• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Tetet (Johnius belangerii)

2.1.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi

Klasifikasi ikan tetet menurut Bleeker (1853) in www.fishbase.org adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Subkelas : Teleostei Ordo : Perciformes Famili : Sciaenidae Genus : Johnius

Spesies : Johnius belangerii (Bleeker 1853) Nama umum : Hammer croacker, Little jewfish

Nama sinonim : Sciaena sina (Day 1876), Sciaena siamensin (Hora 1924), Wak tingi (Tang 1937)

Gambar 2. ikan tetet (Johnius belangerii)

Ikan laut ini mendiami perairan pantai sampai dengan daerah estuari. Ikan ini memiliki warna hitam pada sirip punggung pertama dan bagian belang pada dasarnya yang menyebar sepanjang sirip punggung kedua (Allen, 1997). Kottelat

(2)

et al. 1993 mengatakan bahwa pada umumnya ikan ini memiliki dua sirip punggung yang sedikit bersambung, dimana sirip kedua sangat panjang dan berjari-jari banyak. Sirip dubur berpangkal pendek dan berjari-jari dua.

Ikan ini mempunyai moncong yang bulat, mata besar, mulut besar dengan letak inferior, rahang atas yang memanjang sampai dengan tepi belakang pupil mata serta panjangnya hampir mencapai setengah dari panjang kepala, dan rahang bawah yang panjangnya sekitar setengah dari panjang kepala. Gigi ikan ini terdiri dari ukuran yang besar dan kecil, gigi yang besar berada pada rahang atas sedangkan gigi yang kecil berada pada rahang bawah serta tidak ada gigi taring. Tapis insang berjumlah 9 sampai 12 lembar dan bergigi kasar pada saat dewasa. Sirip punggung yang pertama mempunyai 10 jari-jari keras sedangkan yang kedua mempunyai satu jari-jari keras serta 27 sampai 30 jari-jari lemah. Sirip dada mempunyai panjang ¾ dari panjang kepala dan lunak. Sirip dubur mempunyai 2 jari-jari keras dan 7 jari-jari lemah. Sisik sikloid terdapat pada bagian atas kepala sedangkan yang lain ktenoid yang terdapat pada bagian bawah kedua sirip punggung serta sirip dubur sampai dengan ujung sirip ekor (Fischer & Whitehead 1974).

Linea lateralis berlanjut sampai dengan sirip ekor yang berbentuk jajaran genjang. Gelembung renang berfungsi sebagai ruang resonansi untuk memperkeras suara yang dihasilkan oleh otot-otot di sekelilingnya. Suara ini keluar secara alami dan khususnya pada musim berkembang biak. Penggunaan suara diduga untuk mengetahui arus di perairan yang berarus deras. Ikan ini memijah dan berkembang biak di muara-muara sungai serta memelihara anaknya di tempat itu juga. Bentuk gelembung renang dan khususnya bentuk tambahan merupakan ciri diagnosa yang penting pada suku ini. Gelembung renang terletak antara rongga perut dan tulang punggung yang berbentuk lonjong atau seperti wortel, sering dengan gelembung renang tambahan. Gelembung renang ini dapat dikeluarkan setelah usus ikan dikeluarkan. Gelembung renang tambahan pada ikan ini merupakan salah satu ciri yang khas karena tidak dimiliki semua ikan (Kottelat et al. 1993).

(3)

2.1.2. Habitat

Secara ekologis ikan tetet hidup di daerah sekitar pantai pada kedalaman 0-40 meter di daerah tropis dan sub tropis. Daerah tangkapan ikan tetet di sekitar pantai pada kedalaman 0-20 meter. Ikan tetet terdapat di Indo Pasifik bagian barat yaitu Pakistan, India, Sri Lanka, terus ke India Timur sampai ke Cina. Spesies ini di pesisir pantai timur Afrika belum teridentifikasi (Burhanudin et al in Setyowati, 2004). Secara geografis, penyebaran ikan tetet meliputi Sumatera (Sungai Rokan, Deli, Pulo Weh, Simalur, Nias), Jawa (Jakarta), Kalimantan, Sulawesi, Papua Nugini (Sungai Lorentz, Sungai Mimika, dan Sungai Varen), Pantai India, Andaman, Malaysia, Laut Cina Selatan, Filipina, dan Australia (Weber & de Beaufort 1936 in Juraida 2004).

