BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
A.PERKAWINAN
1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan
Pengertian perkawinan terdapat di dalam UUP No. 1 Tahun 1974
yang menyatakan bahwa :
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa“.26
Berdasarkan pengertian diatas dapat dirumuskan unsur-unsur
perkawinan, yaitu :
Sedangkan tujuan perkawinan, adalah membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
27
a. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat (hubungan formal), yaitu mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Hal ini dapat dilihat karena dibentuk oleh undang-undang, hubungan mana mengikat bagi kedua belah pihak dan pihak lain atau masyarakat. Ikatan batin ialah ikatan yang tidak dapat dilihat (hubungan tidak formal), yang diawali oleh adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama, yang akan menimbulkan kerukunan dan mengikat kedua belah pihak. Terjalinnya ikatan lahir batin tersebut, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
b. Adanya unsur ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai suami istri mengandung arti bahwa dalam waktu yang sama
26
Pasal 1 UUP No.1 Tahun 1974. 27
seorang suami tidak diperbolehkan untuk kawin lagi dengan wanita lain. Dalam hal ini mengandung asas monogami. Dalam keadaan tertentu asas monogami dapat dikesampingkan, akan tetapi diperbolehkan bagi mereka yang yang diperkenankan oleh agama dan undang-undang untuk menikah lagi dengan alasan dan syarat-syarat yang telah ditentukan.
c. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Hal ini dapat diartikan, bahwa mereka itu haruslah berlangsung terus-menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan. Perceraian karena sebab-sebab lain daripada kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat, sehingga suatu pemutusan perkawinan karena perceraian (cerai hidup), merupakan jalan akhir setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.
d. Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya bahwa perkawinan itu tidak begitu saja menurut kemauan pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia, sebagai makhluk yang beradab.
2. Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia
Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini
antara lain adalah :28
a. Buku I dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu
Bab IV samapi dengan Bab XI.
b. Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
c. Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
d. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No.
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
e. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan dan
Tambahan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 Tentang Ijin
Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
28
f. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia (Pasal 1-170 KHI).
3. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan a. Menurut UUP No.1 Tahun 1974
Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus
memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat perkawinan
diatur mulai Pasal 6 sampai Pasal 12 UUP No. 1 Tahun 1974. Pasal 6
s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang bersifat materil,
sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat perkawinan yang bersifat
formil. Syarat-syarat tersebut antara lain :
1) Pasal 6 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Pasal 6 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
3) Pasal 7 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
4) Pasal 8 UUP No. 1 Tahun 1974, larangan perkawinan karena hubungan keluarga yang dekat.
5) Pasal 9 UUP No. 1 Tahun 1974, seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain yang tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang Perkawinan.
6) Pasal 10 UUP No. 1 Tahun 1974, perkawinan setelah yang kedua kalinya antara orang yang sama adalah dilarang.
7) Pasal 11 UUP No. 1 Tahun 1974, mengatur tentang “waktu tunggu” . Pada ayat (1) bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Dan pada ayat (2) tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975.
Pada Pasal 39 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, berbunyi :
a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.”
8) Pasal 12 UUP No. 1 Tahun 1974, tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Selanjutnya ketentuan tentang tata cara perkawinan ini diatur dalam Pasal 10 dan 11 PP No. 9 Tahun 1975.29
b. Menurut KUHPerdata
Menurut Hukum Perdata Barat (KUHPerdata), syarat sahnya
perkawinan (syarat materil) adalah :
1) Berlaku asas monogami (Pasal 27 KUHPerdata).
2) Harus ada kata sepakat dan kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 28 KUHPerdata).
3) Seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 KUHPerdata).
4) Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar (Pasal 34 KUHPerdata).
5) Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin dari kedua orang tua mereka (Pasal 35 KUHPerdata). Mengenai izin kawin ini diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut ini :
a) Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasaannya, harus ada izin dari wali pengawas (Pasal 36 KUHPerdata).
b) Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka yang memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37 KUHPerdata).
c) Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari bapak dan/atau ibu yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas. Jika di antara orang-orang yang harus memberi izin itu terdapat perbedaan pendapat, maka Pengadilan atas permintaan si anak, berkuasa memberikan izin (Pasal 39 KUHPerdata).
29
d) Anak luar kawin namun tidak diakui, selama belum dewasa, tidak diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali atau wali pengawas mereka (Pasal 40 KUHPerdata).
e) Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, masih juga diperlukan izin kawin dari orang tuanya. Tetapi apabila mereka tidak mau memberikan izin, maka anak dapat memintanya dengan perantaraan hakim (Pasal 42 KUHPerdata). f) Tidak terkena larangan kawin (Pasal 30-33 KUHPerdata).30
Sementara syarat formil perkawinan (Pasal 50 sampai dengan 84
KUHPerdata), terdiri dari :
1) Tata cara/formalitas-formalitas yang harus mendahului perkawinan (Pasal 50 sampai dengan 58 KUHPerdata).
2) Mencegah perkawinan (Pasal 59 sampai dengan 70 KUHPerdata). 3) Melangsungkan perkawinan (Pasal 71 sampai dengan 82
KUHPerdata).
4) Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri (Pasal 83 sampai dengan 84 KUHPerdata).31
4. Larangan-larangan Perkawinan a. Menurut UUP No.1 Tahun 1974
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :32
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b. Berhubungan darah dan garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri;
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagi bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
Menurut Pasal 9 UUP No. 1 Tahun 1974, seorang yang masih
terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali
jika :
1) Mendapat izin dari Pengadilan (berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat
(2) UUP No. 1 Tahun 1974);
2) Dengan alasan bahwa istri, yaitu : (Pasal 4 UUP No. 1 Tahun
1974).
a) Tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri;
b) Mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c) Tidak dapat melahirkan keturunan;
Menurut Pasal 10 UUP No. 1 Tahun 1974 menentukan, bahwa
apabila suami dan istri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak
boleh dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan
istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang
mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat
dipertimbangkan dan dapat dipikirkan matang-matang. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali,
Menurut Pasal 11 ayat (1) UUP No. 1 Tahun 1974 bagi seorang
wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Pada
ayat (2) tenggang jangka waktu tunggu tersebut pada ayat (1) akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Peraturan Pemerintah
lebih lanjut tersebut dalam hal ini adalah PP No. 9 Tahun 1975 yang
dalam Pasal 39 ayat (1).
b. Menurut KUHPerdata
Di dalam KUHPerdata ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang
antara33
1) Mereka yang bertalian keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah atau dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 30 KUHPerdata).
:
2) Ipar laki-laki dan ipar perempuan, paman atau paman orang tua dan anak perempuan saudara atau cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau bibi orang tua dan anak laki saudara atau cucu laki saudara (Pasal 31 KUHPerdata).
3) Kawan berzinahnya setelah dinyatakan salah karena berzinah oleh putusan hakim (Pasal 32 KUHPerdata).
4) Mereka yang memperbaharui perkawinan setelah pembubaran perkawinan terakhir jika belum lewat waktu 1 (satu) tahun (Pasal 33 KUHPerdata).
