• Tidak ada hasil yang ditemukan

this PDF file Implementasi Pemenuhan Hak bagi Penyandang Disabilitas di Semarang | Shaleh | Kanun : Jurnal Ilmu Hukum 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "this PDF file Implementasi Pemenuhan Hak bagi Penyandang Disabilitas di Semarang | Shaleh | Kanun : Jurnal Ilmu Hukum 1 PB"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 │e-ISSN: 2527-8482. IMPLEMENTASI PEMENUHAN HAK BAGI PENYANDANG DISABILITAS

KETENAGAKERJAAN DI SEMARANG

IMPLEMENTATION OF THE FULLFILMENT OF RIGHTS FOR PEOPLE WITH DISABILITY IN THE EMPLOYMENT IN SEMARANG

Ismail Shaleh

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jl. Imam Barjo No. 1-3, Pleburan, Semarang

E-mail: ismaelshaleh171993@gmail.com

Diterima: 12/02/2018; Revisi: 24/03/2018; Disetujui: 31/03/2018

DOI: https://doi.org/10.24815/kanun.v20i1.9829

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang implementasi pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas di bidang ketenagakerjaan di Kota Semarang berdasarkan Pasal 53 UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Hasil penelitian ditemukan bahwa Pertama, implementasi pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas di bidang ketenagakerjaan di Semarang belum sepenuhnya berjalan sebagaimana mestinya. Kedua, terdapat beberapa faktor yang menjadikan Pemerintah Kota Semarang belum cukup dalam mengim-plementasi pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas ketenagakerjaan di Semarang.

Kata Kunci: Pemenuhan Hak, Penyandang Disabilitas, Hukum Ketenagakerjaan.

ABSTRACT

This study aims to find out examine the implementation of the fulfillment of rights for people with disabilities in the employment field in Semarang based on Article 53 the Law Number 8 year 2016 on People with Disability. This research used empirical juridical method. The results study found that First, the implementation of the fulfillment of rights for disabilities in Semarang has not been fully implemented properly. Secondly, there are several factors that make the Government of Semarang has not properly implemented the rights for people with disabilities in Semarang.

Key Words: Fulfillment of Rights, People with Disability, Labor Law.

PENDAHULUAN

Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menegaskan setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Pasal ini dapat dimaknai bahwa negara bertanggung jawab terhadap hak konstitusional warga.

(2)

seseorang, meskipun dihadapkan pada terbatasnya lapangan kerja. Selain terbatas, masalah lain

yang serius dihadapi terkait perlindungan, pengupahan, kesejahteraan, perselisihan hubungan

industrial, pembinaan, dan pengawasan ketenagakerjaan. Ada kelemahan pemerintah secara

sistemik dalam mengimplementasikan UU Ketenagakerjaan, bahkan cenderung ada penyimpangan.

Hal lain masalah koordinasi dan kinerja antarlembaga pemerintah belum optimal dan

memprihatinkan.1

Perlindungan dan jaminan hak tidak hanya diberikan kepada warga negara yang memiliki

kesempurnaan secara fisik dan mental. Perlindungan hak bagi kelompok rentan seperti penyandang

disabilitas perlu ditingkatkan. Pengertian penyandang disabilitas, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU

No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, adalah “setiap orang yang mengalami keterbatasan

fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi

dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan

efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”. Penyandang disabilitas harus

mendapat perlindungan. Pasal 1 ayat (5) UU No. 8/2016 menentukan perlindungan terhadap

penyandang disabilitas merupakan upaya yang dilakukan secara sadar untuk melindungi,

mengayomi dan memperkuat hak penyandang disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara, sudah

sepantasnya penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus, sebagai upaya perlindungan

dari kerentanan terhadap berbagai tindakan diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia.

Perlakuan khusus dapat dipandang sebagai upaya maksimalisasi penghormatan, pemajuan,

perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia secara universal.2

1

Sutedi Ardrian, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 142. Lihat juga Khairani, Analisis Permasalahan Outsourching (Alih Daya) dari Perspektif Hukum dan Penerapannya , Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 56 Th XIV, 2012, hlm. 55. Rizqa Maulinda, Dahlan, M. Nur Rasyid, Perlindungan Hukum bagi Pekerja Kontrak Waktu Tertentu dalam Perjanjian Kerja pada PT. Indotruck Utama, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol. 18 No. 3, 2016, hlm. 337-351.

