• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MODEL LEARNING CYCLE TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF SISWA SMP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH MODEL LEARNING CYCLE TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF SISWA SMP."

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PERNYATAAN

KATA PENGANTAR i

UCAPAN TERIMA KASIH ii

ABSTRAK iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR DIAGRAM viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 7

C. Tujuan Penelitian 7

D. Manfaat Penelitian 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Model Learning Cycle 9

B. Penalaran Induktif 21

C. Penelitian yang Relevan 24

D. Hipotesis Penelitian 26

BAB III METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel 27

B. Desain Penelitian 27

C. Metode Penelitian 28

D. Definisi Operasional 28

E. Instrumen Penelitian 29

F. Prosedur Penelitian 31

(2)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 42

B. Pembahasan 59

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 62

B. Saran 62

DAFTAR PUSTAKA 64

LAMPIRAN 68

(3)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Interpretasi Validitas Nilai � 32

Tabel 3.2 Validitas Hasil Uji Coba Instrumen Soal 33

Tabel 3.3 Interpretasi Derajat Reliabilitas 34

Tabel 3.4 Interpretasi Indeks Daya Pembeda 35

Tabel 3.5 Daya Pembeda Hasil Uji Coba Instrumen 35

Tabel 3.6 Interpretasi Indeks Kesukaran 36

Tabel 3.7 Indeks Kesukaran Hasil Uji Coba Instrumen Soal 36

Tabel 3.8 Tabel Review Validitas, Indeks Kesukaran (IK), dan Daya Pembeda (DP) Tiap Butir Soal 37

Tabel 3.9 Kriteria Tingkat Gain 39

Tabel 3.10 Kategori Jawaban Angket 40

Tabel 3.11 Interpretasi Persentase Angket 41

Tabel 4.1 Deskripsi Data Hasil Pretes 43

Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Pretes 45

Tabel 4.3 Uji Perbedaan Dua Rata-rata Data Pretes 46

Tabel 4.4 Deskripsi Data Hasil Postes 47

Tabel 4.5 Uji Normalitas Data Postes 49

Tabel 4.6 Uji Perbedaan Dua Rata-rata Data Postes 50

Tabel 4.7 Deskripsi Data Skor Gain Ternormalisasi 51

Tabel 4.8 Uji Normalitas Data Gain Ternormalisasi 53

Tabel 4.9 Uji Perbedaan Dua Rata-rata Data Gain Ternormalisasi 54

(4)

DAFTAR DIAGRAM

Halaman

Diagram 2.1 Tiga Tahapan Siklus Belajar 20

Diagram 2.2 Diagram Spiral Siklus Belajar 21

Diagram 2.3 Siklus Belajar 5E (Learning Cycle 5E) 22

Diagram 2.4 Perubahan 5E menjadi 7E 23

Diagram 2.5 Siklus Belajar 7E (Learning Cycle 7E) 24

Diagram 4.1 Data Hasil Pretes 43

Diagram 4.2 Rata-Rata Pretes 44

Diagram 4.3 Data Hasil Postes 47

Diagram 4.4 Rata-Rata Postes 48

Diagram 4.5 Data Skor Gain Ternormalisasi 51

(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN 1 PERANGKAT PEMBELAJARAN...68

1.1 RPP Kelas Kontrol 69

1.2 RPP Kelas Eksperimen 93

1.3 Lembar Kerja Siswa (LKS) Eksperimen 117

1.4 Kisi-Kisi Soal Pretes dan Postes 131

1.5 Soal Pretes dan Postes 134

1.6 Kunci Jawaban Soal Pretes dan Postes 136

1.7 Kisi-Kisi Angket Skala Sikap Siswa 141

1.8 Angket Skala Sikap Siswa 143

1.9 Lembar Observasi 144

1.10 Jurnal Harian Siswa 148

LAMPIRAN 2 ANALISA DATA HASIL UJI COBA INSTRUMEN 149

2.1 Validitas Uji Instrumen 150

2.2 Reliabilitas Uji Instrumen 151

2.3 Daya Pembeda 154

2.4 Indeks Kesukaran 154

2.5 Kolerasi Skor Butir dengan Skor Total 155

2.6 Rekap Analisis Butir 155

LAMPIRAN 3 ANALISA DATA HASIL PENELITIAN 157

3.1 Nilai Pretes, Nilai Postes dan Indeks Gain Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol 158

3.2 Deskripsi Data Pretes 160

3.3 Uji Normalitas Data Pretes 163

3.4 Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Data Pretes 165

3.5 Deskripsi Data Postes 166

3.6 Uji Normalitas Data Postes 169

3.7 Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Data Postes 171

(6)

3.9 Uji Normalitas Indeks Gain 177

3.10 Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Indeks Gain 179

3.11 Data Hasi Angket 180

LAMPIRAN 4 HASIL PENGUMPULAN DATA 182

4.1 Jawaban Pretes dan Postes 183

4.2 Lembar Kegiatan Siswa 195

4.3 Angket 205

4.4 Jurnal Harian Siswa 209

4.5 Lembar Observasi 212

4.6 Foto-Foto Penelitian 216

LAMPIRAN 5 SURAT-SURAT 218

5.1 Surat Tugas Dosen Pembimbing 219

5.2 Surat Permohonan Izin Penelitian 220

5.3 Surat Keterangan Pemberian Izin Penelitian 221

(7)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Peningkatan kualitas pendidikan nasional ditandai dengan

penyempurnaan-penyempurnaan yang terjadi pada setiap aspek pendidikan. Salah

satu aspek pendidikan yang mengalami perkembangan adalah kurikulum

pendidikan nasional. Penyempurnaan kurikulum dari kurikulum 1994 menjadi

Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004 dan KBK yang

kembali mengalami revisi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

tahun 2006, dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk inovasi kurikulum. Tugas

dan peran guru bukan lagi sebagai pemberi informasi tetapi sebagai pendorong

belajar agar siswa dapat mengonstruksi sendiri pengetahuan melalui berbagai

aktivitas. (Permendiknas 22/2006 tentang Standar Isi)

Oleh karena itu, tujuan pembelajaran matematika juga mengalami

perubahan. Pada awalnya pembelajaran matematika di sekolah bertujuan untuk

mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir

matematis dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu,

namun dewasa ini tujuan pembelajaran matematika sekolah telah difokuskan pada

empat tujuan utama, yaitu: 1)melatih cara berpikir dan bernalar, 2)

mengembangkan kemampuan berpikir divergen, 3) mengembangkan kemampuan

menyampaikan informasi atau mengomunikasikan gagasan (idea), dan 4)

mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan membuat dugaan. (Agung,

2009).

