• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Efektivitas pidana penjara 1. Pengertian Efektivitas

Berbicara tentang efektivitas, maka tidak bisa dilepaskan dengan keberhasilan atas suatu tugas atau kebijakan. Efektivitas adalah unsur pokok mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan sebelumnya. Demikian juga dalam pelaksanaan kebijakan itu dikatakan efektif jika kebijakan itu bisa berjalan sesuai dengan harapan pembuat kebijakan.1

Maka sehubungan dengan permasalahan yang diangkat oleh penuis yaitu mengenai efektivits pidana penjara sebagai upaya membina residivis, maka pengertian efektifitas disini adalah sejauh mana tujuan dari suatu program ataupun kegiatan yang diterapkan dalam pidana penjara dapat tercapai dan berjalan sesuai dengan harapan pembuat kebijakan.

Kemudian menurut Barda Nawawi Arief, efektivitas mengandung arti

“keefektifa-an” pengaruh atau efek keberhasilan, atau kemanjuran

1 BAPPEDA Kota Yogyakarta, 2016, “Efektivitas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 64 Tahun 2013 dalam Mewujudkan Ruang Terbuka Hijau Publik Kota Yogyakarta”, Hal. 134.

(2)

18 /kemujaraban.2 Dengan kata lain efektivitas berarti tujuan yang direncanakan sebelumnya dapat tercapai, atau dengan kata lain sasaran tercapai karena adanya proses dari suatu kegiatan.

Effendy juga menjelaskan bahwa efektivitas merupakan “Komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan apa yang direncanakan dan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu dan jumlah personil yang ditentukan”. Dari pengertian tersebut bahwa efektivitas adalah tercapainya tujuan atau sasaran yang telah ditentukan yaitu salah satu pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai yang direncanakan sebelumnya.3

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, penulis menyimpulkan bahwa efektivitas merupakan tercapainya suatu tujuan yang telah direncanakan sebelumnya, maka hal tersebut dapat dikatakan efektif, begitu pula sebaliknya apabila tujuan tersebut tidak tercapai maka hal itu tidaklah efektif. Dengan kata lain untuk mengukur tingkat efektivitas pidana penjara sebagai upaya membina residivis adalah perbandingan antara recana atau tujuan yang telah ditentukan dengan hasil yang dicapai.

Pemaparan mengenai pengertian Efektivitas ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum terkait dengan pengertian Efektivitas yang dimaksud dalam penelitian ini dan sebagai pemahaman dalam pembahasan

2 Barda Nawawi Arief, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, Hlm. 85.

3 Onong Uchjana Effendy, 1989, Kamus Komunikasi. Bandung: PT. Mandar Maju, Hlm. 14.

(3)

19 subbab-subbab berikutnya serta menjadi bahan penulis dalam menganalisa apakah tujuan yang telah direncanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB telah sesuai yang diinginkan.

2. Efektivitas Hukum

Efektivitas Hukum adalah kesesuaian antara apa yang diatur dalam hukum dan pelaksanaanya. Bisa juga karena kepatuhan masyarakat kepada hukum karena adanya unsur memaksa dari hukum. Hukum dibuat oleh pihak yang berwenang adakalanya bukan suatu nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Jika demikian, maka terjadilah hukum tidak efektif, tidak bisa dijalankan, atau bahkan atas hal tertentu terbit pembangkangan sipil. Dalam realita kehidupan masyarakat, seringkali penerapan hukum tidak efektif, sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk dibahas dalam efektivitas hukum.

Persoalan efektivitas hukum mempunyai hubungan sangat erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.

Menurut Soerjono Soekanto tolok ukur efektivitas dalam penegakan hukum ada lima hal yang adak dijelaskan sebagai berikut.4

a. Faktor Hukum

4 Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hlm. 5.

(4)

20 Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.

Kepastian hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak.

b. Faktor Penegakan Hukum

Berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, maka dalam penegakan hukumnya dapat menimbulkan suatu permasalahan.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Penegak hukum tidak dapat bekerja dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang maksimal. Maka sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, dapat mempengaruhi dalam penegakan hukum itu sendiri.

d. Faktor Masyarakat

Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum. Persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang.

Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

e. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi- konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap baik sehingga diikuti dan apa yang diangap buruk maka dihindari.

Sehubungan dengan permasalahan yang diangkat penulis, budaya dalam masyarakat yang tidak patuh terhadap hukum maka akan menciptakan ekosistem dalam berbagai lapisan masyarakat termasuk para penegak hukumnya berlaku semena-mena dan tidak taat hukum yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran yang berulang-ulang terhadap hukum yang berlaku.

