1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 perkawinan ditegaskan bahwa setiap perkawinan harus dicatat.
Mencatatkan perkawinan sejatinya merupakan bentuk instrumentasi jaminan hukum dalam sebuah perkawinan. Hal ini tidak hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam saja, melainkan juga bagi mereka yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, maupun Budha, sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 22 tahun 1946 j.o UU No.
32 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (penjelasan pasal 1 ) juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (2), yang di perkuat dengan Inpres RI No. 1 Tahun 1991 tentang Komplikasi Hukum Islam Pasal 5 dan 6.
Satu bentuk perbuatan yang harus di lakukan ialah pernikahan, karena dalam pernikahan ada hubungan yang lahiriyah serta bathiniyah. Pernikahan dari agama Islam artinya akad dan buat
1 Mustofa, Analisis Hukum Perkawinan, (Yogyakarta: Mitra Hukum press, 2012), 12.
2
mentaati perintah Allah serta melaksanakan ibadahnya.2 Dalam hukum Islam, istilah perkawinan dikenal menggunakan nikah. Dalam ajaran agama Islam melakukan pernikahan berarti melaksanakan perbuatan ibadahnya kanjeng Nabi Muhammad SAW, melakukan perbuatan ibadah juga berarti melaksanakan ajaran Agama. Sabda Rasulullah SAW yaitu: “barang siapa yang menikah berarti dia telah melaksanakan separuh (ajaran) Agamanya, yang separuh lagi hendaklah beliau bertaqwa di Allah”. Mirip yang dijelaskan kanjeng Nabi Muhammad SAW bahwa pernikahan adalah perjanjian antara pihak seorang laki-laki dan pihak perempuan buat melaksanakan kehidupan berumah tangga dan melanjutkan keturunan sesuai menggunakan ketentuan ajaran kepercayaan islam. Berasal sini terlihat bahwa pernikahan itu sebagaian berasal dari pengamalan perilaku atau sosial keagamaan. Hal tersebut menyangkut adanya interaksi atau penggabungan dua keluarga dan selanjutnya akan berkembang menjadi beberapa keluarga.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam perkawinan adalah adanya rukun dan syarat dalam perkawinan, rukun dan syarat adalah bagian inti dari proses perkawinan serta sungguh penting dalam membentuk keluarga yang bahagia, karena dalam perkawinan
2 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2.
3
diperlukan kemampuan bertindak hukum, juga kematangan biologis dan psikologis dapat dibina dengan baik.3
Berdasarkan Kriteria rukun maupun syarat perkawinan dimaksud, tampaknya pencatatan perkawinan tidak disebut secara explisit, padahal Nabi Muhammad saw telah memberikan mandat kepada umat agar saat menikah mengumumkan pernikahannya dalam bentuk walimah. Pengumuman dalam bentuk walimah ini merupakan proses pencatatan, meskipun dapat dikategorikan sebagai bentuk pencatatan secara sosial. Pada zamannya mandat tersebut sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap perkawinan yang berlangsung.
Memang oleh berbagai kalangan bahwa keberadaan saksi dianggap telah memperkuat keabsahan suatu perkawinan dan bukan pencatatan. Dalam kitab fiqih klasik sekalipun, tidak ada pembahasan tentang pencatatan pernikahan, sehinga perkawinan sirri masih hidup dalam sebagian tradisi masyarakat. Nikah sirri adalah nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, ada yang dicatat tapi disembunyikan dari masyarakat dan juga ada yang tidak dicatatkan pada Petugas Pencatat Nikah (PPN) dan tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA). Nikah sirri lazim disebut juga dengan nikah di bawah tangan.4
Dengan kompleksitas tantangan dan implikasi nikah sirri, nikah sirri tampaknya masih menjadi topik yang tidak ada habisnya. Bagi
3 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), 15.
4 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), 17.
