BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dengan posisi yang strategis yaitu berada dua benua dan dua samudra, yakni benua asia dan australia serta samudra pasifik dan samudra hindia. Indonesia memiliki puluhan ribu pulau hingga menjadikan Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan puluhan ribu pulau yang dimiliki maka Indonesia mempunyai karakter penduduk yang berbeda juga, karena dari sabang sampai merauke semua karakter penduduknya berbeda di setiap pulaunya. Tidak hanya karakter namun untuk agama, bahasa, etnis, kebudayaan, ras, serta suku dari penduduknya juga berbeda di setiap pulaunya.
Kasus intoleransi agama di Indonesia belum sejajar dengan semboyan Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda namun tetap satu yakni Indonesia. Kasus intoleransi agama di Indonesia selalu terjadi setiap tahun yang selalu melibatkan konflik antar umat beragama. Kedamaian dan persaudaraan sejati dalam iklim persaudaraan sepertinya menjadi barang langka, peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau keyakinan sepanjang tahun. Sekarang Indonesia belum tercerai berai, tapi sekat-sekat pemisah sudah mulai muncul. Peristiwa-peristiwa yang memicu intoleransi kebhinekaan harus diwaspadai karena dapat menjadi penyebab disintegrasi bangsa, sehingga konflik agama hanya kedok sekelompok orang yang tidak menginginkan kerukunan di tengah masyarakat Indonesia yang pluralis. Semua pihak harus sadar bahwa negara Indonesia adalah sebuah wadah yang menampung beraneka agama, beraneka suku, adat-istiadat, dan beraneka aliran politik yang artinya realitas keanekaragaman, termasuk agama dan aliran kepercayaan merupakan realitas keindonesiaan yang harus diakui dan disadari oleh setiap warga negara Indonesia.
Sebagai negara yang majemuk terdiri atas berbagai suku, ras, adat istiadat, golongan, kelompok dan agama, serta strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupakan suatu kewajaran sejauh perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati. Perbedaan menjadi ancaman untuk kerukunan hidup, Hal tersebut menjadi masalah yang harus diselesaikan (Suryana dan Rusdiana, 2015:1).
Perbedaan agama, bahasa, etnis, kebudayaan, ras serta suku di Indonesia menyebabkan tingkat multikultural di Indonesia yang sangat tinggi dibanding negara lainnya. Selain itu masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragamannya dapat dikenal dengan istilah masyarakat multikultural, dengan latar belakang yang berbeda-beda setiap pulaunya menjadikan Indonesia sangat kaya akan pemahaman tentang tolerasi multikultural yang tinggi di setiap daerah.
Masyarakat Indonesia yang multikultur, multiras, dan multiagama memiliki potensi yang besar untuk terjadinya konflik antar kelompok, ras, agama dan suku bangsa, indikasi ke arah itu terlihat dari tumbuh suburnya berbagai organisasi kemasyarakatan, profesi, dan organisasi lainnya. Selain itu, muncul berbagai macam aliran keagamaan. (Suryana dan Rusdiana, 2015:1).
Mahfud menyatakan bahwa “multikulturalisme sebagai sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak serta eksistensi budaya yang lain untuk dipahami bersama dalam kehidupan masyarakat yang multikultural seperti Indonesia. Jika tidak, dalam masyarakat akan terjadi ketidak saling pengertian dan pemahaman terhadap realitas multikultural tersebut” (Mahfud, 2006: xix).
Masyarakat Indonesia yang beragam secara demogorafis maupun sosiologis berpotensi untuk terjadinya konflik, karena masyarakat terbagi dalam kelompok berdasarkan identitas kultural mereka. Identitas kultural ini menentukan individu- individu yang termasuk dalam in group dan individu out grop. Masyarakat dalam kelompok berdasarkan identitas kultural akan sulit mencapai keterpaduan sosial, sebab masing-masing kelompok berada dalam pergaulan eksekutif sehingga relatif
tidak intensif dalam melakukan komunikasi antar budaya yang efektif. Keterpaduan sosial adalah suatu kondisi yang memungkinkan masing-masing kelompok dapat berkomunikasi tanpa harus kehilangan identitas kultural mereka. Akibat tidak adanya keterpaduan sosial ini maka usaha untuk membentuk kehendak bersama membentuk suatu bangsa menjadi persoalan yang rumit dan membutuhkan waktu yang panjang (Rahardjo, 2005:3).
