a.n. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL
Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M., ACCS.
NIP. 196611181994031001 REPUBLIK INDONESIA
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
SURAT PENCATATAN
CIPTAAN
Dalam rangka pelindungan ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan ini menerangkan:
Nomor dan tanggal permohonan : EC00202031798, 8 September 2020 Pencipta
Nama : Dr. Iswinarti, M.Si
Alamat : Landungsari Permai F / 3, RT.001 RW.006 Kelurahan Landungsari, Kecamatan
Dau, Malang, Jawa Timur, 65151
Kewarganegaraan : Indonesia
Pemegang Hak Cipta
Nama : UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Alamat : Jalan Raya Tlogomas No. 246, Malang, Jawa Timur, 65144
Kewarganegaraan : Indonesia
Jenis Ciptaan : Buku
Judul Ciptaan : Alat Ukur Kompetensi Sosial Untuk Anak Sekolah Dasar
Tanggal dan tempat diumumkan untuk pertama kali di
wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia : 10 Agustus 2020, di Malang
Jangka waktu pelindungan : Berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali dilakukan Pengumuman.
Nomor pencatatan : 000201711
adalah benar berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Pemohon.
Surat Pencatatan Hak Cipta atau produk Hak terkait ini sesuai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Dr. Iswinarti, M.Si. Psikolog
ALAT UKUR KOMPETENSI SOSIAL UNTUK ANAK SEKOLAH DASAR
Dr. Iswinarti, M.Si. Psikolog
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
i
Alat Ukur Kompetensi Sosial untuk Anak Sekolah Dasar iii, 42 hlm dan ilustrasi
Iswinarti
Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Tlogomas 246 Malang 65144 e-mail: iswinarti.psi@gmail.com
Edisi pertama
Agustus 2020
ii
KATA PENGANTAR
Tiada untaian kata yang indah selain mengucap rasa syukur kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang mana telah membawa umatnya menuju zaman terang benderang bercahayakan iman, islam, dan ikhsan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Piskologi Universitas Muhammadiyah Mlaang yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian alat ukur Kompetensi Sosial.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada expert judgment: Ari Firmanto, M.Si., Dr. Diyah Karmiyati, M.Si., Dr. Cahyaning Suryaningrum, M.Si., Dr. Nida Hasanati, M.Si., Diantini, M.Psi. Dr. Djudiah, M.Si., Ni’matuzzahroh, M.Si., Siti Mauimunah, M.Si. yang telah memberikan penilaian atas kelayakan alat ukur Kompetensi Sosial. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada asisten Laboratorium Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang dan UPT Bimbingan Konseling Universitas Muhammadiyah Malang yang telah membantu dalam pengambilan data.
Penulis menyadari dalam penyusunan karya tulis ini terdapat kekurangan yang perlu dilengkapi untuk kemajuan yang lebih baik. Penulis berharap mendapatkan masukan, koreksi, dan saran untuk melengkapi kekurangan tersebut. Semoga ALLAH SWT senantiasa melindungi dan meridhoi atas segala yang tertulis dalam karya tulis ini.
Penulis
Iswinarti
iii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... ii
Daftar Isi ... iii
Pendahuluan ... 1
Kajian Pustaka ... 5
Kompetensi Sosial ... 5
Pengertian Kompetensi Sosial ... 5
Aspek-aspek Kompetensi Sosial ... 6
Perkembangan Kompetensi sosial ... 12
Perkembangan aspek problem solving, pengendalian diri, kerja sama, dan empati ... 14
Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi sosial ... 19
Metode Penelitian ... 24
Penyusunan skala kompetensi sosial ... 24
Uji coba dan perhitungan reliabilitas alat ukur kompetensi sosial ... 28
Hasil dan Pembahasan ... 30
Daftar Pustaka ... 39
1
PENDAHULUAN
Kompetensi sosial merupakan kemampuan yang mengacu pada keterampilan sosial, emosional, kognitif, dan perilaku yang dibutuhkan oleh anak untuk berhasil dalam penyesuaian sosial (Welsh & Bierman, 2006). Kemampuan tersebut membantu anak untuk menyelesaikan tanggung jawab dan mengelola tanggung jawab untuk menangani pengalaman sosial dan emosional (Jones dkk, 2015). Hal tersebut menjadi fondasi anak dalam menyesuaikan diri dengan tantangan di masa depan. Kemampuan dalam berinteraksi secara sosial berkontribusi untuk kesuksesan jangka pendek dan jangka panjang (Carter dkk, 2014). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang kompetensi sosialnya rendah akan mengarah pada perilaku bermasalah pada tahapan perkembangan berikutnya. Anak dengan fungsi sosial dan emosional yang kurang, berpotensi menyebabkan berbagai masalah seperti penyalahgunaan obat-obatan, agresi, kekerasan, hingga kriminalitas (Jones dkk, 2015). Kompetensi sosial yang baik akan menyumbang pada kesehatan fisik dan mental yang baik pula (Spitzberg, 2003).
Akhir-akhir ini sering terjadi kasus pada anak yang kurang menggambarkan komponen- komponen kompetensi sosial yang telah dipaparkan sebelumnya. Seperti kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak usia sekolah dasar kepada teman sekelasnya sendiri, dimana mereka sering mencemooh satu sama lain (Liputan 6, 2015). Seorang pelajar kelas VI Sekolah Dasar nekat menenggak pembersih lantai di kelas hanya gara-gara dimarahi gurunya (Jawa Pos, 2011).
Seorang anak kelas 3 Sekolah Dasar melakukan penganiayaan terhadap anak kelas 1 dengan cara mengunci anak di dalam toilet, membenturkan kepala ke tembok, menampar, mencubit, dan mengguyur tubuh dengan selang closet kamar mandi (Mommiesdaily, 2011). Seorang anak Sekolah Dasar menusuk temannya dengan pisau berkali-kali karena diminta mengembalikan
2
handphone yang telah diambilnya (Tempo, 2012). Puluhan siswa SD melukai tangannya sendiri
menggunakan silet, dimana berawal dari seorang anak yang dimarahi kakak kandungnya kemudian melukai tangannya. Hal tersebut terlihat oleh teman-temannya dan mereka meniru perbuatan melukai tangannya (Tribunnews.com, 2020).
Para orang tua masih mengeluhkan penerapan kompetensi sosial anak pada usia sekolah (Iswinarti, Fasichah, & Sulismadi, 2007). Anak-anak dalam menyelesaikan masalah cenderung menggunakan jalan pintas dan berorientasi pada hasil, ketika mengerjakan tugas ingin cepat- cepat selesai, ketika mempunyai masalah cenderung emosional dan marah-marah, ketika mempunyai keinginan harus segera dituruti. Meskipun para orang tua mengakui bahwa anak- anak tidak sampai melakukan kekerasan tetapi beberapa perilaku seperti mengejek teman maupun menyerang saudaranya masih sering dilakukan. Dalam kehidupan sehari-hari para orang tua juga mengeluhkan anak-anak yang sering memaksakan kehendak dan kurang toleran terhadap orang lain. Beberapa orang tua juga mengeluhkan anaknya yang ketika bertengkar dengan saudara ataupun temannya sering berujung pada pemukulan maupun perkelahian.
Kenyataan yang dipaparkan di atas menjadi fenomena yang memprihatinkan mengingat masa anak merupakan dasar perkembangan selanjutnya yaitu masa remaja dan masa dewasa.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak yang mempunyai perkembangan kompetensi sosial yang positif akan mempunyai hubungan yang baik dengan teman sebaya maupun orang dewasa, mereka mampu bekerjasama, dapat mengatasi konflik dengan baik, mempunyai kemampuan mengatasi masalah, sebaliknya anak yang mempunyai kompetensi sosial rendah berisiko terlibat dalam permasalahan penyesuaian yang negatif seperti agresivitas, kenakalan, penyalahgunaan obat, dan kegagalan dalam bersekolah (Voogler-Lee & Kupersmidt, 2011).