Elea Tinggih mengemukakan bahwa “Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar” (Suherman dkk., 2001:18). Hal tersebut menjelaskan bahwa dibandingkan dengan ilmu lain, matematika lebih

menekankan pada penalaran. Jadi, hal terpenting dalam pelajaran matematika

adalah mengajarkan kepada siswa suatu penalaran. Jika siswa memililki penalaran

yang baik, maka siswa akan mampu mengerti setiap materi dalam pelajaran

(8)

Penalaran dijelaskan Sastrosudirjo (1988) sebagai “Proses berpikir yang dilakukan dengan suatu cara untuk menarik kesimpulan”. Materi matematika dan penalaran matematis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Materi

matematika dipahami siswa melalui penalaran sedangkan penalaran itu sendiri

diperoleh siswa dengan belajar matematika. Ada beberapa aspek yang menjadi

indikator kemampuan penalaran matematis seorang siswa dalam pelajaran

matematika, yaitu: menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis,

gambar dan diagram; mengajukan dugaan; melakukan manipulasi matematika;

menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap

kebenaran solusi; menarik kesimpulan dari pernyataan; memeriksa keshahihan

suatu argumentasi; serta menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk

membuat generalisasi.

Copeland (1979) mengklasifikasikan penalaran dalam penalaran induktif

dan penalaran deduktif. Penalaran induktif digunakan bila dari kebenaran suatu

kasus khusus kemudian disimpulkan kebenaran untuk semua kasus. Penalaran

deduktif digunakan berdasarkan konsistensi pikiran dan konsistensi logika yang

digunakan. Jika premis-premis dalam suatu silogisme benar dan bentuknya

(format penyususnannya) benar, maka kesimpulannya benar. Proses penarikan

kesimpulan seperti ini dinamakan deduktif atau sering disebut penalaran deduktif.

Penalaran deduktif dan induktif memiliki kelemahan, oleh karena itu penalaran

induktif harus dibuktikan kembali dengan penalaran deduktif. Berdasarkan hal

tersebut, maka penalaran induktif dan deduktif bukanlah suatu bagian yang

terpisah dalam matematika.

Bukan merupakan hal yang aneh jika sebagian besar siswa kurang

menyukai pelajaran matematika. Hal ini dikarenakan siswa menganggap

matematika merupakan mata pelajaran yang sulit dan membingungkan. Seperti

yang telah kita ketahui bahwa materi dalam pelajaran matematika bersifat abstrak,

maka penalaran matematis sangat diperlukan untuk membangun konsep siswa

mengenal suatu materi dalam pelajaran matematika. Jika kemampuan penalaran

(9)

Kemampuan penalaran matematis seseorang, khususnya penalaran induktif

siswa dalam satu kelas, tentu akan berbeda walaupun mereka memperoleh

pelajaran matematika dengan proses pembelajaran yang sama. Akan tetapi banyak

hal yang dapat mempengaruhi kemampuan penalaran induktif matematis siswa.

Sehingga dalam kegiatan pembelajaran hendaknya siswa diajak untuk berinteraksi

dengan seluruh peserta belajar yang ada dalam kelas. Interaksi ini harus

berlangsung secara berkesinambungan sehingga guru tidak terlalu mendominasi

kegiatan pembelajaran yang berlangsung. Hal ini akan memberikan kesempatan

kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan penalarannya.

Kemampuan penalaran sangatlah diperlukan dalam mata pelajaran

matematika karena siswa yang memiliki kemampuan penalaran yang tinggi serta

mampu mengomunikasikan idea atau gagasan matematikanya dengan baik

cenderung mempunyai pemahaman yang baik terhadap konsep yang dipelajari

serta mampu memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan konsep yang

dipelajari yang nantinya akan berpengaruh pada hasil belajar siswa.

Sedangkan pada kenyataannya kemampuan penalaran matematis yang

dimiliki oleh sebagian besar siswa masih sangat rendah sehingga hal ini menjadi

salah satu penyebab rendahnya prestasi siswa dalam pembelajaran matematika.

Pernyataan ini didasarkan pada hasil studi Sumarmo (dalam Yulianti, 2010:2)

menunjukkan bahwa, baik secara keseluruhan maupun dikelompokkan menurut

tahap kognitif siswa, skor kemampuan pemahaman dan penalaran matematis

sangat rendah. Rendahnya kemampuan penalaran ini sangat mempengaruhi hasil

belajar siswa.

Menurut Wahyudin (1999:191), salah satu kecenderungan yang

menyebabkan sejumlah siswa gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan

dalam matematika yaitu karena siswa kurang menggunakan nalar yang logis

dalam menyelesaikan soal atau persoalan matematika yang diberikan. Sejalan

dengan hal tersebut, Matz (dalam Priatna, 2003:3) juga menyatakan bahwa

kesalahan yang dilakukan siswa sekolah menengah dalam mengerjakan soal-soal

matematika dikarenakan kurangnya kemampuan penalaran terhadap kaidah dasar

(10)

Fakta di lapangan menunjukkan masih rendahnya kemampuan penalaran

matematik siswa SMP, seperti menurut Mullis, dkk. (dalam Rohayati: 2010),

berdasarkan hasil studi Trends International Mathematics and Science Study

(TIMSS) 1999 yang dilakukan di 38 negara termasuk Indonesia, antara lain

dijelaskan bahwa sebagian besar pembelajaran matematika belum berfokus pada

pengembangan kemampuan penalaran matematika siswa.