(5)

21 Jadi, dapat disimpulkan bahwa efektifvitas hukum adalah kesesuian hukum dan pelaksanaannya, yang mana dalam pelaksanaannya harus memenuhi kelima faktor antara lain faktor hukum, faktor penegakan hukum, faktor sarana atau fasilitas pendukung, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Jika kelima faktor tersebut tidak terpenuhi maka akan menimbulkan ketidakstabilan dalam menjalankan hukum dan hal tersebut berdampak kepada efektivits pidana penjara sebagai upaya membina residivis.

Dikutipnya dan dicantumkannya sub bab tentang efektivitas hukum ini bertujuan untuk memberikan gambaran serta pemahaman terkait dengan kesesuaian antara apa yang diatur dalam hukum dan pelaksanaanya, pelaksanaannya disini berkaitan dengan penelitian yang dilakukan penulis di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB.

3. Efektivitas Pidana Penjara

Sebelum lebih jauh membahas mengenai efektivitas pidana penjara, penulis ingin membahas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pidana penjara.Pidana Penjara merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam sistem hukum pidana di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 10 KUHP yang menyebutkan “bahwa pidana terdiri atas: Pidana pokok, yang meliputi pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda dan pidana tambahan, yang meliputi: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-

(6)

22 barang tertentu dan pengumuman keputusan hakim.”5 Pada pelaksanaannya Pidana Penjara menurut Pasal 12 ayat (1) dan (2) KUHP terdiri dari: pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu.6

Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan.

Pengunaan pidana penjara sebagai sarana untuk menghukum para pelaku tindak pidana baru dimulai pada akhir abad ke-18 yang bersumber pada paham individualisme dan gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin memegang peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dipandang kejam.7

Menurut P.A.F Lamintang, Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.8

5 Pasal 10 KUHP

6 Pasal 12 KUHP

7 Barda Nawawi Arief, 1996, Kebijakan Legislatif dengan Pidana Penjara. Semarang: Badan Penerbit UNDIP, Hlm. 42.

8 P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, Hlm. 69

(7)

23 Berdasarkan pendapat ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa penjara merupakan suatu sanksi yang diberikan kepada terpidana yang telah terbukti melanggar hukum yang berlaku dengan cara merampas kemerdekaannya dan ditempatkan pada tempat yang disebut lembaga pemasyarakatan. Mengenai sistem lembaga pemasyarakatan itu sendiri telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Setelah mengetahui dan memahami makna dari pidana penjara itu sendiri, maka barulah dapat membahas mengenai efektifitas pidana penjara.

Menurut Barda Nawawi Arief, efektivitas pidana penjara dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perbaikan si pelaku.

Yang dimaksud dengan aspek perlindungan masyarakat meliputi tujuan mencegah, mengurangi atau mengendalikan tindak pidana dan memulihkan keseimbangan masyarakat (antara lain menyelesaikan konflik, mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian/kerusakan, menghilangkan noda-noda, memperkuat kembali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat). Sedangkan yang dimaksud dengan aspek perbaikan si pelaku meliputi berbagai tujuan, antara lain melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali si pelaku dan melindunginya dari perlakuan sewenang-wenang di luar hukum. 9

9 Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hlm. 224-225.

(8)

24 a. Efektivitas Pidana Penjara Dilihat Dari Aspek Perlindungan

Masyarakat

Dilihat dari aspek perlindungan/kepentingan masyarakat maka suatu pidana dikatakan efektif apabila pidana itu sejauh mungkin dapat mencegah atau mengurangi kejahatan. Kriteria efektivitas dilihat dari seberapa jauh frekuensi kejahatan dapat ditekan. Kriterianya terletak pada seberapa jauh efek pencegahan umum (general prevention) dari pidana penjara dalam mencegah warga masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan kejahatan.10

Sehubungan dengan permasalahan yang diangkat penulis maka efektivitas pidana penjara dapat dikur dari seberapa jauh efek pidana penjara dapat mencegah atau mengurangi kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat.

b. Efektivitas Pidana Penjara Dilihat dari Aspek Perbaikan si Pelaku Dilihat dari aspek perbaikan si pelaku, maka ukuran efektivitas terletak pada aspek pencegahan khusus (special prevention) dari pidana. Jadi, ukurangnya terletak pada masalah seberapa jauh pidana itu (penjara) mempunyai pengaruh terhadap pelaku/terpidana. Ada dua aspek pengaruh pidana terhadap terpidana, yaitu aspek pencegahan awal (deterent aspect) dan aspek perbaikan (reformative).

10 Barda Nawawi Arief, Ibid, Hlm 225.

(9)

25 Aspek pertama (deterent aspect), biasanya dukur dengan menggunakan indikator residivis. Berdasarkan indikator inilah RM.

