualitatif. Informan didalam penelitian ini berlokasi di Kabupaten Serdang Bedagai Kecamatan Tanjung Beringin yang merupakan lokasi yang terdiri dari delapan desa dengan jumlah penduduk 41.841 jiwa. Melayu disusul dengan Karo menjadi suku

mayoritas dikecamatan ini.

(http://www.serdangbedagaikab.go.id/bappeda/index.php?mod=home&opt=hasil_ pencarian&id_content= 303).

penduduk di kecamatan ini memiliki banyak pasangan suami istri yang menikah muda, selain itu di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai ini memiliki tingkat keluarga yang mengalami perceraian baik cerai mati maupun cerai hidup sekitar 27%, hal ini menunjukkan lebih dari seperempat penduduk mengalami perceraian dari berbagai latar belakang permasalahan(Sumber: Kepala Lorong Dusun V kecamatan Tanjung Beringin, Kamis, 9 Oktober 2014).

1.2 FOKUS MASALAH

Berdasarkan konteks masalah yang telah diuraikan, maka dapat

dirumuskan fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Psikologis Komunikasi Remaja Broken Home Terhadap Konsep Diri dan Keterbukaan Diri di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai?”

1.3 PEMBATASAN MASALAH

Untuk memperjelas lingkup permasalahan yang akan diteliti agar tidak terlalu luas, maka peneliti membatasi masalah sebagai berikut:

(25)

2. Penelitian ini ingin melihat psikologis komunikasi, konsep diri dan keterbukaan diri dari anak remaja yang termasuk dalam keluarga broken home.

3. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2014 – 10 Januari 2015.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui psikologis komunikasi anak remaja yang termasuk dalam keluarga broken home terhadap konsep diri Dan keterbukaan diri di kecamatan Tanjung Beringin kabupaten Serdang Bedagai.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan dan pembuktian terhadap beberapa teori yang membahas tentang Konsep diri khususnya pada anak remaja yang termasuk dalam keluarga broken home.

2. Secara akademis, penelitian ini menambah pengetahuan dan memperkaya bahan penelitian serta dapat dijadikan sebagai sumber bacaan bagi mahasiswa FISIP USU khususnya Departemen Ilmu Komunikasi.

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 PARADIGMA KAJIAN

Paradigma adalah pendangan mendasar mengenai pokok persoalan, tujuan

dan sifat dasar bahan kajian. Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum. Konseptualisasi, kategorisasi dan deskripsi yang dikembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi penelitian. Paradigma kualitatif mencanangkan pendekatan humanistik untuk memahami realitas sosial para idealis yang memberikan suatu tekanan pada pandangan yang terbuka tentang kehidupan sosial dan paradigma kualitatif ini memandang kehidupan sosial sebagai kreatifitas bersama individu-individu. Oleh karena itu, melalui paradigma kualitatif dapat menghasilkan suatu realitas yang dipandang secara objektif dan dapat diketahui yang melakukan interaksi sosial. (Ghony dan Almanshur,2012:73).

Menurut Maxwell (dalam Ghony dan Almanshur,2012:77), Kelebihan paradigma adalah pemahaman makna, dimana makna merujuk pada kognisi, afeksi, intense dan apa saja yang berada dalam perspektif partisipan. Peneliti bukan saja tertarik pada aspek fisik pada kejadian itu melainkan bagaimana mereka memaknai semua itu dan bagaimana makna itu mempengaruhi tingkah laku informan. Fokus pada makna seperti itu mempengaruhi tingkah laku informan, fokus pada makna seperti itu disebut intrepretif. Dalam kegiatan kajian, paradigma kualitatif dijabarkan ke dalam langkah-langkah, sebagai berikut :

1. penentuan kajian (focus of study) yang mencakup kegiatan memilih

masalah yang memenuhi syarat kelayakan dan kebermaknaan

2. pengembangan kepekaan teoritik dengan menelaah bahan pustaka yang relevan dari hasil kajian sebelumnya

(27)

4. pengembangan protol pemerolehan dan pengolahan data yang mencakup kegiatan menetapkan piranti, langkah dan teknik pemerolehan dan pengolahan data yang digunakan

5. pelaksanaan kegiatan pemerolehan data yang terdiri atas kegiatan mengumpulkan data lapangan atau melakukan pembacaan naskah yang dikaji

6. pengolahan data perolehan yang meliputi kegiatan penyandian (coding), pengkategorian (categorizing), pembandingan (comparing) dan pembahasan (discussing)

7. negosiasi hasil kajian dengan subjek kajian

8. perumusan simpulan kajian yang meliputi kegiatan penafsiran dan penyatu-paduan (interpreting and intergrating) temuan ke dalam bangunan pengetahuan sebelumnya serta saran bagi kajian berikutnya.

