• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Remaja"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Remaja

Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa.

Masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri.

Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Pardede (2002) mendefinisikan remaja dengan batasan usia yaitu 10-24 tahun dan belum menikah, dengan pertimbangan karena usia 10 tahun merupakan usia dimana remaja putri mengalami perubahan dalam tubuhnya, tetapi perubahan yang terjadi bisa berbeda-beda pada setiap remaja putri. Remaja dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa akan terjadi kematangan psikososial dan seksual yang melewati beberapa tahap, yaitu masa remaja awal (early adolescence) umur 11-13 tahun, masa remaja pertengahan (middle adolescence) umur 14-16 tahun , dan masa remaja lanjut (late adolescence) umur 17-20 tahun.

Syafiq et al. (2007) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa transisi anak dan dewasa, selama remaja terjadi perubahan hormonal mempercepat pertumbuhan. Masa remaja dimulai pada saat anak perempuan mengalami menstruasi yang pertama atau menarche, sedangkan pada anak laki- laki yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Istilah remaja adolesence berasal dari kata adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”

(Hurlock 1998). Waktu terjadi proses kematangan seksual pada laki-laki dan perempuan berbeda, hal ini dipengaruhi oleh asupan zat gizi pada saat anak- anak. Kematangan seksual di negara miskin berjalan lebih lama dibandingkan di negara yang lebih maju. Hal ini dipengaruhi oleh status sosial ekonomi di masing-masing negara (Arisman 2004).

Batasan usia remaja sangat beragam. Tidak satupun angka yang pasti dapat memberikan tanda bahwa individu sedang berada pada masa remaja.

Beberapa ahli memberikan batasan usia remaja yang berbeda-beda. Banyak para ahli mengemukakan berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja.

Dari berbagai pendapat mengenai batasan usia remaja, disimpulkan bahwa secara teoritis dan empiris, rentang usia remaja berada dalam usia 12-21 tahun bagi wanita dan 13-22 tahun bagi pria. Jika dibedakan atas remaja awal dan akhir, maka remaja awal berada pada usia 12 atau 13 tahun sampai 17 atau 18 tahun dan remaja akhir pada rentang usia 17 atau 18 tahun hingga usia 21 atau 22 tahun (Panuju 1999).

(2)

Periode remaja merupakan periode kritis dimana terjadi perubahan fisik, biokimia dan emosional yang cepat. Pada masa ini terjadi growth spurt yaitu puncak pertumbuhan tinggi badan (peak high velocity) dan berat badan (peak weight velocity). Kecepatan pertumbuhan tinggi badan rata-rata mencapai 20

cm/tahun pada laki-laki dan 16 cm/tahun pada perempuan. Demikian juga kecepatan pertumbuhan berat badan rata-rata mencapai 20 kg/tahun pada laki- laki dan 16 kg/tahun pada perempuan (Syafiq et al. 2007)

Menginjak masa remaja, kebutuhan gizi meningkat jauh lebih besar seperti yang tercermin dalam meningkatnya angka kecukupan gizi yang direkomendasikan yang harus terpenuhi dengan cara meningkatkan asupan dari semua kelompok makanan. Makanan berlemak dan bergula harus dibatasi dan variasi makanan perlu diperhatikan untuk mengurangi terjadinya resiko defisiensi nutrien tertentu. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian telah menunjukan pada anak-anak di Inggris telah memilih makan kentang goreng, burger dan hidangan tinggi lemak lainnya serta minuman ringan, hanya sedikit yang memilih buah, sayuran atau salad (Barasi 2009).

Remaja putri banyak yang merasa tidak puas dengan bentuk tubuhnya, sehingga berusaha memperbaikinya dengan berdiet. Berbagai macam diet banyak diikuti remaja putri baik dalam jangka waktu panjang maupun singkat, namun semua diet memiliki masalah yang sama yaitu tidak mendidik remaja menerapkan kebiasaan makan baru yang lebih sehat. Cara yang lebih drastis seperti penggunaan diuretik, laksatif atau merangsang dirinya untuk muntah yang bertujuan untuk menurunkan berat badan dalam jangka pendek (Barasi 2009).

Remaja putri adalah kelompok populasi yang rawan terhadap defisiensi gizi khususnya defisiensi zat besi. Pada saat remaja putri sedang dalam masa pertumbuhan puncak (peak growth) dibutuhkan zat besi yang lebih tinggi yaitu untuk kebutuhan basal tubuh dan pertumbuhan itu sendiri. Satu tahun setelah peak growth, remaja putri biasanya akan mengalami haid pertama (menarche).

Kebutuhan zat besi yang lebih tinggi pada saat peak growth akan menetap karena selanjutnya diperlukan untuk menggantikan zat besi yang hilang pada saat menstruasi atau haid.

Anemia pada remaja akan berdampak pada produktivitas dan konsentrasi belajar menurun. Bila remaja perempuan tersebut memasuki perkawinan mereka akan hamil dengan status gizi yang rendah, karena membutuhkan peningkatan asupan energi dan zat gizi untuk pertumbuhan dirinya sendiri dan bayi yang

(3)

dikandung. Perkembangan kepribadian pada masa remaja tidak saja dipengaruhi oleh orangtua dan lingkungan keluarga, tetapi juga lingkungan sekolah dan teman-teman pergaulan di luar sekolah. Di samping itu, pengaruh lain bisa berasal dari pesatnya kemajuan teknologi informasi, baik media cetak maupun media elektronik (Supariasa 2001).