2 Majda El Muhtaj, DimensiDimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Raja Grafindo

(3)

Penyandang disablitas juga merupakan bagian dalam masyarakat yang berhak mendapatkan

pekerjaan sesuai dengan tingkat kecacatannya, Bahkan Pasal 67 UU No. 13/2003 tentang

Ketenagakerjaan menegaskan bahwa pengusaha yang memperkerjakan penyandang disabilitas

wajib memberikan perlindungan yang sesuai dengan tingkat kecacatannya. Meskipun sudah diatur

dalam UU, hak penyandang disabilitas sampai sekarang masih sering mendapatkan perlakuan

diskriminasi oleh perusahaan saat merekrut dan bahkan di tempat kerja.3

Penyandang disabilitas kondisinya beragam, ada yang mengalami disabilitas fisik,

disabilitas mental, dan gabungan disabilitas fisik dan mental. Kondisi penyandang disabilitas

berdampak pada kemampuan untuk berpartisipasi di tengah masyarakat, sehingga memerlukan

dukungan dan bantuan dari orang lain.4 Penyandang disabilitas juga menghadapi kesulitan yang

lebih besar dibandingkan masyarakat nondisabilitas seperti hambatan dalam mengakses layanan

umum, pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan.

Kecacatan seharusnya tidak menjadi halangan penyandang disabilitas untuk memperoleh

hak konstitusionalnya. Pasal 53 ayat (1) UU No. 8/2016 mewajibkan Pemerintah, Pemerintah

Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah untuk mempekerjakan paling

sedikit 2% (dua persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja. Pasal 53 ayat (2)

mewajibkan perusahaan swasta untuk mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) penyandang

disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerjanya. Dalam praktik, ketentuan tersebut tidak berjalan

lancar. Penyandang disabilitas sering terpinggirkan karena keadaan fisik dan mental. Posisinya yang

memiliki kebutuhan berbeda, harus mendapat perhatian dari semua institusi pemerintah, sehingga

kebutuhan tersebut dapat terpenuhi.5

3

Metro, “Perusahaan Lakukan Diskriminasi Saat Merekrut Difabel”, dimuat dalam

http://metrosemarang.com/perusahaan-lakukan-diskriminasi-saat-merekrut-kaum-difabel, di akses 9 Agustus 2017.

4 ILO, Kaidah ILO tentang Pengelolaan Penyandang Cacat di Tempat Kerja, ILO Publication, Jakarta, 2006,

hlm. 3.

5 Simgakin, “Data Penyandang Disabilitas”, dimuat dalam

(4)

Berdasarkan data Dinas Sosial, Pemuda dan Olahraga (Disospora) Kota Semarang, pada

tahun 2013 terdapat 6.861 penyandang disabilitas yang tersebar di 16 kecamatan, terdiri dari 796

tunadaksa, 740 tunanetra, 609 tunagrahita, 645 tunarungu, dan 514 cacat ganda.6 Penyandang

disabilitas merasa dianaktirikan dan belum dapat menikmati hak-hak sebagaimana ditentukan

konstitusi. Di samping peluang yang sulit, tidak jarang mereka mengalami perlakuan yang tidak

mengenakkan, seperti diberhentikan tanpa ada penjelasan dari manajemen perusahaan. Bahkan

penyandang disabilitas tidak dianggap sebagai pekerja, melainkan hanya sebagai peserta magang.7

Kondisi di atas memperlihatkan kondisi penyandang disabilitas yang memprihatinkan,

walau dengan pengaturan dan hak konstitusional yang sudah jelas. Atas dasar itulah, penelitian ini

ingin menjawab dua permasalahan sebagai berikut: (1) bagaimanakah implementasi pemenuhan hak

bagi penyandang disabilitas ketenagakerjaan di Kota Semarang? (2) apa saja faktor yang menjadi

kendala dalam mengimplementasikan pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas ketenagakerjaan

di Kota Semarang?

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif tersebut menggunakan data primer, sekunder, dan tersier, menggunakan

pendekatan perundang-undangan (statutory approach) dan pendekatan konseptual (conceptual

approach). Keseluruhan data dianalisis dengan menggunakan analisis sistesis. Dari hasil analisis

sistesis kemudian diambil simpulan seperlunya, sesuai tujuan penelitian yang telah ditentukan.