Sesuai dengan metodologi penelitian ini yakni penelitian kualitatif, maka dalam penelian ini peneliti menggunakan paradigma interpretatif. Hal ini dikarenakan paradigma interpretif adalah cara pandang yang bertumpu pada

tujuan untuk memahami dan menjelaskan dunia sosial dari kacamata aktor yang terlibat di dalamnya. Artinya bahwa peneliti disini sesuai dengan paradigma interpretatif memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik atau utuh, kompleks, dinamis, penuh makna dan hubungan gejala interaktif (reciprocal). Selain itu, dengan menggunakan paradigma ini hasil penelitian dapat dikaji secara kritis dengan teori yang relevan serta informasi yang akurat yang diperoleh peneliti sendiri dari lapangan. Sifat dasar bahan yang dikaji serta tujuan yang ingin dicapai, bisa saja langkah-langkah tersebut di ubah menurut dinamika di lapangan. Fokus kajian misalnya mungkin mengalami penajaman dan perumusan ulang setelah peneliti melakukan penjajakan lapangan. Tentu saja penajaman ulang perlu dilakukan berdasarkan ketersediaan data serta dimaksudkan untuk meningkatkan kebermaknaan kajian.

(28)

termasuk dalam keluarga broken home dan gambaran konsep diri serta keterbukaan diri masing-masing anak tersebut.

2.2 KAJIAN PUSTAKA

2.2.1 KOMUNIKASI

Secara Etimologi, istilah komunikasi dalam bahasa inggris yaitu communication berasal dari bahasa latin Communicatio yang bersumber dari kata

Communis yang berarti sama. Dalam hal ini adalah sama makna. Maksudnya bila

seseorang mengadakan kegiatan komunikasi dengan suatu pihak, maka orang tersebut cenderung berusaha untuk mengadakan persamaan arti dengan pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya atau menyamakan dirinya dengan yang diajaknya berkomunikasi. Dengan demikian diharapkan akan memperoleh suatu kesepakatan arti. Kesepakatan arti disini dibatasi kepada pengertian bahasa dan makna dari objek yang dipertimbangkan. Perkembangan kegiatan komunikasi ini sendiri sejak permulaan sejarah hingga sekarang ini secara sistematis selalu

diiringi dengan kemajuan yang dicapai manusia. Semakin maju peradaban kehidupan manusia maka semakin maju pula kegiatan komunikasi tersebut, yang

selalu berorientasi kepada pola kehidupan manusia tersebut. Pola komunikasi yang dilakukan manusia suku Indian dengan memakai sandi api adalah sesuai dengan pola peradaban manusia dari suku Indian saat itu. (Lubis, 2011:6-7).

Berbicara mengenai defenisi komunikasi, tidak ada defenisi yang benar maupun salah. Seperti juga model atau teori, defenisi harus dilihat dari kemanfaatannya untuk menjelaskan fenomena yang didefenisikan dan mengevaluasinya. Beberapa defenisi mungkin terlalu sempit, misalnya

“komunikasi adalah penyampaian pesan melalui media elektronik,” atau lebih

luas, misalnya “komunikasi adalah interaksi antara dua makhluk hidup atau

(29)

Carl Hovland (Dalam Lubis:2011:9) mendefenisikan “communication is the process by which an individual (the communication) transmits stimuli (usually

verbal symbol) to modife the behaviour of other individuals (communication)”. Ia

menyatakan bahwa komunikasi adalah proses seseorang menyampaikan rangsangan (biasanya dengan lambang, kata, gambar) guna merubah tingkah laku orang lain.

Perjalanan komunikasi hadir dalam setiap langkah dan bahkan dalam setiap desah nafas manusia yang ada dipermukaan bumi ini, maka kegiatan komunikasi itu pada dasarnya adalah kegiatan dari manusia itu sendiri. Selama manusia melakukan aktivitasnya maka komunikasi terus beraktivitas satu hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan antara aktivitas manusia dengan aktivitas komunikasi.

2.2.1.1 Ruang Lingkup Komunikasi

Ilmu komunikasi membutuhkan ruang lingkup sehingga lebih mudah dimengerti dan dipelajari sebagai suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji

masalah-masalah komunikasi.

Little Jhon (dalam Lubis,2011:31) menjelaskan bahwa ruang lingkup ilmu komunikasi mencakup beberapa hal :

1. Komunikasi merupakan suatu proses yang sangat kompleks dalam segi kehidupan manusia karena untuk memberikan batasan komunikasi itu merupakan suatu yang sulit dan abstrak sifat inflikasinya. Komunikasi bukan sekedar proses penyampaian pertukaran kesamaan menggunakan lambang-lambang yang berarti.

2. Beberapa pengertian komunikasi yang sederhana mengenai komunikasi sering ditampilkan sebagai berikut :

a. Merupakan proses penyampaian komunikasi dengan menyampaikan lambang-lambang yang berarti.

(30)

c. Merupakan proses dengan menggunakan antara sumber dan pandangan.

d. Komunikasi adalah pertukaran informasi.