2.2. Eksploitasi Sumberdaya Ikan di Indonesia

Luas wilayah laut Indonesia adalah 5,8 juta km2 dengan maximum sustainable yield (MSY) sebesar 6,4 juta ton/tahun dan total tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch/TAC) adalah 5,12 juta ton/tahun (80% dari MSY). Pada tahun 2006 produksi perikanan Indonesia mencapai 4,51 juta ton (70,469% dari MSY) yang masih memungkinkan untuk dilakukan pemanfaatan hingga mencapai TAC.

Potensi penangkapan ikan menurun secara cepat mulai dari perairan pantai menuju laut lepas. Wilayah perairan lautnya (zona maritim), secara umum, merupakan suatu wilayah yang belum dieksploitasi secara optimal (dalam hal ini semua wilayah pengelolaan perikanan kecuali perairan Selat Malaka) sedangkan perairan pantainya merupakan perairan yang lebih tangkap. Tetapi, di bagian sebelah dalam dari kelompok perairan pantai, 30 mil laut, terkonsentrasi mayoritas unit penangkapan dan tercatat tanda-tanda yang paling jelas dari hasil lebih tangkap tersebut yaitu produksi hasil tangkapan yang stagnan dan menurun. Selain itu, juga terdapat kecenderungan semakin meningkatnya pengeksploitasian di wilayah-wilayah perairan yang lebih jauh lagi (ke Selat Makassar, Laut Natuna atau Laut Cina bagian selatan) yang hanya dapat diakses oleh kapal-kapal dengan ukuran tonase yang besar dimana jumlahnya meningkat secara luar biasa sejak 20 tahun yang lalu (Lubis et al. 2005).

(4)

Sumberdaya ikan pelagis kecil tersebar di 9 (sembilan) wilayah pengelolaan perikanan (WPP) seperti dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil di Indonesia

No. Pengelolaan Wilayah Perikanan Luas Sebaran (103 km2) Densitas (ton/ km2) Potensi (103 ton/tahun) Produksi (103 ton/tahun) Pemanfaatan (%) 1. Selat Malaka 92,00 3,20 147,30 132,70 90,15 2. Laut Cina Selatan 550,00 2,26 621,50 205,53 33,07 3. Laut Jawa 400,00 1,70 340,00 507,53 149,27 4. Selat Makasar dan Laut Flores 473,00 2,56 605,44 333,35 55,06 5. Laut Banda 220,00 1,20 132,00 146,47 110,96 6. Laut Seram dan Teluk

Tomini 306,00 2,48 379,44 119,43 31,48 7. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 500,00 1,54 384,75 62,45 16,23 8. Laut Arafuru 438,00 2,14 468,66 12,31 2,63 9. Samudera Hindia 454,00 2,32 526,57 246,56 50,24 10. Jumlah 3.433,00 19,40 3.605,66 1.784,56 51,45 Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (2001)

Dari data pada tabel di atas dapat dikemukakan bahwa kondisi stok di berbagai wilayah perairan telah mengalami penangkapan berlebih (overfishing) seperti perairan Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan (Dahuri 2003). Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa gejala yang menandakan suatu perairan telah mengalami tekanan tangkap yang berlebih yaitu; terjadinya penurunan produksi perikanan atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit effort, CPUE), penurunan hasil tangkapan total yang didaratkan, semakin jauhnya wilayah penangkapan, penurunan berat rata-rata ikan, semakin sedikitnya jumlah nelayan yang melaut, dan penurunan ukuran ikan yang tertangkap.

(5)

2.3. Aspek Pertumbuhan

Menurut Moyle dan Cech (1988) pertumbuhan terjadi karena adanya energi yang berlebih dari hasil metabolisme dalam tubuh. Proses metabolisme ini dikontrol oleh hormon pertumbuhan dan hormon steroid. Selain itu, pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti temperatur air, tingkat oksigen terlarut dan ammonia, salinitas, dan periode sinar yang saling berinteraksi dengan faktor lainnya seperti derajat kompetisi, jumlah dan kualitas makanan yang dicerna, umur, dan tahap kematangan ikan.