Sejalan dengan hal di atas berdasarkan hasil penilaian internasional yang

dilakukan TIMSS pada tahun 2003 menempatkan Indonesia pada peringkat 34

dari 45. Walaupun rerata skor naik menjadi 411 dibandingkan 403 pada tahun

1999, kenaikan tersebut secara statistik tidak signifikan, skor itu masih di bawah

rata-rata untuk wilayah ASEAN. Prestasi tersebut bahkan lebih buruk pada

Programme for International Student Assessment (PISA) yang mengukur

kemampuan anak usia 15 tahun dalam literasi membaca, matematika dan ilmu

pengetahuan. Program yang diukur setiap 3 tahun, pada tahun 2003 menempatkan

Indonesia pada peringkat 2 terendah dari 40 negara sampel. Indonesia mengikuti

TIMSS pada tahun 1999, 2003 dan 2007, adapun PISA pada tahun 2000, 2003,

2006 dan 2009 dengan hasil yang tidak menunjukkan banyak perubahan pada

setiap keikutsertaannya. Pada PISA 2009 Indonesia hanya menduduki ranking 61

dari 65 peserta dengan rata-rata skor 371, sementara rata-rata skor internasional

adalah 496. Prestasi pada TIMSS 2007 lebih memprihatinkan lagi karena rata-rata

skor siswa SMP kelas 8 kita menurun jadi 405, menurun dibanding tahun 2003

yaitu 411. Ranking Indonesia pada TIMSS 2007 menjadi ranking 36 dari 49

negara. Berdasarkan hasil penelitian lain yang dilakukan oleh TIMSS dan PISA

terhadap siswa SMP menunjukkan bahwa untuk sebuah soal yang mengukur

kemampuan penalaran matematik dengan kategori soal sulit yaitu secara

internasional hanya 18% yang menjawab benar, sementara untuk siswa SMP di

Indonesia soal ini lebih sulit karena hanya 8% yang menjawab benar. (Wardhani

dan Rumiyati, 2011)

Pendapat dan fakta di atas didukung juga oleh hasil penelitian Lovell yang

mengungkapkan bahwa jika siswa belum memiliki kemampuan bernalar yang

(11)

atau kalaupun masih tertinggal, hanya merupakan pengetahuan hapalan (Priatna,

2003: 35). Menyadari pentingnya penalaran matematis, maka diperlukan

pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa

khususnya kemampuan penalaran induktif siswa yang akan dibahas dalam

penulisan ini. Jika kita lihat pembelajaran yang berlangsung disebagian besar

sekolah selama ini memberikan dampak yang sebaliknya dari yang diharapkan.

Hal tersebut dikarenakan pembelajaran yang masih berpusat pada guru, sedangkan

siswa hanya duduk mendengarkan penjelasan guru, mencatat pelajaran tersebut,

kemudian mengerjakan soal-soal rutin.

Hal itu juga yang mendorong peneliti untuk menawarkan solusi

permasalahan peningkatan minat dan hasil belajar matematika pada siswa SMP

kelas VIII melalui model Learning Cycle. Model Learning Cycle adalah suatu

model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Model Learning

Cycle merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi

sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang

harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. Model Learning

Cycle merupakan salah satu model pembelajaran yang memberikan kesempatan

kepada siswa untuk mengoptimalkan cara belajar dan mengembangkan daya nalar

siswa (Dasna, 2005).

Model Learning Cycle merupakan perwujudan dari filosofi

konstruktivisme, dalam hal ini pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa.

Beberapa keuntungan diterapkannya pembelajaran dengan model Learning Cycle

yaitu: 1) pembelajaran menjadi berpusat pada siswa (student-centered); 2) proses

pembelajaran menjadi lebih bermakna karena mengutamakan pengalaman nyata;

3) menghindarkan siswa dari cara belajar tradisional yang cenderung menghafal;

4) memungkinkan siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi pengetahuan

lewat pemecahan masalah dan informasi yang didapat; dan 5) membentuk siswa

yang aktif, kritis, dan kreatif; 6) terjadinya serah terima informasi atau konsep.

Model Learning Cycle pada dasarnya sesuai dengan teori konstruktivis

Vygotsky dan teori belajar bermakna Ausubel. Vygotsky menekankan adanya

(12)

belajar dengan kemampuan yang berbeda-beda untuk mengupayakan perubahan

konseptual. Sedangkan Ausubel menekankan pada belajar bermakna dan

pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai.

Seiring berkembangnya ilmu pendidikan, model Learning Cycle pun

mengalami pengembangan-pengembangan, yaitu perubahan dari Learning Cycle

yang terdiri dari tiga tahapan, kemudian Learning Cycle yang terdiri dari lima tahapan yang dikenal dengan “Learning Cycle 5E” dan yang paling terakhir yaitu Learning Cycle yang terdiri dari tujuh tahapan dan dikenal dengan “Learning

Cycle 7E”.

Adapun model Learning Cycle yang dimaksud dalam penulisan ini adalah

Learning Cycle 7E. Dalam model Learning Cycle 7E dilakukan kegiatan-kegiatan

yaitu berusaha untuk memunculkan pengalaman belajar yang telah lalu sebagai

fondasi (eliciting), membangkitkan minat siswa pada pelajaran matematika

(engagement), memberikan kesempatan kepada siswa untuk memanfaatkan panca

indera mereka semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan

melalui kegiatan telaah literatur (exploration), memberikan kesempatan yang luas

kepada siswa untuk menyampaikan ide atau gagasan yang mereka miliki melalui

kegiatan diskusi (explanation), mengajak siswa mengaplikasikan konsep-konsep

yang mereka dapatkan dengan mengerjakan soal-soal pemecahan masalah

(elaboration) dan terdapat suatu tes untuk mengetahui sejauh mana tingkat

pemahaman siswa terhadap konsep yang telah dipelajari (evaluation), terakhir hal

penting yang harus digarisbawahi oleh guru pemberian soal atau tes bukanlah

akhir dari proses pembelajaran, tetapi terjadinya proses transfer informasi atau

konsep (extend).