4
perempuan dan anak, dalam pernikahan, di satu sisi nikah sirri didorong oleh sentimen agama dan disisi lain negara tidak memberikan perlindungan maksimal jika nikah sirri. Situasi ini menyebabkan penelitian lanjutan tentang pernikahan sirri sebelumnya, kehadiran dua orang saksi dianggap cukup, karena mobilitas manusia yang semakin meningkat dan kebutuhan akan alat bukti yang nyata. Meskipun
“pendaftaran” tidak termasuk dalam ruang lingkup syarat dan rukun nikah dari perspektif syariah, pencatatan nikah merupakan bagian dari bentuk alat pelindung negara. Warga Negara yang pernikahannya dilangsungkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan berbagai cara pencatatan perkawinan.
Hal ini diperjelas oleh Pasal 5 ayat (1) KHI yang berbunyi:
“Untuk menjamin ketertiban perkawinan dalam masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Demikian pula Pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa “perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pencatat Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum”. Padahal adat perkawinan yang berlangsung di masyarakat tidak sepenuhnya mengacu pada undang-undang. Beberapa orang mempraktekkan perkawinan dengan mengacu pada norma hukum Islam yang membolehkan perkawinan sirri, daripada hukum nasional positif yang dijadikan sebagai acuan otoritatif.
Akibatnya, pilihan hukum di sektor keluarga sering dipandang sebagai kekuatan Individu. Hal ini menciptakan kerentanan dalam hal
5
mata pencaharian, pilihan properti, dan perlindungan anak dan sementara keputusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini telah mengakui anak-anak dari pernikahan yang tidak terdaftar. Norma- norma hukum yang baru tidak mudah dalam banyak kasus karena prosesnya tidak mudah untuk membuktikan, tidak digunakan oleh publik untuk referensi.5
Perilaku sosial merupakan tindakan manusia yang dilatar belakangi oleh adanya suatu tujuan dan kebutuhan bagi seseorang.
Sedangkan perilaku keagamaan mengandung penjelasan sebagai
“suatu tanggapan atau reaksi Individu terhadap ajaran agama yang terwujud dalam gerakan (sikap). Hal ini menunjukan bahwa perilaku agama mencerminkan sikap keberagaman atau kesalehan hidup berdasarkan nilai-nilai ketuhanan,yang lebih mengarah pada pengamalan dan penghayatan sikap hidup seseorang sesuai dengan nilai-nilai agamanya masing- masing.
Nikah sirri kini menjadi polemik sebab pelaku nikah sirri sekarang bisa dicatat negara di Kartu Keluarga setelah puluhan tahun tidak diakui di UU Perkawinan. Sesuai UU Perkawinan, semua pernikahan haruslah dicatatkan ke negara. Pasal 2 ayat (2) Undang- undang Perkawinan yang menyatakan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang berlaku”. Pencatatan nikah diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik
5 Hamka Ishak, Putusan MK tentang Anak dari Hasil Perkawinan Sirri, (Bandung: Edukasi Press, 2014), 3.
6
Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan:
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Pelanggaran atas ketentuan pencatatan ini dapat dikenai sanksi pidana denda sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) yang menyatakan:“Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku, maka barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).”
Perkawinan wajib dicatatkan meski negara tidak mengakui pernikahan sirri masih banyak yang melakukannya. Akhirnya, lahir anak hasil pernikahan sirri, masalah pun muncul soal status anak tersebut siapa kedua orang tua anak itu. Kemendagri kemudian mengizinkan mencatatnya di Kartu Keluarga."Semua penduduk Indonesia wajib terdata di dalam kartu keluarga”Bagi yang nikah sirri bisa dimasukkan dalam satu Kartu Keluarga,"kata Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). 6
Akad yang pertama jika terpenuhi syarat dan rukunnya maka pernikahan sah. Dengan kedudukan sah secara syari’, maka dia boleh berhubungan badan. Jika nanti ada terjadi tajdidun menikah untuk
6 Peraturan Kemendagri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.
7
kepentingan proses perolehan buku nikah itu tidak menghapus keabsahan sebelumnya. Artinya, begitu ada nikah sirri kemudian menikah lagi di hadapan PPN itu bukan kebohongan publik. Jadi, tidak ada isu konteks tentang fiqih sama sekali. Dan juga dalam konteks aturan UUD 1945.