Jakson menyatakan;11

“Bahwa suatu pidana adalah efektif apabila si pelanggar tidak dipidana lagi dalam suatu periode tertentu. Selanjutnya ditegaskan, bahwa efektifitas adalah suatu pengukuran dari perbandingan anatara jumlah pelanggar yang dipidana kembali dan yang tidak dipidana kembali”.

Sehubungan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis maka pernyataan diatas dapat digunakan sebagai indikator dalam menukur keefektifan pidana penjara yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB dengan cara mengukur perbandingan antara jumlah pelanggar yang dipidana kembali dan yang tidak dipidana kembali.

Aspek kedua yaitu aspek perbaikan (reformative aspect), berhubungan dengan masalah perubahan sikap dari terpidana.

Seberapa jauh pidana penjara dapat mengubah sikap terpidana, masih merupakan masalah yang belum dapat dijawab secara memuaskan. Hal ini disebabkan adanya beberapa problem metodologis yang belum terpecahkan dan belum ada kesepakatan, khususnya mengenai:

11 Barda Nawawi Arief, Ibid, Hlm 225.

(10)

26 1. Apakah ukuran untuk menentukan telah adanya perubahan sikap pada diri si pelaku; ukuran recidivism rate atau reconviction rate masih banyak yang meragukan;

2. Berapa lamanya periode tertentu untuk melakukan evaluasi terhadap ada tidaknya perubahan sikap setelah terpidana menjalani pidana penjara.

Dari penjabaran diatas, penulis menyimpulkan bahwa penelitian- penelitian selama ini belum dapat membuktikan secara pasti apakah pidana penjara itu efektif atau tidak. Terlebih masalah efektivitas pidana penjara sebenarnya berkaitan dengan banyak faktor.

Dikutipnya dan dicantumkannya subbab tentang efektivitas pidana penjara ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum serta sebagai bahan analisa dalam menukur keefektifan pidana penjara yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB.

B. Tinjauan Tentang Pemidanaan 1. Pengertian Pemidanaan

Dalam buku Barda Nawawi Arief yang dikemukakan oleh L.H.C Hullsman yang mengatakan bahwa sistem pemidanaan merupakan sebuah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pemidanaan itu sendiri maupun sanksi-sanksi pidana. Barda Nawawi juga menambahkan bahwa :

(11)

27

“jika pengertian pemidanaan diartikan sescara luas yaitu sebagai proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapat dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bahagimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi berupa sanksi hukuman pidana”. 12

Jadi, keseluruhan ketentuan yang diatur dalam KUHP, baik berupa aturan umumnya, ataupun aturan khususnya pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.

Dari pemaparan diatas, penulis menyimpulkan bahwa pemidanaan merupakan keseluruhan dari proses penetapan sanksi yang diberikan kepada pelanggar ketentuan perundang-undangan yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum. Dalam hal ini, berkaitan dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis maka aparat penegak hukum yang dimaksud lebih mengarah ke petugas lembaga pemasyarakatan.

Dikutipnya dan dicantumkannya subbab tentang pemidanaan ini untuk melihat bahagimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi berupa sanksi hukuman pidana yang mana sanksi pidana ini dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB.

2. Teori Pemidanaan

12 Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya, Hlm.

117.

(12)

28 Secara tradisional teori-teori pemidanaan (dasar-dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan) pada umumnya dapat dibagi dalam dua teori yaitu:

1. Teori Absolut, menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah mealakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984: 10). Menurut reori absolut ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak , tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan.13

2. Teori Relatif, memurut teori ini memidana bukanlah untuk memutuskan tuntutan absolut dari kedailan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, menurut J. Andenaes, teori ini dapat disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence).14

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kedua teori diatas merupakan bagian penting dalam pemidanaan yang mana kedua teori tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, teori absolut yang menitikberatkan pada pembalasan yang setimpal atas perbuatan pelanggaran hukum bertujuan sebagai efek jera kepada pelaku dan teori relatif atau teori tujuan yang mana bertujuan agar

13 Dwidja Priyanto, 2009, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: PT Reflika Aditama. Hlm.24

14 Dwidja Priyanto, Ibid, Hlm.25

(13)

29 penjatuhan sanksi kepada pelaku dapat menjadi pemulihan atau perbaikan atas perbuatan pelaku yang merugikan baik secara individu maupun sosial.

Penjabaran singkat mengenai teori pemidanaan ini bertujuan sebagai gambaran dan pemahaman mengenai pemidanaan dilihat dari teori pemidanaan dan sebagai bahan rujukan dalam membahas pelaksanaan pidana penjara dalam membina narapidana residivis maupun yang tidak residivis di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB.