Berdasarkan uraian tentang ruang lingkup ilmu komunikasi dapat dilihat bahwa komunikasi merupakan proses sosial yang batasannya tidak terlepas dari multidisipliner. Maksudnya, perkembangan studi komunikasi didukung oleh ilmu sosial lainnya.

2.2.2 PSIKOLOGI KOMUNIKASI

Psikologi dan komunikasi merupakan dua ilmu yang saling berkaitan. Komunikasi adalah kegiatan bertukar informasi yang dilakukan oleh manusia untuk mengubah pendapat atau perilaku manusia lainnya, sementara perilaku manusia merupakan objek bagi ilmu psikologi. Psikologi menyebut komunikasi pada penyampaian energi dari alat-alat indera ke otak, pada peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi, pada proses saling mempengaruhi diantara berbagai sistem dalam diri organisme dan diantara organisme. Psikologi mencoba

menganalisa seluruh komponen yang terlibat dalam proses komunikasi. Pada diri komunikan, psikologi memberikan karakteristik manusia komunikan serta faktor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi perilaku komunikasinya. Psikologi juga tertarik pada komunikasi diantara individu, bagaimana pesan dari seseorang individu menjadi stimulus yang menimbulkan respons pada individu yang lain. Psikologi bukan meneliti lambang-lambang yang disampaikan. Psikologi meneliti proses pengungkapan pikiran menjadi lambang, bentuk-bentuk lambang dan pengaruh lambang terhadap perilaku manusia. (Rakhmat,2007:5).

Ketika orang-orang berkomunikasi, mereka meramalkan efek perilaku komunikasi mereka. Dengan kata lain, komunikasi juga terikat oleh aturan atau tata krama. Artinya, orang-orang yang memilih strategi tertentu berdasarkan bagaimana orang yang menerima pesan akan merespons. Prediksi ini tidak selalu disadari dan sering berlangsung cepat. Kita dapat memprediksi perilaku komunikasi orang lain berdasarkan peran sosialnya. Anda tidak dapat menyapa

(31)

parsial perilaku manusia dapat diramalkan. Kalau semua perilaku manusia itu bersifat acak, selalu tanpa diduga, hidup kita akan sulit. (Mulyana,2007:115).

Psikologi komunikasi (dalam Rakhmat,2007:9) dapat melihat bagaimana respon yang terjadi pada masa lalu dapat meramalkan respon yang akan datang. Kita harus mengetahui sejarah respons sebelum meramalkan respons individu masa ini. Dari sinilah timbul perhatian pada gudang memori (memory storage) dan set (penghubung masa lalu dan masa sekarang). Salah satu unsur sejarah respons ialah peneguhan. Peneguhan adalah respons lingkungan (atau orang lain pada respons organisme yang asli). Bergera dan Lambert menyebutnya feedback (umpan balik).

2.2.2.1 Penggunaan Psikologi Komunikasi

Psikologi mempengaruhi komunikasi yang efektif. Seperti yang dinyatakan Ashley Montagu (dalam Rakhmat,2007:12-13), kita belajar menjadi manusia melalui komunikasi. Manusia bukan dibentuk oleh lingkungan, tetapi oleh caranya menerjemahkan pesan-pesan lingkungan yang diterima nya. Wajah

ramah seorang ibu akan menimbulkan kehangatan bila diartikan si anak sebagai ungkapan kasih sayang. Wajah yang sama akan melahirkan kebencian bila anak memahaminya sebagai usaha ibu tiri untuk menarik simpati anak yang ayah nya telah ia rebut. Kepribadian terbentuk sepanjang hidup kita. Selama itu pula komunikasi menjadi penting untuk pertumbuhan pribadi kita. Melalui komunikasi kita menemukan diri kita, mengembangkan konsep diri dan menetapkan hubungan kita dengan dunia disekitar kita. Hubungan kita dengan orang lain akan menentukan kualitas hidup kita. Bila orang lain tidak memahami gagasan anda, bila pesan anda menjengkelkan mereka, bila anda tidak berhasil mengatasi masalah pelik karena orang lain menentang anda dan tidak mau membantu anda, bila semakin sering anda berkomunikasi semakin jauh jarak anda dengan mereka. Bila anda selalu gagal untuk mendorong orang lain bertindak, anda telah gagal dalam berkomunikasi. Komunikasi anda tidak efektif.

(32)

1. Pengertian, artinya penerimaan yang cermat dari isi stimuli seperti yang dimaksud oleh komunikator. Kegagalan menerima isi pesan secara cermat disebut kegagalan komunikasi primer (primary breakdown in communication). Untuk menghindari hal tersebut kita perlu memahami

psikologi pesan dan psikologi komunikator.