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan masa lalu. Dengan menilai status gizi seseorang, maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak baik. Status gizi merupakan masukan zat gizi dan pemanfaatannya dalam tubuh. Status gizi merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang di konsumsi. Status gizi yang baik dapat dicapai dengan cara mengkonsumsi pangan yang mengandung cukup zat gizi untuk memenuhi kebutuhan. Status gizi seseorang dipengaruhi oleh jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi dan keadaan tubuh seseorang yang dapat disebabkan gangguan penyerapan zat gizi atau investasi penyakit parasit (Riyadi 2001).

Penilaian status gizi berdasarkan konsumsi makanan dilakukan dengan cara melihat perbandingan konsumsi pangan dengan kecukupan gizinya, karena tingkat kecukupan gizi seseorang sepenuhnya tergantung pada apa yang dikonsumsi. Makanan penting dalam jumlah cukup dan seimbang untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Setiawan (1994) menyatakan bahwa keadaan pertumbuhan erat kaitannya dengan masalah konsumsi energi dan protein, maka ukuran tubuh sebagai refleksi keadan pertumbuhan dapat digunakan untuk menilai gangguan pertumbuhan dan keadaan kurang gizi.

Salah satu cara pengukuran status gizi adalah pengukuran secara antropometri, terutama apabila terjadi ketidakseimbangan antara intake energi dan protein dalam jangka waktu yang lama. Indikator terbaik yang digunakan untuk remaja adalah indikator IMT (Indeks Massa Tubuh) menurut umur. Husaini et al. (2000) menyatakan bahwa anemia di Indonesia disebabkan oleh penyebab

langsung dan tidak langsung, penyebab langsung berupa ketersediaan zat besi dalam makanan yang rendah, rendahnya keadaan sosial ekonomi, status gizi dan jumlah zat besi makanan yang kurang.

(4)

Remaja membutuhkan zat gizi yang tinggi, bahkan fase remaja merupakan fase kebutuhan zat gizi mencapai titik tertinggi dan adanya kekurangan zat gizi makro maupun zat gizi mikro dapat mengganggu pertumbuhan dan menghambat pematangan seksual. Masalah gizi remaja perlu mendapat perhatian khusus karena pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta dampaknya pada masalah gizi saat dewasa (Syafiq et al. 2007). Remaja wanita yang berstatus gizi baik akan lebih cepat mengalami

menstruasi. Sebaliknya wanita yang berstatus gizi buruk pertumbuhan akan terhambat, mestruasinya lebih lambat dan beresiko terkena anemia gizi besi (ADB/SCN 2001).

Keadaan status gizi dan kesehatan yang baik akan sangat mempengaruhi kesegaran fisik dan daya pikir yang baik dalam belajar. Tanpa makanan yang cukup, energi sebagai sumber tenaga dalam aktivitas sehari-hari akan diambil dari cadangan energi dan protein di dalam sel tubuh. Kekurangan dan kelebihan zat gizi yang diterima tubuh seseorang akan mempunyai dampak negatif.

Perbaikan konsumsi pangan dan peningkatan status gizi sesuai atau seimbang dengan yang diperlukan tubuh merupakan unsur penting bagi peningkatan kualitas hidup manusia, sehat, kreatif dan produktif (Kartasapoetra & Marsetyo 2005).

Menurut Moehji (2002) manusia yang sehat dan mendapatkan makanan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya akan memiliki kesanggupan maksimal dalam menjalani hidupya. Kemampuan ini disebut dengan kapasitas.

Jadi untuk memperoleh kapasitas yang maksimal, manusia harus memperoleh makanan yang cukup sehingga memperoleh semua zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, perbaikan dan pemeliharaan jaringan tubuh serta terlaksananya fungsi faal normal dalam tubuh.

Kecukupan Gizi Remaja

Kelompok umur remaja menunjukkan fase pertumbuhan yang pesat, yang disebut “adolescence growth spurt”, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang relatif besar jumlahnya. Pada remaja laki-laki kegiatan jasmaniah sangat meningkat, karena biasanya pada umur inilah perhatian untuk olahraga sedang tinggi-tingginya, seperti atletik, mendaki gunung, sepak bola, hiking, dan sebagainya (Ricket 1996).

Remaja putri sangat mementingkan bentuk badannya, sehingga banyak yang berdiet tanpa nasihat atau pengawasan seorang ahli kesehatan dan gizi

(5)

(Sediaoetama 2000). Tidak sedikit survei yang mencatat ketidakcukupan asupan zat gizi para remaja. Mereka bukan hanya melewatkan waktu makan (terutama sarapan) dengan alasan sibuk, tetapi juga terlihat sangat senang mengkonsumsi junk food. Disamping itu, kekhawatiran menjadi gemuk telah memaksa mereka

untuk mengurangi jumlah pangan yang seharusnya dikonsumsi. Gaya hidup dan kebiasaan makan cenderung berubah ketika masa remaja, hal ini sangat mempengaruhi asupan zat gizi (Arisman 2004). Kebutuhan zat gizi remaja secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Angka kecukupan gizi remaja

Zat Gizi Perempuan (tahun) Laki-laki (tahun)

13-15 16-18 13-15 16-18

Energi (Kal) 2350 2200 2400 2600

Protein (g) 57 55 60 65

Kalsium (mg) 1000 1000 1000 1000

Besi (mg) 26 26 19 15

Vit A (RE) 600 600 600 600

Vit E (mg) 15 15 15 15

Vit B1 (mg) 1.1 1.1 1.2 1.3

Vit C (mg) 65 75 75 90

Folat (mg) 400 400 400 400

Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI (2004)

Banyaknya zat besi yang hilang dari tubuh seseorang berbeda-beda, tergantung simpanan zat besi yang dimilikinya. Apabila tubuh mempunyai simpanan zat besi dalam jumlah banyak, maka zat besi yang dikeluarkan dari tubuh juga banyak. Sebaliknya pada orang yang menderita anemia gizi, jumlah zat besi yang dikeluarkan juga sedikit (Wirakusumah 2001).

