• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. KAJIAN PUSTAKA

1. Hakikat Drama a. Pengertian Drama

Secara etomologis, kata “drama” berasal dari kata “Greek” (bahasa Yunani) ‘draien’, yang diturunkan dari kata ‘draomai’ yang berarti: berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi (to do to act). Pada perkembangan selanjutnya, kata ‘drama’ mengandung arti kejadian, risalah, dan karangan (Satoto, 1989: 1). Drama memiliki arti perbuatan, tindakan, atau beraksi (action). Drama merupakan sebuah karya sastra yang kompleks. Sejalan dengan pendapat Satoto, Ismawati (2013: 83) berpendapat bahwa drama merupakan sebuah cerita yang mengandung konflik dalam kehidupan manusia yang diproyeksikan pada pentas, menggunakan bentuk cakapan (dialogue, monologue, aside, soliloquy) dan gerak (action) atau penokohan (karakterisasi atau perwatakan) di hadapan penonton (audience). Pendapat Ismawati tersebut dikuatkan dengan pendapat Waluyo (2003: 1) yang menyebutkan bahwa drama dapat pula diartikan sebagai tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Selanjutnya Waluyo menambahkan, drama disebut juga sebagai potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit manis, dan hitam putih kehidupan manusia. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa drama merupakan sebuah karya sastra yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan masyarakat dengan bentuk cakapan yang lazimnya dirancang untuk dipertunjukkan di atas pentas.

Berbicara tentang drama maka terdapat dua kemungkinan pemahaman, yaitu drama naskah dan drama pentas. Waluyo (2003: 2) mengemukakan perbedaan antara drama naskah dan drama pentas sebagai berikut: 1) drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang dapat

commit to user

(2)

disejajarkan dengan puisi dan prosa; sedangkan 2) drama pentas adalah jenis kesenian mandiri, yang merupakan kesatuan antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis (dekor, panggung), seni kostum, seni rias, dan sebagainya. Boulton (1959) memberikan definisi drama (pentas) sebagai hidup manusia yang digambarkan dengan action. Sehingga apabila dibandingkan, drama pentas lebih dominan daripada drama naskah.

Naskah drama terbagi dalam beberapa babak. Babak merupakan bagian dari naskah drama yang diringkas atau peristiwa-peristiwa yang terjadi disuatu tempat dan waktu tertentu. Setiap babak terbagi dalam beberapa adegan. Adegan merupakan kejadian yang saling berhubungan mengenai datang atau perginya tokoh dalam pementasan drama. Saini &

Sumarjo (1986: 32) menyatakan bahwa terdapat drama yang hanya terdiri dari satu babak yang biasa disebut dengan drama pendek atau drama satu babak. Sedangkan untuk drama yang terdiri dari tiga hingga lima babak disebut sebagai drama panjang.

Gerak merupakan ciri khas utama dalam drama pementasan. Drama pementasan merupakan seni yang memiliki cerita dari gabungan anatara dialog dan action (gerak) tokoh (Endaswara, 2011: 11). Berbeda dengan drama pementasan, dalam sebuah naskah drama terdapat dialog antartokoh, penjelasan mengenai gerak-gerik dan tindakan yang ditulis dengan tanda kurung sebagai pembeda dengan dialog lain maupun penjelasan lainnya.

Drama naskah atau yang lebih sering disebut naskah drama merupakan hasil ciptaan berisi cerita, yang di dalamnya terdapat nama tokoh, percakapan atartokoh atau dialog, dan kondisi panggung yang dibutuhkan. Terkadang dicantumkan pula tata lampu, tata busana, dan tata suara atau pengiring. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa naskah drama merupakan sebuah karya yang berbentuk cerita, berisi nama tokoh, dialog antar tokoh, dan kondisi panggung yang dibutuhkan seperti keterangan lighting, backsound, dan suasana di atas pentas.

commit to user

(3)

b. Klasifikasi Drama

Sama seperti karya sastra lainnya, drama memiliki beberapa klasifikasi. Klasifikasi drama didasarkan pada pandangan dan tanggapan manusia terhadap hidup dan kehidupan (Waluyo, 2003: 38). Dalam proses penciptaan sebuah drama, pandangan seorang pengarang drama sangat berperan penting, karena pandangan inilah yang nantinya akan menghidupkan sebuah pementasan drama. Seorang pengarang drama dapat melihat sudut kehidupan berdasarkan titik sedih ataupun gembira. Dapat pula seseorang memberikan variasi antara titik sedih dan gembira tersebut.

Karya yang mampu menggambarkan dan memadukan kedua sisi kehidupan inilah yang kemudian dipandang sebagai sebuah karya yang lebih baik karena mampu menggambarkan keadaan riil yang terjadi di masyarakat.

Selanjutnya Waluyo (2003: 40) mengklasifikasikan drama menjadi empat jenis, yaitu:

1) Tragedi (drama duka), merupakan sebuah drama yang melukiskan kesedihan yang mendalam. Tokoh-tokohnya terlibat dalam sebuah bencana yang besar. Drama tragedi dapat pula dibatasi sebagai drama duka yang berupa dialog bersajak yang bercerita tentang tokoh utama yang menemui kehancuran karena kelemahannya sendiri, seperti sifat angkuh dan iri hati.

2) Melodrama, adalah sebuah lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan mengharukan. Tokoh dalam melodrama bukanlah seorang tokoh agung seperti dalam tragedi. Tokoh dalam melodrama merupakan tokoh yang bersifat stereotip. Dalam melodrama yang bersifat ekstrim, tokohnya dilukiskan menerima nasib sesuai apa yang terjadi.

3) Komedi (drama ria), merupakan drama ringan yang bersifat menghibur, biasanya terdapat dialog kocak yang bersifat menyindir dan berakhir dengan bahagia. Drama komedi menampilkan tokoh yang bersifat tolol, konyol, atau tokoh yang bijaksana tetapi lucu.

