7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya mengenai pemodelan pemilihan moda antara bus dan travel dengan metode state preference rute Palangkaraya – Banjarmasin oleh Christian, dkk (2014). Penelitian dilakukan dengan analisis statistik deksriptif kinerja angkutan umum travel dan bus, karakteristik sosial ekonomi dan karakteristik perjalanan penumpang rute Palangkaraya – Banjarmasin serta metode stated preference dengan atribut harga tiket, waktu tempuh dan frekuensi keberangkatan dan analisis potensi penumpang yang beralih moda. Dari hasil penelitian diperoleh model pemilihan moda berdasarkan harga tiket adalah (UB – UT) = -3,203 – 0,00009862∆X1, berdasarkan waktu tempuh diperoleh model pemilihan moda (UB – UT) = -0,537 – 1,354∆X2. dan berdasarkan frekuensi keberangkatan diperoleh model pemilihan moda (UB – UT) = 0,403 + 0,883∆X3.
Potensi penumpang yang beralih moda dari travel ke bus berdasarkan atribut harga tiket 68%, berdasarkan atribut waktu tempuh 53% dan berdasarkan atribut frekuensi keberangkatan 60%.
Saputra, dkk (2013) juga melakukan penelitian mengenai pemodelan pemilihan moda antara monorel DKI Jakarta terhadap busway dengan metode stated preference dengan atribut tarif, pengurangan waktu perjalanan, waktu tunggu dan kapasitas angkut. Pemodelan dilakukan dengan menggunakan model binomial logit. Model pemilihan moda yang didapat yaitu : Umrl-bwy = -5,6356 - 0,0007339(Fmrl - Fbwy) + 0,4316(TRedctnmrl – TRedctnbwy) dengan F merupakan variabel tarif, TRedctn adalah variabel pengurangan waktu perjalanan.
Berdasarkan model yang didapat, variabel yang paling banyak berpengaruh pada pemilihan moda adalah pengurangan waktu perjalanan. Pada model ini variabel pengurangan waktu perjalanan mempunyai nilai positif sehingga menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai pengurangan waktu perjalanan semakin besar pula nilai probabilitas pemilihan terhadap penggunaan moda monorel. Sedangkan atribut yang sangat kecil pengaruhnya terhadap model pemilihan moda monorel adalah tarif, hal ini merujuk kepada data karakteristik penghasilan, pengeluaran dan biaya
trasnportasi perbulan, bahwa masyarakat didaerah tersebut memiliki jumlah pengeluaran dan biaya transportasi yang cukup besar, sehingga jika nantinya akan diadakan transportasi dengan moda monorel ini diharapkan akan sangat membantu dan mengurangi biaya transportasi khususnya.
Penelitian oleh Laurentia & Syafi’I (2013) mengenai pemodelan pemilihan moda angkutan antar kota bus dan kereta api jurusan Yogyakarta – Madiun). Teknik digunakan pada penelitian ini adalah teknik stated preference. Atribut yang dipakai pada penelitian ini adalah tarif, waktu, kenyamanan, frekuensi perjalanan.
Pemodelan dilakukan dengan menggunakan model pemilihan diskrit dan menggunakan software NLOGIT. Model pemilihan moda yang terbaik yaitu : UBUS-KA= -2,0190 – 2,1193xTIME – 1,6526 xCOST + 1,4559x COMF + 1,0822xFREQ, dengan TIME adalah variabel waktu, COST merupakan variabel tarif, COMF adalah variabel kenyamanan, dan FREQ adalah variabel frekuensi moda. Berdasarkan model yang telah didapat, variabel yang paling banyak berpengaruh pada model pemilihan moda ini adalah waktu. Waktu memiliki nilai koefisien yang paling besar di antara variabel yang lain. Waktu memiliki nilai koefisien negatif ini berarti semakin lama waktu perjalanan maka semakin rendah pula nilai utilitasnya.
Sedangkan penelitian mengenai dampak covid -19 terhadap transportasi yang dilakukan oleh Luthfiyah & Miro (2020) tentang pengaruh covid – 19 terhadap transportasi di daerah Jabodetabek. Dimana dalam penelitian ini diperoleh hasil segala moda transportasi yang ada di Jabodetabek mengalami penurunan penumpang yang signifikan. Penurunan moda transportasi per Januari 2020 di wilayah Jabodetabek meliputi, Untuk MRT sebesar 94,11%, Lintas Rel Terpadu (LRT) turun sekitar 93,05%, KRL (Commuter Line) turun hingga 78,69%.
Sedangkan pada sektor udara turun sebesar 44% untuk penumpang domestik dan penumpang internasional sebesar 45%. Pihak BPTJ melakukan pembatasan waktu operasional angkutan umum selama masa PSBB, yaitu DKI Jakarta mulai 06.00- 18.00 WIB, sementara wilayah Bodetabek yang berstatus PSBB mulai pukul 05.00- 19.00 WIB sedangkan, LRT Jakarta sejak 23 Maret 2020 sudah mulai dengan merubah skebijakan jam operasional dari pukul 06.00-20.00 WIB dan melakukan pembatasan layanan dengan merubah headway dari 10 menit menjadi 30 menit per
1 Maret 2020. Pada sektor udara maskapai penerbangan Garuda indonesia juga melakukan restructuring mencari rute jadwal yang lebih bagus dalam menghentikan rute-rute merugikan, berbeda hal dengan yang dilakukan oleh maskapai penerbangan Lion Air masih tetap beroperasi normal dengan batas-batas protokol kesehatan yang ketat.
