• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi kasus tentang dampak psikologis anak korban kekerasan dalam keluarga.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi kasus tentang dampak psikologis anak korban kekerasan dalam keluarga."

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

STUDI KASUS TENTANG DAMPAK PSIKOLOGIS ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA

Brigitta Erlita Tri Anggadewi 029114088

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Kasus kekerasan terhadap anak bagaikan fenomena gunung es. Tampak sedikit di permukaan namun sebenarnya sangat meluas. Kasus kekerasan terutama kekerasan fisik seringkali diwarnai dengan kekerasan psikis. Kekerasan ini tidak hanya dapat membuat kondisi fisik korban terganggu, namun juga dampak psikologis yang dapat pula mempengaruhi aspek lain seperti kognitif, relasi sosial dan lain sebagainya. Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap dampak psikologis anak korban kekerasan dalam keluarga.

Penelitian ini merupakan studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara sebagai data utama terhadap subjek dan significant others. Sebagai data sekunder, peneliti menggunakan tes psikologi meliputi tes proyektif (Grafis dan CAT) dan tes inteligensi (CPM). Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak korban kekerasan dalam keluarga berusia 6 tahun.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa secara umum dampak psikologis subjek terganggu. Dampak psikologis yang dialaminya antara lain : mengalami peristiwa traumatis (dengan melihat dan menjadi korban dari peristiwa traumatik); munculnya respon-respon kekhawatiran, ketakutan dan ketidakberdayaan akibat kekerasan fisik; munculnya peristiwa traumatik yang terus berulang dan bertahan (dalam ingatan, tindakan, kesedihan mendalam, serta reaksi fisiologis); melakukan beberapa penghindaran (yang dilakukan pada pikiran perasaan percakapan, tempat aktivitas, orang, partisipasi atau aktivitas, perasan terpisah dan terasing); muncul simptom-simptom yang terus meningkat (ledakan amarah, kewaspadaan berlebih), durasi simptom lebih dari 1 bulan, serta ketidakberdayaan sosial dan ketidakmampuan melakukan tugas penting akibat dari munculnya gangguan-gangguan akibat kekerasan.

Dampak lain yang muncul sebagai temuan tambahan antara lain fobia, agresif, sulit dikendalikan/sulit diatur, fantasi, egoisme, pandangan yang negatif, kebutuhan akan afeksi yang kurang serta banyak melakukan mekanisme pertahanan diri. Namun di sisi lain subjek memiliki impian atau harapan mengenai keluarga dan cita-cita. Kemauan akan mencapai cita-cita didukung dengan hasil CPM yang berada pada grade II dimana subjek memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Kata kunci : kondisi psikologis; kekerasan

(2)

ABSTRACT

CASE STUDY ABOUT CHILD’S PSYCHOLOGICAL EFFECTS OF FAMILY VIOLENCE

Brigitta Erlita Tri Anggadewi 029114088

Psychology Faculties Sanata Dharma University

Yogyakarta

Violence case like ice mountain phenomenon. Middle in the front but very big. Violence case expect physical violence is allways with phsycological violence. This violence not just made physical condition was disturb, but can disturb phsychological condition, cognition, social relation, etc was disurb. The purpose of this research is to know phsychological condition family violence of a child.

This research is case study with qualitative approach and this method is conversation face to face is first data to subject and significant others. The second datas, the researcher research tests is psychological tests are tes projective (Grafis and CAT) and intelligence test (CPM). The research subjects is a child family violence of age 6 year.

The result of this research shows that child abuse has psychological effects to the subject. Phsychological effects is : experienced (witnessed and threat to this traumatics event); response’s involved intense fear, helplessness, or horror; the traumatic event is persistently reexperienced (recurrent distressing recolections, acting, intense phsychological distress, and psychological reactivity); persistent avoidance of stimuli associated with the trauma (thoughts feelings and conversation, places activities and peoples, diminished participation or activities, feeling of detachment); persistent symptoms of increased arousal (outbursts of anger, hypervigilance), and distress or impairment social, occupational, or other important areas functioning.

The other condition is fobia, agressive, fantation, egoism, negative perception, need of afect and defense mechanism. Subject have a dream about family and success. That dream is support with CPM result in grade II, where is definitely above the average in intelectual capacity.

key words : psychological effects; violence

(3)

STUDI KASUS TENTANG DAMPAK PSIKOLOGIS

ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Brigitta Erlita Tri Anggadewi 029114088

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

(4)
(5)
(6)
(7)

“Anak Belajar dari Kehidupannya”

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan perlakuan baik, ia belajar keadilan

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar mempercaya Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyukai diri

v

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan…

Dorothy Law Nolte

Terima kasih Tuhan atas semua cinta yang menguatkan, anugerah yang

indah, serta rintangan dan cobaan yang mendewasakan

Terimakasih atas kelebihan serta kelemahan yang melengkapi di setiap sisi

tumbuh kembang pribadiku, semua itu tidak kusesali pun kuingkari...

Aku hanya terus bersyukur dan berusaha membuat semuanya lebih

baik sesuai dengan kemampuanku, sebab aku percaya...

Engkau telah mempertimbangkan segalanya ketika menciptakan aku

Kupersembahkan karya ini dengan segenap Ketulusan Hati, Kasih dan Cinta untuk :

Yesus dan Bunda Maria

Alm. Bapakku Mc. Sutarto Widodo dan Ibuku tercinta Th. Sri Subyarti

Kedua kakakku tersayang Evitta dan Erikka beserta Suami

Yu Ginem

(8)

ABSTRAK

STUDI KASUS TENTANG DAMPAK PSIKOLOGIS ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA

Brigitta Erlita Tri Anggadewi 029114088

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Kasus kekerasan terhadap anak bagaikan fenomena gunung es. Tampak sedikit di permukaan namun sebenarnya sangat meluas. Kasus kekerasan terutama kekerasan fisik seringkali diwarnai dengan kekerasan psikis. Kekerasan ini tidak hanya dapat membuat kondisi fisik korban terganggu, namun juga dampak psikologis yang dapat pula mempengaruhi aspek lain seperti kognitif, relasi sosial dan lain sebagainya. Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengungkap dampak psikologis anak korban kekerasan dalam keluarga.

Penelitian ini merupakan studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan metode pengumpulan data melalui wawancara sebagai data utama terhadap subjek dan significant others. Sebagai data sekunder, peneliti menggunakan tes psikologi meliputi tes proyektif (Grafis dan CAT) dan tes inteligensi (CPM). Subjek dalam penelitian ini adalah seorang anak korban kekerasan dalam keluarga berusia 6 tahun.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa secara umum dampak psikologis subjek terganggu. Dampak psikologis yang dialaminya antara lain : mengalami peristiwa traumatis (dengan melihat dan menjadi korban dari peristiwa traumatik); munculnya respon-respon kekhawatiran, ketakutan dan ketidakberdayaan akibat kekerasan fisik; munculnya peristiwa traumatik yang terus berulang dan bertahan (dalam ingatan, tindakan, kesedihan mendalam, serta reaksi fisiologis); melakukan beberapa penghindaran (yang dilakukan pada pikiran perasaan percakapan, tempat aktivitas, orang, partisipasi atau aktivitas, perasan terpisah dan terasing); muncul simptom-simptom yang terus meningkat (ledakan amarah, kewaspadaan berlebih), durasi simptom lebih dari 1 bulan, serta ketidakberdayaan sosial dan ketidakmampuan melakukan tugas penting akibat dari munculnya gangguan-gangguan akibat kekerasan.

Dampak lain yang muncul sebagai temuan tambahan antara lain fobia, agresif, sulit dikendalikan/sulit diatur, fantasi, egoisme, pandangan yang negatif, kebutuhan akan afeksi yang kurang serta banyak melakukan mekanisme pertahanan diri. Namun di sisi lain subjek memiliki impian atau harapan mengenai keluarga dan cita-cita. Kemauan akan mencapai cita-cita didukung dengan hasil CPM yang berada pada grade II dimana subjek memiliki kecerdasan di atas rata-rata.

Kata kunci : kondisi psikologis; kekerasan

(9)

ABSTRACT

CASE STUDY ABOUT CHILD’S PSYCHOLOGICAL EFFECTS OF FAMILY VIOLENCE

Brigitta Erlita Tri Anggadewi 029114088

Psychology Faculties Sanata Dharma University

Yogyakarta

Violence case like ice mountain phenomenon. Middle in the front but very big. Violence case expect physical violence is allways with phsycological violence. This violence not just made physical condition was disturb, but can disturb phsychological condition, cognition, social relation, etc was disurb. The purpose of this research is to know phsychological condition family violence of a child.

This research is case study with qualitative approach and this method is conversation face to face is first data to subject and significant others. The second datas, the researcher research tests is psychological tests are tes projective (Grafis and CAT) and intelligence test (CPM). The research subjects is a child family violence of age 6 year.

