• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis Vegetasi Di Areal Model Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keanekaragaman Jenis Vegetasi Di Areal Model Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN JENIS VEGETASI DI AREAL MODEL

ARBORETUM MANGROVE DESA BAGAN SERDANG

KECAMATAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG

SKRIPSI

Oleh :

ABDULLAH OKTA ERIZA

041202019/ BUDIDAYA HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

KEANEKARAGAMAN JENIS VEGETASI DI AREAL MODEL

ARBORETUM MANGROVE DESA BAGAN SERDANG

KECAMATAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG

SKRIPSI

Oleh :

ABDULLAH OKTA ERIZA

041202019/ BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Dr. Delvian, SP, MP Ketua

Dr. Budi Utomo, SP, MP Anggota

Judul Skripsi :

Keanekaragaman Jenis Vegetasi Di Areal Model Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang.

Nama : Abdullah Okta Eriza

NIM : 041202019

Departemen : Kehutanan Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan Dr. Edi Batara Mulya Siregar, M.S

(4)

ABSTRACT

ABDULLAH OKTA ERIZA, ANALISIS OF MANGROVE PLANT DIVERSITY AT PANTAI LABU SUBDISTRICT DELI SERDANG DISTRICT, NORTH SUMATERA PROVINCE. Under supervision of DELVIAN and BUDI UTOMO

The research was conducted during August 2009 at the mangrove forest area in Secanggang Sub-District, Langkat District, North Sumatra Province. The purpose of this study was to examine the vegetation structure and diversity of mangrove plant species and to estimate the analisis vegetation of mangrove forests at the research site. The 12 sample plots of each size 30 x 30 m were established to indentify and measure the density of all vegetation. The allometric equation was used to estimate the analisis vegetation for all trees 5 cm at diameter at breast height (DBH) and above. The result, show that mangrove vegetations was found 14 mangrove spesies and dominated by Avicenia alba, Rhizophora apiculata and Xylocarpus granatum. The diversities mangroves at district Secanggang (Hs’)

regency are still low is 1.86.

(5)

ABSTRAK

ABDULLAH OKTA ERIZA, KEANEKARAGAMAN JENIS VEGETASI DI AREAL MODEL ARBORETUM MANGROVE DESA BAGAN SERDANG KECAMATAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG PROPINSI SUMATERA UTARA. Di bawah bimbingan DELVIAN dan BUDI UTOMO

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2010 di Areal Model Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis hutan mangrove. Sebagai bahan kajian penelitian adalah di areal model arboretum mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode transek yang diambil secara sistematis sebanyak 5 jalur 25 plot contoh yang masing-masing berukuran 10 x 100 m dengan ukuran plot 10 m x 10 m untuk diameter tegakan > 10 cm, 5 m x 5 m untuk diamter tegakan 5 – 10 cm dan 2 m x 2m untuk diameter < 5 cm, telah dibuat untuk mengidentifikasi dan mengukur kerapatan vegetasi. Paraeter yang dianalisis antara lain Indeks Nilai Penting dan keanekaragaman jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan mangrove di Areal Model Arboretum Mangrove Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang 6 jenis vegetasi mangrove yang mendominasi adalah Rhizophora apiculata dengan INP (66,7 %)., Avicennia lanata dengan INP ( 64,6 %) and Sonneratia caseolaris dengan INP (65,6 %). Keanekargaman jenis mangrove yang terdapat di Areal Model Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang (Hs’) termasuk rendah yakni 1,50 pada

tingkat pohon.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Abdullah Okta Eriza dilahirkan di Solok, Sumatera Barat pada tanggal

16 Oktober 1984, anak ketiga dari empat bersaudara dari Ayahanda Efri Harahap

dan Ibunda Anizarti Danil.

Pada tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD

Negeri 07 Lubuk Selasih, pada tahun 2000 lulus dari SLTP Negeri 3 Kecamatan

Gunung Talang, pada tahun 2003 lulus dari SKMA Pekanbaru, dan pada tahun

2004 penulis diterima kuliah di Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian,

Departeman Kehutanan, Program Studi Budidaya Hutan.

Selain di dunia perkuliahan kampus, penulis juga ikut bergabung dalam

organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) pada tahun

2005 sampai dengan sekaran. Penulis juga aktif kegiatan di luar kampus seperti

mengikuti kegiatan ekstakulikuler dan pelatihan-pelatihan untuk menunjang

disiplin ilmu di kampus. Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan

Pengelolaan Hutan (P3H) di Taman Nasional Batang Gadis, Mandailing Natal

pada bulan Juni 2006, dan melasanakan kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di

Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II di Medan, Sumatera Utara pada

bulan Juni sampai Agustus 2008. Kemudian pada bulan Februari sampai April

penulis melakukan penelitian dengan judul “Keanekaragaman Jenis Vegetasi Di

Areal Model Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan

nikmat-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian ini adalah Keanekaragaman Jenis Vegetasi Di Areal Model Arboretum

Mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang.