3. Tujuan Pemidanaan

Tujuan yang ingin dicapai dari suatu pemidanaan ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat di antara para ahli hukum. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu : untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan, untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat di perbaiki lagi.

Tujuan pemidanaan menurut Wirjono Prodjodikoro yaitu :

a. Untuk menakuti-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventif); atau

(14)

30 b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.15

Kemudian jika kita lihat pada perkembangan pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan, pada awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai lagi dengan perkembangan nilai dan hakekat hidup yang tumbuh di masyarakat. Bagaimanapun narapidana yang memang sudah melakukan hal yang buruk atau tindak pidana juga manusia yang masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan ke arah perkembangan yang lebih positif, yang mampu berubah untuk menjadi lebih produktif dan untuk menjadi lebih baik dari sebelum menjalani pidana. Tujuan perlakuan terhadap narapidana di Indonesia mulai tampak sejak tahun 1964 setelah Sahardjo mengemukakan dalam konfrensi kepenjaraan di Lembang, bahwa tujuan pemidanaan adalah pemasyarakatan, jadi mereka yang jadi narapidana bukan lagi dibuat jera tetapi dibina untuk kemudian dimasyarakatkan kembali.16 Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan, dapat dibagi dalam tiga hal, yaitu:

1. Setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan tidak lagi melakukan tindak pidana.

2. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negaranya.

15 Wirjono Prodjodikoro, 1980, Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Jakarta: P.T Eresco,Hlm.

3

16 Soedjono, 1972, Kisah Penjara-Penjara di Berbagai Negara, Bandung: Alumni, Hlm. 86

(15)

31 3. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa dan

mendapatkan kebahagian didunia maupun akhirat.

Selanjutnya dalam Konperensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan yang pertama di Lembang (Bandung) pada tanggal 27 April 1964, dirumuskan lebih lanjut tentang maksud dan tujuan pidana penjara sebagai berikut ini :

a. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan memberikan kepaanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.

yakni masyarakat Indonesia yang menuju tata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. Bekal hidup tidak hanya berupa finansial dan materiil, tetapi yang lebih penting adalah mental, fisik, keahlian, ketrampilan hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensial dan efektif untuk menjadi warga negara yang baik, tidak melanggar hukum lagi dan berguna dalam pembangunan negara.

b. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas denam dari negara. Terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara perawatan ataupun penempatan. Satu-satunya derita hanya dihilangkannya kemerdekaan.

c. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapiana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa social dalam kehidupan bermasyarakat.17

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan tidak boleh lebih dari sekedar perampasan kemerdekaan karena pada hakekatnya penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara sehingga dalam lembaga pemasyarakatan terpidana haruslah diberikan bekal

17 Muladi, 1992, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, Hlm. 60

(16)

32 dengan cara diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Penjabaran mengenai tujuan pemidanaan yang merupakan sub bab dari Pemidanaan ini merupakan sebagai bahan analisa dalam mengukur apakah pelaksanaan pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB telah sesuai dengan tujuan pemidanaan itu sendiri.

4. Tahapan-tahapan Pembinaan

Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan menjelaskan rentang 3 (tiga) tahap pembinaan narapidana yaitu:18

1. Tahap Awal

Pembinaan tahap awal ini dilaksanakan di Lapas. Bagi narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) masa pidana. Tahap awal pembinaan meliputi :

a) Masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama 1 bulan;

b) Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;

c) Pelaksanaan program pembinan kepribadian dan kemandirian;

d) Penilaian pelaksana program pembinaan tahap awal.

2. Tahap Lanjutan

Pembinaan pada tahap lanjutan meliputi :

a) Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (setengah) dari masa pidana;

b) Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai 2/3 (dua pertiga) masa pidana.

3. Tahap Akhir

18 Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

(17)

33 Pembinaan di tahap akhir dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan. Tahap ini meliputi :

a) Perancanaan program integrasi

b) Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembinaan narapidana terdiri dari 3 tahap yaitu Tahap Awal, Tahap Lanjutan dan Tahap Akhir. Tahap Awal dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan satu per tiga masa pidana, Tahap Lanjutan dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan dua per tiga masa pidana dan Tahap Akhir dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan selesainya masa tahanan.

Pejelasan singkat tahapan-tahapan pembinaan ini bertujuan agar mempermudah penulis ketika membahas pelaksanaan pidana penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB.