Berdasarkan kajian di atas, maka peneliti termotivasi untuk melakukan

(13)

B. RUMUSAN MASALAH

Merujuk pada latar belakang yang telah dikemukakan di atas,

permasalahan utama yang dihadapi dalam penelitian ini adalah untuk melihat

adakah pengaruh model Learning Cycle terhadap kemampuan penalaran induktif

siswa. Dari permasalahan pokok ini, pertanyaan penelitian yang dicari

jawabannya adalah:

1. Apakah peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa yang diberikan

pembelajaran dengan model Learning Cycle lebih tinggi daripada siswa yang

diberikan pembelajaran konvensional?

2. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model Learning

Cycle?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa yang

diberikan pembelajaran dengan model Learning Cycle jika dibandingkan

dengan siswa yang diberikan pembelajaran konvensional.

2. Untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan model

Learning Cycle.

D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti

Mengetahui pengaruh model Learning Cycle dalam pembelajaran matematika

terhadap peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa SMP.

2. Bagi Siswa

Menunjang peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa yang

(14)

3. Bagi Guru

Memberikan gambaran yang lebih jelas tentang pengaruh model Learning

Cycle terhadap peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa, sehingga

guru dapat menggunakan model pembelajaran ini sebagai alternatif

pembelajaran di kelas.

4. Bagi peneliti lain

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkaji

permasalahan terkait secara lebih mendalam berkenaan dengan pengembangan

(15)

27

BAB III

METODE PENELITIAN

A. POPULASI DAN SAMPEL

Populasi adalah keseluruhan subyek dalam suatu penelitian. Adapun

populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di SMPN 3 Garut.

Sedangkan sampel merupakan subyek yang mewakili populasi penelitian tersebut.

Adapun sampel dalam penelitian ini adalah dua kelas VIII dari 9 (sembilan) kelas

yang ada, yaitu kelas VIII E sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII F sebagai

kelas kontrol. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah

pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling), maksudnya peneliti

menentukan sendiri sampel yang diambil karena peertimbangan tertentu (Hasan,

2000).

B. DESAIN PENELITIAN

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kelas kontrol

pretest-posttest yang melibatkan dua kelas. Dalam desain ini dilakukan pemilihan

kelas secara purposive sampling. Dalam pembelajaran matematika, satu kelas

diberi perlakuan dengan model Learning Cycle yang disebut dengan kelas

eksperimen, sedangkan kelas lainnya mendapat pembelajaran konvensional yang

disebut kelas kontrol. Adapun desain penelitian ini (Ruseffendi, 2005 : 50)

digambarkan sebagai berikut.

O X O

O O

Keterangan:

O : Tes awal (Pretest) atau tes akhir (Posttest)

X : Pembelajaran matematika yang memperoleh perlakuan dengan model

(16)

28

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen yang bertujuan untuk

mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok

kontrol disamping kelompok eksperimen, namun pemilahan kedua kelompok

tersebut tidak dengan teknik random (Mariyanti, 2011). Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Rakhmat (2009) bahwa kuasi eksperimen adalah eksperimen

yang memiliki perlakuan (treatment), pengukuran-pengukuran dampak (outcome

measures), dan unit-unit eksperimen (experimental units) Perlakuan yang kita

lakukan terhadap variabel bebas, kita lihat hasilnya pada variabel terikat. Adapun

variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan

model Learning Cycle. Sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan

penalaran induktif siswa.

D. DEFINISI OPERASIONAL

Agar tidak terjadi perbedaan pemahaman tentang istilah yang digunakan,

maka beberapa istilah tersebut perlu didefinisikan secara operasional.

Istilah-istilah tersebut antara lain:

1. Learning Cycle yang dimaksud dalam penulisan ini adalah Learning Cycle

7E. Pada model pembelajaran ini terdapat rangkaian tahap-tahap kegiatan

pembelajaran, diantaranya: memunculkan pengalaman belajar (eliciting),

membangkitkan minat siswa (engagement), memberikan kesempatan kepada

siswa untuk memanfaatkan panca indera mereka semaksimal mungkin dalam

berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan telaah literatur

(exploration), memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk

menyampaikan ide melalui kegiatan diskusi (explanation), mengajak siswa

mengaplikasikan konsep-konsep yang mereka dapatkan (elaboration) dan

terdapat suatu tes untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman siswa

terhadap konsep yang telah dipelajari (evaluation), proses transfer informasi

atau konsep (extend).

2. Pembelajaran konvensional yang dimaksud adalah pembelajaran dengan

(17)

29

3. Penalaran induktif adalah suatu proses atau aktivitas berpikir untuk menarik

suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan yang bersifat umum

(general) berdasar beberapa pernyataan khusus yang diketahui benar.

4. Peningkatan kemampuan penalaran induktif yang dimaksud dalam penelitian

ini dapat terlihat dari rendah atau tingginya hasil indeks gain yang diperoleh

siswa dari hasil pretes dan postes.

5. Respon yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tanggapan siswa terhadap

model Learning Cycle apakah memberikan tanggapan yang positif atau

negatif yang bisa dilihat dari hasil data jurnal harian dan angket siswa.

E. INSTRUMEN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penerapan model

Learning Cycle terhadap peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa dan

untuk mengetahui respon siswa terhadap model Learning Cycle, maka diperlukan

alat ukur untuk mendapatkan data tersebut yang disebut dengan instrumen.

Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes, jurnal harian,

angket, dan observasi.