3 Kompetensi sosial tidak hanya dapat memprediksikan perilaku yang negatif tetapi juga dapat memprediksikan prestasi akademik anak. Menurut Chen dkk. (2013) berkembanganya kompetensi sosial anak-anak di lingkungan sosial mereka, berkaitan dengan perilaku positif dan keberhasilan di sekolah. Keterampilan sosial yang diperoleh sejak dini dapat mempengaruhi pencapaian akademik jangka panjang (Rabiner dkk., 2016; Veziroglu-Celik & Acar, 2018).
Elliott dkk. (2015) menyampaikan bahwa keterampilan sosial yang dimiliki anak-anak penting karena dapat memfasilitasi pengembangan hubungan yang saling mendukung dengan orang lain, memungkinkan keterampilan dalam akademik, dan pertumbuhan emosional yang positif.
Kompetensi sosial berpengaruh terhadap prestasi akademik anak usia sekolah. Penelitian Rhoades, Warren, Dominitrovich, dan Greenberg (2010) tentang pengaruh kompetensi sosial- emosional pada anak TK terhadap prestasi akademik anak saat kelas satu sekolah dasar dan hasilnya menunjukkan pengaruh signifikan. Hasil penelitian tersebut mendukung implementasi kurikulum untuk menekankan pentingnya pendidikan dalam pengembangan kompetensi sosial- emosional sebagai strategi untuk memperoleh kesuksesan akademik di masa perkembangan berikutnya.
Upaya untuk mengukur kompetensi sosial diperlukan untuk mengetahui perkembangan sosial anak. Dengan mengetahui perkembangan sosial anak, maka dapat dilakukan deteksi dini mengenai kompetensi sosial anak dan mengantisipasi jika terjadi gangguan atau permasalahan dalam perkembangan sosial anak. Maka dari itu diperlukan alat ukur kompetensi sosial anak.
Seperti Social Competence (Scale A) terdiri atas 32 aitem yang disusun oleh Hukkelberg &
Ogden (2019) pada partisipan anak-anak di Norwegia. Alat ukur tersebut disusun berdasarkan aspek hubungan pertemanan (15 aitem) dan pengaturan/kontrol diri (17 aitem). Aspek tersebut tidak jauh berbeda dengan alat ukur yang disusun dalam penelitian ini yaitu problem solving,
4
kerja sama, empati, dan kontrol diri. Alat ukur Social Competence disusun menggunakan skala Likert dengan lima alternatif jawaban (dari 1= tidak pernah hingga 5= selalu). Skala dalam penelitian ini tidak disusun dalam pernyataan diri. Subjek diminta untuk memberi penilaian.
Skala tersebut disusun atas beberapa permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dan anak diminta untuk memutuskan sikap yang diambil dalam memutuskan permasalahan tersebut. Maka dari itu tujuan penelitian ini yaitu untuk mengembangkan instrumen Skala Kompetensi Sosial yang disesuaikan dengan perkembangan usia anak akhir. Penelitian ini disusun juga untuk mengukur validitas dan reliabilitas Skala Kompetensi Sosial, sehingga nantinya dapat digunakan pada anak-anak.
5
KAJIAN PUSTAKA
Kompetensi Sosial
Pengertian Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial merupakan istilah yang mempunyai beberapa kemungkinan pengertian. Secara konseptual kompetensi sosial merupakan interaksi antara kemampuan individu dalam berbagai setting sosial (Bloom, 2009). Kompetensi sosial mengacu pada kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain, membantu, berkolaboratif, melakukan negosiasi, menerima kompromi, dan bahagia dengan pencapaian diri sendiri (Colonnesi dkk., 2019). Dalam kehidupan masyarakat akhir-akhir ini kompetensi sosial diartikan sebagai kemampuan individu merencanakan strategi untuk berinteraksi dengan orang lain dalam realitas perubahan sosial yang terjadi di sekelilingnya (Priamikova, 2010).
Konsep tentang kompetensi sosial (sosial competence) sering dibedakan dengan istilah keterampilan sosial (social skill). Konsep sosial skill lebih merupakan perilaku yang secara spesifik yang diperlukan untuk melaksanakan tugas secara penuh, sedangkan pengertian kompetensi sosial lebih bersifat umum yaitu bagaimana seseorang mampu melaksanakan tugas- tugas sosial secara tepat (Hupp dkk., 2009). Keterampilan sosial merupakan bagian dari kompetensi sosial (Findlay & Coplan, 2008), sementara para ahli lain menggunakan konsep keterampilan sosial untuk mengungkap kompetensi sosial (Cotugno, 2009). Menurut Welsh &
Bierman (2006) kompetensi sosial mengacu kepada keterampilan sosial, emosional, kognitif, dan perilaku yang dibutuhkan oleh anak untuk berhasil dalam penyesuaian sosial.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian kompetensi sosial secara umum merupakan kemampuan seseorang untuk melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan
6
tuntutan sosial sehingga dapat berhasil dalam melakukan penyesuaian sosial. Istilah kompetensi sosial lebih merupakan kemampuan yang bersifat umum, sedangkan keterampilan sosial merupakan kemampuan yang merupakan bagian dari kompetensi sosial.
Aspek-aspek Kompetensi Sosial
Aspek kompetensi sosial yang digunakan dalam penelitian-penelitian tentang kompetensi sosial yang dijumpai seringkali tidak menggunakan konstruk tunggal. Aspek-aspek yang digunakan untuk melakukan pengukuran terhadap kompetensi sosial juga sangat bervariasi. Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa kompetensi sosial berkaitan dengan kemampuan pengaturan emosi (Blair dkk., 2015), attachment security (Groh dkk., 2014), dan theory of mind (Devine dkk., 2016). Berdasarkan penelusuran literatur dari 16 jurnal hasil penelitian tentang kompetensi sosial pada anak usia sekolah diketahui bahwa semua peneliti menggunakan aspek yang bervariasi dalam mengukur kompetensi sosial. Aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati merupakan aspek yang paling sering digunakan. Gambaran tentang pemilihan aspek kompetensi sosial dalam berbagai penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Berikut ini dipaparkan gambaran tentang aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati yang dipilih sebagai aspek dalam penelitian kompetensi sosial.
1) Aspek problem solving
Arnold & Lindner-Muller (2012) telah melakukan review literatur tentang konstruk kompetensi sosial dan aspek-aspeknya berkaitan dengan berbagai intervensi yang dilakukan pada lingkungan rumah dan sekolah. Pada akhir tulisan disimpulkan bahwa pada dasarnya aspek yang paling banyak digunakan dalam intervensi peningkatan kompetensi sosial adalah aspek problem solving terutama problem solving sosial. Aspek problem solving juga menjadi salah satu aspek kompetensi sosial yang digunakan di berbagai negara yaitu Kanada, China, Swedia, dan USA
7 (Kostelnik dkk., 2012). Problem solving juga menjadi salah satu aspek dari 17 aspek yang diajukan oleh Fuller (2001) dalam membangun kompetensi sosial pada anak usia 5 – 12 tahun.
Aspek problem solving merupakan salah satu aspek yang digunakan oleh Richardson dkk. (2009) untuk mengukur kompetensi sosial anak sekolah dasar setelah memperoleh pendidikan karakter, Webster-Stratton, Reid, Hammond (2001) juga menggunakan aspek kemampuan problem solving ketika melakukan penelitian tentang peningkatan kompetensi sosial melalui pelatihan kepada guru dan orang tua. Menurut Bandy & Moore (2011) aspek problem solving merupakan salah satu aspek yang digunakan dalam pemberian intervensi dalam rangka
meningkatkan kompetensi sosial anak usia 6 – 11 tahun.