5. Program Pembinaan

Setiap Terpidana wajib mengikuti semua program pembinaan yang diberikan kepadanya, adapun wujud tersebut meliputi :

a. Pendidikan umum, misalnya : Pemberantasan 3 buta ( aksara, angka, dan bahasa) melalui pelajaran kejar paket A yang dilaksanakan oleh warga binaan dengan pengajar pegawai Lembaga Pemasyarakatan/

Rumah Tahanan Negara yang secara teknis mendapat bimbingan dan pengawasan dari Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan;

(18)

34 b. Pendidikan keterampilan, Misalnya : menjahit, pertukangan, pertanian, perikanan, dan lain-lain;Pembinaan mental spiritual, misalnya: pendidikan agama, penyuluhan-penyuluhan dan budi pekerti;

c. Social Budaya, Misalnya: kunjungan keluarga, belajar seni music, seni suara, dan kesenian lainnya;

d. Kegiatan rekreasi diarahkan pada pemupukan kesehatan jasmani rohani melalui: olahraga, membaca buku atau surat kabar dll.

Penjelasan singkat mengenai program pembinaan ini bertujuan sebagai bahan analisa penulis dalam membahas pelaksanaan pidana penjara dalam membina narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB.

C. Tinjauan Tentang Lembaga Pemasyarakatan 1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Penghuni Lembaga Pemasyarakatan sering disebut dengan istilah narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses

(19)

35 peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga pemasyarakatan disebut dengan Petugas Pemasyarakatan, atau dahulu lebih di kenal dengan istilah sipir penjara. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962. Sejak tahun 1964 dengan ditopang oleh UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. UU Pemasyarakatan itu menguatkan usaha-usaha untuk mewujudkan suatu sistem Pemasyarakatan yang merupakan tatanan pembinaan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan.19

Dari peryataan diatas, dapat disimpulkan bahwa lembaga pemasyarakatan adalah tempat pembinaan terhadap narapidana dan dalam pelaksanaannya yang bertugas menangani pembinaan narapidana adalah petugas pemasyarakatan.

Dikutipnya dan dicantumkannya sub bab mengenai lembaga pemasyarakatan ini sebagai gambaran dalam pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB.

2. Fungsi dan tujuan Lembaga Pemasyarakatan

Tujuan utama dari lembaga pemasyarakatan adalah melakukan pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem,

19 Undang-undang No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pasal 1 ayat (3).

(20)

36 kelembagaan dan cara pembinaan sebagai bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam sistem peradilan pidana. Di dalam lembaga pemasyarakatan di persiapkan berbagai program pembinaan bagi para narapidana sesuai dengan tingkat pendidikan, jenis kelamin, agama, dan jenis tindak pidana yang di lakukan narapidana tersebut. Program pembinaan bagi para narapidana di sesuaikan pula dengan lama hukuman yang akan di jalani para narapidana dan anak didik, agar mencapai sasara yang di tetapkan, yaitu agar mereka menjadi warga yang baik di kemudian hari.

Program-program pembinaan narapidana dan anak didik yang di tetapkan pemerintah sesuai undang-undang bertujuan agar para naraidana dan anak didik kembali ke masyarakat dan dapat berpartisipasi membangun bangsa.

Namun kehadiran mereka dimasyarakat tidak semudah yang kita banyangkan, karena masyarakat sadar pada saat narapidana dan anak didik di penjara terjadi prisonisasi yaitu pengambil alihan atau peniru tentang tatacara, adat istiadat dan budaya paranarapidana dan anak didik pada saat melakuka tindak pidana.

Lembaga pemasyarakatn sebagai instansi terakhir dalam pembinaan narapidana harus memperhatikan secara sungguh-sungguh hak dan kepentingan narapidana. Peran serta lembaga pemasyarakatan dalam membina warga binaan sangat stategis dan dominan, terutama dalam memulihkan kondisi warga binaan pada kondisi sebelum melakukan tindakan pidana, dan melakukan pembinaan

(21)

37 di bidang kerohanian dan keterampilan seperti pertukangan, menjahit dan sebagainya.20

Dari penjabaran diatas penulis menyimbulkan bahwa fungsi dan tujuan lembaga pemasyarakatan adalah melakukan pembinaan kepada narapidana dengan cara menyipakan berbagi program pembinaan yang ditetapkan pemerintah sesuai dengan undang-undang agar setelah narapidana kembali ke masyarakat dapat berpartisipasi membangun bangsa dan negara.

Penjabaran singkat mengenai fungsi dan tujuan lembaga pemasyarakatan yang merupakan subbab Lembaga Pemasyarakatan dalam penelitian hukum ini adalah bertujuan untuk memberikan gambaran dan pemahaman mengenai fungsi dan tujuan lembaga pemasyarakatan serta menjadi tolak ukur penulis dalam Bab pembahasan saat membahas pelaksanaan pidana penjara yang dilakukan oleh petugas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB.