5. Pengumuman dan Pencatatan Perkawinan a. Menurut UUP No. 1 Tahun 1974
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku
(Pasal 2 ayat 2 UUP No. 1 Tahun 1974). Bagi mereka yang melakukan
perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor
33
Urusan Agama (KUA). Sedang bagi yang beragama Katholik, Kristen,
Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Dalam PP No. 9 Tahun 1975, dikatakan bahwa tahap-tahap
pencatatan perkawinan itu adalah sebagai berikut :34
1) Pegawai pencatat perkawinan
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Pasal 2).
2) Pemberitahuan perkawinan
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh hari kerja) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualikan terhadap jangka waktu tersebut yang disebabkan oleh sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat, atas nama Bupati Kepala Daerah (Pasal 3). Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4). Pemberitahuan memuat : nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu (Pasal 5).
3) Penelitian oleh pegawai pencatat
Menurut Pasal 6, pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti hal-hal sebagai berikut :
a) Apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi.
b) Apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undnag-undang.
c) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.
d) Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
e) Izin tertulis /izin Pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun.
f) Izin Pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai istri.
34
g) Dispensasi Pengadilan/ Pejabat.
h) Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.
i) Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/ PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.
j) Surat kuasa otentik atau dibawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Hasil penelitian tersebut oleh pegawai pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukan untuk itu. Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya pernyataan tersebut diatas (3-10), keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya (Pasal 7). 4) Pengumuman perkawinan
Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman Tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8). Menurut Pasal 9, pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat :
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama istri dan atau suami mereka terdahulu.
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan. 5) Tata cara perkawinan
Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkwinan oleh pegawai pencatat. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10). Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan, dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal 11).
Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Kepada suami dan istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 13).
b. Menurut KUHPerdata
Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan
kehendak itu kepada Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah satu
dari kedua pihak (Pasal 50 KUHPerdata). Pemberitahuan ini harus
dilakukan, baik sendiri maupun dengan surat-surat yang dengan cukup
kepastian memperlihatkan kehendak kedua calon suami istri, dan
Tentang pemberitahuan itu oleh Pegawai Catatan Sipil harus dibuat
sebuah akta (Pasal 51 KUHPerdata).
Menurut pasal 52 KUHPerdata, sebelum perkawinan
dilangsungkan, Pegawai Catatan Sipil harus menyelenggarakan
pengumumannya dengan jalan menempelkan sepucuk surat
pengumuman pada pintu utama daripada gedung dalam mana
register-register catatan sipil diselenggarakannya. Surat itu harus tetap tertempel
selama 10 (sepuluh) hari. Pengumuman tak boleh dilangsungkan pada
hari Minggu atau hari Tahun Baru, hari Paskah, hari Natal, dan Hari
Mikraj Nabi. Surat itu berisi :
1e. Nama, nama depan, umur, pekerjaan dan tempat tinggal calon
suami-istri, pun jika yang akhir ini dulu pernah kawin, nama istri
dan suami mereka dulu.
2e. Hari, tempat dan jam pengumuman berlangsung.
Kemudian, surat itu ditandatangani oleh Pegawai Catatan Sipil.
daerah Pegawai Catatan Sipil yang sama, maka pengumuman harus
dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal masing-masing
pihak (Pasal 53 KUHPerdata). Pengumuman hanya berlaku selama 1
(satu) bulan, dan apabila dalam waktu itu tidak dilangsungkan
perkawinan , maka perkawinan tidak boleh dilangsungkan lagi, dan
untuk itu pengumuman harus diulang sekali lagi (Pasal 57
KUHPerdata). Pada asasnya, suatu perkawinan dapat dibuktikan dengan
adanya akta perkawinan (Pasal 100 KUHPerdata).
6. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perkawinan
Menurut Pasal 31 UUP No. 1 Tahun 1974, berbunyi bahwa :
(1) hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan
hidup dalam masyarakat;
(2) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum;
(3) Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
Sedangkan kewajiban suami istri terdapat dalam Pasal 30 UUP No.
1 Tahun 1974 yang menyatakan, bahwa suami istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi susunan
masyarakat. Didalam Pasal 32 UUP No. 1 Tahun 1974 menyatakan,
bahwa:
(1) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap;
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
Pasal 33 UUP No.1 Tahun 1974 dikatakan, bahwa suami istri wajib
saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia, dan memberi bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 UUP No. 1 Tahun 1974
menentukan, bahwa :
(1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
(2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
(3) Jika suami istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
B.PERCERAIAN
1. Pengertian Perceraian
Menurut ketentuan Pasal 38 UUP No. 1 Tahun, perkawinan dapat
putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. 35
a. Kematian;
Putusnya perkawinan karena kematian suami atau istri, disebut juga
oleh masyarakat dengan ” cerai mati ”.
b. Perceraian;
Putusnya perkawinan karena perceraian, disebut oleh masyarakat
dengan istilah ” cerai hidup ”.
Putusnya perkawinan karena perceraian ada 2 (dua) jenis, yaitu :36
35
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000), hal 117.
36
1) Cerai gugat, yaitu berlaku bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut agama dan kepercayaannya bukan Islam dan
seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam.
2) Cerai talak, yaitu berlaku bagi mereka yang melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam.
c. Putusan Pengadilan;
Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka.
Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya terhitung
sejak pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh
pegawai pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung
sejak jatunya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan
hukum tetap.37
(1)Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 39 UUP No. 1 Tahun 1974 menyebutkan, bahwa :
(2)Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara
suami istri, tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
(3)Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, dapat kita ketahui bahwa
perceraian mempunyai arti, bahwa diputuskannya perkawinan tersebut
oleh Hakim dikarenakan sebab tertentu atau putusnya perkawinan karena
37
perceraian berarti pengakhiran suatu perkawinan karena suatu sebab
tertentu dengan keputusan Hakim. Perceraian juga dapat diartikan sebagai
salah satu cara pembubaran perkawinan karena sebab tertentu, melalui
keputusan Hakim yang didaftarkan pada Kantor Catatan Sipil. Oleh karena
itu dapat disimpulkan bahwa pengertian perceraian adalah putusnya
perkawinan yang sah karena suatu sebab tertentu oleh keputusan Hakim,
yang dilakukan didepan sidang Pengadilan berdasarkan alasan-alasan yang
telah ditentukan oleh undang-undang serta telah didaftarkan pada Kantor
Catatan Sipil.
2. Alasan-alasan Perceraian
Tujuan Perkawinan, adalah untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.,
Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat
untuk mencari kebahagiaan, meneruskan keturunan, dan ingin hidup
bersama sampai akhir hayat atau cerai mati, namun seringkali tujuan
tersebut kandas ditengah jalan karena sebab-sebab tertentu.
