TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Morfologis Ikan Lemeduk
Klasifikasi ikan Lemeduk (Barbodes schwanenfeldii) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Cypriniformes
Famili : Cyprinidae
Genus : Barbodes
Spesie : Barbodes schwanenfeldii
Ikan Lemeduk mempunyai sinonim nama seperti Barbonymorus schwanefeldii, Barbus pentazona schwanefeldii, Barbus schwanefeldii, Puntius schwanefeldii (Fishbase, 2014). Ikan Lemeduk (B. schwanenfeldii) mempunyai nama lokal yang sering disebut ikan kapiek, lempam, lempem, lampam, tenadak
Ikan Lemeduk mempunyai ciri-ciri seperti bentuk tubuh pipih melebar
dengan badan berwarna perak dan kuning keemasan, sirip punggung berwarna
merah dengan bercak hitam pada ujungnya, sirip dada, sirip perut dan sirip dubur
berwarna merah, sirip ekor berwarna oranye atau merah dengan pinggiran garis
hitam dan putih sepanjang cuping sirip ekor. Garis rusuk dengan sisik garis rusuk
35-36, terdapat 13 sisik sebelum awal sirip punggung dan 8 sisik antara sirip
punggung dan gurat sisi (Kottelat dan Whitten, 1993). Ukuran rata-rata ikan ini
antara 10-25 cm dan berat sekitar 200-600 g. Ikan ini dapat mencapai ukuran
maksimal 30 cm dan berat lebih dari 1 kg (Christensen, 2007 dalam Isa, dkk.,
2012).
Distribusi Habitat
Ikan lemeduk merupakan ikan yang hidup di sungai dan danau. Pada
musim banjir ikan ini masuk ke rawa-rawa dan tempat-tempat yang baru
tergenang. Ikan-ikan ini sering tertangkap di tempat-tempat yang digunakan untuk
keperluan rumah tangga dan pada malam hari berada di daerah pinggir dan tempat
yang bervegetasi (Setiawan, 2007). Distribusi ikan Lemeduk ini mulai dari
Sumatra, Borneo, Malaya dan Indochina. Ikan ini merupakan ikan konsumsi
penting, terutama di Sumatera Barat yang secara umum dipelihara di
kolam-kolam (Kottelat dan Whitten, 1993).
Secara umum ikan Lemeduk dapat dijumpai hidup pada kedalaman
1,0-4,0 m, suhu antara 25°C-30°C, kecerahan antara 40-120 cm, pH berkisar 5-7
dengan keadaan arus lemah atau pada tempat-tempat yang merupakan lubuk.
Hidup pada dasar perairan berpasir lumpur dan ditempat-tempat berbatu yang
Di daerah Riau, ikan Lemeduk (B. schwanenfeldii) merupakan salah satu spesies ikan hasil utama Sungai Kampar dan perairan umum lain sekitarnya. Ikan
lemeduk tertangkap dengan alat tangkap seperti rawai, jala, jaring insang dan
pancing. Penangkapan ikan dilakukan sepanjang tahun, namun khusus ikan
Lemeduk, puncak penangkapannya adalah musim kemarau yaitu pada saat
permukaan air di sungai mencapai titik paling rendah. Pada waktu tersebut
kadang-kadang penangkapan dilakukan beramai-ramai dengan menggunakan
jaring atau alat penangkap yang terbuat dari daun kelapa (Siregar, 1989).
Pertumbuhan
Pola pertumbuhan dapat memberikan informasi tentang hubungan
panjang-berat dan faktor kondisi ikan, merupakan langkah utama yang penting
dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan. Pola pertumbuhan
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sangat bermanfaat dalam penentuan
selektivitas alat tangkap agar ikan-ikan yang tertangkap hanya yang berukuran
layak tangkap (Mulfizar, dkk., 2012).
Pertumbuhan merupakan proses utama dalam hidup ikan, selain
reproduksi. Pertumbuhan adalah perubahan ukuran ikan dalam jangka waktu
tertentu, ukuran ini bisa dinyatakan dalam satuan panjang, bobot maupun volume.
Ikan bertumbuh terus sepanjang hidupnya, sehingga dikatakan bahwa ikan
mempunyai sifat pertumbuhan tidak terbatas (Rahardjo, dkk., 2011).
