i
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
RISKA WAHYUNI 105336968 12
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
2016
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : RISKA WAHYUNI
Stambuk : 10533 6968 12
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Judul Skripsi : Tindak Tutur Direktif dalam Novel “Rumah Kaca”
Karya Pramoedya Ananta Toer (Suatu Tinjauan Pragmatik)
Setelah diperiksa ulang, skripsi ini memenuhi syarat untuk diujikan.
Makassar, Juli 2016 Disetujui oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Juanda, M.Hum. Aliem Bahri S.Pd., M.Pd.
Diketahui:
Dekan FKIP Ketua Jurusan Pendidikan
Unismuh Makassar Bahasa dan Sastra Indonesia
Dr. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum. Dr. Munirah, M.Pd.
NBM : 858625 NBM. 951576
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Judul Skripsi : Tindak Tutur Direktif dalam Novel “Rumah Kaca”
Karya Pramoedya Ananta Toer (Suatu Tinjauan Pragmatik)
Mahasiswa yang bersangkutan:
Nama : RISKA WAHYUNI
NIM : 10533 6968 12
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Setelah diperiksa dan diteliti, maka skripsi ini telah memenuhi persyaratan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Ujian Skripsi FKIP Unismuh Makassar.
Makassar, Juli 2016 Disetujui oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Juanda, M.Hum. Aliem Bahri S.Pd., M.Pd.
Diketahui:
Dekan FKIP Ketua Jurusan Pendidikan
Unismuh Makassar Bahasa dan Sastra Indonesia
Dr. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum. Dr. Munirah, M.Pd.
NBM : 858625 NBM. 951576
iv
SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : RISKA WAHYUNI
Nim : 10533 6968 12
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi : Tindak Tutur Direktif dalam Novel “Rumah Kaca”
Karya Pramoedya Ananta Toer (Suatu Tinjauan Pragmatik)
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya ajukan di depan tim penguji adalah hasil karya saya sendiri dan bukan hasil ciptaan orang lain atau dibuatkan oleh siapapun.
Demikian pernyataan ini saya buat dan saya bersedia menerima sanksi apabila pernyataan ini tidak benar.
Makassar, Juli 2016 Yang Membuat Pernyataan
Riska Wahyuni Diketahui oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Juanda, M.Hum. Aliem Bahri S.Pd., M.Pd.
v
SURAT PERJANJIAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : RISKA WAHYUNI
Nim : 10533 6968 12
Jurusan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Dengan ini menyatakan perjanjian sebagai berikut:
1. Mulai dari penyusunan proposal sampai selesai penyusunan skripsi ini, saya akan menyusun sendiri skripsi saya (tidak dibuatkan oleh siapapun).
2. Dalam menyusun skripsi, saya akan selalu melakukan konsultasi dengan pembimbing yang telah ditetapkan oleh pemimpin fakultas.
3. Saya tidak akan melakukan penjiplakan (Plagiat) dalam penyusunan skripsi.
4. Apabila saya melanggar perjanjian seperti pada butir 1,2, dan 3, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.
Demikian perjanjian ini saya buat dengan penuh kesadaran.
Makassar, Juli 2016 Yang Membuat Pernyataan
Riska Wahyuni Mengetahui
Ketua Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Dr. Munirah M.Pd.
NBM. 951576
vi
Kesabaran akan berbuah keberhasilan Disertai dengan kerja keras dan doa
Tekadku, semangatku, akhlakku, kesetiaanku, agamaku, dan kemuliaanku tidak akan pernah tua. Meski kepalaku sudah tampak tua bagiku. Uban di kepala itu tidak sama seperti uban
dalam cita-cita
(Ibnu Aqil Rahimahullah)
Kupersembahakan karya sederhana ini untuk Bapak dan Ibuku,
saudaraku, dan sahabatku tercinta yang mengajari akan arti kehidupan
yang sesungguhnya dan menuntunku dalam meraih masa depan
vii
Riska Wahyuni. 2016. “Tindak Tutur Direktif dalam novel “Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer (Suatu Tinjauan Pragmatik)”. Skripsi. Dibimbing oleh Juanda dan Aliem Bahri. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan jenis-jenis tindak tutur direktif yang terdapat dalam novel “Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer, dengan tinjauan pragmatik.
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka yang bersifat deskriptif kualitatif.
Adapun yang menjadi data dalam penelitian ini adalah pernyataan yang berupa kalimat atau paragraf yang mengandung tindak tutur direktif. Sumber data penelitian ini adalah novel yang berjudul “Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada tahun 2010 cetakan kedelapan.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa tindak tutur direktif yang ditemukan dalam novel “Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer, terdiri dari enam jenis, yaitu : (1) menyatakan maksud perintah; (2) menyatakan maksud permintaan; (3) menyatakan maksud ajakan; (4) menyatakan maksud nasihat; (5) menyatakan maksud kritikan; (6) menyatakan maksud larangan.
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan agar dalam berkomunikasi antarsesama manusia diharapkan dapat bertutur dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami, sehingga pesan atau keinginan penutur dapat dipahami oleh petutur atau pendengar; penelitian terhadap tindak tutur sebagai peristiwa tindak tutur berbahasa, khususnya tindak tindak tutur direktif masih jarang dilakukan sehingga perlu dilanjutkan; pembaca/peneliti yang berminat dalam kajian tidak tutur diharapkan dapat meneliti jenis tindak tutur yang lain.
Kata Kunci : Tindak Tutur, Direktif, Novel
viii
Allah Maha Penyanyang dan Pengasih, demikian kata untuk mewakili atas segala karunia dan nikmat-Nya. Jiwa ini takkan henti bertahmid atas anugerah pada detik waktu, denyut jantung, gerak langkah, serta rasa dan rasio pada-Mu, Sang Khalik. Skripsi ini adalah setitik dari sederetan berkah-Mu.
Setiap orang dalam berkarya selalu mencari kesempurnaan, tetapi terkadang kesempurnaan itu terasa jauh dari kehidupan seseorang. Kesempurnaan bagaikan fatamorgana yang semakin dikejar semakin menghilang dari pandangan, bagai pelangi yang terlihat indah dari kejahuan, tetapi menghilang jika didekati. Demikian juga tulisan ini, kehendak hati ingin mencapai kesempurnaan, tetapi kapasitas penulis dalam keterbatasan. Segala daya dan upaya telah penulis serahkan untuk membuat tulisan ini selesai dengan baik dan bermamfaat dalam dunia pendidikan, khususnya dalam ruang lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidkan, Universitas Muhammadiyah Makassar.
Motivasi dari berbagai pihak sangat membantu dalam perampungan tulisan ini. Segala rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya. Abidin Majid dan Agustina Rahman yang telah berjuang, berdoa, mengasuh, membesarkan, mendidik, dan membiayai penulis dalam proses pencarian ilmu.
Demikain pula, penulis mengucapkan kepada para keluarga yang tak hentinya memberikan motivasi dan selalu menemaniku dengan candanya. Kepada Dr. Juanda, M.Hum, Aliem Bahri, S.Pd., M.Pd., selaku pembimbing I dan pembimbing II, yang
ix
Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada; (1) Dr. H. Irwan Akib, M.Pd., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, (2) Dr. A. Sukri Syamsuri, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar, dan (3) Dr . Munirah, M.Pd selaku ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia serta seluruh dosen dan para staf pegawai dalam lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membekali penulis dengan serangkaiaan ilmu pengetahuan yang sangat bermanpaat bagi penulis.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa mengharapkan kritikan dan saran dari berbagai pihak, selama saran dan kritikan tersebut sifatnya membangun karena penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak akan berarti sama sekali tanpa adanya kritikan. Mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi para pembaca, terutama bagi diri pribadi penulis. Amin.
