• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Lobster Air Tawar ( Cherax quadricarinatus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Lobster Air Tawar ( Cherax quadricarinatus"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) termasuk ke dalam keluarga Parasticidae. Cherax quadricarinatus dikenal dengan nama dagang red claw, disebut demikian karena pada kedua ujung capitnya terdapat warna merah. Selain sebagai lobster konsumsi, red claw juga cocok dijadikan lobster hias karena memiliki keunggulan pada bentuk dan warna tubuhnya. Wama biru mengkilap terpancar dari tubuhnya (Hartono dan Wijayanto 2006).

Lobster air tawar termasuk kelompok udang air tawar yang siklus hidupnya hanya di air tawar. Lobster air tawar memiliki habitat asli di Australia yang kemudian menyebar ke berbagai belahan bumi. Lobster ini diikelompokkan ke dalam tiga famili berdasarkan daerah penyebarannya, yaitu Famili Astacidae dan Cambridae yang tersebar di belahan bumi utara serta Parastacidae yang tersebar di belahan bumi selatan (Lukito dan Prayugo 2007).

Jenis lobster air tawar yang dikembangkan di Indonesia adalah jenis Cherax

quadricarinatus, jenis ini termasuk ke dalam Famili Parasticidae. Fetzner (2008)

mengklasifikasikan lobster air tawar sebagai berikut:

Filum : Arthropoda

Sub Filum : Mandibulata

Kelas : Crustacea

Ordo : Malacostraca

Sub Ordo : Decapoda Superfamili : Astacidae

Famili : Parastacidae Genus : Cherax

Spesies : Cherax quadricarinatus (von Martens)

Lobster air tawar memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih besar dari udang air tawar lainnya. Tubuh lobster air tawar dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian

chepalotorax dan abdomen. Chepalotorax merupakan bagian depan yang terdiri

atas kepala dan dada, sedangkan abdomen adalah bagian belakang yang terdiri atas badan dan ekor (Hartono dan Wijayanto 2006).

(2)

Kepala lobster terdiri atas enam bagian ruas yang ditutupi oleh cangkang kepala (carapace). Bagian depan kepala memiliki kelopak yang berbentuk segitiga memipih, lebar, bergerigi dan dikelilingi oleh duri yang dikenal dengan

rostrum. Pada bagian kepala terdapat lima pasang kaki (periopod). Pasangan kaki

pertama, kedua dan ketiga mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi capit. Capit pertama berfungsi sebagai senjata untuk menghadapi musuh. Capit kedua dan ketiga sebagai alat yang berfungsi seperti tangan. Kedua pasang kaki lainnya digunakan sebagai alat bergerak atau kaki jalan (Sukmajaya dan Suharjo 2003).

Bagian badan lobster terdiri atas enam ruas badan (abdomen) dengan bentuk agak memipih. Rata-rata lebar badan hampir sama dengan lebar kepala (Sukmajaya dan Suharjo 2003). Pada bagian abdomen terdapat empat pasang kaki renang yang terletak pada masing-masing ruas. Bagian ekor lobster air tawar terdiri atas dua bagian, yaitu ekor kipas (uropod) dan ujung ekor (telson) (Hartono dan Wijayanto 2006). Kelengkapan morfologi lobster air tawar disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Lobster air tawar hidup dan berkembang dengan baik pada lingkungan perairan yang memiliki kisaran suhu optimal 25-29 oC, derajat keasaman (pH) 7-8, alkalinitas 50-200 ppm, oksigen terlarut (DO) sekitar 4 ppm, karbondioksida (CO2) maksimal 10 ppm, dan amoniak maksimal 0,05 ppm. Sumber air

pemeliharaan dapat berasal dari air sungai, air tanah, atau air irigasi (Lukito dan Prayugo 2007).

(3)

2.2 Klasifikasi dan Deskripsi Akar Tuba (Derris elliptica Roxb. Benth)

Akar tuba dikenal dengan nama dagang (umum) jenu (Melayu). Di daerah Sumatera tumbuhan ini dikenal dengan nama jenu (Melayu) dan tuba (Sumatera Utara), sedangkan di Jawa dikenal dengan nama tuwa (Sunda), jenu (Jawa) dan thoba (Madura). Tumbuhan perdu ini memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Relases

Sub Ordo : Papilionaceae Genus : Derris

Spesies : Derris elliptica (Roxb.) Benth.

