• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sukma Ratu Kalinyamat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Sukma Ratu Kalinyamat"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Sukma Ratu Kalinyamat

Azan subuh berkumandang. Ayam jago berkokok kencang. Aku mengusap air mata, bangkit dari kasur tanpa dipan, dan bergegas mandi. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi, aku harus segera bersiap.

Pagi ini Mbah Kung menyuruhku untuk membantu Bapak bekerja. Sejujurnya aku sedikit merasa bersalah karena sudah terlalu lama berdiam diri di kamar dan jarang berbicara.

Maka dari itu aku menuruti ucapannya, meskipun sedikit terpaksa. Tapi di sisi lain, aku pikir sikapku akhir-akhir ini adalah hal yang lumrah. Aku bersikap seperti ini karena suatu hal yang tak pernah kubayangkan dan membuat kecewa.

Setelah mandi dan salat subuh, aku keluar rumah. Duduk di kursi teras sembari menunggu Bapak yang belum selesai bersiap. Peralatan bercocok tanam sudah ada di sebelah kursi yang kududuki. Sepertinya Mbah Kung yang menyiapkannya tadi malam untukku.

Aku menyapu pandangan, menatap sekeliling rumah yang masih nampak asing. Rumah tanpa cat yang terletak di sudut gang kecil. Rumah dengan pelataran yang tak luas, dihiasi dengan pot-pot tanaman berjejeran, beserta kandang ayam jago yang kosong di sudut kanan halaman. Ayam yang seharusnya ada di dalam kandang sedang berkeliaran berjalan tanpa arah di pelataran sembari memamerkan suaranya.

Sudah hampir seminggu aku menetap di sini, di rumah Mbah Kung. Tepatnya enam hari.

Suara derap langkah kaki menghentikan lamunanku. Aku bangkit dari duduk karena sedikit terkejut, Bapak rupanya. Aku mengambil topi caping bambu dan memakainya, berusaha menutupi mataku yang sembab dan bengkak. Bagaimana tidak bengkak jika hampir setiap waktu kegiatanku hanya menghamburkan air mata?

Aku tak berani menyapa Bapak. Rasanya canggung sekali karena akhir-akhir ini aku jarang bertemu dengannya.

“Arnia duduk di depan rumah mau ngapain? Mau Bapak antar daftar sekolah?” tanya Bapak lembut memecah keheningan. Dibawanya peralatan bercocok tanam. Aku menunduk, tidak berani menatap wajah Bapak. Siapa juga yang mau sekolah?

“Disuruh Mbah Kung ikut Bapak ke sawah,” jawabku lirih, tetap dengan wajah yang menunduk.

Bapak meraih daguku ke atas dengan kedua tangannya, sehingga aku bisa melihat jelas raut wajah Bapak. Raut wajah yang tak pernah berubah, selalu terlihat teduh dan damai. Yang berubah hanyalah kerutan-kerutan halus di sekitar mata dan bibir yang semakin terlihat.

(2)

Terkadang aku sebal dengan ekspresi Bapak yang tak pernah berubah. Apapun kondisinya, bagaimanapun keadaan hatinya, Bapak selalu terlihat tenang.

“Duh, anak Bapak satu ini… Sudah, kamu di rumah saja, nunggu adik pulang sekolah.

Biar Bapak yang bilang sama Mbah Kung,” ujar Bapak sembari melepaskan topi caping yang kugunakan. Aku mengangguk, mengiyakan perintah Bapak.

Bapak masuk ke rumah kembali untuk berpamitan kepada Mbah Kung dan mengizinkanku tidak ikut ke sawah dengannya. Setelah itu, Bapak keluar rumah kembali.

Bapak mengusap halus kepalaku, “Bapak berangkat dulu ya…” pamitnya. Aku mengangguk.

“Bersabarlah sedikit ya, Nak. Beberapa saat lagi, kita akan kembali ke kota,” ujarnya.