3. Asas dalam sistem pemasyarakatan

Menurut Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sistem pebinaan terhadap narapidana harus dilaksanakan berdasarkan asas:

a) Pengayoman

Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari pengulangan tindak pidana oleh para warga binaan pemasyarakatan dengan cara memberikan

20 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

(22)

38 pembinaan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB

b) Persamaan perlakuan dan pelayanan Seluruh Warga Binaan di Lembaga pemasyarakatan

Persamaan perlakuan disini berarti diperlakukan tanpa membeda-bedakan latar belakang atau siapa warga binaan tersebut. Istilah lainnya adalah tanpa adanya diskriminasi yang dilakukan oleh Petugas Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB.

c) Penghormatan harkat dan juga martabat Manusia

Dijelaskan sebagai bentuk perlakuan kepada warga binaan yang dianggap orang yang “bersalah”, namun warga binaan juga tetap harus diperlakukan sebagai layaknya manusia di luar sana atau manusia pada umumnya.

d) Pelayanan pendidikan dan pembimbingan

Harus diberikan pendidikan oleh Lembaga pemasyarakatan untuk warga binaan pemasyarakatan dengan tujuan tetap mengasah kemampuan ilmu pengetahuannya walaupun hak-hak dan kemerdekaannya di renggut sementara.

e) Terjaminnya hak warga binaan agar tetap bisa berhubungan dengan keluarga dan orang-orang terdekat lainnya.

f) Kehilangan kemerdekaan adalah satu-satunya penderitaan Berarti bahwa warga binaan hanya ditempatkan sementara waktu di dalam Lembaga Pemasyarakatan untuk mendapatkan pembinaan dari Negara karena tindakan yang telah dilakukan sebelumnya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam sistem pemasyarakatan diperlukan 6 asas yaitu pengayoman dengan cara pemberian pembinaan oleh pihak Lembaga pemasyarakatan kepada narapidana, persamaan perlakuan dan pelayanan seluruh warga binaan artinya tidak boleh ada diskriminasi, Penghormatan Harkat dan martabat manusia artinya meskipun bersalah tetapi narapidana harus diperlakukan layaknya manusia pada umumnya, pelayana pendidikan dan pembimbingan artinya lembaga pemasyarakatan harus memberikan pendidikan dan pembimbingan sebagai bekal ilmu narapidana,

(23)

39 terjaminnya hak narapidana untuk berhubungan dengan keluarga dan orang- orang terdekatnya, kehilangan kemerdekaan adalah satu-satunya penderitaan artinya dalam pelaksanaan pembinaan narapidana masih memiliki hak-hak seperti masyarakat pada umumnya yang berbeda hanyalah narapidana kehilanga kemerdekaan sementara waktu atas tindak pidana yang telah diperbuat.

Dikutipnya dan dicantumkannya asas dalam sistem pemasyarakatan ini bertujuan sebagai gambaran umum dan pemahaman mengenai asas dalam sistem pemasyarakatan serta menjadi bahan analisa penulis dalam mengetahui apakah terdapat kendala yang dialami oleh petugas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB ketika menerapkan asas dalam sistem lembaga pemasyarakatan.

D. Residivis

1. Pengertian Residivis

Residivis berasal dari bahasa Prancis yang di ambil dua kata latin, yaitu Re dan Cado, Re berarti lagi dan Cado berarti jatuh. Recidivis berarti suatu

tendensi berulang kali hukum karena berulangkali melakukan kejahatan dan mengenai Resividis adalah berbicara tentang hukum yang berulang kali sebagai akibat perbuatan yang sama atau serupa.21

21 Gerson W Bawengan, Hukum Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Pradya Primata, 1979, Hlm.68

(24)

40 Kemudian Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa, apabila seseorang telah dijatuhi hukuman perihal terhadap suatu kejahatan dan kemudian setelah menjalani hukuman, melakukan suatu kejahatan lagi, maka kini apa yang disebut residivis.22

Dengan kata lain dapat dikatakan residivis ketika seseorang kembali melakukan kejahatan lagi setelah menjalani hukuman yang dijatuhi kepadanya atas kejahatan yang diperbuat.

Pengulangan atau residive secara umum ialah apabila seseorang melakukan sesuatu tindak pidana dan untuk di jatuhkan pidana padanya, akan tetapi dalam jangka waktu tertentu:

a. Sejak setelah pidana tersebut dilaksanakan seluruhnya atau sebagian, atau

b. Sejak pidana tersebut seluruhnya dihapuskan, atau apabila kewajiban menjalankan/melaksanakan pidana itu belum daluwarsa, ia kemudian melakukan tindak pidana lagi.

Dari pembahasan tersebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa syarat- syarat yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan residivis yaitu:

a. Pelakunya sama,

22 Wirjono Projodikoro, 2003, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, Hlm.83.

(25)

41 b. Terulangnya tindak pidana, yang untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana (yang sudah mempunyai kekuatan yang tetap).

c. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.