Tumbuhan akar tuba merupakan perdu pemanjat dengan tinggi dapat mencapai 10 m. Batang berkayu, bercabang monopodial, ketika muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna cokelat kekuningan. Daun majemuk, helaian anak daun berbentuk bulat telur, ujung runcing, tepi rata, pangkal tumpul, pertulangan menyirip, panjang 15-25 cm, lebar 5-8 cm, berwarna cokelat saat muda, dan berwarna hijau ketika tua. Bunga majemuk, bentuk tandan, berambut, panjang 12-25 cm, dan tangkai bunga berwarna ungu. Mahkota berbentuk kupu-kupu, berdiameter sekitar 2 cm, dan berwarna cokelat muda. Buah polong, berbentuk bulat telur, bersayap, panjang 3,5-7 cm, diameter sekitar 2 cm, dan berwarna cokelat muda. Akar tunggang dan berwarna kuning kecokelatan (Kardinan 2002). Penampakan fisik akar tuba dapat dilihat pada Gambar 2.

(4)

Tuba dapat tumbuh baik di semak-semak, hutan atau pinggir sungai pada ketinggian 1-700 m dpl. Tuba tumbuh liar, mulai dari India bagian timur sampai Papua Nugini. Di Indonesia, tuba ditemukan hampir diseluruh wilayah Nusantara. Di Jawa ditemukan mulai dari dataran rendah sampai 1.500 m dpl. Tumbuh berpencar di tepi hutan, di pinggir sungai atau dalam hutan belukar yang masih liar (Kardinan 2002).

2.3 Kandungan Aktif Akar Tuba (Derris elliptica Roxb. Benth)

Bagian akar Derris elliptica memiliki kandungan aktif rotenon sebesar 5,0% (w/w) hingga 13,0% (w/w) dengan total eter yang digunakan sebesar 31,0% (w/w) dari total volume akar yang diekstrak. Selain itu, akar tuba juga mengandung deguelin, elipton, toksikarol, sumatrol, teprosin, malakol, dan lain-lain. Setiap kandungan tersebut bersifat toksik atau berpengaruh terhadap lingkungan dan memiliki efek psikologi terhadap ikan dan serangga, namun tidak terlalu berpengaruh terhadap mamalia termasuk manusia (Dev dan Koul 1997

dalam Irwan 2006).

2.3.1 Rotenon

Rotenon merupakan isoflavonoid dengan isoprene yang terikat pada C-8. Rotenoid yang diekstrak dari akar tuba (Derris elliptica) memiliki nama kimia 1,2; 12a-tetrahydro-8,9-dimethoxy-2 (1-methylethenyl-(1) benzopyrano (2,4b) furo (2,3-h) (1) benzophyran-6 (6H)-one) dengan titik leleh pada 163 oC (Kidd dan James dalam Irwan 2006). Bentuk molekul rotenoid dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur kimia rotenon (Kidd dan James 1991; Kole et al. 1992 dalam Irwan 2006)

(5)

Rotenon memiliki rumus kimia C23H22O6 dengan berat molekul sebesar

394,41 g/mol (Schnick 1974 dalam Hien et al. 2003). Rotenon merupakan senyawa yang mudah larut dalam sejumlah larutan organik misal alkohol dan aseton, akan tetapi tidak larut dalam air (John 1944 dalam Irwan 2006). Berdasarkan penelitian Kidd dan James (1991) dalam Irwan (2006), rotenon sedikit larut dalam air, yaitu sekitar 16 mg/L air pada suhu 100 oC. Cahaya dan udara dapat menyebabkan rotenon mengalami dekomposisi, ditandai dengan perubahan warna dari kuning menjadi merah pekat.

Rotenon merupakan racun kontak atau racun perut terhadap serangga, namun memiliki toksisitas rendah terhadap mamalia (termasuk manusia). Isoplavonoid golonganini memiliki toksisitas tinggi terhadap hewan berdarah dingin terutama terhadap ikan (Matsumura 1985 dalam Irwan 2006). Senyawa golongan ini membunuh serangga dengan menginaktifkan enzim respirasi dan menghasilkan asam glutamik oksidase dalam kondisi oksigen rendah (John 1944 dalam Irwan 2006).