6 Metro, “Kesempatan Kerja bagi Penyandang Disabilitas Semarang Masih Minim”, dimuat dalam

http://metrosemarang.com/kesempatan-kerja-bagi-penyandang-disabilitas-semarang-masih-minim, diakses, Senin, 14 Agustus 2017.

7

(5)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1) Implementasi Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Ketenagakerjaan

Pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan di Kota Semarang

dilaksanakan dalam rangka meningkatkan harkat, martabat dan harga diri, serta mewujudkan

masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, baik materil maupun spiritual. Penyandang disabilitas

yang sering mendapat diskriminasi, perlu mendapat perhatian khusus karena mereka memiliki

kebutuhan yang berbeda. Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kota Semarang,

harus memastikan hak memperoleh pekerjaan dapat terpenuhi bagi penyandang disabilitas di Kota

Semarang.

Menurut John C. Maxwell, penyandang disabilitas merupakan seseorang yang mempunyai

kelainan dan/atau yang dapat mengganggu aktivitas.8 Pasal 4 UU No. 8/2016 menentukan

penyandang disabilitas dalam empat kategori. Pertama, penyandang disabilitas fisik, yaitu

terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy

(CP), akibat stroke, akibat kusta, dan orang kecil. Kedua, penyandang disabilitas intelektual, yaitu

terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar,

disabilitas grahita dan down syndrom. Ketiga, penyandang disabilitas mental, yaitu terganggunya

fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: (a) psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar,

depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; (b) disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada

kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif. Keempat, penyandang disabilitas

sensorik, yaitu terganggunya salah satu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra,

disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.

Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) memberikan definisi

disabilitas sebagai keadaan terbatasnya kemampuan untuk melakukan aktivitas dalam batas-batas

8 Sugiono, Ilhamuddin, dan Arief Rahmawan, Klasterisasi Mahasiswa Difabel Indonesia Berdasarkan

(6)

yang dianggap normal. WHO membagi tiga kategori disabilitas, yaitu: (a) impairment, yaitu kondisi

ketidaknormalan atau hilangnya struktur atau fungsi psikologis, atau anatomis; (b) disability yaitu

ketidakmampuan atau keterbatasan sebagai akibat adanya impairment untuk melakukan aktivitas

dengan cara yang dianggap normal bagi manusia; (c) handicap, yaitu keadaan yang merugikan bagi

seseorang akibat adanya impairment, disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan yang

normal (dalam konteks usia, jenis kelamin, serta faktor budaya) bagi orang yang bersangkutan.9

Sebagai warga negara Indonesia, penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak,

kewajiban dan peran yang sama dengan warga Negara Indonesia lainnya. Bahkan UUD NRI Tahun

1945 mengatur setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Sebagai bentuk dari perlindungan hukum terhadap pemenuhan HAM di Indonesia

khususnya terhadap hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi disabilitas, Indonesia harus

memiliki seperangkat peraturan hukum yang adil dan tegas dalam mengatur, aparat negara yang

sigap dan pro disabilitas, dan masyarakat yang inklusif terhadap isu disabilitas10. Kesempatan untuk

mendapatkan kesamaan kedudukan, hak, dan kewajiban bagi penyandang cacat hanya dapat

diwujudkan jika tersedia aksesibilitas, yaitu suatu kemudahan bagi penyandang cacat untuk

mencapai kesamaan kesempatan dalam memperoleh kesamaan kedudukan, hak, dan kewajiban

sehingga perlu diadakan upaya penyediaan aksesibilitas bagi penyandang cacat. Dengan upaya

dimaksud, diharapkan penyandang cacat dapat berintegrasi secara total dalam mewujudkan tujuan

pembangunan nasional pada umumnya serta meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat

pada khususnya. Penyelenggaraan upaya peningkatan kesejahteraan sosial yang antara lain

dilaksanakan melalui kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat, yang pada hakikatnya menjadi

tanggung jawab bersama Pemerintah, masyarakat, keluarga, dan penyandang cacat sendiri. Oleh

9 Ibid, hlm. 20-21.

10Jazim Hamidi, Perlindungan Hukum terhadap Disabilitas dalam Memenuhi Hak Mendapatkan Pendidikan

(7)

karena itu diharapkan semua unsur tersebut berperan aktif untuk mewujudkannya. Dengan

kesamaan kesempatan tersebut diharapkan para penyandang cacat dapat melaksanakan fungsi

sosialnya dalam arti mampu berintegrasi melalui komunikasi dan interaksi secara wajar dalam

hidup bermasyarakat.11

Hak untuk memperoleh pekerjaan termasuk bagi pekerja disabilitas telah diatur di dalam

konstitusi negara Indonesia. Oleh sebab itu, hak tersebut mendapatkan perlindungan dan dijamin

oleh hukum, sehingga perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas pada khususnya

harus melindungi hak-hak penyandang disabilitas. Pasal 41 ayat (2) UU No. 39/1999 tentang HAM

menentukan setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil dan anak-anak

berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.