Usulan penelitian ini dibuat adalah untuk melengkapi persyaratan kesiapan

melakukan penelitian dalam rangka penyelesaian tugas akhir kuliah di

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Delvian, SP, MP. dan

Dr. Budi Utomo, SP, MP selaku pembimbing atas ilmu, arahan, bimbingan dan

saran yang diberikan. Semoga karya ini bermanfaat bagi manusia dan kehidupan

serta perkembangan ilmu pengetahuan. Kepada Allah SWT penulis mohon

ampunan dan berharap senantiasa keridhaan-Nya.

Penulis menyadari bahwa skripsi penelitian ini masih jauh dari sempurna,

oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

demi kesempurnaan penyusunan skripsi penelitian. Penulis berharap skripsi

penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember2010 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ...iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Mangrove ... 4

Ciri Ciri Ekosistem Hutan Mangrove ... 4

Vegetasi Hutan Mangrove ... 6

Zonasi Hutan Mangrove ... 7

Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove ... 9

Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 16

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 17

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 17

Letak Geografis ... 17

Toporafi dan Ketinggian Tempat... 18

Iklim ... 18

Bahan dan Alat Penelitian ... 19

Prosedur Penelitian ... 20

Analisa Vegetasi ... 20

Pengambilan Data Suhu Dan Salinitas ... 22

(9)

Komposisi Jenis ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Vegetasi ... 25

Komposisi Jenis ... 27

Keanekaragaman Jenis ... 29

Salinitas dan Suhu ... 32

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 37

Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Blok contoh dan penempatan petak contoh ... 21

2. Grafik keanekaragaman indeks diversitas Shannon pada setiap plot ... 29

3. Grafik keanekaragaman indeks diversitas Simpson pada setiap plot ... 29

4. Grafik histogram nilai suhu dan kelempahan di masing masing plot ... 33

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jenis mangrove dan sebarannya berdasarkan tingkat pertumbuhan keragaman jenis

yang di jumpai di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. ... ...26 2. INP jenis vegetasi mangrove pada setiap tingkat pertumbuhan di Kecamatan

Secanggang, Kabupaten Langkat. ... ...28 3. Keragaman jenis pada masing-masing tingkat pertumbuhan jenis yang dijumpai di

(12)

ABSTRACT

ABDULLAH OKTA ERIZA, ANALISIS OF MANGROVE PLANT DIVERSITY AT PANTAI LABU SUBDISTRICT DELI SERDANG DISTRICT, NORTH SUMATERA PROVINCE. Under supervision of DELVIAN and BUDI UTOMO

The research was conducted during August 2009 at the mangrove forest area in Secanggang Sub-District, Langkat District, North Sumatra Province. The purpose of this study was to examine the vegetation structure and diversity of mangrove plant species and to estimate the analisis vegetation of mangrove forests at the research site. The 12 sample plots of each size 30 x 30 m were established to indentify and measure the density of all vegetation. The allometric equation was used to estimate the analisis vegetation for all trees 5 cm at diameter at breast height (DBH) and above. The result, show that mangrove vegetations was found 14 mangrove spesies and dominated by Avicenia alba, Rhizophora apiculata and Xylocarpus granatum. The diversities mangroves at district Secanggang (Hs’)

regency are still low is 1.86.

(13)

ABSTRAK

ABDULLAH OKTA ERIZA, KEANEKARAGAMAN JENIS VEGETASI DI AREAL MODEL ARBORETUM MANGROVE DESA BAGAN SERDANG KECAMATAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG PROPINSI SUMATERA UTARA. Di bawah bimbingan DELVIAN dan BUDI UTOMO

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2010 di Areal Model Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman jenis hutan mangrove. Sebagai bahan kajian penelitian adalah di areal model arboretum mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode transek yang diambil secara sistematis sebanyak 5 jalur 25 plot contoh yang masing-masing berukuran 10 x 100 m dengan ukuran plot 10 m x 10 m untuk diameter tegakan > 10 cm, 5 m x 5 m untuk diamter tegakan 5 – 10 cm dan 2 m x 2m untuk diameter < 5 cm, telah dibuat untuk mengidentifikasi dan mengukur kerapatan vegetasi. Paraeter yang dianalisis antara lain Indeks Nilai Penting dan keanekaragaman jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan mangrove di Areal Model Arboretum Mangrove Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang 6 jenis vegetasi mangrove yang mendominasi adalah Rhizophora apiculata dengan INP (66,7 %)., Avicennia lanata dengan INP ( 64,6 %) and Sonneratia caseolaris dengan INP (65,6 %). Keanekargaman jenis mangrove yang terdapat di Areal Model Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang (Hs’) termasuk rendah yakni 1,50 pada

tingkat pohon.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia dikarunia memiliki mangrove yang terluas di dunia dan juga

memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya paling bervariasi.

Warisan alam yang sangat luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar

bagi Indonesia untuk melestarikannya, sekaligus memberi kesempatan yang

berharga bagi mereka yang bermaksud mempelajari dan menelitinya. Indonesia

terkenal memiliki hutan mangrove luas dan sangat kaya dengan keaneka-ragaman

hayatinya. Luas hutan mangrove di Indonesia tercatat sebesar 5.209.543,16 ha

pada tahun 1982 dan kemudian mengalami penurunan menjadi sekitar 2.496.185

ha pada tahun 1993 Dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi maka

hutan mangrove merupakan aset yang sangat berharga tidak saja dilihat dari

fungsi ekologisnya tetapi juga dari fungsi ekonomisnya (Dahuri, 1996).