Dengan spontan aku menepis tangan Bapak yang mengusap kepalaku, sakit hati mendengar ucapannya. Sekejap ia tersontak, namun dengan cepat mengendalikan ekspresi wajahnya.

“Tidak usah memberi harapan, Pak. Beberapa saat lagi itu kapan? Arnia tahu hal itu tidak akan pernah terjadi. Arnia bukan anak kecil yang gampang ditipu sama janji palsu, Pak.”

ujarku dengan suara yang sedikit keras. Aku melewati Bapak begitu saja, kembali ke kamar.

Sesampainya di kamar, aku langsung menghempaskan diri di kasur. Dengan badan tengkurap dan wajah tertutup bantal, aku menangis sesegukan. Ah, baru tadi pagi aku berhenti menangis, mengapa aku seperti ini lagi?

Seperti yang sudah kuceritakan, enam hari ini aku menetap di rumah Mbah Kung.

Tepatnya di Desa Banyuputih, salah satu desa di Jepara. Sebelumnya, aku tinggal di Ibukota Jakarta bersama Bapak dan adikku, Ratna. Sedangkan Ibu telah tiada semenjak Ratna lahir.

Kami tinggal berkecukupan di sana. Bukan lagi berkecukupan, tapi bisa dikatakan berlebih.

Sebelumnya Bapak adalah seorang pengusaha. Kami tinggal di rumah yang mewah.

Bapak juga memperkerjakan banyak orang untuk memastikan rumah kami selalu bersih, nyaman, dan aman. Bapak pun menyekolahkan aku dan Ratna di sekolah elite. Bapak selalu memperlakukan kami seperti putri kerajaan.

Namun hari itu, seseorang seperti sengaja melempar batu besar ke arahku. Secara tiba- tiba, tiga orang pria berbadan besar datang ke rumah. Mereka berkata bahwa aku, Ratna, dan Bapak tidak bisa lagi tinggal di rumah kami. Kami diberi waktu dua hari untuk angkat kaki dari rumah. Dan ternyata, tiga pria tersebut membawa banyak anak buah. Mereka mengangkuti beberapa perabotan rumah dan membawanya dengan mobil pick up. Tiga pria tersebut juga memasang papan pengumaman bertulis “Rumah ini Disita” di halaman rumah.

(3)

Bapak ditipu oleh rekan kerjanya. Uang perusahaan dibawa lari oleh orang tersebut.

Perusahaan pun bangkrut. Dan hal yang tak kusangka, Bapak memiliki hutang dalam jumlah yang besar. Sosok Bapak yang selama ini kukenal sederhana, memiliki hutang yang tak dibayar sejak lama. Dan ya, rumah kami adalah jaminan untuk itu semua.

Di hari itu juga, sebelum tiga sosok pria datang ke rumah, sekolah mengumumkan siapa saja siswa yang lolos mengikuti pertukaran pelajar. Pertukaran pelajar adalah acara yang semenjak dulu kuimpi-impikan. Aku sangat bekerja keras supaya bisa mengikuti kegiatan itu.

Namun hasil mengkhianati usahaku. Namaku tidak ada di sana. Aku sangat sedih dan putus asa. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Bapak memutuskan untuk mengeluarkanku dan Ratna dari sekolah. Jujur saja, hari itu aku merasa semua orang membenciku dan tak ingin melihat aku bahagia. Dan Bapak, adalah salah satu dari semua orang itu. Semenjak itu, rasa benci terhadap Bapak tertanam lekat di hatiku.

Tok Tok Tok…!

Seseorang membuka pintu kamar. Aku membuka mata. Ternyata aku menangis hingga tertidur untuk yang kesekian kalinya. Aku mengucek-ngucek mata, mencoba memperjelas pandanganku yang masih buram. Aku melihat jam dinding, sudah jam delapan pagi rupanya.