2.3.1. Hubungan panjang Berat

Hubungan panjang-berat ikan didasarkan hukum kubik (berat ikan merupakan pangkat tiga dari panjangnya) dan disertai anggapan bentuk dan berat ikan tetap sepanjang hidupnya. Ada dua pola pertumbuhan berdasarkan hubungan panjang dan berat yang dinyatakan dalam rumus W = aLb, pola tersebut adalah isometrik dan allometrik. Dimana Pertumbuhan isometrik adalah pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan berat dengan nilai b = 3, sedangkan pertumbuhan allometrik adalah pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan berat dengan nilai b ≠ 3. Pola pertumbuhan allometrik dapat diklasifikasikan menjadi positif diman b > 3 yang menggambarkan pertambahan berat lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan panjang dan pola pertumbuhan allometrik negatif jika b < 3 yang menggambarkan pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan berat. Dalam persamaan ini, W adalah simbol untuk berat total ikan dan L adalah simbol panjang total ikan, sedangkan a dan b adalah hasil regresi dari W sebagai variabel dependen dan L sebagai variabel independen. Hubungan antara panjang dan berat ikan tersebut dianalisis menggunakan nilai koefisien korelasi jika mendekati 1 maka terdapat hubungan yang erat antara kedua variabel (Walpole 1993).

2.3.2. Frekuensi Panjang

Ikan yang cukup mendapatkan nutrisi akan mengalami pertumbuhan pada periode waktu tertentu. Ikan akan tumbuh hingga panjang maksimum yang

(6)

dapat dicapai. Menurut Ford (1983) dan Walfor (1946) in Spare & Venema et al. (1989) dinyatakan bahwa ikan akan tumbuh sampai panjang ukuran panjang tertentu yang disebut panjang maksimal yang dapat dicapai (L∞). semakin cepat ikan mencapai ukuran tersebut maka umur ikan akan semakin pendek atau sebaliknya. Ikan tumbuh dengan kecepatan tumbuh tertentu (koefisen pertumbuhan) dipengaruhi oleh ketersedian makanan, kualitas lingkungan perairan dan kemampuan ikan usus ikan dalam menyerap nutrisi untuk tumbuh.

2.3.3. Faktor Kondisi

Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan. Salah satu faktor yang menentukan adalah ketersediaan makanan di perairan (Lagler 1961). Faktor kondisi atau indeks ponderal merupakan salah satu derivat penting pertumbuhan yang menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan reproduksi. Penggunaan faktor kondisi secara komersil menunjukkan kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dimakan (Effendie 2002). Faktor kondisi biasa digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat ikan hidup (Lagler 1972 in Juraida 2004).

Variasi faktor kondisi dipengaruhi oleh kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad (TKG), makanan, jenis kelamin, dan umur. Selain sebagai indikator pertumbuhan, faktor kondisi juga dapat menentukan kecocokan lingkungan serta membandingkan berbagai tempat hidup. Nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang baik dengan mengisi sel kelamin (cell sex) untuk proses reproduksinya dibandingkan dengan ikan jantan. Nilai faktor kondisi antara 1-3 menunjukkan bahwa tubuh ikan berbentuk kurang pipih (Effendie 2002).

2.4. Aspek Reproduksi

Tidak setiap individu mampu menghasilkan keturunan, tetapi setidaknya reproduksi akan berlangsung pada sebagian besar individu yang hidup di permukaan bumi ini. Kegiatan reproduksi pada setiap jenis hewan air

(7)

berbeda-beda, tergantung kondisi lingkungan. Ada yang berlangsung setiap musim atau kondisi tertentu setiap tahun. Menurut Fujaya (2004), reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Selain itu, kemampuan individu ikan untuk bereproduksi dalam kondisi lingkungan yang berubah-ubah adalah salah satu faktor yang menentukan kesuksesan hidup ikan. Kesuksesan ini ditentukan dari aspek-aspek anatomi, fisiologi, kebiasaan, dan adaptasi energi (Moyle & Cech 2004).

Waktu reproduksi pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, salinitas, kandungan ion dalam air, arus, lama penyinaran, tersedianya sarang untuk menaruh telur, kelimpahan makanan, dan kondisi-kondisi sosial lainnya. Ikan-ikan yang hidup di daerah beriklim sedang (temperate) bereproduksi pada saat suhu dingin serta dalam hari yang pendek seperti ikan salmon dan ada juga yang bereproduksi pada suhu panas serta dalam waktu sepanjang hari seperti ikan mas (Norris & Jones 1987).

2.4.1. Tingkat Kematangan Gonad dan Indeks Kematangan Gonad

Perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah menggambarkan tingkat kematangan gonad. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu, sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi atau tidak. Dari pengetahuan kematangan gonad akan didapatkan juga keterangan ketika akan memijah, mulai memijah, atau sudah selesai memijah.ukuran ikan saat pertama kali gonadnya masak perlu diketahui karena ada hubungannya dengan pertumbuhan ikan dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya (Effendie 2002).