Saat ini, data penyandang disabilitas di Kota Semarang belum akurat. Pada tahun 2017,

belum semua data penyandang disabilitas terkumpul disebabkan jumlah petugas pendataan di Dinas

Sosial masih kurang, serta anggaran yang terbatas untuk melakukan pendataan bagi penyandang

disabilitas. Kondisi tersebut berdampak dalam pemenuhan hak memperoleh pekerjaan di Kota

Semarang.12

Posisi penyandang disabilitas yang terkait dengan ketenagakerjaan akan lebih rumit. Pasal 1

angka (1) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan konsep ketenagakerjaan sebagai

“segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa

kerja”. Menurut Molenaar, perburuhan atau ketenagakerjaan adalah bagian segala hal yang berlaku,

pada pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dan

tenaga kerja.13 Hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum masa kerja,

11

Suhartoyo, Perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh penyandang Disabilitas di Indonesia . Jurnal: Masalah-Masalah Hukum Vol 43, No 4, 2014, hlm. 472.

12 Berdasarkan wawancara dan data Seksi Rehabilitasi Penyandang Disabilitas Dinas Sosial Kota Semarang, 27

November, pukul 09.00 WIB.

13 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.

(8)

misalnya adalah kesempatan kerja, perencanaan tenaga kerja dan penempatan tenaga kerja,

sedangkan hal sesudah masa kerja seperti masalah pensiun atau jaminan masa tua.

Bekerja merupakan cara manusia mendapatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia

karena dengan bekerja akan dapat meningkatkan kesejahteraan hidup untuk menjalankan

kehidupannya. Pasal 5 UU No. 13/2003 menentukan setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang

sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Pasal 6 disebutkan setiap pekerja/buruh

berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.

Perlindungan penyandang disabilitas merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan

perlindungan hukum yang diberikan kepada penyandang disabilitas dalam usahanya untuk

memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan penyandang disabilitas itu sendiri. Pada

akhirnya, perlindungan ini juga dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa diskriminasi berdasarkan

disabilitas merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat serta nilai yang melekat pada

setiap orang. Perlindungan penyandang disabilitas juga dapat diartikan sebagai upaya menciptakan

lingkungan dan fasilitas umum yang aksesibel demi kesamaan kesempatan bagi penyandang

disabilitas untuk hidup mandiri dan bermasyarakat.

Selain ditentukan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, hak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak, turut dipertegas dalam UU No. 8/2016. UU ini sebagai landasan

operasional dalam mewujudkan penyandang disabilitas yang sejahtera dan mandiri. Dalam rangka

memenuhi amanat UU No. 8/2016, perlu disadari bahwa penempatan tenaga kerja penyandang

disabilitas adalah menjadi hak penyandang disabilitas, sekaligus menjadi kewajiban Pemerintah dan

Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD, serta perusahaan swasta, yang perlu diimplementasikan

(9)

Pelaksanaan ketentuan di atas belum berjalan dalam praktik. Berdasarkan data Seksi Bidang

Informasi Pasar Kerja dan Produktivitas Kerja pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota

Semarang, sekarang ini terdapat 3.990 perusahaan, terlihat dalam tabel berikut.14

Tabel 1.

Jumlah Perusahaan Kota Semarang Menurut Status Usaha

No Jenis Perusahaan 2014 2015

1. 2. 3. 4. 5. Swasta Murni Joint Ventura PMDN PMA Lain-lain 1.539 0 466 177 1.550 1.669 0 586 184 1.550

Jumlah 3.546 3.990

Sumber data: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang

Pada Praktiknya, dari 3.990 jumlah perusahaan yang ada di Kota Semarang, menunjukan

belum terpenuhinya kuota bagi penyandang disabilitas secara maksimal. Hal tersebut dapat dilihat

dari 10 perusahaan yang ada di Kota Semarang sebagai sampel yang di data oleh Dinas Tenaga

Kerja dan Transmigrasi kota Semarang, aturan terkait kuota bagi penyandang disabilitas dalam hak

memperoleh pekerjaan dalam pelaksanaanya tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka dapat

dilihat bahwa terkait kuota bagi penyandang disabilitas dalam ketenagakerjaan belum berjalan

dengan baik.