Dikutipnya dan dicantumkannya subbab tentang residivis dalam penelitian hukum ini bertujuan untuk memberikan gambaran serta pemahaman mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku yang telah menjalani pidana dan pengulangan tindak pidana terjadi dalam jangka waktu tertentu serta sebagai bahan untuk analisa dari hasil observasi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Selong NTB.

2. Jenis-jenis Residivis

Menurut KUHP terdapat beberapa jenis residivis, yaitu:

a. Residivis Umum (General Recidive) Merupakan perbuatan pidana yang tidak diperhatikan, yang berarti jika melakukan kejahatan secara berulang atau kambuhan walaupun tindak pidana yang dilakukan tidak sama atau tidak segolongan.23

b. Residivis Spesial (special Recidive) Merupakan perbuatan pidana yang sangat diperhatikan, dikatakan residivis spesial apabila sifat perbuatan pidana sama atau segolongan dengan tindak pidana sebelumnya.24

23 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, Hlm. 191

24 Ibid.

(26)

42 Menurut KUHP pasal 486, 487, 488. Bahwa pelaku kejahatan residivis akan ditambah sepertiga hukuman, jika memenuhi unsur berikut:

a) Pelaku melakukan kesalahan serupa atau semacamnya;

b) Antara kejahatan satu dengan kejahatan yang lain sudah ketok palu atau sudah ada keputusan hakim;

c) Pelaku dijatuhi hukuman penjara, bukan kurungan ataupun denda dan semacamnya;

d) Kejahatan yang satu dengan yang lain tidak lebih dari jangka waktu 5 (lima) tahun.25

Dari penjabaran mengenai jenis-jenis residivis diatas, penulis meyimpulkan yang menjadi perbedaan antar residivis umum dan residivis spesial terletak pada tindak pidana yang dilakukan. Residivis Umum merupakan perbuatan tindak pidana yang dilakukan tidak sama atau tidak segologan, sementara Residivis Spesial merupakan perbuatan tindak pidana sama atau segolongan dengan tindak pidana sebelumnya.

Dijabarkannya tentang jenis-jenis residivis dalam penelitian hukum ini digunakan sebagai gambaran umum dan pemahan mengenai jenis-jenis residivis dan sebagai acuan untuk penulis suapaya tidak ada kekeliruan dalam membedakan jenis residivis selain itu juga berguna dalam membedakan

25 Agustin L, Hutabarat, Seluk Beluk Residivis, dalam https://www.hukumonline.com/, diakses pada 7 Januari 2021.

(27)

43 pelaksanaan pidana penjara dalam membina narapidana residivis mapun yang tidak residivis.

3. Faktor Penyebab Residivis

Residivis merupakan seseorang hasil dari suatu gejala sosial yang dapat timbul dari perilaku jahatnya dan menjadi kebiasaan dari pelaku suatu tindak pidana itu, dalam pembinaan narapidana salah satu tujuannya adalah untuk menekan tingkat angka residivis setelah mereka kembali ketengah-tengah masyarakat. Selain dari kesalahan penerapan bentuk pembinaan narapidana ada banyak faktor yang menjadi pendukung terjadinya pengulangan perbuatan pidana diantaranya dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan keadaan ekonomi.

a. Lingkungan Keluarga

Lingkungan keluarga ini merupakan suatu organisasi yang paling penting dalam kelompok sosial dan keluarga merupakan lembaga didalam masyarakat yang paling utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan biologis anak manusia. Penyebab pengulangan tindak pidana atau tidak kapoknya mantan narapidana selama menjalani masa pembinaan bisa disebabkan karena lingkungan keluarga yang kurang

(28)

44 baik, banyak tekanan, permasalahan atau rusaknya suatu rumah tangga yang menjadi goncangan batin dari orang tersebut.26

Apabila hal tersebut terjadi tidak menutup kemungkinan akan mengakibatkan mantan narapidana kembali melakukan tindak pidana dikarenakan lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi tempat utama mereka kembali tidak memfasilitasi mereka untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

b. Lingkungan Masyarakat

Salah satu respon masyarakat yang merasa terancam ketenangan lingkungan dan ketertiban masyarakatnya kemudian memunculkan stigmatisasi terhadap individu yang melakukan perilaku yang menyimpang tersebut. Perilaku yang menyimpang disini merupakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh individu yang akhirnya membuat masyarakat merasa terganggu. Stigmatisasi merupakan proses pemberian cap, pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang bersangkutan, lebih besar kemungkinan ia menghayati sebagai benar-benar pelanggar hukum yang jahat dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan masyarakat terhadap yang bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat dipercaya.27

26 Dwi SC Anam, Faktor-faktor penyebab Residivis, dalam https://eprints.umm.ac.id, diakses pada 31 Desember 2020

27 Didin Sudirman, 2006, Masalah-masalah Aktual Tentang Pemasyarakatan, Gandul Cinere Depok:

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Depertemen Hukum dan Asasi Manusia, Hlm. 52

(29)

45 Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikhawatirkan akan mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum.

