PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini konversi lahan merupakan isu utama, bukan hanya dalam bidang agraria tetapi juga pada bidang maritim di berbagai wilayah di Indonesia, terutama di wilayah pesisir pantai. Sutrisno et al., (2006) menyatakan bahwa konversi hutan mangrove untuk keperluan lain memberikan dampak yang serius terhadap terjadinya degradasi ekosistem di wilayah pesisir. Konversi hutan mangrove untuk budidaya telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Pada tahun 1990-an pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memperluas tambak karena meningkatnya harga udang selama krisis keuangan Asia pada tahun 1997. Hasilnya Indonesia telah kehilangan luas mangrove sebanyak 800.000 ha hanya dalam 30 tahun (Ilman et al., 2016).
Hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara dalam kurun waktu 1977, 1988/1989, 1997 dan 2006 kondisinya terus menurun. Hutan mangrove di wilayah tersebut pada tahun 2006 hanya tersisa sebesar 41.700 ha dari luas awal pada tahun 1977 sebesar 103.415 ha atau hilang sebesar 59,68% selama 29 tahun. Penyebab utama perubahan luas dan kerusakan hutan mangrove tersebut adalah penebangan hutan mangrove secara berlebihan dan konversi untuk lahan tambak, perkebunan dan pertanian (Onrizal., 2010).
Pembangunan wilayah pesisir berkembang dengan pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi akan mengancam kelangsungan kawasan dan ekosistem pesisir. Kawasan mangrove yang berada di wilayah pesisir mendapat tekanan secara ekologis yang sangat mempengaruhi
kelestariannya. Kesadaran masyarakat pesisir sangat penting dalam upaya pelestarian kawasan mangrove (Nanlohy, 2014).
Kawasan mangrove di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai tersebar di lima wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Pantai Cermin, Perbaungan, Teluk Mengkudu, Tanjung Beringin dan Bandar Khalipah. Dari keseluruhan kawasan mangrove seluas 3.691,6 hektar yang berada di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai, seluas 919,89 hektar (24,8%) termasuk dalam kondisi baik. Sebagian lainnya dari kawasan mangrove tersebut telah mengalami kerusakan dengan tingkatan yang berbeda. Areal seluas 576,49 hektar (15,6%) tergolong rusak sedang dan seluas 2.204,22 (59,6%) berada dalam kondisi rusak berat (BPDAS Wampu-Sei Ular, 2006).
Pemanfaatan sumber daya pesisir menjadi objek wisata banyak terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Kecamatan Pantai Cermin dan Perbaungan merupakan area wisata dengan bentang alam pantainya yang dijadikan destinasi kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Serdang Bedagai. Di Kecamatan Pantai Cermin terdapat 7 tempat wisata dan kecamatan perbaungan terdapat 5 tempat wisata yang dapat dikunjungi oleh wisatawan (BPS Serdang Bedagai, 2016). Wahana dan area-area barupun banyak bermunculan diciptakan serta dikelola oleh pemilik modal maupun pemerintah daerah Kabupaten Serdang Bedagai sebagai kawasan wisata pantai.
Pengelola wisata membangun area wisata pantai dan kolam pancing yang dahulunya merupakan hutan mangrove di Desa Pantai Cermin Kanan. Hal ini membuat pro dan kontra pada masyarakat setempat yang selama ini merasakan manfaat dari keberadaan hutan mangrove dengan sebagian masyarakat dan oknum
yang merasakan keuntungan dengan dibangunnya wisata tersebut. Dalam bentuk lain. Onrizal et al., (2017) menyatakan bahwa kelompok masyarakat.di Desa Sei Nagalawan juga mengelola kawasan wisata mangrove bernama Kampoeng Nipah sejak tahun 2010an. Kawasan tersebut dahulunya merupakan kawasan mangrove yang rusak dan direhabilitasi secara swadaya oleh kelompok masyarakat tersebut. Berdasarkan kodisi tersebut, kajian mengenai perubahan kerapatan vegetasi dan persepsi masyarakat pantai terhadap alih fungsi mangrove menjadi kawasan wisata dengan bentuk pengelolaan yang berbeda penting untuk dilakukan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
1. Mengetahui perubahan tingkat kerapatan vegetasi di desa pantai yaitu Desa Pantai Cermin Kanan dan Desa Sei Nagalawan antara tahun 2007 dengan tahun 2017.
2. Mendeskripsikan persepsi masyarakat desa pantai terhadap perubahan fungsi hutan mangrove menjadi obyek wisata.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah, sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam rangka pengelolaan hutan mangrove dan pemberdayaan ekonomi masyarakat pantai. Memperluas khasanah pengetahuan bagi pengembangan ilmu lingkungan hidup.