Makassar, Juni 2016
Penulis
x
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PENGESAHAN... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iv
SURAT PERNYATAAN... v
SURAT PERJANJIAN ... vi
MOTO ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... xi
DAFTAR ISI... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka... 6
1. Penelitian yang Relevan ... 6
2. Pengertian Pragmatik ... 8
3. Ruang Lingkup Pragmatik ... 11
4. Pengertian Tindak Tutur ... 20
xi
7. Novel ... 36
8. Percakapan dalam Novel... 40
B. Kerangka Pikir ... 41
BAB III METODE PENELITIAN A. Variabel dan Desain Penelitian ... 44
B. Definisi Istilah ... 44
C. Data dan Sumber Data ... 45
D. Teknik Pengumpulan Data... 45
E. Teknik Analisis Data... 46
F. Teknik Pengujian Keabsahan Data ... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penyajian Hasil Analisis Data ... 48
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 56
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 59
B. Saran... 59
DAFTAR PUSTAKA ... 60 LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Bahasa adalah bahan utama untuk mewujudkan ungkapan pikiran dalam suatu bentuk yang indah.
Bahasa tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, bahkan bahasa selalu digunakan oleh manusia dalam segala kegiatan, sehingga dikatakan interaksi tidak mungkin terjadi tanpa adanya media bahasa. Apapun yang dilakukan oleh manusia seperti berkumpul, bermain dan menyampaikan pesan, semuanya menggunakan media bahasa.
Sebuah karya sastra khususnya novel yang memiliki bahasa yang indah, dikembangkan melalui dua cara yakni narasi dan dialog. Pengungkapan bahasa melalui narasi digunakan oleh pengarang untuk mengisahkan suatu cerita kepada pembaca secara langsung. Pengungkapannya bersifat menceritakan dan singkat, sedangkan pengungkapan bahasa melalui dialog bertujuan untuk memberikan efek kepada pembaca, sehingga pembaca seperti melihat dan mendengar sendiri kata-kata yang dituturkan oleh tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Kedua bentuk tersebut hadir secara bergantian, sehingga cerita yang ditampilkan tidak bersifat monoton. Adapun tuturan-tuturan tersebut sebagian dapat dipahami oleh pembaca secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dipahami. Oleh karena itu, pembaca perlu mengerti akan
1
pragmatik. Pragmatik merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar. Tindak tutur merupakan proses komunikasi yang melibatkan pembicara dan pendengar dengan hal yang dibicarakan, dalam tindak tutur ini terjadi peristiwa tutur yang dilakukan penutur kepada mitra tutur dalam rangka menyampaikan komunikasi.
Dalam kehidupan sehari-hari, tiap anggota masyarakat selalu melakukan interaksi sosial. Dalam interaksi sosial tersebut, pada umumnya, mereka menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan.
Dalam hal ini, penggunaan bahasa tersebut dapat berupa wacana ataupun percakapan yang diwujudkan menggunakan satu, beberapa atau banyak tuturan. Tiap tuturan (dalam wacana atau percakapan) yang disampaikan oleh penutur atau penulis kepada mitra tutur atau pembaca mempunyai makna atau maksud dengan tujuan tertentu.
Makna atau maksud dan tujuan tertentu itu (dapat dikatakan) menyatakan tindakan.
Maksud dan tujuan yang menyatakan tindakan yang melekat pada tuturan itu disebut dengan tindak tutur. Oleh sebab itu, tindak tutur adalah salah satu kajian penting yang perlu diketahui, karena tuturan tersebut tidak hanya merupakan sebuah pajangan saja.
Akan tetapi, di balik tuturan tersebut terkandung maksud serta tujuan yang ingin disampaikan.
Keunikan manusia sebenarnya tidak terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuan dalam berbahasa (Suriasumantri, 1993:171).
Dengan bahasa, manusia dapat mengekspresikan semua yang ada dalam pikiran.
Dikatakan demikian, karena dengan berpikir secara otomatis manusia menuturkan suatu bahasa di dalam pikirannya. Hal tersebut antara lain dapat dilihat pada seorang
sastrawan yang dapat mengekspresikan perasaannya dengan menggunakan bahasa yang berupa percakapan atau tindak tutur.
Tindak tutur (Speech act) merupakan gejala individu yang bersifat psikologis dan berlangsungnya ditentukan oleh kemampuan bahasa pada penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur atau peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan tersebut merupakan isi atau maksud sebuah pembicaraan antara penutur dengan lawan tutur.
Secara pragmatis setidak-tidaknya terdapat tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi, tindak ilokusi dan tindak perlokusi. Tindakan-tindakan tersebut diatur oleh aturan atau norma penggunaan bahasa dalam situasi percakapan antara dua pihak, misalnya situasi perkulihaan situasi perkenalan, situasi upacara keagamaan dan lain-lain. Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak ilokusi adalah sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga digunakan untuk melakukan sesuatu dan dapat merupakan tindakan menyatakan, berjanji, minta maaf, mengancam, meramalkan, memerintah, meminta, dan lain sebagainya. Tindak Perlokusi adalah tindakan untuk memengaruhi lawan tutur seperti memalukan, mengintimidasi, membujuk, dan lain-lain. Misalnya, (a) Mau ke kantor pos ya ? (b) Iya, mau titip surat kan ?. Kalimat (a) adalah lokusi yang mempertanyakan apakah si (b) mau pergi ke kantor pos, ilokusi kalimat (a) mengandung permohonan agar si (b) dititipi surat oleh si (a) ke kantor pos, sedangkan kalimat (b) adalah perlokusi dari kalimat (a).
Tindak ilokusi yaitu: asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Salah satu tindak tutur ilokusi yang berkaitan dengan kesopanan, yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini adalah tindak tutur direktif. Tindak tutur ini bertujuan untuk menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh petutur; ilokusi ini misalnya, memesan, memerintah, memohon, menuntut dan memberi nasihat.
Peneliti memilih novel “Rumah Kaca” karena novel tersebut memiliki cerita yang sangat menarik. Dikembangkan dengan bentuk narasi dan dialog. Tokoh-tokoh yang digambarkan oleh pengarang menggunakan tuturan-tuturan yang mempunyai bentuk dan jenis tindak tutur direktif.
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni yang dilakukan oleh Najmah (2003), dengan judul “Tindak Tutur Ekspresif dalam novel Salah Pilih karya N.St.Iskandar (Suatu Tinjauan Pragmatik)”. Dalam penelitian tersebut ditemukan tindak tutur ekspresif yang terdiri atas delapan jenis, yaitu ucapan terima kasih, ucapan (mengucapkan) selamat, perasaan/menaruh simpati, pujian keikhlasan memaafkan, menyalahkan, menuduh dan menyatakan belasungkawa.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis berinisiatif melakukan penelitian mengenai tindak tutur khususnya tindak tutur direktif yang terdapat dalam novel
“Rumah Kaca” Karya Pramoedya Ananta Toer (Suatu Tinjauan Pragmatik).
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah tindak tutur direktif dalam novel “Rumah Kaca” Karya Pramoedya Ananta Toer (Suatu Tinjauan Pragmatik) ?
C. Tujuan penelitian
Berdasarkan pada rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tindak tutur direktif yang terdapat dalam novel “Rumah Kaca”
Karya Pramoedya Ananta Toer (Suatu Tinjauan Pragmatik).
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca, baik secara teoretis maupun praktis.
1. Manfaat Teoretis
1. Untuk lebih memperkenalkan atau menyebarluaskan dan mengembangkan ilmu pragmatik.
2. Untuk menambah khasanah ilmu bahasa terutama pada kajian ilmu pragmatik khususnya pada kajian tindak tutur direktif dalam dialog antartokoh sebuah novel.
2. Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman/wawasan tentang tinjauan tindak tutur, pengembangan ilmu pragmatik, dan memberikan sumbangan pikiran terhadap khalayak pengguna bahasa, terutama kepada tenaga-tenaga edukatif yang membidangi ilmu kebahasaan dan sastra dan memberikan sumbangsi maupun rujukan referensi bagi para peneliti sastra.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
Kajian pustaka yang dipaparkan dalam penelitian ini pada dasarnya dijadikan acuan untuk mendukung dan menjelaskan penelitian ini. Selain itu, teori merupakan landasan suatu penelitian untuk mencapai target yang diinginkan. Sehubungan dengan masalah yang diteliti, kerangka teori yang dianggap relevan dengan penelitian ini diuraikan sebagai berikut :
1. Penelitian yang Relevan
Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan penulis terhadap sebuah novel khususnya analisis tindak tutur direktif dalam novel “Rumah Kaca” Karya Pramoedya Ananta Toer (Suatu Tinjauan Pragmatik). Beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan jenis penelitian deskriptif yang relevan dengan penelitian ini yaitu, 1) Tinjauan Pragmatik Tindak Tutur Direktif dalam Scrip Ada Apa Dengan Cinta? Karya Rudi Soedjarwo oleh Meila Purwantia (31160184) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Muhammadiyah Surakarta 2010. 2) Tindak Tutur Direktif dan Kesantunan Negatif dalam Reality Show Minta Tolong Di Rajawali Citra Televisi Indonesia oleh Ririn Linda Tunggal Sari (c0206046) Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta 2011. 3) Tindak Tutur Direktif dalam Dialog Antartokoh Film “Sepotong Jatih yang Rapuh” Karya
6
Abd. Rahman Rahim oleh Surianto (10533574609) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Univeristas Muhammadiyah Makassar.
Ketiga penelitian di atas memiliki persamaan yang menggunakan ilmu bahasa pragmatik yang sama-sama meneliti tindak tutur direktif baik novel maupun dialog antartokoh film. Kemudian yang membedakannya yaitu Pemilihan Film Ada Apa Dengan Cinta? Sebagai objek penelitian dengan melihat tindak tutur direktif yang terdapat dalam scrip. Bentuk tindak tutur selain dilakukan dalam kehidupan sehari- hari, sering dilakukan dalam dialog drama, teater, wayang dan ketoprak. Tuturan (1) suatu tindak tutur menasehati, yang ditandai dengan kalimat mending ini gak usah dibahas. Tuturan (2) suatu tindak tutur menyuruh ditandai dengan kalimat lihat aja dulu. Tuturan tersebut termasuk dalam bentuk tindak tutur direktif. Penelitian relevan yang kedua terfokus pada masalah bahasa dalam dialog pada acara RSMT yang terbatas pada masalah realisasi tindak tutur direktif dan strategi kesantunan negatif yang digunakan oleh peminta tolong dalam RSMT.
Dalam penulisan ini tidak semua tuturan diteliti, melainkan hanya tuturan yang mencerminkan tindak tutur direktif dan kesantunan negatif saja. Penelitian relevan yang ketiga yaitu dalam Film “Sepotong Jati yang Rapuh” karya Abd.
Rahman Rahim di dalamnya terdapat tindak tutur yang menarik seperti kekhasan berbicara dalam mengungkapkan perasaan dan menyampaikan pesan. Menganggap bahwa karya sastra film merangkum peristiwa tutur maupun tindak tutur dan semua kegiatan bersama.
2. Pengertian Pragmatik
Lingustik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang- cabang itu diantaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik, dan sebagainya. Salah satu disiplin ilmu yang mengkaji mengenai tindak tutur adalah pragmatik. Pragmatik merupakan kajian atau makna yang muncul dalam penggunaan bahasa. Pragmatik didefiniskan berbeda-beda berdasrkan pandangan para pakar.
Pragmatik adalah kajian tentang arti yang disampaikan atau dikomunikasikan oleh pembicara dan diinterpretasikan oleh pendengar. Dengan kata lain, pragmatik mencakupi kajian makna yang dikomunikasikan oleh pengguna bahasa. Arti atau makna yang dikomunikasikan oleh pengguna bahasa melebihi dari makna yang terucap dalam tulisan ini.
Wijana (1996: 2) berpendapat bahwa pragmatik sama halnya dengan semantik yang sama-sama mengkaji tentang makna-makna satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna secara eksternal, karena telaah semantik adalah makna yang bebeas konteks, sedangkan makna yang dikaji oleh pragmatik adalah makna yang terikat oleh konteks.
Firth (dalam Wijana, 1996: 5) mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi partisipan, tindakan partisipasi (baik tindak verbal maupun tindak non-verbal), ciri-ciri situasi lain yang relevan dengan hal yang sedang berlangsung, dan dampak-dampak tindakan tutur yang diwujudkan dengan bentuk perubahan-perubahan yang timbul akibat tindakan partisipan.
Wijana (1996:6) mengungkapkan bahwa pragmatik dan sosiolinguistik adalah dua cabang ilmu bahasa yang muncul akibat ketidakpuasan terhadap penanganan bahasa yang terlalu bersifat formal yang dilakukan oleh kaum strukturalis. Hubungan pragmatik dan sosilinguistik masing-masing memiliki titik sorot yang berbeda di dalam melihat kelemahan pandangan kaum strukturalis.
Pragmatik sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana bahasa digunakan dan bagaimana bahasa tersebut diintegrasikan ke dalam konteks (Kasher, 1998). Levinson (dalam Surono, 2014) memberikan setidaknya dua pengertian pragmatik yang dikaitkan dengan konteks, yaitu: (a) pragmatik adalah kajian ihwal hubungan antara bahasa dan konteks yang digramatikalisasikan dan dikodekan dalam struktur bahasa, dan (b) pragmatik adalah kajian ihwal kemampuan pengguna bahasa untuk menyesuaikan kalimat dengan konteks sehingga kalimat itu patut atau tepat diujarkan.
Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur (Yule, 2006:3).
Tipe studi ini perlu melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan. Diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang mereka katakan yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, di mana, kapan dan dalam keadaan apa. Pragmatik adalah studi
tentang makna kontekstual (Yule,2006:3-4). Pragmatik berkenan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi (KBBI, 2003:891).
Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bentuk-bentuk linguistik dan pemakai bentuk-bentuk itu. Manfaat belajar bahasa melalui Pragmatik ialah bahwa seorang dapat bertutur kata tentang makna ynag dimaksudkan orang, asumsi mereka, maksud atau tujuan mereka, dan jenis-jenis tindakan (sebagai contoh : permohonan) yang mereka perlihatkan ketika mereka sedang berbicara. Pragmatik itu menarik karena melibatkan bagaimana orang saling memahami satu sama lain. Secara Linguistik, Pragmatik dapat juga merupakan ruang lingkup studi yang mematahkan semangat karena studi ini mengharuskan kita untuk memahami orang lain dan apa yang ada dalam pikiran mereka (Yule, 2006:5-6). Pragmatik menurut George (dalam Tarigan, 1990:32) adalah menelaah keseluruhan perilaku insan, terutama sekali dalam hubungannya dengan tanda-tanda dan lambang-lambang. Pragmatik memusatkan perhatian pada cara insan berperilaku dan keseluruhan situasi pemberian tanda dan penerimaan tanda. Menurut Heatherngton (dalam Tarigan, 1990:32), pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi. Situasi khusus dan terutama sekali memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial performansi bahasa dapat mempengaruhi tafsiran atau interpretasi.
Dari berbagai pengertian Pragmatik di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa Pragmatik adalah telaah mengenai makna yang disesuaikan dengan ujaran.