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1989). Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Menurut Madanijah (2004) konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu.

Pola konsumsi pangan diartikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih dan mengkonsumsi pangan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologi, budaya dan sosial serta

(6)

ekonomi. Pola konsumsi dinamakan pula kebiasaan makan, kebiasaan pangan atau pola pangan. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi cara makan dan kebiasaan pangan individu, tiga faktor yang terpenting adalah ketersediaan pangan, pola sosial budaya dan faktor pribadi (Riyadi 2006).

Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok pada waktu tertentu. Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu yang bersifat kuantitatif adalah metode recall 24 jam. Prinsip dari metode recall 24 jam, dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulangulang dan harinya tidak berturut-turut. Apabila pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1x24 jam), maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu (Supariasa et al. 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Sanjur 1982).

Penentuan jumlah hari recall sangat ditentukan oleh keragaman jenis konsumsi antar waktu, antar tipe responden dalam memperoleh pangan. Metode recall membutuhkan biaya yang sangat murah dan tidak memakan waktu yang banyak. Kekurangannya adalah data yang dihasilkan kurang akurat karena mengandalkan keterbatasan daya ingat seseorang dan tergantung dari keahlian tenaga pencatatan dalam mengkonversi URT ke dalam satuan berat serta adanya variasi URT antar daerah, dan ada variasi interpretasi besarnya ukuran antar responden (besar, sedang, kecil, dll) (Kusharto & Yayah 2006).

Konsumsi Pangan Hewani

Sanjur (1982) menyatakan bahwa jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola konsumsi pangan. Perkembangan teknologi yang pesat dan perubahan pola hidup yang tidak sehat saat ini mempengaruhi pola konsumsi pangan dengan peningkatan asupan kalori terutama dari bahan pangan sumber lemak dan karbohidrat. Ketersediaan pangan tidak selalu mencerminkan konsumsi pangan yang sebenarnya, karena konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, tetapi juga oleh harga makanan dan faktor sosial budaya. Secara umum ada dua kriteria untuk menentukan kecukupan konsumsi pangan yaitu konsumsi kalori dan konsumsi

(7)

protein. Kebutuhan kalori biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok, sedangkan protein dipenuhi dari sejumlah substansi hewan seperti ikan, daging, telur dan susu (Hardinsyah & Martianto 1989).

Bahan makanan hewani adalah bahan makanan yang berupa atau berasal dari hewan atau produk-produk yang diolah dengan menggunakan bahan dasar asal hewan. Pangan hewani mempunyai berbagai keunggulan dibanding pangan nabati. Pangan hewani terasa gurih atau enak karena mengandung protein dan lemak yang banyak. Pangan hewani mengandung protein yang lebih berkualitas karena mudah digunakan tubuh dan memiliki komposisi asam amino yang lengkap (Hardinsyah & Martianto 1989).

Pangan hewani mengandung berbagai zat gizi mineral yang tinggi dan mudah digunakan oleh tubuh. Misalnya kalsium pada susu, zat besi, zink dan selenium yang banyak di dalam daging, hati dan telur. Kalsium dan zink berperan dalam pertumbuhan dan berbagai proses dalam tubuh. Zat besi bersama zat gizi lainnya berperan dalam pembentukan sel-sel darah merah hemoglobin. Hemoglobin berguna untuk membawa oksigen ke seluruh bagian tubuh. Bila kadar hemoglobin rendah (anemia) maka tubuh kekurangan oksigen, badan menjadi lemah, konsentrasi belajar dan stamina atau produktivitas kerja menjadi menurun. Pangan hewani mengandung zat gizi vitamin yang unik, misalnya vitamin A dalam hati dan kuning telur yang mudah digunakan tubuh.

Kemudian vitamin B12 yang tidak terdapat pada pangan nabati. Vitamin B12 yang kaya dalam pangan hewani berperan penting dalam pembentukan sel darah merah yang menangkap oksigen bagi tubuh dan dalam pembentukan myelin syaraf (Hardinsyah 2004).

Mutu protein pangan hewani ditentukan oleh jenis dan proporsi asam- asam amino yang dikandungnya. Pola asam amino pada protein hewani merupakan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan manusia karena polanya menyerupai pola kebutuhan asam amino manusia. Oleh karena itu, apabila pangan hewani digunakan sebagai sumber protein tunggal dalam jumlah memenuhi kebutuhan manusia maka ia memberikan semua asam-asam amino esensial dalam jumlah cukup. Kelebihan asam-asam amino esensial dapat digunakan untuk mensintesis asam-asam amino nonesensial. Pangan sumber protein hewani adalah daging, ayam, ikan, telur, susu, dan produk olahannya (Riyadi 2006).

(8)

Konsumsi pangan hewani masyarakat dapat menjadi indikator kuantitas dan kualitas status gizi baik atau buruk. Selain itu, konsumsi pangan juga menjadi determinan dalam menentukan suatu wilayah rawan pangan dan mengalami kelaparan. Berikut tabel konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia tahun 2008.