Walaupun perceraian adalah perbuatan tercela dan dibenci oleh
Tuhan (Allah), suami istri boleh melakukan perceraian apabila perkawinan
mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Namun, perceraian harus
mempunyai alasan-alasan seperti yang diatur undang-undang bahwa antara
suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.38
38
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Op. Cit, hal 118.
dapat diketahui dari penjelasan Pasal 39 (2) UUP No. 1 Tahun 1974 dan
Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975, sebagai berikut : 39
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya dan sukar disembuhkan. Pengertian zinah pada alasan perceraian ini, adalah zinah menurut konsep agama. Pengertian pemabok, pemadat, dan penjudi ditafsirkan oleh Hakim;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. Waktu 2 (dua) tahun berturut-turut pada alasan perceraian ini, adalah untuk menciptakan kepastian hukum. Kata ” berturut-turut” berarti kepergian salah satu pihak tersebut harus penuh 2 (dua) tahun lamanya dan selam waktu itu yang bersangkutan tidak pernah kembali. Rasio dari ketentuan ini adalah untuk melindungi kepentingan pihak yang ditinggalkan. Maksud ”hal lain diluar kemampuannya” pada alasan perceraian ini, maka Hakim yang menentukannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. ”Hukuman lima tahun atau hukuman yang lebih berat” maksudnya adalah hukuman yang sudah mempunyai kekuatan tetap setelah Perkawinan berlangsung. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun haruslah dijatuhkan oleh Hakim Pidana setelah perkawinan dilangsungkan. Penentuan lima tahun dianggap cukup mentukan apakah perkawinan para pihak hendak diteruskan atau diakhiri;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain. Kekejaman atau penganiayaan yang dikaitkan membahayakan terhadap pihak lain bukan jasmani namun juga jiwa para pihak. Sebaiknya ada visum dari dokter atau keterangan saksi ahli hukum kejiwaan untuk mengetahui bagaimana perasaan dalam diri pihak yang melakukan kekejaman atau penganiayaan dan pihak lain yang diperlukan dengan kejam dan dianiaya. Selain itu juga perlu di dengar keterangan dari orang yang melihat dan atau mendengar secara langsung kekejaman dan penganiayaan itu dilakukan. UUP No. 1 Tahun 1974 tidak memberikan penjelasan Tentang apa yang dimaksud dengan kekejaman atau penganiayan berat itu sendiri, sehingga Hakimlah yang harus menafsirkan;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. Tujuan dari alasan perceraian ini adalah untuk menjaga dan melindungi jangan sampai segala kepentingan dari salah satu pihak dikorbankan karena suatu sebab yang menimpa pihak lain. Menurut Lili Rasjidi, ciri utama dari cacat badan atau penyakit berat ini adalah harus yang menyebabkan si penderita tidak lagi dapat menjalankan
39
kewajibannya sebagai suami atau istri. 40
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun kembali dalam rumah tangga. Perselisihan dan pertengkaran antara suami istri yang mengakibatkan suami istri tersebut tidak dapat diharapkan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga. Hal ini merupakan persoalan yang bersifat relatif karena Hakimlah yang menilai dan menetapkan dengan sebaik-baiknya berdasarkan bukti-bukti yang ada. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal, dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tujuan perkawinan tersebut tidak dapat dicapai oleh suami istri maka sudah sewajarnya para pihak memutuskan jalan untuk bercerai berdasarkan alasan-alasan perceraian seperti tersebut diatas.
Apabila dalam rumah tangga, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan perceraian. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. UUP No. 1 Tahun 1974 tidak memberikanpenjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan cacat badan atau penyakit. Dalam hal ini Hakimlah yang menentukan secara pasti terhadap semua keadaan yang dapat dijadikan alasan untuk bercerai, sebagaimana yang dimaksud dalam alasan perceraian tersebut;
3. Tata Cara Perceraian
Ada dua macam perceraian, yaitu perceraian dengan talak dan
perceraian dengan gugatan. Perceraian dengan talak biasa disebut cerai
talak hanya berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan
menurut agama Islam. Bagi perceraian dengan gugatan biasa disebut cerai
gugat berlaku bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam dan bukan beragama Islam.41
40Ibid. 41
a. Tata Cara Cerai Talak
Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat
pemberitahuan kepada pengadilan agama di tempat tinggalnya bahwa
dia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya,
dengan permintaan agar pengadilan agama mengadakan sidang untuk
menyaksikan perceraian itu (Pasal 14 PP No. 9 Tahun 1975).
Setelah pengadilan agama mempelajari isi surat pemberitahuan
tersebut, selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah menerima
pemberitahuan itu, pengadilan agama memanggil suami dan istri yang
bersangkutan untuk meminta penjelasan mengenai perceraian itu (Pasal
15 PP No. 9 Tahun 1975).
Setelah memperoleh penjelasan dari suami dan istri yang
bersangkutan dan ternyata terdapat alasan-alasan untuk bercerai, maka
berdasarkan Pasal 7 PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, maka Hakim mewajibkan para pihak untuk
menempuh mediasi. Setelah dilakukan mediasi dan pengadilan agama
berpendapat bahwa antara suami dan istri yang bersangkutan tidak
mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun dalam rumah tangga,
maka pengadilan agama memutuskan untuk mengadakan sidang
menyaksikan perceraian itu (Pasal 16 PP No. 9 Tahun 1975).
Sesaat setelah dilakukan sidang untuk menyaksikan perceraian
itu, Ketua Pengadilan Agama membuat surat keterangan Tentang
terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada
pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan
terjadi terhitung sejak saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang
pengadilan agama (Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975). Pentingnya
penetapan saat terjadi perceraian adalah untuk menghitung lamanya
masa tunggu (masa idah).42
b. Tata Cara Cerai Gugat
Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Tergugat. Dalam hal tempat kediaman Tergugat tidak jelas, tidak
diketahui, tidak mempunyai tempat kediaman tetap, atau Tergugat
bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada
pengadilan di tempat kediaman Penggugat (Pasal 20 PP No. 9 Tahun
1975).
Setelah pengadilan menerima gugatan Penggugat, pengadilan
memanggil pihak Penggugat dan Tergugat atau kuasa mereka di tempat
kediamannya atau jika mereka tidak dijumpai di tempat kediamannya,
panggilan disampaikan melalui lurah atau yang dipersamakan dengan
itu secara patut dan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang
dibuka sudah diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Penggilan
kepada Tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan (Pasal 26 PP
No. 9 Tahun 1975).
42
Pemerikasaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim paling
lambat tiga puluh hari setelah diterima surat gugatan perceraian. Pada
sidang pemerikasaan gugatan perceraian, suami istri datang sendiri atau
mewakilkan kepada kuasanya. Pengadilan yang memeriksa gugatan
perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Usaha
perdamaian dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan. Apabila
tercapai perdamaian, tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru
dengan alasan yang sama (Pasal 29 ayat (1) dan pasal 30 PP No. 9
Tahun 1975).
Apabila tidak tercapai perdamaian, pemerikasaan gugat dilakukan
dalam sidang tertutup sampai pengadilan memberikan putusannya.
Akan tetapi, putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam
sidang terbuka. Perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya
terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor
catatan sipil oleh pegawai pencatat bagi yang bukan beragama Islam
dan jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (Pasal 33 dan 34 PP No. 9 Tahun 1975).
c. Pencatatan Perceraian
Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk
berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap/ yang telah dikukuhkan tanpa
bermaterai kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi dan
yang disediakan untuk itu.43
Akibat dari perceraian akan menimbulkan akibat hukum, terhadap: Jika perceraian dilakukan didaerah hukum
yang berbeda dengan daerah hukum pegawai pencacat di mana
perkawianan dilangsungkan, satu helai salinan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap/ yang telah dikukuhkan tanpa
bermaterai dikirimkan pula kepada pegawai pencatat di tempat
perkawinan dilangsungkan dan oleh pegawai pencatat tersebut dicatat
pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan. Bagi perkawinan
yang dilangsungkan di luar negeri, salinan putusan itu disampaikan
kepada pegawai pencatat di Jakarta (Pasal 35 PP No. 9 Tahun 1975).