“Arnia, Mbah Kung membuat dua gelas kopi. Tolong temani Mbah Kung minum kopi di depan,”

Mbah Kung rupanya. Aku mengangguk pasrah dan mengikutinya keluar kamar. Kami berjalan menuju depan rumah, duduk di kursi halaman.

“Arnia, lihatlah! Langit hari ini sangat cerah, bukan?” ujar Mbah Kung membuka percakapan. Aku mengangguk kembali, masih belum sadar sepenuhnya.

“Satu minggu ini, cuaca sangat bersahabat. Matahari selalu bersinar, hujan deras juga tak datang. Sepertinya, hujan berpindah ke dirimu,” ujar Mbah Kung lagi. Aku telah sadar sepenuhnya. Aku mengerti maksud Mbah Kung, namun aku hanya diam tak membalas ucapannya.

“Mau sampai kapan kamu seperti ini, nduk? Setiap hari di kamar hanya menangis saja.

Air matamu banyak sekali rupanya. Apa ndak capek kamu?”

“Kamu ndak mau sekolah? Teman-teman seumuranmu lho, pada asyik bermain, belajar bareng. Ratna juga sudah kerasan di sekolah barunya. Kamu malah diem ngelamun di kamar, nangis sampai ketiduran. Bangun tidur nangis lagi. Keluar kamar cuma buat makan sama ke kamar mandi. Apa kamu mau tak nikahin saja?”

(4)

Sontak aku menggelengkan kepala. Menikah? Yang benar saja! Aku kan baru kelas dua SMA.

Aku pun langsung membalas ucapan Mbah Kung, “Mbah Kung mboten ngertos apa yang Arnia rasakan. Buat apa Arnia sekolah kalau akhirnya nggak bisa kuliah? Buat apa Arnia sekolah kalau akhirnya nggak bisa meraih cita-cita?”

“Kemarin saja, ketika Arnia masih sekolah, Arnia tidak lolos seleksi pertukaran pelajar se-Jakarta. Padahal Arnia sekolah di sekolah bergengsi yang terkenal dengan siswanya yang pintar-pintar. Apalagi sekarang? Sekolah di sini pasti berbeda dengan sekolahku yang dulu.

Keadaan sekarang pun sangat tidak mendukung, Mbah Kung…” lanjutku.

“Lho… memang Arnia sudah tahu sekolahnya? Terus Arnia maunya gimana? Atau mau jadi petani saja tanpa sekolah?”

Aku pun terdiam, tak tahu mau menjawab apa. Begitu juga dengan Mbah Kung, ia tak meneruskan dialog yang baru saja dibicarakan. Perdebatan itu pun terhenti. Mbah Kung menyeruput kopi panas di depannya sembari menikmati pahitnya kopi. Ucapan Mbah Kung tadi benar-benar berputar di kepalaku.

“Nduk, kamu ingat Ratu Kalinyamat?” tanya Mbah Kung membuka kembali percakapan.

Ratu Kalinyamat? Rasanya aku akrab dengan sebutan itu. Aku mencoba mengingat- ingat kembali. Di mana aku mendengarnya?

“Dua tahun lalu, Mbah Kung mengajakmu lihat arak-arakan di pinggir jalan malam itu.

Namanya Pesta Baratan, kau ingat?” ujar Mbah Kung kembali mencoba mengeruk ingatanku.

Ya! Aku ingat sekarang. Aku melewatkan jam tidurku supaya bisa menonton arak- arakan tersebut. Mbah Kung pernah bilang, Pesta Baratan dilaksanakan satu tahun sekali pada tanggal 15 Syakban, bertepatan dengan Malam Nisyfu Syakban. Jalanan ramai oleh orang yang menunggu arak-arakan itu. Dari mulai bayi, balita, sampai orang tua semua ada. Dan aku mengerti mengapa mereka sangat antusias.