4) Dagelan (farce), disebut juga sebagai banyolan. Dagelan merupakan drama kocak dan ringan, alurnya tersusun berdasarkan arus situasi dan tidak didasarkan arus situasi, tidak berdasarkan perkembangan struktur dramatik dan perkembangan cerita sang tokoh. Isi cerita dagelan biasanya bersifat kasar, lentur, dan vulgar.

commit to user

(4)

c. Struktur Drama Naskah

Drama naskah atau yang selanjutnya akan disebut dengan naskah drama merupakan salah satu genre sastra. Sebagai salah satu genre sastra, drama naskah dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna). Selain menjadi komponen utama, struktur juga merupakan prinsip kesatuan lakuan (unity of action) dalam sebuah drama.

Sistematika penampilannya dilakukan dalam korelasi antara alur (plot) dan penokohan (karakterisasi). Waluyo (2006: 8) menyebutkan enam unsur drama naskah yaitu: 1) plot atau kerangka cerita; 2) penokohan atau perwatakan; 3) dialog; 4) latar (setting); 5) tema; dan 6) amanat.

1) Plot atau Alur Cerita

Plot atau kerangka cerita merupakan alur dalam sebuah cerita. Pada sebuah cerita, alur bergerak dari perkenalan tokoh, munculnya konlik, hingga pada penyelesaian konfilk. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Tarigan (2008: 156) yang menyebutkan bahwa lakon (alur cerita) hendaknya bergerak dari sebuah permulaan melalui suatu pertengkaran, menuju suatu akhir atau dengan istilah lain dari suatu eksposisi melalui komplikasi dan diakhiri dengan resolusi. Dalam bukunya yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi, Nurgiyantoro (2013:

167) menyebutkan beberapa tokoh yang berpendapat tentang plot yaitu sebagai berikut.

a) Stanton (1965: 14) menyebutkan bahwa plot merupakan cerita yang berisi uritan kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain.

b) Sejalan dengan Stanton, Kenny (1966: 14) berpendapat bahwa plot yaitu sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak sederhana karena pengarang menyusunnya berdasarkan kaitan sebab-akibat.

c) Foster (1927: 93) juga berpendapat demikian, bahwa plot merupakan pelbagai peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa plot atau kerangka cerita merupakan rangkaian peristiwa dalam commit to user

(5)

sebuah cerita yang bergerak dari suatu permulaan hingga akhir dan memiliki hubungan sebab-akibat. Waluyo (2002: 8-12) membagi bagian- bagian plot menjadi beberapa bagian:

a) Eksposisi, yaitu bagian dalam cerita yang menentukan aksi dalam waktu dan tempat, memperkenalkan para tokoh, menyatakan situasi suatu cerita, mengajukan konflik yang akan dikembangkan dalam bagian utama cerita.

b) Komplikasi atau pertikaian awal, yaitu bagian pengembangan konflik. Pengenalan terhadap para pelaku telah menjurus pada pertikaian. Konflik-konflik kecil mulai bermunculan. Pada tahap ini, konflik dalam sebuah cerita mulai menanjak.

c) Klimaks atau titik puncak cerita, pada tahap ini konfilk yang terus meningkat akan terus meningkat hingga mencapai titik puncak atau klimaks. Pada tahap inni terjadi puncak kegawatan dalam sebuah cerita.

d) Resolusi atau Falling action, dalam tahap ini konflik mereda atau menurun. Tokoh-tokoh yang memanaskan situasi atau meruncingkan konflik te;lah mati atau menemukan jalan pemecahan.

Berdasarkan pendapat Kosasih yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa bagian-bagian plot dalam sebuah cerita melewati tiga tahapan yaitu: eksposisi, komplikasi, dan resolusi.

2) Penokohan atau Perwatakan

Tokoh memiliki peran yang sangat penting dalam membawakan sebuah cerita. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Wahyuningtyas dkk., (2011: 5) yang menyebutkan bahwa tokoh cerita menempati posisi paling strategis untuk menyampaikan pesan, amanat, moral, atau isi yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Istilah tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita, sedangkan penokohan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2013: 247). Penokohan pada pernyataan ini merujuk pada proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam suatu pementasan lakon. Penokohan harus mampu menciptakan citra tokoh sesuai dengan alur cerita. Waluyo (2011: 19) menambahkan: commit to user

(6)

“watak tokoh juga harus memiliki relevansi dengan elemen cerita yang lain, seperti plot, setting, tema, dan sebagainya. Di samping hal tersebut, watak tokoh juga harus memiliki hubungan dengan antar tokoh yang satu dengan tokoh lain dan juga keseluruhan cerita. Berdasarkan penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh merujuk pada sesorang sedangkan penokohan atau perwatakan merupakan penempatan tokoh dengan watak tertentu dalam sebuah cerita.”

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah pelaku dalam sebuah cerita sedangkan penokohan merupakan watak tokoh tersebut dalam sebuah cerita. Watak dari tokoh inilah yang akan menentukan jalan dari sebuah cerita. Selanjutnya, Waluyo (2003: 16) mengklasifikasi tokoh dalam sebuah karya sastra menjadi tiga jenis, yaitu:

a) Tokoh sentral, yaitu tokoh-tokoh yang memiliki peran paling menentukan gerak lakon. Tokoh sentral dapat pula disebut sebagai biang keladi pertikaian. Dalam hal ini tokoh sentral adalah tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

b) Tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau penentang tokoh sentral. Dapat disebut juga sebagai perantara tokoh sentral.

Dalam hal ini tokoh utama disebut juga tokoh tritagonis.

c) Tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkan atau tambahan dalam rangkaian cerita. Kehadiran tokoh ini disesuaikan dengan kebutuhan cerita.

3) Dialog

Dialog adalah percakapan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Dialog dapat pula disebut sebagai ciri khas naskah drama.