The result of this research shows that child abuse has psychological effects to the subject. Phsychological effects is : experienced (witnessed and threat to this traumatics event); response’s involved intense fear, helplessness, or horror; the traumatic event is persistently reexperienced (recurrent distressing recolections, acting, intense phsychological distress, and psychological reactivity); persistent avoidance of stimuli associated with the trauma (thoughts feelings and conversation, places activities and peoples, diminished participation or activities, feeling of detachment); persistent symptoms of increased arousal (outbursts of anger, hypervigilance), and distress or impairment social, occupational, or other important areas functioning.

The other condition is fobia, agressive, fantation, egoism, negative perception, need of afect and defense mechanism. Subject have a dream about family and success. That dream is support with CPM result in grade II, where is definitely above the average in intelectual capacity.

key words : psychological effects; violence

(10)

KATA

PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan anugerah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul STUDI KASUS TENTANG KONDISI PSIKOLOGIS ANAK KORBAN KEKERASAN DALAM KELUARGA.

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selain itu untuk menetapkan ilmu yang telah diterima penulis selama duduk dibangku perkuliahan.

Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari banyaknya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik dalam bentuk bimbingan, pemberian data-data, doa serta dorongan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh kerena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Yesus dan Bunda Maria yang telah mencintai, mengampuni, mendampingi, melindungi dan menjadi perisai di setiap langkah hidup penulis. Karya ini dipersembahkan seutuhnya atas kasih-Nya.

2. Dekan bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si atas kesempatan untuk menimba ilmu di fakultas tercinta ini.

3. Pembimbing skripsi bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi atas bimbingan serta kesabaran dalam menghadapi peneliti yang sering cemas dan tidak sabar.

4. Penguji ibu ML. Anantasari, S.Psi.,M.Si. atas senyuman yang melegakan di tengah ketegangan dalam ruang ujian.

(11)

5. Penguji sekaligus interater CAT ibu Agnes Indar Erikawati, S.Psi.,Psi.,M.Si atas tambahan wawasan serta masukan dalam penulisan skripsi ini.

6. Pembimbing akademik ibu Nimas Eki Suprawati, S.Psi, M.Si atas bimbingan akademis setahun ini.

7. Bapak Y. Agung Santosa, S.Psi yang telah ikhlas membantu peneliti dan telah menjadi dosen pembimbing akademik yang sangat sabar selama 3 tahun.

8. Bapak. Y. Heri Widodo, S.Psi, M.Si dan Ibu Y. Titik, S.Psi atas motivasi, perhatian serta persahabatan sehingga peneliti percaya diri dan mampu menghargai diri sendiri.

9. Bapak Drs. Singgih Santoso Wibowo, SU yang telah membimbing sdan membantu peneliti untuk belajar menjadi interater serta telah menjadi interater tes Grafis.

10. Pramusosial dan Pembina Panti atas bantuan dan dukungan selama penelitian, terutama untuk subjek peneliti, terimakasih atas kejujuran kamu. Mbak tetep ingat beliin sandal dek…

11. Alm Bapakku MC. Sutarto Widodo, I know you shining down on me from heaven…I miss u, pak. Ibuku tercinta Th. Sri Subyarti yang selalu menyayangi dan memaafkan di setiap pembantahanku. Doa ibu adalah nyawa dari penulisan skripsi ini. Dan sampai seumur hidupku tidak akan cukup untuk membalas apa yang telah ibu berikan. Lita sangat menyayangi ibu.

12. Kedua kakakku Evitta & Erikka beserta suami (Mas Koko dan Bang Aci) yang selalu ada menjaga peneliti juga Frans dan Freddie kecil (teriakan-teriakan kecil kalian mebuat tante ‘ga ngantuk ngerjain karya ini sayang…)

13. Yu Ginem yang setia menyediakan makanan kecil dan teh hangat setiap malam serta tak pernah telat bangun pagi hanya untuk membangunkan peneliti. Makasih ya thok !

14. Te Yanti, Te Watik, dan semua tante-tanteku yang lain juga oom dan sepupu terutama Ius yang rela diajak bolak-balik oleh peneliti. Hidupku ceria banget karena keluarga ini. 15. Mba’ Adjenk, Thea, Iantswiti dan Winta. Peneliti tidaklah lengkap tanpa kehadiran kalian

dalam hidup ini. Terimakasih atas tawa, airmata serta doa yang saling kita lantunkan bersama. We’re the soulmates are we!

16. Para sahabatku yang tak pernah lupa untuk menyemangatiku : Mitha Arsanti (tetap saling menguatkan ya!), Tanti, Fista (kemandiriannya), Trisa (easy going-nya), Lisna (ketenangannya), Nopex (kemanjaannya, hihihi), Ntrie, Yak-yuk (makasih atas tempat

(12)

tidurnya ya!), Wiwin, Astrid, Dhewi, Era, dan banyak gadis-gadis yang tidak tersebut. I love you all, girls!!

17. Kelompok penelitian: mba Bertha, mba Lianawati, mba Tyo, mba Etik, mba Merlin, mas Oho, mas Kris. Kalian adalah semangat pertama yang membuat peneliti sadar untuk menerima diri sendiri apa adanya dan bahwa penulis juga layak untuk disayangi.

18. Aan dan Tisa (yang selalu ada menjadi sharring yang menyenangkan, terimakasih atas dukungan kalian), Panji (atas asisten dadakannya), Bona (teman sependeritaan kala AKSI), Jaya, mbakku Cynthia (2001), teman-teman F-16 (Wawan, Danang, Neri, Yanuar, Suko dan lainnya) serta adikku Asteria dan Agus, tetap semangat ya dek !

19. Teman-teman pengurus Mukiji angkatan 2003-2006 (Vindoel, Emsa, Riris, Goeng, mas Lalang, mas Hendra, Ajeng, Randi, Tyas Pujo, Ditya, Lana, dll), atas semua pengalaman serta pelajaran berharga akan arti sebuah kerja sama, maaf peneliti sering mengecewakan kalian.

20. Semua teman-teman Psikologi Sanata Dharma angkatan 2002. Thank’s for being a wonderful moment…

21. semua kawan dan sahabat yang tidak tersebut disini. Kalian semua sangat berharga di hati peneliti. Maaf, karena halamannya tidak cukup untuk menulis nama kalian semua…terima kasih banyak..

22. Untuk setiap orang yang pernah datang dan pergi dalam hidup peneliti. Terimakasih atas semua pengalaman berharga yang dilalui bersama-sama.

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

... i

LEMBAR PENGESAHAN

... ii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

... iv

ABSTRAK

...

vi

ABSTRACT

...

vii

KATA PENGANTAR

... viii

DAFTAR ISI... xi

BAB I PENDAHULUAN...

1

A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Rumusan Masalah……….

6

C. Tujuan Penelitian………..

6

D. Manfaat Penelitian………

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………

8

A. Anak………..

8

1.

Pengertian dan Batasan Usia Anak...

8

2.

Ciri-ciri Masa Awal Anak-anak... 9
(14)

3.

Tugas Perkembangan Anak………..

14

B. Kekerasan Terhadap Anak………

16

1.

Pengertian Kekerasan Terhadap Anak………. 16

2.

Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak……….

17

3.

Lingkup Kekerasan Terhadap Anak………...

18

4.

Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Anak...

20

5.

Dampak Psikologis Akibat Kekerasan Fisik dan Psikis... 24

C. Dinamika Kekerasan Keluarga dan Kondisi Psikologis Anak... 27

BAB III METODE PENELITIAN………

33

A. Jenis Penelitian………. 33

B. Batasan Istilah….………..

34

C. Subjek Penelitian….………. 36

D. Metode Pengumpulan Data……….. 36

1.

Wawancara………... 37

2.

Tes Psikologi……… 41

a)

Tes Inteligensi………... 41

b)

Tes Proyektif………. 42

E.

Metode Analisis Data………... 47

F.

Pemeriksaan Kesahihan dan Keabsahan Data... 52
(15)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………..

56

A. Hasil Penelitian……….

56

B. Pembahasan……….. 84

BAB V PENUTUP………..

96

A. Kesimpulan………...

96

B. Saran………. 97

DAFTAR PUSTAKA...

99

Lampiran

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena kekerasan dalam keluarga selama ini dianggap sebagai masalah intern yang kurang perlu diketahui oleh publik. Namun pemberitaan kasus kekerasan yang akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan menunjukkan bahwa kasus kekerasan mulai dibuka dan disorot oleh berbagai media massa bahkan dianggap perlu diketahui oleh khalayak umum. Ada banyak sekali kasus kekerasan di Negara Indonesia yang mulai mencuat ke permukaan. Dari seluruh kasus kekerasan tersebut, kekerasan dalam rumah tangga atau keluarga adalah yang dominan dari seluruh kasus yang ada yakni 302 kasus (Kompas, 9 Januari 2002). Dalam berbagai penulisan, termasuk survei yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di berbagai Negara termasuk Indonesia, kekerasan dalam keluarga bisa menimpa siapa saja, perempuan atau laki-laki; mulai dari anak-anak, orang dewasa, hingga orang berusia lanjut (Kompas, 26 Mei 2003). Data-data dalam kompas, 20 Desember 2004 menunjukkan bahwa dari tahun 1992 - 2002 terdapat 2.184 kasus kekerasan terhadap anak dan kasus kekerasan ini terus bertambah setiap tahun (Kompas, 22 Juli 2006). Dari peningkatan tersebut, peneliti melihat bahwa tindak kekerasan yang dilakukan terhadap anak mengalami peningkatan yang cukup tajam.