Pemahaman dan kesadaran terhadap realitas yang pluralitas multikultural melalui pendidikan dalam jenjang akan memiliki dampak yang konkrit dalam kehidupan secara luas di masa mendatang. terutama dalam pembelajaran sejarah di dalam kelas. Nilai multikultural jika dikaitkan dalam pembelajaran sejarah dilihat dari tujuan pembelajarannya pada sekolah menengah diharapkan dapat menghasilkan siswa yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air, memiliki watak dan kepribadian yang kuat, memajukan kebudayaan nasional, menjadikan siswa memiliki identitas dan jati diri yang kuat, serta sebagai anggota masyarakat dan bangsa yang demokratis (Depdiknas, 2004:30).
Toleransi antar umat beragama sangat diperlukan guna menciptakan suasana dan kondisi yang beragam dengan harmonis dan rukun serta damai. Hal ini dipertegas oleh Purwasito bahwa toleransi merupakan kunci saling pengertian antar bangsa, karena toleransi adalah upaya empati yakni upaya saling memahami secara sukarela dan terbuka. Sikap terbuka, sedia saling berbagi, kemauan berinteraksi dapat mendekatkan perbedaan ke persamaan serta banyak peluang untuk mengatasi hambatan-hambatan yang ada (Purwasito, 2015:80-81).
Saidah berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses pelatihan dan pengajaran, terutama diperuntukkan kepada anak-anak dan remaja, baik di sekolah- sekolah maupun di kampus-kampus, dengan tujuan memberikan pengetahuan dan mengembangkan berbagai keterampilan (Saidah, 2016 : 1).
Pendidikan adalah sebuah pembelajaran, pengetahuan, keterampilan dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya melalui beberapa proses pengajaran, pelatihan-pelatihan, atau penelitian.
Pendidikan dilakukan dibawah bimbingan orang lain yang dinamakan guru, namun juga bisa secara otodidak yaitu dengan cara belajar sendiri. Pada intinya pendidikan merupakan suatu proses pelatihan atau proses pengajaran terhadap sebuah ilmu pengetahuan baik formal maupun non formal, karena pendidikan tidak terbatas pada sektor formal yang didapatkan melalui sekolah dan diajarkan oleh guru. Pendidikan yang merupakan pelatihan keterampilan dan pengajaran bisa didapatkan dimana saja serta oleh siapa saja yang termasuk dalam sektor non formal.
Pendidikan merupakan salah satu media yang efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki pandangan serta mampu menjadikan keragaman sebagai bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif. Sebab pendidikan bersifat sistemik dengan tingkat penyebaran yang cukup merata. Lembaga pendidikan dari berbagai tingkatan yang telah tersebar secara luas di berbagai wilayah Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana yang cukup efektif untuk mencapai tujuan ideal (Naim dan Sauqi, 2008:5). Mudyaharjo mendefinisikan pendidikan berdasarkan jangkauan, yang dibagi ke dalam tiga macam, yaitu definisi pendidikan secara luas, definisi pendidikan secara sempit dan definisi pendidikan secara luas terbatas. (Mudyoharjo, 2014 : 3-12)
Didalam mempelajari perkembangan pendidikan, masyarakat harus dapat menemukan garis-garis besar yang menunjukkan bagaimana leluhur kita melaksanakan tugas mendidiknya. Tidak ada artinya jika perkembangan pendidikan hanya merupakan deretan sejarah kehidupan para ahli ilmu mendidik. Perkembangan harus memberi pengetahuan kepada kita tentang pertumbuhannya. Sebagai contoh adalah berdirinya perguruan Taman Siswa yang lahir karena pada saat itu pemerintah Belanda berusaha memperluas pendidikan dan pengajaran berdasarkan Agama Kristen dengan dampaknya yaitu pemerintah Belanda atau penjajah ingin mematikan rasa kebangsaan (Kebudayaan Kebangsaan) kita sebagai masyarakat Indonesia.