2. Kesenangan, tidak semua komunikasi ditujukan untuk menyampaikan

informasi dan membentuk pengertian. Ketika kita mengucapkan “selamat pagi, apa kabar?” kita tidak bermaksud mencari keterangan. Komunikasi

itu hanya dilakukan untuk mengupayakan agar orang lain merasa apa yang

disebut analisis transaksional sebagai “saya oke-kamu oke”. Komunikasi ini lazim disebut komunikasi fatis (phatic communication) dimaksudkan untuk menimbulkan kesenangan. Komunikasi inilah yang menjadikan hubungan kita hangat, akrab dan menyenangkan. Ini memerlukan psikologi tentang sistem komunikasi interpersonal.

3. Mempengaruhi sikap, paling sering kita melakukan komunikasi untuk mempengaruhi orang lain. Khatib ingin membangkitkan sikap beragama

dan mendorong jemaah beribadah lebih baik. guru ingin mengajak muridnya lebih mencintai ilmu pengetahuan. Semua ini adalah komunikasi persuasif. Komunikasi persuasif memerlukan pemahaman tentang faktor-faktor pada diri komunikator dan pesan yang menimbulkan efek pada komunikator. Persuasi didefenisikan sebagai proses mempengaruhi pendapat, sikap dan tindakan orang dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri. Para psikolog memang sering bergabung dengan komunikolog justru pada bidang persuasi.

(33)

dan dikendalikan serta kita ingin mencintai dan dicintai. Kebutuhan sosial ini hanya dapat dipenuhi dengan komunikasi interpersonal yang efektif. 5. Tindakan, selain membicarakan persuasi untuk mempengaruhi sikap,

persuasi juga ditujukan untuk melahirkan tindakan yang dihendaki. Komunikasi untuk menimbulkan pengertian memang sukar tetapi lebih sukar lagi mempengaruhi sikap, namun jauh lebih sukar lagi mendorong orang untuk bertindak. Tetapi efektivitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata yang dilakukan. Menimbulkan tindakan nyata memang indikator efektivitas yang paling penting, karena untuk menimbulkan tindakan kita harus berhasil lebih dahulu menanamkan pengertian, membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik. tindakan adalah hasil kumulatif seluruh proses komunikasi. Ini bukan saja memerlukan pemahaman tentang seluruh mekanisme psikologis yang terlibat dalam proses komunikasi tetapi juga faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia.

2.2.3 TEORI BEHAVIOUR

2.2.3.1 Pengertian Teori Behaviour

Teori Belajar Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini kemudian berkembang sebagai teori psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah perkembangan teori dan praktik pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap intropeksionisme (yang menganalisa jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subyektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak nampak). Behaviorisme ingin menganalisa hanya perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Teori behaviorisme lebih

dikenal dengan nama “teori belajar” karena menurut mereka seluruh prilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah

(34)

mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. Behaviorisme memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu sedangkan kaum behaviorisme hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. (Sumanto,2014:167)

Berdasarkan psikologi sosial (dalam Dayakisni,2003 :13-14), teori belajar telah digunakan untuk menjelaskan berbagai gejala perilaku sosial, seperti: agresi, altruisme (prososial), daya tarik interpersonal, komunikasi, prasangka dan pembentukan sikap. Pada bidang-bidang (sejenis) ini teori belajar menjadi mekanisme penjelas. meskipun demikian teori belajar banyak diminati para ahli psikologi sosial karena menekankan pada tingkah laku yang dapat diselidiki secara alamiah (obyektif). Teori belajar mempunyai tiga ciri khusus yang membedakannya dengan teori lainnya: (1)sebab-sebab perilaku diduga terutama terletak pada pengalaman belajar individu di masa lampau, (2) cenderung menempatkan penyebab perilaku terutama pada lingkungan eksternal dan tidak pada pengertian subyektif individu terhadap yang terjadi. Jadi, lebih menekankan kejadian eksternal yang telah diasosiasikan dengan stimulus atau reinforcement

yang telah dikaitkan dengan timbulnya tanggapan atau model peran yang pernah ditemui, (3) biasanya pendekatan belajar diarahkan untuk menjelaskan perilaku yang nyata dan bukan keadaan subyektif atau psikologis (faktor-faktor internal seperti emosi/perasaan, motif, persepsi).

2.1.3.2 Aliran-Aliran Dalam Teori Bahaviouristik

Ada tiga aliran yang terdapat dalam teori behavioristik (Sumanto,2014:168:170):

1. Aliran Behaviour dari Watson

Pemikiran dari Watson adalah bahwa perkembangan manusia harus didasarkan pada observasi perilaku yang tampak daripada spekulasi tentang motif-motif yang tidak disadari atau melalui proses kognitif yang tidak dapat di observasi. Dalam penelitiannya Watson menggunakan prinsip classical conditioning dari Pavlov. Watson berupaya mengubah perilaku dari seorang bayi