1. Tes;

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes yang digunakan untuk

mengukur kemampuan penalaran induktif siswa. Pada penelitian ini, tes yang

digunakan terbagi ke dalam dua macam tes, yaitu:

1) pretest yaitu tes yang dilakukan sebelum perlakuan diberikan;

2) posttest yaitu tes yang dilakukan setelah perlakuan diberikan.

Pretes diberikan untuk mengukur kemampuan awal kelas eksperimen dan

kelas kontrol serta mengetahui homogenitas. Sedangkan postes diberikan untuk

mengetahui kemajuan atau peningkatan kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Instrumen tes untuk pretes dan postes diberikan soal yang sama. Bentuk

tes yang digunakan adalah tipe uraian. Menurut Suherman (2003, 77) tes uraian

akan menuntut siswa untuk menjawabnya secara rinci, maka proses berpikir,

ketelitian, sistematika penyusunan dapat dievaluasi dan selain itu juga menuntut

(18)

30

relevan. Selain itu, tes tipe uraian ini mempunyai beberapa kelebihan (Arikunto,

2003: 163) diantaranya:

a. Tidak memberi banyak kesempatan untuk berspekulasi atau untung-untungan;

b. Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusun

jawaban dalam kalimat yang bagus dan sistematis;

c. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan maksudnya dengan

gaya dan bahasanya sendiri;

d. Dapat diketahui sejauh mana siswa mendalami sesuatu masalah yang diujikan.

2. Jurnal Harian

Jurnal harian berisi jawaban siswa atas pertanyaan-pertanyaan yang

berkaitan dengan pembelajaran yang telah dilaksanakan pada setiap pertemuan

dan diberikan untuk setiap siswa kelas eksperimen di akhir pembelajaran. Jurnal

harian ini diberikan untuk memperoleh gambaran mengenai respon siswa terhadap

pembelajaran dengan model Learning Cycle yang telah dilaksanakan.

3. Angket

Angket adalah jenis evaluasi yang berupa daftar pernyataan atau

pertanyaan yang harus dijawab oleh responden dengan cara memilih jawaban

yang telah disediakan atau melengkapi jawaban dengan cara mengisi pertanyaan

yang disediakan. Dalam penelitian ini, angket diberikan dengan tujuan untuk

mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran yang diberikan. Angket yang

dibuat disusun dengan menggunakan skala sikap model Likert yang berisi

beberapa pernyataan tertutup. Pilihan jawaban pernyataan tertutup tersebut

meliputi Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak

Setuju (STS). Sedangkan untuk pilihan jawaban Netral (N) atau Ragu-ragu (R)

dihilangkan supaya siswa dapat menentukan pilihan dan memberikan jawaban

yang pasti. Pada penelitian ini angket diberikan kepada 39 siswa dari kelas

eksperimen untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika

(19)

31

4. Lembar Observasi

Observasi adalah suatu teknik menganalisis dan mengadakan pencatatan

terhadap seluruh komponen yang terlibat dalam suatu pembelajaran yang

dilakukan dengan pengamatan secara langsung. Pengamatan dilakukan dengan

bantuan beberapa observer. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk

memperoleh informasi tentang aktivitas guru dan siswa pada saat pembelajaran

berlangsung.

F. PROSEDUR PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini, yaitu sebagai berikut:

a. Membuat proposal.

b. Identifikasi permasalahan mengenai bahan ajar, merencanakan

pembelajaran, serta alat dan bahan yang akan digunakan.

c. Melakukan seminar proposal.

d. Melakukan perizinan untuk penelitian.

e. Menentukan populasi dan memilih sampel.

f. Menyusun komponen-komponen pembelajaran yang meliputi bahan ajar,

alat pembelajaran, dan alat evaluasi.

g. Menyusun instrumen berupa tes dan kisi-kisinya.

h. Melaksanakan uji coba instrumen yang akan digunakan untuk mengetahui

kualitasnya. Uji coba ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Garut pada kelas

IX-I yang diikuti oleh 39 siswa.

i. Menghitung kualitas/kriteria instrumen dengan menggunakan bantuan

program Anates Uraian serta perhitungan manual. Selengkapnya hasil

(20)

32

Dalam penelitian ini, untuk menghitung koefisien validitas tes

menggunakan rumus korelasi produk momen memakai angka kasar (raw

score), dari Pearson (dalam Suherman, 2003: 120) sebagai berikut.

Keterangan:

xy

r = koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y

N banyak subjek (testi)

x skor yang diperoleh dari tes

y rata-rata nilai harian

Untuk mengetahui tingkat validitas digunakan kriteria (Suherman,

2003: 113) yang disajikan dalam Tabel 3.1

Tabel 3.1

Interpretasi Validitas Nilai rxy

(21)

33

setelah dilakukan pengolahan data dan perhitungan ditunjukkan pada

Tabel 3.2.

Tabel 3.2

Validitas Hasil Uji Coba Instrumen Soal

Butir Soal Korelasi Signifikansi Interpretasi

1 0, 947 Sangat Signifikan Sangat Tinggi

2 0,862 Sangat Signifikan Tinggi

3 0, 624 Signifikan Sedang

4 0, 910 Sangat Signifikan Sangat Tinggi

5 0, 892 Sangat Signifikan Tinggi

Karena kelima soal mempunyai validitas yang relatif baik maka

kelima soal tersebut digunakan sebagai instrumen tes dalam penelitian.

2) Uji reliabilitas

Menurut Ruseffendi (2005: 158) reliabilitas instrumen atau alat

evaluasi adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau ketetapan

siswa dalam menjawab alat evaluasi itu. Maka reliabilitas tes berhubungan

dengan ketetapan hasil tes tersebut.

Karena itu, koefisien realiabilitas menyatakan derajat

kereterandalan alat evaluasi, dinotasikan dengan r . Rumus yang 11

digunakan untuk mencari koefisien reliabilitas bentuk uraian dikenal

dengan rumus Alpha (dalam Suherman, 2003: 153-154) sebagai berikut.