Tabel 1. Ringkasan Pemilihan Aspek-Aspek Dalam Konstruk Kompetensi Sosial
No. Penulis Subjek 1 2 3 4 Aspek Lainnya
1 Rydell, Hagekull,
& Bohlin (1997)
Anak usia 7-11 th - - V V senang menolong, dermawan,
pemahaman sosial, mengatasi konflik 2 Fuller (2001) Anak usia 5 - 8
th, 10 – 12 th
V - - V memahami sinyal orang lain,
membaca intensi, penalaran moral dll (17 aspek/indikator)
3 Webster-Stratton (2001)
Anak di Head Start
V - manajemen diri, hubungan positif, manajemen amarah, ketrampilan berteman, disiplin diri
4 Corrigan (2002) Anak SD kelas 2 - V - - Prososial, komunikasi 5 Weare & Gray
(2003)
Anak 11-16 th - - - V komunikasi yang efektif, mengelola hubungan
6 Klitzing, Stademan &
Perren (2007)
Anak SD - - V - perilaku prososial, inisiasi sosial, setting limit
7 Reid, Webster- Stratton, &
Hammond (2007)
Anak TK ke SD V - - - kesiapan sekolah, regulasi emosi
8 Findlay & Coplan (2008)
Anak SD - V V - keterampilan sosial, asertivitas, tanggung jawab
9 Richardson, Tolson, Huang, &
Lee (2009)
Anak SD V - - V konsep tentang diri & orang lain, sosialisasi, komunikasi, berbagi 10 Abdi (2010) Anak SD - V V - asertivitas, tanggung jawab 11 Abdul-Majied
(2010)
Anak 5-7 - - - V kapasitas humor, komunikasi non verbal, penerimaan oleh teman dan orang dewasa
12 Junttila (2010) Anak SD & SMP - - V V Impulsif, disruptif
8
No. Penulis Subjek 1 2 3 4 Aspek Lainnya
13 Rashid (2010) Anak kelas 5 -8 V - - - menerima kritik, rasa hormat,
menerima hak & kewajiban, toleransi terhadap perbedaan
14 Bandy & Moore (2011)
Anak usia 6 -11 th
V V - - Resolusi konflik, keterampilan interpersonal, membangun hubungan 15 Junttila,Vauras,
Niemi, &
Laakonen (2012)
Anak kelas 5 – kelas 8
- - V V Impulsif, disruptif
16 Schonert-Reichl, Smith, Zaidman- Zait, & Hertzman (2012)
Anak kelas 4 – 7 - - - V perspective taking, prososial, agresivitas
17 Joan E. Foley &
Marsha Weinraub (2017)
Anak preschool usia 4-6 tahun
- - - V Child’s cooperative play, rule
following, personal safety, agresivitas 18 Olga Gomez-
Ortiz, Eva M Romera, Rosario Ortega-Ruiz (2017)
Remaja usia 12- 19 tahun
- V - - Perilaku prososial, efikasi sosial, social adjustment, normative adjustment
19 Rikuya Hosokawa
& Toshiki Katsuka (2017)
Anak preschool usia 5 tahun
- V V - assertion
20 Şeyma ARSLAN, Müge YUKAY YÜKSEL (2017)
Anak usia 7-11 tahun
- V - - Interpersonal skill, academic skill
21 Mefharet
Veziroglu-Celik, Ibrahim H. Acar (2018)
Anak usia preschool (3-6 tahun)
- V V - Academic skills, peer relations
22 Meilstrup, Charlotte Bjerre;
Holstein, Bjørn Evald; Nielsen, Line; Due, Pernille;
Koushede, Vibeke (2019)
Anak kelas 5 – 9 (11-15 tahun)
- - V V Asertivitas
23 Silje Hukkelberg and Terje Ogden (2019)
Anak usia 3–12 tahun
- V - V Cooperative, behavioral adjustment
24 Shuyi Zhai, Yuxi Ma, Zaifeng Gao, Jie He (2019)
Anak usia 3-6 tahun
- - V - Initiative of association, obstacles to associatin, verbal dan non-verbal ability in association
Keterangan:
1.Aspek problem solving, 2. Aspek pengendalian diri, 3. Kerjasama, 4. Empati V = aspek kompetensi sosial yang digunakan dalam penelitian
9 Problem solving merupakan salah satu kemampuan penting untuk dikembangkan pada
anak usia sekolah, selain kemampuan kerjasama dan komunikasi. Kemampuan tersebut berguna untuk keberhasilan dalam menjalin pertemanan. Anak yang berhasil dalam membangun hubungan pertemanan akan lebih terhindar dari kesulitan emosional maupun mental (Ferrer &
Fugate, 2014). Kemampuan problem solving terutama problem solving sosial sangat dibutuhkan anak untuk mengatasi berbagai persoalan yang akan dihadapinya berkaitan dengan permasalahan sosial dan akademik (Gokk & Silay, 2010; Kostelnik dkk., 2012).
2) Aspek pengendalian diri
Findlay & Coplan (2008) yang meneliti tentang manfaat partisipasi anak dalam olah raga terhadap kompetensi sosial menggunakan aspek pengendalian diri selain empat aspek lain yaitu keterampilan sosial, asertivitas, kerjasama, dan tanggung jawab. Aspek yang hampir sama juga digunakan oleh Abdi (2010) yang meneliti perbedaan gender dalam kompetensi sosial pada anak-anak di Iran yaitu asertivitas, kerjasama, tanggung jawab, dan pengendalian diri. Aspek pengendalian diri dapat memprediksi kompetensi sosial (Duckworth et al., 2014; Eisenberg et al., 2014).
Pengendalian diri merupakan aspek yang digunakan oleh Corrogan (2002) dalam menyusun alat ukur kompetensi sosial anak usia sekolah dasar tahun kedua. Bandy & Moore (2011) menggunakan pengendalian diri sebagai salah satu aspek untuk meningkatkan keterampilan sosial yang positif pada anak usia 6-11 tahun. Pengendalian diri merupakan aspek kompetensi sosial yang penting untuk ditingkatkan karena pengendalian diri berhubungan erat dengan agresivitas. Agresivitas juga dapat direduksi dengan meningkatkan pengendalian diri (Dewall et al, 2007; Manen, Prins, & Emmelkamp, 2004; Meepien, Lamusupait, & Suttiwan, 2010; Ronen, 2004).
10
3) Aspek kerjasama
Junttila (2010) dan Junttila dkk. (2012) menggunakan aspek kerjasama dan empati untuk mengukur kompetensi sosial dalam penelitiannya tentang kesepian pada anak usia sekolah, selain aspek impulsif dan desruptif. Demikian juga (Rydell et al., 1997) Rydell, Hagekull, & Bohlin (1997) juga menggunakan aspek kerjasama dan empati dalam pengukuran tentang kompetensi sosial pada anak usia 7-11 tahun.
Hubungan interpersonal atau beberapa konstruk yang mempunyai kemiripan dengan hubungan sosial seperti kontak sosial, interaksi sosial, keterampilan berteman, sosialisasi, komunikasi, dan inisiasi sosial merupakan salah satu aspek yang banyak digunakan dalam penelitian masalah kompetensi sosial dan keterampilan sosial (Pang, 2010) (Pang, 2010; Owen et al., 2008; Legoff & Sherman, 2006; Lau et al., 2005; Gagnon & Nagle; 2004; Legoff, 2004;
Webster-Stratton, Reid, & Hammond, 2001). Menurut Kostelnik dkk., (2012) beberapa aspek tersebut merupakan kemampuan yang dituntut dalam bekerjasama. Aspek kerjasama juga digunakan oleh Klitzing dkk. (2007) dalam mengungkap kompetensi sosial anak normal dan anak yang mengalami gangguan klinis.