Kerusakan ekosistem mangrove akibat terjadinya penebangan hutan

mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi beberapa bentuk

pemanfaatan secara ekonomi misalnya usaha pertambakan, pertanian,

perindustrian, pemukiman, pariwisata, pertambangan dan penangkapan ikan.

Fakta ini merupakan kondisi umum di kawasan pesisir Sumatera Utara. Usaha

pertambakan dapat menyebabkan terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan

udang di sekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti

mengurangi pendapatan nelayan-nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar

pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan penjala ikan. Di pesisir timur

Sumatera Utara, berkurangnya ikan hasil tangkapan menyebabkan sebagian

(15)

setidaknya menebang kayu tersebut menjadi aktivitas alternatif pada saat musim

tidak melaut (Yayasan Mangrove, 1993).

Kekhawatiran terus menurunnya kondisi hutan mangrove juga terjadi pada

hutan mangrove di daerah pesisir pantai Pulau Sumatera, termasuk di pesisir

pantai Kabupaten Deli Serdang. Fenomena ini, jelas akan mengakibatkan

kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir, di mana

hutan mangrove itu berada serta menurunnya, bahkan hilangnya fungsi lindung

lingkungan dari hutan mangrove tersebut. Oleh karena itu, untuk mengembalikan

fungsi dan manfaat hutan mangrove yang rusak harus dilakukan kegiatan

rehabilitasi dengan terlebih dahulu mengetahui kondisi kerusakannya.

Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang

terdapat areal model arboretum mangrove yang merupakan salah satu kawasan

hutan diperuntukan sebagai lahan pendidikan dan penelitian yang dikelola oleh

Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah II (Balai Pengelolaan Hutan

Mangrove Wilayah II, 2007) yang terdapat di wilayah Kabupaten Deli Serdang

Sumatera Utara. sehingga kegiatan penghitungan keanekaragaman jenis vegetasi

merupakan salah satu faktor terpenting dalam merehabilitasi kerusakan lahan

mangrove di kawasan tersebut. Ekosistem hutan mangrove ini layak

dipertahankan sebagai bagian dari kawasan hutan lindung, karena selain

mendominasi ekosistem secara keseluruhan juga memiliki kemanfaatan dari segi

pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Disamping

itu sebagai sumber plasma nutfah untuk mata pencarian masyarakat nelayan yang

(16)

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

keanekaragaman jenis vegetasi hutan mangrove.

Manfaat Penelitian

Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan dalam

perencanaan pengelolaan dan pembangunan hutan mangrove di Desa Bagan

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Hutan Mangrove

Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu

komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar

garam/salinitas (pasang surut air laut); dan kedua sebagai individu spesies

(Supriharyono, 2000). Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula

dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut (Rochana, 2006)

penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau

merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.

Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Departemen

Pertanian No. 60/Kpts/DJ/I/1978 yang dimaksud hutan mangrove adalah tipe

hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh

pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan

pada waktu surut. Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk

ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis

penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove

ini memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas

tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut

(18)

Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya

yang unik, adalah :

• memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;

• memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar

melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang

mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada

api-api Avicennia spp.;

• memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di

pohonnya, khususnya pada Rhizophora;

• memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.

Sedangkan tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan

memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah :

• tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya

tergenang pada saat pasang pertama;

• tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;

• daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang

kuat; airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2 - 22 o/oo) hingga asin.

(Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia, 2008)

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Departemen

Pertanian No. 60/Kpts/DJ/I/1978 yang dimaksud hutan mangrove adalah tipe

hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh

pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan

pada waktu surut. Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk

(19)

penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove

ini memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas

tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut

(Departemen Kehutanan, 1992).

Tempat ideal bagi pertumbuhan hutan mangrove adalah sekitar pantai,

delta, muara sungai yang arus sungainya banyak mengandung pasir dan lumpur

serta umumnya pada pantai yang landai yang terhindar dari ombak besar. Selain

tempat hidupnya berbagai jenis satwa tersebut, hutan mangrove juga berperan

dalam keberlanjutan ekosistem pantai dan terumbu karang, karena merupakan

tempat berkembang biaknya dan migrannya ikan-ikan tertentu. Dengan demikian

dari segi kepentingan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

ekosistemnya menjadi penting karena merupakan habitat dari suatu jenis satwa

langka dan atau dikhawatirkan akan punah; dan merupakan tempat dan kehidupan

bagi jenis satwa migran tertentu. (Sagala, 1994 dalam Basyuni, 2000)

Vegetasi Hutan Mangrove

Soerianegara (1987) dalam Noor et al. (1999) memberikan batasan hutan

mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan

sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan

ini terdiri dari tegakan pohon Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Rhizophora,

Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa.

Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Telah

(20)

hutan mangrove Indonesia adalah sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis

pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.

Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni :

1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang

menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan

membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur

komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus

(bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan

mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya

adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia,

Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.

2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu

membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan

dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus,

Heritiera, Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon,

Scyphiphora, Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.

3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris,

Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.