(17)

menduga 50-60 persen orang tua melakukan kekerasan terhadap anak (Kompas, 29 Juni 2003). Data ini menguatkan data sebelumnya dari Departemen Sosial pada tahun 2002, dimana tercatat bahwa diperkirakan sebanyak 43.708 anak mengalami kekerasan fisik yang tersebar di 27 propinsi (Pedoman Penanganan Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus, 2004). Sementara itu data lain yang diperoleh menunjukkan bahwa sebanyak 53,5 % (Ikawati dan Rusmiyati, 2003) tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh keluarga sendiri, suatu tempat dimana seharusnya anak mampu tumbuh kembang secara normal, aman dan nyaman.

Terkait dengan kasus ini, Owen dan Strauss (1975) mendefinisikan kekerasan domestik/ keluarga sebagai segala tindakan penganiayaan fisik, seksual atau emosional oleh anggota keluarga. Pendapat lain mengemukakan kekerasan dalam keluarga adalah segala bentuk penganiayaan, perlakuan yang menyimpang, atau penolakan yang dialami oleh orang dewasa atau anak-anak dalam suatu hubungan keluarga, dalam suatu hubungan yang intim, atau dalam hubungan yang ditandai adanya ketergantungan (Department of Justice of Canada, 2003). Berbagai bentuk kekerasan dalam suatu keluarga merupakan suatu tindakan yang melanggar Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dapat dilihat pada penjelasan pasal 13 huruf d yang menjelaskan tentang

(18)

yang diberikan berupa hukuman pidana atau hukuman denda sesuai dengan tingkat kekerasan fisik yang dilakukan.

Suharto (dalam Huraerah, 1998), mengelompokkan kekerasan terhadap anak yaitu kekerasan secara fisik (physical abuse), kekerasan secara psikologis (psychological abuse), kekerasan secara seksual (sexual abuse), dan kekerasan secara sosial (social abuse). Menurut Suharto (dalam Huraerah, 1998) pula, kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Sedangkan kekerasan psikis/psikologis merupakan hardikan atau penyampaian kata-kata kasar terhadap anak.

(19)

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap perubahan-perubahan dalam perkembangannya.

Kasus-kasus kekerasan di atas telah banyak terjadi dan berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah yang salah satunya dengan mendirikan rumah perlindungan dan pusat trauma untuk anak, namun demikian hanya sedikit yang mampu tersentuh oleh lembaga-lembaga tersebut. Kasus-kasus ini seperti tenggelam dan dianggap sebagai masalah keluarga yang tidak layak dikonsumsi oleh publik terlebih apabila dibawa ke meja hukum. Akibatnya kasus kekerasan bagaikan fenomena gunung es, dimana hanya beberapa saja yang tampak di permukaan. Tanpa disadari kasus kekerasan terhadap anak telah merambah ke hampir seluruh lapisan masyarakat.

(20)

dijadwalkan. Perlakuan kekerasan tersebut dilakukan pula kepada adik Nn bahkan ibu Nn pun seringkali melakukan kekerasan fisik terhadap Nn dan adiknya. Perlakuan kekerasan yang dialami oleh Nn dan adiknya dilakukan agar mendapatkan uang serta simpati dari orang lain. Cara yang dilakukan adalah membawa Nn ke jalanan dalam kondisi penuh luka untuk meminta-minta atau mencari sumbangan dengan alasan memerlukan uang untuk membawa Nn berobat. Kakek maupun ibu Nn tidak memperdulikan kondisi fisik maupun psikologis yang dialami oleh Nn. Semakin Nn luka parah maka semakin banyak pula uang yang didapatkan sehingga ketika luka fisik Nn mulai mengering, perlakuan kekerasan kembali dialami oleh Nn. Beberapa waktu lalu adik Nn akhirnya meninggal karena menderita tulang punggung patah dan Nn ditemukan oleh pihak berwenang untuk kemudian diserahkan pada panti asuhan bagian trauma center. Sampai saat ini pihak panti masih belum memberi ijin pada ibu Nn untuk bertemu dengan Nn. Hal ini dilakukan untuk melindungi Nn dari perlakuan kekerasan yang mungkin dapat terulang setelah sebelumnya dibujuk pulang oleh ibunya.

(21)

psikologis anak akibat dari kekerasan terutama kekerasan secara fisik dan psikis/psikologis.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diungkap oleh peneliti adalah : “Bagaimana dampak psikologis subjek yang mengalami kekerasan dalam keluarga ?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : “Mendeskripsikan secara mendalam dampak psikologis subjek yang mengalami kekerasan dalam keluarga.”

D. Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini : 1. Manfaat Teoretis

Manfaat dari penelitian ini secara teoretis dapat membantu menambah pengetahuan mengenai kondisi psikologis yang dapat dialami oleh anak yang mengalami kekerasan dalam keluarga.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Subjek

(22)

b. Bagi Psikolog dan Pendamping

Merupakan tambahan referensi mengenai dampak kekerasan terhadap trauma yang dialami subjek sehingga psikolog/pendamping mampu memberikan sikap, dukungan dan terapi yang tepat supaya subjek dapat bertumbuh kembang secara normal.

c. Bagi Pembaca dan Orang Tua pada umumnya

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anak

1. Pengertian dan Batasan Usia Anak

(24)

Menurut Hurlock (1998), secara luas diketahui bahwa masa kanak-kanak harus dibagi lagi menjadi dua periode yang berbeda-awal dan akhir masa kanak-kanak. Periode awal berlangsung dari umur 2 hingga 6 tahun dan periode akhir dari 6 tahun sampai tiba saatnya anak matang secara seksual. Hurlock juga mengatakan, bahwa pada awal dan akhirnya, masa akhir kanak-kanak ditandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial anak.

2. Ciri-ciri Masa Awal Anak-anak

Subjek mengalami peristiwa kekerasan pada saat berumur di bawah 6 tahun, maka peneliti menggunakan teori pada awal masa anak-anak. Anak memiliki beberapa ciri-ciri yang dapat membedakannya dengan remaja atau dewasa. Adapun beberapa ciri tersebut antara lain perkembangan fisik, perkembangan emosi, perkembangan kognitif, serta perkembangan sosial yang dapat membantu anak dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya secara bertahap.

a. Perkembangan Fisik

(25)

bagian-bagian tubuh berangsur-angsur berkurang dan tubuh cenderung berbentuk kerucut, perut yang rata (tidak buncit), dada yang lebih bidang dan rata, serta bahu lebih luas dan lebih persegi. Untuk masa awal anak-anak ada 3 jenis postur tubuh, yaitu gemuk lembek atau endomorfik, kuat berotot atau mesomorfik, dan ada yang relatif kurus atau ektomorfik. Hurlock (1998) juga menambahkan, bahwa tulang dan otot pada masa awal kanak-kanak menjadi lebih besar dan berat, banyaknya lemak tergantung jenis postur tubuh, serta gigi pada geraham belakang muncul.

b. Perkembangan Emosi

Semua emosi memainkan peran yang penting dalam kehidupan anak karena emosi memiliki pengaruh terhadap penyesuaian pribadi dan sosial (Hurlock, 1991). Menurut Hurlock (1998) pula, selama awal masa anak-anak emosi mereka sangat kuat. Saat ini (awal masa anak-anak) merupakan saat dimana terjadi ketidakseimbangan karena anak-anak “keluar fokus”. Dalam arti bahwa anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional, sehingga sulit untuk dibimbing dan diarahkan.

Hurlock (1998) menambahkan, bahwa emosi yang meninggi pada masa awal kanak-kanak ditandai oleh ledakan amarah yang kuat, ketakutan yang hebat, dan iri hati yang tidak masuk akal. Ada beberapa hal yang menunjang timbulnya emosionalitas yang meninggi (Hurlock, 1991), antara lain :

(26)

2) Kondisi psikologis seperti perlengkapan intelektual yang buruk, kegagalan mencapai tingkat aspirasi, serta kecemasan.

3) Kondisi lingkungan seperti ketegangan, kekangan yang berlebihan, serta sikap orangtua yang terlalu mencemaskan atau melindungi.