Selambat-lambatnya tujuh hari setelah perceraian diputuskan,
panitera pengadilan agama menyampaikan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum hukum tetap itu kepada pengadilan negeri
untuk dikukuhkan. Pengukuhan tersebut dilakukan dengan
membubuhkan kata “dikukuhkan” dan ditandatangani oleh hakim
pengadilan negeri dan dibubuhi cap dinas pada putusan tersebut.
Selambat-lambatnya, tujuh hari setelah diterima putusan dari
pengadilan agama, panitera pengadilan negeri menyampaikan kembali
putusan itu kepada pengadilan agama (Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975).
4. Akibat Hukum Perceraian
44
a. Orang tua/anak
43
P.N.H. Simanjuntak, Op. Cit, hal 75. 44
Menurut Pasal 41 UUP No. 1 Tahun 1974 akibat putusnya
perkawinan karena perceraian ialah :
1) Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
terdapat perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan
akan memberikan keputusan;
2) Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam keadaan
tidak dapat memberikan kewajiban tersebut. Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban
bagi bekas istri.
b. Harta benda perkawinan
Mengenai harta benda perkawinan menurut UUP No. 1 Tahun
1974 diatur dalam Bab VII, yaitu Pasal 35, 36, 37. Dalam Pasal 35 UUP
No. 1 Tahun 1974 menyebutkan, bahwa :
1) Harta benda yang diperoleh selam perkawinan menjadi harta
bersama;
2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
dibawah penguasaan masing-masing. Sepanjang para pihak tidak
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa pengertian dari harta
benda perkawinan adalah harta benda yang diperoleh sebelum atau
selama perkawinan berlangsung baik yang didapat oleh suami maupun
istri.
Menurut UUP No. 1 Tahun 1974, harta benda perkawinan, terbagi
atas :45
a) Harta bersama;
b) Harta Pribadi;
(1)Harta bawaan suami
(2)Harta bawaan istri
(3)Harta hibah/warisan suami
(4)Harta hibah/warisan istri
a) Harta bersama
Menurut Pasal 35 UUP No. 1 Tahun 1974, harta bersama
suami istri hanya meliputi harta-harta yang dipeoleh suami istri
sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama
tenggang waktu antara dimulainya sebuah perkawinan sampai
perkawinan itu putus, baik dikarenakan kematian (cerai mati) atau
karena perceraian (cerai hidup).
Harta bersama terdiri dari yaitu : 46
(1) Hasil dan pendapatan suami (2) Hasil dan pendapatan istri
45
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Cet. Ke-2, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993), hal 188.
46
(3) Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama asal kesemuanya itu diperoleh sepanjang perkawinan.
Pada asasnya harta bersama hanya meliputi, yaitu :
(1) Hasil dan pendapatan suami dan istri sepanjang perkawinan;
(2) Hasil yang keluar dari harta pribadi suami dan istri sepanjang
perkawinan;
(3) Dengan demikian harta bersama merupakan hasil dan
pendapatan suami istri atau kedua-duanya secara bersamasama
yang secara otomatis menjadi harta kekayaan bersama.
b) Harta pribadi
Harta pribadi adalah harta yang sudah dimiliki suami atau
istri pada saat perkawinan dilangsungkan dan tidak masuk kedalam
harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain.
Menurut Pasal 35 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, harta
pribadi terdiri dari : 47
(1) Harta bawan suami atau istri
(2) Harta hibah suami atau istri
(3) Harta warisan suami atau istri
Sesuai dengan kata “hak sepenuhnya“ pada Pasal 36 ayat
(2) UUP No. 1 Tahun 1974, bahwa hak yang paling penuh adalah
47
hak milik dan orang yang mempunyai hak milik, mempunyai
wewenang yang paling luas meliputi beheer (pengurusan) dan
beschikking (pemilikan). Kata “masing-masing“ menunjukkan
bahwa suami istri dapat bertindak sendiri-sendiri tanpa bantuan,
kuasa maupun persetujuan dari suami atau istrinya.
Dalam penjelasan Pasal 35 Undang-undang No.1 tahun1974
Tentang Perkawinan, disebutkan juga bahwa apabila perkawinan
putus maka harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.
Pasal 36 UUP No. 1 Tahun 1974 juga menyebutkan bahwa :
(1) Mengenai harta bersama, suami istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak;
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37 UUP No. 1 Tahun 1974 mengatakan bahwa bila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing, adalah Hukum Agama, Hukum Adat,
dan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.
Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan
agama-agama lainnya namun tunduk kepada Hukum Adat, maka dalam
perceraian, maka masing-masing suami atau istri mendapat separuh
dari harta bersama.
Sedangkan bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen
namun tunduk pada KUHPerdata yang mengenal harta bersama,
maka jika terjadi perceraian harta bersama dibagi menjadi dua,
yaitu separuh untuk pihak suami dan separuh untuk pihak istri.
C.HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN
1. Pengertian Harta Bersama
Dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dengan istilah “harta
bersama”, yaitu kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar harta
bawaan, hadiah dan warisan. Maksudnya, harta yang di dapat atas usaha
mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Karena itu,
harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan, yakni harta (baik
bergerak maupun tidak bergerak) yang diperoleh sejak terjalinnya
hubungan suami istri yang sah melalui akad nikah, yang dapat
dipergunakan oleh suami atau istri untuk membiayai keperluan hidup
mereka beserta anak-anaknya, sebagai satu kesatuan yang utuh dalam
rumah tangga.
Menurut M. Yahya Harahap 48
48
M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, (Medan, Zahir Trading Co, 1975), hal 117.