Kerjasama merupakan dasar bagi anak untuk berinteraksi sosial sehingga menjadi dasar bagi anak untuk dapat diterima oleh teman sebaya dan mengurangi resiko untuk ditolak (Berns, 2010), kerjasama membuat anak belajar berhubungan secara timbal balik dengan orang lain (Olzon & Spelke, 2008), dan dengan kerjasama akan mempunyai motivasi dan performansi yang lebih baik dalam belajar (Ahmad, Bangash, Bano, dan Khan, 2008).
4) Aspek empati
Aspek empati juga merupakan aspek yang sering digunakan peneliti untuk mengukur kompetensi sosial. Dalam rangka melakukan penelitian tentang peningkatan kompetensi sosial
11 melalui open circle program, Hennessey (2007) menggunakan aspek empati untuk mengukur kompetensi sosial selain aspek keterampilan sosial, perilaku bermasalah, dan kompetensi akademik. Program pembentukan karakter dan kompetensi sosial melalui pembahasan tentang penyakit kanker yang dilakukan oleh Donovan (2009) juga memasukkan aspek empati dalam pengukuran kompetensi sosial selain aspek komunikasi dan kemampuan mengekspresikan ide dan gagasan.
Empati adalah kemampuan yang dibutuhkan anak karena menjadi bekal bagi anak untuk peduli dengan orang lain. Empati yang rendah berpengaruh terhadap keterlibatan bulliying sementara empati yang tinggi menjadi dasar bagi anak untuk berperilaku prososial (Caravita, Di Blasio, & Salmivalli, 2009; Ozkan & Cifei, 2009; Robert & Strayer, 1996; Schonert-Reichl et al., 2012).
Berdasarkan paparan tentang empat aspek kompetensi sosial tersebut dapat diketahui bahwa aspek problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati merupakan aspek yang sesuai dalam konstruk kompetensi sosial untuk anak usia sekolah. Dukungan lain atas pemilihan empat aspek tersebut juga didasarkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Iswinarti, dkk.
pada tahun 2007 dan 2008 yang menemukan tentang kandungan nilai-nilai problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati dalam permainan tradisional. Nilai-nilai kompetensi sosial tersebut diperoleh secara induktif melalui metode kualitatif yaitu dengan melakukan observasi, wawancara, dan diskusi ahli. Wawancara dan observasi dilakukan kepada anak yang bermain permainan tradisional. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara tersebut selanjutnya dilakukan diskusi ahli untuk menetapkan konstruk variabel. Acuan dalam penetapan aspek didasarkan pada beberapa pendapat ahli (Blagojevich, 2001; Frey et al., 2000; Semrud-
12
Clikeman, 2007; Welsh & Bierman, 2006) tentang pengertian dan aspek-aspek kompetensi sosial.
Perkembangan kompetensi sosial
Kompetensi sosial berkembang sepanjang waktu mulai dari masa bayi sampai dengan masa dewasa (Semrud-Clikeman, 2007). Kompetensi sosial mengalami perkembangan optimal mulai usia bayi sampai usia duapuluhan, dan periode kritis terjadi pada usia bayi sampai 12 tahun (Kostelnik et al., 2012). Semrud-Clikeman (2007) membagi periode perkembangan kompetensi sosial berdasarkan tahapan perkembangan yaitu masa bayi (0-2 tahun), masa prasekolah (2-6 tahun), masa kanak-kanak akhir atau masa sekolah (6-12 tahun), dan masa remaja (13-18 tahun).
1) Masa bayi
Bayi belajar memahami dunia sekelilingnya melalui input sensori (penglihatan, pendengaran, dan perabaan) serta bagaimana bayi memperoleh sesuatu yang dibutuhkan. Pada usia 9-14 bulan bayi mulai mampu mengikuti tatapan mata orang lain, bereaksi secara berbeda terhadap objek dengan mengamati reaksi positif atau negatif dari pengasuh terhadap objek tersebut, dan menjadi kesal ketika tidak dapat memperoleh apa yang diinginkan (Wellman et al., 2004).
Bayi mulai memahami objek ketika pengasuh menatap objek tersebut sambil tersenyum dan bayi akan meraihnya secara spontan (Philips et al., 2002). Perkembangan kognisi sosial selanjutnya baru akan terjadi ketika anak berusia 3-4 tahun ketika anak mulai memahami perspektif orang lain. Pada masa tersebut temperamen dan kelekatan mempunyai kontribusi yang besar terhadap kompetensi sosial anak.
2) Masa Prasekolah
Menurut Denham et al. (2004) kemampuan yang akan dikuasai oleh anak pada masa ini adalah kemampuan untuk mengelola emosi terhadap teman sebayanya dan lingkungan
13 sosialnya yang lebih luas. Pengasuh maupun orang tua akan membantu anak untuk mengenali emosi dan mengekspresikannya dan membantunya ketika ada problem dengan emosinya.
Pada masa ini regulasi emosi menjadi penting karena akan berpengaruh pada masa berikutnya. Anak yang agresif dan menarik diri akan ditolak oleh teman sebayanya dan akan menyebabkan anak kesepian dan mempunyai konsep diri yang rendah dibandingkan dengan anak yang mempunyai kompetensi sosial yang baik. Pada masa ini hubungan anak dengan guru dan teman sebaya mempunyai kontribusi yang besar terhadap perkembangan kompetensi sosial.
3) Masa kanak-kanak akhir
Selama masa usia sekolah terjadi perubahan fokus anak yaitu dari orang tua menuju sekolah dan teman sebaya, sebagai agen sosialisasi penting. Keterampilan sosial dasar menjadi penting pada periode ini karena akan berpengaruh terhadap popularitas dan penerimaan teman sebaya (Zsolani, 2002). Menurut Cillesen & Bellmore (2004) kemampuan untuk memahami siapa dirinya dalam berhubungan dengan orang lain menjadi tugas perkembangan pada usia kanak-kanak akhir ini dan kehidupan selanjutnya karena akan berpengaruih terhadap keterlibatan dengan teman sebaya, regulasi emosi, dan resolusi konflik. Pada masa ini pola asuh orang tua dan teman sebaya mempunyai kontribusi besar terhadap perkembangan kompetensi sosial.
4) Masa remaja
Kemampuan sosial pada masa remaja dan dewasa awal mengalami perubahan kearah kemampuan untuk melihat situasi secara objektif. Menurut Fenzel (2000) remaja yang memahami dirinya akan mampu untuk memperoleh teman dan sahabat serta tidak rentan terhadap stress dalam bidang akademik dan tuntutan sekolah. Faktor yang mempunyai
14
kontribusi besar terhadap perkembangan pada masa ini adalah teman sebaya dan pola asuh orang tua.
Perkembangan aspek problem solving, pengendalian diri, kerja sama, dan empati
Jika ditinjau dari aspek-aspek kompetensi sosial yang dalam penelitian ini yaitu problem solving, pengendalian diri, kerjasama dan empati, maka berikut ini perkembangan masing-
masing aspek tersebut.