Emosi umum yang seringkali muncul pada awal masa kanak-kanak (Hurlock, 1998) antara lain amarah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih, dan kasih sayang.

c. Perkembangan Kognitif

Dunia kognitif anak-anak pra sekolah ialah kreatif, bebas, dan penuh imajinasi (Santrock, 1995). Mengenai perkembangan kognitif pada masa awal kanak-kanak akan terbagi dalam beberapa konsep menurut Santrock (1995), antara lain :

1) Tahap pemikiran praoperasional Piaget (2 – 7 tahun)

Tahap pemikiran praoperasional Piaget memiliki 2 subtahap (Hargenhahn, 2000) :

a) Pemikiran Prekonseptual (2 – 4 tahun)

(27)

berkaki empat. Binatang itu besar dan mempunyai empat kaki jadi binatang itu adalah sapi”.

b) Periode Intuitif (4 – 7 tahun)

Pada tahap ini anak memecahkan masalah secara intuitif sebagai pengganti yang sesuai dengan beberapa aturan secara logis. Hal yang paling menyolok pada tahap ini adalah kegagalan mereka dalam mengembangkan konservasi. Konservasi didefinisikan sebagai kemampuan dalam mencapai angka, panjang, isi, atau area tetap yang konstan meskipun ditunjukkan pada anak dalam angka yang berbeda-beda. Contohnya, seorang anak ditunjukkan pada dua kotak yang diisi pada tingkatan tertentu dengan air. Kemudian salah satu kotak dibalik posisinya menjadi lebih tinggi daripada kotak yang satu. Maka ketika diminta untuk memilih, anak akan memilih kotak yang dibalik sebagai kotak yang memiliki berisi banyak air karena posisi air pada kotak yang dibalik tampak lebih tinggi dan banyak dibandingkan kotak yang satunya. Pada tahap ini anak belum mampu membedakan sesuatu secara kognitif, dimana pada contoh, anak melihat bahwa kotak yang lebih tinggi berisi lebih banyak air daripada yang pendek, padahal kotak tersebut memiliki bentuk serta banyaknya air yang sama.

2) Pemrosesan informasi

(28)

lain yang juga penting dalam pemrosesan informasi adalah analisis tugas. Penganut pemrosesan informasi yakin suatu komponen tugas harus dianalisis. Dengan membuat tugas lebih menarik dan sederhana, peneliti menunjukkan bahwa beberapa aspek perkembangan kognitif anak terjadi lebih awal daripada yang diperkirakan (Santrock, 1995).

Teori anak (Santrock, 1995) mengatakan bahwa anak-anak mengembangkan suatu kesadaran bahwa pikiran itu ada, berhubungan dengan dunia fisik, terpisah dari dunia fisik, bisa berupa obyek secara akurat atau tidak akurat, dan secara aktif menengahi interpretasi tentang realitas dan emosi yang dialami.

3) Perkembangan bahasa

Perkembangan bahasa pada masa awal kanak-kanak dalam Santrock (1995) terbagi dalam perluasan tahap-tahap Brown dan sistem aturan. Lima tahap Brown meliputi panjang rata-rata ucapan, rentang usia, karakteristik bahasa, dan variasi kalimat. Sedangkan dalam system aturan, meliputi perubahan-perubahan dalam fonologi, morfologi, sintaks, semantik, dan pragmatik selama tahun-tahun awal masa anak-anak (Santrock, 1995).

4) Teori perkembangan Vygotsky

(29)

d. Perkembangan Sosial

Dalam Hurlock (1991), dari umur 2 sampai 6 tahun, anak belajar melakukan hubungan sosial dan bergaul dengan orang-orang di luar lingkungan rumah, terutama dengan anak-anak yang umurnya sebaya. Mereka belajar menyesuaikan diri dan bekerjasama dalam kegiatan bermain. Pada masa kanak-kanak awal, pola perilaku dalam situasi sosial terbagi dalam pola perilaku sosial dan pola perilaku yang tidak sosial (Hurlock, 1991) yaitu :

1) Pola Perilaku Sosial, tampak dalam sikap kerja sama, persaingan, kemurahan hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, empati, ketergantungan, sikap ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, meniru, dan perilaku kelekatan (attachment behavior)

2) Pola Perilaku Yang Tidak Sosial, tampak dalam sikap negativisme, agresi, pertengkaran, mengejek dan menggertak, perilaku yang sok kuasa, egosentrisme, prasangka, serta antagonisme jenis kelamin.

3. Tugas Perkembangan Anak

(30)

beberapa tugas perkembangan di masa awal kanak-kanak (lahir sampai usia 6 tahun), yaitu :

a. Belajar berjalan

b. Belajar makan makanan padat c. Belajar berbicara

d. Belajar mengendalikan pembuangan sampah dalam tubuh e. Belajar membedakan jenis kelamin dan kesopanan seksual f. Mencapai stabilitas fisiologis

g. Membentuk konsep sederhana mengenai kenyataan sosial dan fisik

h. Belajar berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara kandung, dan orang lain

i. Belajar membedakan yang benar dan yang salah serta mengembangkan nurani.

(31)

B. Kekerasan Terhadap Anak

Beberapa hal mengenai kekerasan fisikdan psikologis terhadap anak juga perlu dibahas dalam tinjauan pustaka ini untuk lebih mendalami serta untuk menyamakan persepsi antara peneliti dengan pembaca. Hal-hal yang perlu untuk dibahas dan disamakan persepsi antara lain pengertian serta bentuk-bentuk kekerasan kekerasan, lingkup kekerasan, penyebab kekerasan, serta dampak dari kekerasan fisik terhadap anak.

1. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak

Barker (dalam The Social Work Dictionary, 1987) mengatakan, bahwa kekerasan terhadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual. Sementara itu Vander (www.e-psikologi.com, 2002) mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak diartikan sebagai bentuk penyerangan fisik atau melukai anak dan biasanya dilakukan justru oleh orang tua atau atau pengasuh pengaruh dari orang lain yang bukan keluarga. Gelles (dalam Huraerah, 2004) menyebutkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional.

(32)

2. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Anak

Ahimsa, dkk (Suyanto, dkk., 2000) telah mengadakan suatu studi dan menemukan 3 (tiga) bentuk kekerasan yang sering dialami oleh anak-anak, antara lain kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual. Sementara itu, Suharto (Huraerah, 2006), menambahkan kekerasan terhadap anak menjadi 4 (empat) antara lain kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologis, kekerasan secara seksual, serta kekerasan secara sosial. Penjelasan keempat hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

1). Kekerasan anak secara fisik merupakan suatu penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan alat tertentu sehingga dapat menimbulkan luka-luka fisik bahkan dapat menyebabkan kematian terhadap anak.

2). Kekerasan anak secara psikis merupakan penyampaian kata-kata kasar dan kotor, menghardik, memaki, sampai meperlihatkan gambar atau film pornografi pada anak.

3). Kekerasan anak secara seksual merupakan perlakuan prakontak (sentuhan, exhibitionism) maupun kontak seksual langsung (perkosaan) yang dilakukan oleh orang yang lebih besar pada anak.

4). Kekerasan anak secara sosial meliputi penelantaran serta eksploitasi anak. Penelantaran anak merupakan sikap orang tua yang tidak memperhatikan proses tumbuh kembang anak (Suharto dalam Abu Huraerah, 2006).

(33)

fisik, Child Maltreatment juga mencakup bentuk kekerasan lain, yaitu kekerasan seksual (sexual abuse), penelantaran atau penolakan (neglect) dan kekerasan emosi atau psikologis.

3. Lingkup Kekerasan Terhadap Anak

Widjaja (1985) mengatakan bahwa sejak dilahirkan sampai dengan kematian, manusia tidak pernah hidup “sendiri” tetapi selalu berada dalam suatu lingkungan sosial yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Berdasarkan pernyataan tersebut maka bukan hal yang tidak mungkin pula apabila tindak kekerasan terhadap anak dapat terjadi dalam hubungan sosial itu sendiri termasuk dalam keluarga. Pernyataan tersebut sesuai dengan fakta bahwa kekerasan merupakan masalah yang kompleks dimana banyak faktor-faktor yang berbeda (individu, hubungan yang terjalin, dan masyarakat) memainkan peran (Department of Justice Canada, 2003).

Adianingsih (2003) merinci lingkup kekerasan yang dapat terjadi pada anak, antara lain :

a. Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga : 1) Ayah, Ibu, Kakek, Nenek

2) Saudara kandung 3) Kerabat

b. Orang-orang yang terikat atau pernah terikat dalam perkawinan ataupun sebagai partner :

(34)

2) Isteri/mantan isteri 3) Pacar/pasangan

c. Orang-orang yang memiliki hubungan kerja di lingkup domestik/keluarga 1) Pengasuh/perawat formal atau informal

2) Pembantu rumah tangga.