3. Ruang Lingkup Pragmatik
Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang semakin maju saat ini. Sekitar dua dasawarsa silam cabang ilmu bahasa ini tidak pernah disambut oleh para pakar bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis bahwa upaya menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Kehadiran pragmatik hanyalah tahap terakhir dari perkembangan linguistik yang berangsur- angsur, mulai dari disiplin ilmu yang menangani data fisik tuturan, menjadi disiplin ilmu yang sangat luas bersangkutan dengan bentuk, makna dan konteks.
Pragmatik merupakan telaah penggunaan bahasa untuk menuangkan maksud dalam tindak komunikasi sesuai dengan konteks dan keadaan pembicaraan. Dengan kata lain pragmatik menelaah bentuk bahasa dengan mempertimbangkan satuan- satuan yang ‘menyertai’ sebuah ujaran: konteks lingual (co-text) maupun konteks ekstralingual : tujuan, situasi, partisipan, dan lain sebagainya. Pragmatik mempunyai ruang lingkup tersendiri yang menjadi bidang kajiannya salah satunya yaitu tindak tutur. Firth (dalam Rahman Rahim 2008 : 1) mengemukakan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi partisipasi tindakan (baik tindak verbal maupun non verbal), ciri-ciri situasi lain yang relevan dengan hal yang sedang berlangsung, dan dampak tindak tutur dengan bentuk-bentuk perubahan yang timbul akibat tindakan partisipan. Sementara itu, Halliday (dalam Rahman Rahim 2008 : 1) memandang studi bahasa sebagai kajian tentang sistem atanda. Sebagai salah satu sistem tanda, menurutnya bahasa adalah sistem makna yang membentuk budaya manusia. Sistem makna ini berkaitan dengan
struktur sosial masyarakat. Kata-kata atau secara lebih bahasa yang digunakan oleh manusia memperoleh maknanya dari aktivitas-aktivitas yang merupakan kegiatan sosial dengan perantara-perantara dan tujuan-tujuan yang bersifat sosial pula.
Pragmatik dan sosiolinguistik adalah cabang ilmu bahasa yang muncul akibat adanya ketidakpuasan terhadap penanganan bahasa yang terlalu bersifat formal yang dilakukan oleh kaum strukturalis. Dalam hubungan ini pragmatik dan linguistik masing-masing memiliki ttik sorot yang berbeda di dalam melihat kelemahan pandangan kaum strukturalis. Hal yang menjadi keberatan kaum pragmatis adalah analisis-analisis kaum struktural yang semata-mata berorientasi pada bentuk tanpa mempertimbangkan bahwa satuan-satuan itu sebenarnya hadir dalam konteks, baik konteks yang bersifat lingual (co-tex) maupun konteks ekstralingual yang berupa seting spatial dan temporal. Diabaikannya konteks tuturan menyebabkan aliran struktural gagal menjelaskan berbagai masalah kebahasaan. Secara umum, objek kajian pragmatik dapat dibedakan atas deiksis, pranggapan, tindak ujar, dan implikatur percakapan.
Pertama, deiksis sebagai objek kajian pragmatik merupakan bentuk bahasa yang tidak memiliki acuan yang tetap sehingga maknanya sangat bergantung pada konteks kalimatnya. Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan konteks pembicaraan. Dengan kata lain adalah bahwa kata saya,sini,sekarang, misalnya, tidak memiliki acuan yang tetap melainkan bervariasi tergantung pada berbagai hal. Acuan dari kata saya menjadi jelas setelah diketahui di mana kata itu diucapkan. Demikian pula, kata sekarang ketika diketahui pula kapan kata itu
diujarkan. Dengan demikian, kata-kata di atas termasuk kata-kata yang deiksis.
Berbeda halnya dengan kata-kata sperti meja, kursi, mobil, dan komputer. Siapapun yang mengatakan, di manapun, dan kapanpun, kata-kata tersebut memiliki acuan yang jelas dan tetap. Berdasarkan konteksnya deiksis dapat dibedakan atas deiksis pesona, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana, dan deiksis sosial.
Kedua, praanggapan merupakan pengetahuan latar belakang yang dapat memuat suatu tindakan atau ungkapan yang mempunyai makna masuk akal dan dapat diterima partisipan yang terlibat dalam peristiwa komunikasi. Dengan kata lain praanggapan merupakan asumsi pembicaraan yang membuat pendengar menerima pesan tanpa kesulitan.
Objek kajian pragmatik yang ketiga adalah tindak ujar atau tindak tutur, pada dasarnya terdapat beberapa tindakan dalam lingkup tindak ujar, antara lain:
permintaan, penawaran, ajakan, teguran, ataupun perintah. Menurut Austin (dalam Rahim 2008:6) tindak ujar memiliki tataran yang lebih tinggi dibandingkan sebagai sebuah konsep tentang kalimat. Mengucapkan sesuatu berarti melakukan sesuatu sehingga kalimat tidak hanya berfungsi untuk menyampaikan informasi tetapi dalam hal tertentu berfungsi sebagai pelaksanaan tindakan itu sendiri.
Objek kajian pragmatik yang keempat adalah implikatur dari sebuah tuturan, implikatur merupakan makna tuturan yang tidak terungkap secara literal pada sebuah tuturan. Implikatur percakapan pada dasarnya merupakan suatu teori yang sifatnya inferensial, suatu teori tentang bagaimana orang menggunakan bahasa, keterkaitan makna suatu tuturan yang tidak terungkapkan secara literal pada tuturan itu.
Implikatur percakapan berarti apa yang diimplikasikan, disarankan, dan dimaksudkan
oleh penutur tidak terungkapkan secara literal dalam tuturannya. Beberapa para ahli kemudian menjelaskan defenisi dari implikatur tersebut sebagai berikut:
Untuk memahami makna tuturan maka implikatur haruslah didasarkan pada seperangkat asumsi seperti yang di kemukakan oleh Grice (dalam Rahman Rahim 2008 : 7). Untuk memahami suatu makna implikasi dapat dilakukan berdasarkan aturan percakapan, yang terdiri dari (1) maksim kualitas, (2) maksim kuantitas, (3) maksism hubungan, (4) maksim cara, Lavinson (dalam Rahman Rahim 2008:7).
Pragmatik didefiniskan sebagai studi mengenai tujuan dalam situasi-situasi tertentu. Pragmatik bersifat komplemen, yang berarti bahwa studi tentang bahasa dilakukan baik secara terpisah dari sistem formal bahasa maupun dari sebagian yang melengkapi (Leech 1993:9). Semantik dan pragmatik mempunyai perbedaan tetapi saling melengkapi. Selanjutnya pakar bahasa ini juga menunjukkan bahwa sesungguhnya ilmu pragmatik berintegrasi dengan tata bahasa melalui semantik atau ilmu makna. Dalam banyak hal penggambaran relasi-relasi dalam linguistik memang dapat dibenarkan. Namun dalam praktik pemakaian bahasa yang sesungguhnya sering didapatkan bahwa bagian dari tata bahasa dapat berinteraksi dengan ilmu pragmatik atau ilmu makna terlebih dahulu.
Rustono (1999:16) menambahkan bahwa perbedaan pragmatik dan semantik dapat dilakukan atas dasar satuan analisisnya. Satuan analisis pragmatik berupa hasil tindak tutur. Makna merupakan satuan analisis dari semantik. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pragmatik mengabaikan kaidah-kaidah yang terdapat dalam semantik. Pragmatik lebih fleksibel dalam menangkap maksud dan tujuan penutur.