1) Problem solving
Problem solving adalah kemampuan yang ada pada diri anak untuk mendiskusikan
pemecahan terhadap konflik yang disetujui oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya (Berns, 2010). Pada masa usia sekolah kemampuan anak dalam mengambil keputusan menjadi penting terutama dalam menghadapi permasalahan akademik dan sosial (Kostelnik et al., 2012). Adapun komponen-komponen yang dilakukan anak dalam pengambilan keputusan adalah: (a) anak mengidentifikasi keputusan-keputusan apa yang harus dibuat di sekolah, (b) anak membuat keputusan yang positif ketika berinteraksi dengan teman, (c) anak dalam mengidentifikasi dan menetapkan langkah-langkah yang sistematis mengambil keputusan, (d) anak menerapkan alternatif solusi dan mengevaluasi akibat-akibatnya terhadap situasi akademik dan sosial. Pada periode usia sekolah keterampilan seperti negosiasi, resolusi konflik, dan kompromi berkembang dan menjadi penting (Semrud-Clikeman, 2007).
Mengelola perilaku emosional yang tepat dan juga mampu mengekspresikan perasaan dan pikirannya menjadi lebih penting dan sangat erat berhubungan dengan kompetensi sosial.
15 2) Pengendalian diri
Pengendalian diri merupakan kekuatan seseorang untuk mengendalikan perilaku diri sendiri, anak tahu mana yang benar dan salah, serta dapat membuat pilihan perilaku yang tepat (Crockett & Knoff, 2003). Wllingham (2011) menyamakan pengendalian diri dengan regulasi diri yaitu kemampuan anak untuk dapat mengendalikan dan merencanakan emosi, kognisi, dan perilaku. Smart & Sanson (2003) mengartikan pengendalian diri sebagai perilaku yang dapat merespon secara tepat terhadap godaan situasi konflik dan non konflik yang menuntut kompromi. Anak-anak yang mempunyai pengendalian diri yang baik akan berperilaku: (a) membantu mempertahankan aturan-aturan secara rutin, (b) mengikuti aturan secara rutin dalam lingkungan belajar, (c) menggunakan materi belajar sesuai dengan tujuan dan menghormatinya, (d) mengekspresikan perasaan melalui bahasa tubuh, tindakan, dan bahasa yang tepat (Kostelnik et al., 2012). Pada anak usia sekolah faktor pengendalian diri menjadi penting karena dengan menguatkan pengendalian diri anak dapat membangun karakter untuk mencegah perilaku bermasalah dan kenakalan pada masa remaja dan dewasa (Lakes & Hoyt, 2004; Nakhaie, Silverman, LaGrange, 2000).
3) Kerjasama
Kerjasama adalah perilaku menolong, berbagi, dan mengikuti aturan serta permintaan orang lain (Smart & Sanson, 2003). Menurut Schneider et al. (2011) kerjasama merupakan aktivitas yang kontinum dengan kompetisi. Kerjasama digambarkan sebagai kemampuan sosial yang berakibat positif sementara kompetisi akan berakibat negatif. Beberapa perilaku kerjasama anak usia sekolah yang diharapkan berdasarkan Johnson dan Johnson (1999) adalah: (a) berinteraksi positif dengan anak lain, (b) berbagi gagasan dan material, (c) memberi dukungan ketika anak lain sedang berada dalam kondisi berbahaya, (d) memberi kontribusi terhadap
16
usaha kelompok, (e) berbagi tugas dengan anggota kelompok, (f) memperkecil perbedaan yang ada dalam kelompok.
Menurut Kemple (Bern, 2010) anak yang mau bekerjasama dan berbagi akan diterima oleh teman sebaya dan mengurangi risiko untuk ditolak. Dalam teori bermain sosial oleh Parten (Bern, 2010; Power, 2010) bermain kooperatif yaitu permainan yang membutuhkan kerjasama dan organisasi merupakan prototipe permainan untuk anak usia sekolah.
4) Empati
Empati adalah perilaku yang menunjukkan kepedulian dan penghargaan terhadap perasaan dan pandangan orang lain (Smart & Sanson, 2003). Dengan empati anak akan bermain peran untuk memperoleh perspektif orang lain (Berns, 2010). Empati merupakan tindakan mengenali dan memahami perspektif orang lain bahkan ketika perspektif tersebut berbeda dengan diri sendiri (Carchuff, 2000). Empati dikategorikan menjadi kemampuan kognitif dan afektif dalam mengambil perspektif orang lain (Garaigordobil, 2009). Kemampuan empati berkembang dan bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Litfack et al. (1997) menemukan kenaikan kemampuan empati anak pada usia 8-11, sedangkan Mestre et al (2004) menemukan perkembangan pesat empati pada usia 13-14 tahun.
Tabel 2.
Nilai-nilai Pembelajaran Kompetensi Sosial
KOMPONEN TEORI ASPEK INDIKATOR PERMAINAN INTI PEMBELAJARAN Problem
solving
(Bern, 2012;
Kostelnik, et al., 2010;
Semrud- Cikleman, 2007)
Mengatur strategi
-Mengatur strategi agar lemparan bola mengenai tumpukan pecahan genting -Memikirkan cara mengelabui lawan agar bisa menata kembali pecahan genting
-Mencari cara untuk
menghindari lemparan bola dari lawan
Anak belajar bagaimana memecahkan masalah dan mencari cara yang paling tepat untuk memecahkan masalah.
17 KOMPONEN TEORI ASPEK INDIKATOR PERMAINAN INTI PEMBELAJARAN
Pengambil an keputusan
-Memutuskan arah lari supaya tidak dilempar bola
-Menentukan musuh mana yang akan dilempar bola
-Memutuskan teman mana yang diberi umpan bola
-Memutuskan arah lari ketika akan menata kereweng
Anak belajar untuk berpikir dulu sebelum bertindak, belajar bagaimana menentukan pilihan dengan cepat dan tepat, dan
belajar bagaimana
meminimalisir kesalahan
Resolusi konflik
-Anak berusaha menyelesaikan perdebatan ketika ada anak yang melanggar aturan
-Ketika: disalahkan oleh teman satu tim karena menyebabkan timnya kalah anak berusaha untuk menerima kesalahan tersebut.
-Berusaha berdamai (mis:
meminta maaf ) ketika
menyebabkan temannya celaka (mis:terjatuh, tertubruk, dll) -Mendamaikan teman lain yang berseteru
Anak belajar untuk berdamai ketika bertentangan dengan orang lain, anak belajar menerima pertentaangan yang ada tanpa permusuhan. Anak juga belajar untuk mendamaikan anak lain yang berseteru.
f.Pengendalian diri
(Smart &
Sanson, 2003;
Kostelnik, et al., 2010)
Mengikuti aturan
-Anak menjalankan aturan- aturan permainan yang telah disepakati
-Anak tidak melanggar aturan permainan yang telah disepakati (mis: melempar bola di kepala, melempar bola sambil lari)
Menjalankan aturan-aturan yang sudah ditentukan maupun yang sudah disepakati.
Membedak an perilaku yang benar dan salah
-Anak bersedia menerima sangsi ketika melakukan kesalahan saat bermain
-Anak berbuat sportif saat kaki melangkah tidak dengan satu kaki ketika membawa bola
Anak belajar berbuat sportif dan bersedia menerima sangsi ketika berbuat kesalahan.
Mengekspr esikan perasaan dengan tindakan yang tepat
-Anak tidak terpancing emosinya ketika diledek atau diejek oleh lawan
-Ketika ada masalah dengan teman satu tim maupun teman dari tim lawan tidak berbuat agresif
-
Anak belajar menunjukkan
emosi dengan
mempertimbangkan keadaan sekitar serta belajar untuk tidak berbuat agresif ketika mengalami emosi negate
Kerjasama
(Johnson &
Johnson, 2009; Smart
& Sanson, 2003)
Berinterak si positif dengan anak lain
-Anak harus berkomunikasi dengan anak lain dalam satu tim pada saat menentukan strategi -Menyampaikan kepada tim lawan ketika mengetahui ada kecurangan yang dilakukan pemain
-Ketika sudah berhasil menata pecahan genting anak berteriak
“boy” untuk memberitahu
Anak belajar berkomunikasi dan belajar memberi perhatian terhadap anak lain.