Keterangan:

s jumlah varians skor setiap soal

2

t

(22)

34

Tolak ukur untuk menginterpretasikan derajat reliabilitas alat

evaluasi yang dapat digunakan dibuat oleh J. P. Guilford (dalam

Suherman, 2003: 139) yang disajikan pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3

program Anates diperoleh reliabilitas tes sebesar 0,89, yang jika

diinterpretasikan maka tes memiliki reliabilitas tinggi. Data perhitungan

secara lengkap dapat dilihat pada lampiran.

3) Uji daya pembeda

Daya pembeda soal merupakan kemampuan soal dalam

membedakan antara siswa yang mengetahui jawaban yang benar dengan

siswa yang tidak menjawab/jawabannya salah. Dengan kata lain, daya

pembeda soal adalah kemampuan soal untuk membedakan antara siswa

yang pandai dengan siswa yang kurang.

Daya pembeda soal dapat dihitung dengan menggunakan rumus

(dalam Suherman, 2003:160) :

JB = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal itu dengan

(23)

35

B

JB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan

benar, atau jumlah benar untuk kelompok bawah

A

JS = Jumlah siswa kelompok atas

B

JS = Jumlah siswa kelompok bawah

Klasifikasi interpretasi daya pembeda (dalam Suherman, 2003:

161) dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4

penelitian ini setelah dilakukan pengolahan data dan perhitungan

ditunjukkan pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5

Daya Pembeda Hasil Uji Coba Instrumen

Butir Soal Daya Pembeda Interpretasi

1 0,49 Baik

2 0,45 Baik

3 0,46 Baik

4 0,46 Baik

5 0,47 Baik

Data perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada lampiran.

Karena kelima soal mempunyai daya pembeda yang relatif baik maka

kelima soal tersebut digunakan sebagai instrumen tes dalam penelitian.

4) Uji indeks kesukaran

Derajat kesukaran suatu butir soal dinyatakan dengan indeks

kesukaran (difficulty index). Indeks kesukaran berfungsi untuk

(24)

36

baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Untuk

menghitung indeks kesukaran suatu butir soal bertipe uraian digunakan

rumus (dalam Rahmah, 2011: 44) sebagai berikut.

�� = �

��

Keterangan:

IK = Indeks Kesukaran

� = Skor rata-rata tiap butir soal SMI = Skor maksimal ideal tiap butir soal

Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan indeks

kesukaran adalah yang dikemukakan oleh Suherman (2003: 170) pada

tabel 3.6.

Tabel 3.6

Interpretasi Indeks Kesukaran

IK Keterangan

IK = 0,00 Soal terlalu sukar 0,00 < IK  0,30 Soal sukar 0,30 < IK  0,70 Soal sedang 0,70 < IK < 1,00 Soal mudah

IK = 1,00 Soal terlalu mudah

Indeks kesukaran untuk tiap butir soal yang digunakan dalam

penelitian ini setelah dilakukan pengolahan data dan perhitungan

ditunjukkan pada Tabel 3.7 di bawah ini.

Tabel 3.7

Indeks Kesukaran Hasil Uji Coba Instrumen Soal

Butir Soal Indeks Kesukaran Interpretasi

1 0,75 Mudah

2 0,69 Sedang

3 0,65 Sedang

4 0,69 Sedang

(25)

37

Ringkasan hasil uji validitas, indeks kesukaran, dan daya pembeda

tiap butir soal disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.8

Tabel Review Validitas, Indeks Kesukaran (IK), dan Daya Pembeda (DP) Tiap Butir Soal

Butir Soal Validitas IK DP Keterangan

1 Sangat Tinggi Mudah Baik Soal dipakai

2 Tinggi Sedang Baik Soal dipakai

3 Sedang Sedang Baik Soal dipakai

4 Sangat Tinggi Sedang Baik Soal dipakai

5 Tinggi Sedang Baik Soal dipakai

2. Tahap Pelaksanaan

Langkah-langkah yang akan dilakukan dalam tahap ini, yaitu sebagai berikut:

a. Memberikan pretes pada kelas kontrol dan kelas eksperimen.

b. Melaksanakan pembelajaran di kedua kelas tersebut. Di kelas kontrol,

pembelajaran dilakukan dengan menggunakan model yang biasa dilakukan

di sekolah. Sedangkan di kelas eksperimen, pembelajaran dilakukan

dengan menerapkan model pembelajaran Learning Cycle.

c. Memberikan postes pada kedua kelas tersebut.

d. Melaksanakan evaluasi dengan melakukan observasi ketika proses

pembelajaran berlangsung, memberikan jurnal harian pada setiap akhir

pertemuan, dan angket pada pertemuan terakhir kepada siswa untuk

mengetahui respons siswa di kelas eksperimen terhadap pembelajaran

yang telah dilaksanakan.

3. Tahap Refleksi dan Evaluasi

Pada tahap ini dilakukan pengolahan dari data-data yang diperoleh dari

penelitian, melakukan pengkajian dan analisis terhadap penemuan-penemuan

penelitian serta melihat pengaruh terhadap kemampuan penalaran logis yang ingin

diukur. Selanjutnya, dibuat penafsiran dan kesimpulan berdasarkan rumusan

(26)

38

G. TEKNIK PENGOLAHAN DATA

Data pada penelitian ini diperoleh dengan berbagai cara, yakni dengan tes

(terdiri dari pretest dan posttest), pengisian angket, jurnal harian, dan observasi.

Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan ke dalam jenis data kuantitatif dan

data kualitatif.

1. Data kuantitatif

Data kuantitatif meliputi data yang diperoleh dari hasil tes siswa (pretes dan

postes). Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk menjawab hipotesis yang

diajukan. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji statistik yang

akan digunakan untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan penalaran

logis yang signifikan antara siswa yang belajar dengan menggunakan model

pembelajaran Learning Cycle dengan siswa yang belajar dengan menggunakan

model pembelajaran konvensional yang dilakukan di sekolah.