Arak-arakan itu diawali dengan perempuan-perempuan yang berdandan sedemikian rupa seperti seorang dayang kerajaan. Kemudian ada sosok pria yang berdandan bak seorang raja di belakangnya. Ada juga bapak-bapak dengan baju serba hitam memainkan pecut seperti orang kesurupan. Dan yang paling menarik adalah sosok yang paling dinanti-nanti, Ratu Kalinyamat. Pemeran Ratu Kalinyamat memiliki rambut yang sangat panjang dan memakai baju kesatria. Bagaikan pahlawan, dengan gagah dan anggunnya sosok Ratu Kalinyamat menunggangi kuda melewati orang-orang yang berdesakan. Rombongan Ratu Kalinyamat itu akan berkeliling ke beberapa desa dan berhenti di titik yang sudah ditentukan. Setelah sampai,

(5)

mereka akan memainkan drama musikal. Aku tidak tahu mengapa suasana saat itu sedikit mencekam, namun justru itu membuatku terkesan.

“Jadilah seperti Ratu Kalinyamat, Arnia.” ujar Mbah Kung.

Menjadi seperti Ratu Kalinyamat, apa maksudnya?

“Konon katanya, suami Ratu Kalinyamat, Sultan Hadirin, dibunuh oleh Arya Penangsang di Mayong. Ratu Kalinyamat membopong Sultan Hadirin menyusuri desa saat dirinya kesakitan, hingga sampai ke Purwogondo. Tak hanya suaminya, adiknya, Sunan Prawoto, juga mati karena dibunuh Arya Penangsang. Ia pun bersumpah membalas dendam atas kematian orang yang dicintainya. Ratu Kalinyamat bertekad melakukan tapa wuda hingga ia berhasil keramas dengan darah Arya Penangsang serta memakai kepala Arya Penangsang sebagai alas kaki. Pesta Baratan sendiri dilaksanakan untuk memperingati kematian suaminya, Sultan Hadirin,” ujar Mbah Kung dengan semangat membara.

Aku merinding mendengar penjelasan Mbah Kung. Baru pertama kali aku mendengar cerita seperti ini. Sebesar itu cinta Ratu Kalinyamat terhadap suaminya. Namun aku masih tidak mengerti, mengapa aku harus menjadi seperti Ratu Kalinyamat?

“Tapi di balik cerita mencekam itu, ada kisah lain tentang Ratu Kalinyamat yang sangat hebat. Sejak gadis, Ratu Kalinyamat sudah diutus menjadi Adipati Jepara. Jepara, Demak, Kudus, Rembang, dan Blora, saat itu menjadi daerah kekuasaannya,” ucap Mbah Kung menjelaskan.

“Keren sekali!” celetukku.

Mbah Kung menggeleng, “Wah, itu belum seberapa. Berdasarkan sejarah, dahulu Ratu Kalinyamat pernah diminta bantuan pasukan untuk menyerang Portugis di Malaka oleh Raja Johor. Ratu Kalinyamat menyanggupi dan mengirimkan empat puluh kapal pasukan. Ada sampai lima ribu prajurit dikirim untuk melawan Portugis ke Malaka,” lanjut Mbah Kung. Aku ternganga, hebat juga.

Mbah Kung menyeruput kopi di depannya lagi. Aku tak sabar mendengar lanjutan dari cerita Mbah Kung. Aku menatapnya lamat-lamat, berharap Mbah Kung selesai menyeruput kopinya.

“Tapi sayang sekali, pasukan Portugis terlalu kuat. Dua ribu prajurit yang dikirim Ratu Kalinyamat gugur, dua puluh kapal terdampar dan menjadi jarahan Portugis,” ujar Mbah Kung kembali. Aku sedikit kecewa. Ternyata, akhir ceritanya tak seperti yang kuharapkan.

“Arnia tahu apa yang membuat Mbah Kung bangga dengan Ratu Kalinyamat?” tanya Mbah Kung. Aku berpikir sebentar, kemudian menggelengkan kepala.