“Harta bersama adalah barang-barang yang diperoleh selama perkawinan dimana suami istri itu hidup berusaha untuk memenuhi kepentingan kebutuhan kehidupan keluarga. Luas-luas harta bersama disamping penting untuk kedua belah pihak suami istri maka hal ini relevant untuk pihak ketiga sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan, yakni :49
a. Semua harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan sekalipun harta atau barang terdaftar diatas namakan salah seorang suami istri, maka harta yang atas nama suami atau istri dianggap sebagai harta bersama;
b. Jika harta itu dipelihara atau diusahai dan telah dialihnamakan ke atas nama adik suami jika harta yang demikian dapat dibuktikkan hasil yang diperoleh selama masa perkawinan maka harta tersebut harus dianggap harta bersama suami istri;
c. Juga dalam putusan yang sama telah dirumuskan suatu kaedah bahwa adanya harta bersama suami istri tidak memerlukan pembuktian bahwa istri harus ikut aktif membantu terwujudnya harta bersama tersebut. Yang menjadi prinsip asal harta itu terbukti diperoleh selama perkawinan;
d. Harta yang dibeli baik oleh suami maupun istri ditempat yang jauh dari tempat tinggal mereka adalah harta bersama suami istri jika pembelian itu dilakukan selama perkawinan;
e. Barang termasuk harta bersama suami istri yaitu :
1) Segala penghasilan harta benda yang diperoleh selama perkawinan termasuk penghasilan yang berasal dari barang asal bawaan maupun barang yang dihasilkan oleh harta bersama itu sendiri;
2) Demikian juga segala penghasilan pribadi suami istri baik dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai
f. Mengenai harta bersama apabila si suami kawin poligami baik dua atau tiga istri maka penentuan harta bersama dapat diambil garis pemisah yaitu:
1) Segala harta yang telah ada antara suami dengan istri pertama sebelum perkawinannya dengan istri kedua maka istri kedua tidak mempunyai hak apa-apa atas harta tersebut;
2) Oleh sebab itu harta bersama yang ada antara suami dengan istri kedua ialah harta yang diperoleh kemudian setelah perkawinan. Jadi harta yang telah ada diantara istri pertama dengan suami adalah harta bersama yang menjadi hak mutlak antara istri pertama dengan suami dimana istri kedua terpisah
49
dan tidak mempunyai hak menikmati dan memiliki atasnya. Istri kedua baru ikut dalam lembaga harta bersama dalam kehidupan keluarga tersebut ialah harta kekayaan yang diperoleh terhitung sejak istri kedua itu resmi sebagai istri.
3) Atau jika kehidupan mereka terpisah dalam arti istri pertama dengan suaminya hidup dalam satu rumah kediaman yang berdiri sendiri demikian juga istri kedua terpisah hidup dalam rumah tangga sendiri dengan suami, apa yang menjadi harta istri pertama dengan suami dalam kehidupan rumah tangga menjadi harta bersama antara istri pertama dengan suami dan demikian juga apa yang menjadi harta kekayaan dalam rumah tangga istri kedua dengan suami. Apa yang diterangkan mengenai harta bersama dalam keadaan suami beristri lebih dari satu seperti yang dijelaskan di atas oleh UU Perkawinan telah diatur pada Pasal 65 ayat (1) huruf b50 dan huruf c51 serta ayat (2), yang memberi kemungkinan penyimpangan dari ketentuan-ketentuan diatas jika suami istri kemungkinan menyimpang dari ketentuan-ketentuan diatas jika suami istri membuat ketentuan-ketentuan lain sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini seperti membuat perjanjian yang diatur dalam Pasal 29. “
Menurut Sayuti Thalib, berpendapat bahwa : “macam-macam harta
suami istri dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu52
a. Dilihat dari sudut asal-usulnya harta suami istri itu dapat digolongkan pada tiga golongan :
:
1) Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri atau dapat disebut sebagai harta bawaan;
2) Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan tetapi diperolehnya bukan dari usaha mereka baik seorang-seorang atau bersama-sama tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan untuk masing-masing;
3) Harta yang diperoleh sesudah mereka dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka disebut harta pencaharian.
b. Dilihat dari sudut penggunaannya maka harta ini dipergunakan untuk :
50
Pasal 65 ayat (1) huruf b UUP No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya.
51
Pasal 65 ayat (1) huruf c UUP No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa semua istri mempunyai hak bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
52
1) Pembiayaan untuk rumah tangga, keluarga dan belanja sekolah anak-anak;
2) Harta kekayaan yang lain.
c. Dilihat dari sudut hubungan harta dengan perorangan dalam masyarakat harta itu akan berupa :
1) Harta milik bersama;
2) Harta milik seseorang tetapi terikat kepada keluarga;
3) Harta milik seseorang dan pemilikan dengan tegas oleh yang bersangkutan.”
Pada awalnya, masalah harta bersama ini muncul karena adanya
prinsip masing-masing suami dan istri masih berhak menguasai harta
bendanya sendiri sebagai halnya sebelum mereka menjadi suami istri,
kecuali harta bersama yang tentunya dikuasai bersama. Oleh karena itu,
harta keluarga (gezinsgoed) dapat disimpulkan dalam empat sumber yaitu :
1) Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari
suami atau istri;
2) Harta hasil usaha sendiri sebelum mereka nikah;
3) Harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena
perkawinan;
4) Harta yang diperoleh selama perkawinan selain dari hibah khusus
untuk salah seorang dari suami istri dan selain dari harta warisan.
Menurut Ismail Muhammad Syah, menyatakan bahwa, keempat
macam sumber harta ini dapat digolongkan dalam dua golongan yaitu
masing-masing yang dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing-masing-masing dari suami dan
istri.53
Keempat sumber harta yang didapat tersebut dapat disebut harta
kekayaan. Konsep harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan
dari segi hukum yang keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan
ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan sedangkan dari segi hukum
menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.54
2. Pengertian Harta Bawaan
Harta jenis kedua yang terdapat dalam suatu ikatan perkawinan
sebagaimana hal itu diatur dalam Pasal 35 ayat (2) jo Pasal 36 ayat (2)
UUP No. 1 Tahun 1974. Pasal 35 ayat (2), harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing- masing-masing sebagai
hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Mengenai harta warisan masing-masing suami dan istri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya. Asas hukum yang diatur dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2)
tersebut merupakan asas tiori hukum yang diatur dalam syariat hukum
Islam, dimana istri tersebut tetap memegang kekayaan sebagai subjek
hukum atas segala miliknya sendiri. Menguasai hasil pencarian yang
53
Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Istri di Aceh Ditinjau Dari Sudut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam, Disertasi dalam Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 1984, hal 148.
54
diperolehnya dari jerih payah yang dilakukannya. Berhak menerima hibah
dan warisan selama perkawinan masih berlangsung. Dan dengan
sendirinya menjadi hak dan berada dibawah pengawasannya sendiri. Jadi
baik barang sesudah perkawinan, hukum Islam menganggap kekayaan
suami dan istri masing-masing terpisah antara yang satu dengan yang lain
dan tidak ada percampuran.55
a. Menurut Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif
Adapun kriteria harta bawaan menurut beberapa doktrin antara lain:
56
1) Harta yang dibawa masing-masing suami istri ke dalam perkawinan termasuk hutang yang belum dilunasi sebelum perkawinan dilangsungkan;
, harta pribadi adalah harta bawaan masing-masing suami istri yang merupakan harta tetap di bawah penguasaan suami istri yang merupakan harta yang bersangkutan sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin. Dengan kata lain, harta pribadi adalah harta yang telah dimiliki oleh suami istri sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Harta pribadi meliputi :
2) Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian dari pihak lain kecuali ditentukan lain;
3) Harta yang diperoleh suami atau istri karena warisan kecuali ditentukan lain;
4) Hasil-hasil dari harta milik pribadi suami istri sepanjang perkawinan berlangsung termasuk hutang yang timbul akibat pengurusan harta milik pribadi tersebut. 57
b. Menurut J. Satrio58
55
M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Op. Cit, hal 128.
56
Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, (Jakarta, Badan Penerbit Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal 96.
57Ibid. 58
J.Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991), hal 66.