Seperti telah dikemukakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor ini dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar
yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan
diantaranya ialah keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Dalam suatu kultur,
faktor keturunan mungkin dapat dikontrol dengan mengadakan seleksi untuk
mencari ikan yang baik pertumbuhannya. Tercapainya kematangan gonad untuk
pertama kali kiranya mempengaruhi pertumbuhan yaitu kecepatan pertumbuhan
menjadi sedikit lambat. Sebagian dari makanan yang dimakan tertuju kepada
perkembangan gonad. Faktor luar utama yang mempengaruhi pertumbuhan ialah
makanan dan suhu perairan. Namun dari kedua faktor itu belum diketahui faktor
mana yang memegang peranan lebih besar (Effendie, 2002). Royce (1973) dalam
Febriani (2010) menyatakan kombinasi dari kedua faktor ini biasanya sangat
berpengaruh di daerah perairan temperate atau wilayah artik yang membeku pada musim dingin. Hal ini dikarenakan ketika suhu mendekati 0°C maka aktivitas
metabolisme dan pertumbuhan bersifat minimal.
Pada awalnya ikan tumbuh lambat, karena pada saat itu masih dalam fase
perkembangan hidup awal ketika pertumbuhan lebih dipusatkan pada
penyempurnaan organ-organ tubuh. Ketika organ tubuh telah sempurna
berkembang, maka pertumbuhan dalam panjang menjadi pesat sampai mencapai
kedewasaan. Selanjutnya jumlah energi yang masuk dialihkan dari pertumbuhan
jaringan somatik kepada pertumbuhan jaringan gonad. Sebagai konsekuensinya
laju pertumbuhan ikan dewasa lebih lambat daripada ikan belum dewasa
(Rahardjo, dkk., 2011)
Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui dengan melakukan analisis
hubungan panjang-beratnya. Berat dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang.
menduga berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan mengenai
pertumbuhan, kemontokan dan perubahan dari lingkungan (Effendie, 2002).
Hubungan panjang dan beratnya ini mempunyai beberapa manfaat, yaitu
menduga bobot ikan dari panjang untuk individu ikan atau untuk kelas panjang
ikan, menduga biomassa ikan jika sebaran frekuensi panjang diketahui, dan
mengubah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dalam panjang menjadi
pertumbuhan dalam bobot (Rahardjo, dkk., 2011). Hubungan panjang antara
variabel panjang dan bobot ikan dapat diketahui dengan menggunakan analisis
regresi. Rumus umum mengenai hubungan panjang bobot adalah W=aLb, dengan
a dan b adalah konstanta yang diperoleh dari perhitungan regresi antara W (bobot)
dan L (panjang) (Effendie, 1997). Semakin berat tubuh ikan akan linear dengan
tingkat kematangan gonad (TKG) dan nilai indeks gonad somatik (Azrita, dkk.,
2010).
Seksualitas Ikan
Dilihat dari fungsi reproduksinya, ikan terbagi menjadi dua yakni jantan
dan betina. Sebagian besar jenis ikan tidak menunjukkan perbedaan tubuh luar
antara jantan dan betina. Kondisi ini dinamakan monomorfisme. Perbedaan kedua
jenis kelamin ini secara nyata hanya dapat dilakukan dengan membedah ikan dan
melihat ciri seksual primer. Ciri seksual primer ditandai oleh organ yang
berhubungan langsung dengan proses reproduksi, yaitu testis dan salurannya pada
ikan jantan dan ovarium dan salurannya pada ikan betina. Ciri ini tampak dengan
jelas dan pasti pada ikan yang dewasa (Rahardjo, dkk., 2011).
Sifat seksual sekunder adalah tanda-tanda luar yang dapat dipakai untuk
morfologi yang dapat dipakai untuk membedakan jantan dan betina, maka spesies
itu mempunyai seksual dimorfisme. Apabila yang menjadi tanda tadi itu warna,
maka ikan itu mempunyai sifat seksual dikromatisme. Pada ikan jantan
mempunyai warna yang lebih cerah dan lebih menarik dari pada ikan betina
(Effendie, 2002).