Tabel 2.

Perusahaan yang Mempekerjakan Penyandang Disabilitas

No Perusahaan Sektor Jumlah

pek erja Jumlah tenaga kerja penyandan g disabilitas

1 PT. SAMA Tekstil 2.778 2

14 Wawancara dilakukan dengan staf seksi di bidang Informasi pasar Kerja dan produktivitas Kerja pada Dinas

(10)

2 PT. GBI Tekstil 2.405 13

3 PT. MG Tekstil 325 1

4 PT. BI Tekstil 2.230 5

5 PT. ISM Makanan 940 1

6 PT. MPS Rokok 2.425 5

7 PT. IP Plastik 29 1

8 PT. AIR Tekstil 917 3

9 PT. LWI Kayu 962 3

10 PT. FM Pakaian 784 3

Sumber data: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang

Data di atas menunjukan bahwa berdasarkan 10 perusahaan sebagai sampel yang di data

oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi kota Semarang pada tahun 2016, perusahaan belum

menjalankan secara maksimal terkait kewajiban pemenuhan kuota tenaga kerja bagi penyandang

disabilitas.

2) Kendala dalam Pemenuhan Hak bagi Penyandang Disabilitas Ketenagakerjaan

Perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas dalam pemenuhan hak memperoleh

pekerjaan di Kota Semarang dilaksanakan dalam rangka pembangunan masyarakat yang ada di

Kota Semarang untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri, serta mewujudkan masyarakat

yang sejahtera, adil, makmur, baik materil maupun spiritual.15 Penyandang disabilitas sering

mendapat diskriminasi seperti diuraikan sebelumnya terkait keadaan fisik dan mental. Atas dasar

itulah penyandang disabilitas perlu mendapat perhatian khusus karena mereka memiliki kebutuhan

yang berbeda. Kebutuhan yang berbeda ini harus mendapat perhatian dari institusi pemerintah,

khususnya Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang, sehingga hak

memperoleh pekerjaan dapat terpenuhi bagi penyandang disabilitas di Kota Semarang.

15 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia , cet. II, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007,

(11)

Berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, negara mengakui persamaan derajat,

persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia. Selain penegasan hak warga atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak, konstitusi juga menyebutkan bahwa setiap warga negara

berhak mendapat pekerjaan berdasarkan pada tingkat pendidikan, keahlian, dan bakat serta

minatnya. Setiap warga negara dalam memperoleh pekerjaan harus sesuai dengan keinginannya,

bukan pekerjaan yang dipaksakan kepadanya. Negara berkewajiban menciptakan lapangan

pekerjaan dan penghidupan yang layak, dengan gaji bulanan, rumah, pakaian, dan makanan. Untuk

melaksanakan hal tersebut pemerintah memberikan aturan dalam gaji yaitu dengan menentukan

upah minimum regional (UMR) yang merupakan kumpulan dari jumlah gaji baik gaji pokok dan

tunjangan yang diberikan serta bonus yang diterima oleh seorang pekerja.

Pelaksanaan pembangunan nasional terkait tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan

yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Sesuai dengan peranan dan

kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas

tenaga kerja dan peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusian. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan adanya perlindungan terhadap tenaga

kerja yang dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan dan

kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan

pekerja dan keluarganya serta tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.

Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 13/2003 bahwa pembangunan ketenagakerjaan

berlandaskan atas Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Berdasarkan Penjelasan Pasal 3 UU No.

13/2003 menyatakan terkait asas pembangunan ketenagakerjaan, pada dasarnya sesuai dengan asas

pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta adil dan merata. Pembangunan

ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak, yaitu antara

pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh. Oleh karena itu, pembangunan ketenagakerjaan

(12)

ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas

sektoral pusat dan daerah.

Pasal 4 UU No. 13/2003 menyatakan bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah

sebagai berikut:16 Pertama, memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan

manusiawi. Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu

untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui

pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara

optimal dalam pembangunan nasional, namun dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaanya, sehingga dapat meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta

mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik secara materil maupun spiritual.