Dalam menyusun sebuah dialog pada naskah drama, pengarang dituntut untuk dapat membuat dialog serealitas mungkin. Dialog hendaknya dibuat secara natural sesuai dengan keadaan riil pada kehidupan masyarakat. Keeney (dalam Waluyo, 2011: 25) menyatakan bahwa terdapat dua fungsi dialog, yaitu: 1) mengperkonkret watak dan kehadiran pelaku; dan 2) memperhidup tokoh. Iswantara (2016: 5) menambahkan bahwa lewat dialog dapat menggambarkan watak sehingga latar belakang perwatakan dapat diketahui. commit to user

(7)

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dialog mrupakan salah satu indikator penting dalam sebuah naskah drama. dialog memiliki peran untuk menghidupkan cerita dalam sebuah naskah drama.

4) Latar (setting)

Setting disebut juga sebagai latar cerita. Latar berkonotasi pada tempat, waktu, dan latar budaya pada sebuah cerita. Terdapat beberapa fungsi setting dalam sebuah drama yang dinyatakan oleh Waluyo (2012: 23) yaitu: 1) mempertegas watak pelaku; 2) memberikan tekanan pada cerita; 3) mempertegas tema yang disampaikan; 4) metafora bagi situasi psikis pelaku; dan 6) memperkuat posisi plot.

Kosasih membagi latar cerita ini menjadi tiga dimensi, yaitu : latar tempat, latar waktu, dan latar suasana/budaya (2012: 136).

a) Latar tempat. Latar tempat merupakan penggambaran tempat terjadinya peristiwa di dalam sebuah cerita. Latar tempat tidak dapat berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan latar waktu dan ruang. Misalnya, tempat di Jawa, tahun berapa, di luar rumah atau di dalam rumah.

b) Latar waktu. Latar waktu merupakan penggambaran waktu peristiwa dalam sebuah cerita. Latar waktu juga memberikan artian sebuah cerita terjadi pada pagi hari, siang hari, atau malam hari.

c) Latar suasana. latar suasana yaitu penggambaran suasana ataupun budaya yang melatarbelakangi sebuah peristiwa dalam cerita tersebut.

5) Tema

Tema merupakan ide pokok yang terkandung dalam drama. Tema inilah yang menjadi poin utama dalam menentukan alur sebuah cerita.

Kosasih (2014: 136) menyebutkan bahwa tema merupakan gagasan yang menjalin struktur isi drama. Sejalan dengan pendapat Kosasih, Shipley (dalam Nurgiyantoro, 2013: 130) mengartikan bahwa tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Waluyo (2003: 25) menambahkan:

“Dalam drama, tema akan dikembangkan melalui alur dramatik dalam plot melalui tokoh-tokoh protagonis dan antagonis dnegan perwatakan yang memungkinkan konflik dan diformulasikan dalam commit to user

(8)

bentuk dialog. Dialog tersebut menjawantahkan tema dari lakon/naskah. Semakin kuat, lengkap, dan mendalam pengalaman jiwa pengarangnya akan semakin kuat tema yang dikemukakan.

Tema yang kuat, lengkap, dan mendalam biasanya lahir karena pengarang berada dalam passion (suasana jiwa yang luar biasa).

Dengan tema yang kuat semacam itu, pembaca akan lebih mudah dan cepat menangkap dan menafsirkan tema yang dimaksud oleh pengarang.”

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tema merupakan ide pokok suatu cerita. Tema merupakan poin utama dalam menentukan sebuah cerita atau dapat disebut sebagai masalah utama dalam cerita.

6) Amanat

Amanat sering disebut sebagai pesan yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Amanat berbeda dengan tema. Tema bersifat obyektif, lugas, dan khusus. Berbeda dengan tema yang bersifat subyektif, kias, dan umum (Waluyo, 2011: 7). Amanat dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh audience atau pembaca. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca yang bersifat objektif, ligas, dan khusus.

2. Hakikat Feminisme

a. Pengertian Feminisme

Berbicara tentang kajian feminisme sastra tentu terlebih dahulu memahami arti feminisme itu sendiri. Dilihat secara etimologis, feminisme berakar dari kata feminis. Feminis berasal dari kata femme (woman), yang memiliki arti perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial (Ratna, 2015:184). Secara umum, feminisme diartikan sebagai gerakan yang dilakukan oleh perempuan untuk menolak segala bentuk penindasan ataupun ketidakadilan. Feminisme merupakan kumpulan gerakan yang memiliki tujuan untuk mendefinisikan, membangun, dan membela hak-

commit to user

(9)

hak politik, ekonomi, da sosial yang sama dan kesempatan bagi perempuan (Hooks, 2000: 3).

Sejalan dengan pendapat Hooks, feminisme disebut sebagai gerakan yang pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, hingga akhirnya feminisme lahir sebagai usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut (Fakih, 2013: 99). Humm (2002: 20) menambahkan bahwa feminisme adalah sebuah ideologi pembebasan perempuan dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelamin. Dari beberapa pernyataan diatas maka dapat disitasikan bahwa feminisme adalah segala bentuk perlawanan yang dilakukan oleh perempuan atas penindasan dan ketidakadilan yang ia alami, serta usaha untu menyetarakan haknya dengan laki-laki. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah diuaraikan dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa feminisme merupakan sebuah gerakan yang bertujuan untuk mensejajarkan hak perempuan dan laki-laki.

Perlu diketahui bahwa gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan soasial yang menimpa kaum perempuan perlu adanya pemahaman tentang perbedaan gender dan jenis kelamin (Fakih, 2013:

3). Fakih menambahkan:

“hal ini terjadi karena terdapat keterkaitan yang erat antara perbedaan gender (gender difference) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas”.

Banyak ditemukan kesalahpahaman dalam masyarakat saat memaknai arti kata gender dan seks. Pamungkas dkk., (2017) menyatakan bahwa anggapan dari kesamaan anatara gender dan seks berakibat pada timbulnya pandangan bahwa gender merupakan kodrat, bukan budaya. Kedua kata ini memiliki perbedaan makna. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Fakih (2013: 7)

commit to user

(10)

“bahwa gender dan seks memiliki makna yang berbeda. Jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang telah ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, kaum laki- laki identik dengan sifatnya yang kuat, jantan, dan perkasa.