(35)

dilihatnya. Watson menggunakan prinsip classical conditioning ini, yaitu, pertama memberikan suara bel yang keras (unconditional stimulus) pada anak tersebut yang menimbulkan rasa takut (unconditional respons) pada diri si anak. Selanjutnya Watson memberikan perlakuan sebagai berikut: sebelum mendengarkan bunyi bel yang keras lagi, si anak tersebut diperlihatkan padanya seekor kelinci putih (conditional stimulus) maka anak tersebut pun takut (unconditional respons) yang masih disebabkan oleh bunyi bel yang keras pada perlakuan awal. Pengkondisian ini dilakukan berkali-kali sampai si anak takut melihat kelinci putih tanpa didengarkan suara bel yang keras. Kemudian anak tersebut pun mulai takut (conditional respons). Lama kelamaan anak tersebut tidak hanya takut pada kelinci putih saja melainkan pada binatang lain yang berbulu putih (generalisasi). Watson berpendapat bahwa perilaku manusia dapat dibentuk melalui pengondisian.

2. Teori Belajar Operan dari Skinner

Operant learning mengungkapkan bahwa perilaku tertentu berulang atau

bahkan berhenti tergantung dari konsekuensi yang diperoleh dari perilaku

tersebut. Skinner memahami bahwa bentuk yang paling penting dari belajar adalah kebiasaan. Dalam operant learning ada dua hal, yaitu :

a. Reinforcement adalah segala sesuatu yang mengikuti perilaku dan

menyebabkan perilaku tersebut diulangi. Reinforcement ada dua: pertama, positive reinforcement adalah suau konsekuensi yang mengikuti perilaku

dan memperbesar kesempatan untuk perilaku itu berulang. Misalnya, perhatian yang diperoleh seorang anak ketika ia melakukan hal tertentu, maka perilaku itu akan ia ulangi. Kedua, negative reinforcement, terjadi ketika individu belajar untuk menampilkan perilaku tertentu yang menyebabkan sesuatu yang tidak menyenangkan berhenti. Misalnya, flu adalah pengalaman yang tidak menyenangkan bagi sebagian besar dari kita, maka kita akan memakan obat flu untuk menghentikan obat flu tersebut.

(36)

diberikan agar perilaku yang tidak diinginkan tidak diulangi lagi kemunculannya.

Skinner percaya bahwa kebiasaan berkembang sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman operant learning yang unik. Teori operant learning menjelaskan bahwa arah dari perkembangan tergantung dari stimuli eksternal dibandingkan kekuatan-kekuatan internal.

3. Teori Sistem Bioekologi

Bronfenbrenner melakukan analisis tentang pengaruh lingkungan terhadap perkembangan. Bronfenbrenner mempelajari konteks yang multipel dan membagi konteks ini dalam lima sistem, yaitu:

a. Microsystem, yaitu pola dari kegiatan-kegiatan, peran, interaksi-interaksi yang terjadi dalam lingkungan/lingkup yang terdekat dengan individu. Microsystem, adalah konteks dinamis untuk perkembangan.

Masing-masing individu dipengaruhi oleh semua dalam sistem tersebut. contohnya, bayi mikrosistemnya adalah keluarga inti, karyawan mikrosistemnya tempat kerjanya.

b. Mesosystem, yaitu jaringan relasi antara mikrosistem. Seperti, rumah sekolah, tempat kerja. Bronfenbrenner yakin bahwa perkembangan dapat berlangsung optimal dengan adanya jaringan dukungan yang kuat antara mikrosistem.

c. Exosystem, yaitu konteks dimana anak/individu tidak menjadi bagian dari

sistem tersebut namun dapat mempengaruhi perkembangan. Contohnya, lingkungan kerja orang tua dapat mempengaruhi emosi anak dalam relasinya dengan orang tua.

d. Macrosystem, yaitu konteks budaya atau sub-budaya atau kelas sosial dimana mikrosistem, mesosistem dan ekosistem berada. Contohnya, budaya barat yang individualistik dan budaya timur yang kolektivistik akan mempengaruhi orang tua masing-masing budaya dalam memperlakukan anaknya.

e. chronosystem, yaitu derajat stabilitas atau perubahan dalam dunia

(37)

Teori bioekologi dari Bronfenbrenner menekankan bahwa perkembangan individu terjadi dalam suatu seri sistem lingkungan, interaksi dengan seseorang akan mempengaruhi perkembangan dan sebaliknya.

2.2.4 KONSEP DIRI (Self-consept) 2.2.4.1 Pengertian Konsep Diri

Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri sifat) yang dimilikinya atau dapat dimengerti sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dimiliki individu tentang karakteristik atau ciri-ciri pribadinya. Kita mempelajari siapakah diri kita melalui interaksi kita dengan orang lain. Salah

satu cara kita mempelajari tentang diri kita dari interaksi sosial adalah dengan menemukan apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Proses persepsi mengenai sisi baik atau jelek berdasarkan pada apa yang orang lain pikirkan tentang kita disebut dengan penaksiran yang direfleksikan (reflected appresials). Penafsiran yang direfleksikan ini adalah proses yang paling penting yang mempengaruhi konsep diri kita (Dayakisni, 2003: 66).