, berdasarkan UUP No. 1 Tahun 1974 di dalam satu
keluarga terdapat lebih dari satu kelompok harta, salah satunya yakni
Menurut Pasal 35 ayat (2) UUP No. 1 Tahun 1974, harta yang
sudah dimiliki suami atau istri pada saat perkawinan dilangsungkan dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
tidak termasuk ke dalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan
lain. Harta pribadi tersebut dapat dibedakan lagi meliputi harta bawaan
suami atau istri yang bersangkutan, harta yang diperoleh suami atau istri
sebagai hadiah, hibah atau warisan.
Akan tetapi jika diteliti dalam kalimat Pasal 36 ayat (2) UUP No. 1
Tahun 1974, seolah-olah Undang-Undang ini membuat perbedaan antara
barang-barang milik masing-masing pribadi dalam pengertian59
1) a) Harta bawaan dari masing-masing suami istri;
:
b) dan Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan
sesudah perkawinan;
Barang-barang ini dibawah pengawasan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain;
2) Pasal 36 ayat (2) membuat pengkhususan, yaitu mengenai harta
“bawaan” masing-masing suami dan istri mempunyai hak
“sepenuhnya” untuk melakukan pembuatan hukum mengenai harta
bendanya.
Jika dipertegas, mengenai harta bawaan masing-masing
mempunyai :
a) Hak sepenuhnya;
59
b) Hak melakukan perbuatan hukum atas harta bawaan tersebut.
Ini suatu pertanyaan, karena pada Pasal 35 ayat (2) UUP No. 1
Tahun 1974 sudah jelas apa yang disebut harta benda kekayaan
masing-masing suami dan istri, yakni :
a) Harta bawaan masing-masing suami dan istri;
b) Harta yang diperoleh sesudah perkawinan termasuk
penghibahan, hadiah dan mendapat warisan.
Dari semua harta ini, baik harta bawaan, hibah, hadiah dan
perolehan karena warisan berada dibawah “penguasaan masing-masing”.
Tetapi Pasal 36 ayat (2) lain lagi bunyinya, yang hanya menyebut harta
bawaan saja, masing-masing suami dan istri yang mempunyai hak
sepenuhnya dan untuk melakukan segala perbuatan hukum atas harta
bendanya.
Maka atas dasar ketentuan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan
yang kurang jelas mengenai hubungan kedua ketentuan diatas. Ketidak
jelasan itu menyangkut harta benda yang diperoleh secara pribadi didalam
perkawinan, seperti mendapat hibah, hadiah dan warisan. Sebab jika
mengenai harta bawaan sudah tidak keraguan lagi, yaitu masing-masing
mempunyai hak mutlak yang penuh dan bebas bertindak berbuat apa
sajapun terhadap harta bawaan itu, sepanjang perbuatan yang dibenarkan
hukum. Tetapi bagaimana nasib harta milik pribadi yang lain tersebut
semua harta benda milik bawaan dan yang diperoleh masing-masing
(hibah, hadiah dan warisan) berada dibawah penguasaan masing-masing.
Akan tetapi dalam Pasal 36 ayat (2) hanya harta bawaan saja yang
dikuasai dan dimiliki sepenuhnya. Ini menjadi teka teki yang sulit
dipecahkan. Sebab jika disebutkan hibah, hadiah dan warisan itu termasuk
harta benda bersama juga tidak dapat karena sudah diatur secara terpisah
pada Pasal 35 ayat (1) sedangkan hibah, hadiah dan warisan yang
dikategorikan sebagai milik masing-masing yang berada dibawah
penguasaan masing-masing seperti yang ditentukan pada ayat (2).
Untuk itu pemecahan yang paling tepat sesuai latar belakang
kesadaran berdasar hukum adat ketentuan tersebut harus ditafsirkan
seperti:
a) Mengenai harta bawaan dan harta warisan yang diperoleh dalam
perkawinan, terhadap kedua harta inilah yang dimaksudkan oleh
Pasal 36 ayat (2), masing-masing berhak dan berkuasa penuh
menurut hukum atas harta-harta tersebut;
b) Akan tetapi mengenai hibah dan hadiah atau atas hasil jerih
payah masing-masing termasuk pada kategori Pasal 35 ayat (2),
yaitu berada dibawah pengawasannya masing-masing, tetapi
penguasannya tidak mutlak sepenuhnya seperti berlaku terhadap
harta bawaan dan warisan. Jadi pengawasan ada ditangan
pihak-pihak tapi bagaimana dan kemanfaatan tidak sepenuhnya
3. Prinsip Perjanjian Perkawinan Tentang Harta Bersama
Perjanjian perkawinan atau istilah lainnya adalah pre-nuptial
agreement adalah perjanjian yang dilaksanakan sebelum terjadinya
perkawinan. UUP No. 1 Tahun 1974 mengatur hal tersebut dalam Pasal
29. Dalam membuat perjanjian perkawinan, tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum, kesusilaan, hukum dan agama.
Perjanjian sebagaimana tersebut diatas harus dilaksanakan sebelum
perkawinan dilangsungkan dan dibuat dalam bentuk akta otentik di muka
notaris dan harus disahkan oleh pejabat pencatat nikah. Akta otentik ini
sangat penting, karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan
Pengadilan apabila terjadi sengketa Tentang harta bawaan masing-masing
suami istri. Jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum
perkawinan dilaksanakan, maka terjadi pembauran semua harta suami dan
istri dan harta suami dan istri dianggap harta bersama.
Dalam KUHPerdata ditentukan, bahwa perkawinan suami istri
yang tidak didahului dengan perjanjian kawin mengakibatkan terjadinya
persatuan bulat harta kekayaan perkawinan (algehele gemeenschup van
goederen). Persatuan bulat ini meliputi harta yang mereka bawa dalam
perkawinan, barang bawaan maupun harta yang mereka peroleh selama
perkawinan (harta pencarian) demikian ditentukan Pasal 190 KUHPerdata.
dalam perkawinan tersebut pada prinsipnya hanya ada satu jenis harta
kekayaan yaitu harta bersama suami istri.60
60
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal 15.
KUHPerdata mengatur pengecualian terhadap ketentuan Tentang
persatuan bulat harta kekayaan perkawinan, yaitu bilamana terdapat
hubungan sangat pribadi antara harta dengan pemiliknya dan bilamana
suami atau istri menerima harta secara cuma-cuma dimana si pewaris,
pemberi testamen maupun penghibah menyatakan dengan tegas, bahwa
harta yang diwariskan atau dihibahkan menjadi milik pribadi suami atau
istri yang menerimanya (Pasal 120 jo. Pasal 176 KUHPerdata).