2.3.2 Deguelin

Deguelin merupakan salah satu rotenoid bahan aktif utama dalam akar tuba. Deguelin dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan koloni sel kanker dengan menginduksi apoptosis dan menghentikan siklus sel kanker. Bahan aktif ini juga dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan sel kanker kulit. Beberapa data penelitian menunjukkan bahwa deguelin secara efektif mampu menghambat perkembangbiakan sel kanker paru-paru tanpa menunjukkan efek samping yang menonjol pada sel normal. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa deguelin mampu memicu apoptosis secara selektif kanker jantung dengan menurunkan pengaruh inhibitor, yaitu protein apoptosis (Wenjie et al. 2009).

Ekstrak cair deguelin pada umumnya dapat diproduksi dengan beberapa metode yang menggunakan pelarut organik, yaitu ekstraksi pada suhu ruang, ekstraksi dengan bantuan getaran, dan ekstraksi dengan metode Soxchlet. Selain beberapa metode tersebut, beberapa penelitian menggunakan metode ekstraksi dengan bantuan ultrasonik. Selain itu, berdasarkan beberapa literatur yang ada tentang teknologi pemisahan dan purifikasi deguelin dari rotenoid, beberapa penelitian menghubungkan dengan pemisahan metode kromatografi menggunakan

(6)

silica gel dan kristalisasi deguelin dengan metode kromatografi (high performance liquid chromatography – HPLC), metode yang sering dianggap banyak

memberikan kerugian (Wenjie et al. 2009)

Struktur kimia deguelin dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Struktur kimia deguelin (Wenjie et al. 2009)

2.4 Toksisitas

Toksisitas merupakan kemampuan atau daya racun suatu bahan yang dapat menyebabkan keracunan. Sedangkan toksikan adalah materi atau agen yang mampu menghasilkan efek merugikan pada sistem biologi yang akan menyebabkan kematian. Beberapa jenis toksikan yang umum ditemui adalah pestisida, klorin, limbah industri yang umumnya bersifat racun dan karsinogenik (Koeman 1983).

Parameter kualitas air diantaranya temperatur, kesadahan air, dan oksigen terlarut umumnya digunakan untuk mengetahui pengaruh dari bahan tercemar yang ada di dalam perairan (Abel 1989). Sedangkan faktor lain yang mempengaruhi pengukuran toksisitas adalah waktu dedah (exposure time) atau waktu onset, cara pendedahan, dan sifat fisika kimia bahan tersebut. Jenis dan stadia organisme juga berpengaruh pada pengukuran tingkatan toksisitas suatu bahan (Cassaret dan Donev 1975).

Toksisitas suatu bahan dapat ditentukan dengan mengkaji besarnya (dalam persen) kematian populasi organisme uji. Salah satunya adalah dengan menggunakan uji toksisitas bahan uji terhadap hewan uji yaitu konsentrasi terkecil pada saat kematian 100% organisme uji. Namun, tingkat toksisitas suatu bahan

(7)

sering digunakan pada tingkat kematian 50% organisme uji pada berbagai waktu dedah (LC50) (Cassaret dan Donev 1975).

Kinerja toksik dalam mempengaruhi suatu organisme pada umumnya melalui tiga fase (Koeman 1983):

a. Fase eksposisi

Penyerapan suatu zat oleh suatu objek biologi yang akan memberikan pengaruh berupa efek biologi atau toksik setelah absorbsi zat tersebut.

b. Fase farmakokinetik (toksokinetik)

Penyerapan suatu zat dalam bentuk aktif di dalam peredaran darah atau yang mencapai tempat bekerjanya syaraf.

c. Fase farmakodinamik (toksodinamik)

Fase farmakodinamik atau toksodinamik meliputi interaksi antara molekul zat obat atau zat racun dan tempat kerja spesifik yaitu reseptor.