Definisi pragmatik ini juga dikemukakan Parker sebagai berikut:
“Pragmatics is distint from grammar, wich is the study of the internal structure of language. Pragmatic is the study of language is use to communicate Parker (dalam Rahardi 2003: 15). Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang menelaah satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari makna secara internal, sedangkan pragmatik mempelajari makna eksternal, yaitu mempelajari penggunaan bahasa dalam berkomunikasi Parker (dalam Rahardi 2003: 15)
Dari definisi yang dikemukakan di atas bahwa Parker dengan tegas membedakan antara studi ilmu bahasa pragmatik dengan studi tata bahasa atau gramatik bahasa. Hal ini disebutkan bahwa dalam studi gramatik bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks situasi tuturnya, sedangkan studi tentang pragmatik mutlak harus berkaitan erat dengan konteks situasi tutur.
Mey menyatakan tentang pragmatik sebagai berikut. Pragmatic is the study of the conditions of human language uses as these are determined by the context of society Mey (dalam Rahardi 2003:15). Dari pengertian yang disampaikan di atas mempunyai arti ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian atau penggunaan bahasa, pada dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan melatarbelakanginya.
Konteks situasi tutur yang dimaksudkan oleh Mey sebagaimana dikutip oleh Rahardi (2003) yakni konteks sosial. Konteks sosial adalah konteks kebahasaan yang timbul sebagai akibat dari munculnya dan interaksi antar anggota masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang sangat tertentu sifatnya. Makna yang terkaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks sedangkan makna yang dikaji di dalam semantik berciri bebas konteks. Pragmatik mengkaji bahasa untuk memahami maksud
penuturnya, semantik mempelajarinya untuk memahami makna sebuah satuan lingual yang notabene tidak perlu disangkut pautkan dengan konteks situasi tutur.
Levinso (dalam Agustinus, 2012:25) memberikan dua defenisi pragmatik yaitu : a. Pragmatik adalah kajian dari hubungan bahasa dan konteks yang mendasari
pengertian penjelasan bahasa. Di sini pengertian atau pemahaman bahasa menunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan atau ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungan dengan konteks pemakaiannya.
b. Pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai dengan kalimat itu.
Tarigan, (dalam Agustinus, 2012:26) mengemukakan bahwa pragmatik (semantic behavioral) menelaah keseluruhan perilaku insan, terutama sekali dengan tanda-tanda atau lambang-lambang. Pragmatik memusatkan perhatian pada cara insan berperilaku dalam keseluruhan situasi pemberi tanda dan penerima tanda.
Sudiati dan Widyamartaya, (1996:21) mengatakan tujuan pragmatik adalah mengoptimalkan komunikasi dengan bahasa. Agar bahasa yang digunakan dalam komunikasi benar-benar komunikatif, bentuk-bentuk bahasa sebaiknya disesuaikan dengan situasi bahasa. Dalam berkomunikasi, tidak hanya dituntut kesamaan gagasan anatara pembicara/pendengar, tetapi juga dituntut keenakan diantara kedua belah pihak menyelaraskan diri dengan bahasanya dengan situasi.
Secara praktis, pragmatik didefenisikan sebagai studi mengenai ujaran-ujaran dalam situasi tertentu. Pragmatik memperhatikan prinsip-prinsip bahasa dan aspek proses komunikatif. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya, pragmatik merupakan keterampilan atau kemampuan menggunakan bahasa sesuai dengan faktor penentu tidak komunikator.
Telaah umum mengenai cara konteks mempengaruhi cara kita menafsirkan kalimat disebut pragmatik. Teori tindak ujar adalah bagian dari pragmatik merupakan bagian dari performasi linguistik. Pengetahuan mengenai dunia adalah bagian dari konteks dan pragmatik mencakup cara pemakai bahasa menerapkan pengetahuan dunia untuk menginterpretasikan ucapan-ucapan. Para pembicara kerap kali membuat asumsi-asumsi secara eksplisit mengenai dunia nyata dan rasa suatu ucapan dapat bergantung pada asumsi ini, yang para linguis disebut dengan presuposisi (perkiraan).
Pertimbangan-pertimbangan pragmatik juga menunjang membuat ucapan-ucapan yang secara sistematis ganjil ini menjadi bermakna (Tarigan,1984:31).
Yule (1996:3) menyebutkan empat defenisi pragmatik yaitu:
(1). Bidang yang mengkaji makna pembicaraan, (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya, (3) bidang yang melebihi tentang kajian makna yang diujarkan oleh pembicara, (4) bidang mengakaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (dalam Agustinus 2012:27) dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama dengan menggunakan sudut pandang sosial menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran. Pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dengan pendengar serta antara konteks ujaran.
Leech (1993:6) melihat pragmatik dalam kajian linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik; pragmatisme yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; komplementarisme, atau melihat pragmatik dan semantik sebagai dua
bidang yang saling melengkapi. (http: bahasa. Kompasiana.com/2012/04/10 mengenal perbedaan-semantik- dan- pragmatik), diakses 2 Februari 2016.
Ada dua hal penting yang perlu dicermati dari pengertian pragmatik di atas, yaitu penggunaaan bahasa dan konteks tuturan. Penggunaan bahasa di sini menyangkut fungsi bahasa (language function). Untuk apa orang mengunakan bahasa? Beberapa ahli bahasa menjelaskan fungsi bahasa tersebut. Di antaranya adalah Van Ek Trim (dalam Agustinus 2012:30), yang mengkategorikan fungsi bahasa menjadi enam macam yaitu: 1) Menyampaikan dan mencari informasi faktual, 2) Mengekspresikan dan mengubah sikap, 3) Meminta orang lain berbuat sesuatu, 4) sosialisasi, 5) Membangun wacana dan 6) Meningkatkan keefektifan komunikasi.
Masing-masing dari kategori di atas, dijabarkan ke dalam beberapa subkategori yang lebih rinci dari praktis. Fungsi pertama mislanya, dijabarkan menjadi 5 subkategori, yaitu: Mengidentifikasi, Melaporkan, mendeskripsikan atau menceritakan, Mengoreksi, Bertanya dan Menjawab pertanyaan.
Adapun masalah konteks menurut Dell Hymes (dalam Agustinus, 2012:31) meliputi 6 dimensi yaitu: 1) Tempat dan waktu (setting), 2) Pengguna bahasa (participant), 3) topik pembicaraan (cotent). 4) tujuan (purpose), 5) nada (key), dan 6) media/ saluran (channel).
Dimasukkannya konteks dalam memahami dan atau menghasilkan ujaran dimaksudkan untuk membangun prinsip-prinsip kerjasama dan sopan santun dalam proses komunikasi dapat dicapai secara efektif. Konteks itu sangat terkait dengan budaya, yang berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Oleh karena itu, pengertian pragmatik yang diberikan oleh Levinson di atas menurut hemat penulis,
pada prinsipnya memberikan kerangka umum tentang bagaimana berkomunikasi secara tepat dan efektif dengan menngunakan bahasa sebagai medianya. Kenyataan bahwa konteks itu bisa berbeda-beda dari masyarakat satu ke masyarakat lain, dan hal ini tidak menjadi fokus bahasa Levinson.
Itulah sebabnya, Leech (1983:34) lebih suka menggunakan istilah pragmatik umum (general pragmatics) untuk mengacu pada kajian tentang kondisi umum penggunaan bahasa untuk berkomunikasi. Ia mendasarkan gagasannya pada kenyataan bahwa prinsip kerjasama dan sopan santun dalam berkomunikasi berlaku secara berbeda-beda dalam setiap masyarakat.
Dalam pragmatik, pengkajian bahasa didasarkan pada penggunaan bahasa bukan pada struktural semata. Konteks-konteks yang melingkupi suatu bahasa akan mendapat perhatian yang besar dalam kaitannya dengan makna yang muncul dari suatu tuturan bahasa. Kondisi praktis tindak komunikasi menjadi pijakan utama dalam pengkajian pragmatik.