Dalam hal demikian, maka walaupun suami istri tersebut
melangsungkan perkawinan tanpa membuat perjanjian kawin, namun
dalam perkawinan tersebut terdapat dua bahkan tiga macam harta
kekayaan perkawinan, yaitu harta persatuan, harta pribadi suami dan/atau
harta pribadi istri. Jika dalam perkawinan baik suami maupun istri
masing-masing menerima secara cuma-cuma harta menurut Pasal 120 jo. Pasal
176 KUHPerdata, maka dalam perkawinan itu terdapat tiga jenis harta
yaitu harta persatuan, harta pribadi suami dan harta pribadi istri. Namun
jika hanya salah seorang dari suami istri tersebut yang memperoleh harta
secara cuma-cuma berdasar Pasal 120 jo. Pasal 176 KUHPerdata, maka
dalam perkawinan itu hanya terdapat dua macam harta, yaitu harta pribadi
suami dengan harta persatuan atau harta pribadi istri dengan harta
Penyimpangan terhadap ketentuan Tentang persatuan bulat harta
kekayaan dalam perkawinan dapat dilakukan oleh suami dan istri dengan
cara membuat perjanjian kawin yang dituangkan dalam bentuk akta notaris
dan dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 130 jo. Pasal 147
KUHPerdata). Isi perjanjian kawin dalam hal ini dapat berupa persatuan
terbatas harta kekayaan perkawinan (beperkte gemeenschap van
goederen), pemisahan mutlak harta kekayaan perkawinan (uitsluiting van
alle gemeenschap van goederen) dan penyimpangan terhadap pengelolaan
harta kekayaan perkawinan.
Dalam hal perjanjian kawin berisi persatuan terbatas harta
kekayaan perkawinan, maka dalam ikatan perkawinan itu terdapat tiga
jenis harta, yaitu harta kekayaan persatuan (harta kekayaan bersama suami
dan istri), harta pribadi suami dan harta pribadi istri.
KUHPerdata mengatur dua jenis persatuan terbatas harta kekayaan
perkawinan, yaitu:
a. Persatuan untung dan rugi (gemeenschap van winst en verlies, Pasal
155 KUHPerdata dan seterusnya).61
Untuk mengadakan perjanjian kawin yang mengatur persatuan untung
dan rugi, calon suami istri harus menentukan dalam perjanjian adalah
sebagai berikut :
1) Dengan tegas bahwa mereka menghendaki persatuan untung dan
rugi (Pasal 155 KUHPerdata) atau
61
Ko Tjai Sing, Hukum Perdata, Hukum Peorangan, Hukum Keluarga, (Semarang,
2) Bahwa mereka meniadakan persatuan harta kekayaan (Pasal 144
KUHPerdata).
Dengan demikian, ada dua cara untuk menentukan persatuan
untung dan rugi dalam perjanjian perkawinan yang dibuat oleh calon
suami istri.
Pada perjanjian persatuan untung dan rugi, yang menjadi milik dan
beban bersama adalah untung yang diperoleh sepanjang perkawinan
dan rugi yang diderita sepanjang perkawinan. Harta kekayaan (segala
keuntungan dan kerugian) suami istri yang dibawa kedalam
perkawinan dan harta kekayaan yang diperoleh masing-masing secara
cuma-cuma (hibah, warisan, wasiat) sepanjang perkawinan, tetap
menjadi milik pribadi suami istri atau istri dan tidak masuk dalam
persatuan. Dengan demikian terdapat 3 (tiga) harta kekayaan yaitu62
Berdasarkan Pasal 156 KUHPerdata, suami istri masing-masing
akan mendapat dan menanggung setengah bagian dari keuntungan dan
kerugian. Namun, hal tersebut dapat dilakukan penyimpangan,
maksudnya adalah bahwa bagian masing-masing suami istri baik
keuntungan maupun kerugian bisa berbeda, tergantung dari apa yang
diatur dalam perjanjian kawin. Perlu diperhatikan bahwa segala :
1). Milik pribadi suami;
2). Milik pribadi istri;
3). Untung dan rugi yang masuk dalam persatuan.
62
ketentuan dalam persatuan bulat, selama dalam perjanjian kawin tidak
menentukan lain maka berlaku juga bagi persatuan untung rugi.
b. Persatuan hasil dan pendapatan (gemeenschap van vruchten en
inkomsten, Pasal 164 KUHPerdata dan seterusnya).
Mengenai persatuan hasil dan pendapatan, diatur dalam Pasal 164
KUHPerdata. Dalam perjanjian kawin, persatuan hasil dan
pendapatan, maksudnya adalah bahwa antara suami dan istri hanya
akan ada persatuan hasil dan pendapatan yang berarti tidak ada
persatuan bulat menurut Undang-Undang dan tidak ada persatuan
hasil dan pendapatan. Persatuan hasil dan pendapatan pada dasarnya
sama dengan persatuan untung dan rugi, yang membedakan adalah
bahwa apabila dalam persatuan tersebut menunjukkan kerugian, maka
hanya suami yang menanggung. Sedangkan apabila terjadi
keuntungan, maka ditanggung bersama dengan istri, sehingga dengan
demikian istri tidak mungkin atau diwajibkan menanggung kerugian.63
Pengaturan bentuk perjanjian kawin sebagaimana dituangkan dalam
KUHPerdata dimaksudkan agar calon suami istri pada saat membuat
perjanjian kawin dapat memilih bentuk perjanjian yang disepakati
cukup dengan merujuk pada salah satu dari ketiga macam bentuk
perjanjian kawin tersebut.64
63Ibid
, hal 268-269. 64
Dalam hal perjanjian kawin berisi pemisahan mutlak harta
kekayaan perkawinan, maka dalam ikatan perkawinan suami istri terdapat
dua jenis harta, yaitu harta pribadi suami dan harta pribadi istri.65
Calon suami istri juga dapat membuat perjanjian kawin Tentang
pengelolaan harta kekayaan perkawinan yang menyimpang dari ketentuan
KUHPerdata. Menurut KUHPerdata, pengelolaan terhadap harta kekayaan
perkawinan sepenuhnya berada di tangan suami. Ia dapat menjual,
memindahtangankan dan membebani harta kekayaan perkawinan tanpa
campur tangan istri (Pasal 124 KUHPerdata). Untuk membatasi kekuasaan
suami tersebut, maka calon suami istri dapat membuat perjanjian kawin
yang isinya istri mengelola sendiri harta pribadinya atau tanpa campur
tangan istri, suami tidak boleh memindahtangankan harta persatuan yang
berasal dari si istri atau yang diperoleh si istri selama perkawinan
berlangsung (Pasal 140 ayat (2) dan ayat (3) KUHPerdata).
Jika ketentuan KUHPerdata Tentang harta kekayaan perkawinan
dibandingkan dengan ketentuan UU Perkawinan, maka diantara keduanya
terdapat perbedaan yang besar sekali. Menurut UU Perkawinan,
perkawinan yang dilangsungkan dengan tanpa perjanjian kawin, dalam
perkawinan tersebut terdapat tiga jenis harta, yaitu harta persatuan, harta
pribadi suami dan harta pribadi istri. Sedangkan menurut KUHPerdata
dalam keadaan demkian hanya terdapat satu jenis harta yaitu harta
persatuan.
66
65
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Op. Cit, hal 58-60.
66
Hazairin, Op. Cit, hal 36.
sebagaimana diatur dalam Putusan MA Nomor 2691 K/Pdt/1996, tanggal
18 September 1998, kaidah hukum “perjanjian lisan, baru merupakan
perjanjian permulaan yang akan ditindaklanjuti dan belum dibuat di depan
Notaris, belum mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang
membuatnya, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, tindakan terhadap
harta bersama oleh suami dan istri harus mendapat persetujuan suami istri,
perjanjian lisan menjual tanah harta bersama yang dilakukan suami dan
belum disetujui istri maka perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum”.