Flora mangrove umumnya di lapangan tumbuh membentuk zonasi mulai

dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove

mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi

lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu

(21)

pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor

lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :

• Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air

(water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang

surut dapat menyebabkan kerusakan terhadap anakan.

• Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah,

tingginya muka air dan drainase.

• Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies

terhadap kadar garam.

• Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species

intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia. • Pasokan dan aliran air tawar

Zonasi Hutan Mangrove

Menurut Bengen (2001) Flora mangrove umumnya tumbuh membentuk

zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan

mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap

gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana

(satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi)

tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa

faktor lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :

1. Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air

(22)

2. Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah,

tingginya muka air dan drainase.

3. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies

terhadap kadar garam serta pasokan dan aliran air tawar.

4. Cahaya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan anakan dari species

intoleran seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.

Menurut struktur ekosistem, secara garis besar dikenal tiga tipe formasi

mangrove, yaitu :

• Mangrove Pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur

horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari

tumbuhan pionir (Avicennia sp), diikuti oleh komunitas campuran

Soneratia alba, Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni

Rhizophora sp dan akhirnya komunitas campuran Rhizophora–Bruguiera.

Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicans di

belakang komunitas campuran yang terakhir

• Mangrove Muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai.

Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora sp. Di tepian

alur, diikuti komunitas campuran Rhizophora – Bruguiera dan diakhiri

komunitas murni Nypa fructicans

• Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air

laut, dan berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara.

Jenis-jenis mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas daratan.

Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove,

(23)

biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :

1. Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)

Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur

agak lembek (dangkal), dengan substrat agak berpasir, sedikit bahan organik dan

kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api

(Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan

jenis bakau (Rhizophora spp).

2. Zona Bakau (Rhizophora)

Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur

lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau ( Rhizophora spp ) dan di

beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang

( Bruguiera spp )

3. Zona Tanjang (Bruguiera)

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan.

Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya

ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi

dengan jenis lain.

4. Zona Nipah (Nypa fruticans)

Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini

mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya,

tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di

tepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan

(24)

Kondisi Tapak Hutan Mangrove

Jenis tanah pada hutan mangrove umumnya alluvial biru sampai coklat

keabu-abuan. Tanah ini berupa lumpur kaku dengan persentase liat yang tinggi,

bervariasi, tanah liat biru dengan sedikit atau tanpa bahan organik sampai tanah

lumpur coklat hitam yang mudah melepas karena banyak mengandung pasir dan

bahan organik (Kusmana et.al. 2005).

Menurut Kusmana et.al. (1995) tanah mangrove dapat di klasifikasikan

menjadi 3 golongan utama yaitu:

1. Golongan I, tanah tidak matang (unripped soils) adalah tanah baru, sifat

fisik tanahnya belum sempurna, dan hanya horizon A dan C yang dapat di

amati dari profil tanah. Pada beberapa daerah tanah dari horizon C

mungkin berkaitan dengan bahan induknya. Pada umumnya tanah berwana

gelap dari tanah bawah yang biasanya berwarna biru atau hijau. Adapun

sifat kimia tanahnya adalah pH sangat rendah hingga 2,5, kadar garam

tinggi, variasi bahan organik ±2-20 %, mengandung sejumlah K dan P,

variasi tekstur tanah dari liat sampai berpasir

2. Golongan II, tanah matang (repening soils) adalah tanah yang sudah

berkembang dan umumnya ditemukan di daerah paling atas pada waktu air

pasang. Adapun sifat fisik kmia dan sifat fisiknya yaitu tanah bagian

atasnya adalah liat berwarna gelap yang memiliki kedalaman sebesar

10-30 cm dengan kandungan bahan organik yang relatif tinggi, tanah bagian

bawah kadar bahan organiknya lebih rendah dengan kedalaman 40-49 cm

yang berwarna lebih terang, pH tinggi, kadar garam tinggi dan kadar P

(25)

3. Golongan III, tanah organik (organic soils) adalah tanah yang

mengandung bahan organik tinggi dan profil yang dalam. Lapisan tanah

organik yang tidak sempurna terdegredasi. Tanah bagian atas abu-abu

sampai coklat keabuan. Sifat kimia tanahnya adalah pH rendah, kadar

garam dan K yang tinggi, tetapi kadar P yang rendah dan tekstur tanahnya

liat.

Menurut Kusmana (1997) sifat tanah merupakan faktor pembatas utama

terhadap pertumbuhan di dalam hutan mangrove. Karakteristik kimia dan sifat

tanah berbeda pada zona pertumbuhan yang berbeda. Demikian pula sifat tanah

mangrove berbeda dengan tanah diluar daerah mangrove. Susunan jenis dan

kerapatan pada hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh susunan tekstur tanah

dan kosentrasi ion tanah yang bersangkutan. Pada lahan mangrove yang tanahnya

lebih banyak terdiri atas liat (clay) dan debu (silt), terdapat tegakan yang lebih

rapat dari lahan yang tanahnya mengandung liat dan debu pada kosentarasi yang

lebih rendah. Tanah dengan kosentrasi kation Na>Mg>Ca> atau K, tegakan di

kuasai oleh jenis Avicennia spp. Tanah dengan susunan kosentrasi kation

Mg>Ca>Na atau K, tegakan dikuasai oleh nipah (Nypa fruticans). Lebih lanjut

pada tanah dengan susunan kation Ca > Mg >Na atau K, tegakan di kuasai oleh

jenis Melalueca spp.