Sedangkan perempuan identik dengan sifat manja, lemah lembut, dan keibuan. Adanya perbedaan gender inilah yang kemudian mendorong adanya ketidakadilan gender yang selanjutnya melahirkan feminisme.”

Di Indonesia, gerakan perubahan yang dilakukan oleh kaum perempuan sudah mulai muncul pada awal kemerdekaan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gerakan emansipasi perempuan yang dipelopori oleh R.A Kartini pada saat itu. Akan tetapi, feminisme dan emansipasi adalah dua hal yang berbeda. Sofia dan Sugihastuti (2003:

24) menegaskan bahwa emansipasi lebih menitikberatkan pada pastisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam sebuah gerakan.

Perlu digarisbawahi bahwa feminisme bukan sebuah gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh perempuan untuk menentang laki- laki. Sejalan dengan pendapat tersebut, Fakih (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2016: 63) menyatakan bahwa feminisme bukan upaya pemberontakan terhadap laki-laki, upaya melawan pranata sosial seperti institusi rumah tangga dan perkawinan, maupun upaya perempuan untuk mengingkari kodratnya, melainkan upaya untuk mengakhiri penindasan dan ekspliotasi perempuan.

Gerakan feminisme disebut juga sebagai perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur sosial yang tidak adil menuju keadilan bagi laki-laki dan perempuan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Syuropati dan Soebahman (2012: 115) menyatakan bahwa pada dasarnya gerakan feminisme ini muncul karena adanya dorongan ingin commit to user

(11)

menyamaratakan hak antara laki-laki dan perempuan yang selama ini seolah-olah perempuan tidak dihargai dalam pengambilan kesempatan dan keputusan dalam hidup. Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa feminisme bukanlah gerakan yang dilakukan untuk menentang laki-laki melainkan sebuah gerakan untuk memperjuangkan hak-hak dan mengehentikan adanya penindasan eksploitasi terhadap perempuan. dilihat dari sejarah perekembangannya, feminisme terbagi menjadi tiga gelombang. Rokhmansyah (2019: 39) menyatakan bahwa pada mulanya, feminis menggunakan kata “hak” dan “kesetaraan”

perempuan sebagai landasan perjuangannya, kemudian pada akhir tahun 1960-an feminis menggunakan kata “penindasan” dan “kebebasan. Pada periode selanjutnya, feminis menyatakan dirinya sebagai “gerakan pembebasan perempuan”. Berikut adalah penjabaran perkembangan feminisme.

a) Feminisme Gelombang Pertama

Pada mulanya feminisme membahas tentang persamaan hak antara wanita dan pria dalam artian persamaan sebagai masyarakat dalam kehidupan publik dan persamaan status legal dalam rumah tangga. Pada saat itu gerakan feminisme memang diperlukan karena adanya “pemenjaraan” terhadap kebebasan perempuan. Secara umum perempuan merasa dirugikan dalam segala bidang dan dinomorduakan oleh kaum laki-laki, khususnya dalam lingkungan masyarakat patriarki. Pada masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan laki-laki di depan dan di luar rumah, sedangkan perempuan hanya berada di rumah.

Secara umum, feminisme gelombang pertama membicarakan tentang: ketidakadilan gender atau gender inequality, hak-hak perempuan, hak berpolitik, hal reproduksi, peran gender, dan seksualitas. Feminisme gelombang pertama menyuarkan gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme; seksisme, stereotipe, penindasan perempuan dan phalogosentrisme. commit to user

(12)

Tabel 2.1. Teori-teori Feminisme Gelombang Pertama

Aliran Dasar Pemikiran Isu Feminis

Feminisme Liberal Manusia adalah otonom yang dipimpin oleh akal.

Dengan akal manusia mampu untuk memahami prinsip-prinsip moralitas, kebebasan individu.

Prinsip-prinsip ini juga menjamin hak-hak individu.

a) Akses pendidikan b) Kebijakan negara

yang bias gender c) Hak-hak sipil dan

politik.

Feminisme Radikal Sistem seks/gender merupakan dasar penindasan terhadap perempuan

a) Adanya seksisme, masyarakat patriarki.

b) Hak-hak reproduksi.

c) Hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki- laki (power

relationship) d) Dikotomi

privat/public e) Lesbianisme Feminisme

Marxisme/Sosialis

Materialisme Historis Marx yang mengatakan bahwa modus reproduksi kehidupan material mengkondisikan proses umum kehidupan sosial, politik dan intelektual.

Bukan kesadaran yag menentukan eksistensi seseorang tetapi eksistensi sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka.

a) Ketimpangan ekonomi b) Kepemilikan

property c) Keluarga dan

kehidupan domestik di bawah

kapitalisme d) Kampanye

pengupahan kerja domestik.

(Sumber: Rokhmansyah, 2019: 42-43)

commit to user

(13)

b) Feminisme Gelombang Kedua

Feminisme gelombang kedua lebih menekankan pada perbedaan wanita dengan pria secara fisik dan psikologis. Pada gelombang ini, terdapat beberapa feminis yang mengkritik teori psikoanalisis karya Sigmund Freud. Freud beranggapan bahwa manusia itu adalah atau harus seperti laki-laki (dalam Tong, 2012: 78). Bagi feminis gelombang kedua, kesetaraan dalam bidang politik dan hukum tidak cukup untuk mengakhiri penindasan yang dialami perempuan. dalam sudut pandang mereka, penindasan terhadap perempuan bukan hanya berakar dari kedua aspek tersebut. Menurut Rokhmansyah (2019: 46) penindasan terhadap perempuan juga terletak pada setiap aspek kehidupan sosial manusia, termasuk ekonomi, politik dan social arrangements, norma-norma dan kebiasaan, interaksi sehari-hari dan hubungan personal.