Dari beberapa lingkup tersebut, keluarga sering disebut sebagai pelaku utama dalam tindak kekerasan terhadap anak. Hal ini terbukti dalam suatu penulisan oleh media Jawa Pos, bahwa dari 103 kasus, sebanyak 39,8 % lingkungan keluarga melakukan tindak kekerasan (Ikawati dan Rusmiyati, 2003). Sementara dari media Memorandum menuliskan hal yang serupa dimana dari 230 kasus kekerasan yang dialami oleh anak, sebanyak 53,5 % dilakukan oleh keluarga sendiri. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dalam lingkup keluarga, kekerasan terhadap anak paling rentan terjadi. Hal ini menimbulkan suatu keprihatinan, dimana keluarga seharusnya mampu menjadi tempat yang nyaman agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar.

4. Faktor Penyebab Kekerasan Terhadap Anak

(35)

Bagan 1

Sistem yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Keluarga

Faktor Individu

Faktor Keluarga

Faktor Komunitas

Faktor

Masyarakat/ Budaya

Penjelasan mengenai faktor-faktor di atas dapat disimak di bawah ini :

a. Faktor Individu, antara lain temperamen, kepribadian, perilaku yang dipelajari, sikap, dan pengetahuan mengenai kekerasan dalam keluarga.

(36)

c. Faktor Komunitas, antara lain tingkat dan jenis dukungan yang tersedia, kesempatan belajar yang tersedia, sikap mengenai peran dan tanggung jawab keluarga.

d. Faktor Masyarakat/budaya, antara lain sikap mengenai hak, peran, dan tanggung jawab keluarga, sikap mengenai penggunaan kekuatan untuk mengatasi masalah, sikap mengenai jumlah dan jenis kekerasan yang diperbolehkan.

Moore dan Parton (Huraerah, 2006) juga mengungkapkan bahwa kekerasan anak disebabkan oleh faktor individual, namun ada juga yang berpendapat bahwa struktur sosial lebih berperan sebagai penyebab dari kekerasan terhadap anak. Secara rinci Rusmil (Huraerah, 2006), membagi penyebab kekerasan terhadap anak dalam 3 (tiga) kelompok yaitu :

1. Faktor Orang tua atau Keluarga

Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan terhadap anak diantaranya :

a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak (kepatuhan anak kepada orang tua, hubungan asimetris)

b. Dibesarkan dengan penganiayaan c. Gangguan mental

d. Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berusia 20 tahun

(37)

2. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas

Faktor lingkungan sosial juga dapat menjadi penyebab kekerasan terhadap anak, diantaranya :

a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis b. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah

c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri d. Sistem keluarga patriarkhal

e. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis 3. Faktor Anak itu sendiri

a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya

b. Perilaku menyimpang pada anak

Suharto (Huraerah, 2006) berpendapat bahwa kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat. Faktor-faktor internal tersebut antara lain anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa. Faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat antara lain :

(38)

2) Keluarga tunggal atau keluarga pecah (broken home), misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi.

3) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orangtua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan (unwanted child), anak yang lahir di luar nikah.

4) Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orangtua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi.

5) Sejarah penelantaran anak. Orangtua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya.

6) Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya kontrol sosial yang stabil.

(39)

5. Dampak Psikologis Akibat Kekerasan Fisik dan Psikis

Kekerasan dalam bentuk apapun akan menimbulkan dampak bagi korbannya, demikian pula dalam kasus kekerasan fisik terhadap anak. Beberapa dampak dari kekerasan terhadap anak diantaranya adalah dampak psikologis, dampak fisik, dampak perilaku, dampak akademis, dampak seksual, dampak hubungan sosial, dampak persepsi diri, serta dampak spiritual (Tanya, 1999; Blasio & Camisasca, 2000., dalam Anantasari, 2006). Penelitian ini lebih fokus pada dampak psikologis anak akibat dari kekerasan (fisik dan psikis) yang dilakukan oleh orang tua.

Dalam perspektif psikologis, kekerasan terhadap anak dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis secara permanen serta dapat menyebabkan kerusakan emosi anak. Kerusakan-kerusakan tersebut diantaranya terwujud dalam masalah-masalah seperti mimpi buruk berulang-ulang, kecemasan, rasa takut dan agresi tingkat tinggi, perasaan malu dan bersalah, fobia mendadak, keluhan psikosomatis, simtom depresi, perasaan susah berkepanjangan serta penarikan diri (Tanya, 1999; Blasio & Camisasca, 2000., dalam Anantasari, 2006).

(40)

lain; sampai timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Ketidakberdayaan anak saat menghadapi kekerasan menyebabkan anak mengalami stress dan menimbulkan berbagai macam respon-respon khusus diantaranya mengembangkan PTSD (Post-traumatic Stress Disorder) (www.aap.org/advocacy.childhealthmonth/effects.htm, 2002).

PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stress pasca trauma yang merupakan suatu respon berkepanjangan atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang cenderung menyebabkan distress pada hampir setiap orang (PPDGJ III, 1993). Salah satu contoh penyebab distress yang juga merupakan kasus dalam penelitian ini adalah suatu peristiwa dimana subjek menjadi korban penyiksaan. Menurut PPDGJ III (1993), gejala khas gangguan ini adalah munculnya kejadian traumatik yang terulang kembali (Flashback) atau dalam mimpi, kondisi perasaan “beku” dan penumpulan emosi, menjauhi orang lain, tidak responsif, anhedonia, serta menghindari aktivitas dan situasi yang berkaitan dengan traumanya. Gejala ini muncul setelah terjadinya peristiwa kekerasan yang menyebabkan anak mengalami trauma selama beberapa minggu sampai beberapa bulan. Jarang ada yang melampaui dari 6 bulan, namun apabila hal itu terjadi maka dapat masuk dalam kategori Acute (kurang lebih 3 bulan) sampai Chronic (lebih dari 3 bulan).

(41)

A. Peristiwa traumatis dapat terjadi pada individu yang mengalami 1 atau lebih pada beberapa hal berikut ini :

1.) Mengalami, melihat, atau berhadapan langsung dengan peristiwa tersebut atau peristiwa yang menyulitkan atau ancaman kematian atau penyiksaan atau ancaman terhadap serangan fisik pada dirinya atau orang lain.

2.) Muncul respon-respon kekhawatiran, tidak berdaya, dan ketakutan yang mendalam.

B. Peristiwa traumatik dialami berulang dan bertahan melalui cara berikut : 1.) Pengingatan akan distress yang berulang dan mengganggu akan suatu

peristiwa, gambaran, pikiran atau persepsi

2.) Mimpi menyedihkan yang berulang akan suatu peristiwa

3.) Bertindak atau merasakan seolah peristiwa traumatik berlangsung lagi 4.) Kesedihan psikologis yang mendalam terhadap picuan internal (dari diri

sendiri) dan eksternal (faktor luar) yang mensyaratkan aspek dari peristiwa traumatik

5.) Ada reaksi fisiologis (fisik) yang muncul atas faktor internal (dari diri sendiri) atau eksternal (faktor luar) yang menyimbolkan atau menyerupai aspek dari peristiwa traumatik

C. Penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang terkait dengan trauma dan mati rasa pada respon umum, sebagaimana diindikasikan dengan tiga atau lebih hal berikut ini :

(42)

2). Usaha menghindari aktivitas, tempat atau orang yang mengingatkan akan trauma

3). Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari trauma

4). Secara nyata menghilangkan ketertarikan atau partisipasi pada aktifitas 5). Perasaan tidak terikat dan terpisah dari orang lain

6). Keterbatasan aspek afeksi/emosional

7). Perasaan tidak punya harapan pada masa depan D. Simptom-simptom yang menetap :

1). Kesulitan tidur dan bangun tidur 2). Irritabilitas atau ledakan amarah 3). Kesulitan berkonsentrasi

4). Kewaspadaan berlebih

5). Respon terkejut yang berlebih

E. Durasi dari gangguan (kriteria simptom B, C, D) lebih dari satu bulan

F. Gangguan mengakibatkan distress klinis yang signifikan atau ketidakberdayaan dalam sosial, pekerjaan atau area fungsi penting lain atau ketidakmampuan dalam melakukan tugas-tugas penting.

C. Dinamika Kekerasan Keluarga Terhadap Dampak Psikologis Anak

(43)

sehingga nantinya anak dapat tumbuh kembang secara wajar dan memiliki cukup bekal untuk kemudian terjun di dalam masyarakat ketika dewasa. Keluarga yang memiliki hubungan antar anggota yang hangat dan cukup kasih sayang akan menciptakan perilaku maupun kepribadian yang baik pada anak. Sebaliknya, keluarga dengan suasana yang tidak harmonis dan rentan dengan kekerasan dapat mengancam kestabilan tumbuh kembang anak.