18
KOMPONEN TEORI ASPEK INDIKATOR PERMAINAN INTI PEMBELAJARAN temannya bahwa tim mereka
berhasil menang Berbagi
gagasan/m aterial
-Memberi umpan bola kepada anak lain
-Memberi ide kepada anak lain untuk memenagkan permainan -Melempar bola kepada teman satu tim yang lebih dekat dengan lawan
Anak belajar menyumbang ide untuk kepentingan orang lain dan belajar untuk bersedia memberikan sesuatu yang dimiliki kepada orang lain.
Bekerja dengan anak lain dalam kelompok
-Menarik perhatian lawan ketika temannya akan dilempar bola
-Memberitahu teman ketika akan dilempar bola oleh lawan -Memberitahu teman yang sedang menata pecahan genting ketika bola sudah di tangan lawan
Anggota kelompok mendapatkan tugas masing- masing untuk memperoleh kemenangan (bertugas melempar kereweng, berlari menggoda musuh supaya dilempar, menata kereweng, dll)
Anak belajar bagaimana memberi dukungan ketika anak lain dalam bahaya, belajar memberi kontribusi dalam kelompok, serta belajar berbagi tugas dengan anggota kelompok.
Empati Memahami
perasaan, pandangan, dan
kondisi anak lain
-memahami bagaimana keadaan teman yang terkena lemparan bola lawan sehingga tidak menyalahkannya karena membuat timnya kalah
-memahami keadaan anak yang terkena lemparan bola sehingga ketika melempar bola ke anak lain tidak terlalu menyakiti
Anak belajar memahami apa yang sedang terjadi pada anak lain dan belajar mengerti apa yang sedang dirasakan anak lain
Turut merasakan apa yang sedang dialami oleh anak lain
-Anak merasa kasihan terhadap teman sekelompoknya yang terkena lemparan bola sehingga berusaha agar temannya tidak terkena lemparan bola
-Anak merasa kasihan terhadap musuh sehingga ketika
melempar bola tidak terlalu keras meskipun ada kesempatan untuk melakukan hal tersebut
Anak belajar merasakan apa yang sedang dialami oleh anak lain dan belajar merasakan apa yang sedang dirasakan oleh anak lain.
19
Faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi sosial
Fabes, Gartner, dan Popp (2008) menyimpulkan dari berbagai penelitian yang dijumpai bahwa prediktor kompetensi sosial adalah temperamen, keterampilan sosio kognitif, interaksi orang tua dengan anak, hubungan dalam keluarga, dan sosialisasi dengan teman sebaya. Kesimpulan senada juga dikemukakan oleh Mulder (2008) bahwa kompetensi sosial anak dipengaruhi oleh faktor kepribadian atau karakteristik pribadi, lingkungan keluarga, meliputi ekonomi keluarga, saudara kandung, gaya pengasuhan, dan lingkungan sekolah meliputi hubungan guru dan siswa, interaksi anak dengan teman di dalam kelas, kurikulum sekolah, dan budaya dalam kelas.
Penelitian tentang faktor internal yang mempengaruhi kompetensi sosial dilakukan oleh Shiner (2000) dan Mendez, Fantuzzo, & Cicchetti (2002). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shiner (2000) menunjukkan bahwa anak yang digambarkan oleh orang tuanya sebagai anak dengan kepribadian ekstrovert akan mempunyai kompetensi sosial di dalam perkembangan berikutnya. Demikian juga anak-anak yang dilaporkan oleh guru mempunyai sifat-sifat yang tidak banyak membantah di kelas, mempunyai motivasi dan kesadaran akademis yang baik serta optimis di masa remajanya menunjukkan kompetensi sosial yang baik. Penelitian Deptula, Cohen, Phillipsen, & Ey (2006) menunjukkan bahwa persepsi diri mempengaruhi perkembangan kompetensi sosial.
Mendez, Fantuzzo, & Cicchetti (2002) melakukan penelitian yang melibatkan 141 anak Amerika-Afrika yang berasal dari kelas urban di Head Start di bagian utara Amerika Serikat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak mempunyai keterampilan yang berbeda-beda dalam menyesuaikan diri terhadap situasi sosial yang berbeda-beda. Anak yang mempunyai kepribadian mudah menyesuaikan diri, mampu melakukan pendekatan dengan situasi sosial, dan mempunyai perbendaharaan kata di atas rata-rata mempunyai kompetensi sosial lebih baik.
20
Sebaliknya, anak dengan karakteristik kepribadian tenang, pendiam, dan suka menyendiri maupun anak yang suka menghindar ataupun mengganggu anak lain cenderung mempunyai kompetensi sosial yang rendah.
Lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan kompetensi sosial. Dari berbagai teori perkembangan, teori ekologi dari Urie Bronfenbrenner merupakan teori yang menjelaskan pengaruh lingkungan terhadap perkembangan manusia secara komprehensif. Teori ekologi dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan kompetensi sosial anak. Menurut Bronfenbrenner (1979) lingkungan keluarga, sekolah, dan teman sebaya merupakan mikrosistem yaitu sistem lingkungan yang paling berpengaruh langsung terhadap perkembangan individu. Bronfenbrenner menunjukkan bahwa kebanyakan penelitian tentang dampak sosiokultural terhadap perkembangan berfokus pada mikrosistem. Berikut ini gambaran hasil penelitian tentang pengaruh lingkungan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap perkembangan kompetensi sosial anak.
1) Lingkungan keluarga
Interaksi antara anak dan orang tua secara konsisten mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kompetensi sosial anak. Penelitian Zhang (2010) pada anak prasekolah di China menunjukkan hasil bahwa hubungan orang tua –anak baik hubungan ayah-anak maupun ibu- anak secara signifikan berkorelasi dengan hubungan guru-anak yang selanjutnya secara signifiikan berpengaruh terhadap kompetensi sosial. Demikian juga penelitian Connell & Prinz (2002) tentang pengaruh kualitas interaksi orang tua-anak terhadap kesiapan bersekolah dan perkembangan keterampilan sosial pada anak Afrika Amerika yang berstatus sosial ekonomi
21 rendah menunjukkan adanya korelasi yang positif antara kualitas hubungan orang tua – anak dengan kompetensi sosial anak.
Pada anak-anak yang mengalami disabilitas, stress orang tua secara langsung berpengaruh terhadap kompetensi sosial maupun perkembangan anak yang mengalami gangguan autis (Boyd, 2002; Jones & Passey, 2004; Shu & Lung, 2005). Pengaruh stress (termasuk depresi) orang tua terhadap kompetensi sosial anak juga terjadi pada anak dengan disabilitas intelektual (Hasting & Taunt, 2002; Baker, et al., 2003; Guralnick, dkk., 2003; Trute, Hiebert- Murphy, & Levine, 2007).
Faktor keluarga yang juga mempunyai sumbangan terhadap kompetensi sosial anak adalah hubungan dengan saudara kandung. Penelitian yang dilakukan oleh Downey & Condron (2004) menyimpulkan bahwa keterampilan sosial dan interpersonal dipengaruhi secara positif oleh interaksi dengan saudara kandung di dalam rumah dan keterampilan ini menjadi berguna ketika mereka berinteraksi dengan teman sebaya di luar rumah. Pendapat senada dikemukakan oleh Cutting dan Dunn (1999) bahwa kualitas hubungan dengan saudara kandung lebih merupakan prediktor keterampilan dan kompetensi sosial dengan teman sebaya daripada hubungan dengan saudara kandung di rumah. Intervensi dengan mediasi saudara kandung juga menunjukkan pengaruh terhadap interaksi sosial anak autis (Tsao & Odom, 2006) (Tsao &
Odom, 2008).