Kedua, mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai

dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah. Pemerataan kesempatan kerja harus

diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar

kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga

kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan

penempatan tenaga kerja, perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan

daerah.

Ketiga, memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.

Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan

perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan

dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.

Keempat, meningkatkan Kesejahteraan tenaga kerja dan keluarga. Masyarakat Indonesia

sebagian besar merupakan tenaga kerja dan memiliki keluarga, karena itu kesejahteraan tenaga

16

(13)

kerja dan keluarganya mempunyai andil yang besar dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia. Masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materil maupun spiritual

tidak dapat dicapai bila tenaga kerja dan keluarganya tidak sejahtera. Meningkatkan kesejahteraan

tenaga kerja dan keluarganya merupakan bagian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

masyarakat Indonesia.

Terdapat beberapa faktor yang menjadikan Pemerintah Kota Semarang belum cukup

memberikan perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas dalam hak memperoleh

pekerjaan di Kota Semarang, diantaranya adalah sebagai berikut:

a)Peraturan daerah Kota Semarang yang belum tersedia

Tujuan utama dari Perda adalah memberdayakan masyarakat dan mewujudkan kemandirian

daerah. Perda memuat dan mengatur penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta

menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi seperti yang di sebutkan di dalam Pasal 14 UU No. 12/2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian, pembentukan peraturan daerah

menjadi strategis dan penting karena faktor kekhususan daerah dan penjabaran perundang-undangan

yang lebih tinggi. Beberapa undang-undang hanya memuat hal-hal umum yang harus dijabarkan

sesuai dengan kondisi daerah, antara lain terkait kaum disabilitas, perempuan, anak, suku dan

masyarakat adat terpencil, penganut agama dan kepercayaan lokal, kelompok-kelompok minoritas,

serta hal-hal yang khusus dan spesifik di daerah.

Saat ini Kota Semarang belum memiliki peraturan daerah yang mengatur terkait pemenuhan

hak penyandang disabilitas sebagai tindak lanjut dari ketentuan peraturan perundang-undangan

terkait kebijakan perlindungan penyandang disabilitas yang diatur secara nasional di Indonesia,

seperti UU No. 8/2016, UU No. 13/2003. Hal ini menjadi kendala bagi Pemerintah Kota Semarang

khususnya Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam melaksanakan perlindungan hukum

(14)

masyarakat Kota Semarang yang berhak untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan tingkat

kecacatannya17.

Berdasarkan hal tersebut, terkait pelaksanaan perlindungan hukum terhadap penyandang

disabilitas dalam hak memperoleh pekerjaan di Kota Semarang, peraturan daerah Kota Semarang

menjadi penting sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam perlindungan pemenuhan hak

terhadap penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan di Kota Semarang.

b) Pengawasan ketenagakerjaan di Kota Semarang

Pengawasan ketenagakerjaan adalah fungsi negara termasuk pengawasan yang dilakukan di

Kota Semarang. Berdasarkan lampiran UU No. 23/2014 disebutkan penetapan sistem pengawasan

ketenagakerjaan dan pengelolaan tenaga pengawas ketenagakerjaan menjadi urusan Pemerintah

Pusat, sedangkan kewenangan penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan menjadi urusan

Pemerintah Daerah Provinsi. Terhitung sejak Januari 2017, seluruh pegawai pengawas

ketenagakerjaan kabupaten/kota beralih ke provinsi. Sesuai UU No. 23/2014, maka semua fungsi

pengawasan ketenagakerjaan yang ada di setiap kabupaten/kota seluruh Indonesia termasuk di

Provinsi Jawa Tengah, statusnya beralih ke Provinsi.

Terdapat tiga unsur yang saling mempengaruhi dalam ketenagakerjaan, yang mana apabila

salah satu fungsi dan peran dari ketiga unsur ini tidak berjalan, maka kondisi ketenagakerjaan tidak

akan berjalan secara sehat. ketiga unsur tersebut terdiri dari pekerja, pengusaha, dan pemerintah

yang dalam istilah ketenagakerjaan dikenal dengan istilah tripartit. Ketiga unsur tripartit tersebut

memiliki keinginan yang berbeda-beda dan masih banyak yang belum bisa mewujudkan hubungan

yang saling memenuhi keinginannya masing-masing. Untuk terciptanya hubungan yang saling

menguntungkan keinginan masing-masing unsur tripartit tersebut, sebenarnya pemerintah telah

mengaturnya dengan regulasi yaitu Pasal 102 UU No. 13/2003 yang mengatur fungsi dan peran