(Agung S, 2016:1).
Menurut Azyumardi Azra (2001), pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang ada pada masa orde baru memaksakan “monokulturalisme” yang
hampir seragam memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural (Yaya Suryana dan Rusdiana, 2015:92).
Pendidikan nasional di Indonesia yang ditawarkan saat ini adalah pendidikan multikultural sebagai pengganti pendidikan monokultural dinilai sangat tepat, artinya pendidikan Indonesia yang diinginkan saat ini tidak hanya difokuskan pada satu kultur tertentu untuk representasi dari seluruh masyarakat yang majemuk, tetapi penerapannya bersifat komprehensif dan universal sebagai penunjang implementasi penerapan nilai-nilai demokrasi terhadap pelayanan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan. Sejalan dengan hal tersebut, dikatan oleh Mahfud bahwa pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan seiring dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (Mahfud, 2006: 7).
James Banks (1993:3) mendefinisikan pendidikan multikultural merupakan suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam bentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok ataupun suatu Negara. Banks mendefinisikan pendidikan multikultural adalah ide, gerakan, pembaharuan pendidikan, dan proses pendidikan yang tujuan utamanya adalah mengubah struktur lembaga pendidikan agar siswa laki-laki dan perempuan, siswa berkebutuhan khusus, dan siswa yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis dan kulktur yang bermacam-macam memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai prestasi akademis di sekolah. (Suryana dan Rusdiana, 2015:196)
Menurut Gagne belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman (Dahar, 1988: 11).
Banyak faktor pendukung tercapainya suatu tujuan pembelajaran, salah satu faktor yang paling vital adalah para pendidik atau guru. Buruknya kualitas pembelajaran sejarah adalah kurang terampil dan kreativitas guru yang rendah dalam mengajar.
Mengingat kurangnya pencapaian pelajaran sejarah yang terkesan membosankan bagi peserta didik atau hanya sebagai cerita masa lalu, karena kurang kreatifnya para guru sejarah dalam mengajar pelajaran sejarah. Seringkali guru sejarah hanya menjelaskan kronologis dan fakta-fakta berupa angka tahun, nama tokoh dalam peristiwa tanpa siswa memetik pelajaran yang bisa diambil dari tokoh dan peristiwa tersebut, selain itu penggunaan metode pembelajaran yang membosankan bagi para peserta didik yaitu metode pembelajaran ceramah yang dilakukan oleh para pendidik karena pendidik yang kurang terampil atau kreatif dan ingin metode mengajar yang instan.
Menurut Departmen Pendidikan Nasional bahwa tujuan pembelajaran sejarah adalah mendidik seseorang anak hingga menjadi warga Negara yang mempunyai rasa cinta tanah air, bahasa, ras dan suku yang disebut multikultural. Dalam pencapaian tujuan pembelajaran kegiatan pembelajaran sejarah membutuhkan pengaturan yang sistematis di segala faktor pendukungnya yaitu mulai dari pendidiknya hingga alat pembelajaran, seperti media, model hingga metode pembelajaran yang baik. Penataan dan penggunaan media, model dan metode pembelajaran akan turut mendukung tercapainya tujuan pembelajaran. Jika salah satu dari komponen tersebut kurang mendukung maka dampaknya adalah pencapaian tujuan pembelajaran kurang maksimal dalam pendidikan.
A.B Lapian mengungkapkan pengajaran sejarah kurang begitu menyentuh dengan cerita tentang diri siswa dan lingkungannya (Isjoni dan Ismail, 2008:148).
Seorang guru sejarah harus memiliki kompetensi khusus yakni memiliki pengetahuan luas tentang kebudayaan. Dalam hubungan ini, guru sejarah adalah seorang
“messenger of man’s cultural in heritance” (penyampaian dari warisan budaya) (Widja 1986:19).