Menurut Haryono (2006) ciri kelamin sekunder berguna untuk
membedakan jenis kelamin jantan dan betina secara morfologis tanpa harus
melakukan pembedahan terhadap organ reproduksinya. Pada ikan lemeduk tidak
ditemukannya adanya tanda-tanda luar (ciri seksual sekunder) (Siregar, 1989).
Berdasarkan tipe reproduksinya, ikan dapat dibagi menjadi tiga tipe. Tipe pertama
adalah gonokhorisme (gonochorism), yaitu memiliki jenis kelamin yang terpisah. Tipe kedua adalah hermaprodit (hermaphroditism), yaitu kedua jenis kelamin berada pada individu yang sama. Tipe ketiga adalah uniseksualitas (unisexuality), yaitu spesies yang semua individunya betina (Zairin, 2002).
Setelah mengetahui jenis kelamin pada masing-masing ikan maka dapat
dilihat nisbah kelaminnya (Bakhris, 2008). Nisbah kelamin merupakan
perbandingan ikan jantan dan ikan betina yang terdapat di suatu perairan. Dalam
suatu populasi, kondisi ideal adalah pada saat jumlah ikan jantan dan jumlah ikan
betina berbanding seimbang (1:1). Lagler dkk., (1977 dalam Mulyoko, 2010)
menyatakan bahwa pemijahan akan berlangsung baik dengan keadaan
perbandingan jumlah ikan jantan dan betina mendekati 1:1. Nikolsky (1969)
dalam Rahmawati (2006) berpendapat perbandingan kelamin dapat berubah
menjelang dan selama musim pemijahan, dalam ruaya ikan untuk memijah ikan
awalnya ikan jantan lebih banyak dari pada ikan betina, kemudian rasio kelamin
berubah menjadi 1:1 diikuti dengan dominasi ikan betina. Namun pada
kenyataannya di alam perbandingan rasio kelamin tidaklah mutlak, dipengaruhi
oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan
populasi dan keseimbangan rantai makanan (Effendie, 2002).
Reproduksi Ikan
Reproduksi merupakan hal yang sangat penting dari suatu siklus hidup
organisme, dengan mengetahui biologi reproduksi ikan dapat memberikan
keterangan yang berarti mengenai tingkat kematangan gonad, fekunditas,
frekuensi dan musim pemijahan, serta ukuran ikan pertama kali matang gonad
(Nikolsky, 1963 dalam Setiawan, 2007).
Selama proses reproduksi, sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada
perkembangan gonad. Hal ini menyebabkan terdapat perubahan dalam gonad itu
sendiri. Umumnya pertambahan bobot gonad pada ikan betina 10-25 % dan pada
ikan jantan 5-10% dari bobot tubuh. Pengetahuan tentang perubahan atau
tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan
yang akan atau tidak melakukan reproduksi. Pengetahuan tentang kematangan
gonad juga didapatkan keterangan bilamana ikan akan memijah, baru memijah
atau sudah selesai memijah. Ukuran ikan pada saat pertama kali gonadnya
matang, ada hubungan dengan pertumbuhan ikan dan faktor lingkungan yang
mempengaruhinya (Tang dan Affandi, 2004).
Reproduksi ikan sangat ditentukan oleh tingkat kematangan gonadnya.
Gonad yang telah mencapai tingkat kematangan yang sempurnalah dapat menjadi
dengan berkembangannya gonad. Saat mulai berkembang, gonad ikan betina
(telur) mulai terlihat dan akan memenuhi rongga tubuh saat memasuki tahap
matang dan gonad jantan (testis) akan berwarna pucat saat mulai matang (Bakhris,
2008).
Banyak jenis ikan terutama yang hidup di daerah tropis, bereproduksi
sepanjang tahun. Tetapi, kebanyakan jenis ikan mempunyai waktu memijahnya
sendiri-sendiri. Ada yang biasa memijah pada bulan purnama, dan ada pula yang
memijah ketika terjadi air pasang (Patent, 1976 dalam Fahmi, 2001).