Huraerah (2006) mengatakan bahwa ruang keluarga yang dihiasi oleh suasana pertengkaran, perselisihan dan permusuhan adalah sumber terjadinya kekerasan dan yang paling terkena sasaran kekerasannya adalah anak. Kekerasan terhadap anak terjadi karena berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari anak itu sendiri atau faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat (Suharto dalam Huraerah, 2006). Beberapa hal yang menyebabkan orangtua melakukan kekerasan diantaranya adalah kemiskinan keluarga, penelantaran serta kondisi lingkungan yang buruk (Huraerah, 2006). Kondisi-kondisi demikian seringkali menyebabkan stress karena tidak terpenuhinya taraf hidup yang baik sehingga ketidakmampuan dalam mengatasi stress tersebut dapat menyebabkan sebuah keluarga diwarnai konflik dan kekerasan. Mulai dari sinilah anak sering menjadi korban pelampiasan dan mendapatkan tindak kekerasan serta kurang mendapatkan perawatan serta kasih sayang yang dapat membimbing anak menuju kedewasaan.

(44)

bahwa pengalaman-pengalaman selama 6 tahun pertama dalam kehidupan merupakan faktor penentu yang sangat penting. Maka tindak kekerasan yang melampaui batas dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan anak terutama perkembangan psikologisnya. Pada proses perkembangannya, anak seringkali memiliki emosi yang tidak stabil atau terjadi ketidakseimbangan karena anak “keluar fokus” (Hurlock, 1998). Artinya, anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosi sehingga seringkali sulit dibimbing dan diarahkan. Hal ini akan semakin parah ketika pada masa-masa kritis tersebut anak mengalami perlakuan kekerasan. Akibat dari perlakuan tersebut anak merasa diremehkan dan merasa tidak aman sehingga memunculkan konflik-konflik dalam diri anak seperti konflik-konflik yang bersifat neurotik. Konflik neurotik muncul tidak hanya karena dipelajari oleh anak saja, tetapi terutama dipelajari sebagai akibat dari kondisi-kondisi yang diciptakan oleh orang tua (Dollard Miller dalam Supratiknya, 1993). Jadi apa yang terjadi pada anak merupakan suatu respon dari stimulus yang dikembangkan oleh orang tua termasuk stimulus kekerasan yang memberikan respon rasa takut dan kesendirian pada anak. Dollard Miller (Supratiknya, 1993) menyatakan bahwa stimulus-stimulus tidak menyenangkan yang diperkuat akan menimbulkan respon perasaan takut dan sendirian sehingga reaksi khas yang muncul dapat berupa takut terhadap gelap atau takut sendirian. Dalam penelitian ini, beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa kekerasan merupakan suatu stimulus yang berulang dan semakin diperkuat sehingga mengembangkan permasalahan-permasalahan psikologis.

(45)

atau melihat kekerasan dalam keluarga membawa berbagai macam konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi tersebut antara lain konsekuensi psikologis serta fisik sehingga menimbulkan dampak-dampak yang buruk bagi anak. Dampak yang paling jelas terlihat adalah dampak fisik yang berupa luka ringan atau kecil seperti lecet, luka berat, sampai pada kematian. Selain itu, Family and Domestic Violence Unit (2003) melaporkan bahwa anak korban kekerasan dalam keluarga memiliki peningkatan stress, kecemasan, depresi, dan penyakit-penyakit psikiatris.

Kekerasan yang dilakukan menimbulkan ketakutan pada anak namun seringkali pula anak tidak berdaya dan tidak mampu menunjukkan perlawanan atas ketakutan yang dirasakannya. Mereka hanya mampu menangis atau justru tidak mampu berbuat apapun (www.aap.org/advocacy.childhealthmonth/effects.htm, 2002). Namun melalui kekerasan tersebut anak dapat mengembangkan luka emosional dan turut mempengaruhi aspek-aspek lain yang terkait seperti kognitif maupun interaksi sosial. Beberapa hal ini disebabkan karena anak yang mengalami atau melihat kekerasan di dalam rumah dapat menunjukkan perilaku menarik diri, kecemasan, masalah penyesuaian diri, minat sosial yang sedikit, prestasi pendidikan yang buruk, mengompol, gelisah, penyakit psikosomatis, perilaku dan ucapan yang agresif (Adianingsih, 2003).

(46)

mampu menghargai dirinya sendiri; sulit menjalin relasi dengan individu lain; sampai timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Anak yang mengalami kekerasan juga dapat mengembangkan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).

Adapun dampak psikologis anak dalam penelitian ini didasarkan dalam DSM IV antara lain mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Gejala dari gangguan tersebut berdasarkan pada beberapa hal yaitu pengulangan peristiwa traumatik, penghindaran, serta simptom-simptom yang menetap. Bentuk pengulangan dapat muncul melalui pengingatan akan peristiwa traumatik, mimpi, tindakan seolah peristiwa muncul kembali, kesedihan serta reaksi fisiologis. Penghindaran yang dilakukan muncul dalam bentuk penghindaran terhadap tempat, aktivitas, pikiran, maupun perasaan yang berhubungan dengan trauma, ketidakmampuan mengingat aspek penting dari trauma, menghilangkan partisipasi terhadap aktifitas, merasa terasing, keterbatasan afeksi serta merasa tidak punya harapan. Sedangkan simptom-simptom yang menetap berupa sulit tidur, marah, sulit berkonsentrasi, waspada, serta respon terkejut yang berlebih. Aspek-aspek yang terkait dalam hal ini adalah bagaimana anak mengalami peristiwa traumatis (sebagai korban tindak kekerasan atau melihat perlakuan kekerasan) dan durasi munculnya gangguan. Tidak jarang, anak juga mengalami distress klinis dan gangguan dalam menyelesaikan tugas-tugas. Kondisi tersebut dapat semakin buruk ketika anak tidak segera mendapatkan penanganan khusus sehingga menimbulkan dampak-dampak psikologis tertentu pada anak.

(47)

nyaman. Sebaliknya kekerasan tersebut dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap anak terutama dari segi psikologis. Anak yang dibesarkan dengan kekerasan di rumah akan belajar bahwa kekerasan merupakan suatu pemecahan dari setiap permasalahan. Pernyataan tersebut dikuatkan dalam penulisan Steele, Geele, Raberst, dan Pope (Patnawi, 1999) yang menunjukkan bahwa anak yang mengalami kekerasan memiliki potensi untuk mengembangkan perilaku delinquent dan dapat mempengaruhi kepribadiannya antara lain harga diri yang rendah, hubungan dengan teman yang kurang baik, serta memiliki hambatan dalam perilaku.

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kasus (case study) atau penelitian lapangan (field study), dengan pendekatan kualitatif. Menurut Danin (2002), penelitian kasus merupakan studi mendalam mengenai unit sosial tertentu. Subjek yang diteliti relatif terbatas, tetapi variabel-variabel dan fokus yang diteliti sangat luas dimensinya. Subjek penelitiannya dapat berupa individu, kelompok, institusi, ataupun masyarakat.

Studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam (Patton dalam Poerwandari, 1998). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka peneliti menggunakan desain penelitian studi kasus sehingga peneliti dapat menggali perasaan-perasaan serta kondisi psikologis yang dialami oleh anak korban kekerasan dalam keluarga.

(49)

induktif, idiografis dan tidak bebas nilai, serta penelitian ini bertujuan untuk memahami kehidupan sosial.

Berdasarkan dari beberapa hal tersebut diatas, pendekatan dalam penelitian ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari kasus secara mendalam. Selain itu, pendekatan tersebut juga diharapkan mampu untuk menghasilkan data-data dari suatu kasus yang unik, detail dan menyeluruh.

B. Batasan Istilah

Dampak psikologis anak korban kekerasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu gangguan psikologis yang terbentuk pada anak akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh orang yang lebih dewasa (www.aap.org/advocacy/childhealthmonth/effects.htm, 2002), dalam penelitian ini adalah ibu dan kakek subjek. Dampak psikologis akibat dari kekerasan antara lain :

(50)

2. Ketakutan; merasa tidak aman.

3. Agresif terhadap orang lain, merupakan suatu tindak penyerangan, permusuhan, mengganggu, merusak, atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan serta membahayakan orang lain (Chaplin, 2002)

4. Depresi

5. Gangguan tidur

6. Menghindari berbagai hal yang mengingatkan akan peristiwa kekerasan yang dialaminya

7. Gangguan psikosomatis (sakit kepala; sakit perut), merupakan gangguan fisik yang dipengaruhi oleh kondisi psikologis (Chaplin, 2002)

8. Gangguan mental (neurosa, kecemasan) 9. Gangguan makan

10. Harga diri rendah; memiliki pandangan yang negatif terhadap orang lain 11. Menarik diri

12. Sulit konsentrasi

13. Tendensi ingin bunuh diri

14. Fobia, suatu ketakutan terus menerus dan irrasional yang ditimbulkan oleh situasi khusus (Chaplin, 2002)

15. Egoisme, merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk berkelakuan menguntungkan atau mementingkan diri sendiri (Chaplin, 2002)

(51)

sangat luas dan berbeda satu dengan yang lain sehingga memungkinkan munculnya gejala-gejala lain selain dalam PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Untuk mengetahui memperoleh data yang menunjukkan bahwa subjek mengalami PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder), maka peneliti menggunakan wawancara serta tes psikologi yaitu tes inteligensi (CPM) dan tes proyektif (Grafis; CAT).