2.5 Pembiusan (Imotilisasi)

Transportasi lobster merupakan suatu usaha memindahkan lobster hidup dengan diberi tindakan untuk menjaga agar derajat kelulusan hidup tetap tinggi setelah sampai di tempat tujuan. Salah satu tindakan yang digunakan dalam menjaga kelulusan hidup lobster adalah dengan cara menekan metabolisme lobster selama transportasi dengan metode pembiusan (Suryaningrum et al. 1993).

Proses pembiusan adalah suatu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi aktivitas ikan selama transportasi yang berprinsip menekan metabolisme ikan sehingga mampu mempertahankan hidup lebih lama dalam kondisi yang tidak normal. Metode pembiusan merupakan metode yang digunakan dalam transportasi lobster dengan media tanpa air. Metode ini menggunakan prinsip hibernasi, yaitu usaha untuk menekan metabolisme lobster sehingga masuk ke dalam metabolisme basal atau dapat bertahan dalam kondisi minimum (Junianto 2003). Fase ini merupakan fase ketika ikan masih dapat bertahan hidup hanya dengan kebutuhan yang minimal dan menghasilkan metabolisme yang minimal pula (Tseng 1987). Proses hibernasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya penurunan suhu, pembiusan dengan CO2 yang digelembungkan dalam air atau dengan

(8)

Anestesi merupakan suatu kondisi ketika sebagian atau seluruh tubuh kehilangan kemampuan kesadaran. Pada bagian tubuh yang diberikan suatu zat atau obat maka bagian tubuh tersebut akan kehilangan kemampuan untuk merespon rangsangan dari luar. Selain kehilangan respon, anestesi dapat pula menyebabkan kehilangan kesadaran. Hal ini disebabkan oleh pengaruh zat atau obat yang dimasukkan ke dalam tubuh tersebut mempengaruhi sistem syaraf. Zat atau obat anestesi dapat dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara disuntik, dihisap, maupun bersinggungan secara langsung dengan anggota tubuh (Furlong 2004). Anestesi dapat disebabkan adanya pengaruh dari senyawa-senyawa kimia, suhu yang dingin, arus listrik, dan penyakit. Anestesi yang terjadi pada sistem syaraf pusat menyebabkan organisme tidak sadar atau pingsan (Achmadi 2005).

Bahan anestesi mengganggu secara langung maupun tidak langsung terhadap keseimbangan kationik tertentu dalam otak selama masa anestesi (Willford 1970). Gangguan keseimbangan ionik yang disebabkan adanya sianida yang akan menginaktivasi enzim sitokrom dalam sel mitokondria dengan mengikat ion Fe3+/Fe2+ yang terkandung dalam enzim. Adanya pengikatan ion Fe3+/Fe2+

akan menyebabkan biota mati rasa (pingsan) akibat kinerja syaraf kurang berfungsi. Pembiusan (anestesi) akan menyebabkan penurunan laju respirasi pada ikan, hal ini sangat menguntungkan dalam praktek transportasi (FRANZ 2004).

Kecepatan distribusi dan penyerapan oleh sel ini sangat beragam, tergantung pada persediaan darah dan kandungan lemak pada setiap jaringan. Proses terjadinya pemingsanan meliputi tiga tahap (Wright dan Hall 1961):

a) Berpindahnya bahan pembius dari lingkungan ke dalam alat pernafasan suatu organisme;

b) Difusi membran dalam organisme tubuh yang menyebabkan terjadinya penyerapan bahan pembius ke dalam darah;

c) Sirkulasi darah dan difusi jaringan menyebarkan substansi tersebut ke seluruh tubuh.

Lobster yang telah terbius ditandai dengan kondisi lobster yang diam, tidak bergerak tetapi masih dapat memberikan respon terhadap rangsangan fisik dari luar meskipun lemah. Kondisi ini disebut dengan kondisi terbius dan perlakuan

(9)

yang menyebabkan lobster menjadi dalam keadaan tersebut disebut dengan pembiusan (Wibowo et al. 1994). Kriteria aktivitas lobster pada suhu rendah disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Kriteria aktivitas lobster pada suhu rendah Kondisi

Lobster

Kriteria Lobster

normal

Lobster normal, aktif, reaktif, agresif, responsif, keseimbangan bagus, atau aktivitas dan respon lobster mulai berkurang. Antena sangat reaktif dan responsif atau sedikit berkurang terhadap rangsangan fisik dari luar.