2.2. Sistem Transportasi
Dalam perkembangan sistem transportasi, akan secara langsung mencerminkan pertumbuhan pembangunan ekonomi yang sedang berjalan. Dengan tersedianya sarana dan prasarana transportasi yang baik, mampu memberikan pelayanan kepada penduduk masyarakat dalam melakukan mobilitas agar mewujudkan kesejahteraan (Luthfiyah , 2020: 3)
2.2.1 Pengertian Sistem Transportasi
Menurut Miro (2002:4) transportasi merupakan usaha memindahkan, menggerakkan, mengangkut, atau mengalihkan suatu obyek dari suatu tempat ke tempat lain. Di tempat lain itu, obyek tersebut lebih bermanfaat atau dapat berguna untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam pengertian di atas terdapat kata usaha, artinya, transportasi juga merupakan sebuah proses, yakni proses pindah, proses gerak, proses mengangkut, dan mengalihkan. Proses ini tidak bisa dilepaskan dari keperluan akan alat pendukung untuk menjamin lancarnya proses perpindahan sesuai dengan waktu yang diinginkan. Alat pendukung apa yang dipakai untuk melakukan proses pindah, gerak, angkut dan alih ini bisa bervariasi, begantung pada:
1. Bentuk obyek yang akan dipindahkan tersebut,
2. Jarak antara suatu tempat dengan tempat lain,
3. Maksud obyek yang akan dipndahkan tersebut.
Dengan demikian, penggunaan alat-alat pendukung untuk proses pindah harus cocok dan sesuai dengan objek, jarak, dan maksud objek, baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya. Keseimbangan antara objek yang diangkut dan alat pendukung ini, dapat dilihat pada ukuran kuantitas dan kualitas alat pendukung. Beberapa pertanyaan indikator untuk mengidentifikasi standar kuantitas dan kualitas alat pendukung ini antara lain,
1. Aman: Apakah objek yang diangkut aman selama proses perpindahan dan mencapai tujuan dalam keadaan utuh, tidak rusak atau hancur?
2. Cepat: Apakah objek yang diangkut dapat mencapai tujuan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan?
3. Lancar: Apakah selama proses perpindahan, objek yang diangkut tidak mengalami hambatan atu kendala?
4. Nyaman: Apakah selama proses perpindahan objek yang diangkut terjaga keutuhannya dan situasi bagi yang mengangkut menyenangkan?
5. Ekonomis: Apakah proses perpindahan tidak memakan biaya yang tinggi dan merugikan objek yang diangkut?
6. Terjamin kesediaannya: Alat pendukung selalu tersedia kapan saja objek yang diangkut membutuhkannya, tanpa memperdulikan waktu dan tempat.
2.3. Angkutan Umum
Warpani (2002:38) menjelaskan, bahwa angkutan umum adalah angkutan penumpang dengan menggunakan kendaraan umum dan dilaksanakan dengan sistem sewa atau bayar. Sedangkan menurut Christiani, dkk (2014: 2) angkutan umum adalah sarana untuk memindahan barang dan orang dari suatu tempat ke tempat lain. Secara garis besar berdasarkan apa yang diangkut, angkutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu angkutan pribadi dan angkutam umum. Dalam angkutan umum, para penumpang harus memiliki kesamaan dalam beberapa hal, yaitu asal, tujuan, lintasan, dan waktu. Kesamaan-kesamaan itu pada gilirannya menimbulkan masalah keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan.
Penggunaan angkutan umum berlangsung dengan baik, apabila tercipta keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan. Perkecualian dalam keseimbangan itu adalah permintaan pada masa sibuk atau masa puncak.
2.3.1 Peranan Angkutan Umum
Warpani (2002:39) menjelaskan, pada umumnya perkembangan kota bergantung pada kemajuan jalur sistem angkutan. Hal itu dapat dilihat pada jejak perkembangan kota-kota besar di dunia. Peranan angkutan terhadap perkembangan kota begitu signifikan. Hal itu tidak terlepas dari peran penting transportasi bagi peningkatan produktivitas kota. Jenis angkutan umum yang disewakan (paratransit)
merupakan pelayanan jasa angkutan yang dapat dimanfaatkan berdasarkan ciri-ciri tertentu, seperti tarif dan lintasan (rute). Selain itu, angkutan umum dapat pula disesuaikan dengan keinginan pengguna jasa.
Paratransit pada umumnya tidak memiliki trayek dan jadwal yang tetap, seperti taksi, jitney, dial-a-bus. Ciri khas paratransit adalah dapat melayani permintaan. Karena itu, paratransit dapat dikategorikan sebagai semi angkutan umum. Dalam hal ini, perlu digaris bawahi, angkutan umum memiliki peran melayani kepentingan mobilitas masyarakat dalam berkegiatan, baik kegiatan sehari-hari berjarak pendek atau menengah, maupun kegiatan sewaktu-waktu antar propinsi. Aspek lain pelayanan angkutan umum adalah peranannya dalam pengendalian lalu lintas, penghemat energi, dan pengembangan wilayah.
2.3.2 Pelayanan Angkutan Umum
Menurut Warpani (2002:41) angkutan umum di Indonesia dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu angkutan antarkota, angkutan perkotaan, dan angkutan pedesaan. Angkutan antarkota ada dua macam. Pertama, angkutan antarkota antarpropinsi (AKAP); angkutan AKAP ini merupakan angkutan angkutan kota yang melampaui batas wilayah administrasi propinsi, dan kedua, angkutan antarkota dalam propinsi (AKDP), yakni angkutan umum yang melayani jasa angkutan antarkota dalam satu wilayah administrasi propinsi.
Menurut Vuchic (1981) dalam Christiani, dkk (2014: 2) , karakteristik kinerja angkutan umum dapat dikelompokan menjadi empat kategori, yaitu:
a. Sistem kinerja utama angkutan umum b. Level of Service (L/S)
c. Dampak yang ditimbulkan oleh angkutan pada lingkungan dan beban jalan di sepanjang area pelayananannya
d. Biaya
Pada dasarnya, pengguna kendaraan angkutan umum menghendaki adanya tingkat pelayanan yang cukup memadai baik waktu tempuh, waktu tunggu maupun keamanan dan kenyamanan yang terjadi selama dalam perjalanan. Tuntutan akan hal tersebut dapat dipenuhi bila penyediaan armada angkutan penumpang umum berada pada garis yang seimbang dengan permintaan jasa angkutan umum (Christiani, dkk : 2014, 2)
Teknik pengoperasian angkutan umum dan praktik komersialisasi bergantung pada moda angkutan dan lingkungan. Pada hakikatnya, semua operator harus sama-sama memahami pola kebutuhan, dan harus mampu mengerahkan sediaan untuk memeuhi kebutuhan secara ekonomis. Dalam hal ini, ada beberapa unsur yang perlu dikenali, antara lain:
(a) Sarana operasi atau moda angkutan dengan kapasitas tertentu yaitu bus, kereta api, kapal, pesawat,
(b) Biaya operasi, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk menggerakkan operasi pelayanan sesuai dengan sifat teknis moda yang bersangkutan,
(c) Prasarana, yakni jalan dan terminal yang merupakan simpul jasa pelayanan angkutan, dan
(d) Staf atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengoperasikan pelayanan angkutan.