Menurut Matondang (1979) dalam Widhiaastuti (1996) tanah hutan

mangrove dibagi dalam dua kategori umum yaitu :

1. Halic hydaquent, lebih dekat ke laut yaitu tanah liat tidak tua

(26)

hubungan antara persentase tanah liat inorganik dan humus. Semakin

kecil nilai n berarti tingkat kematangan tanah semakin besar.

2. Halic sulvaquent, lebih dekat ke rawa-rawa yaitu tanah liat muda yang

mengandung air secara permanen, mempunyai bahan-bahan sulfidik

dalam 50 cm lapisan permukaan tanah dan kapasitas tukar kation

tinggi.

Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove

Menurut Departemen Kehutanan (1992), kondisi ekologis yang mengatur

dan memelihara kelestarian ekosistem mangrove sangat tergantung pada kondisi

berimbangnya jumlah ketersedian air tawar dan air masin yang cukup. Menurut

Parcival and Womersley (1975) dalam Kusmana (1995) lebih lanjut menyatakan

bahwa kondisi lingkungan yang mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi

sedimentasi, erosi laut dan sungai, penggenangan pasang surut dan kondisi garam

tanah serta kondisi akibat eksploitasi. Beberapa faktor lingkungan yang

mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi adalah :

- Fisiografi pantai (topografi)

- Pasang (lama, durasi, rentang)

- Gelombang dan arus

- Iklim (cahaya, curah hujan, suhu, angin)

- Salinitas

- Oksigen terlarut

- Tanah

(27)

Faktor-faktor lingkungan tersebut diuraikan sebagai berikut :

A. Fisiografi pantai

Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan

lebar hutan mangrove. Pada pantai yanglandai, komposisi ekosistem mangrove

lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan

karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya

mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai

yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena

kontur yang terjal me nyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh.

B. Pasang

Pasang yang te rjadi di kaw asan mangrove sangat me ne ntukan zonasi

tumbuhan dan komunitas hewan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove .

Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai

berikut:

 Lama pasang :

1. Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempe ngaruhi pe

rubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang

dan se baliknya akan menurun pada saat air laut surut

2. Perubahan salinitas yang te rjadi se bagai akibat lama terjadinya pasang

merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies

secara horizontal.

3. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi

(28)

 Durasi pasang :

1. Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis

pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.

2. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut

durasi pasang atau frekuensi pengge nangan. Misalnya : penggenagan

sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora

mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.

 Rentang pasang (tinggi pasang):

1. Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata me njadi lebih tinggi

pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya

2. Pneumatophora Sonneratia sp menjadi lebih kuat dan panjang pada

lokasi yang memiliki pasang yang tinggi.

C. Gelombang dan Arus

1. Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem

mangrove. Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang

cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pe

ngurangan luasan hutan.

2. Gelombang dan arus juga be rpe ngaruh langsung te rhadap distribusi spesies

misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai

me nemukan substrat yang se suai untuk menancap dan akhirnya tumbuh.

3. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi

(29)

se dimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik

untuk me nunjang pertumbuhan mangrove

4. Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui

transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove kelaut. Nutrien-nutrien

yang be rasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run

off daratan dan terjebak dihutan mangrove akan terbawa oleh arus dan

gelombang ke laut pada saat surut.

D. Iklim

Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan pe rubahan faktor fisik

(substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui

cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut

adalah sebagai berikut:

1. Cahaya

Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan

struktur fisik mangrove

Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants

yang membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk

hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan

mangrove

Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar

matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya

Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana

(30)

lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada

tumbuhan yang berada di dalam gerombol.

2. Curah hujan

• Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan

tumbuhan mangrove

• Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas

air dan tanah

• Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000

mm/tahun

3. Suhu

• Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi) • Produksi daun baru Avice nnia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika

suhu lebih tinggi maka produksi menjadi berkurang

Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada

suhu 26-28C

Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh

optimal pada suhu 21-26C

4. Angin

• Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus

• Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu

(31)

E. Salinitas

1. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar

antara 10-30 ppt

2. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan

zonasi mangrove ,hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan

3. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam

keadaan pasang

4. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air

F. Oksigen Terlarut

1. Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena

bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan

oksigen untuk kehidupannya.

2. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis

3. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan

kondisi terendah pada malam hari

G. Substrat

1. Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan

mangrove

2. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam tebal

dan be rlumpur

(32)

4. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan

tegakan Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu

(silt) maka tegakan menjadi lebih rapat

5. Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan

Avicennia/Sonn ratia/Rhizophora/Bruguiera

6. Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah

7. Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca

H. Hara

Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik

dan organik.

1. Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na

2. Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga)

Macnae dan Kalk (1962) dalam Sukardjo (1981) menyatakan bahwa tinggi

pohon-pohon mangrove dipengaruhi oleh faktor-faktor salinitas air, drainase air

dan pasang surut. Biasanya pada daerah dengan air tanah mendekati permukaan

dan mempunyai aerasi baik, kondisi dan tinggi vegetasinya seragam. Kemudian

vegetasi mangrove akan menjadi pendek jika mendekati zona dengan kondisi

permukaan air jauh dari permukaan.