Tabel 2.2. Teori-teori Feminisme Gelombang Kedua

Aliran Dasar Pemikiran Isu Feminisme

Feminisme Psikoanalisis

Penjelasan mendasar penindasan perempuan terletak pada psyche

perempuan, cara perempuan berpikir.

a) Drama psikoseksual Oedipus dan

kompleksitas katrasi (Freud)

b) Egosenstrisme lki-laki yang menganggap perempuan penderita

“penis envy”

c) Reinterpretasi Oedipus kompleks.

d) Dual Parenting e) Feminisme gender-

etika perempuan Feminisme

Eksistensialisme

Konsep Ada milik Jean Paul Sartre: Etre-en-soi (berada dalam dirinya sendiri), Etre- pour-les-autres (ada untuk orang lain).

Ketertindasan perempuan dari beban reproduksi yang ditanggung perempuan

a) Analisa ketertindasan perempuan karena dianggap sebagai

“other” atau sang liyan dalam cara beradanya di entre-pour-les- autres.

commit to user

(14)

sehingga tidak mempunyai posisi tawar dengan laki-laki.

(Sumber: Rokhmansyah, 2012:46-47) c) Feminisme Gelombang Ketiga

Pada feminisme gelombang tiga muncul sebuah gerakan bernama posfeminisme. Gerakan ini muncul karena adanya respon dari feminisme gelombang kedua yang dinilai sudah tidak relevan dengan masyarakat pada saat itu. Feminis pada gelombang ketiga ini lebih fokus kepada politik mikro dan menentang paradigma yang dan tidak untuk wanita di gelombang kedua.

Tabel 2.3. Teori-teori feminisme Gelombang Ketiga

Aliran Dasar Pemikiran Isu

Feminisme Postmodern

Seperti aliran

postmodernisme menolak pemikiran phalogosentris (ide-ide yang dikuasai oleh logos absolut yakni laki-laki bereferensi pada phallus).

“Otherness” dari perempuan yang

dilontarkan olen Simone de Beauvoir, merupakan sesuatu yang lebih dari kondisi inferioritas dan ketertindasan tetapi juga merupakan cara berada, cara berpikir, berbicara, keterbukaan, pluraitas, keberagaman, dan perbedaan.

Feminisme Multikultural dan Global

Sejalan dengan filsafat postmodern tetapi lebih menekankan kajian kultural.

Penindasan terhadap perempuan tidak dapat hanya dijelaskan lewat patriarki tetapi ada keterhubungan masalah dengan ras, etnisitas, dsb, (interlocking system). Di dalam Feminisme Global bukan saja ras dan etnisitas, tetapi juga hasil kolonialisme dan dikotomi

“dunia pertama” dan

“dunia ketiga”.

(Sumber: Rokhmansyah, 2019: 49-50) commit to user

(15)

b. Kajian Feminisme Sastra

Kajian feminisme sastra merupakan sebuah kajian yang melihat sebuah karya sastra dengan sudut pandang sebagai perempuan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Sugihatuti dan Suharto (2016: 20) menyatakan bahwa:

Kritik sastra feminis atau kajian feminisme sastra berkaitan dengan teori resepsi sastra, yang mempertimbangkan peran pembaca dan proses pembacaan. “Membaca sebagai perempuan”

bertalian dengan faktor sosial budaya pembacanya. Dalam hal ini, sikap baca menjadi faktor penting. Peran pembacanya dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap-bacanya. Perempuan dalam karya sastra itu terkonkretkan dan mendapatkan makna penuh dengan latar belakang keseluruhan sistem komunikasi sastra, yaitu pencipta, teks, dan pembaca.”

Sejalan dengan pendapat Sugihastuti dan Suharto, Al- Ma’ruf (2017: 116) menyatakan bahwa dalam sastra, kajian feminisme merupakan cara memahami karya sastra, kaitannya dengan proses produksinya dan resepsinya dengan konsep emansipasi wanita. Newton (dalam Endaswara, 2013: 150) menambahkan bahwa kritik sastra feminis itu bukan berarti pengkritik perempuan atau kritik tentang perempuan atau kritik tentang pengarang perempuan. Kritik sastra feminis memiliki arti bahwa terdapat jenis kelamin yang berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dijabarkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa kajian feminisme atau kritik sastra feminisme merupakan cara memahami karya sastra yang mempertimbangkan peran pembaca dan proses pembacaan, dalam hal ini membaca sebagai perempuan.

3. Ketidakadilan Gender

Perbedaan gender yang dikonstruksikan secara sosial atau kultural secara tidak langsung telah menciptakana adanya perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki dalam masnayarakat. Perbedaan perlakuan ini kemudian menimbulkan adanya ketidakadilan, baik bagi laki-laki maupun perempuan meskipun dalam kenyataan yang terdapat commit to user

(16)

dalam masyarakat perempuan lebih sering menerima ketidakadilan tersebut. pada hakikatnya, perbedaan gender bukanlah suatu hal yang salah selama tidak menimbulkan adanya ketidakadilan gender. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Fakih (2012: 12) yang mengatakan bahwa adanya perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inqualities).

Ketidakadilan gender merupakan kondisi saat relasi antara perempuan daan laki-laki berlangsung timpang, merugikan bahkan mengorbankan salah satu pihak. Ketidakadilan tersebut dipengaruhi oleh ideologi, struktur dan sistem sosial budaya yang menghendaki adanya stereotipe gender yang membedakan ruang dan peran keduanya dalam berbagai bidang kehidupan.

Ketidakadilan gender dimanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan yaitu marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden) (Fakih, 2012: 13-23).