Konsep diri merupakan proses yang terus berlanjut di sepanjang kehidupan manusia. Menurut Symonds dan Fitts (dalam Agustiani, 2009:18) menyatakan bahwa persepsi diri tidak langsung muncul pada saat kelahiran tetapi mulai berkembang secara bertahap dengan munculnya kemampuan perseptif.

Terdapat beberapa defenisi konsep diri menurut beberapa ahli, diantaranya adalah:

1. Menurut William H. Fitts, mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fitts mengatakan bahwa ketika individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi terhadap dirinya berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri dan kemampuan terhadap dunia di luar dirinya. Fitts juga mengatakan bahwa konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang.

(38)

2. Menurut William D. Brooks (dalam Rakhmat,2007:99) mendefenisikan

konsep diri sebagai “those physical, social and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interactions

with others”. Jadi, konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang

diri kita.

3. Menurut Anita Taylor (dalam Rakhmat, 2007:100) mendefenisikan konsep

diri sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitutedes you hold about your self”.

4. Menurut Klein, dkk (dalam Baron,2004:165) menyatakan bahwa konsep diri adalah kumpulan keyakinan dan persepsi diri mengenai diri sendiri yang terorganisasi. Diri memberikan sebuah kerangka berpikir yang menentukan bagaimana kita mengolah informasi tentang diri kita sendiri, termasuk motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan dan banyak hal lainnya.

Menurut Charles Horton Cooley (dalam Rakhmat, 2007:100), kita melakukannya dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain. Cooley

menyebutkan gejala ini looking glass self (diri cermin) yang berarti seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa. Konsep diri meliputi apa yang anda pikirkan dan apa yang anda rasakan tentang diri anda. Dengan demikian ada dua komponen konsep diri, yaitu: komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif disebut citra diri (self image) dan komponen afektif disebut harga diri (self esteem).

(39)

Gambar 2.1. : Konsep Self Social

Sumber : Baron, Robert A. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga

Keterangan : Konsep diri mempengaruhi diri dalam hubungan sosial, baik hubungan di sekolah maupun di dalam keluarga.

Setiap konsep diri keseluruhan seseorang terdiri dari banyak komponen

yang berbeda yang memberikan skema terhadap aspek spisifik dalam hidupnya. Satu komponen tersebut, yaitu interaksi sosial. Untuk kaum muda, konsep self social ini dapat dibagi lebih jauh dalam kategori yang lebih spesifik, seperti

interaksi sosial di sekolah dan interaksi sosial dalam keluarga. Didalam setiap interaksi, spesifikasi lebih lanjut adalah dalam interaksi dengan teman sekelas versus dengan guru dan orang tua versus saudara (Baron,2004:168-169).

Social Self

Konsep Self SocialSekolah

Konsep Self Socialsekolah

Teman Sekolah

Konsep Self social sekolah

Guru

Konsep Self Social Keluarga

Konsep Self Social

Keluarga Saudara

Konsep Self Social Orang tua Konsep Diri

(40)

2.2.4.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Konsep Diri

Menurut Devito dalam bukunya yang berjudul The Interpersonel

Communication Book (2005:115), Faktor-faktor yang mempengaruhi

pembentukan konsep diri, yaitu :

1. Other Images

Others images merupakan orang yang mengatakan siapa anda, melihat

citra diri anda dengan mengungkapkannya melalui perilaku dan aksi. Konsep diri seseorang dibentuk karena adanya orang-orang yang paling penting dalam hidup seseorang seperti orang tua. Menurut Demo.H menekankan bahwa konsep diri dibentuk, dipelihara, diperkuat dan diubah oleh komunikasi para anggota keluarga. Mereka itulah yang disebut sebagai significant others. Significant Orhers yang dimaksud merupakan orang tua. Orang tua adalah faktor utama yang

membentuk dan mengembangkan konsep diri seorang anak. Dalam perkembangan, significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran dan perasaan kita, mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita dan menyentuh kita secara emosional.

2. Orang lain

Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Ketika kita tumbuh menjadi dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan kita. Sebagai contoh, Minah memperoleh informasi tentang dirinya dari kedua orang tuanya dan orang disekitarnya bahwa

Minah anak yang pintar. Minah berpikir, “saya pintar”. Ia menilai persepsinya

dari orang lain. Richard Dewey dan W.J. Humber menamai orang lain sebagai affective others, dimana orang lain yang mengenal kita mempunyai ikatan

(41)

3. Budaya

Melalui orang tua, pendidikan, latar belakang budaya, maka akan ditanamkan keyakinan, nilai agama, ras, sifat nasional untuk membentuk konsep diri seseorang. Contohnya, ketika seseorang mempunyai latar belakang budaya yang baik dan memiliki etika maka orang tersebut memiliki konsep diri positif. 4. Mengevaluasi pikiran dan perilaku diri sendiri

Konsep diri terbentuk karena adanya interpretasi dan evaluasi dari perilaku diri sendiri berdasarkan apa yang dilakukan.