Dengan adanya kekhawatiran tersebut kemudian secara tidak langsung berdampak pada sikap dan perbuatannya dalam berinteraksi dengan masyarakat yang mana secara bertahap lingkungan akan menjauhi dan menutup diri dengan mantan narapidana, padahal mereka selama menjalani pemidanaan di lembaga pemasyarakatan telah mendapat pelatihan khusus agar dapat kembali menjalankan kehidupan dimasyarakat. Dengan tidak diterimanya mereka di masyarakat akhirnya mengakibatkan mereka kembali melakukan perbuatan melanggar hukum sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.

Dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa stigmatisasi masyarakat merupakan pemberian cap jahat kepada mantan narapidana oleh masyarakat karena telah melanggar hukum yang berlaku. hal ini mengakibatkan mantan narapidana tidak diterima di lingkungan masyarakat karena masyarakat yang masih memandang mantan narapidana merupakan pribadi yang jahat meskipun ia telah berubah menjadi pribadi yang baik dan telah mendapatkan bekal berupa kemampuan dalam bekerja yang didapat di lembaga pemasyarakatan. Jika mantan narapidana tidak diterima di masyarakat dan tidak bisa bekerja maka mereka akan kembali melakukan perbuatan melanggar hukum.

(30)

46 c. Keadaan Ekonomi

Keadaan ekonomi pada dasarnya dapat dibedakan maenjadi 2 (dua), yaitu ekonomi yang baik dan ekonomi yang kurang baik atau biasa dibilang miskin. Pada keadaan ekonomi yang baik maka orang-orang dapat mencapai atau memenuhi kebutuhan dengan mudah.

Demikian juga sebaliknya, apabila keadaan ekonomi kurang baik maka pemenuhan kebutuhan sengat sulit adanya, karena itu orang-orang akan berusaha untuk dapat keluar dari himpitan ekonomi tersebut. Dengan cara yang baik atau malah sebaliknya dengan melakukan kejahatan demi mendapatkan uang untuk memenuhi kesulitan-kesulitan ekonomi itu sendiri.28

Hal ini juga berlaku kepada mantan narapidana, apabila ekonomi mereka baik maka mereka bisa menjalankan kembali kehidupan mereka dengan memanfaatkan keadaan ekonomi tersebut bisa dengan cara membuka usaha guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Lain halnya dengan narapidana yang ekonominya kurang baik, guna memenuhi kebutuhan hidupnya mereka harus bekerja agar dapat memenuhi kehidupan mereka, namun demikian tidaklah segampang itu, lapangan pekerjaan yang kurang hingga status mereka yang merupakan mantan narapidana membuat mereka tidaklah mudah untuk mendapatkan

28 IW Nugraha, Motivasi Kejahatan Repetitif Residivis, dalam https://ejournal3.undip.ac.id, diakses pada 31 Desember 2020.

(31)

47 pekerjaan, jika hal ini terjadi maka untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak jarang mereka kembali melakukan perbuatan melawan hukum agar dapat bertahan hidup.

Referensi

Dokumen terkait

Pada gambar 3 proses bisnis berjalan digambarkan proses antara klien dan satu EO, di mana klien mendatangi Event Organizer, dan klien memilih paket event yang

Sanjaya (2009: 220–221) menyebutkan keunggulan PBL antara lain: 1) PBL merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami pelajaran; 2) PBL dapat menantang kemampuan siswa

Dengan mendengarkan semua kesulitan- kesulitan yang dihadapi oleh guru, yaitu tentang. penyusunan pengembangan silabus

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga.. Tesis Pengaruh Keterampilan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan dari penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa kelas lima SDN 6 Bulungkulon Jekulo Kudus

Penggunaan umum dari poliester tak jenuh ini adalah untuk impregnasi fiber glass yang selanjutnya dicetak menjadi bentuk yang diinginkan dengan proses ikatan silang menjadi

e) Mendorong peningkatan apresiasi seni dan budaya bahari yang mengakar pada karakter dan identitas bangsa bahari yang unik. f) Menumbuh kembangkan olahraga bahari menjadi ciri

Indeks plak yang dibuat khusus untuk pemakai piranti ortodonti cekat adalah Ortho-. Plaque Index