2) Lingkungan sekolah
Faktor lain yang turut berperan terhadap kompetensi sosial anak adalah lingkungan sekolah. Sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan kompetensi sosial selama masa anak-anak. Lingkungan fisik di dalam kelas, struktur sosial kelas, dan budaya di dalam kelas saling berinteraksi dan berpengaruh terhadap kompetensi sosial anak (Znolnai,
22
2002). Menurut Sheridan, Bush, dan Warnes (2003) Sheridan, Bush, & Warnes. (2003) penataan bangku di kelas, tersedianya fasilitas permainan dapat mempengaruhi kompetensi sosial anak.
Kelas yang mempunyai lebih banyak fasilitas dan kreasi lingkungan untuk mengembangkan interaksi anak maka akan makin dapat melatih anak untuk meningkatkan keterampilan sosialnya.
Lingkungan sekolah yang juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kompetensi sosial anak adalah hubungan antara guru – anak. Hasil penelitian Zsolani (2002) menunjukkan bahwa makin tinggi kompetensi sosial guru yang ditunjukkan dengan sikap yang empati, terbuka, dan pengertian akan dapat menjadi model bagi anak sehingga member kesempatan pada anak untuk belajar dan berlatih keterampilan sosial. Bond et al (2007) menemukan pentingnya pengaruh hubungan antara guru-anak terhadap perilaku sosial anak. Anak-anak yang kurang mempunyai hubungan yang baik dengan guru akan lebih mempunyai kemungkinan untuk mengalami depresi. Anak yang buruk hubungannya dengan guru cenderung lebih mudah terlibat dalam perilaku antisosial dan lebih sering membuat kekacauan di dalam kelas. Ketika seorang siswa di dalam kelas mengacau maka seluruh keas akan terpengaruh, sebaliknya jika hubungan anak dengan guru baik maka akan makin sedikit kekacauan yang akan terjadi di dalam kelas.
Sekolah merupakan tempat bagi anak untuk mengembangkan berbagai kompetensi melalui hubungan yang ditetapkan oleh anak sendiri maupun kemampuan-kemampuan yang dimiliki. Meskipun demikian budaya dalam kelas dan kurikulum sekolah mempunyai pengaruh terhadap kompetensi sosial anak. McNamara (2005) mengidentifikasi kurikulum sekolah yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan kompetensi sosial anak. Bagian dari kurikulum yang secara eksplisit diajarkan oleh guru akan membuat anak ingin tahu dan akan bersedia untuk belajar sikap dan keterampilan yang diajarkan. Sebaliknya, bagian kurikulum yang implisit atau yang tidak kentara maka penyampaiannya harus tepat dalam interaksi dan komunikasi
23 interpersonalnya. Selanjutnya McNamara menekankan pentingnya penggunaan kurikulum yang berbasis kenyataan agar berhasil menyampaikan pesan kepada anak baik secara eksplisit maupun implisit.
3) Teman sebaya
Faktor utama lain yang juga mempunyai pengaruh besar terhadap kompetensi sosial anak adalah teman sebaya. Pada anak usia sekolah perkembangan kompetensi sosial dipengaruhi oleh teman sebaya (Fabes, Gaertner, & Pop, 2008; Semrud-Clikeman, 2007) (Semrud-Clikeman, 2007; Fabes, Gaertner, & Popp, 2008). Pada usia ini mereka mulai menghabiskan waktunya dengan teman dan mulai berkurang waktu dengan orang tua (Soetjiningsih, 2012). Fabes, Gaertner, & Popp (2008) menemukan bukti bahwa selama masa anak, interaksi dengan teman sebaya, terutama interaksi dengan sesama jenis kelamin, menjadi penting karena berpengaruh terhadap perilaku kompetensi sosial anak. Lebih lanjut, kelompok teman dengan jenis kelamin yang sama merupakan kekuatan yang potensial untuk sosialisasi pada anak dalam rangka membangun kompetensi sosial karena pada masa ini dinamika kelompok sedang terbentuk.
Kegiatan yang paling banyak dilakukan anak dengan teman sebaya adalah bermain.
Bermain terutama bermain sosial dengan teman sebaya merupakan pusat dari kehidupan dunia anak (Power, 2012). Permainan yang tergolong dalam kategori bermain sosial adalah permainan lokomotorik, perminan lokomotorik, rough & tumble, sosiodrama, dan bermain sosial dengan objek, dan permainan dengan aturan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bermain sosial berkorelasi positif dengan kompetensi sosial sedangkan bermain sendiri (solitary play) berkorelasi negatif dengan kompetensi sosial (Coplan dkk., 2001; McAloney & Stagnitti, 2009;
Spinrad dkk., 2004; Uren & Stagnitti, 2009).
24
METODE PENELITIAN
Penyusunan skala kompetensi sosial
Skala kompetensi sosial terdiri dari 4 aspek yaitu kemampuan problem solving, pengendalian diri, kerjasama, dan empati. Aspek-aspek maupun sub aspek skala kompetensi sosial mengacu pada beberapa teori yang terangkum dalam ringkasan acuan referensi di Tabel 3.
Tabel 3.
Acuan teori untuk blue print
Aspek Acuan Sub Aspek Acuan referensi
Problem solving
Bandy & Moore (2011); Fuller (2001);
Rashid (2010); Reid, Webster- Stratton, & Hammond (2007);
Richardson, Tolson, Huang, & Lee (2009); Webster-Stratton (2001)
Mengatur stategi, Mengambil keputusan, Resolusi konflik
Bern (2010);
Kostelnik et al.(2012);
Semrud- Ciklemen (2007)
Pengenda- lian diri
Abdi (2010); Bandy & Moore (2011);
Corrigan (2002); Findlay & Coplan (2008)
Mengikuti aturan, Membedakan perilaku yang benar dan salah;
Mengkspresikan perasaan dengan tindakan yang tepat
Smart &
Sanson (2003);
Crockett & Knoff (2003)
Kerjasama Abdi (2010); Findlay & Coplan (2008); Junttila (2010);
Junttila,Vauras, Niemi, & Laakkonen (2012); Klitzing, Stadelman, & Perren (2007); Rydell, Hagekull, & Bohlin (1997)
Berinteraksi positif dengan anak lain;
Berbagi
gagasan/material;
Bekerja dengan anak lain dalam kelompok
Johnson & Johnson
(2009); Smart &
Sanson (2003);
Empati Abdi (2010); Findlay & Coplan (2008); Junttila (2010);
Junttila,Vauras, Niemi, & Laakkonen (2012); Richardson, Tolson, Huang, &
Lee (2009); Rydell, Hagekull, &
Bohlin (1997); Weare & Gray (2003)
Memahami perasaan, pandangan, dan kondisi anak lain;
Turut merasakan apa yang dialami oleh anak lain
Bern (2010); Smart
& Sanson (2003);
Garaigordobil (2009)
Pada Tabel 4 disajikan blue print skala kompetensi sosial disertai dengan aspek-aspek dan indikator-indikatornya. Blue print tersebut juga berisi jumlah aitem yang digunakan dalam skala kompetensi sosial. Alat ukur kompetensi sosial berbentuk cerita singkat tentang kegiatan
25 sehari-hari anak dalam berhubungan dengan teman. Di akhir cerita anak diberi pertanyaan tentang apa yang akan dilakukannya. Contoh aitem:
* Lingkari yang sesuai
1. Kamu bersama teman sekelompokmu sedang mempersiapkan diri mengikuti pertandingan melawan kelompok lain di sekolahmu. Kelompok yang akan menjadi lawanmu adalah anak-anak yang sudah sering memenangkan pertandingan tersebut. Waktu pertandingan tinggal besuk pagi. Dalam sisa waktu yang tinggal sebentar, apa yang paling mungkin kamu lakukan agar kelompokmu dapat memenangkan pertandingan tersebut?
a. Mengingat waktu tinggal besuk pagi maka berdoa saja karena kemungkinan untuk menang masih ada
b. Mengajak teman berdiskusi untuk mengetahui kelebihan kelompok sendiri c. Berdiskusi dengan teman-teman untuk mengetahui kelemahan lawan.