2.3.3 Parameter Angkutan Umum 2.2.3.1 Tarif
Warpani (2002:149) menjelaskan, tarif adalah harga jasa angkutan yang harus dibayar oleh pengguna jasa, baik melalui mekanisme perjanjian sewa- menyewa, tawar-menawar, maupun ketetapan pemerintah. Harga jasa angkutan biasanya ditentukan berdasarkan sistem tarif, yang berlaku secara umum, tanpa ada ketentuan lain.
Dalam angkutan ditetapkan melalui mekanisme perjanjian, harga atau tarif jasa angkutan hanya berlaku bagi pihak yang terikat dalam perjanjian, yang dapat ditentukan menurut waktu pemakaian atau tempat tujuan pengiriman. Waktu pemakaian lebih luas lingkupnya daripada tempat tujuan pengiriman, karena waktu pemakaian dapat mencakup beberapa kali tujuan pengiriman.
Sedangkan tarif yang ditetapkan oleh pemerintah berfungsi untuk melindungi kepentngan pengguna jasa (konsumen) untuk kelangsungan usaha.
Penentuan tarif pelayanan kelas eksekutif biasanya diserahkan kepada produsen dengan pertimbangan pangsa pasarnya adalah golongan ekonomi menengah ke atas, dan faktor kebijakan subsidi silang.
2.3.3.2 Headway
Dikutip dari (Asikin 2001:25) headway adalah waktu antara satu kendaraan dengan kendaraan lain yang berurutan di belakangnya pada satu rute yang sama.
Headway makin kecil menunjukkan frekuensi yan semakin tinggi, sehingga akan menyebabkan waktu tunggu yang rendah. Ini merupakan kondisi yang menguntungkan bagi penumpang, namun disisi lain akan menyebabkan proses bunching atau saling menepel antar kendaraan lain dan ini akan mengakibatkan gangguan pada arus lalu lintas lainnya. Untuk menghindari efek bunching ditetapkan minimum headway sebesar 1 menit. Jika nilai ini terlampaui, perlu dipikirkan penggunaan kendaraan yang lebih besar.
2.3.3.3 Waktu tempuh
Menurut Tamin (2000:288) waktu tempuh adalah waktu total perjalanan yang diperlukan, termasuk berhenti dan tundaan, dari suatu tempat ke tempat yang lain melalui rute tertentu. Dalam hal ini, pengamatan waktu tempuh dapat dilakukan dengan metode pengamat bergerak, yaitu pengamat mengemudikan kendaraan survei di dalam arus lalu lintas dan mencatat waktu tempuhnya.
2.3.3.4 Service
Asikin (2001:14) menjelaskan, Service atau jam operasi tidak sekadar memengaruhi biaya operasi. Akan tetapi, juga memengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan. Tambahan jam operasi, terutama pada malam hari, relatif akan menimbulkan tambahan biaya dibandingkan penambahan pada siang hari. Hal itu juga akan menimbulkan dampak positif berupa peningkatan pergerakan masyarakat.
2.4 Pemilihan Moda Transportasi
Menurut Miro (2002:115), pemilihan moda transportasi merupakan suatu tahapan proses perencanaan angkutan umum. Hal yang perlu diperhitungkan adalah beban perjalanan atau jumlah orang dan barang akan diangkut. Pemilihan moda transportasi juga didasarkan pada moda yang terseadia untuk melayani suatu titik asal-tujuan tertentu, dalam rangka memenuhi beberapa maksud perjalanan tertentu.
Contoh, seorang berinisial “A” akan melakukan perjalanan dari Padang menuju Medan dengan maksud bisnis/dinas, kemudian dia dihadapkan pada pilihan antara menggunakan Bus Umum lewat jalan raya, atau mobil pribadi/dinas, atau dengan
pesawat? Hal itu tentunya bergantung pada si “A” dengan mempertimbangkan sekumpulan faktor atau variabel.
Secara umum, pelayanan transportasi dibagi atas 2 (dua) kelompok besar.
Pertama, Kendaraan Pribadi (Private Tranportation), yaitu moda tranportasi yang dikhususkan buat pribadi seseorang. Seseorang itu bebas memakainya ke mana saja, di mana saja, dan kapan saja, atau bahkan mungkin juga dia tidak memakainya sama sekali. Kedua, Kendaraan Umum (Public Transportation), yaitu moda transportasi yang diperuntukkan buat kepentingan bersama. Kendaraan umum menerima pelayanan bersama, mempunyai arah dan titik tujuan yang sama serta terikat dengan peraturan trayek yang sudah ditentukan. Pun jadwalnya sudah ditetapkan. Para pelaku perjalanan yang memilih angkutan umum, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan tersebut.
Sedangkan Tamin (2000:227) menjelaskan, model pemilihan moda merupakan model terpenting dalam perencanaan transportasi. Pilihan pada angkutan umum akan berdampak penggunaan ruang jalan yang jauh lebih efisien daripada moda agkutan pribadi. Karena tidak mungkin menampung semua kendaraan pribadi di suatu kota. Karena itu, pemilihan moda dapat dikatakan sebagai tahap terpenting dalam berbagai perencanaan dan kebijakan transportasi, terutama yang berkaitan efisiensi pergerakan di daerah perkotaan, ruang yang harus disediakan kota untuk dijadikan prasarana transportasi, dan banyaknya pilihan moda transportasi yang dapat dipilih penduduk.
2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Moda
Miro (2002:118) menjelaskan ada 4 (empat) faktor yang memengaruhi perilaku pejalan atau calon pengguna (trip maker behavior). Masing-masing faktor memiliki beberapa variabel yang identik. Variabel-variabel ini dapat dinilai secara kuantitatif dan kualitatif. Faktor-faktor atau variabel tersebut antara lain,
1. Kelompok faktor karakteristik perjalanan (Travel Characteristics Factor).
Kelompok ini memiliki beberapa variabel yang memiliki pengaruh kuat pada perilaku pengguna jasa moda transportasi dalam memilih moda angkutan, yaitu,
a. Variabel tujuan perjalanan (trip purpose) b. Variabel waktu perjalanan (time of trip made) c. Variabel panjang perjalanan (trip length)
2. Kelompok faktor karakteristik pelaku perjalanan (Traveler Characteristics Factor). Kelompok faktor ini memiliki variabel yang berhubungan dengan individu pelaku perjalanan. Variabel-variabel tersebut juga dapat mempengaruhi perilaku pembuat perjalanan dalam memilih moda angkutan.