Tabel 2 Konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia tahun 2008

Komoditas

Konsumsi Jumlah

(kg/kap/tahun)

Protein (g/kap/hari) Daging

Telur dan Susu Ikan

4.8 17.7 28.0

2.4 3.0 7.9 Sumber: Badan Pusat Statistik (Susenas 2007 dan 2008)

Pangan yang dikonsumsi mempengaruhi absorpsi zat besi di dalam tubuh. Faktor yang mempengaruhi absorbsi besi, yaitu faktor yang mendorong (enhancer) dan menghambat (inhibitor) penyerapan zat besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali (Almastier 2003).

Konsumsi pangan hewani ataupun nabati sangat berpengaruh terhadap kecukupan zat besi bagi tubuh. Pangan yang mengandung zat besi tinggi akan sangat membantu terpenuhinya zat besi sehingga bila pangan tersebut dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat membantu penyerapannya, kebutuhan tubuh akan zat besi dapat terpenuhi secara optimal, sedangkan jika pangan sumber zat besi dikonsumsi bersamaan dengan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi, maka kebutuhan tubuh akan zat besi tidak akan terpenuhi secara optimal yang pada akhirnya dapat mengakibatkan anemia.

Pangan yang dapat membantu penyerapan zat besi yaitu: vitamin C, makanan hasil fermentasi dan pangan hewani itu sendiri. Sedangkan pangan yang dapat menghambat penyerapan zat besi antara lain: makanan yang mengandung tanin, fitat dan kalsium (Monsen et al. 1987).

Bioavailabilitas Zat Besi

Manusia dapat menggunakan besi yang di konsumsi dalam dua tipe, besi heme dan non-heme. Heme adalah sumber zat gizi besi yang mudah dan siap diserap dibandingkan besi non-heme. Besi heme memiliki molekul besi aktif yang tinggi daya ikatnya dengan oksigen di hemoglobin (Yanatori et al. 2010). Menurut Muchtadi et al (1992), zat besi dalam bahan pangan diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu heme dan non-heme. Kecepatan penyerapan zat besi heme oleh

(9)

tubuh lebih tinggi dibandingkan zat besi non-heme. Namun demikian sebagian besar bahan pangan mengandung zat besi non-heme, oleh karena itu bentuk non-heme menyumbang kebutuhan zat besi tubuh dalam jumlah yang relatif lebih banyak.

Mahan dan Stump (2008) menyatakan bioavailabilitas mineral adalah ketersediaan mineral dalam usus untuk diabsorbsi dengan kata lain penyerapan aktual (efisiensi) dari mineral yang menunjukan retensi mineral dalam tubuh yang digunakan dalam fungsi selular atau jaringan. Kualitas zat besi dalam makanan atau dinamakan juga ketersediaan biologis zat besi (bioavailabilitas) harus diperhatikan. Menurut FAO/WHO (2001), bioavailabilitas zat besi dalam makanan sangat dipengaruhi oleh faktor pendorong dan penghambat. Absorbsi besi sangat tergantung pada jumlah dalam bahan makanan yang menghambat dan meningkatkan absorbsi, sehingga absorbsi besi dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari bervariasi antara 5-10%. Untuk masyarakat yang banyak mengkonsumsi bahan makanan yang berasal dari hewani seperti di negara Eropa, Amerika serikat dan negara maju lainnya absorbsi zat besi dari makanan yang di konsumsinya dapat berkisar antara 10-20% sedangkan di negara-negara berkembang hanya berkisar antara 5-10% (Almatsier 2002).

Almatsier (2002) mengatakan bahwa, banyak faktor yang berpengaruh pada absorbsi besi, yaitu faktor yang mendorong dan menghambat penyerapan zat besi. Faktor yang mendorong penyerapan zat besi antara lain asam organik, tingkat keasaman lambung dan bentuk besi yang dikonsumsi. Makan besi heme dan nonheme secara bersamaan akan membantu penyerapan besi non-heme.

Daging, ayam dan ikan sebagai sumber besi heme dapat membantu penyerapan besi. Sedangkan asam fitat, asam oksalat dan tannin dapat mengikat besi sehingga mempersulit penyerapannya. Kebutuhan tubuh akan besi berpengaruh besar terhadap absorbsi besi. Bila tubuh kekurangan besi atau kebutuhannya meningkat pada masa pertumbuhan, absorbsi besi nonheme dapat meningkat sampai sepuluh kali, sedangkan besi heme dua kali.

Menurut Latunde & Neale (1986), faktor yang mempengaruhi ketersediaan biologis zat besi dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu faktor endogen (kondisi dalam tubuh) dan faktor eksogen (zat makanan). Faktor endogen antara lain kebutuhan tubuh dan sekresi saluran cerna. Faktor eksogen yaitu berbagai komponen bahan pangan yang berinteraksi dalam pelepasan zat besi, antara lain kandungan zat besi bahan pangan, bentuk zat besi dalam bahan

(10)

pangan, faktor pendorong dan faktor penghambat absorpsi besi yang berasal dari bahan makanan. Bahan pangan hewani memiliki kandungan besi total, besi heme dan besi non-heme yang berbeda pada setiap jenisnya, selain itu proses pengolahan juga berpengaruh terhadap zat besi yang terkandung. Berikut tabek bahan pangan hewani yang mengandung heme dalam persen (mg/100g).