Pendidikan multikultural dijadikan dasar sebuah proses pengajaran, baik dalam sekolah negeri biasa serta sebuah pondok pesantren. Prinsip ini sejalan dengan prinsip pengembangan kurikulum yang menerangkan bahwa kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan
nasional dikembangkan melalui penentuan struktur kurikulum,Standart Kemampuan/SK dan Kemampuan Dasar/KD serta silabus. Kepentingan daerah dikembangkan untuk membangun manusia yang tidak tercabut dari akar budayanya dan mampu berkontribusi langsung dengan masyarakat sekitarnya. Kedua kepentingan ini saling mengisi dan memberdayakan keragaman dan kebersatuan yang dinyatakan dalam Bhineka Tunggal Ika untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (Depdiknas, 2013)
Pelaksanaan pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah di Sekolah merupakan tanggung jawab pengelola sekolah yaitu kepala sekolah. Tinjauan teoritis tentang pengembangan kurikulum melalui pendidikan multikultural adalah pendidikan multikultural tidak harus berdiri sendiri, tetapi dapat terintegrasi dalam mata pelajaran dan proses pendidikan yang ada di sekolah termasuk keteladanan para pendidik atau guru. Isi dari pendidikan multikultural harus diimplementasikan berupa tindakan, baik di sekolah maupun di masyarakat.
Salah satu upaya untuk membangun kesadaran dan pemahaman generasi yang akan datang adalah dengan mengembangkan kurikulum 2013 yang notabene lahir dari sebuah pendidikan multikultural. Guru dan institusi pendidikan (sekolah) perlu memahami konsep pengembangan kurikuum yang sesuai dengan pendidikan multikultural dalam perspektif global agar tujuan yang terkandung dalam pendidikan ini dapat diajarkan sekaligus dipraktekkan diharapkan pada peserta didik yang berlatar belakang multikultur.
Dalam Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003 pasal 2 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Fungsi dan tujuan pendidikan adalah merupakan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan manusia Indonesia yang sungguh mulia dan hendaknya harus dapat diimplementasikan dalam lembaga pendidikan secara baik, mulai dari tahapan perencanaan pendidikan, Implementasi dalam proses penyelenggaraan pendidikan, pengawasan penyelenggaraan pendidikan, dan kegiatan evaluasi penyelenggaraan pendidikan. Ini berarti bahwa setiap penyelenggara pendidikan di masyarakat baik pendidikan formal maupun non formal harus berorientasi pada tercapainya fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Perlu disadari bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut tidaklah mudah, dan harus didukung oleh seperangkat kebijakan perencanaan pendidikan yang memadai, seperti misalnya kebijakan tentang terpenuhinya sarana prasarana pendidikan memadai, kurikulum pendidikan yang baik, sistem penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang memadai, manajemen sekolah memadai, kualitas pendidik yang profesional, dan dukungan dana yang memadai.
Membangun karakter bangsa harus dilandasi dengan pendidikan moral yang tinggi sesuai dengan falsafah pancasila yang mengedepankan pada asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan perwakilan, serta Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari falsafah pancasila tersebutlah seyogyanya semua warga Indonesia memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan dengan mengedapankan pendidikan multikultural dalam pendidikannya.
Pendidikan multikultural merupakan fenomena yang lama di dalam dunia pendidikan. Sebelum Perang Dunia II boleh dikatakan pendidikan multikultural belum dikenal. Bahkan pendidikan dijadikan sebagai alat politik untuk melanggenggkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Dengan kata lain pendidikan multikultural merupakan gejala baru di dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama untuk semua orang. “Education for All” (H.A.R Tilaar 2004:123).
Penerapan pendidikan multikultural di sekolah memiliki posisi yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya gesekan antar kelompok yang berbeda di Indonesia.