Dampak Kegiatan Pada Hutan Mangrove

Dengan berkembangnya pembangunan di wilayah pesisir, banyak

kegiatan-kegiatan manusia yang merusak ekosistem hutan mangrove. Saat ini

kerusakan dan degradasi hutan mangrove merupakan fenomena yang perlu

(33)

kegiatan-kegiatan manusia yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove adalah:

1. Tebang habis, yang berdampak pada perubahan komposisi tumbuhan

mangrove dan tidak berfungsinya daerah tersebut sebagai tempat mencari

makanan dan pengasuhan.

2. Pengalihan aliran air tawar, misalnya pembangunan irigasi, yang berdampak

pada peningkatan salinitas hutan mangrove dan menurunnya kesuburan hutan

mangrove.

3. Konversi menjadi lahan pertanian, perikanan, permukiman dan lainnya, yang

berdampak pada ancaman regenerasi stok ikan dan udang perairan lepas pantai

yang memerlukan hutan mangrove, pencemaran laut oleh bahan-bahan

pencemar yang sebelumnya di ikat oleh substrat hutan mangrove,

pendangkalan perairan pantai, intrusi garam dan erosi garis pantai.

4. Pembuangan sampah padat, yang berdampak pada terlapisnya pneumatophora

yang mengakibatkan matinya pohon mangrove, perembesan bahan-bahan

pencemar dalam sampah padat.

5. Pembuangan sampah cair, yang berdampak pada penurunan kandungan

oksigen terlarut dan timbulnya gas H2S

6. Pencemaran minyak tumpahan, yang berdampaPk pada kematian pohon

mangrove.

7. Pengembangan dan ekstraksi mineral di dalam hutan dan di daratan sekitar

hutan mangrove yang berdampak pada kerusakan total ekosistem, sehingga

memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove dan terjadinya pengendapan

(34)

METODE PENELITIAN

Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai

Labu Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara pada bulan Mei sampai dengan

bulan Juni 2010. Analisis data dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan

Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Letak Geografis

Lokasi penelitian di areal model arboretum mangrove terletak di Dusun I

Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang seluas 5

ha. Adapun batas- batas wilayah secara administratif yaitu :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bagan Serdang

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Sungai Serdang Lama

- Sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Serdang Baru

Secara geografis kawasan ini terletak antara 98˚5 0’20” – 98˚50’31”BT dan

3˚42’13’’ - 3˚42’00’’ LU (BBKSDA, 2009).

Topografi dan Ketinggian Tempat

Kecamatan Secanggang adalah merupakan lokasi penelitian yang berada

pada ketinggian ± 1 meter dari permukaan laut dengan topografi landai. Kondisi

geologi di kawasan Areal Model Arboretum Mangrove Balai Pengelolaan Hutan

(35)

a. Kondisi tanah merupakan akumulasi bahan- bahan pasir lumpur (

endapan sungai bahan organik) ;

b. Tekstur tanah halus;

c. Memiliki jenis tanah alluvial, regosol, organosol;

(BBKSDA, 2009).

Iklim

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson lokasi areal model

arboretum mangrove termasuk dalam type iklim B dengan curah hujan rata- rata

1.800 mm/thn sampai dengan 1.900 mm/thn dengan curah hujan maksimum

terjadi pada bulan September sampai dengan Desember.

Kondisi Pasang Surut

Pasang surut air laut terjadi pada pukul 12.00 WIB dan surut 6 (enam) jam

kemudian. Lebar pasang dari pantai lebih kurang 200 meter dengan kedalaman

pasang surut 0,3 sampai 0,5 meter.

Bahan dan Alat Penelitian

- Bahan :

Bahan digunakan dalam analisis vegetasi meliputi : peta lokasi dan peta

kerja.

- Alat :

(36)

atau tambang, Global Positioning System (GPS), Hidrometer, Thermometer, tally

sheet dan alat tulis.

Prosedur Penelitian

Pengumpulan Data Tegakan

Metode inventarisasi flora dilakukan dengan pengukuran terhadap

berbagai parameter keragaman hayati, yaitu jenis- jenis tumbuhan untuk tingkat

pohon, tiang, pancang, anakan dan tumbuhan/ vegetasi bawah melalui analisa

vegetasi.

Analisa Vegetasi

Teknik analisis vegetasi yang digunakan adalah metoda petak dengan unit

contoh berupa jalur (transek) berukuran 10 m x 100 m sebanyak 10 jalur. Di

dalam setiap unit contoh (jalur) secara nested sampling dibuat sub-sub unit contoh

untuk permudaan, yakni 2 m x 2 m untuk tingkat semai, 5 m x 5 m untuk tingkat

pancang dan 10 m x 10 m untuk pohon.

Kriteria tingkat permudaan yang digunakan adalah:

a. Pohon adalah pohon muda dan dewasa yang memiliki diameter ≥ 10 cm

b. Pancang adalah anakan pohon dengan diameter < 10 cm d an tinggi

> 1,5 m

c. Semai adalah anakan pohon mulai bekecambah sampai tingginya ≤ 1,5 m.