2.2.4.3 Proses Terbentuknya Konsep Diri

Salah satu faktor penentu atau gagalnya seseorang dalam menjalani kehidupan adalah konsep diri. Konsep diri yang ada pada seorang individu adalah sebagai bentuk keyakinan dirinya bahwa ia mampu dan bisa untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. Konsep diri seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya dalam suatu lingkungan. Manusia sebagai organisme yang memiliki dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar akan

keberanian dirinya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan.

Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, sosial dan fisik (Rakhmat, 2007:99) sedangkan menurut George Herbet Mead dalam buku Introducing Communication Theory Analysis an Aplication Third Edition Konsep

diri pada seseorang muncul bukan dari pikiran seseorang tersebut terlebih dahulu melainkan dari pemikiran atau pandangan dari orang lain terhadap diri kita dan baru diikuti pemikiran yang muncul pada diri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang diri yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya.

Sobur dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Umum” (dalam Arishanti,2013:23) , Konsep diri terbentuk dalam waktu yang relatif lama. Konsep diri pada dasarnya tersusun atas berbagai tahapan, yaitu :

(42)

Konsep ini terbentuk atas dasar pengalamannya terhadap lingkungan, yaitu lingkungan rumahnya sendiri. Pengalaman yang berbeda diterima melalui anggota rumah, baik dari orang tua, nenek, paman atau saudara kandung.

Konsep tentang bagaimana dirinya banyak bermula dari perbandingan antara dirinya dan saudara-saudara lainnya. Adapun konsep bagaimana perannya, aspirasi-aspirasinya ataupun tanggung jawabnya dalam kehidupan, ditentukan atas dasar pendidikan yang datang dari orang tuanya.

2. Konsep diri sekunder

Konsep ini banyak ditentukan oleh konsep diri primernya. Misalnya apabila konsep diri primer seseorang adalah pendiam, tidak nakal, tidak suka keributan, maka ia akan memilih teman bermain yang sesuai dengan konsep diri yang sudah dimilikinya dan teman-teman baru yang nantinya menunjang terbentuknya konsep diri sekunder.

Konsep diri terbentuk karena adanya interaksi individu dengan orang-orang di sekitarnya. Apa yang dipersepsi individu lain mengenai diri individu, tidak terlepas dari struktur, peran dan status sosial yang disandang seorang

individu.

2.1.4.4 Jenis-Jenis Konsep Diri

Sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri (Rakhmat,2007:105-106), yaitu :

1. Konsep diri negatif

Menurut William D.Brooks dan Philip Emmert ada beberapa tanda yang memiliki konsep diri negatif, yaitu :

a. Peka terhadap kritikan: Orang ini tidak tahan dikritik yang diterimanya dan mudah marah

b. Responsif terhadap pujian: Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasnya pada waktu menerima pujian.

(43)

d. Pesimis: Menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya.

Orang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog yang terbuka dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika yang keliru.

2. Konsep diri positif

Konsep diri positif ditandai dengan :

a. Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah b. Ia merasa setara dengan orang lain

c. Ia menerima pujian tanpa rasa malu

d. Ia menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat

e. Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan mengubahnya.

Ada sebelas karakteristik konsep diri positif menurut D.E.Hamachek

(dalam Rakhmat,2007:106), yaitu:

a. Ia meyakini betul-betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat.

b. Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.

c. Ia tidak menghabiskan waktu untuk mencemaskan apa yang terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu lalu dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang.

d. Ia memliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan e. Ia merasa sama dengan orang lain walaupun terdapat perbedaan latar

belakang keluarga ataupun yang lain.

(44)

g. Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati dan menerima penghargaan tanpa rasa bersalah.

h. Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya

i. Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula.

j. Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, pengungkapan diri yang kreatif, persahabatan atau sekedar mengisi waktu.

k. Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain.

Konsep diri positif menghasilkan pola perilaku komunikasi interpersonal yang positif pula, yakni melakukan persepsi yang lebih cermat dan mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan dengan cermat pula.

2.2.4.5Pengaruh Konsep Diri dalam Komunikasi Antar pribadi

Konsep diri dapat mempengaruhi beberapa faktor dalam komunikasi antar pribadi, yaitu (Rakhmat,2007:105-110)

a. Nubuat yang dipenuhi diri sendiri

Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal, karena setiap orang bertingkahlaku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Kecenderungan untuk bertingkahlaku sesuai dengan konsep diri disebut dengan nubuat yang dipenuhi diri sendiri. Bila anda berpikir anda orang bodoh, Anda akan benar-benar menjadi orang bodoh. Bila anda merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan, maka persoalan apapun yang anda hadapi pada akhirnya dapat anda atasi. Anda berusaha hidup sesuai dengan label yang anda lekatkan pada diri anda.