Setiap spesies ikan pada saat pertama kali gonadnya masak tidak sama ukurannya. Demikian pula ikan-ikan yang sama spesiesnya. Jika ikan-ikan yang sama spesiesnnya tersebar pada lintang yang perbedaannya lebih dari lima derajat, maka akan terdapat perbedaan ukuran dan umur ketika mencapai kematangan gonad untuk pertama kalinya (Effendie 2002).

(8)

Marza (1938); Wallace & Selman (1981) in Murua (2003) membagi tiga tipe perkembangan oosit, yaitu :

a). Synchronous, yaitu semua oosit yang ada berkembang dan mengalami ovulasi pada saat yang bersamaan.

b). Group-synchronos, yaitu ovarium memiliki dua kelompok oosit dengan tingkat kematangan yang berbeda. Kelompok yang pertama dikeluarkan pada saat musim pemijahan pertama kali. Sedangkan kelompok yang kedua akan dikeluarkan pada musim pemijahan yang selanjutnya.

c). Asynchronous, yaitu ovarium yang mengandung oosit yang memiliki tingkat kematangan yang berbeda dan proses oogenesis berlangsung setiap saat.

Indeks kematangan gonad menyatakan perubahan yang terjadi dalam gonad. Indeks ini merupakan persentase perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan. Perubahan IKG berkaitan erat dengan tahap perkembangan telur. Umumnya gonad akan semakin bertambah berat dengan bertambahnya ukuran gonad dan diameter telur. Pada ikan betina nilai IKG lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Berat gonad mencapai maksimum sesaat sebelum ikan akan memijah dan nilai IKG akan mencapai maksimum pada kondisi tersebut (Effendie 2002). Perkembangan gonad merupakan tanda yang dipakai untuk melihat pola musim dalam daur reproduksi ikan yang dapat terlihat jelas ketika ikan matang gonad, memijah, dan pulih kembali (Jennings et al. 2001).

2.4.2. Fekunditas

Energi yang terbatas untuk reproduksi dapat dialokasikan oleh ikan dalam beberapa cara. Ikan biasanya akan memproduksi telur yang sangat kecil, beberapa telur berukuran besar atau keturunan muda yang hidup. Pemijahan dapat terjadi sepanjang tahun atau setahun sekali. Banyak strategi yang dilakukan ikan untuk mengalokasikan energi untuk reproduksi yang sedikit, tetapi pada umumnya adalah ikan cenderung memproduksi telur dengan jumlah ribuan sampai jutaan (Jennings et. al. 2001). Fekunditas merupakan jumlah telur yang terdapat pada ovari ikan betina dan merupakan salah satu faktor yang mudah diukur (Moyle & Cech 2004). Bagenal (1978) in Effendie (2002) membedakan antara fekunditas

(9)

dengan fertilitas. Fekunditas adalah jumlah telur matang yang akan dikeluarkan, sedangkan fertilitas adalah jumlah telur matang yang dikeluarkan oleh induk.

Menurut Nikolsky (1963) in Effendie (2002) mengatakan bahwa jumlah telur yang terdapat dalam ovari ikan dinamakan fekunditas individu, fekunditas mutlak atau fekunditas total. Namun, Nikolsky (1969) in Efendie (2002) mengatakan bahwa fekunditas individu adalah jumlah telur dari generasi tahun itu yang akan dikeluarkan tahun itu juga. Di dalam ovari terdapat dua macam ukuran telur, yang besar dan kecil. Telur yang besar akan dikeluarkan pada tahun itu dan telur yang kecil akan dikeluarkan pada tahun berikutnya.

Fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan berat atau panjang. Fekunditas ini sebenarnya mewakili fekunditas individu jika tidak diperhatikan berat atau panjang ikan. Penggunaan fekunditas relatif dengan satuan berat menurut Bagenal (1967) in Effendie (2002) lebih mendekati kondisi ikan itu sendiri daripada panjang. Bahkan menurut Nikolsky (1969) in Effendie (2002) mengatakan bahwa fekunditas relatif lebih mencerminkan status ikan betina dan kualitas telur jika berat yang digunakan tanpa berat alat-alat pencernaan makanannya. Ikan-ikan yang tua dan besar ukurannya mempunyai fekunditas relatif lebih kecil. Umumnya, fekunditas relatif lebih tinggi dibanding fekunditas individu. Fekunditas relatif akan menjadi maksimum pada golongan ikan yang muda (Nikolsky 1969 in Effendie 2002).