Lobster

tenang Lobster tidak menunjukkan gerakan-gerakan reaktif berlebihan atau gerakan yang tidak terkendali. Lobster cenderung tidak banyak bergerak tetapi respon dan keseimbangan masih bagus. Repon antena terhadap gangguan dari luar masih jelas dan kuat.

Lobster lamban

Lobster tidak banyak bergerak, reaksi dan aktivitas makin berkurang, respon terhadap rangsangan fisik dari luar lamban, tetapi keseimbangan masih bagus.

Lobster lemah

Lobster tidak banyak bergerak, reaksi dan aktivitas makin berkurang dan respon lemah.

Lobster diam

Lobster tidak banyak bergerak, reaksi dan aktivitas makin berkurang, respon terhadap gangguan fisik dari luar rendah, jika diganggu tidak memberikan respon tetapi tubuh masih tegak dengan kaki jalan merapat ke cepalootoraks atau keseimbangan mulai terganggu.

Lobster

limbung Lobster diam, respon terhadap rangsangan dari luar mulai lemah atau tidak ada, tubuh menempel pada dasar akuarium. Kaki jalan merapat pada cepalotoraks, keseimbangan terganggu dan posisi tubuh miring. Jika dibalik sulit untuk tegak kembali.

Lobster roboh

Lobster diam, hanya ada sedikit gerakan lemah pada beberapa anggota badannya, tidak ada keseimbangan dengan tubuh roboh. Ketika dibalik tidak tegak kembali, dan ketika diangkat tidak bergerak.

Lobster pingsan

Lobster diam tidak bergerak sama sekali baik di dalam air maupun di udara terbuka. Tetapi jika dibiarkan di udara beberapa saat, 5-10 menit, mulai tampak bergerak-gerak lemah pada kaki jalan dan organ di sekitar mulut.

Lobster

mati Lobster tidak bergerak meskipun sudah ditempatkan di dalam air yang bersuhu normal 24-27 oC.

Sumber: Wibowo et al. (1994) 2.6 Kualitas Air

Air merupakan elemen paling penting bagi kehidupan lobster air tawar. Kualitas perairan yang bagus akan menjadi media hidup yang sangat menunjang kelangsungan hidup lobster air tawar. Sebaliknya, kualitas perairan yang buruk

(10)

dan ekstrim akan menyebabkan lobster air tawar mengalami stres dan akan mempercepat kematian.

Karakteristik fisika dan kimia air memberikan pengaruh mendasar bagi kelangsungan hidup lobster air tawar. Karaktersistik tersebut meliputi oksigen terlarut (disolved oxigen), keasamaan (pH), salinitas, suhu, kandungan nitrogen, material biologi, dan partikel organik atau material tersuspensi (Lesmana 2004). a. Disolved oxigen (DO)

Konsentrasi DO merupakan salah satu parameter kualitas air yang penting bagi kelangsungan hidup lobster air tawar. Deplesi oksigen merupakan penyebab kematian ikan secara mendadak dalam jumlah besar. Rust (2000) menyatakan bahwa oksigen dibutuhkan untuk mempertahankan kesehatan ikan dan sebagai fasilitator proses oksidatif kimiawi. Jika konsentrasi DO yang sesuai tidak dipertahankan, ikan akan mengalami stres dan mempercepat kematian. Kisaran nilai konsentrasi DO dan pengaruhnya terhadap kehidupan ikan disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Kisaran nilai konsentrasi DO dan pengaruhnya pada ikan Kisaran DO (mg/l) Kondisi ikan

0,0 – 0,3 Ikan kecil hidup untuk beberapa saat 0,3 – 1,0 Mematikan dalam jangka waktu yang lama 1,0 – 5,0 Ikan hidup tapi pertumbuhan lambat bila terjadi dalam jangka waktu yang lama

> 5,0 Baik untuk pertumbuhan Sumber: Swingle (1969) dalam Boyd (1990)

b. Derajat keasaman (pH)

Perubahan pH menyebabkan stress pada ikan. Kemampuan air menahan perubahan pH sangatlah penting bagi kelangsungan hidup ikan. Kemampuan kapasitas buffer perairan ini berhubungan dengan adanya karbonat, bikarbonat, dan hidroksida. Air dengan kesadahan rendah memiliki kemampuan yang rendah dalam menahan keasaman (Shepherd dan Bromage 1992). Pengaruh pH terhadap ikan disajikan dalam Tabel 3.