(37)

Teknik sampling yang digunakan adalah teknik sampling line plot yang

merupakan teknik pengukuran dan pengamatan yang dilakukan pada sepanjang

jalur yang dibuat dengan diberi jarak antar petak ukur.

2 m 2 m

5 m

5 m sumbu jalur 10 m

PU 1 PU 2 dst

10 m

100 m (arah jalur/ tegak lurus garis pantai)

Gambar 4. Skema penempatan transek dan petak- petak pengukran pada analisa vegetasi

Keterangan :

• Petak ukuran 10 m x 10 m : pengamatan fase pohon • Petak ukuran 5 m x 5 m : pengamatan fase pancang • Petak ukuran 2 m x 2 m : pengamatan fase semai

Analisa Data

Metode Analisis Data

Penentuan keanekaragaman dan hutan mangrove akan diawali dengan

analisis vegetasi dalam petak contoh. Petak contoh yang dibuat berukuran 10 x

100 m. Seluruh pohon dengan diamater ≥ 10 cm yang terdapat dalam petak contoh

diidentifikasi dan diukur diamater (D) dan tinggi (H) pohon.

Dari hasil pengukuran lapangan kemudian dihitung nilai kerapatan,

(38)

penting. Rumus-rumus yang digunakan dalam perhitungan analisis vegetasi

dengan metode garis berpetak.

Kerapatan Jenis

Ki : Kerapatan jenis dalam satuan individu/Ha

Kerapatan tegakan (K) didapat dengan menjumlah Ki, Kj…….Kn.

Kerapatan Relatif

Dominansi Relatif

DR = x100%

INP= KR+FR (semai dan pancang)

(39)

Untuk mengetahui keanekaragaman vegetasi akan dipergunakan beberapa

indeks sebagai berikut :

Keanekaragaman jenis (species diversity),

Menggunakan dua indeks keragaman, yaitu diversity index of Simpson dan

Shannon. Kedua indeks ini digunakan pula untuk menentukan indeks

kemerataan (eveness index) dari Hill’s Ratio (Ludwig & Reynolds 1988),

dengan formula sebagai berikut:

1. Shannon Diversity Indeks

H’ = - ∑ { Ni / N} log 2 { Ni / N}

Ni/N = proposi sampel dalam species

Atau sama dengan Indeks diversitas Shannon dihitung dengan formula:

=  

ni = Jumlah individu jenis ke-i

S = Jumlah jenis;

(40)

Tata cara Ludwig dan Reynold (1988) digunakan untuk menentukan:

komponen indeks kekayaan (menyatakan jumlah jenis dalam suatu komunitas),

dan indeks kemerataan jenis (menyatakan kemerataan jenis dalam komunitas).

Selain itu juga dilakukan penghitungan indeks keragaman.

• Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia melalui

Keputusan Menteri Nomor 201 Tahun 201 tentang kriteria baku kerusakan

mangrove dan Pedoman Pemantauan Kerusakan Mangrove, telah

mengeluarkan suatu kriteria tingkat kerusakan mangrove berdasarkan nilai

kerapatan pohon per hektar. Kriteria baku tersebut dibagi menjadi :

1. Baik (sangat padat) apabila terdapat > 1.500 pohon per hektar

2. Baik ( sedang) apabila terdapat 1.000 < μ < 1.500 pohon per hektar

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur vegetasi

Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Areal Model Mangrove Desa

Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu dengan luasan 0,25 ha di jumpai 6 jenis

penyusun yakni pada tingkat pohon (6 jenis), kemudian diikuti oleh tingkat

pancang (6 jenis) dan tingkat semai (6 jenis). Ada 3 jenis penyebarannya terbesar

pada tingkat pertumbuhan pohon yaitu Rhizophora apiculata dengan persen

penyebaran sebesar 72 %, Avicennia sp sebesar 64 %, Sonneratia sp sebesar 56 %

dan Ceriops tagal sebesar 28 %. Avicennia spp., Sonneratia spp., dan

Rhizophora spp , baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, hampir selalu

dijumpai dalam plot penelitian. Hal ini wajar mengingat ketiganya merupakan

tumbuhan mangrove mayor yang selalu berada di garis terdepan berhadapan

dengan garis pantai atau muara sungai. Tumbuh-tumbuhan ini telah beradaptasi

terhadap pengaruh fluktuasi arus pasang surut yang menyebabkan variasi

genangan dan salinitas pernyataan Setyawan et al., ( 2008).

Dari 25 petak contoh untuk jenis pada berbagai tingkat yaitu tumbuhan,

semai, pancang dan pohon didapati tidak semua jenis penyusun hutan mangrove

di areal model arboretum mangrove di Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai

Labu ini di jumpai. Pada seluruh tingkat pertumbuhan di jumpai ada 6 jenis

indukan dan 6 jenis tingkat anakan. Hal ini diduga karena lebar mangrove yang

sangat sempit dan akibat konversi mangrove menjadi tambak, sehingga sebagian

(42)

banyak di jumpai karena buahnya yang besar dan panjang yang di kenal dengan

prapagul yang langsung menancap pada substrat setelah jatuh dari pohon

induknya (Tomlinson, 1986).