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah 1 (satu) anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga berumur 6 tahun. Pemilihan subjek didasarkan pada data kasus kekerasan dalam keluarga dan telah dinyatakan sebagai kasus kekerasan terhadap anak yang murni secara hukum.

Saat ini subjek telah berumur 7 tahun, namun peristiwa kekerasan yang terjadi adalah ketika subjek berumur 6 tahun. Penelitian ini dilakukan ketika subjek juga masih berumur 6 tahun, sehingga data yang digunakan merupakan data pada masa awal kanak-kanak dengan rentang usia 6 tahun ke bawah.

D. Metode Pengumpulan Data

(52)

dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara kepada subjek, pramusosial dan pembina panti sekaligus psikolog. Data sekunder diperoleh dari tes psikologi yaitu tes inteligensi dan tes proyektif. Adapun jenis tes inteligensi yang digunakan adalah CPM (Colour Progressive Matrices), sedangkan jenis tes proyektif adalah tes Grafis dan CAT (Children’s Apperception Test).

1. Wawancara

Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian, kepada seseorang yang diwawancara, atau responden (Kerlinger, 2000). Menurut Banister, dkk (Poerwandari, 1998), wawancara kualitatif dilakukan dengan maksud memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut.

Wawancara dilakukan secara langsung kepada subjek untuk memperoleh keakuratan data sekaligus menjaga kerahasiaan data subjek. Penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur lebih fleksibel karena selain menggunakan pedoman/panduan wawancara, peneliti juga bebas untuk mengajukan pertanyaan di luar panduan sehingga data dan informasi yang diperoleh lebih mendalam.

(53)

luwes dan terbuka. Walaupun pertanyaan yang diajukan ditentukan oleh maksud dan tujuan penelitian, namun muatan, runtutan, dan rumusan kata-kata terserah pada pewancara (Kerlinger, 2000).

Ada beberapa langkah dalam wawancara sebagai tuntunan (Nietzel, 1994), yaitu :

1) Wawancara Awal

Hal penting yang perlu dilakukan pada wawancara awal adalah melakukan rapport. Rapport ini dilakukan untuk menjalin hubungan yang baik, nyaman, dan harmonis dengan subjek. Rapport ini juga mendorong subjek untuk berbicara secara bebas dan bersahabat tentang masalah yang dihadapi. Kemampuan interviewer untuk membangun rapport pada wawancara awal ini dapat membentuk proses wawancara selanjutnya sehingga akan diperoleh data dan informasi yang jelas mengenai diri dan masalah subjek.

2) Wawancara Pertengahan

Ada tiga teknik dalam tahap wawancara pertengahan ini, yaitu : a) Teknik tidak langsung

(54)

mengekspresikan diri secara penuh. Pendekatan yang ketiga adalah dengan mempharafrasekan perkataan klien. Hal ini dilakukan untuk membantu mengklarifikasikan pernyataan dari klien serta feedback dari interviewer sendiri. Pendekatan yang terakhir adalah dengan melakukan refleksi yang penekananya bukan saja pada mengulang isi dari perkataan subjek tetapi juga menyoroti perasaan subjek.

b) Teknik langsung

Teknik ini dipergunakan untuk mendapatkan informasi khusus dan memberikan kebebasan pada klien untuk merespon perrtanyaan interviewer. Pada teknik ini seorang interviewer perlu berhari-hati dalam mengajukan pertanyaan secara langsung untuk mengeksplorasi masalah subjek karena dapat menimbulkan kesalahpahaman.

c) Kombinasi teknik langsung dan tidak langsung

Wawancara pertengahan yang dilakukan dengan menggunakan kedua teknik tersebut karena sifat wawancara yang fleksibel.

Dalam penelitian ini, peneliti mengunakan teknik kombinasi pada wawancara pertengahan karena memudahkan peneliti untuk dapat menggali lebih dalam mengenai informasi penting dari subjek.

3) Wawancara Penutup

(55)

proses wawancara dilakukan dan melakukan evaluasi yang telah dilakukan untuk membantu proses selanjnutnya.

Wawancara dilakukan dengan mengunakan suatu panduan atau daftar pertanyaan yang akan diajukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Namun peneliti dapat lebih fleksibel karena peneliti bebas mengajukan pertanyaan di luar panduan apabila dimungkinkan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam.

Informasi yang akan digali terhadap subjek dilakukan dengan menggunakan panduan sebagai berikut :

a) Wawancara mengenai latar belakang subjek

Bagaimana keadaan atau latar belakang keluarga subjek, perlakuan ibu, adik, serta kakek subjek. Dalam wawancara ini pula akan digali secara mendalam mengenai bentuk kekerasan apa saja yang telah dialami oleh subjek.

b) Wawancara mengenai keadaan subjek saat ini

Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui akibat secara psikologis dari perlakuan kekerasan terhadap subjek di masa lalu. Akibat tersebut yaitu mengalami PTSD atau stress yang terjadi akibat dari kekerasan yang dialami. Kondisi ini meliputi ingatan akan peristiwa traumatik, sikap menghindari dari peristiwa traumatik, serta respon-respon yang muncul akibat kekerasan yang dialami (trauma).

(56)

subjek di panti serta pramusosial yang merawat dan selalu bersama-sama dalam keseharian subjek karena saat ini subjek tidak bersama keluarganya melainkan di panti. Wawancara terhadap significant others ini dilakukan untuk mendapatkan data-data yang akurat mengenai dampak psikologis serta perkembangan pada diri subjek. Selain itu hal tersebut juga dilakukan untuk mengetahui perilaku subjek secara verbal dan non verbal.

2. Tes Psikologi

Tes psikologi digunakan oleh peneliti untuk menambah data dan informasi mengenai subjek penelitian. Dalam Cichetti dan Coheni (1995), dikatakan bahwa anak-anak umumnya menunjukkan ekspresi posttraumatic dengan bermain/menghidupkan kembali traumanya dalam bentuk gambar atau kata-kata, fantasi dan melakukan tindakan yang menggambarkan tentang ketidakberdayaan dalam menghadapi peristiwa traumatik. Maka berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti menggunakan tes proyektif (Tes Grafis dan CAT-A) sebagai penguat penggambaran dampak psikologis subjek, serta tes inteligensi (CPM) untuk mengetahui taraf kecerdasan subjek sehingga dapat diketahui apakah subjek mampu melakukan komunikasi dengan peneliti. a. Tes Inteligensi

(57)

melakukan wawancara berkaitan dengan peristiwa traumatis yang dialami oleh subjek. Sternberg dalam Azwar (1999) mengungkapkan bahwa tes ini juga dapat digunakan untuk mengetahui fungsi kognitif, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, dan kemampuan untuk memecahkan masalah. Beberapa fungsi tersebut dikaitkan dengan dampak psikologis subjek yang muncul melalui ingatan yang berulang, konsentrasi serta pikiran-pikiran yang muncul. Hal ini berpengaruh dengan tingkat kecerdasan subjek dimana semakin tinggi tingkat kecerdasan maka semakin baik pula kemampuan subjek dalam mengembangkan apa yang muncul dalam pikirannya.

Tes CPM berbentuk buku yang dicetak berwarna untuk menarik perhatian anak kecil. Bentuk lain dari tes ini adalah berbentuk papan dengan gambar-gambar berwarna yang tidak berbeda dengan buku cetak. Tes ini pertama kali dirancang oleh J.C Raven dan merupakan tes nonverbal. Artinya materi soal yang diberikan dalam bentuk gambar-gambar berjumlah 36 soal. Item ini dikelompokkan dalam 3 kelompok atau 3 set yaitu aet A, set Ab, dan set B.

(58)

Pada dasarnya kedua bentuk tersebut dalam pelaksanaan tes memberikan hasil yang sama. Hasil dari tes CPM tidak menunjukkan angka kecerdasan atau IQ melainkan berupa tingkat-tingkat atau taraf-taraf kecerdasan.

b. Tes Proyektif

Tes proyektif ini digunakan dengan maksud untuk memperoleh suatu gambaran yang jelas tentang struktur kepribadian subjek penelitian. Tes proyektif yang digunakan peneliti adalah tes Grafis dan Children’s Apperception Tes (CAT).

1) Tes Grafis

Tes grafis yang akan diberikan mencakup tiga materi yaitu : DAP (Draw A Person),BAUM dan HTP (House Tree Person). Dasar dari tes DAP (Draw A Person) atau menggambar orang dibuat oleh Goodenough (1921) dan banyak dikembangkan oleh ; Bender, Buch, Hummer, Jolles dan Mac Hower. Oleh Goodenough, tes ini digunakan untuk meneliti taraf perkembangan intelektual pada anak karena melalui gambar orang (pada anak) akan tercermin perkembangan intelektual anak tersebut.