Tabel 3 Kandungan besi heme dan non-heme, besi total dan persen besi heme dari pangan hewani mentah dan olahan (mg/100g BDD)

Jenis Pangan Besi Heme Besi Non-Heme Total Besi Besi Heme (%) Produk Hewani Mentah

Daging sapi Dadih ayam Dada ayam Hati ayam Dadih babi Hati babi Daging babi Ikan lele Ikan nila Ikan gabus Ikan tuna makarel Udang galah

Produk Hewani Olahan Daging sapi, rebus Dadih ayam, rebus Dada ayam, rebus Drumstick ayam, rebus Hati ayam, rebus Dadih babi, rebus Hati babi, rebus Bola-bola daging, rebus Bola-bola ayam, rebus Bola-bola babi, rebus Ayam asap, rebus Ikan lele, rebus Ikan nila, rebus Ikan gabus, rebus Tuna makarel, rebus Udang galah, rebus

1.3 9.2 0.1 3.1 15.4

2.9 1.3 0.7 0.4 0.4 0.8 0.1

1.1 9.0 0.1 0.3 2.6 15.0

2.3 0.3 0.1 0.1 0.3 0.5 0.3 0.3 0.9 0.1

0.7 2.4 0.3 6.7 2.6 9.4 0.7 1.2 0.7 0.7 1.2 0.4

1.3 2.8 0.3 1.0 8.0 3.2 10.3

1.2 0.8 0.7 0.7 1.3 0.9 0.9 1.4 0.6

2.1 11.6

0.4 9.9 18.1 12.3 2.1 1.9 1.1 1.1 2.0 0.5

2.4 12.1

0.4 1.2 10.6 18.1 12.6 1.4 0.9 0.8 1.0 1.8 1.2 1.2 2.4 0.7

66.2 79.3 30.0 31.1 85.6 23.3 66.2 36.8 36.6 36.6 40.0 20.0

45.0 76.3 23.4 22.4 24.2 76.3 18.2 19.1 8.8 5.6 33.7 27.9 27.1 23.6 37.7 10.5 Sumber: Kandungan Besi Heme dan Non-Heme pada Produk Hewani di Thailand

(R.Kongkachuichai et al. Mahidol University 2002)

Metode penetapan bioavailabilitas terdapat banyak cara metode dan langkah dalam penetapan zat besi, salah satu metode yang digunakan adalah metode Du et al. (1999). Metode Du et al. (1999), dilakukan di China melalui tiga langkah pendekatan. Langkah pertama adalah dengan menganalisa makanan dan zat gizi yang dapat meningkatkan dan menghambat penyerapan zat besi yaitu konsumsi pangan hewani, asam askorbat (vitamin C), sayuran dan buah, serealia, kacang-kacangan dan teh. Langkah kedua adalah dengan menentukan faktor yang mempengaruhi besi yang terbagi menjadi dua grup, yaitu estimasi bioavailabilitas besi dengan status hemoglobin. Langkah ketiga adalah kombinasi antara fakor yang dapat meningkatkan dan menghambat penyerapan yang

(11)

diasumsikan 40% besi berasal dari pangan hewani dan 23% bioavailabilitas besi heme.

Menurut MacPhail (2000) tingkatan bioavablitas terbagi menjadi tiga tipe.

Tipe yang pertama adalah tipe bioavailabilitas rendah merupakan besi dari bahan makanan pokok beras, jagung atau umbi-umbian, kurang mengandung unsur daging, ikan dan vitamin C dengan penyerapan besi tipe ini kurang dari 5%. Kedua tipe bioavailabilitas menengah terdapat pada golongan dengan makanan pokok beras dan jagung dengan sejumlah daging dan vitamin C dengan penyerapannya antara 5-15%. Dan tipe ketiga bioavailabilitas tinggi terdapat pada susunan makanan yang banyak mengandung daging dan vitamin C dengan penyerapan besi lebih dari 15%.

Besi yang berasal dari pangan hewani dapat diserap lebih baik 30%

dibanding yang berasal dari sumber nabati (5%). Sumber heme (ikan, ayam dan daging) sendiri mengandung non-heme (60%) dan heme (40%). Konsumsi heme memiliki keuntungan ganda yaitu besinya mudah diserap dan juga membantu penyerapan besi non-heme. Perhitungan perkiraan penyerapan besi didasarkan pada bioavabillitas konsumsi makan yaitu, penyerapan besi tinggi (15%), penyerapan besi sedang (10%) dan penyerapan besi rendah (5%) (WNPG 2004).

Anemia pada Remaja Putri

Anemia adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin (Hb) yang lebih rendah daripada normal sebagai akibat ketidakmampuan jaringan pembentukan sel darah merah dalam produksinya guna mempertahankan kadar hemoglobin pada tingkat normal. Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius, berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan kerja (Rasmaliah 2004). Anemia adalah suatu keadaan dimana komponen hemoglobin (Hb) dalam darah jumlahnya kurang dari kadar normal.

Anemia Gizi adalah kekurangan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah yang disebabkan karena kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk pembentukan Hb tersebut. Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin di dalam sel darah merah berkurang dikarenakan adanya kelainan dalam pembentukan sel, perdarahan atau gabungan keduanya sehingga tubuh akan mengalami hipoksia sebagai akibat kemampuan kapasitas pengangkutan oksigen dari darah berkurang.

(12)

Anemia pada umumnya terjadi di seluruh dunia, terutama di negara berkembang dan ada kelompok sosial ekonomi rendah. Pada kelompok dewasa anemia terjadi pada kelompok usia reproduksi, terutama wanita hamil dan menyusui. Secara keseluruhan, anemia terjadi pada 45% di negara berkembang dan 13% di negara maju. Di Amerika terdapat 12% anemia pada wanita usia subur (15-49 tahun) dan 11% wanita hamil mengalami anemia (Syafiq et al.

2007).