Bentuk ketidakadilan gender yang telah disebutkan diatas, diperinci sebagai berikut.

a. Marginalisasi Perempuan

Marginalisasi merupakan bentuk peminggiran atau pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, atau dalam hal ini perempuan yang disebabkan oleh beberapa kejadian. Proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, terjadi karena beberapa hal seperti penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Merginalisasi terhadap perempuan tidak hanya terjadi di lingkungan tempat kerja, akan tetapi juga terjadi di lingkungan masyarakat atau kultur, bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan berawal dari rumah tangga yang berbentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan (Fakih, 2012: 13). Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa marginalisasi adalah proses peminggiran atau pemiskinan yang biasanya diterima oleh kaum perempuan yang disebabkan oleh

bencana alam, kebijakan pemerintah, eksploitasi, dan lain sebagainya. commit to user

(17)

b. Subordinasi

Subordinasi merupakan sebuah paham yang menganggap bahwa satu jenis kelamin lebih penting atau lebih utama daripada jenis kelamin lainnya. Pandangan tentang kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dibanding laki-laki sudah ada sejak dulu. Perempuan dipandang sebagai makhluk irrasional dan lebih emosional sehingga perempuan tidak dapat tampil memimpin sehingga berakibat pada munclnya sikap yang menempatkan perempuan di tempat yang tidak penting.

Hal ini dapat kita lihat pada kehidupan masyarakat kita, khususnya pada jaman dahulu yang selalu menempatkan perempuan sebagai “sang liyan” atau makhluk nomor dua. Dalam kehidupan berkeluarga misalnya, perempuan memiliki peran yang sangat terbatas, tidak diperkenankan bekerja ataupun mengutarakan pendapatnya. Peran perempuan yang terbatas juga terjadi dalam hal pendidikan, laki-laki seringkali didahulukan untuk mendapatkan pendidikan dibandingkan dengan perempuan. Hal ini menyebabkan perempuan seringkali tidak dapat mengambil keputusan untuk dirinya sendiri.

c. Stereotipe Gender

Stereotipe disebut juga sebagai pelabelan atau penandaan terhadap sesuatu. Pelabelan yang bersifat negatif sering kali menimbulkan adanya ketidakadilan bagi subjek yang dilabeli. Salah satu jenis stereotype yang melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi adalah yang bersumber dari pandangan gender. Pelabelan atau penandaan ini kerap kali diterima oleh perempuan. misalnya, perempuan yang pulang diatas jam malam yang telah ditentukan maka akan dilabeli sebagai perempuan “malam”. Stereotipe gender juga bukan hanya terjadi pada perempuan. Faktanya, laki-laki juga terkena dari dampak stereotipe yang ada pada masyarakat.

commit to user

(18)

Society trains boys not to expose their emotions, particulary the moments of crying and hence not to reveal their vulnerability. In fact, researchers have noted that the only formaly approved emotion for men to express publiccy is proved to be anger.

Perhaps, that is not a surprise that men drown their sadness, vulnerability, and emotion pain in alcohol and sometimes even drugs and human replaces objects as dolls. (Shokri and Asl, 2015)

Terjemahan:

Lingkungan sosial membuat laki-laki tidak bisa mengungkapkan emosinya, khususnya ketika menangis dan karena hal tersebut mereka tidak bisa mengungkapkan kerapuhannya. Pada faktanya, peneliti mengungkapkan bahwa hal yang normal untuk diekspresikan bagi laki-laki di ruang publik adalah emosi kemarahannya. Oleh karena itu, sebuah hal yang biasa apabila laki-laki menutupi kesedihannya, kerapuhannya, dan rasa sakitnya dengan alkohol, terkadang dengan narkoba, dan menggantikan manusia sebagai objek boneka. (Shokri dan Asl, 2015)

d. Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas integritas mental psikologis seseorang.

Kekerasan terjadi karena adanya satu pihak yang merasa telah mendominasi pihak yang lebih lemah.

“Violence, the harmfull, and destructive exercise of power of others, is both the means and the outccome of domination”(Shokri and Als, 2015)

Terjemahan:

“Kekerasan, ancaman berbahaya, dan penggunaan kekuatan yang mencelakai orang lain, adalah keseluruhan dari upaya dan hasil dari dominasi.” (Shokri dan Als, 2015)

Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari pelbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender (Fakih, 2004: 17). Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut gender-related violence.

Secara umum, kekerasan gender disebabkan adanya ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Berikut adalah beberapa bentuk kekerasan gender menurut Fakih yaitu.

1) Pemerkosaan, pemerkosaan yang terjadi terhadap perempuan termasuk pemerkosaan dalam perkawinan. Pemerkosaan commit to user

(19)

terjadi apabila seseorang melakukan pemaksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual terhadap seorang perempuan tanpa adanya kerelaan dari perempuan tersebut.

2) Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence).termasuk kkerasan terhadap anak-anak (child abuse).

3) Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap perempuan. berbagai alasan diajukan oleh suatu masyarakat untuk melakukan penyunatan ini. Akan tetapi, salah satu alasan terkuat adalah anggapan dan bias gender di masyarakat yakni untuk mengontrol kaum perempuan.

4) Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan dalam suatu mekanisme ekonomi yang merugikan pihak perempuan. di satu sisi negara melarang adanya kegiatan postitusi akan tetapi di sisi lain negara juga memungut pajak dari kegiatan tersebut. Sementara pada pandangan masyarakat pelacur dianggap rendah namun tempat prostitusi tidak pernah sepi dikunjungi orang.

5) Pornografi, merupakan jenis kekerasan lain terhadap perempuan. jenis kekerasan ini termasuk jenis kekerasan nonfisik, yakn pelecehan terhadap kaum perempuan yakni tubuh perempuan dijadikan sebagai objek demi keuntungan seseorang.

6) Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana (eforceed sterilization). Hal ini disebabkan adanya bias gender. Perempuan dipaksa untuk sterilisasi yang serimg kali membahayakan fisik maupun jiwa mereka.

7) Kekerasan terselubung (molestation) yakni memegang atu menyentuh bagian tubuh tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh.

Jenis kejahatan ini sering terjadi di alat transportasi umum maupun tempat umum.

8) Kekerasan verbal, merupakan kekerasan non fisik. Kekerasan verbal adalah kekerasan yang menggunakan kata-kata, ungkapan, kalimat, dan unsu-unsur bahasa lainnya (Arista, 2017). Kekerasan verbal menurut tinjauan feministik termasuk kekerasa psikologis. Contoh kekerasan verbal adalah menyumpah, berteriak, mengancam, merendahkan, melecehkan, dan tindakan-tindakan yang menyebabkan rasa takut. Tujuan dari kekerasan verbal adalh untuk merendahkan, mengancam, menyuruh, memerintah, menyakiti, dan mengecam.