Adapun Nababan (dalam Agustinus 2012:34) mengemukakan faktor penentu dalam berkomunikasi:
Siapa yang berbahasa dengan siapa; untuk tujuan apa; dalam situasi apa (tempat dan waktu); dalam konteks apa (peserta lain, kebudayan dan suasana);
dengan jalur apa (lisan atau tulisan); media apa (tatap muka, telefon, surat, dan sebagainya); dalam peristiwa apa (bercakap, berceramah, upacara, laporan, dan sebagainya).
Dalam keterangan di atas dapat kita ketahui apa yang sebenarnya dimaksud dengan pragmatik yaitu penganalisisan studi bahasa dengan pertimbangan- pertimbangan konteks, di samping memperhatikan sintaksis dan semantiknya,
pragmatiknya lebih dipertimbangkan lagi. Jadi, analisis tindak tutur direktif dalam novel Rumah Kaca dengan menggunakan pendekatan pragmatik lebih tepat. Secara umum cakupan ruang lingkup pragmatik berhubungan dengan pemakaian bahasa yang seutuh-utuhnya.
4. Pengertian Tindak Tutur
Ahli pertama yang memperkenalkan istilah dan teori tindak tutur adalah T.L.Austinpada 1065. Austin adalah seorang guru besar di Universitas Harvard. Teori itu berasal dari perkuliahan yang kemudian dibukukan oleh J.O.Urmson (1965) dengan judul “How to do things with words?”. Namun, teori ini baru berkembang dan dikenal dalam dunia linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku dengan judul “Peect Act, and Essay in the philosophy of language (Aslinda, 2007:33). Searle mengemukakan bahwa, dalam semua interaksi lingual terdapat tindak tutur. Interaksi lingual tidak hanya lambang, kata, atau kalimat, melainkan lebih tepat bila disebut produk atau hasil dari lambang, kata, atau kalimat yang berujud perilaku tindak tutur (the performant of speech act). Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari interaksilingual.
Tindak tutur (istilah Kridalaksana) ‘pertuturan’ /speech act, speech event):
pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana, 1993). Tindak tutur adalah ujaran yang dibuat sebagai bagian dari interaksi social (Hudson dalam Alwasilah).
Richard (dalam Syamsuddin, 1992:46) mengartikan bahwa tindak tutur itu sebagai “the things we actually do when we speak” atau “the minimal unit of speaking which can be said to have function” yang artinya sesuatu yang kita lakukan dalam rangka berbicara atau suatu unit bahasa yang berfungsi di dalam sebuah percakapan.
Tindak tutur merupakan salah satu unsur Pragmatik yang melibatkan antara pembicara dan pendengar dengan hal yang dibicarakan. Atau dengan kata lain, salah satu hal yang penting (dalam interpretasi percakapan secara Pragmatik yaitu adanya suatu konsep yang menghubungkan antara makna percakapan dan makna tindak tutur (Rosdiana, 2002:12).
Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu (Chaer dan Leonie, 2004:50). Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan biasanya disebut tindak tutur. Dalam usaha untuk mengungkapkan diri mereka, orang-orang tidak hanya menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur gramatikal saja, tetapi mereka juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturan-tuturan itu (Yule, 2006:81).
Tindak tutur (speech acts) merupakan unsur Pragmatik yang melibatkan pembicara dan pendengar atau penutur dan petutur dengan hal yang dibicarakan.
Leech (1993:316-317) menyatakan bahwa secara pragmatis ada 3 jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak Lokusi (locutionary act), tindak Ilokusi (Illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).
Konsep yang menghubungkan antara makna percakapan dengan konteks, adalah konsep tindak ujar/tindak tutur (speech act). Sebuah konsep yang
dikembangkan oleh Austin dan Searle (dalam Nurgiyantoro, 2007:316). Konsep tersebut berangkat dari adanya kenyataann bahwa, jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat dalam percakapan yang dilakukan umumnya disertai oleh adanya performa acts yang berbeda-beda. Bagaimana dan apa wujud penampilan tindak ujar/tindak tutur para pelaku percakapan ditentukan oleh konteks percakapan itu sendiri yang tentunya juga tergantung pada “keperluan”. Bentuk penampilan tindak ujar/tindak tutur dapat diketahui dari makna kalimat yang bersangkutan, namun sering juga pembicara menekannya dalam wujud kata kerja tertentu.
Apabila seseorang ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain, maka apa yang ingin dikomunikasikan itu adalah makna atau maksud kalimat. Namun, untuk menyampaikan makna atau maksud itu, orang tersebut harus menuangkannya dalam wujud tindak tutur. Tindak tutur mana yang akan dipilih sangat bergantung pada beberapa faktor, yaitu :
a. Dengan bahasa apa ia harus bertutur,
b. Kepada siapa ia harus menyampaikan tuturannya, c. Dalam situasi bagaimana tuturan itu disampaikan, dan
d. Kemungkinan-kemungkinan struktur manakah yang ada dalam bahasa yang digunakannya.
Dengan demikian, satu maksud tuturan perlu dipertimbangkan berbagai kemungkinan tindak tutur sesuai dengan posisi penutur, situasi tutur, dan kemugkinan tutur yang ada dalam bahasa itu.
5. Aspek-Aspek Situasi Tutur
Di dalam komunikasi, tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Memperhitungkan situasi tutur sangat penting dalam pragmatik. Menurut Rustono (1999:26), situasi tutur yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Penentuan maksud tuturan tanpa mengalkulasi situasi tutur merupakan langkah yang tidak akan membawa hasil yang memadai. Komponen- komponen situasi tutur menjadi kriteria penting dalam menentukan maksud suatu tuturan.. Menurut Leech dalam Agustinus (2012:41-42), situasi tutur mencakupi lima komponen, yaitu penutur dan mitra tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk tindak verbal.
a. Penutur dan Mitra Tutur
Komponen situasi tutur yang pertama adalah penutur dan mitra tutur. Penutur adalah orang bertutur, yaitu orang yang menyatakan tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi. Sementara itu, mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam peristiwa tutur. Dalam peristiwa komunikasi, peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti. Aspek-aspek terkait dengan penutur dan mitra tutur antaral lain usia, latar belakang sosial, ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat kekerabatan.
b. Tuturan
Komponen situasi tutur yang kedua adalah konteks tuturan dalam tata bahasa, konteks tuturan mencakupi semua aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan
tuturan diekspresikan. Konteks yang bersifat fisik, yaitu fisik tuturan dengan tuturan lain yang biasa disebut ko-teks, sedangkan konteks latar sosial dinamakan konteks.
Di dalam pragmatik, konteks berarti semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama penutur dan mitra tuturnya. Konteks berperan membantu mitra tutur dalam menafsirkan maksud yang ingin ditanyakan oleh penutur.
c. Tujuan Tuturan
Komponen situasi tutur yang ke tiga adalah tujuan tuturan, yaitu apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Komponen ini menjadi hal yang melatarbelakangi tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan.