Jenis anemia yang paling sering ditemui adalah kekurangan zat besi yang terjadi bila kita kehilangan banyak darah dari tubuh (baik karena perdarahan luka maupun menstruasi) ataupun karena makanan yang kita konsumsi kurang mengandung zat besi (Moehji 2001). Heme merupakan suatu pigmen yang mengandung inti sebuah atom besi dan merupakan tempat sebagian besi berada dalam sel-sel darah merah. Terdapat empat heme dalam sebuah molekul hemoglobin sedangkan untuk sebuah molekul mioglobin hanya terdiri dari satu pigmen heme untuk setiap protein (Winarno 1997)

Proses kekurangan zat besi menjadi anemia melalui beberapa tahap seperti dikemukakan Almatsier (2002), pertama terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam hati karena berbagai hal (iron depletion). Cadangan besi rendah tapi belum terjadi disfungsi, kadar besi dalam serum masih baik dan hematokrit masih normal. Pada tahap kedua (iron deficiency) berkurangnya zat besi yang tersedia untuk sistem eritropoesis, yaitu keadaan dimana penyediaan besi tidak cukup untuk pembentukan sel darah merah di sumsum tulang belakang serta serum feritin juga menurun namun kadar hemoglobin masih normal (belum berpengaruh). Tahap ketiga (iron deficiency anemia) adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin sudah sangat rendah (dibawah normal) sehingga terjadi anemia, ditunjukkan dengan serum feritin menurun, besi serum menurun dan hematokrit menurun, juga disertai gejala klinis anemia. Kegagalan gizi yang merupakan salah satu penyebab terjadinya anemia akan berdampak pada kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja dan menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian (Arisman 2004).

Hemoglobin adalah protein yang kaya akan zat besi. Hemoglobin berfungsi sebagai pembawa oksigen. Hemoglobin memiliki afinitas (daya gabung) kuat dengan O2 dan dengan oksigen tersebut membentuk oxihemoglobin di dalam sel darah merah, maka oksigen bisa dibawa dari paru-

(13)

paru ke jaringan tubuh (Roosita et al. 2006). Hemoglobin merupakan molekul protein di dalam sel darah merah yang bergabung dengan oksigen dan karbon dioksida untuk diangkut melalui sistem peredaran darah kedalam jaringan dalam tubuh. Ion besi dalam bentuk Fe2+ dalam hemoglobin memberikan warna merah pada darah. Dalam keadaan normal 100 ml darah mengandung 15 g hemoglobin yang mampu mengangkut 0.03 g oksigen atau kadar hemoglobin (Hb) ± 15 g % (g per dl darah).

Penderita anemia biasanya ditandai dengan penurunan nafsu makan, sering mengeluh pusing, mata berkunang-kunang, kelopak mata pucat, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan pucat, mengalami lesu, lemah, letih, lelah, lalai, memiliki sifat apatis, nafas pendek dan kuku mudah pecah. Namun terkadang tidak ada tanda bila pasien mengalami anemia ringan (Balitbangkes 2005).

Gejala lain dari anemia yaitu Penderita anemia biasanya mudah lemah, letih, lesu, serta susah berkonsentrasi. Gejala ini disebabkan karena otak dan jantung mengalami kekurangan distribusi oksigen dari dalam darah. Denyut jantung penderita anemia biasanya lebih cepat karena berusaha mengkompensasi kekurangan oksigen dengan memompa darah lebih cepat. Akibatnya kemampuan kerja dan kebugaran tubuh menurun. Jika kondisi ini berlangsung lama, kerja jantung menjadi berat dan bisa menyebabkan gagal jantung kongestif. Anemia zat besi juga bisa menyebabkan menurunya daya tahan tubuh sehingga tubuh mudah terinfeksi (Arisman 2004).

Remaja putri cenderung untuk membatasi asupan makanan karena mereka ingin langsing. Hal ini merupakan salah satu penyebab prevalensi anemia cukup tinggi pada remaja wanita. Keadaan seperti ini sebaiknya tidak terjadi, karena masa remaja merupakan masa pertumbuhan yang membutuhkan zat-zat gizi yang lebih tinggi (Depkes 2003). Adapun batasan kelompok menurut umur dan jenis kelamin untuk penentuan anemia yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Batasan hemoglobin (Hb) untuk penentuan anemia berdasarkan WHO/UNICEF/UNU (1996)

Kelompok Umur/Jenis Kelamin Hb di bawah (g/L) Hematokrit di bawah (%)

Anak umur 6 bulan-5 tahun 110 33

Anak umur 5-11 tahun 115 34

Anak umur 12-13 tahun 120 36

Wanita tidak hamil 120 36

Wanita hamil 110 33

Laki-laki 130 39

Sumber : Allen dan Gillespie (2001)

Menurut Sediaoetama (2000), faktor risiko terjadinya anemia lebih besar terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria. Cadangan besi dalam tubuh

(14)

wanita lebih sedikit daripada pria, sedangkan kebutuhan dalam seharinya lebih tinggi. Setiap harinya seorang wanita akan kehilangan sekitar 1-2 mg zat besi melalui ekskresi secara normal. Pada saat menstruasi, kehilangan zat besi bisa bertambah hingga 1 mg. Faktor lain yang menyebabkan wanita rentan mengalami anemia adalah pola makan. Biasanya wanita ingin memiliki tubuh ideal dengan cara diet secara berlebihan, hal ini mengakibatkan kebutuhan zat gizi terutama Fe yang berasal dari makanan tidak dapat terpenuhi secara optimal.