4. Asas – Asas Hukum Terhadap Harta Bersama Dalam Perkawinan
Semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan
menjadi yurisdiksi harta bersama. Hal ini merupakan asas yang telah
melekat dalam perkawinan yang telah dikembangkan secara enumeratif
dalam praktik peradilan seperti yang dikemukakan oleh M. Yahya
Harahap, sehingga daya jangkaunya menjadi demikian luas. Berdasarkan
pengembangan tersebut, maka harta perkawinan yang termasuk yurisdiksi
harta bersama adalah :67
a. Setiap barang yang dibeli selama dalam ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama
Siapa yang membeli, atas nama siapa terdaftar, dan dimana letaknya, tidak menjadi persoalan. Ini sudah merupakan yurisprudensi tetap, yang salah satu di antaranya adalah putusan M.A Nomor 803K/Sip/1970, tanggal 5 Mei 1971, yang menegaskan bahwa harta yang dibeli oleh suami atau istri di tempat yang jauh dari tempat
67
tinggal mereka adalah termasuk harta bersama suami istri jika pembeliannya dilakukan selama perkawinan.68
b. Harta yang dibeli dan dibangun pasca perceraian yang dibiayai dari harta bersama termasuk yurisdiksi harta bersama
Tetapi, jika uang pembelian barang itu berasal dari harta pribadi suami atau istri, maka barang tersebut tidak masuk dalam yurisdiksi harta bersama, melainkan menjadi milik pribadi suami atau istri yang bersangkutan. Demikian juga halnya jika biaya perwujudan barang tersebut berasal dari harta bawaan, maka barang itu bukan yurisdiksi harta bersama, melainkan sebagai harta bawaan.
Suatu barang termasuk yurisdiksi harta bersama atau tidak ditentukan oleh asal usul biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang tersebut dibeli atau dibangun pasca terjadinya perceraian. Misalnya, suami istri selama perkawinan mempunyai deposito. Kemudian terjadi perceraian. Deposito tersebut dikuasai oleh suami dan belum dilakukan pembagian. Dari deposito tersebut suami membangun rumah. Di sini, rumah tersebut termasuk dalam yurisdiksi harta bersama. Penerapan yang demikian ini sejalan dengan jiwa Putusan M.A No. 803/K/Sip/1970, tanggal 5 Mei 1970, yang pada intinya antara lain menyatakan bahwa apa saja yang dibeli, jika yang pembeliannya itu berasal dari harta bersama, menjadi yurisdiksi harta bersama.69
c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dinyatakan sebagai harta bersama.
Hal ini sangat erat kaitannya dengan kaidah hukum harta bersama dimana semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dengan sendirinya menjadi harta bersama. Hal itu sesuai dengan Keputusan MA No. 808 K/Sip/1975 yang memutuskan bahwa semua harta yang dapat dibuktikan bahwa harta itu diperoleh selama perkawinan berlangsung, walaupun harta/barang itu terdaftar atas nama suami istri, dinyatakan sebagai harta bersama suami istri. Namun pada umumnya, dalam setiap sengketa harta bersama, pihak Tergugat menyangkal bahwa objek gugatan bukan sebagai harta bersama, melainkan milik pribadi Tergugat. Oleh karena itu, patokan untuk menentukan apakah suatu barang termasuk yurisdiksi harta bersama atau tidak, sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilan Penggugat membuktikan dalil gugatannya bahwa objek sengketa itu diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, dan uang pembeliannya tidak berasal dari harta pribadi.
Dalam Putusan PT Medan, tanggal 26 November 1975 yang intinya antara lain menyatakan bahwa pelawan tidak dapat membuktikan bahwa rumah dan tanah terperkara diperoleh sebelum perkawinan dengan suaminya dan malah terbukti bahwa sesuai dengan tanggal
68Ibid
, hal 303. 69
izin mendirikan bangunan, rumah tersebut dibangun di masa perkawinan dengan suaminya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara suami atau istri, sekalipun tanah dan rumah terdaftar atas nama istri, tetap menjadi yurisdiksi harta bersama, asal dapat membuktikan bahwa itu diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung. Bahkan bukan hanya harta yang terdaftar atas nama suami atau istri yang menjadi yurisdiksi harta bersama, melainkan suatu harta yang terdaftar atas nama adik suami/istri pun, tetap menjadi yurisdiksi harta bersama, asal dapat membuktikan bahwa itu diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung.
d. Penghasilan yang berasal dari harta bersama dan harta pribadi menjadi yurisdiksi harta bersama.
Penghasilan yang berasal dari harta bersama menjadi yurisdiksi harta bersama. Ini adalah suatu hal yang logis adanya. Tapi bukan hanya barang yang berasal dari harta bersama saja yang menjadi yurisdiksi harta bersama, melainkan juga penghasilan dari harta pribadi suami atau istri. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi itu tidak lepas fungsinya dari kepentingan keluarga. Barang pokoknya memang tidak boleh diganggu gugat, tapi hasil dari barang tersebut menjadi yurisdiksi harta bersama. Ketentuan ini berlaku sepanjang suami istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.70
e. Segala penghasilan pribadi suami atau istri menjadi yurisdiksi harta bersama
Di sini harus dibedakan antara harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi dengan harta yang timbul dari harta pribadi. Dalam hal harta yang dibeli dari hasil penjualan harta pribadi, secara mutlak menjadi yurisdiksi harta pribadi. Begitu pula milik pribadi yang ditukar dengan barang lain, mutlak menjadi milik pribadi, tetapi hasil yang timbul dari harta pribadi itu jatuh menjadi harta bersama.
Dalam Putusan M.A No. 454/K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971 menyatakan bahwa segala penghasilan suami/istri, baik yang diperoleh dari keuntungan melalui perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai menjadi yurisdiksi harta bersama suami atau istri.71
70Ibid
, hal 306. 71
Ibid.
5. Status Hukum Harta Bersama Dalam Perceraian Antara Suami Istri Terhadap Pihak Ketiga
Status hukum harta bersama dalam suatu perkawinan yang diakhiri
dengan perceraian suami istri mempunyai akibat hukum terhadap
pemecahan harta persatuan dalam perkawinan . Akibat hukumnya antara
lain meliputi :
a. Hutang Persatuan72
Pihak ketiga, yang mempunyai kepentingan terhadap
perubahan-perubahan atas harta suami istri adalah kreditur. Prinsipnya adalah
suami istri masing-masing tetap bertanggung jawab atas
hutang-hutang persatuan yang dibuat olehnya.
Ketentuan ini sebenarnya logis sekali, karena kreditur dahulu pada
waktu mengadakan perjanjian berhadapan dengan suami atau istri.
Pada waktu ia akan meminta pelunasannya tentunya ia datang pada
orang yang dahulu membuat perjanjian dengannya. Apalagi antara
suami dan istri sekarang tidak ada persatuan harta lagi. Suami atau
istri menanggung hutang tersebut dengan harta pribadinya, harta
persatuan telah pecah dan dibagi yang sekarang terdiri dari harta
pribadi aslinya ditambah setengah hak bagiannya dalam harta
persatuan.
Terhadap suami, pihak ketiga dapat menagih untuk seluruh hutang
persatuan walaupun suami nantinya dari pembagian harta persatuan
72