Variabel tersebut antara lain, a. Variabel pendapatan (income)
b. Variabel kepemilikan kendaraan (car ownership)
c. Variabel kondisi kendaraan pribadi (tua, jelek, baru dan lain-lain) d. Variabel kepadatan pemukiman (density of residential development) e. Variabel sosial-ekonomi lainnya, seperti struktur dan ukuran keluarga, usia,
jenis kelamin, jenis pekerjaan, lokasi pekerjaan, kepunyaan akan lisensi mengemudi (SIM) serta semua variabel yang mempengaruhi pemilihan moda.
3. Kelompok faktor karakteristik sistem transportasi (Transportation system Characteristics Factor). Sejumlah variabel dalam faktor ini berpengaruh pada perilaku si pembuat perjalanan dalam memilih moda transportasi, terutama yang berhubungan dengan kinerja pelayanan sistem transportasi. Sejumlah variabel itu antara lain,
a. Variabel waktu relatif (lama) perjalanan (relative travel time) mulai dari lamanya waktu menunggu kendaraan dipemberhentian (terminal), waktu jalan ke terminal (walk to terminal time), dan waktu di atas kendaraan.
b. Varibel biaya relatif perjalanan (Relative travel cost), merupakan seluruh biaya yang timbul akibat melakukan perjalanan dari asal ke tujuan untuk semua moda yang berkompetisi seperti tarif tiket, bahan bakar dan lain-lain.
c. Variabel tingkat pelayanan relatif (relative level of service), merupakan variabel yang cukup bervariasi dan sulit diukur, contohnya variabel- variabel kenyamanan dan kesenangan, yang membuat orang beralih ke moda transportasi lain.
d. Variabel tingkat akses/indeks daya hubung/kemudahan pencapaian tempat tujuan.
e. Variabel tingkat kehandalan angkutan umum disegi waktu (tepat waktu/reliability), ketersediaan ruang parkir dan tarif.
4. Kelompok faktor karakteristik kota dan zona (special system Characteristics Factor). Faktor ini memiliki dua variabel yaitu,
a. Variabel jarak kediaman dengan tempat kegiatan.
b. Variabel kepadatan penduduk (population density).
Menurut Tamin (2000:228), faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan suatu moda transportasi dapat dikelompokan menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Kategori pengguna jalan, antara lain,
Keadaan sosial ekonomi serta tingkat pendapatan.
Ketersedian atau kepemilikan kendaraan.
Kepemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM).
Struktur rumah tangga (pasangan muda, keluarga dengan anak, pensiun, dan lain-lain).
Faktor lain, seperti keharusan menggunakan mobil ketempat bekerja dan keperluan mengantar anak sekolah.
2. Kategori pergerakan
Tujuan pergerakan, misalnya pergerakan ke tempat kerja. Di negara maju biasanya lebih mudah dengan angkutan umum. Hal itu berdasarkan kebutuhan ketepatan waktu dan tingkat pelayanan yang sangat baik, serta ongkos lebih murah dibandingkan dengan mobil. Sementara di negara berkembang, orang masih menggunakan mobil pribadi ketempat kerja meskipun mahal, karena ketepatan waktu, kenyamanan dan pelayanan lainnya tidak dapat dipenuhi angkutan umum.
Waktu pergerakan. Perjalanan di luar jam operasi lebih sulit diakomodasi dengan angkutan umum.
Jarak perjalanan. Semakin jauh perjalanan, orang semakin cenderung memilih angkutan umum dibandingkan dengan agkutan pribadi.
3. Kategori fasilitas moda transportasi
Tingkat pelayanan masing-masing moda transportasi merupakan faktor penentu bagi seseorang dalam memilih sarana transportasi. Tingkat pelayanan ini dikelompokan dalam dua kategori :
Faktor-faktor kuantitatif, seperti :
Lama waktu perjalanan yang meliputi waktu didalam kendaraan, waktu menunggu dan waktu berjalan kaki
Biaya transportasi (tarif, biaya bahan bakar dan lain-lain)
Ketersediaan ruang dan tarif parkir
Faktor-faktor kualitatif, seperti :
Kenyamanan dan kemudahan
Keandalan dan keteraturan
Keamanan 2.6 Model Pemilihan Moda 2.6.1 Definisi Model
Miro (2002:33) menjelaskan salah satu langkah dalam perencanaan transportasi adalah menganalisis setiap data dan informasi yang relevan sebagai landasan memprediksi apa yang akan terjadi. Data dan informasi bisa berupa data sekunder, yaitu data yang sudah tersusun dari instansi atau badan-badan terkait, dan bisa berupa data primer, yaitu data yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan.
Data yang diperoleh dari pengamatan langsung, sulit untuk dianalisis dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar prakiraan (prediksi). Karena itu, untuk keperluan estimasi prakiraan atas hasil tersebut, data dan informasi perlu disederhanakan dan diringkas, tanpa menyimpang dari maksud, tujuan, dan substansi data dan informasi terkait. Aktivitas meringkas dan menyederhanakan lebih dikenal dengan istilah pemodelan. Dengan demikian, model dapat didefinisikan sebagai berikut, (a) Model merupakan suatu representasi ringkas dari kondisi riil dan berwujud suatu rancangan yang mewakili kondisi riil untuk suatu tujuan tertentu, (b) Model juga merupakan suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu yang disepakati dari suatu kondisi tertentu, dan (c) Model merupakan suatu kerangka utama atau formalisasi informasi/data tentang kondisi nyata yang dikumpulkan untuk mempelajari/menganalisis sistem riil tersebut.
Kesamaan dari beberapa definisi model di atas terletak pada penekanannya, bahwa model itu berupa bentuk (wujud rancangan) yang berfungsi sebagai media (alat) penyampai pesan tentang apa yang terjadi di dunia nyata dan dapat mewakili
dunia nyata secara keseluruhan sehingga memudahkan pemahaman bagi orang yang ingin mengamatinya. Beberapa bentuk model yaitu (a) Model Fisik (model arsitek, model teknik sipil, dan lain-lain), (b) Peta dan diagram (grafis), dan (c) Model Statisitika dan matematika (persamaan) yang menerangkan beberapa aspek fisik, sosial-ekonomi, dan model transportasi.