17 Wawancara dengan staf Seksi Bidang Informasi Pasar Kerja dan Produktivitas Kerja pada Dinas Tenaga

(15)

pemerintah, pekerja, dan perusahaan dalam ketenagakerjaan, diantaranya adalah: Pertama, dalam

melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan,

memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap

pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Kedua, dalam melaksanakan

hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi

menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan

produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya

serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

Ketiga, dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya

mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja,

dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pasal 102 ayat (1) sangat jelas menyebutkan bahwa

kunci dari semua permasalahan ketenagakerjaan adalah sangat tergantung dari fungsi pemerintah

dalam menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan dan penindakan

terhadap pelanggaran aturan ketenagakerjaan. Fungsi pekerja/buruh sebagaimana disebutkan dalam

ayat (2) akan terlaksana dengan baik apabila fungsi dan peran pemerintah sebagaimana ayat (1)

berjalan dengan baik dan benar, terutama dalam memastikan terpenuhinya hak-hak pekerja yang

merupakan kewajiban pengusaha untuk memenuhinya.

Unsur yang paling dirugikan ketika fungsi masing-masing tersebut tidak berjalan

sebagaimana mestinya adalah pekerja, karena akibat lemahnya fungsi pemerintah, hak-hak pekerja

yang merupakan kewajiban pengusaha masih banyak yang tidak terpenuhi, padahal setiap hak

pekerja yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan dilanggar ada sanksi baik administratif

maupun pidana.

Ada beberapa pengertian pengawasan ketenagakerjaan yang terdapat didalam peraturan

(16)

bahwa pengawasan ketenagakerjaan merupakan kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan

peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan. Selanjutnya pada Pasal 1 angka (1)

Perpres No. 21/2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengawasan

ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan

perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pengertian tersebut merupakan pengertian yang juga

digunakan di beberapa peraturan yang mengatur tentang pengawasan ketenagakerjaan, seperti UU

No. 21/2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection In

Industry And Commerce (Konvensi ILO Nomor 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan dalam

Industri dan Perdagangan). Sehingga pengertian ini merupakan pengertian yang baku dalam

mendefinisikan pengertian pengawasan ketenagakerjaan.

Pada Pasal 178 UU No. 13/2003 menyebutkan bahwa pengawasan ketenagakerjaan

dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya

dibidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah

kabupaten/kota. Hal tersebut juga di sebutkan di dalam Pasal 3 Perpres No. 21/2010 yang

menyebutkan bahwa pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja pengawasan

ketenagakerjaan pada instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang

ketenagakerjaan pada pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

Perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas dalam pemenuhan hak memperoleh

pekerjaan di Kota Semarang memiliki tujuan untuk memberi kepastian hukum, sehingga tujuan

hukum tersebut dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang ada di Kota Semarang.

Pengawasan ketenagakerjaan merupakan sebuah sistem yang sangat penting dalam penegakan atau

penerapan peraturan terkait ketenagakerjaan, pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan

mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan.

Penegakan atau penerapan peraturan perundang-undangan merupakan upaya untuk melindungi serta

(17)

tersebut diperlukan untuk menjaga kelangsungan usaha dan ketenangan dalam bekerja yang pada

akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan tenaga kerja.

Pasal 179 UU No. 13/2003 menyebutkan bahwa unit kerja pelaksana pengawasan

ketenagakerjaan mempunyai dua kewajiban. Pertama, wajib menyampaikan laporan pelaksanaan

pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri Tenaga Kerja, khusus bagi unit kerja pada pemerintah

provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kedua, wajib merahasiakan segala sesuatu yang menurut

sifatnya patut dirahasiakan dan tidak menyalahgunakan kewenangannya.

Dengan pengawasan ketenagakerjaan terkait penyandang disabilitas dalam hak memperoleh

pekerjaan di Kota Semarang, tidak dilakukan lagi di Dinas Tenaga Kerja kota Semarang dan beralih

pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah, hal ini terjadi kekosongan fungsi

pengawasan terhadap ketenagakerjaan. Hal ini berimplikasi kepada melemahnya dalam penerapan

dan penegakan peraturan terkait ketenagakerjaan.