Merujuk pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan UU Perkawinan tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 5 ayat( 1 ) Intruksi Presiden nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebar luasan Komplikasi Hukum Islam (KHI), yang mengharuskan setiap perkawinan bagi masyarakat Islam. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Pencatatan perkawinan ini penting sekali sebab jika tidak dicatat meskipun sah di mata agama, namun perkawinan tersebut tidak diakui negara. Akibatnya, anak maupun istri dari perkawinan sirri tidak memiliki status hukum di hadapan negara.7
Anak yang dilahirkan oleh pasangan nikah sirri merupakan anak luar kawin. Akibatnya, anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.8
Apabila salah satu atau keduanya telah memiliki pasangan suami/istri yang sah, nikah sirri dapat memberi ruang delik perzinahan
7 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Komplikasi Hukum Islam.
8 Pasal 280 KUHPerdata.
8
sebagaimana yang diatur dalam pasal 284 Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang hanya bisa dituntut berdasarkan adanya pengaduan dari suami/istri (delik aduan). 9
Sehingga untuk mengatisipasi terjadinya konsekuensi hukum sebagaimana dimaksud di atas, sebaiknya segera mengajukan permohonan itsbat nikah di pengadilan Agama.
Namun demikian, peraturan dari Kemendagri menegaskan semua penduduk Indonesia wajib terdata di dalam Kartu Keluarga. Pasangan yang menikah sirri dapat dimasukan ke dalam satu (1) Kartu Keluarga.
Dengan demikian, maka pemberian Kartu Keluarga bagi pasangan nikah sirri dengan alasan agar anak yang lahir dapat tercatat dalam Kartu Keluarga dan memperoleh akta kelahiran bukanlah alasan logis. Hal ini dikarenakan ada atau tidaknya Kartu Keluarga dari orang tua anak tersebut, anak tetap dapat memperoleh akta kelahiran dan juga tercatat dalam Kartu Keluarga, meskipun status anak hanya sebagai anak ibu. 10
Sikap pemerintah yang memberikan kelonggaran dalam hal pemberian Kartu Keluarga bagi pasangan nikah sirri justru menunjukan adanya dukungan terhadap praktik nikah sirri atau pernikahan yang tidak tercatat. Hal tersebut bukanlah solusi yang tepat, karena justru mempertahankan persoalan sosial yang udah ada sejak lama.
Kemendagri menegaskan bahwa Dispenduk tidak menikahkan, tetapi hanya mencatat telah terjadinya perkawinan. Nantinya, di dalam
9 Pasal 284 KUHPidana.
10 http://youtu.be.be/_mPeO1AZzqE pada tanggal 15 Agustus 2022.
9
Kartu Keluarga akan dituliskan keterangan “kawin belum tercatat”.
Syamsul menerangkan untuk membuat Kartu Keluarga tersebut pasangan nikah sirri harus melampirkan surat pernyataan tanggung jawab Mutlak (SPTJM),kebenaran pasangan suami-istri diketahui oleh 2 orang saksi.11
Di satu sisi kebijakan tersebut harus dihargai karena mendukung kerapihan adminitrasi. Namun, solusi yang diberikan tersebut belum menyelesaikan permasalahan, bahkan mungkin berpotensi menimbulkan permasalahan baru, sebab dalam praktik nikah sirri dilangsungkan karena adanya kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan perkawinan tersebut dapat dicatatkan oleh negara, misalnya perkawinan poligami yang dilangsungkan tanpa izin istri pertama, perkawinan di bawah umur yang tidak mendapatkan dispensasi kawin dari pengadilan karena adanya halangan perkawinan.