Penerapan pendidikan multikultural diharapkan dapat membentuk watak maupun karakter yang multikultural pada diri anak sejak dini. Iis Arifudin (jurnal 2007
“Urgensi Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah”) mengatakan bahwa di sekolah harus ditanamkan nilai-nilai kebersamaan, toleran, dan mampu menyesuaikan diri dalam berbagai perbedaan. Proses pendidikan ke arah ini dapat ditempuh dengan pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural merupakan proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Sekolah di Malaysia yang menerapkan pendidikan multikultural harus menghargai keanekaragaman budaya dan dinamika perbedaan. Sekolah menyediakan sistem pelatihan untuk memfasilitasi pengetahuan budaya dan resolusi konflik.
Sekolah beradaptasi dengan keanekaragaman serta menerapkannya (Suseela Malakolunthua, Procedia Sosial dan Ilmu Perilaku 9: 2010).
Sehubungan dengan pentingnya pendidikan multikultural, Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa sebagai negara “kesatuan”, maka untuk seluruh Indonesia dan bagi segenap rakyatnya harus ada kesatuan pendidikan dan pengajaran dalam arti kesamaan dalam sifat-sifat yang pokok, kesamaan dalam hak-hak dan kesempatan- kesempatan untuk menuntut pelajaran yang sesuai dengan keinginan dan bakat masing-masing. Artinya bahwa seluruh masyarakat Indonesia memiliki kesamaan hak dalam memperoleh pelayanan pendidikan dari negara sebagai wujud dari kesatuan dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia (Dewantara, 1977: 231).
Diharapkan dari sistem sekolah di Indonesia yang menerapkan pendidikan multikultural akan membawa sebuah perubahan terhadap generasi muda terkhusus usia dini dengan membentuk karakter maupun watak yang menjunjung tinggi nilai toleransi. Seperti yang dikatakan Rini Hartati S. (2013: 602) dalam karyanya yang berjudul “Implementasi pendidikan multikultural sebagai modal sosial dalam kehidupan berbangsa” yang mengatakan bahwa efek yang diharapkan dari
pelaksanaan pendidikan multikultural tersebut adalah adanya pemahaman bahkan penyadaran yang terkait dengan kondisi bangsa yang plural. Sehingga kesadaran multikulturalisme ini dapat dijadikan sebagai modal sosial dalam menciptakan interaksi sosial masyarakat yang konstruktif bagi bangsa ini.
Sekolah merupakan satu-satunya tempat dan memiliki peranan yang sangat penting untuk membekali peserta didik atau generasi muda untuk saling bertoleransi sesama umat manusia karena satu-satunya cara untuk menekan gesekan dari permasalahan yang timbul dalam konteks kultur serta dapat mempersatukan berbagai perbedaan dari masyarakat yang multikultur untuk hidup berdampingan secara harmonis dan damai dalam suatu tempat atau lokalitas tertentu.
Kota Solo merupakan kota budaya yang sarat dengan budaya-budaya jawa hingga mendapat julukan sebagai The Spirit of Java, selain itu Kota Solo Sendiri sering disebut dengan kota sumbu pendek yakni hanya sekedar pengandaian atau simbolisasi yaitu “sumbu pendek” akan menyebabkan peledak (petasan,bom,dsb) cepat meletus atau meledak dan memberikan efeki berantai (multiple effect) yang luar biasa dahsyat baik trauma psikologis maupun kerugian materi yang banyak.
Kecemburuan sosial antara pribumi dengan etnis cina terjadi sejak lama, Yasmis (Jurnal 2009 “Sarekat Islam Dalam Pergerakan Pergerakan Nasional Indonesia 1912-1927) mengatakan bahwa berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905 di Surakarta sebagai bukti bahwa Organisasi ini bermula dari sebuah perkumpulan para pedagang batik untuk mengimbangi kemajuan para pedagang batik Cina. Keanggotaannya terus berkembang hingga tidak terhadap pedagang batik saja, tetapi seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam, sehingga Sarekat Islam berkembang menjadi sebuah organisasi modern yang paling banyak anggotanya.