Tabel 4.
Blue print alat ukur kompetensi sosial
Aspek Sub Aspek Indikator Jumlah
Problem solving Mengatur strategi Berusaha menemukan cara mengatasi masalah 2 aitem Memikirkan cara yang paling tepat untuk
memecahkan masalah
2 aitem
Mengambil keputusan
Berpikir dulu sebelum bertindak 2 aitem Menentukan pilihan dengan tepat dan cepat 2 aitem Meminimalisir risiko kesalahan 2 aitem Resolusi konflik Berusaha berdamai ketika bermusuhan dengan
orang lain
2 aitem
Menerima pertentangan yang ada tanpa permusuhan
2 aitem
Turut serta mendamaikan anak lain yang berseteru 2 aitem Pengenda-
lian diri
Mengikuti aturan Menjalankan aturan-aturan yang disepakati 2 aitem Tidak melanggar aturan-aturan yang disepakati 2 aitem Membedakan
perilaku yang benar dan salah
Sportif dalam kegiatan bersama orang lain 2 aitem Kesediaan menerima sangsi ketika melakukan
kesalahan
2 aitem
26
Aspek Sub Aspek Indikator Jumlah
Mengkspresikan perasaan dengan tindakan yang tepat
Menunjukkan emosi dengan mempertimbangkan keadaan sekitar
2 aitem
Tidak berbuat agresif ketika sedang mengalami emosi negatif
2 aitem
Kerjasama Berinteraksi positif dengan anak lain
Dapat berkomunikasi dengan orang lain 2 aitem Memberi perhatian kepada orang lain 2 aitem Berbagi
gagasan/material
Menyumbang ide untuk kepentingan orang lain 2 aitem Bersedia memberikan sesuatu yang dimiliki kepada
orang lain
2 aitem
Bekerja dengan anak lain dalam kelompok
Memberi dukungan ketika anak lain dalam bahaya 2 aitem Memberi kontribusi terhadap anggota kelompok 2 aitem Berbagi tugas dengan anggota kelompok 2 aitem
Empati Memahami
perasaan, pandangan, dan kondisi anak lain
Mencoba mengerti apa yang sedang dipikirkan anak lain
3 aitem
Mencoba mengerti apa yang sedang dirasakan anak lain
3 aitem
Turut merasakan apa yang dialami oleh anak lain
Mencoba merasakan apa yang sedang dialami oleh anak lain
3 aitem
Mencoba merasakan apa yang sedang dirasakan anak lain
3 aitem
54 aitem
Disediakan 3 alternatif jawaban yang mencerminkan derajat kompetensi sosial anak yaitu jawaban yang menunjukkan kompetensi sosial tinggi, jawaban dengan derajat kompetensi sosial yang lebih rendah, dan jawaban yang tidak menunjukkan komptensi sosial. Adapun skoring untuk penilaian jawaban skala kompetensi sosial ini dapat dilihat pada Tabel 5.
27 Tabel 5.
Penilaian skala kompetensi sosial
Skor Penjelasan pilihan jawaban
3 Jika subjek memilih jawaban yang menunjukkan kompetensi sosial tinggi
2 Jika subjek memilih jawaban yang menunjukkan adanya kompetensi sosial dengan derajat yang lebih rendah
1 Jika subjek memilih jawaban yang tidak mencerminkan adanya kompetensi sosial.
Langkah pertama dalam penyusunan alat ukur kompetensi sosial yaitu membuat cerita yang sesuai dengan kehidupan anak sehari-hari dan membuat alternatif jawaban. Cerita yang telah dibuat, diberikan kepada beberapa anak kemudian respon-repon yang diberikan anak-anak menjadi alternatif jawaban yang kemungkinan muncul dari pertanyaan pada cerita tersebut.
Langkah kedua setelah aitem skala kompetensi sosial tersusun adalah mencobakan skala tersebut kepada beberapa anak usia sekolah kelas empat, lima, dan enam sekolah dasar untuk mengetahui apakah kata-kata maupun kalimat yang disusun dalam alat ukur kompetensi sosial tersebut sudah dipahami oleh anak. Langkah selanjutnya adalah melakukan expert judgment yaitu pemberian penilaian oleh beberapa penilai yang kompeten tentang kesesuaian isi dalam aitem dengan definisi operasional dan indikator skala kompetensi sosial.
Hasil penilaian tersebut selanjutnya dihitung dengan menggunakan rumus Aiken’s (Azwar, 2012). Berdasarkan hasil perhitungan, koefisien Aiken’s untuk 54 aitem berada di antara interval 0,771 – 0,958. Dengan demikian diketahui bahwa 54 aitem dalam skala kompetensi sosial yang dibuat mempunyai koefisien yang memenuhi syarat untuk dikatakan valid. Selain melakukan perhitungan validitas isi dengan rumus Aiken’s, peneliti juga melakukan beberapa perbaikan terhadap isi, tata tulis, maupun bahasa yang digunakan dalam penyusunan aitem-atem kompetensi sosial.
28
Uji coba dan perhitungan reliabilitas alat ukur kompetensi sosial
Uji coba dilakukan untuk memperoleh data tentang reliabilitas alat ukur tersebut.
Menurut Netemeyer, Bearden, & Sharma (2003) pengertian reliabilitas mengacu pada seberapa besar pengukuran mempunyai efek yang menetap jika diterapkan pada satu sampel ke sampel lainnya Perhitungan reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan metode internal consistency untuk memperoleh koefisien alpha. Untuk skala baru koefisien alpha disarankan paling sedikit 0,80 (Netemeyer, Bearden, & Sharma, 2003).
Uji coba pertama dilakukan di empat Sekolah Dasar yaitu SD MUH 9, SD MUH 1, SD INA, dan SD KTG I sebanyak 325 siswa. Perhitungan reliabilitas dengan menggunakan Alpha Cronbach menggunakan indeks daya beda ≥ 0,3. Mengingat ada sub aspek yang tidak terwakili oleh aitem dan nilai koefisien alpha yang kurang dari 0,800 maka dilakukan perbaikan terhadap aitem dan dilakukan evaluasi terhadap faktor-faktor yang kemungkinan mempengaruhi terjadinya angka daya beda aitem yang rendah dan koefisien alpha yang kurang dari 0,800.
Selanjutnya dilakukan uji coba kedua dengan subjek sebanyak 210 anak kelas lima di tiga sekolah yaitu SD MUH 1, SD INA, dan SD KTG 2. Menurut Azwar (2012b) indeks daya beda aitem yang disarankan adalah ≥ 0,3 namun jika tidak terpenuhi dapat diturunkan, namun tidak disarankan ≤ 0,2.
Langkah selanjutnya dalam penyusunan alat ukur kompetensi sosial adalah membagi skala kompetensi sosial yang ada menjadi dua skala yang setara. Skala 1 digunakan sebagai pretes dan skala 2 digunakan sebagai postes. Tujuan digunakannya dua skala adalah untuk mengurangi terjadinya efek belajar dalam mengisi skala kompetensi sosial pada saat postes. Cara membagi aitem-aitem untuk skala 1 skala 2 adalah sebagai berikut:
(1) Memilih aitem-aitem yang mempunyai indeks daya beda di atas 0,225.