SIMPULAN

Simpulan penelitian ini adalah: Pertama, pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas

dalam memperoleh pekerjaan di Kota Semarang belum berjalan. Berdasarkan sampel 10 perusahaan

yang didata Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang tahun 2016, dari jumlah

perusahaan dari 3.990 yang ada di Kota Semarang, kuota penyandang disabilitas belum terpenuhi.

Kedua, faktor yang menjadi kendala pemenuhan hak penyandang disabilitas

ketenagakarjaan di Kota Semarang, adalah ketiadaan peraturan daerah yang mengatur pemenuhan

hak penyandang disabilitas, sebagai tindak lanjut dari ketentuan peraturan perundang-undangan

terkait kebijakan perlindungan penyandang disabilitas yang diatur secara nasional. Di samping itu,

pengawasan ketenagakerjaan di Kota Semarang, sejak tahun 2017 tidak dilakukan lagi di Dinas

(18)

berdasarkan amanat UU Pemerintah Daerah. Kondisi tersebut menyebabkan terjadi kekosongan

fungsi pengawasan terhadap ketenagakerjaan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Khakim, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, cet. II, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Budiyono, Muhtadi, Ade Arief Firmansyah, 2015, Dekonstruksi Urusan Pemerintahan Konkuren

dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 67 Th XVII.

ILO, 2006, Kaidah ILO tentang Pengelolaan Penyandang Cacat di Tempat Kerja, ILO Publication,

Jakarta.

Jazim Hamidi, 2016, Perlindungan Hukum terhadap Disabilitas dalam Memenuhi Hak

Mendapatkan Pendidikan dan Pekerjaan, Jurnal: Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol 23,

No 4.

Khairani, 2012, Analisis Permasalahan Outsourching (Alih Daya) dari Perspektif Hukum dan

Penerapannya, Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 56 Th XIV.

Lalu Husni, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi‐Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Metro, “Perusahaan Lakukan Diskriminasi Saat Merekrut Difabel”, dimuat dalam

http://metrosemarang.com/perusahaan-lakukan-diskriminasi-saat-merekrut-kaum-difabel, di

akses 9 Agustus 2017.

Metro, “Kesempatan Kerja bagi Penyandang Disabilitas Semarang Masih Minim”, dimuat dalam

(19)

Rizqa Maulinda, Dahlan, M. Nur Rasyid, 2016, Perlindungan Hukum bagi Pekerja Kontrak Waktu

Tertentu dalam Perjanjian Kerja pada PT. Indotruck Utama, Kanun Jurnal Ilmu Hukum

Vol. 18 No. 3.

Simgakin, “Data Penyandang Disabilitas”, dimuat dalam

http://simgakin.semarangkota.go.id/2015/website/web/pages/119. Diakses Senin 14 Agustus

2017.

Sugiono, Ilhamuddin, dan Arief Rahmawan, 2014, Klasterisasi Mahasiswa Difabel Indonesia

Berdasarkan Background Histories dan Studying Performance, Indonesia Journal of

Disability Studies 20, 21.

Suhartoyo, 2014, Perlindungan Hukum terhadap Pekerja/buruh Penyandang Disabilitas di

Indonesia. Jurnal: Masalah-Masalah Hukum Vol 43, No 4.

Sutedi Ardrian, 2011, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.

UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.

UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

UU No. 19/2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities

(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)

UU No. 21/2003 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 81 Concerning Labour Inspection In

Industry And Commerce (Konvensi ILO Nomor 81 Mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan

(20)

Gambar

Tabel 2.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat, hidayah, dan nikmat-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan sekripsi yang berjudul “Pengaruh

Salah satu solusi yang mampu menjawab permasalahan ini adalah dengan membangun layanan e-Government berbasis SMS yang dapat memberikan otomasi jawaban untuk pengetahuan

Penyelesaian administrasi semua perkara yang masuk baik perkara pidana maupun perkara perdata di Pengadilan Negeri Majalengka pada tahun 2015 dapat diselesaikan semuanya

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah lokasinya, yaitu populasi remaja Indonesia terbatas pada etnis Asia, dan tidak hanya meneliti hubungan

2004 Analisis terhadap polimorfisme gen AgRP Ala67Thr dan kaitannya dengan IMT pada populasi kaukasia di Kanada dan Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara

Dari hasil laporan tersebut baru terlihat perusahaan yang memang mempekerjakan penyandang disabilitas atau tidak, selain itu perusahaan juga telah menjamin hak-hak yang dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) lebih baik dibandingkan dengan