Yustina dan Arnentis (2002) berpendapat ikan kapiek (B.
schwanenfeldii) bereproduksi disekitar bulan September. Pada bulan September jumlah ikan semakin berkurang, disebabkan oleh permukaan air yang naik dan
merupakan stimulus bagi ikan untuk bereproduksi. Berarti ikan pada bulan
September sudah mulai melakukan perjalanan (ruaya) ke daerah pemijahan. Ikan
dalam melakukan ruaya ke daerah pemijahan antara ikan jantan dan ikan betina
masing-masing membuat kelompok sendiri. Umumnya jadwal pemijahan pada
ikan berhubungan dengan penyesuaian terhadap keadaan yang menguntungkan,
terutama yang berhubungan dengan persediaan makanan yang diambil dari luar
setelah persediaan kuning telurnya habis (Elrifadah dan Rimalia, 2013).
Ikan Lemeduk tergolong pada ikan yang mempunyai tipe reproduksi
biseksual, artinya sperma dan telur berkembang secara terpisah pada individu
yang berbeda. Dengan kata lain, ditemukan adanya ikan jantan dan betina yang
berkembang sejak lahir atau menetas dan setiap individu akan tetap sebagai jantan
Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad ikan ialah tahap tertentu dari perkembangan
gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Kematangan gonad merupakan
berbagai tahap kematangan gonad sampai dengan kematangan akhir (final maturation) dari kematangan sperma atau ovum. Pengetahuan ini untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan atau belum melakukan proses
reproduksi. Di samping itu untuk mendapat keterangan bilamana ikan akan
memijah, baru memijah, atau sudah selesai memijah. Ukuran ikan pada saat
pertama kali gonadnya masak ada hubungan dengan pertumbuhan ikan, faktor
lingkungan yang mempengaruhinya yaitu suhu, makanan, dan hormon (Tang dan
Affandi, 2004).
Tingkat kematangan gonad dapat dipergunakan sebagai penduga status
reproduksi ikan, ukuran dan umur pada saat pertama kali matang gonad, proporsi
jumlah stok yang secara produktif matang dengan pemahaman tentang siklus
reproduksi bagi suatu populasi atau spesies. Pengetahuan tentang pertama kali
ikan matang gonad dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar.
Faktor dalam seperti perbedaan spesies, umur, ukuran serta sifat-sifat fisiologis
ikan tersebut. Sedangkan faktor luar adalah makanan, suhu dan arus (Setiawan,
2007). Pengetahuan tentang kematangan gonad diperlukan antara lain untuk
mengetahui perbandingan ikan yang matang gonad dan yang belum dari stok yang
ada dalam perairan, ukuran atau umur pertama kali ikan matang gonad, waktu
pemijahan, lama dan frekuensi pemijahan.
Menurut Effendie (1979) penentuan TKG dapat dilakukan secara
dan warna serta perkembangan isi gonad. Penentuan TKG secara histologi dapat
dilihat dari anatomi perkembangan gonadnya. Dalam proses reproduksi, awalnya
ukuran gonad kecil, kemudian membesar dan mencapai maksimal pada waktu
akan memijah, kemudian menurun kembali selama pemijahan berlangsung sampai
selesai. Dengan memperhatikan perkembangan histologisnya gonad, akan
diketahui anatomi perkembangan gonad lebih jelas dan mendetail (Effendie,
1979). Secara histologis perkembangan gonad pada ikan jantan (spermatogenesis)
ditandai dengan perbanyakan spermatogonia melalui pembelahan mitosis.
Perkembangan awal ovarium, oogonia masih sangat kecil, berbentuk bulat dengan
inti sel yang besar dibandingkan dengan sitoplasmanya (Gromann, 1982 dalam
Sar, 2007).
Penelitian yang dilakukan Yustina dan Arnentis (2002) terdapat
kecenderungan semakin tinggi TKG maka kisaran panjang dan berat tubuh
semakin tinggi. Selain itu dijumpai pula ikan dengan ukuran kisaran panjang dan
berat yang sama tidak mempunyai TKG yang sama. Hal ini dapat disebabkan oleh
kondisi lingkungan dimana ikan tersebut hidup, ada tidaknya ketersediaan
makanan, suhu, salinitas dan kecepatan pertumbuhan ikan itu sendiri. Menurut
Steven, dkk (1999) dalam Isa (2012) menyatakan bahwa ikan betina yang
beratnya lebih dari 160 g tidak selamanya dalam keadaan matang gonad
sementara ikan jantan dengan berbagai ukuran memiliki testes yang matang dan
Tabel 1. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Lemeduk (B. schwanenfeldii) menurut pada sisi lateral rongga peritoneum bagian depan, berwarna bening dan permukaan licin.