Beberapa peran modal dalam perencanaan transportasi di antaranya, (1) Sebagai alat bantu untuk memahami cara kerja sistem, (2) Sebagai alat untuk memudahkan dan memungkinkan dilakukannya perkiraan terhadap hasil-hasil atau akibat-akibat dari langkah-langkah/alternatif yang diambil dalam proses perencanaan dan pemecahan masalah pada masa yang akan datang, dan (3) Sebagai alat untuk memudahkan kita menggambarkan dan menganalisis realita.
2.6.2 Angkutan Umum Captive
Menurut Tamin (2000:236), tahap berikutnya dalam pemodelan pemilihan moda, adalah identifikasi pemakai angkutan umum captive. Pengguna angkutan umum yang berangkat dari rumah dan tidak mempunyai atau menggunakan mobil (tidak ada pilihan lain kecuali angkutan umum). Pengguna ketegori ini diasumsikan pasti menggunakan angkutan umum, sehingga jumlahnya dapat diperkirakan secara terpisah dari proses pemodelan dan dibebankan langsung ke sistem prasarana angkutan umum.
Selain itu, ada pengguna angkutan umum yang mempunyai minimal satu kendaraan. Pengguna mempunyai pilihan antara angkutan umum dan mobil pribadi. Model pemilihan moda hanya diaplikasikan untuk orang ini saja. Akan tetapi, hal itu belum pasti juga. Misalnya, orang yang tidak mempunyai kendaraan pribadi mungkin menumpang kendaraan pribadi milik temannya. Mungkin juga, orang yang mempunyai mobil menggunakan angkutan umum karena mobilnya tidak tersedia pada saat dia memerlukan. Masalah seperti ini menunjukkan nilai potensial pendekatan tidak- agregat dalam perencanaan transportasi.
2.6.3 Lebih Dari Dua Moda
Tamin (2000:236) menjelaskan beberapa prosedur pemilihan moda memodel pergerakan hanya dengan dua buah moda transportasi: angkutan umum dan angkutan pribadi. Di beberapa negara Barat terdapat pilihan lebih dari dua moda. Misalnya, London mempunyai kereta api bawah tanah, kereta api, bus, dan
mobil). Di Indonesia terdapat beberapa jenis moda kendaraan bermotor (termasuk ojek) ditambah becak dan berjalan kaki. Pejalan kaki termasuk penting di Indonesia.
Ada dua pendekatan analisis sistem dengan dua buah moda. Pertama, Model 2 moda yang dipilih (Angkutan Umum dan Angkutan Pribadi), dan kedua, Model lebih dari 2 moda yang dipilih (Apa saja modanya).
Model pemilihan 2 moda yang dipilih, yaitu antara Angkutan Umum dan Angkutan Pribadi. Proses pilihan moda pada model ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut :
Melakukan Tidak Melakukan Melakukan Tidak melakukan Perjalanan Perjalanan Perjalanan Perjalanan
Mobil Angkutan Mobil Angkutan Pribadi Umum Pribadi Umum 2
Angkutan Angkutan Angkutan Umum 1 Umum 2 Umum 1
Gambar 2.1 Proses Pemilihan Dua Moda
Model lebih dari 2 moda yang dipilih (Apa saja modanya). Prosesnya bergantung pada kondisi geografis wilayah dan ketersediaan moda transportasi yang ada, seperti hirarki pilihan pada Gambar 2.2 berikut :
Total Perjalanan
(Potensial) Total Perjalana
(Potensial)
Total Pergerakan
Melakukan Perjalanan Tidak Melakukan Perjalanan
Angkutan Umum Mobil Pribadi
Tidak Bermotor (Sepeda)
Sepeda Motor (Roda 2)
Bermotor
Mobil (Roda 4)
Bus Taki
Gambar 2.2 Proses Pemilihan Model Lebih Dari Dua Mod Berjalan kaki Berkendar
a
Bermoto r
Tidak Bermotor (Becak / Ojek Sepeda)
Jalan Rel (Kereta Api)
Jalan Raya
2.6.4 Pendekatan Pemilihan Moda
Pemilihan moda mungkin merupakan model terpenting dalam perencanaan transportasi. Ini karena peran kunci dari angkutan umum dalam berbagai kebijakan transportasi. Oleh karena itu, masalah pemilihan moda dapat dikatakan sebagai tahap terpenting dalam perencanaan dan kebijakan transportasi. Hal ini menyangkut efisiensi pergerakan di daerah perkotaan, ruang yang harus disediakan kota untuk dijadikan prasarana transportasi, dan banyaknya pilihan moda transportasi yang dapat dipilih penduduk.(Tamin, 1997 dalam Laurentia & Syafi’I, 2013: 31)
Suatu jenis perjalanan, pelaku perjalanan dapat memilih diantara beberapa moda transportasi. Pemilihan moda (modal split) berhubungan dengan tingkah laku pelaku perjalanan dalam memilih moda transportasi. Alasan utama dalam memilih moda transportasi ini antara satu individu berbeda dengan yang lainnya, bergantung dari tipe perjalanan yang dilakukan, tingkat pelayanan relatif, dan biaya relatif moda transportasi tersebut (Laurentia & Syafi’I, 2013: 31) . Dalam memilih moda transportasi yang akan digunakan, pelaku perjalanan dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktorfaktor yang menpengaruhi pemilihan moda a. Karakteristik pelaku perjalanan
b. Karakteristik perjalanan
c. Karakteristik fasilitas/atribut moda transportasi
Menurut Miro (2002:121) bahwa kepuasan pelaku perjalanan dalam menggunakan moda transportasi alternatif, dipengaruhi dan berhubungan dengan variabel-variabel yang sudah dianggap memiliki hubungan yang kuat dengan perilaku pelaku perjalanan. Bentuk hubungannya dapat dilihat melalui fungsi utiliti 2.1 berikut :
U = f (V1,V2,V3, …Vn)...(2.1) dimana :
U = Nilai kepuasan pelaku perjalanan menggunakan moda transportasi.