(11)

Tabel 3 Pengaruh perubahan pH terhadap ikan Kisaran pH Pengaruh terhadap ikan

< 4,0 Titik mati asam 4,0 – 5,0 Tidak ada reproduksi 5,0 – 6,5 Pertumbuhan lambat

6,5 – 9,0 Kisaran yang layak untuk reproduksi > 9,0 Titik mati basa

Sumber: Swingle (1969) dalam Boyd (1990) c. Amoniak

Nitrogen dalam air dapat berbentuk amoniak (NH3), nitrit (NO2) maupun nitrat

(NO3). Senyawa ini merupakan gas nitrogen buangan dari hasil metabolisme

udang oleh perombakan protein, yaitu berupa kotoran (feses dan urin). Amoniak merupakan kompetitor kuat oksigen dalam berikatan dengan hemoglobin darah, sehingga kandungan amoniak dalam konsentrasi tinggi akan berdampak buruk pada kesehatan ikan bahkan kematian. Substansi ini sangat beracun, terutama pada pH tinggi. Ketahanan udang terhadap amoniak bervariasi menurut jenis dan stadianya. Konsentrasi sebesar 0,45 mg/L akan menghambat laju pertumbuhan sebesar 50% (Lesmana 2004). Colt (1983) menambahkan bahwa toksisitas amoniak akan meningkat pada kondisi DO yang rendah. Sumber utama amoniak di lingkungan perairan adalah metabolisme ikan, ekskresi ikan, pemupukan dan dekomposisi mikrobial dari komponen nitrogen (Boyd 1982). Ketika amonia memasuki perairan, ion hidrogen langsung bereaksi dan mengubah amonia ke dalam suatu kondisi kesetimbangan antara ion amonium yang tidak beracun (NH4+) dan amonia

tidak terionisasi (NH3) yang beracun.

NH3 + H+ + OH- NH4+ + OH-

Penguraian amonia di air dipengaruhi oleh pH dan suhu (Shepherd dan Bromage 1992).

2.7 Transportasi Sistem Kering

Transportasi lobster air tawar hidup pada dasarnya adalah pemindahan lobster air tawar hidup dari suatu tempat ke tempat lain di dalam suatu wadah yang memiliki berbagai keterbatasan persyaratan hidup dibandingkan dengan

(12)

lingkungan asalnya. Selama transportasi akan terjadi berbagai perubahan lingkungan yang sangat mendadak. Perubahan yang drastis ini dapat mengakibatkan kematian lobster air tawar, sehingga perlu dilakukan modifikasi media transportasi agar perubahan-perubahan tersebut dapat direduksi.

Transportasi udang hidup dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu transportasi sistem basah dan transportasi sistem kering (Junianto 2003). Transportasi sistem kering merupakan pengangkutan udang hidup dengan menggunakan media pengangkutan tanpa air. Pada sistem transportasi ini, udang dikondisikan dalam keadaan tenang atau aktivitas dan metabolismenya rendah. Teknik yang disebut juga dengan imotilisasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan suhu rendah maupun dengan bahan anestesi (Wibowo et al. 1994).

Permasalahan yang dihadapi pada transportasi komoditas perikanan hidup adalah bagaimana cara menekan aktivitas metabolisme ikan (udang) agar kebutuhan oksigen dan hasil metabolismenya serendah mungkin. Berbagai cara yang dilakukan untuk menekan metabolisme pada transportasi dapat meningkatkan kelulusan hidup komoditas perikanan hidup (Tseng 1987).