Dalam peristiwa tutur, berbagai tuturan dapat diekspresikan untuk mencapai suartu tujuan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan. Tujuan tuturan tidak lain adalah maksud penutur mengucapkan sesuatu atau makna yang dimaksud penutur dengan mengucapkan sesuatu (Leech, 1991). Dalam hubungan itu bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan.
d. Tindak Tutur
Komponen situasi tutur yang keempat adalah tindak tutur sebagai bentuk tindakan atau aktifitas. Komponen ini mengandung maksud bahwa tindak tutur merupakan tindakan juga tidak ubahnya sebagai tindakan meninju dan menendang yang berbeda adalah bagian tubuh yang berperan. Jika mencubit yang berperan adalah tangan dan menendang yang berperan adalah kaki, sedangkan pada tindakan bertutur, alat ucaplah yang berperan.
e. Tuturan
Komponen situasi tutur yang kelima adalah tuturan sebagai produk tindak verbal. Tuturan itu merupakan hasil suatu tindakan. Tindakan manusia dibedakan menjadi dua yaitu tindakan verbal dan tindakan non verbal. Meninju dan menendang adalah nonverbal sedangkan berbicara dan bertutur adalah tindakan verbal yang tidak mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan itu merupakan produk tindak verbal. Komponen lain yang dapat menjadi unsur situasi tutur antara lain waktu dan tempat pada saat tuturan itu terjadi. Tuturan yang sama dapat memiliki maksud yang berbeda akaibat perbedaan waktu dan tempat sebagai latar tutruran.
6. Jenis-jenis Tindak Tutur
Sesuai dengan perkembangan bahasa tindak tutur kemudian dibagi ke dalam beberapa jenis berikut adalah pendapat para ahli mengenai jenis-jenis tindak tutur.
Seorang Filsuf Austin (1911-1960) dalam bukunya yang berjudul How to do things with words (1962) mencetuskan teori tindak tutur (spech act theory).
Menurutnya, saat bertutur, orang tidak hanya bertutur namun juga melakukan suatu tindakan. Misalnya, pada tuturan I bet you ten pence she will come tomorrow, penutur tidak hanya bertutur, namun juga melakukan tindakan, yakni bertaruh. Tuturan seperti itu disebut tuturan performatif. Tuturan performatif adalah tuturan konstatif, yakni tuturan yang dapat dinyatakan benar atau tak benar. Menurut Austin, ada tiga jenis tindakan yang dapat dilakukan melalui tuturan, yaitu: (1) tindak lokusi yakni tuturan yang menyatakan sekaligus melakukan sesuatu; (2) tindak ilokusi yakni tuturan yang
melakukan suatu tindakan; dan 3) tindak perlokusi adalah tuturan yang mempunyai daya pengaruh terhadap penutur untuk melakukan sesuatu.
Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan:
a. Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya.
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Sebagai contoh tindak lokusi adalah kalimat berikut:
1) Anto belajar membaca 2) Ari bermain catur
Kedua kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa ada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untu mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diidentifikasi, karena dalam pengidentifikasian tindak lokusi tidak meperhitungkan konteks tuturannya.
b. Tindak Tutur Ilokusi
Tindak tutur ilokusi yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan.
Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau mnginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Sebagai contoh pada kalimat berikut:
1) Alam sudah ujian hasil kemarin 2) Hamsah sedang sakit.
Kalimat (a) jika diucapkan kepada seorang mahasiswa semester XII, bukan hanya sekadar memberikan informasi saja akan tetapi juga melakukan sesuatu, yaitu memberikan dorongan agar mahasiswa tadi segera mengerjakan skripsinya.
Sedangkan kalimat (b) jika diucapkan kepada temanya yang menghidupkan radio dengan volume tinggi, berarti bukan saja sebagai informasi tetapi juga untuk menyuruh agar mengecilkan volume atau mematikan radionya. Tindak ilokusi sangat sulit diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tuturnya.
c. Tindak Tutur Perlokusi
Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan sesorang sering kali mempunyai daya pengaruh atau efek bagi yang mendengarnya. Efek yang timbul ini bias sengaja maupun tidak sengaja. Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat berikut:
1) Kemarin ayahku sakit 2) Samin bebas SPP
Kalimat (a) jika diucapkan oleh seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan temannya, maka ilokusinya adalah untuk meminta maaf, dan perlokusinya adalah agar orang yang mengundangnya haraf maklum. Sedangkan kalimat (b) jika
diucapkan seorang guru kepada murid-muridnya, maka ilokusinya adalah meminta agar teman-temannya memaklumi keadaan ekonomi orang tua Samin.
Tindak perlokusi juga sulit dideteksi, karena harus melibatkan konteks tuturnya. Dapat ditegaskan bahwa setiap tuturnya dari seorang penutur memungkingkan sekali mengandung lokusi saja, dan perlokusi saja. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa satu tuturan mengandung kedua atau ketiganya sekaligus. Teori Austin kemudian mendapat kritik dari muridnya sendiri yaitu Searle (dalam Ali 2011). Menurut Searle teori yang diajukan Austin terdapat hal yang membingungkan antara verbal dan tindakan, terlalu banyak tumpang tindih dalam teori, terlalu banyak heterogenitas dalam kategori dan yang paling penting adalah tidak adanya prinsip klasifikasi yang konsisten.
Selanjutnya sama halnya dengan pendapat Yule yang mengklasifikasikan tindak tutur dalam lima kelompok yaitu deklarasi, representative, ekspresif, komisif, dan direktif. Yule (1996: 92-94) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan tindakan yang dilakukan melalui ujaran yang terdiri atas lima jenis, yaitu deklarasi, representative, ekspresif, komisif, dan direktif. Penjelasan dari kelima tindak tutur tersebut adalah sebagai berikut.
a. Deklarasi
Deklarasi ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan.
Dalam menggambarkan penutur harus mempunyai peran institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan deklarasi secara tepat. Tuturan berikut ini termasuk ke dalam jenis tindak tutur deklaratif:
1) Sekarang saya menyebut anda berdua suami istri 2) Kami nyatakan anda bersalah
Dalam tuturan di atas, penutur menciptakan keadaan atau status baru karena apa yang dituturkannya. Dengan mengatakan (sekarang saya menyebut anda suami istri, kami nyatakan anda bersalah). Penutur mengubah status kedua insan menjadi sepasang suami istri adanya perubahan status atau keadaan merupakan ciri dari tindak tutur isbati atau deklarasi ini. Oleh karena itu, kedua tuturan di atas termasuk tindak tutur deklarasi karena tuturan tersebut dimaksudkan oleh penutur untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tuturan dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni, memaafkan termasuk ke dalam tindak tutur deklarasi.
b. Representatif
Representatif merupakan tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasusu atau bukan, benar atau salah. Pernyataan suatu fakta penegasan, kesimpulan dan pendeskripsian. Tindak tutur yang mengikat penutur atas kebenaran tuturan yang diujarkan, jenis tindak tutur ini kadang-kadang disebut juga tindak tutur asertif. Berikut adalah tuturan refresentatif.
1) Bumi itu datar
2) Saya yakin rumah ini milik seorang perempuan
Pada kedua tuturan di atas, penutur memberikan pernyataan bahwa (1) bumi itu datar, dan (2) saya yakin rumah ini milik seorang perempuan. Pernyataan tersebut
termasuk ke dalam tuturan representatif karena penutur menyesuaikan kata-kata dengan kenyakinan dan kepercayaannya. Termasuk ke dalam tindak tutur representatif adalah tuturan menyatakan, menyebutkan, memberikan kesaksian, berspekulasi dan sebagainya. Dalam tuturan tersebut penutur bertanggung jawab atas kebenaran isi tuturannya.
c. Ekspresif
Ekspresif merupakan jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan atau kesengsaraan. Tuturan berikut merupakan tuturan representatif.
1) Sungguh, saya minta maaf 2) Selamat
3) Terimakasih atas kedatangannya
Dalam tuturan-tuturan di atas penutur memberikan evaluasi atas apa yang terjadi sesuai dengan pengalaman penutur yaitu menyatakan permohonan maaf, memberikan ucapan selamat, dan mengucapkan terima kasih atas kedatangan mitra tuturnya. Memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, menyanjung termasuk ke dalam jenis tindak tutur ekspresif atau evaluatif.
d. Direktif
Tindak tutur direktif (TTD) adalah yang berfungsi mempengaruhi petutur atau mitra tutur agar melakukan tindakan seperti yang diungkapkan oleh si penutur.