Menurut Rustopo (2007: 2) dalam bukunya yang berjudul “ Menjadi Jawa”
mengatakan bahwa Peristiwa kerusuhan Mei 1998 menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat etnis Tionghoa di Kota Surakarta, yang rumahnya, tokonya, tempat usahanya dirusak, dijarah, dan dibakar oleh perusuh. Nilai kerugian
fisik yang sebagian besar disandang oleh orang-orang Tionghoa mencapai miliaran rupiah.
Bambang Natur Rahadi dalam tulisannya yang berjudul “ Rekaman Lensa Peristiwa Mei 1998 di Solo” menyatakan bahwa hal tersebut belum termasuk kejiwaan yang di derita oleh orang-orang Tionghoa korban kerusuhan itu hingga kini.
hal yang paling menyedihkan adalah mereka sama sekali tidak memperoleh keadilan.
Masalah tersebut dianggap kriminal murni yang dilakukan secara spontan oleh massa, sehingga sulit menentukan siapa tersangkanya (Rahadi, 1998: 168-186). Dapat disimpulkan bahwa kerusuhan Mei 1998 di Solo adalah kerusuhan yang sangat merugikan warga Tionghoa di Surakarta yang tidak pernah memperoleh penyelesaian hukum serta pemerintah maupun penegak hukum serta keadilan di Indonesia.
Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta merupakan ekspresi ketidaksenangan masyarakat pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Citra orang-orang Tionghoa dalam pandangan masyarakat pribumi adalah negatif. Banyak sekali stereotip negatif untuk orang Tionghoa menurut pandangan masyarakat pribumi Jawa, yang turun- temurun dari zaman ke zaman. (Rustopo,2007: 3). Jauh sebelum peristiwa kerusuhan 1998 pada tahun 1742 terdapat peristiwa geger pecinan yakni sebuah serangan Raden Mas Garendi kepada Paku Buwono II yang dibantu orang-orang Tionghoa, peristiwa ini mengakibatkan hancurnya Ibu Kota Kerajaan Mataram di Kartasura. Raden Mas Garendi yang memimpin penyerangan Paku Buwono II di Kartasura tersebut merupakan cucu Amangkurat III. Raden Mas Garendi diberikan gelar Sunan Kuning oleh orang Tionghoa, karena telah memimpin kaum kulit kuning atau orang-orang Tionghoa (Ricklefs, 1991 : 140-141). Berakhirnya geger pecinan membuat Paku Buwono II harus memindahkan Ibu Kota Kerajaan ke Surakarta pada tahun 1745.
Orang-orang Tionghoa yang ikut serta melakukan pemberontakan pada Paku Buwono II tetap diizinkan tinggal di Surakarta (Lombard, 1996 : 125).
Kota Solo sendiri terdiri dari berbagai penduduk yang beragam latar belakang agama, bahasa, adat istiadat, suku dan ras (masyarakat multikultural). Masyarakat kota Solo yang beragam berasal baik dari daerah provinsi Jawa Tengah sendiri seperti
Kabupaten Banjarnegara, Banyumas, Batang, Blora, Boyolali, Brebes, Cilacap, Demak, Grobogan, Jepara, Karanganyar, Kebumen, Kendal, Klaten, Kudus, Magelang, Pati, Pekalongan, Pemalang, dan sebagainya. Selain memiliki beberapa kabupaten, provinsi Jawa Tengah memiliki beberapa kota yaitu kota Magelang, Pekalongan, Salatiga, Semarang, Surakarta dan Tegal. Sedangkan yang berasal dari luar Provinsi Jawa Tengah yakni, Madura, Ambon, Sulawesi, Batak, Bali, Padang, Kalimantan, Aceh, dan sebagainya. Selain itu ada beberapa warga negara asing (WNA) yang sudah berpindah kependudukan menjadi warga negara Indonesia secara turun temurun seperti Tionghoa, Arab, dan sebagainya. Keberagaman ini tentunya menjadi keberagaman dari segi bahasa, budaya dan agama bagi masyarakat Kota Solo yang sangat beragam tersebut, walaupun berbeda etnis, ras, suku dan agama, namun dalam kesehariannya selalu menjaga kedamaian dan menghindari antar gesekan yang kemungkinan terjadi sebagai penerapan dari toleransi antar budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keharmonisan ini tidak lepas dari kesadaran multikultural yang didiapatkan dari pendidikan multikultural di lingkup sekolah formal terkhusus di Sekolah Negeri Menengah Atas.