Selain itu, juga menyinggung apakah dalam pengeluaran kebijakan tersebut sudah ada koordinasi dengan para pihak terkait seperti Pengadilan Agama dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementrian PPPA).
Sebenarnya, Pengadilan Agama telah memberikan solusi bagi pasangan nikah sirri yang perkawinannya belum tercatat dengan adanya itsbat nikah untuk mengesahkan perkawinan tersebut untuk kemudian diberikan akta nikah. Dengan adanya itsbat nikah, pengadilan bisa menyeleksi mana perkawinan yang memang benar sudah sesuai dengan
11 http://id.theasianparent.com/kartu-keluarga-pasangan-nikah-sirri pada tanggal 28 Juli 2022.
10
persyaratan perkawinan atau belum, serta dilakukan tanpa adanya larangan perkawinan. Hal ini penting mengingat calon mempelai yang memiliki larangan perkawinan dilarang untuk menikah. Sayangnya, masih banyak masyarakat awam yang belum memahami adanya larangan perkawinan ini.12
Selain itu, koordinasi dengan Kementerian PPPA juga penting dilakukan, sebab praktik nikah sirri ini kerap merugikan pihak perempuan dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Di sisi lain, kebijakan yang dikeluarkan tersebut berpotensi meningkatkan angka perkawinan tidak tercatat yang tentunya berpotensi merugikan lebih banyak perempuan dan anak.
Saat ini, pemerintah memperbolehkan pemberian Kartu Keluarga, pasangan nikah sirri dapat memperoleh Kartu Keluarga dengan syarat menyerahkan surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) yang diketahui oleh dua saksi. Adapun pembeda antara Kartu Keluarga bagi pasangan nikah sirri dan nikah resmi menurut hukum negara yaitu adanya kolom yang tertulis kawin belum tercatat pada Kartu Keluarga bagi pasangan nikah sirri. 13
Pencatatan perkawinan dalam syariat Islam pada mulanya, baik dalam al-Quran maupun al-Sunnah, tidak mengatur secara kongkret tentang adanya pencatatan perkawinan, akan tetapi dengan berbagai
12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
13 http://www.hukumonline.com/klinik/a/dasar-hukum-pengajuan-istbat-nikah-bagi-pasangan- kawin-sirri-It50a1e91040231 pada tanggal 1 Agustus 2022
11
pertimbangan kemaslahatan, maka hukum Islam di Indonesia mengaturnya.
Percatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan suatu upaya yang diatur dalam perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq Al-Galidan) perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam rumah tangga. Pencatatan perkawinan dibuktikan dengan akta nikah yang masing-masing suami istri memegang salinannya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi perselisihan atau percekcokan yang mungkin terjadi diantara mereka atau salah satu pihak tidak bertangung jawab. Maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing, akta yang dimiliki tersebut merupakan bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.14
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dapat dipahami bahwa pencatatan tersebut adalah syarat adminitrasif, artinya perkawinan tetap sah karena standar sah dan tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum, akibatnya yang timbul adalah apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dari perkawinan yang dilangsungkan.
14 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 107.
12
Keadaan demikian tentu saja bertentangan dengan misi dan tujuan dari perkawinan itu sendiri.
Tujuan positif agar semua warga negara memiliki Kartu Keluarga dan setiap anak mempunyai akta kelahiran, semestinya didukung dengan pembenahan birokrasi pengurusan adminitrasi pernikahan maupun kelahiran.
Pemberian Kartu Keluarga dengan kolom kawin belum tercatat juga pada kenyataannya belum memberikan kepastian kedudukan suami, istri maupun anak dalam perkawinan. Dengan demikian, apabila terjadi sesuatu dalam perkawinan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban secara optimal. Misalnya dalam hal terjadi kekerasan yang dilakukan dalam pernikahan sirri tersebut tidak dapat diterapkan Undang-undang KDRT karena status perkawinan tersebut belum sah menurut hukum Indonesia.