Tindak tutur direktif merupakan satu di antara jenis tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan sesuai apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Tindak tutur direktif disebut juga dengan tindak tutur impositif. Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Ibrahim (1993:27) menjelaskan bahwa tindak tutur direktif tidak hanya pengekspresian sikap penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh petutur, tetapi direktif juga bisa merupakan pengekspresian maksud penutur (keinginan dan harapan) sehingga tuturan atau sikap yang diekspresikan dijadikan sebagai alasan untuk bertindak oleh petutur. Senada dengan itu,
Searle (dalam Gunarwan, 1994:85-86) mengatakan tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar si pendengar (petutur) melakukan tindakan yang disebutkan di dalam uturan itu, misalnya:
menyuruh, memohon, dan menantang. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi, perintah, pemesanan, pemohonan, pemberian saran, dan dalam bentuknya dapat berupa kalimat positif dan kalimat negatif. Tindak tutur ini biasa juga disebut tindak tutur impositif.
Berikut adalah contoh tindak tutur direktif:
1) Jangan menyentuh itu!
2) Buatkan aku secangkir kopi pahit!
3) Tolong buka pintu!
Dalam tuturan-tuturan di atas penutur meminta mitra tuturannya melakukan tindakan sesuai dengan apa yang ada dalam tuturannya, dalam hal ini adalah larangan menyentuh pintu, membuat kopi pahit, dan membuka pintu. Tuturan yang meminta
mitra tutur untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh penuturnya dinamakan tindak tutur direktif. Tuturan memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, memerintah, memberikan aba-aba, dan menantang termasuk ke dalam tindak tutur direktif.
Ibrahim (1992:27) mengkategorikan direktif ke dalam enam kategori utama yaitu: 1) Requestives (meminta, mengemis, memohon, menekan, mengundang, mendoa, mengajak, mendorong), 2) Questions (bertanya, menyelidiki, menginterogasi, 3) Requirements (memerintah, menghendaki, mengkomando, menuntut, mendikte, mengarahkan, menginstruksikan, mengatur, mensyaratkan), 4) Prohibitives (melarang, membatasi), 5) Permissives (menyetujui, membolehkan, memberi wewenang, menganugerahi, mengabulkan, membiarkan, mengijinkan, melepaskan, memaafkan, memperkenankan), dan 6) Advisories (menasehatkan, memperingatkan, mengkonseling, mengusulkan, menyarankan, mendorong).
Lebih lanjut Searle (1979) mengungkapkan bahwa direktif itu dapat langsung (yaitu dengan menggunakan kalimat bermodus imperatif) dan dapat pula tidak langsung (yaitu dengan menggunakan kalimat bermodus bukan imperatif). Menurut Searle pula, realisasi direktif tidak langsung itu ada enam kategori seperti: Can you pass the salt? Are you going to pass the salt? I would like you to pass the salt dan sebagainya. http://www.perpuskita.com/pengertian tindak tutur direktif/121/ (diakses 2 Februari 2016).
Prayitno (2011:42) menyatakan bahwa wujud tindak tutur direktif ada enam kategori, yaitu perintah, permintaan, nasihat, kritikan, dan larangan. Tindak tutur direktif menurut Prayitno (2011:42) memiliki fungsi yang bermacam-macam.
Wujud tindak tutur direktif perintah meliputi, memerintah, menyuruh, mengharuskan, memaksa, meminjam, dan meyilakan. Wujud tindak tutur direktif permintaan meliputi, meminta, mengharap, memohon, dan menawarkan. Wujud tindak tutur
direktif ajakan, meliputi mengajak, membujuk, merayu, mendorong, mendukung, mendesak, menuntut, menantang, menagih, dan menargetkan. Wujud tindak tutur direktif nasihat, meliputi menasehati, menganjurkan, menyarankan, mengarahkan, mengimbau, menyerukan, dan mengingatkan. Wujud tindak tutur direktif kritikan meliputi, menegur, menyindir, mengumpat, mengecam, mengancam, dan marah.
Wujud tindak tutur direktif larangan meliputi, melarang dan mencegah.
e. Komisif
Komisif adalah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini dapat berupa; janji, ancaman, penolakan, ikrar, dan dapat ditampilkan sendiri oleh penutur atau penutur sebagai anggota kelompok. Tuturan berikut ini termasuk ke dalam tuturan komisif.
1) Saya akan kembali besok
2) Saya akan membetulkannya lain kali
Dalam tuturan, saya akan kembali besok dan tuturan ke dua yang menyatakan bahwa saya akan membetulkannya lain kali, penutur terikat untuk memenuhi janji yang diucapkan dalam tuturannya itu. Tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang dituturkan termasuk ke dalam jenis tindak tutur komisif.
Dengan demikian kedua tuturan di atas termasuk tindak tutur komisif yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur komisif adalah tuturan berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan dan bergaul.
Wijana menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi btindak tutur langsung dan tindak tutur tindak langsung, tindak tutur literal dan tidak literal.
1. Tindak Tutur Langsung dan Tak Langsung
Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interrogative) dan kalimat perintah (imperative).
Secara konvensional kalimat berita (deklaratif) digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan atau permohonan. Apabila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengadakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak memohon dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung.
Sebagai contoh: Yuli merawat ayahnya. Siapa orang itu? Ambilkan buku saya! Ketiga kalimat tersebut merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah. Tindak tutur tak langsung ialah tindak tutur untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Misalnya seorang ibu menyuruh anaknya mengambil sapu, diungkapkan dengan Upik, sapunya di mana?” Kalimat tersebut selain untuk bertanya sekaligus memerintah anaknya untuk mengambilkan sapu.
2. Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Literal
Tindak tutur literal adalah tindak tutur yang dimaksudkan sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sedangkan tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur
yang dimaksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya. Sebagai contoh dapat dilihat kalimat berikut.
a) Penyanyi itu suaranya bagus
b) Suaramu bagus (tapi kamu tidak usah menyanyi)
Kalimat (a) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau mengagumi suara penyanyi yang dibicarakan, maka kalimat itu merupakan tindak tutur literal, sedangkan kalimat (b) penutur bermaksud mengatakan bahwa suara lawan tuturnya jelek, yaitu dengan mengatakan “Tak usah menyanyi”. Tindak tutur pada kalimat (b) merupakan tindak tutur tak literal.
Apabila tindak tutur langsung dan tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut:
1) Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act), ialah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Misalnya: Ambilkan buku itu! Kusuma gadis yang cantik”, Berapa saudaramu, Mad?
2) Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Misalnya: “Lantainya kotor”. Kalimat itu jika diucapkan seorang ayah kepada anaknya bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya.
3) Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya: “Sepedamu bagus, kok”. Penuturnya sebenanrnya ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.
4) Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat
“Lantainya bersih sekali, Mbak”.
7. Novel
a. Pengertian Novel
Novel merupakan salah satu bentuk dari wacana terutama wacana tulis. Dalam novel terdapat tuturan-tuturan tokoh yang kemudian dapat dianalisis maksud serta tujuan dari tuturan tersebut. Novel merupakan wujud dari sastra. Sesuai dengan objek yang diteliti yaitu Novel, maka pembahasan mengenai novel diperlukan. Novel adalah salah satu genre sastra yang banyak diminati oleh masyarakat. Seorang penulis novel biasanya menceritakan kejadian dan hal-hal yang berada dalam kehidupan masyarakat.
Novel berasal dari bahasa Itali Novella (yang dalam bahasa Jerman : Novelle).
Secara harfiah Novella berarti ‘sebuah barang baru yang kecil’, yang kemudian diartikan sebagai ‘cerita pendek dalam bentuk prosa’. Dewasa ini istilah Novella dan