Prestasi Belajar

Pengertian prestasi menurut Sudjana (1999), adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Sedangkan Suryadi (1998) memberikan pengertian prestasi merupakan kesanggupan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, bermutu dan tepat mengenai sasaran dengan tujuan yang telah ditetapkan. Prestasi menurut Siswanto (1987) adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya yang dibebankan kepadanya. Prestasi adalah tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai oleh seseorang, unit, atau divisi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi/perusahaan (Samsudin 2003).

Prestasi belajar adalah hasil penilaiain pendidik terhadap proses belajar dan hasil belajar siswa. Keberhasilan siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kecerdasan kognitif dan kesuksesan belajar di sekolah (school achievement) yang secara umum diketahui sebagai keberhasilan siswa di

sekolah (Atkinson 2000). Menurut Yuliawati (1997) prestasi akademik atau prestasi belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kemampuan dasar (intelegensi), bakat, cara belajar, motivasi/dorongan, kondisi fisik, fasilitas belajar, lingkungan fisik, keadaan/suasana psikologis dirumah dan hibungan anak dengan orang tua, guru serta teman. Cangelosi (1995) menyatakan bahwa prestasi siswa merupakan tingkat kemajuan yang telah dicapai siswa dengan tujuan belajar. Suparno (2001) mengemukakan kesulitan-kesulitan atau masalah yang dihadapi dalam proses belajar. Masalah tersebut diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu masalah internal, eksternal dan lingkungan (fisik, sosial dan ekonomi).

(15)

Prestasi belajar merupakan capaian yang sangat penting dan merupakan alat pengukur kemampuan kognitif siswa. Prestasi belajar dapat diukur dengan melakukan tes atau ujian. Fungsi tes prestasi belajar adalah untuk menentukan keterampilan dan pengetahuan yang sudah diajarkan pada berbagai tingkat pendidikan atau menilai sejauh mana siswa dapat memperoleh manfaat dari pelajaran yang telah diajarkan. Setiap test mempunyai butir soal yang berfungsi untuk menilai materi yang telah disajikan (Arikunto 1996).

Banyak siswa yang terhambat perkembangan kecerdasannya karena kurangnya asupan gizi yang berkualitas. Gizi kurang pada anak dapat mempengaruhi perkembangan mental dan kecerdasan anak. Status gizi yang buruk, kekurangan zat gizi berupa mineral, vitamin dan zat gizi lainnya dapat mempengaruhi metabolisme di otak, sehingga mengganggu pembentukan DNA di susunan syaraf. Hal tersebut mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel otak dan melinasi sel otak, terutama pada usia di bawah tiga tahun sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan anak (Judarwanto 2004).

Penelitian mengenai hubungan antara status besi dan kemampuan kognitif telah banyak dilakukan lebih dari tiga decade ini. Banyak ahli yang mempromosikan program fortifikasi atau suplementasi untuk menekan kejadian akibat dari defisiensi besi (iron deficiency anemia) dengan perkembangan kognitif yang buruk. Kemampuan kognitif pada remaja khususnya siswi sekolah menengah mempengaruhi kemampuan dalam konsentrasi belajar yang secara tidak langsung dapat berdampak pada tingkat prestasi akademik yang dihasilkan selama sekolah. Soemantri et al. (1985) telah meneliti hubungan mengenai anemia defisiensi besi dengan kesuksesan sekolah dengan membandingkan grup anemia (n=42) dan grup normal (n=17) dengan IQ, prestasi belajar dan konsentrasi belajar (p<0.05).

Di Indonesia telah ada penelitian yang menunjukan peningkatan kemampuan kognitif melalui perlakuan pada grup anemia dan tidak anemia yang dipantau selama tiga bulan sekolah. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar, salah satunya adalah faktor kurangnya atau tidak efektifnya pengajaran oleh guru di sekolah, faktor perhatian siswa, dan motivasi belajar siswa (Grantham & Cornelius 2001). Murray & John (2007) menemukakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status besi dengan performa kognitif pada wanita usia reproduksi atau wanita usia subur dengan n=34 dan p=0.038. Selain

(16)

itu anemia berhubungan kuat dengan perkembangan balita dan rendahnya skor kognitif pada test dan prestasi belajar anak. Beberapa faktor dapat dihubungkan antara anemia dan kemampuan kognitif antara lain, kemiskinan, status ekonomi, IQ, berat bayi lahir rendah (BBLR) dan infeksi parasit. Anemia menyebabkan remaja wanita menjadi pasif, sering mengantuk dan tidur, tidak melakukan apa- apa, malas dan jarang bergaul serta bermain dengan teman sebaya (Soewondo 1989).

Survey NHANES pada tahun 1999-2000 melaporkan prevalensi anemia defisiensi besi terbesar terdapat pada remaja perempuan (9-16%) dan pada anak balita sebesar 7%. Anemia defisiensi besi dapat berpengaruh pada fungsi kognitif, pelilaku dan fungsi otak lainnya yang dapat terjadi pada masa perkembangan otak (Mc Cann 2007). Anemia juga menyebabkan terjadinya penurunan skor kemampuan mental MDI (Mental Development Index) yang signifikan pada grup anemia. Studi longitudinal mengenai anemia juga telah membuktikan bahwa pada anak anemia memiliki kemampuan kognitif, perkembangan motorik dan prestasi belajar yang buruk (Grantham & Cornelius 2001). Besi berperan dalam sistem syaraf pusat perifer dalam enzim yang diperlukan untuk sintesis neurotransmitter dan berperan dalam mielinisasi. Selain itu, dampak akibat rendahnya status besi yaitu efek negatif pada perkembangan kognitif, kemampuan berkonsentrasi yang buruk, minat belajar yang kurang dan prestasi yang buruk di sekolah (Barasi 2009).