Hal lain yang patut diperhatikan yaitu adanya praktik nikah sirri karena alasan poligami yang tidak memenuhi ketentuan hukum yang berlaku. Apabila kemudian nikah sirri dengan rencana tersebut juga dimungkinkan untuk memperoleh Kartu Keluarga memungkinkan tercatatnya sesorang dalam lebih dari satu Kartu Keluarga. Selain itu, sangat meguntungkan bagi suami yang hendak melakukan poligami tanpa izin dari istri namun tetap dapat memperoleh Kartu Keluarga bersama istri barunya.
13
Secara logis, tidak adanya Kartu Keluarga bagi pasangan nikah sirri seharusnya dipertahankan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi angka perkawinan. Apabila pasangan yang hendak menikah menginginkan kepemilikan Kartu Keluarga yang baru serta status anak dalam akta kelahiran adalah anak ayah dan ibu. Pasangan tersebut seharusnya melakukan pernikahan yang sah dan tercatat. Tidak saja menurut hukum agama tetapi hukum negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Dalam hal ini, yang dimaksud adalah supaya keberadaan Kartu Keluaga bagi pasangan nikah sirri tidak dijadikan celah hukum untuk menguntungkan suami semata. Terlebih, dalam hal poligami tanpa persetujuan istri, pemenuhan kewajiban dalam keluarga juga adanya kepastian dan perlindungan yang diberikan oleh negara kepada semua pihak dalam perkawinan.
Oleh karena adanya pro dan kontra pemahaman di masyarakat, khususnya di Kota Kediri terhadap kebijakan Dispendukcapil dan pemerintah yang mewajibkan setiap warga negara yang nikah sirri mencatatkan ke dalam Kartu Keluarga dengan segala pertimbangan setiap orang yang berbeda-beda, maka peneliti ingin mempelajari lebih dalam dan menganalisa permasalahan berdasarkan latar belakang yang ada kemudian menuangkannya dalam sebuah karya ilmiah dengan judul
“Persepsi Tokoh Masyarakat Kota Kediri Terhadap Penerbitan Kartu Keluarga Bagi Pasangan Nikah Sirri”.
14 B. Fokus Penelitian
1. Bagaimana persepsi tokoh masyarakat Kota Kediri terhadap pernikahan sirri bisa memperoleh Kartu Keluarga?
2. Bagaimana hak dan kedudukan anak luar perkawinan dalam pewarisan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata?
C. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui persepsi tokoh masyarakat terhadap penerbitan Kartu Keluarga bagi pasangan nikah sirri di Kota Kediri.
2. Untuk mengetahui hak dan kedudukan anak luar perkawinan dalam pewarisan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian adalah manfaat yang dapat diperoleh dari suatu temuan peneliti dan selanjutnya kemanfaatan penelitian memberikan gambaran tentang kelayakan pertanyaan penelitian. Oleh karena itu, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Kegunaan teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menambah wawasan peneliti, mahasiswa hukum, dan masyarakat umum dalam bidang hukum keluarga Islam, khususnya mengenai pelaksanaan kegiatan perkuliahan bagi calon pengantin sebagai syarat pencatatan pernikahan.
2. kegunaan Praktis
a. Melalui penelitian ini diharapkan para peneliti dapat meningkatkan kecerdasan yang dengannya mereka melakukan penelitian,
15
khususnya syarat pendokumentasian pernikahan.
b. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan yang berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan, serta dalam literatur lembaga pendidikan khususnya mazhab hukum syariah, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan referensi tambahan mengenai anak dari pernikahan sirri yang dapat masuk Kartu Keluarga .
c. Hasil dari penelitian ini juga sangat diharapkan agar dapat memberi pengetahuan bagi masyarakat tentang pentingnya nikah sah secara agama dan hukum keluarga islam, sehingga dapat meminimalisir terjadinya nikah sirri.Dari penelitian ini peneliti juga mengharapkan agar nantinya masyarakat dapat terhindar dari pemikiran yang sempit dan juga pemahaman yang kurang benar terhadap anak dari pernikahan sirri yang dapat masuk Kartu Keluarga . Peneliti juga berharap agar penelitian ini nantinya bisa menambah wawasan baru yang bermanfaat bagi masyarakat.