V1 - Vn = Variabel-variabel yang dianggap berpengaruh terhadap nilai kepuasan menggunakan moda transportasi tertentu.
f = Hubungan fungsional.
Penentuan dan pengamatan perilaku pelaku perjalanan melalui fungsi utilitas seperti model di atas dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan agregat, dan kedua pendekatan disagregat.
2.5.4.1 Pendekatan Agregat
Menurut Miro (2002:121) pendekatan agregat adalah pendekatan dengan analisis fokus pada perilaku pelaku perjalanan secara menyeluruh. Pendekatan agregat dapat dilakukan dengan 2 (cara), yaitu (a) Membagi objek pengamatan atas beberapa kelompok yang mempunyai karakteristik elemen yang relatif sama, dan (b) Melakukan agregasi dari data-data disagregat. Dalam hal ini, fungsi untuk suatu kelompok tertentu dapat diturunkan dari fungsi utilitas individu sebagai anggota pada kelompok tersebut.
2.5.4.2 Pendekatan Disagregat
Menurut Miro (2002:122) pendekatan disagregat adalah pendekatan dengan analisisi fokus pada perilaku pelaku perjalanan secara individu. Hal ini mencakup bagaimana merumuskan tingkah laku individu ke dalam model kebutuhan transportasi.
Pendekatan disagregat dapat dilakukan dengan 2 cara. Pertama, Disagregat Deterministik. Pendekatan ini dilakukan atas dasar pelaku perjalanan mampu mengidentifikasi semua alternatif moda yang ada, semua vaiabel yang ada, persepsi variabel secara eksplisit, dan menggunakan seluruh informasi untuk mengambil keputusan. Bentuk modelnya adalah model persamaan linear berganda tanpa unsur kesalahan (error) seperti persamaan 2.2 berikut ini:
Ui = a + b1T + b2X + b3C...(2.2) Dimana :
Ui = Nilai kepuasan menggunakan moda i a = Konstanta
T = Variabel waktu di atas kendaraan X = Variabel waktu di luar kendaraan C = Variabel ongkos transportasi
b1 - b3 = Parameter fungsi kepuasan untuk masing-masing variabel tersebut (koefisien regresi)
Kedua, Disagregat Stokastik. Selain nilai kepuasan lebih realistis, pendekatan ini juga mempertimbangkan unsur-unsur yang tidak teramati yang terjadi di dunia nyata. Dibanding pendekatan disagregat deterministik seperti model 2.2 di atas yang terlalu teoritis, pendekatan ini memasukkan semua unsur yang tidak teramati yang terjadi di dunia nyata. Dengan kata lain, pendekatan ini juga diwakili oleh unsur error (kesalahan) yang bersifat acak (random) atau bersifat stokastik, sehingga modelnya menjadi persamaan 2.3 di bawah ini :
Um = β0 + β1tm + β2um + β3vm + en...(2.3) Dimana :
Um = Nilai fungsi kepuasan menggunakan moda m tm – vm = idem diatas
β1 – β3 = idem diatas
en = Faktor kesalahan atau unsur stokastik, yaitu variable random yang mengikuti bentuk distribusi tertentu
β0 = Konstanta karakteristik nilai kepuasan alternative seluruh variable tm s/d vm bernilai 0
Peramalan dikatakan relative tepat, apabila nilai en sekurang – kurangnya mendekati 0 ( seminimal mungkin) atau en = 0
2.6.5 Utilitas Acak
Dasar teori, kerangka, atau paradigma dalam menghasilkan model pemilihan diskret adalah teori utilitas acak. Tamim (2000:59) mengemukakan beberapa hal tentang utilitas acak, antara lain,
1. Dalam suatu populasi secara rasional dan dengan informasi yang tetap, individu dapat menentukan pilihan secara utilitas sesuai dengan batasan hukum, sosial, fisik dan uang.
2. Unsur parameter A = {A1,A2, . . . , X1) menjadi alternatif yang mempengaruhi pemilihan moda yang dirumuskan dalam fungsi pemilihan yang berbentuk fungsi deterministik. Nilai utilitas i memberikan harga yang maksimum, dan pilihan akan
jatuh pada alternatif i.
3. Setiap pilihan mempunyai utilitas U untuk setiap individu n. Pemodelan yang juga merupakan pengamat sistem tersebut tidak mempunyai informasi yang lengkap tentang semua unsur yang dipertimbangkan oleh setiap individu yang menentukan pilihan. Sehingga dalam membuat model diasumsikan bahwa U dapat dinyatakan dalam 2 komponen, yaitu:
Vin yang terukur sebagai fungsi dari atribut terukur (deterministik)
Bagian acak єin yang mencerminkan hal tertentu dari setiap individu termasuk kesalahan yang dilakukan oleh pemodelan. Berikut dalam persamaan 2.5 : Uin = Vin + єin...(2.4)
Di mana:
Uin = Utilitas alternatif i bagi pembuat keputusan n.
Vin = Fungsi deterministik utilitas moda i bagi individu n.
єin = Kesalahan acak (Random error) komponen statistik.
Dalam pemilihan deterministik di atas, nilai utilitas bersifat pasti (constant utility). Hal itu bisa terjadi dengan asumsi si pengambil keputusan mengatahui secara pasti semua atribut yang berpengaruh terhadap utilitas setiap moda alternatif dan pengambilan keputusan tersebut memiliki informasi serta kemampuan menghitung nyaris sempurna pada atribut tersebut.