Transportasi sistem kering memanfaatkan serbuk gergaji, serutan kelapa, maupun rumput laut sebagai media dalam kemasan pengangkutan (Junianto 2003). Suhu memiliki peranan yang sangat penting agar udang tetap

berada dalam kondisi basal. Pada kondisi ini, kadar oksigen yang dikomsumsi udang sangat minimal, yakni hanya untuk mempertahankan hidup saja. Pada transportasi tanpa media air, rongga karapas udang dapat menyimpan air sehingga oksigen yang terdapat dalam air dapat diserap untuk keperluan metabolisme tubuh (Prasetyo 1993).

Kelulusan hidup udang selama transportasi sistem kering dipengaruhi oleh suhu media dan posisi udang dalam kemasan. Udang yang mati sebagian besar adalah udang yang disusun pada lapisan bawah kemasan serta yang berdekatan dengan es. Suhu yang sangat rendah (di bawah suhu pemingsanan) tidak dapat ditoleransi oleh udang selama transportasi menyebabkan udang akan mengalami kedinginan dan mati (Prasetyo 1993).

(13)

2.8 Persiapan dan Persyaratan Lobster Air Tawar untuk Transportasi Lobster air tawar yang ditransportasikan pada umumnya merupakan lobster ukuran komsumsi. Lobster hidup yang akan ditransportasikan harus memenuhi kelengkapan organ sesuai persyaratan SNI 01-4488-1998. Selain harus memenuhi ukuran komersial untuk komsumsi, lobster yang akan ditransportasikan juga harus dalam keadaan sehat, tidak cacat fisik dan tidak mengalami pergantian kulit (moulting), dan tidak sedang bertelur (BSN 2007a). Lobster yang sedang moulting atau bertelur cenderung memiliki daya tahan hidup yang rendah dan berpeluang mati selama transportasi (Suryaningrum et al. 1993).

Tahap penanganan lobster untuk transportasi diatur dalam SNI 01-4490-1998, yaitu penanganan awal, pengangkutan, sortasi, penampungan dan pengkondisian, penenangan, dan pengemasan (BSN 2007b). Proses adaptasi lobster perlu dilakukan sebelum proses pemindahan atau transportasi lobster hidup. Selain itu, lobster harus dipuasakan selama 1-3 hari sebelum proses transportasi. Hal ini

bertujuan untuk mengurangi sebanyak mungkin kotoran yang ada dalam perut, serta mengurangi aktivitas metabolisme lobster yang akan terjadi selama proses

transportasi (Suryaningrum et al. 1993)

2.9 Media Pengisi Kemasan

Pengemasan berfungsi sebagai wadah, pelindung, penunjang, sarana penyimpanan dan transportasi, serta alat persaingan dalam pemasaran (Hambali et al. 1990). Kemasan dalam transportasi lobster air tawar disertai dengan bahan pengisi kemasan, yaitu bahan yang dapat ditempatkan di antara lobster air tawar (ikan hidup). Media pengisi berfungsi untuk menahan agar ikan tidak bergeser di dalam kemasan, menjaga suhu lingkungan di dalam kemasan tetap rendah agar ikan tetap berada dalam kondisi pingsan, serta memberi lingkungan udara dan kelembaban yang memadai untuk kelangsungan hidup ikan (Prasetyo 1993).

Media pengisi yang baik memiliki kapasitas panas yang baik, tidak bersifat toksik, mampu mempertahankan kelembaban, memiliki tekstur yang halus, dan tidak mudah rusak (Wibowo dan Soekarto 1993). Sisi ekonomi bahan pengisi juga penting untuk dipertimbangkan, harga murah dan pemakaian yang dapat berulang

(14)

merupakan faktor lain yang dipertimbangkan dalam pemilihan bahan pengisi kemasan yang akan digunakan saat transportasi.

Media pengisi yang dapat digunakan dalam transportasi krustasea hidup tanpa media air adalah serbuk gergaji, kertas koran, serutan kayu, rumput laut, dan karung goni. Serbuk gergaji merupakan penghambat panas yang terbaik dari beberapa jenis bahan pengisi tersebut (Prasetyo 1993). Media pengisi yang digunakan dalam transportasi lobster hidup untuk komsumsi harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, seperti saniter, higienis, dan tidak meracuni serta mencemari produk (BSN 2007b).