(6)

“Meskipun gagal, Ratu Kalinyamat tidak menyerah begitu saja. Semangat menghancurkan Portugis terus berkobar di hatinya! Tiga tahun kemudian, Ratu Kalinyamat mengirim pasukan kembali melawan Portugis. Armada Jepara kali ini membawa pasukan yang lebih banyak dan lebih kuat. Ada setidaknya tiga ratus buah kapal dikerahkan. Kapal-kapal itu membawa lima belas ribu prajurit pilihan dengan banyak perbekalan,” ujar Mbah Kung kembali semangat. Aku pun ikut takjub mendengarnya.

“Lalu akhirnya bagaimana, Mbah Kung?” tanyaku penasaran.

“Armada Jepara bisa bertahan selama tiga bulan melawan Portugis. Namun karena kurangnya perbekalan dan banyaknya prajurit yang berguguran, mereka gagal memenangkan perang. Yah, itu wajar saja. Teknologi mereka saat itu kalah jauh dari Portugis,” jawab Mbah Kung. Aku mengangguk mengerti. Meskipun gagal, dari cerita Mbah Kung aku mengerti, Ratu Kalinyamat memang wanita yang hebat.

“Asal Arnia tahu, Kebesaran Ratu Kalinyamat sudah diakui banyak orang pada masanya. Bahkan penulis dari Portugis pernah melukiskaan Ratu Kalinyamat sebagai Rainha de Jepara, senhora paderosa e rica. Artinya adalah Ratu Jepara, wanita kaya dan sangat berkuasa,” lanjut Mbah Kung dengan ekspresi yang bangga. Aku berkali-kali dibuat takjub dengan kisah Ratu Kalinyamat. Mulutku tak berhenti menganga karena kehebatannya.

Percakapan kami berhenti sebentar. Aku menyeruput kopi yang belum ku sentuh sama sekali. Sudah tak panas lagi ternyata. Baru pertama kali ini aku minum kopi hitam asli, pahit sekali rasanya!

“Sekarang Arnia mengerti kan, apa maksud Mbah Kung?” tanya Mbah Kung.

Aku berpikir sebentar. Mencerna baik-baik semua ucapan Mbah Kung. Cerita Ratu Kalinyamat tadi memang sangat berkesan.

Tiba-tiba, secercah cahaya seperti menyinari hati dan pikiranku. Mataku berbinar.

Sontak aku bangkit dari duduk dan mengangguk. “Arnia tahu, Mbah Kung!” seruku.

Aku bergegas masuk ke kamar untuk bersiap-siap. Saat ini ada tempat yang harus kudatangi. Setelah siap, aku berpamitan kepada Mbah Kung. Beruntungnya, Mbah Kung mengizinkanku pergi dengan senyum di wajahnya.

Tak butuh waktu lama, aku telah sampai di tempat yang kutuju. Aku menyapu pandangan, mencari sosok yang kucari-cari.

“Bapak! Bapak!” seruku memanggil Bapak yang tengah berisitrahat di gubuk kecil.

Gubuk itu terletak di tengah-tengah sawah.

Bapak menoleh dan melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangannya. Tak lama, ia pun menghampiriku.

(7)

“Ada apa Arnia? Ada apa?” tanya Bapak. Ia terlihat khawatir melihatku yang tiba-tiba menghampirinya ke sawah. Tangannya menyeka keringat yang bercucuran di wajahnya.

Sepertinya, ini pertama kali aku melihat raut wajah khawatir Bapak.

“Antarkan Arnia ke sekolah, Pak! Arnia mau daftar sekolah!” ujarku sembari menunjukkan tas ransel yang kubawa. Ya, aku tak akan melepaskan masa depanku begitu saja sekarang. Aku harus berusaha semampuku. Aku harus berjuang bagaimanapun keadaannya.