Beberapa ikan laut dari sub-kelas teleostei memiliki fekunditas yang tinggi dari ribuan sampai jutaan telur yang dihasilkan ikan betina per tahun. Namun, ada juga sebagian kecil dari golongan Sebastes yang melahirkan anaknya atau vivipar (Breder & Rosen 1966 in Jennings et al. 2001). Hasil dari reproduksi akan meningkat sesuai dengan ukuran tubuh ikan. Selain itu, peningkatan fekunditas yang disebabkan oleh panjang tubuh ikan lebih cepat daripada kenaikan berat tubuh ikan karena panjangnya. Rasio antara berat tubuh dan hasil reproduksi biasanya digunakan untuk mengukur upaya reproduksi ikan karena lebih tepat daripada mengukur keseluruhan energi yang dipakai ikan untuk reproduksi (Hirshfield 1980 in Jennings et al. 2001).

Saat musim pemijahan untuk beberapa jenis ikan, terutama ikan-ikan pelagis seperti ikan tuna (sardines) dan ikan teri (anchovies) mengalami matang

(10)

gonad dan mengeluarkan telurnya berkali-kali dalam waktu harian, mingguan, atau bulanan. Walaupun beberapa jenis ikan mengeluarkan telurnya dalam waktu satu kali saja. Sabagai contoh ikan Gadus morhus di Norwegia memijah setiap tiga hari sekali dalam masa pemijahannya selama 50 hari (Kjesbu 1989 in Jennings et al. 2001).

2.4.3. Diameter Telur

Ukuran telur dapat dinyatakan dalam banyak cara. Diameter tunggal yang biasa digunakan, tetapi diameter terpanjang juga kadang-kadang digunakan. Selain itu panjang telur dan lebar telur juga digunakan. Ukuran-ukuran telur yang lain mencakup volume telur, bobot basah dan bobot kering. Dari segi energetika istilah terbaik untuk ukuran telur adalah kandungan energi per telur atau joule per telur. Kalori telur menunjukkan jumlah energi yang tersedia bagi embrio untuk berkembangan (Sucipto, 2008).

Ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil. Hubungan positif antara ukuran larva dan ukuran telur telah dilaporkan untuk Salmo salar, Onchorhynchus mykiss, Onchorhynchus keta, dan

Clupea harengus (Kamler 1992 in Sucipto 2008). Keuntungan ukuran awal yang

dimiliki larva yang menetas dari telur besar dapat kurang berarti selama perkembangan selanjutnya, atau bahkan hilang. Pada Salmo salar keuntungan ini hilang setelah 5 minggu pertama pertumbuhan; pada Oncorhynchus mykiss keuntungan ini hilang setelah 16 minggu (Kamler 1992; Utiah 2006 in Sucipto 2008).

Kemampuan larva yang kecil untuk bertumbuh sehingga mempunyai kecepatan yang sama dengan larva yang lebih besar sangat penting untuk tujuan komersial. Potensi yang sangat penting adalah menemukan kelangsungan hidup telur dan larva tidak dipengaruhi oleh ukuran telur (Kjorsvik et al. 1990; Utiah 2006 in Sucipto 2008).

Gambar

Gambar 2. ikan tetet (Johnius belangerii)
Tabel 1. Tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “ANALISA MOMEN PUNTIR

Dengan keberhasilan yang dicapai pada siklus II, membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran Two Stay Two Stray dengan Menggunakan Media Visual dalam

Sales Counter  merupakan bagian yang bertugas melayani customer  dalam proses pembelian mobil-mobil Honda yang dilakukan langsung di dealer Honda Tunas Jaya Mobil

Jumlah produksi ikan layang yang meningkat, maka harga ikan juga akan meningkat dapat dilihat pada jumlah produksi dan harga ikan layang pada bulan Oktober

Jika cara-cara yang selamat membutuhkan lebih banyak pekerjaan dari pada cara yang tidak aman, seseorang akan memilih cara yang tidak aman, untuk menghemat

Seperti kita ketahui Linux yang kita kenal dapat kita fungsikan juga sebagai printer dan file sharing, yaitu penggunaan resource perangkat keras komputer secara bersama-sama dalam

The enhancement in tensile modulus, tensile strength and hardness with up to 5.0 phr ALK loading is attributed to a higher reinforcement level of silica to natural rubber due to

in heterogeneous environments with different types of source systems, levels of data quality, and levels of detail now use ODS objects to create an enterprise data ware- house