E. Telaah Pustaka.
1. Jurnal, Cholidatul Rizky Amalia, dari Jurnal Cendekia Hukum pada tahun 2022 dengan judul “ Legalitas Penerbitan Kartu Keluarga Dalam Perkawinan Sirri” untuk mengetahui bagaimana aspek yuridis terkait legalitas Penerbitan Kartu Keluarga bagi pasangan nikah sirri dengan menganalisis sesuai dengan asas. Penelitian ini adalah penelitian Normatif yang menganalisis dan mengkaji peraturan perundang-undangan serta berdasarkan literatur perpustakaan. Hasil dari penelitian ini adalah
16
keabsahan Penerbitan Kartu Keluarga untuk perkawinan sirri adalah tidak dapat dikatakan sah. Perkawinan sirri sah dalam hukum agama akan tetapi di dalam hukum negara tidak dapat dikatakan sah, karena perkawinan yang resmi atau sah dalam hukum negara adalah perkawinan yang di catatkan dan dilakukan sesuai prosedur hukum negara. Akibat hukum penerbitan Kartu Keluarga untuk perkawinan sirri adalah dapat merugikan beberapa pihak, terutama istri dan anak. Status dari perkawinan sirri dalam hukum positif adalah tidak sah karena belum tercatatkan. 15
2. Skripsi Sulhanuddin Lubis “Implikasi nikah di bawah tangan terhadap proses permohonan penerbitan Akta Kelahiran anak menurut Undang- undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. Hasil dari penelitian ini adalah proses permohonan penerbitan Akta Kelahiran anak tidak lah sulit dan tidak lah berbelit-belit, asal pihak yang berkepentingan memenuhi prosedur dan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Hal ini disebabkan karena akta kelahiran tersebut penting sekali artinya dalam hal proses pendidikan.16
3. Jurnal ”Analisa Pencatatan Nikah Kawin Belum Tercatat Pada Kartu Keluarga dalam Persfektif Disdukcapil Kabupaten Puwakarta”. Hasil dari penelitian ini adalah pengembangan data base kependudukan yang beralih menjadi sistem informasi adminitrasi kependudukan menjadi solusi atas kebijakan pemerintah dalam pemenuhan hak adminitrasi kependudukan
15 Cholidatul Rizky Amalia,Legalitas Penerbitan Kartu Keluarga dalam Perkawinan Sirri, Vol 7 No.2 (maret 2022), 175
16 Sulhanudin, Implikasi Nikah di bawah tangan terhadap proses permohonan Penerbitan Akta Kelahiran Anak Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Jurnal Cendekia, Vol. 12 No. 12 Januari 2014
17
bagi pasangan suami istri dengan status kawin belum tercatat.17
4. Tesis Zed Bachmid “Tinjuan Sosiologi Terhadap Pernikahan Di Bawah Tangan diKecamatan Marawola”. Hasil dari penelitian ini adalah praktik pernikahan dibawah tangan yang terjadi di wilayah Kecamatan Marawola dipersepsikan sebagian masyarakat yang melakukan praktek pernikahan di bawah tangan merupakan suatu pernikahan yang hanya berdasarkan ketentuan agama namun tidak tercatat di KUA, karena Sebagian masyarakat yang melakukan pernikahan di bawah tanggan merupakan solusi praktis untuk menghalalkan hubungan antara suami istri.18
17 Yusup Setiawan, Analisa Pencatatan Nikah (Kawin belum tercatat ) pada Kartu Keluarga dalam perspektif Dispendukcapil Puwakarta, Vol 3, No. 2 (Juli 2022), 195- 218
18 Zed Bachmid, Tinjuan sosiologi Terhadap Pernikahan dibawah tangan, Tesis, (27 Nopember 2019), 69