Serbuk gergaji memiliki beberapa keunggulan lain dibandingkan dengan jenis media pengisi lain, diantaranya adalah mampu mempertahankan suhu rendah selama 9 jam tanpa bantuan es dan tanpa beban di dalamnya. Kondisi ini ditunjukkan oleh serbuk gergaji yang dilembabkan dengan air laut, dengan perbandingan 4 bagian serbuk gergaji dan 3 bagian air laut. Selain itu, serbuk gergaji memiliki panas jenis yang lebih besar dibanding sekam dan serutan kayu, daya serap air yang tinggi dan harganya murah (Junianto 2003). Bahan pengisi lain misalnya rumput laut memiliki tingkat kelembaban yang lebih tinggi dibandingkan dengan serbuk gergaji. Namun demikian, rumput laut yang membusuk akan memproduksi amoniak yang bersifat toksik bagi udang (lobster) (Wibowo dan Soekarto 1993).

Pengemasan untuk transportasi udang (lobster) hidup untuk tujuan ekspor umumnya menggunakan kotak styrofoam sebagai kemasan. Styrofoam berfungsi sebagai kemasan primer dan kotak kardus sebagai kemasan sekunder. Tujuan dari penggunaan karton kardus adalah untuk menekan goncangan selama pengangkutan dan memperbaiki penampilan atau estetika kemasan. Kotak karton kardus yang digunakan sebaiknya berdinding ganda yang dilapisi lilin. Lapisan lilin ini dimaksudkan untuk mencegah kerusakan kotak karton karena kelembaban yang tinggi selama pengemasan (Junianto 2003).

Kotak styrofoam digunakan sebagai kemasan primer dalam transportasi komoditas perikanan hidup untuk menghindari penetrasi panas yang dapat merubah suhu di dalam kotak pengemas. Kenaikan suhu di dalam kemasan dapat

(15)

meningkatkan aktivitas metabolisme yang berakibat fatal bagi kehidupan udang (lobster) yang dikemas (Junianto 2003).

Konstruksi kemasan dalam media kering ada tiga, yaitu konstruksi kemasan berlapis, konstruksi bertingkat dan konstruksi kemasan sistem rak. Penilaian susunan dan konstruksi didasarkan pada (1) fungsi melindungi; (2) efesiensi kemasa; (3) kapasitas dingin; dan (4) stabilitas suhu kemasan. Efesiensi kemasan yang paling tinggi adalah tipe kemasan berlapis dengan efesiensi sebesar 50% (Prasetyo 1993).

Suhu kemasan dapat dipertahankan sebesar 15, 20 maupun 25 oC dengan

menggunakan butiran es seberat 115-1.600 gram, 1.120-1.450 gram, dan 990-1.325 gram yang dibungkus dengan plastik. Butiran es diletakkan pada

bagian atas atau bawah kemasan. Butiran es dimasukkan ke dalam plastik kemudian dibungkus dengan kertas koran (Junianto 2003).

Gambar

Gambar 1 Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)
Gambar 2 Akar tuba (Derris elliptica Roxb. Benth)
Gambar 3 Struktur kimia rotenon (Kidd dan James 1991; Kole et al. 1992 dalam  Irwan 2006)
Gambar 4 Struktur kimia deguelin (Wenjie et al. 2009)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Materi Indikator Bentuk tes No Soal 1 3.Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, proseduralber dasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu

Kromatografi kolom merupakan teknik analisis yang digunakan dalam penentuan jumlah komponen yang terdapat pada suatu campuran senyawa, pemisahan, dan pemurnian komponen senyawa

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun tugas akhir dengan judul “Efektivitas

Dengan Poros Kemaritiman Indonesia yang digagas dan akan dikembangkan Pemerintah yang akan datang, saya yakin Program Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara

Kegiatan magang dilaksanakan dengan tujuan memperoleh pengetahuan, dan keterampilan tentang pembenihan lobster air tawar, kendala yang dihadapi dan cara

Teripang memiliki 2 mulut yang terdapat dikedua ujung bagian tubuhnya yaitu bagian kepala dan anus, dan memiliki kaki tabung yang jumlahnya tiga pada bagian ventral untuk

Beberapa fungsi bahan pengisi dalam sistem pengangkutan hidup adalah mencegah biota agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga lingkungan suhu tetap rendah, dan memberi