b. Membuka diri

(45)

tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan baru.

c. Percaya diri (Self Confidence)

Percaya diri adalah hal yang paling menentukan. Untuk meningkatkan percaya diri, menumbuhkan konsep diri yang sehat menjadi perlu seperti yang dikatakan Maxwell Maltz seorang tokoh psikosibernetik “Believe in your self and you will succed”

Keinginan untuk menutup diri, selain karena konsep diri yang negatif timbul dari kurangnya kepercayaan kepada kemampuan sendiri. Orang yang kurang percaya diri akan cenderung sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi. Ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal sebagai communication apprehension. Orang yang aprehensif dalam komunikasi

disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri. Tentu tidak semua parehensi komunikasi disebabkan kurangnya percaya diri, tetapi ada faktor lainnya yang mempengaruhi.

d. Selektivitas

konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita, karena konsep diri mempengaruhi kepada pesan apakah seseorang bersedia membuka diri (terpaan selektif), bagaimana kita mempersepsi pesan (persepsi selektif) dan apa yang kita ingat (ingatan selektif).

2.2.5 TEORI KETERBUKAAN DIRI (SELF DISCLOSURE THEORY)

2.2.5.1 Pengertian Keterbukaan Diri (Self Disclosure Theory)

(46)

memahami waktu, tempat dan keakraban. Kunci sukses dan hal yang paling mendasar dari self disclosure adalah kepercayaan. Biasanya seseorang akan mulai terbuka pada orang yang sudah lama dikenalnya. Selain itu menyangkut kepercayaan, beberapa ahli psikologi berpendapat bahwa perasaan percaya terhadap orang lain yang mendasar pada seseorang ditentukan oleh pengalaman selama tahun-tahun pertama hidupnya. Bila seseorang telah menyingkapkan sesuatu tentang dirinya pada orang lain, ia cenderung memunculkan tingkat keterbukaan balasan pada orang yang kedua.

Menurut Morton (dalam Dayakisni, 2003:87), Pengungkapan diri (Self Disclosure) merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab

dengan orang lain. Informasi didalam pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui oleh pendengar seperti jenis pekerjaan, alamat dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya seperti tipe orang yang kita sukai atau yang kita benci. Dalam proses pengungkapan diri nampaknya individu-individu yang terlibat

memiliki kecenderungan mengikuti norma resiprok (timbal balik). Bila seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi pada kita, kita akan cenderung memberikan reaksi yang sepadan. Pada umumnya kita mengaharapkan orang lain memperlakukan kita sama seperti kita memperlakukan mereka. Seseorang yang mengungkapkan informasi pribadi yang lebih akrab daripada yang kita lakukan akan membuat kita merasa terancam dan kita akan lebih senang mengakhiri hubungan semacam ini. bila sebaliknya, kita yang mengungkapkan diri terlalu akrab dibandingkan orang lain kita akan merasa bodoh dan tidak aman.

Gambar

Gambar 2.1. : Konsep Self Social
Gambar 2.2 Konsep Johari Window
Gambar 2.3 Model Teoritik
Tabel 4.1 Klasifikasi Psikologi Komunikasi Remaja Broken Home Terhadap

Referensi

Dokumen terkait

Karena Gd-DTPA -folat merupakan senyawa non aktif, maka karakterisasi Gd-DTPA -folat dilakukan menggunakan senyawa radioaktif 153 Gd- DTPA -folat yang diperoleh dari reaksi DTPA

Dalam kaitan dengan ini (Soeharto, 1999:232) mengungkapkan suatu pengendalian proyek/program yang efektif ditandai hal-hal berikut ini; 1) tepat waktu dan peka

 UNTUK MOTOR INDUKSI 3 FASA BEDA FASA TEGANGAN MENGHASILKAN MEDAN PUTAR YANG BERBEDA FASA DAN GAYA YANG ARAHNYA BERBEDA, GAYA TOTAL ADALAH PENJUMLAHAN SECARA VEKTOR,

kembali pada zat yang dibandingkan dan video pembelajaran, kembali pada zat yang dibandingkan dan video pembelajaran, untuk proses pengumpulan data dan informasi

Pada penelitian ini digunakan imbal hasil rata-rata yang dihitung dimulai dari imbal hasil ( t-2 ). Oleh karena itu, penelitian ini membutuhkan perusahaan yang memiliki daftar

konversi etanol pada aktivasi katalis zeolit alam yang akan digunakan untuk proses dehidrasi etanol menjadi dietil eter.. Bahan dan

Kotler & Nancy (2005) berpendapat bahwa terdapat enam (6) aktifitas sosial sebagai wujud dari CSR yakni; Pertama, Cause Promotion, pada aktifitas ini perusahaan

Berdasarkan tujuan awal penelitian tindakan kelas ini, maka hasil pelaksanaan dan observasi pada pra tindakan ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan bagaimana aktifitas