Gonad berupa sepasang benang tetapi jauh lebih pendek dibandingkan ovarium ikan betina pada stadium yang sama pada stadium yang sama dan berwarna jernih belum bisa dilihat satu persatu dengan mata telanjang.
Gonad berwarna putih susu dan terlihat lebih besar dibandingkan pada gonad telur mulai terlihat dengan mata telanjang berupa susu dan mengisi sebagian besar peritoneum. kecoklatan dan lebih gelap. Telur-telur jelas terlihat dengan butiran-butiran yang jauh lebih besar dibandingkan pada tingkat III
Gonad makin besar dan pejal berwarna putih susu dan mengisi sebagian besar peritoneum.
V
(Mijah)
Gonad masih seperti pada tingkat IV, sebagian telur telah mengalami oviposisi (Mijah)
Gonad bagian anal telah kosong dan lebih lembut.
Indeks Kematangan Gonad
Indeks Kematangan Gonad (IKG) adalah angka (dalam persen) yang
menunjukkan perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh. IKG dapat
menggambarkan ukuran ikan pada waktu memijah. Indeks kematangan gonad
dengan kisaran IKG ikan jantan (Effendie, 2002). Individu ikan yang sudah
matang gonad sempurna umumnya mengalami pertambahan bobot gonad, pada
ikan betina sekitar 10-25 %, sedangkan pada ikan jantan sekitar 5-10 % dari bobot
tubuh (Tang dan Affandi, 2004).
Proses pematangan gonad sangat erat kaitannya dengan sinyal-sinyal
lingkungan seperti ketersediaan makanan untuk anak-anak ikan nantinya. Selain
itu, adanya substansi petrichor ketika permukaan perairan naik (flood) yang membasahi dataran yang kering setelah musim kemarau merupakan trigger untuk proses pemijahan (Van der Wall, 2006 dalam Elvyra, 2009).
IKG ikan Lemeduk (B. schwanenfeldii) di Sungai Rangau, Riau berkisar antara 0,013% sampai 3,078%. Dari persentase tersebut mengindikasikan bahwa
ikan Lemeduk termasuk ikan yang mempunyai nilai IKG kecil sekali (Yustina dan
Arnentis (2002).
Fekunditas dan Diameter Telur
Fekunditas merupakan jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada
waktu ikan memijah. Dari fekunditas secara tidak langsung kita dapat menaksir
jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan akan menentukan pula jumlah ikan
dalam kelas umur yang bersangkutan (Effendie, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Yustina dan Arnentis (2002) fekunditas
ikan Lemeduk dengan kisaran berat gonad 2,55 gram adalah 143.093 butir, berat
gonad 3,82 gram adalah 131.305 butir, berat gonad 4,99 adalah 145.438 butir.
Nilai tersebut menunjukkan potensi telur yang dihasilkan untuk satu pemijahan.
Sementara itu fekunditas berdasarkan penelitian Siregar (1989) berkisar
berdasarkan Setiawan (2007) sebesar 5.096 butir telur. Jumlah telur minimum
ikan lampam ditemui pada TKG III sebanyak 1.393 butir telur dan jumlah telur
maksimum ditemukan pada TKG IV sebanyak 7.825 butir.
Moyle dan Cech (1988) dalam Sari (2007) menyatakan bahwa fekunditas
merupakan ukuran yang umum dipergunakan untuk mengetahui potensi
reproduksi suatu jenis ikan. Secara umum, fekunditas akan meningkat sesuai
dengan ukuran tubuh ikan. Lagler et al. (1962) dalam Haryono (2006) menyatakan bahwa jumlah telur yang diproduksi oleh induk betina sangat
dipengaruhi oleh umur induk, ukuran, kondisi dan jenis ikannya, serta pola
pemijahannya dispersal atau dierami.
Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang dari suatu telur
yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera. Perkembangan
diameter telur semakin meningkat dengan meningkatnya tingkat kematangan
gonad (Effendie, 1997). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa telur yang
berukuran besar menghasilkan kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Sementara
itu ukuran larva lebih besar yang berasal dari telur besar daripada yang berasal
dari telur kecil merupakan fenomena yang telah diketahui dengan baik. Ini
terwujud baik pada tingkat intra maupun interspesifik dengan kekecualian
viviparitas pada beberapa teleostei. (Tang dan Affandi, 2004).
Kualitas Air
Perubahan keadaan lingkungan suatu daerah akan sangat berpengaruh
terhadap organisme yang hidup disana. Bila karena sesuatu dan lain hal, keadaan
lingkungan suatu daerah berubah menjadi ekstrim bagi kehidupan suatu spesies
atau mati. Sebaliknya, bila perubahan faktor lingkungan suatu daerah berubah dan
sangat opimal bagi suatu jenis organisme yang dulunya disana kepadatannya
rendah maka akan menyebabkan kepadatannya meningkat. Faktor abiotik yang
merupakan faktor pembatas dapat hidupnya suatu organisme di suatu habitat
adalah faktor fisika dan kimia antara lain adalah suhu, cahaya, pH, oksigen,
nutrien didalamnya dan kecepatan arus. Bila ada satu faktor saja yang tidak cocok
bagi kehidupan organisme disuatu habitat, maka organisme itu tidak akan dapat
hidup di habitat itu (Suin, 2003).
Pada lingkungan perairan, faktor fisik, kimia dan biologis berperan
dalam pengaturan hemoestatis yang diperlukan bagi pertumbuhan dan reproduksi
ikan. Perubahan-perubahan faktor tersebut hingga batas tertentu dapat
menyebabkan stres dan timbulnya penyakit (Irianto, 2005). Faktor lingkungan
yang mempengaruhi daur reproduksi ikan antara lain suhu, intensitas cahaya,
oksigen terlarut, CO2, pH (Tang dan Affandi, 2001).
Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan
menyukai nilai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2003). Kelompok ikan cyprinid dapat
hidup pada pH air 6,0-8,0. Besaran pH ini selain dipengaruhi komposisi kimiawi
air juga aktivitas biologis yang berlangsung di dalamnya (Irianto, 2005). Oksigen
terlarut merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme organisme
perairan (Hariyadi, dkk., 1992 dalam Rahmawati (2006). Oksigen diperlukan ikan
untuk katabolisme yang menghasilkan energi bagi aktivitas seperti berenang,
reproduksi dan pertumbuhan. Dengan demikian, konversi pakan dan laju
pertumbuhan sangat ditentukan oleh ketersediaan oksigen disamping terpenuhinya
Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses
difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam
perairan tersebut. Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi
tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan
dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan ikan pada
saat bergerak atau memijah. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan
oksigen dari udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang
kekurangan oksigen terlarut. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2
ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik) (Salmin, 2005).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan,
karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik
dan anorganik. Selain itu, oksigen juga menentukan biologis yang dilakukan oleh
organisme aerobik atau anaerobik. Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah
untuk mengoksidasi bahan organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah
nutrien yang pada akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi
anaerobik, oksigen yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia
menjadi lebih sederhana dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi
dan reduksi inilah maka peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu
mengurangi beban pencemaran pada perairan secara alami maupun secara
perlakuan aerobik yang ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan
rumah tangga (Salmin, 2005).
Perubahan suhu juga berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan
perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi
pertumbuhannya (Effendi, 2003). Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti
tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau
menyesuaikan pada suhu di lingkungan sekelilingnya. Kisaran toleransi suhu
antara spesies ikan dengan lainnya berbeda (Irianto, 2005).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat
di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik
yang tersuspensi dan terlarut. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan
terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme
akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air (Effendi, 2003).
Kekeruhan pada perairan yang tergenang (lentik), misalnya danau, lebih
banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan
partikel-partikel halus, sedangkan kekeruhan pada sungai yang sedang banjir lebih banyak
disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar, yang berupa
lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh aliran air pada saat hujan (Effendi,