9) Pelecehan seksual (sexual emotonal harrasment), kejahatan ini merupakan kejahatan yang paling sering terjadi di masyarakat. commit to user

(20)

Korban dari kejahatan ini rata-rata adalah perempuan, meskipun tidak sedikit pula laki-laki yang menjadi korban.

Sexual harrasment refers to direct or indirect sexual conduct that is not welcomed (Smith and Gayles, 2017).

Terjemahan:pelecehan seksual yang mengacu pada perlakuan seksual langsung maupun tidak langsung sangat tidak diijinkan.

e. Beban Kerja

Adaanya anggapan tentang perempuan yang memelihara, rajin, serta tidak cocok menjai kepala rumah tangga berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan sepenuhnya. Pada sebuah keluarga miskin, seluruh beban pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan rumah, mencuci, memasak, mengepel lantai dan lain sebagainya dilakukan oleh perempuan.

Terlebih jika perempuan tersebut juga bekerja, maka ia memiliki beban kerja ganda.

Bias gender mengakibatkan beban kerja tersebut diperkuat dengan adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai “pekerjaan perempuan”, seperti semua pekerjaan domestik dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai

“pekerjaan laki-laki”, serta dikategorikan sebagai “bukan produktif”

sehingga tidak diperhitungkan dalam ekonomi negara.

4. Hakikat Perlawanan dalam Naskah Drama Hikayat Perlawanan Sanikem:

Nyai Ontosoroh

Perlawanan merupakan sebuah reflek manusia untuk mempertahankan diri dari sebuah ancaman. Dalam kaitannya dengan naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh perlawanan yang dimaksud adalah perlawanan tokoh Nyai Ontosoroh sebagai bentuk pertahanan diri dari ketidakadilan yang ia terima. Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh tokoh Nyai Ontosoroh bukan berbentuk serangan fisik, akan tetapi lebih kepada sikap dan perilakunya. Seperti judul pada naskah drama tersebut, Nyai Ontosoroh melakukan perlawanan atas ketidakadilan yang ia terima. Bentuk commit to user

(21)

perlawanan yang ditunjukkan oleh tokoh Nyai Ontosoroh terdiri dari berbagai sikap. Sikap yang ia tunjukkan inilah yang membuat Nyai Ontosoroh dapat bertahan dengan kehidupannya sebagai gundik.

5. Hakikat Bahan Ajar Sastra a. Pengertian Bahan Ajar Sastra

Bahan ajar merupakan salah satu faktor pendukung dalma proses pembelajaran. Bahan ajar dapat pula disebut sebagai komponen isi pesan dalam kurikulum yang harus didampaikan kepada siswa. Sejalan dengan hal tersebut, Prastowo (2012: 297) berpendapat bahwa:

Bahan ajar pada dasarnya merupakan segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang disusun secara sistematis, yang menampilkan sebuah kesatuan utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan perencaan dan penalaah implementasi pembelajaran.

Contohnya seperti: buku pelajaran, modul, LKS, bahan ajar audio, bahan ajar inetraktif, dan lain sebagainya.

Bahan ajar dalam konteks pembelajaran merupakan salah satu komponen yang harus ada, sebagai suatu komponen yang harus dikaji, dipahami, dan dijadikan bahan materi yang akan dikuasai oleh peserta didik sekaligus menjadi pedoman dalam sebuah pembelajaran. Bahan ajar dikembangkan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam pembelajaran sastra khususnya, bahan ajar yang ideal adalah bahan ajar yang autentik, yang berarti bahwa karya sastra tersebut benar-benar ada. Ismawati (2013: 35) menyebutkan bahwa terdapat beberapa kriteria dalam pemilihan bahan ajar yaitu: 1) materi harus spesifik, jelas, akurat, dan mutakhir; 2) materi harus bermakna, otentik, terpadu, berfungsi, kontekstual, dan komunikatif; 3) materi harus mencerminkan kebhinekaan dan kebersamaan, pengembangan budaya, ipteks, dan pengembanagan kecerdasan berpikir, kehalusan perasaan, dan kesantunan sosial.

Bahan ajar dapat berwujud benda dan isi pendidikan. Isi pendidikan tersebut dapat berupa pengetahuan, perilaku, nilai, sikap, dan commit to user

(22)

juga metode pembelajaran. Sejalan dengan hal tersebut, Al- Ma’ruf (2011) menjelaskan bahwa sastra memiliki fungsi penting bagi kehidupan. Dalam proses pembelajaran, sastra dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk meningkatkan kepekaan siswa dalam menghadapi kehidupan yang kompleks dan multidimensi. Sehingga secara tidak langsung, pembelajaran sastra berperan penting dalam pembangunan karakter bangsa. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan ajar sastra merupakan suatu komponen penting dalam pembelajaran sastra yang dapat beruwujud benda (teks maupun alat) maupun isi pendidikan berupa pengetahuan, perilaku, nilai, sikap dan juga metode pembelajaran.

Proses penyusunan bahan ajar tidak terlepas dari kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria-kriteria inilah yang nantinya mendukung tujuan pembelajaran sastra. Kriteria-kriteria tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi yaitu sudut bahasa, segi kematangan jiwa (psikologi), dan sudut latar belakang budaya (Rahmanto, 2005: 27). Adapun fungsi pembelajaran sastra yaitu memotivasi siswa dalam menyerap ekspresi bahasa, alat simulatif dalam language acquisition, media dalam memahami budaya masyarakat, alat pengembangan kemampuan interpretasi, dan sarana untuk mendidik manusia seutuhnya (educating the whole person) (Lazar, dalam Al-Ma’ruf, 2011).

b. Prinsip-prinsip Pemilihan Bahan Ajar Sastra

Bahan ajar merupakan salah satu komponen penting dalam pembelajaran. Dalam penyusun bahan ajar, terdapat bebrapa prinsip yang harus diperhatikan. Berikut adalah beberapa prinsip pemilihanbahan ajar sastra menurut Rahmanto (2005: 27-31).