Analisis data dengan menggunakan uji statistik dilakukan dengan

tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Uji normalitas

Dilakukan untuk mengetahui apakah data kedua kelas sampel berasal dari

populasi yang berdistribusi normal.

b. Uji homogenitas varians

Dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh memiliki varians

yang homogen atau tidak.

c. Jika data yang dianalisis berdistribusi normal dan homogen, maka untuk

pengujian hipotesis dilakukan uji t.

d. Jika data yang dianalisis berdistribusi normal tetapi tidak homogen, maka

untuk pengujian hipotesis dilakukan uji t’.

e. Jika data tidak berdistribusi normal, maka dilakukan uji kesamaan dua rerata

dengan uji Mann-Whitney U. Rumus Mann-Whitney U menurut Nazir (dalam

Sugiyono, 2010:153):

(27)

39

1 = jumlah peringkat kelas eksperimen

2 = jumlah peringkat kelas kontrol

Untuk mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan penalaran logis siswa

yang mengikuti pembelajaran dengan model Learning Cycle dan siswa yang

mengikuti pembelajaran konvensional, maka dilakukan pengkajian dengan

menggunakan uji-t satu pihak terhadap gain (tingkat kenaikan).

Gain yang diperoleh dinormalisasi oleh selisih antara skor maksimal (Smaks)

dengan skor pretes. Hal ini dimaksud untuk menghindari kesalahan dalam

menginterpretasi perolehan gain seorang siswa. Gain yang dinormalisasi diperoleh

dengan cara menghitung selisih antara skor postes (Spos) dengan skor pretes (Spre)

dibagi oleh selisih antara skor maksimal dengan skor pretes. Peningkatan yang

terjadi, sebelum dan sesudah pembelajaran dihitung dengan rumus g-faktor

(N-Gain) yang rumusnya (dalam Rahmah, 2011: 48):

Keterangan:

g = gain Spos = skor postes

Spre = skor pretes Smaks = skor maksimal

Kriteria tingkat gain menurut Hake (Linda, 2010: 64) disajikan dalam Tabel 3.9.

(28)

40

% 100

 

n f P 2. Data kualitatif

Data kualitatif meliputi data yang diperoleh dari hasil angket, jurnal, dan

observasi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk menjawab hipotesis

yang diajukan.

a. Angket

Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert. Setelah data

terkumpul, kemudian dilakukan pemilihan data yang representatif dan dapat

menjawab permasalahan penelitian. Data disajikan dalam bentuk tabel dengan

tujuan untuk mengetahui frekuensi setiap alternatif jawaban serta untuk

mempermudah dalam membaca data. Masing-masing jawaban itu dikaitkan

dengan bilangan atau nilai (Ruseffendi, 2006: 575) seperti yang disajikan dalam

Tabel 3.10.

Tabel 3.10

Kategori Jawaban Angket

Jenis Pernyataan Skor

SS S TS STS

Positif 5 4 2 1

Negatif 1 2 4 5

Data angket yang diperoleh diolah dengan mencari persentase angket untuk

setiap butir pernyataan kemudian hasilnya ditafsirkan. Persentase angket dihitung

dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

P = persentase jawaban

f = frekuensi jawaban

(29)

41

Setelah itu dilakukan penafsiran dengan menggunakan kategori yang

dikemukakan oleh Kuntjaraningrat (Rusmini, 2010: 55) yang disajikan dalam

Tabel 3.11

positif dan mana yang termasuk respon negatif, sehingga diketahui respons siswa

terhadap pembelajaran dengan menggunakan model Learning Cycle yang

kemudian dianalisis secara deskriptif.

c. Observasi

Data hasil observasi merupakan data pendukung dalam penelitian ini.

Penyajian data hasil observasi diinterpretasikan ke dalam bentuk kalimat dan

dirangkum untuk membantu menggambarkan suasana pembelajaran yang

(30)

62

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil analisis data, diperoleh

kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan di kelas VIII SMP Negeri 3 Garut

sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan kemampuan penalaran induktif siswa yang mendapatkan

pembelajaran dengan model Learning Cycle dengan kemampuan penalaran

induktif siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional. Kemampuan

penalaran induktif siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model

Learning Cycle lebih tinggi dibandingkan kemampuan penalaran induktif

siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional.

2. Secara umum pembelajaran matematika yang menerapkan model

pembelajaran Learning Cycle untuk meningkatkan kemampuan penalaran

induktif, mendapat respon yang positif dari siswa. Hal ini berdasarkan pada

hasil angket dan jurnal harian siswa yang menunjukkan bahwa antusias siswa

terhadap penerapan model Learning Cycle yang diberikan semakin baik.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang diperoleh maka

diajukan beberapa saran berikut ini.

a. Bagi peneliti yang ingin menerapkan model Learning Cycle ini, sebaiknya

dilakukan lagi kajian pustaka yang lebih mendalam serta lakukan observasi

terlebih dahulu pada kelas yang akan dijadikan kelas eksperimen. Biasakan

siswa untuk belajar mandiri (individu) agar siswa mengetahui sejauh mana

kemampuan awal yang dimiliki untuk mempelajari materi yang akan

(31)

63

b. Berikanlah soal-soal yang lebih menantang yang memacu motivasi siswa

untuk belajar matematika. Jika diperlukan, gunakanlah alat peraga atau media

pembelajaran lainnya agar pembelajaran lebih menarik.

c. Pembelajaran matematika dengan model Learning Cycle memerlukan waktu

yang relatif lama dalam proses belajarnya, sehingga diperlukan perencanaan

yang matang agar pembelajaran sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia.

d. Pembelajaran matematika dengan model Learning Cycle disarankan untuk

(32)

64

DAFTAR PUSTAKA

AGPA. (1988). Learning Cycle. [Online]. Tersedia: http://www.agpa.uakron.edu/p16/btp.php?id=learning-cycle[15 Desember 2009]

Agung, R. (2009). Implementasi Model Pembelajaran Learning Cycle “5E” Berbantuan LKS Terstruktur Untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Siswa. [Online]. Tersedia: http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/pendidikan-matematika/[15 Desember 2009]

Anggraeni. (2011). Pengaruh Implementasi Model Pembelajaran Learning Cycle terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMP. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Arikunto, S. (2003). Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Bybee, R., & Landes, N.M. (1997). Science for life and living: An elementary school science program from biological sciences curriculum study. The American Biology Teacher 52(2). 92-98 dan 176.