Dalam konteks penerapan pendidikan multikultural di dalam institusi pendidikan formal, SMA Negeri 3 Surakarta merupakan salah satu lembaga pendidikan formal Sekolah Menengah Atas berbasis negeri yang menerapkan pendidikan multikultural dalam pembelajaran kepada seluruh peserta didik. Dilihat dari visi, misi dan tujuan sekolah serta populasi siswa yang berada di sekolah tersebut benar-benar multikultural, selain itu letak sekolah yang strategis turut serta mendukung terjadinya proses pendidikan multikultural yang maksimal. Berdasarkan data awal yang diperoleh dari seorang guru pada saat observasi di sekolah mengatakan bahwa siswa di SMA Negeri 3 Surakarta sangat beragam yakni baik dari agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha yang tentunya berasal dari beragam suku serta memiliki ragam bahasa, adat istiadat dan budaya. Melihat keberagaman yang berada di sekolah tersebut, maka dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tentunya selalu memperhatikan sisi multikultural.
Sehubungan dengan kondisi multikultural yang dijelaskan pada latar belakang diatas, maka penulis termotivasi untuk melakukan penelitian studi kasus dengan judul
“Implemetasi Pendidikan Multikultural dalam Pembelajaran Sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta”. Penelitian ini sangat diperlukan guna mengingat keadaan Kota Surakarta yang multikultural baik dari segi Suku, Agama, Etnis, Ras, dan sebagainya, untuk mencegah timbulnya konflik yang muncul akibat gesekan-gesekan antar kelompok yang primordialisme seperti peristiwa-peristiwa maupun konflik yang sudah terjadi di Kota Surakarta dengan multulktural sebagai pemicu utamanya.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Pemahaman guru sejarah terhadap pendidikan multikultural.
2. Latar belakang Sosiokultural siswa di SMA Negeri 3 Surakarta.
3. Perencanaan pembelajaran sejarah yang mengintegrasikan pendidikan multikultural di SMA Negeri 3 Surakarta.
4. Implementasi pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta.
5. Dampak implementasi pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian masalah di atas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pemahaman guru sejarah terhadap pendidikan multikultural ? 2. Bagaimana latar belakang Sosiokultural siswa di SMA Negeri 3 Surakarta ? 3. Bagaimana perencanaan pembelajaran sejarah yang mengintegrasikan
pendidikan multikultural di SMA Negeri 3 Surakarta ?
4. Bagaimana implementasi pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta ?
5. Bagaimana dampak implementasi pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta ?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut :
1. Pemahaman guru sejarah terhadap pendidikan multikultural.
2. Latar belakang Sosiokultural siswa di SMA Negeri 3 Surakarta.
3. Perencanaan pembelajaran sejarah yang mengintegrasikan pendidikan multikultural di SMA Negeri 3 Surakarta.
4. Implementasi pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta.
5. Dampak implementasi pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini ada dua yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat dari hasil penelitian adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambahkan atau membawa suatu pengetahuan dan wawasan bagi guru, khususnya mengenai implementasi pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru
Sebagai suatu motivasi bagi guru atau pengajar untuk lebih memaksimalkan kualitas pembelajaran mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga tahap penilaian serta memperhatikan kendala yang dialami sebagai bahan evaluasi khususnya dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 3 Surakarta.
b. Bagi siswa
Sebagai sarana bagi siswa supaya memperoleh pengetahuan in put tentang pentingnya implementasi pendidikan multikultural sebagai dasar dalam menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi antar kultur.
c. Bagi sekolah
Sebagai upaya peningkatan kualitas sekolah berbasis kegiatan pembelajaran yang bersifat humanis dan menghargai multikultural sebagai muara dari pembelajaran sejarah dengan prinsip implementasi pendidikan multikultural.