2.6.6 Model Logit Binomial
Tamin (2000:353) menjelaskan, model logit binomial adalah model pemilihan diskret yang mudah digunakan dan didapat dengan mengasumsikan, residu acak dengan residu gumbel yang tersebar bebas dan identik. Fungsi utilitas biasanya mempunyai bentuk parameter linier dan parameter β dalam praktek nilainya selalu ditentukan sama dengan satu. Parameter tersebut tidak dapat ditaksir secara terpisah dari 0 yang ada kaitannya dengan simpangan baku gumbel. Model logit binomial harus memenuhi aksioma independent of irrelevant alternative yang dapat didekati dengan persamaan (2.5) berikut ini
𝑃𝑀𝑝𝑢
= exp(𝑈)
1 + exp(U) … … … (2.5) Di mana:
P : Probabilitas
Exp : Fungsi exponensial, dengan nilai = 2.7182818245 U : Utilitas atau nilai kepuasan
2.6.7 Analisis Regresi Linier
Miro (2002:71) menjelaskan, analisis regresi linier adalah analisis yang mengukur pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Pengukuran pengaruh ini melibatkan satu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y), berikut persamaannya :
Y = ɑ + b1x1 + b2x2 + ... + bnxn + e...(2.6) Di mana:
Y = variabel terikat yang akan diramalkan (dependent variable) atau dalam studi transportasi berupa jumlah perjalanan (lalu lintas) manusia, kendaraan, dan barang dari titik asal ke titik tujuan yang akan diperkirakan.
x1, …. xn = variabel-variabel bebas (independent variable) berupa seluruh atau faktor yang dimasukkan ke dalam model dan yang mungkin berpengaruh terhadap timbulnya jumlah perjalanan (lalu lintas) seperti, jumlah penduduk, tingkat kepemilikan kendaraan, pendapatan pekerja, luas toko/pabrik dan lain-lain atau disebut juga dengan explanatory variable.
a = parameter konstanta (constant parameter) yang artinya, kalau seluruh variabel bebas (x1 s/d xn) menunjukkan perubahan atau tetap atau sama dengan nol, maka Y atau jumlah perjalanan diperkirakan akan sama dengan a.
b1, b2,… bn = parameter koefisien (coefficient parameter) berupa nilai yang akan dipergunakan untuk meramalkan Y disebut juga sebagai koefisien kemiringan garis regresi atau elastisitas.
e = nilai kesalahan, untuk regresi berganda ini merupakan faktor di luar jangkauan akal manusia yang tidak bias teramati kejadiannya yang disebut sebagai faktor “x”.
2.7 Teknik Stated Preference
Teknik stated preference adalah teknik kuisioner dengan membuat alternatif situasi perjalanan hipotesis yang merupakan kombinasi perubahan atribut-atribut pelayanan kedua moda tersebut, lalu diujikan kepada responden dengan cara wawancara atau menyebar kuisioner untuk mengetahui respon dari penumpang terhadap situasi perjalanan tersebut (Saputra, 2014:3). Pendekatan ini menyaratkan, evaluasi proyek memerlukan kebijakan yang mengekspresikan perubahan dalam atribut yang 'memetakan' yang dianggap mempengaruhi perilaku saat ini. Akan tetapi, ini memiliki keterbatasan praktis, terutama yang terkait dengan biaya survei.
Teknik yang mengacu pada keinginan/niat, yang dipinjam dari bidang riset pasar, sebagai cara untuk bereksperimen dengan pilihan yang terkait transportasi untuk memecahkan beberapa masalah. Teknik stated preference pada dasarnya merujuk pada perkiraan permintaan pada analisis tanggapan terhadap pilihan hipotetis ini, juga mencakup atribut dan kondisi yang lebih luas daripada sistem yang sebenarnya.
2.6.1 Teori Sampling Dasar
Ortuzar (2011:55) menjelaskan, statistik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan pengumpulan, analisis, dan interpretasi data dalam mendapatkan jumlah informasi. Hal itu juga dapat digambarkan sebagai salah satu disiplin yang berkaitan dengan pengambilan keputusan di bawah ketidakpastian. Tujuan statistic untuk membantu menentukan tingkat ketidakpastian yang terkait dengan data terukur dalam mendukung keputusan yang lebih baik.
Data biasanya terdiri atas sampel pengamatan dari populasi tertentu yang secara ekonomis (atau mungkin bahkan teknis) layak untuk diamati. Pengamatan itu dibuat untuk satu atau lebih atribut setiap anggota populasi. Kesimpulannya dari nilai rata- rata atribut ini biasa disebut parameter populasi. Desain sampel bertujuan untuk memastikan, data yang akan diperiksa memberikan sejumlah besar informasi tentang populasi.
2.6.1.1 Definisi Dasar Sampel
Menurut Ortuzar (2011:56) sampel adalah kumpulan unit yang dipilih secara khusus untuk mewakili populasi yang lebih besar. Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam menentukan sampel. Pertama, populasi mana yang ingin diwakili oleh sampel; Kedua, seberapa besar sampel seharusnya; dan ketiga, apa yang dimaksud dengan 'terutama dipilih'.
Populasi yang diminati terdiri atas unsur individu. Akan tetapi, sampel biasanya dipilih berdasarkan unit sampling yang tidak setara dengan elemen individual. Hal itu dengan pertimbangan agregasi yang terakhir sering dianggap perlu. Metode Sampling yang digunakan biasanya bentuk sampling acak.
Isu utama dalam kasus ini adalah pemilihan masing-masing unit dilakukan secara independen, dengan masing-masing unit memiliki probabilitas yang sama. Ada dua metode yang perlu diperhatikan. Pertama, sampling acak sederhana. Metode ini merupakan metode sederhana, dan merupakan dasar dari teori yang lainnya. Pertama- tama, metode ini mengasosiasikan sebuah pengenal (bilangan) ke setiap unit dalam populasi, kemudian memilih angka-angka secara acak untuk mendapatkan sampel.
Kedua, stratified random sampling. Dalam metode ini, informasi pertama kali digunakan untuk membagi populasi menjadi strata homogen dan pengambilan sampel acak sederhana dilakukan di dalam setiap lapisan dengan tingkat sampling yang sama.
Metode ini memungkinkan proporsi yang benar dari setiap lapisan pada sampel yang akan diperoleh.
2.6.1.2 Ukuran Sampel Untuk Perkiraan Parameter Populasi
Menurut Ortuzar (2011:57) ukuran sampel untuk perkiraan parameter poluasi bergantung pada tiga faktor utama, yaitu (a) variabilitas parameter pada populasi yang diteliti, (b) tingkat akurasi yang dibutuhkan untuk masing-masing, dan (b) ukuran populasi.
Teorema Batas Tengah, yang merupakan inti dari masalah estimasi ukuran sampel, mendalilkan bahwa perkiraan mean dari sampel cenderung terdistribusi Normal saat ukuran sampel (n) meningkat. Ini berlaku untuk distribusi populasi jika n
lebih besar dari atau sama dengan 30, teorema memegang bahkan dalam kasus sampel yang lebih kecil, jika populasi asli memiliki distribusi Normal-like.