1) Aspek bahasa. Penguasaan suatu bahasa berkembang melalui tahapan-tahapan yang telah diidentifikasi. Sebaliknya, penggunaan bahasa dalam sastra kerap kali menimbulkan kebingungan dikarenakan adanya teknik penulisan, gaya bahasa, dan menggunakan ciri bahasa tersendiri. Dengan demikian, guru wajib mengerti dan memahami pemilihan karya sstra yang mudah dipahami oleh siswa. jika terdapat kosa kata yang sulit commit to user

(23)

dimengerti oleh siswa, guru berkewajiban untuk menjelaskan agartidak terdapat multi tafsir.

2) Aspek psikologi. Perkembangan psikologi peserta didik dibagi dalam berbagai tahapan.

a) Tahap penghayal (8-9), pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi al-hal nyata tapi masih penuh dnegan berbagai macam fantasi anak.

b) Tahap romantik (10-12), pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah realitas.

Meskipun pandangannya tentang dunia masih sangat sederhana. Pada tahap ini anak menyukai cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, dn bahkan kejahatan.

c) Tahap realitis (13-16), pada tahap ini anak-anak sudah benar- benar terlepas dari dunia fantasi, dan sangat berminat pada realitis atau apa yang sebenarnya terjadi.

d) Tahap generalisasi (16 tahun ke atas), pada yahap ini anak bukan hanya berminat pada hal-hal yang praktis saja tetapi juga berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena.

3) Latar belakang budaya. latar belkang karya sastra meliputi hampir semua faktor kehidupan manusia dn lingkungan seperti geografis, sejarah, topografi, iklim, mitologi, legenda, pekerjaan, kpercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olah raga, hiburan, moral, dan sebagainya.

B. Kerangka Berpikir

Penelitian ini menganalisis karya sastra yang berupa naskah drama dengan pendekatan feminisme. karya sastra yang dinalisis adalah naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh karya R. Giryadi. Hal pertama yang dikaji dalam penelitian ini adalah unsur-unsur pembangun dalam naskah drama. beberapa unsur tersebut adalah tema, tokoh dan penokohan, latar, plot atau alur, dialog, dan amanat. Pengkajian unsur-unsur pembangun naskah drama bertujuan untuk mengetahui hakikat naskah drama.

Penelitian ini merupakan kajian dengan menggunakan pendekatan feminisme. Pendekatan ini dipilih untuk mengetahui bentuk-bentuk feminisme dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh karya R.

Giryadi. Pendekatan feminisme dalam penelitian ini menggunakan pendekatan feminisme sosialis. Penelitian ini juga mengkaji pemanfaatan nilai-nilai feminisme yang terdapat dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai commit to user

(24)

Ontosoroh karya R. Giryadi sebagai bahan ajar sastra di SMA. Alur berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat dari bagan berikut.

Naskah Drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh karya R. Giryadi

Struktur naskah drama:

1. Tema 2. Alur

3. Tokoh dan Penokohan 4. Latar

5. Amanat

1. Bentuk ketidakadilan gender:

a. marginalisasi b. subordinasi c. stereotipe gender d. kekerasan e. beban kerja

2. Bentuk perlawanan tokoh Nyai Ontosoroh:

a. Penolakan Nyai Ontosoroh saat kedatangan orang tuanya

b.Sikap mandiri Nyai Ontsoroh

c. Nyai Ontsoroh mulai mempelajari banyak hal d. Keberanian Nyai Ontosoroh membentak Tuan Besar Mellema

e. Nyai Ontosoroh berhasil menguasai rumah tangganya f. Nyai Ontosoroh berhasil menguasai perusahaan g.Perlawanan Nyai Ontosoroh di persidangan

Pemanfaatan bentuk ketidakadilan gender dan perlawanan dalam naskah drama Hikayat Perlawanan Sanikem: Nyai Ontosoroh karya R. Giryadi sebagai bahan ajar di SMA

Kesimpulan

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir

Kriteria pemilihan bahan ajar sastra

commit to user

Gambar

Tabel 2.1. Teori-teori Feminisme Gelombang Pertama
Tabel 2.2. Teori-teori Feminisme Gelombang Kedua
Tabel 2.3. Teori-teori feminisme Gelombang Ketiga
Gambar 2.1. Kerangka  Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas pelayanan pada penelitian ini adalah metode Importance-Performance Analysis (IPA) dengan tujuan untuk

Seftriakson merupakan antibiotik profilaksis yang paling sering digunakan pada kasus bedah digestif sebelum (13,13 DDD/100 pasien hari) dan setelah pembuatan PPAB (11,18

Bicara tentang keranjang sekarang ini toko online mana sih yang belum punya fasilitas keranjang belanja. Fitur ini wajib dimiliki setiap toko online. Keranjang belanja digunakan

Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan kegiatan yg dilaksanakan secara serentak oleh semua jurusan pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta, selain itu

Berdasarkan informasi tentang kelompok tani di Kampung Rimba Jaya peneliti ingin melihat proses komunikasi dan efektivitas komunikasi kegiatan penyuluh seperti apa yang

Dalam pengaplikasiannya, rangkaian tersebut dapat ditaruh pada stang , diperlukan tas khusus sehingga yang benar-benar khusus, asalkan lampu LED pack dapat terlihat

Terkait dengan pelatihan bermain drama yang dilakukan di depan kelas, senada dengan pendapat Enklin (dalam Waluyo, 2007: 55) yang menyatakan bahwa latihan-latihan

menembakkan pertanyaan kepada kelompok Y yang ada di hadapannya. Setelah itu minta siswa Y untuk berpindah di sebelah kiri. 9) Kelompok siswa Y yang telah kebagian menjawab