Bybee, R. (2001). The Five E’s from Roger Bybee. Biological Science Curricullum Studies (BSCS). [Online]. Tersedia: http://www. miamisci.org/ph/lpintro5e.html. [25 Januari 2010].

Copeland, R.W. (1979). How Children Learn Mathematics: Teaching I,

placations of Piaget’s Research (Third Edition). New York: Macmillan Publishing Company.

Copy, I. M. (1972). Introduction To Logic. Fourth Edition. New York: Macmillan Publishing Co, Inc.

Dasna, I.W. 2005. Kajian Implementasi Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Kimia. Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM – Dirjen Dikti Depdiknas.

Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika SMP. Jakarta : Balitbang Depdiknas.

(33)

65

Hasan, M. (2000). Teknik Sampling. [Online]. Tersedia: http://home.unpar.ac.id/~hasan/SAMPLING.doc [26 Januari 2013]

Hudojo, H. (2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Universitas Negeri Malang: IKIP Malang.

Jacob, C. (2000). Matematika sebagai Penalaran: Suatu Upaya Meningkatkan Kreativitas Berpikir. Makalah disajikan pada Seminar Nasional: Meningkatkan Kulaitas Pendidikan Matematika Pada Pendidikan Dasar. Jurusan Matematika FPMIPA Universitas Negeri Malang, 18 November 2000.

Jacob, C. (2003). Pembelajaran Penalaran Logis (Suatu Upaya Meningkatkan Penguasaan Konsep Matematika). Makalah disajikan pada Seminar Nasional Matematika: RME. Yogyakarta: Sanata Dharma.

Karplus, R. (1962). Innovation in Science Education and Technology. Plenum Pub. Corp

Khotimah, N. (2011). Penerapan Model Pembelajaran Learning Cycle 7E untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Larasati, A. (2008). Pengaruh Model Learning Cycle Dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Hasil Belajar Siswa SMP. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Lorsbach, A.W. (2002). The Leraning Cycle as A tool for Planning Science Instruction.[Online].Tersedia:http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/ 257lrcy.html [14 Desember 2009]

Mirayanti, A., dkk. (2011). Metodologi Penelitian Quasi Experiment Design. [Online].Tersedia:http://www.haeryn.wordpress.com/2012/05/30/makalah-metodelogo-penelitian-quasi-eksperiment-design/ [26 Januari 2013]

Nurlaela, T. Penerapan Model Pembelajaran Novick untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Logis Siswa SMP. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

(34)

66

Rahmah, G.A. (2011). Pengaruh Model Pembelajaran Matematisasi Berjenjang terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Rakhmat, J. (2009). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Rohayati, A. (2010). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematik untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis. [Online]. Tersedia:http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATI KA/196005011985032ADE_ROHAYATI/CTL_dalam__Pembelajaran_M at_untuk_Meningkatkan_Berpikir_Krit.pdf[16 September 2012]

Ruseffendi, E. T. (1998). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E. T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Sastrosudirjo, S. (1988). Hubungan Kemampuan Penalaran dan Prestasi Belajar untuk Siswa SMP. Yogyakarta: Jurnal Kependidikan Nomor 1 Tahun ke-18 IKIP Yogyakarta.

Shurter, R. L. Dan Pierce, J. R. (1966). Critical Thinking. New York: Mc Graw Hill Inc.

Sugiyono. (2010). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA FPMIPA UPI.

Suherman, E. (2003). Individual Text Book; Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA FPMIPA.

(35)

67

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logik Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar. Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung Press: Tidak Diterbitkan.

Sumintono, B. (2009). Pembelajaran Lanjutan dengan Teori Kontruktivis. [Online]. Tesedia: http://netsains.com/2009/02/pembelajaran-lanjutan-dengan-teori-konstruktivis/. [25 Januari 2010]

Tedjaningrum, D. (2010). Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model Learning Cycle dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMA. Skripsi. UPI. Tidak diterbitkan.

Wahyudin. (1999). Kemampuan Guru Matematika Calon Guru dan Siswa dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi Doktor pada PPS IKIP Bandung: Tidak Diterbitkan.

Wardhani, S dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta: Kementrian Pendidikan Nasional: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencapaian dan peningkatan kemampuan komunikasi matematis serta pencapaian disposisi matematis siswa yang mengikuti pembelajaran model

dilakukan oleh Aulia Sthephani pada tahun 2015 dengan judul penelitian “Perbandingan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar antara Siswa yang Belajar

“Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Koneksi Matematis Serta kemandirian Belajar Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah.” Prosiding Seminar Nasional Pendidikan

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SERTA SELF REGULATED LEARNING SISWA SMA DITINJAU BERDASARKAN

Hasil dari penelitian ini terkait aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika menggunakan model learning cycle 5e berpengaruh sebesar 90% terhadap kemampuan

Tahap-tahap pembelajaran Learning Cycle 5E yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IX B SMP Negeri 2 Sleman terdiri dari 5 tahap pembelajaran yaitu:

Berdasarkan hasil penelitian Sritresna (2017), “menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis peserta didik pada materi bilangan dengan Learning Cycle 7E lebih

Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah Model Learning Cycle dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan peningkatan Kemampuan koneksi