Perhatikan populasi dengan ukuran N dan properti spesifik yang didistribusikan dengan mean μ dan varians σ 2. Teorema Batas Tengah menyatakan bahwa distribusi rata-rata (x) dari sampel berturut-turut didistribusikan Normal dengan mean μ dan standar deviasi se (x), yang dikenal sebagai kesalahan standar mean, dan diberikan oleh:
𝑠𝑒(𝑥) = √(𝑁 − 𝑛)𝜎2
[𝑁 − 1] … … … (2.7) Jika hanya satu sampel yang dipertimbangkan, perkiraan terbaik μ adalah x dan perkiraan terbaik σ2 adalah s2 (varians sampel), dalam hal ini kesalahan standar rata-rata dapat diperkirakan sebagai berikut :
𝑠𝑒(𝑥) = √(𝑁 − 𝑛)𝑠2
𝑛𝑁 … … … (2.8)
Dan seperti yang disebutkan di atas, ini adalah fungsi dari tiga faktor: variabilitas parameter (s2), ukuran sampel (n) dan ukuran populasi (N). Namun, untuk populasi besar dan ukuran sampel kecil (kasus yang paling sering) faktornya sangat dekat dengan 1 dan persamaan (2.8) dikurangi menjadi :
𝑠𝑒(𝑋) =
𝑠
√𝑛… … … (2.9) Jadi, misalnya, ukuran sampel empat kali lipat hanya akan membagi dua kesalahan standar, yaitu kasus tipikal hasil pengembalian skala yang berkurang.
Ukuran sampel yang dibutuhkan dapat diperkirakan penyelesaian persamaan (2.7) untuk n dan ini biasanya lebih sederhana untuk dilakukan dalam dua tahap, pertama menghitung n dari persamaan (2.9) sehingga :
𝒏𝟏 = 𝒔𝟐
𝒔𝒆(𝒙)𝟐… … … (𝟐. 𝟏𝟎) Dan kemudian mengoreksi ukuran populasi yang terbatas jika perlu, dengan:
𝒏 = 𝑵
𝑵𝒅𝟐+ 𝟏… … … (𝟐. 𝟏𝟏)
2.6.1.3 Mendapatkan Sampel
Ortuzar (2011:59) menjelaskan, tahap terakhir proses sampling adalah ekstraksi sampel. Dalam beberapa kasus, prosedurnya dilakukan secara otomatis, baik di tempat atau di meja kerja. Yang perlu diperhatikan, pengambilan sampel dilakukan dengan mengacu pada proses acak. Meskipun satu-satunya proses acak adalah sifat fisik, umumnya terlalu memakan waktu berguna dalam pemilihan sampel. Untuk alasan ini proses pseudo-random, digunakan dalam pengambilan sampel untuk menghasilkan serangkaian bilangan acak- acak yang sesuai dengan cepat dan mudah.
2.6.2 Survei Stated Preference
Ortuzar (2011:94) menjelaskan, diskusi sebelumnya telah dilakukan dengan asumsi implisit, setiap data pilihan sesuai dengan informasi preferensi yang diberikan (RP). Hal itu berarti data tentang pilihan aktual atau pengamatan dibuat oleh individu.
Untuk memahami perilaku perjalanan, data RP memiliki keterbatasan. Pertama, pengamatan terhadap pilihan tidak memberikan variabilitas memadai untuk membangun model yang baik untuk evaluasi dan peramalan. Kedua, perilaku yang diamati dapat didominasi oleh beberapa faktor, variabel kualitatif sekunder. Ketiga, kesulitan dalam mengumpulkan tanggapan untuk kebijakan yang sepenuhnya baru.
2.6.2.1 Metode Conjoint Analysis
Menurut (Ortuzar, 2011:95) conjoint analysis tradisional telah menerima penerimaan terbatas dalam studi transportasi karena sejumlah kritik yang telah diratakan terhadap metode ini selama bertahun-tahun. Pertama, telah dikemukakan bahwa metode statistik yang terutama digunakan untuk menganalisis data conjoint analysis tidak tepat, karena variabel dependen dari model regresi linier harus minimal, interval diskalakan. Dengan demikian, dengan menggunakan data peringkat sebagai variabel dependen pasti melanggar asumsi ini, walaupun beberapa berpendapat bahwa data pemeringkatan juga bukan data tingkat interval, mengingat bagaimana responden menggunakan metrik penilaian secara psikologis. Kritik kedua tidak terletak pada bagaimana data dianalisis namun dengan penggunaan peringkat atau data ranking sebagai metrik pengukuran. Responden dalam kehidupan nyata tidak menilai atau memberi peringkat alternatif dan bahkan jika mereka melakukan perbedaan orang akan
mendekati skala seperti itu dalam perilaku yang berbeda secara psikologis. Dengan demikian, telah dikemukakan bahwa keluaran survei conjoint analysis tidak memiliki interpretasi psikologis yang bermakna . Jadi, metode stated choice cenderung mendominasi studi transportasi.
2.6.2.2 Metode Stated Choice
Menurut Ortuzar (2011:96) metode stated choice serupa dengan metode conjoint anaylis sejauh responden diberi sejumlah alternatif hipotetis. Perbedaan kedua metode terletak dalam metrik respons. Conjoint analysis meminta responden untuk menentukan peringkat atau menilai stated choice, meminta responden untuk memilih alternatif pilihan mereka dari antara subset dari jumlah total alternatif hipotetis yang dibangun oleh analis. Selain itu, metode stated choice juga dibedakan dari survei revealed preference. Dalam metode stated choice, orang ditanya tentang apa yang akan mereka pilih (atau bagaimana mereka menentukan / menilai opsi tertentu) dalam satu atau beberapa situasi hipotetis.
Tingkat artifisial situasi ini dapat bervariasi, sesuai dengan kebutuhan dan ketelitian Latihan, yaitu (a) Konteks keputusan bisa berupa hipotetis atau nyata.
Dengan kata lain, responden mungkin diminta untuk mempertimbangkan perjalanan aktual atau perjalanan yang mungkin dia pertimbangkan di masa depan, dan (b) Beberapa alternatif yang ditawarkan mungkin bersifat hipotetis meskipun dianjurkan agar salah satunya menjadi yang sudah ada, misalnya mode yang baru saja dipilih oleh responden termasuk semua atributnya.