Aku tidak boleh menyerah atas segala hal yang belum aku lalui. Aku sadar sekarang. Bapak tersenyum. Ia mengusap kepalaku pelan sembari mengangguk.

Bapak kembali ke gubuk sebentar, berpamitan kepada teman-temannya. Tak lama, Bapak kembali menghampiriku.

“Ayo, Bapak antar sekarang!” seru Bapak sembari menggandeng tanganku.

Karena jarak yang tak jauh, kami berangkat menuju sekolah dengan berjalan kaki.

Sepanjang jalan, aku dan Bapak tak berhenti bicara. Kami membicarakan apa saja. Sembari melepas rindu, karena meskipun kami seatap, aku jarang sekali bertemu Bapak. Kau tahu sendiri, kan?

“Bapak, maafkan Arnia ya, yang tadi pagi. Arnia salah karena telah membentak Bapak.

Maafkan Arnia juga karena telah menyalahkan Bapak atas kejadian yang menimpa keluarga kita,” celetukku di tengah perjalanan. Kami berhenti sejenak. Bapak melepaskan genggaman tangannya, mengusap kepalaku sekali lagi.

“Bapak paham mengapa Arnia seperti itu. Bapak sudah memaafkan sejak lama. Senang melihatmu kembali semangat dan tidak menyerah. Maafkan Bapak juga karena kejadian tak enak ini. Bapak akan berjuang supaya Arnia bisa menggapai apa yang Arnia cita-citakan,”

balas Bapak.

Aku menggeleng, “Tidak, Pak. Bapak tak perlu meminta maaf. Ini semua sudah takdir Tuhan,” jawabku sembari tersenyum lebar. Tentu saja Bapak membalas senyumanku dengan sunggingan yang tak kalah lebar.

“Kau memang seperti namamu, anakku. Arniayati Adriani, Perempuan tangguh dan kuat seperti elang!”

Aku tersenyum. Rasanya damai sekali. Meskipun aku tak punya gambaran jelas tentang masa depanku, setidaknya aku tahu apa yang harus kulakukan. Sukma Ratu Kalinyamat merasuk dalam jiwaku. Aku harus tetap berjuang.

(8)

Daftar Kata Tidak Baku

Mbah Kung : panggilan untuk kakek di Jawa Tengah, dari kata Mbah Kakung Ndu : panggilan untuk anak perempuan dalam Bahasa Jawa

Ndak : tidak

Mboten ngertos : tidak tahu

Tapa wuda : sebutan untuk ritual bertapa Ratu Kalinyamat yang konon dilakukan dengan tanpa berbusana, tapi tubuh tertutup oleh rambut panjangnya.

Referensi

Dokumen terkait

Selain biodiesel dan bioethanol, diperkirakan BBG juga dapat bersaing dengan minyak solar dan bensin, sehingga pada tahun 2025 kontribusi BBG di sektor transportasi meningkat

Pengambilan gambar dan pengujian aflatoksin dilakukan secara berkala setiap 2 minggu sekali untuk mendapatkan gambar yang bisa mewakili tingkat keamanan seperti biji jagung

• Pada kegiatan ini kita akan mem*elajari angka se'agai salah satu km*nen sistim Pada kegiatan ini kita akan mem*elajari angka se'agai salah satu km*nen sistim gerak

Namun 3 (tiga) bulan kemudian Manajer C meninggal dunia karena Kecelakaan, maka Penerima Manfaat Manajer C menerima 100% (seratus persen) Uang Pertanggungan Asuransi Jiwa

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memvariasikan konsentrasi kitosan yang digunakan sebagai bahan matriks ataupun meneliti pola pelepasan obat dari matriks kitosan

Sebagai langkah awal pencegahan, peningkatan pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi harus ditunjang dengan materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang

Karena bentuknya yang kecil, manis, dengan harga terjangkau dan berfungsi sebagai aksesoris yang dapat dipakai dimanapun, pin dapat menjadi media promosi yang efektif untuk film