Batra & Archana (2005) mengemukakan dampak yang terjadi akibat anemia pada usia sekolah melalui beberapa tes yang terdiri dari aritmatik tes, test kurikulum sekolah dan test pembendaharaan kata (vocabulary test), dengan hasil bahwa terjadi penunan skor yang signifikan p=0.02 pada subjek anemia di usia sekolah. Selain itu pada anak usia lebih dari dua tahun dengan anemia biasanya memiliki kemampuan kognitif yang buruk dan prestasi sekolah yang rendah dibandingkan anak tidak anemia. Anemia juga menyebabkan penurunan kemampuan verbal (verbal learning) dan kemampuan mengingat memori pada remaja wanita, dimana kemampuan verbal dan memori sangatlah penting dalam peningkatan performa akademik (Bruner et al. 1996)

(17)

KERANGKA PEMIKIRAN

Karakteristik individu yang meliputi jenis kelamin, umur, tinggi badan dan berat badan akan sangat mempengaruhi konsumsi pangan. Konsumsi makan yang terbentuk dipengaruhi juga oleh pola aktivitas dan kebiasaan makan.

Pangan protein yang dikonsumsi antara lain pangan heme dan pangan non- heme, dimana kedua jenis pangan ini memiliki kandungan penyerapan dan bioavailabilitas zat besi yang berbeda. Masa remaja membutuhkan asupan pangan yang tinggi dalam mencukupi kebutuhan energi dan zat gizi untuk mendukung aktivitas dan menjalankan fungsi biologis tubuh setiap harinya dengan status gizi yang baik.

Konsumsi pangan mempengaruhi ketersediaan biologis zat besi yang mempengaruhi tingkat atau status anemia individu yang akan berdampak terhadap produktivitas siswi yaitu prestasi belajar. Pangan yang dikonsumsi memiliki beraneka ragam karakteristik antara lain pangan heme dan pangan non- heme, dimana kedua jenis pangan ini memiliki kandungan zat besi yang berbeda.

Pangan yang mengandung besi heme akan lebih mudah diserap dibandingkan pangan yang mengandung besi non-heme. Produktivitas kerja pada siswi sekolah menengah atas dapat tercermin melalui prestasi belajar siswi pada nilai ujian semester yang dilaksanakan sekolah. Nilai ujian semester terbagi atas dua kategori, yaitu nilai mata pelajaran keseluruhan dan mata pelajaran kejuruan.

Masalah gizi yang terjadi pada remaja khususnya anak sekolah akan mempengaruhi proses belajar di sekolah dan akan berdampak pada prestasi belajar di sekolah. Status gizi berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status kesehatan. Siswi yang mengkonsumsi makanan yang cukup kandungan gizinya akan memiliki status gizi yang baik. Salah satu masalah defisiensi zat gizi yang mempengaruhi kemampuan belajar remaja di sekolah adalah anemia yang ditandai dengan kadar hemoglobin darah yang lebih rendah dari nilai normal.

Anemia juga dapat mempengaruhi kemampuan belajar siswi dan dapat mempengaruhi prestasi belajar. Selain itu banyak faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar, antara lain faktor eksternal yaitu lingkungan belajar, sekolah, masyarakat dan pergaulan serta faktor internal yaitu minat, bakat, intelegensi dan motivasi.

(18)

Keterangan:

: Garis hubungan pengaruh : Variabel yang diamati : Variabel yang tidak diamati

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan konsumsi pangan dan status besi dengan prestasi belajar

Prestasi Belajar (Nilai Rapot) Karakteristik Contoh

• Umur

• Tinggi badan

• Berat badan

• Uang saku

Usia menarche

• Lama & Siklus menstruasi

• Pendidikan, Pekerjaan &

Pendapatan orang tua

Status Gizi

Biokimia: Status Besi (Hb)

Anthropometri: IMT/U

Ketersediaan Pangan Pola

Aktivitas

Konsumsi Pangan Tingkat Kecukupan

Energi

Protein

Zat Besi

Vitamin C

Vitamin A

Bioavailabilitas Zat Besi

Enhancer Inhibitor

Faktor Eksternal:

Lingkungan belajar sekolah, masyarakat dan pergaulan.

Faktor Internal (individu):

Minat, konsep diri, bakat, intelegensi, motivasi dan fasilitas belajar.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan Jepang melakukan tanam paksa atau Romusha yaitu, untuk persiapan perang Asia Timur Raya serta memenuhi kebutuhan tentara jepang, untuk lebih jelasnya lagi akan di bahas

Sistem koordinat yang dipakai oleh input adalah sistem koordinat layar komputer bukan sistem koordinat cartesius yang digunakan oleh Unistoke Kanji, sehingga untuk

Selain pengaruh dari setiap item pada masing- masing variabel, penyebab variabel kebutuhan prestasi, kebutuhan kekuasaan, dan kebutuhan afiliasi secara parsial tidak

Untuk Kesaksian sebagai 'Stroke Survivor', Pelayanan dan Hobi ( Menulis dan Filateli

Berdasarkan hasil wawancara oleh peneliti bahwa produktivitas bukan hanya dilihat dari aspek ratio input dan output berkas tetapi dilihat dari kedisiplinan para

Tabel 4 menunjukkan bahwa antara tahun dasar sampai tahun 2025 diasumsikan intensitas energi per rumah tangga meningkat, kemudian meningkat lagi tetapi dengan laju

[r]

semua penyebab yang berhubungan dengan suatu permasalahan, khususnya dalam hal ini adalah permasalahan yang dihadapi oleh UMKM di Kabupaten Nunukan., maka kendala yang dihadapi