(59)

paling tinggi dengan kemanusiaan (Humanity) dan bahkan pertemuan dengan pohon adalah pertemuan dengan diri sendiri (Kampus Sumber Sari, 1992).

Tes HTP (House Tree Person) merupakan salah satu grafis yang berguna untuk melengkapi tes grafis yang lain HTP digunakan oleh para ahli jiwa untuk mendapatkan data yang cukup signifikan yang mempunyai sifat diagnose atau prognosa mengenai keseluruhan pribadi dengan lingkungan yang baik yang umum atau spesifik. Faktor-faktor yang diungkapkan dalam tes Grafis meliputi sistematika kerja, kemasakan emosi, kemasakan sosial (performansi sehari-hari), kretivitas, inisiatif, kepemimpinan, kerja sama, motivasi, relasi dengan orang lain, pengambilan keputusan dan daya tahan terhadap stress.

(60)

kegiatan menggambar sehingga subjek tidak akan merasa sedang menjalani suatu tes.

2) CAT (Children’s Apperception Test)

Children’s Apperception Test (CAT) merupakan suatu tes proyektif turunan dari TAT (Thematic Apperception Test) yang pada awalnya dikembangkan oleh Henry A. Murray dan Christian Morgan. TAT digunakan untuk penyelidikan kepribadian bagi orang dewasa sehingga tidak sesuai bila digunakan untuk anak-anak. Hal ini karena TAT kurang dapat mengungkap kebutuhan-kebutuhan anak secara menyeluruh, maka dibuatlah turunannya yaitu Children’s Apperception Test (CAT) untuk menyelidiki kepribadian anak (Bellak, 1996).

(61)

CAT untuk anak umur 3-10 tahun (Bellak, 1996). Penelitian ini akan menggunakan CAT dengan figur binatang yang telah disesuaikan dengan situasi di Indonesia. Digunakannya figur binatang dimaksudkan karena anak-anak lebih mudah mengidentifikasi diri mereka pada figur binatang (Bellak, 1996). Sedangkan penggunaan CAT yang telah disesuaikan dengan situasi di Indonesia karena diharapkan subjek akan lebih mudah memahami gambar yang sesuai dengan kultur dalam negeri.

Pada tes CAT ini, subjek diberikan 10 buah kartu CAT-Animal. Kesepuluh kartu tersebut adalah jenis kartu yang digunakan untuk anak umur 3 – 10 tahun. Tujuan interpretasi adalah menemukan pola-pola umum dari cerita-cerita yang diperoleh melalui kartu-kartu tersebut (Bellak, 1993). Pola umum diperoleh melalui pengulangan-pengulangan dalam kebutuhan, tekanan, mekanisme pertahanan diri, konflik, kecemasan, dan hal-hal lain yang muncul pada beberapa cerita. Kesepuluh variabel-variabel tersebut langsung dibuat tema diagnostik untuk membuat kesimpulan dan diagnosis akhir.

(62)

yang juga seringkali muncul dalam bentuk ketakutan atau kegelisahan. Beberapa hal tersebut dikaitkan dengan kebutuhan atau keinginan subjek yang tidak terpenuhi akibat kekerasan yang dialaminya. Kelebihan dari tes ini terletak dalam kemampuannya untuk mengungkap keinginan, kebutuhan-kebutuhan, ketakutan-ketakutan, serta pengalaman-pengalaman lampau lewat isi cerita subjek.

E. Metode Analisis Data a. Wawancara

1) Organisasi Data

Data-data diperoleh dari penelitian diorganisasikan secara rapi, lengkap dan sistematis. Organisasi data yang sistematis memungkinkan penelitian untuk : memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan, menyimpan data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian (Highlen dan Finley dalam Peorwandari, 1998). Data-data yang akan diorganisasikan dalam penelitian ini meliputi :

1). Data-data mentah (kaset atau hasil wawancara dan hasil catatan lapangan)

2). Data yang sudah diproses (transkrip wawancara dan catatan refleksi penulisan)

(63)

2) Koding

Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasikan data secara lengkap dan mendetil sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari (Poerwandari, 1998). Teknik koding pada penelitian ini digunakan untuk mengidentifikasi kondisi psikologis yang dialami subjek. Langkah-langkah koding yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi :

a) Menyusun transkrip wawancara dan catatan lapangan dengan memberikan kolom kosong yang cukup besar di sebelah kanan dan kiri transkrip. Kolom ini digunakan untuk membubuhkan kode dan catatan-catatan tertentu di atas transkrip tersebut.

b) Memberikan penomoran secara urut dan kontinyu pada baris-baris wawancara dan catatan lapangan tersebut.

c) Memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu yang mudah diingat dan dapat mewakili berkas tersebut. Dalam penelitian ini digunakan kode untuk transkrip wawancara yaitu : Wawancara pembina/psikolog.ke-.nomor (Wpem.8.18)

(64)

b. Tes Psikologi 1) Tes Inteligensi

Interpretasi tes CPM dengan menggunakan norma yang telah distandarkan. Penilaian yang dilakukan adalah benar mendapat skor 1, salah tidak mendapat skor. Skor total adalah banyaknya soal yang dijawab benar oleh subjek dengan skor tertinggi yang dicapai adalah 36. Langkah selanjutnya adalah mengkonversikan skor kasar tersebut ke dalam tabel norma kemudian memasukkannya dalam level intelektualitas yang dikategorikan dalam 5 level, yaitu :

Grade I : Superior, jika skor yang didapat menunjukkan persentil 95 atau lebih.

Grade II : Di atas rata-rata, jika skor yang didapat menunjukkan persentil 75 atau lebih. II+ apabila hasil persentil mencapai 90 atau lebih.

Grade III : Rata-rata, jika skor yang didapatkan menunjukkan persentil antara 25 sampai 75. III+ bila memperoleh persentil rata-rata atau 50, serta III- bila mendapatkan persentil dibawah rata-rata.

Grade IV : Dibawah rata-rata, jika mendapatkan skor yang menunjukkan persentil 25 atau kurang.

(65)

2) Tes Proyektif

Salah satu tes proyektif yang digunakan adalah Tes Grafis untuk mengungkap struktur kepribadian subjek. Bagian-bagian yang akan diinterpretasi dibuat secara runtut dan rinci kemudian dicari indikasi kepribadian yang muncul dari dalam gambar subjek. Setelah mendapatkan hasilnya, langkah berikutnya adalah merangkum ketiga tes (BAUM, DAP, HTP) dengan mengkategorikan ke dalam 3 (aspek) yaitu aspek kognitif, aspek emosi dan relasi sosial. Kemudian rangkuman interpretasi diolah kembali menjadi suatu kesimpulan yang merupakan keterkaitan dari ketiga aspek sehingga dapat menggambarkan struktur kepribadian subjek. Langkah terakhir adalah dengan mengkaitkan pada kriteria DSM IV sehingga dapat menggambarkan kondisi psikologis subjek akibat kekerasan yang dikuatkan dengan struktur kepribadian pada subjek.

Interpretasi data dari hasil tes Grafis dilakukan oleh peneliti dan seorang psikolog sekaligus interater yang berkompeten di bidang tes grafis sehingga diharapkan kredibilitas hasil tes dapat terjaga. Dalam penelitian ini, peneliti menginterpretasi hasil tes kemudian hasil tes diperiksa oleh interater untuk mengecek keakuratannya.

(66)

mengungkapkan keinginan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan-ketakutan subje

Gambar

gambar berjumlah 36 soal. Item ini dikelompokkan dalam 3 kelompok
gambar yang telah dibuat oleh subjek sesuai dengan panduan tes Grafis yang telah
gambar tampak
Gambar subjek

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa terdapat dampak pada perkembangan anak korban kekerasan seksual baik pada perkembangan

Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga (Studi Deskriptif pada Korban KDRT di Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga (Studi Deskriptif pada Korban KDRT di Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Keluarga kecil ku di Blora, Alm Papa Heri yang dahulu selalu memberikan kasih sayang dan keceriaan dalam hidup peneliti, Momy yang selalu mencontohkan hal- hal baik dalam

Berdasarkan pemaparan dampak psikologis yang dirasakan anak korban perceraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perceraian mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam mempengaruhi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum dilakukan intervensi manajemen pencegahan dampak psikologis didapat bahwa rata-rata depresi lansia dalam kategori sedang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Dampak kekerasan Seksual Terhadap Perkembangan Anak dalam Studi Kasus Anak korban Kekerasan Seksual di Yayasan Pusaka

Melihat berbagai dampak negatif yang diterima korban, penting untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat memicu munculnya perilaku victim blaming di masyarakat, khususnya terhadap korban