Komposisi jenis

Berdasarkan hasil analisis vegetasi, jenis yang dominan pada tingkat

pertumbuhan pohon adalah Rhizophora apiculata (INP = 66,7 %) dan

Sonneratia sp (INP = 65,6 %), untuk tingkat pancang jenis-jenis yang dominan

antara lain Rhizophora apiculata (INP = 42,8 %), Avicennia lanata

(INP = 41,8 %) dan untuk tingkat semai jenis-jenis yang dominan adalah

Rhzophora apiculata (INP = 48,3 %) dan Avicennia lanata (INP = 39,9 %).

Jenis- jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah zona inti yang mampu

bertahan terhadap pengaruh salinitas (garam), yang disebut tumbuhan halophyta.

Kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan

untuk tumbuh dan berkembang dalam substrat/lahan mangrove seperti

kemampuan berkembang biak, toleransi terhadap kadar garam tinggi, kemampuan

bertahan terhadap perendaman oleh pasang surut, memiliki pneumatophore atau

akar napas,bersifat sukulentis dan kelenjar yang mengeluarkan garam.

Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi hutan mangrove adalah pasang

surut air laut, salinitas, kondisi subrat tempat tumbuh dan keterbukaan terhadap

hempasan gelombang. Dengan adanya kondisi yang berpengaruh tersebut hutan

mangrove beradaptasi dalam hal ; sistem akar napas untuk membantu memperoleh

oksigen bagi sistem peakaran; sistem perkembangan buah (vivipar, kriptovivipar

(43)

Maka seluruh jenis penyusun hutan mangrove di areal model arboretum

mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu tersebar secara tidak

merata dan ditemukan dari analisia vegetasi bahwa frekuensi setiap jenis adalah

kurang dari 75 %. Pernyataan Onrizal (2009) bahwa pohon mangrove

membutuhkan waktu 5 tahun untuk tumbuh menjadi pohon dewasa dan

penanamannya mempunyai rasio kesuksesan 75% untuk tumbuh menjadi pohon

dewasa. Tumbuhan mangrove akan tumbuh dengan baik jika berada di lahan yang

memiliki sistem air terbuka ke laut lepas dimana pergantian air laut dapat terjadi

setiap hari atau secara reguler sehingga akar tumbuhan tersebut mendapatkan air

yang “baru” setiap harinya.

Pada seluruh tingkatan pertumbuhan pohon, indeks vegetasi mangove di

model mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu tergolong rendah.

Hal ini sesuai dengan sebaran INP pada tingkat pertumbuhan, di mana pada

tingkat pohon terdapat 2 jenis yakni Rhizophora apicualta dan Sonneratia sp yang

memiliki INP terbesar seperti yang di dapati pada INP diatas atau lebih dari 50 %

karena disebabkan karena berada pada subrat berlumpur. Dari INP total tingkat

semai dan pancang tidak ada jenis memiliki INP lebih besar dari 50 % INP total.

(44)

Sumber : hasil analisis data

Keanekaragaman Jenis

Berdasarkan indeks keanekaragaman jenis (H’) diketahui bahwa pada

tingkat semai, pancang dan pohon keanekaragaman jenis vegetasi mangrove di

Areal Model Mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu rendah, H’

berkisaran antara 0,0 – 2,0. Pada seluruh tingkatan pertumbuhan, keanekragaman

jenis vegetasi mangove di setiap plot tergolong rendah yang terlihat dari nilai

indeks keanekaragaman (H’) < 2,0. Makin besar H' suatu komunitas maka

semakin mantap pula komunitas tersebut. Nilai H' = 0 dapat terjadi bila hanya

satu spesies dalam satu contoh (sampel) dan H' maksimal bila semua jenis

mempunyai jumlah individu yang sama dan ini menunjukkan kelimpahan

terdistribusi secara sempurna menurut (Ludwig dan Reynold, 1988).

Indeks keragaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks

keragaman Shanon-wiener. Kriteria nilai indeks karagaman jenis berdasarkan

Shanon-wiener (H’) berkisar 0 – 7 dengan kriteria sebagai berikut: jika H’ (0 < 2)

tergolong rendah, H’ (2 < 3) tergolong sedang, H’ (> 3) atau lebih tergolong

tinggi. Keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan

atau kestabilan dari suatu lingkungan pertumbuhan. Kestabilan yang tinggi

menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi, hal ini disebabkan terjadinya

(45)

interaksi yang tinggi pula sehingga akan mempunyai kemampuan lebih tinggi

dalam menghadapi gangguan terhadap komponen-komponennya

(Barbour et al, 1987 dalam Ningsih 2008).

Berdasarkan total nilai indeks penting, tingkat kekritisan lahan mangrove

di areal model mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan Pantai Labu termasuk

kedalam kawasan mangrove yang memiliki kondisi rusak. Hal ini terlihat pada

nilai keragaman jenis pada masing masing tingkat pertumbuhan sebesar relatif

kecil Hs’= 1,50 dan λs‘ = 0,23 menunjukkan nilai yang berada jauh dibawah nilai

rata-rata untuk kondisi mangrove yang tidak rusak. Kondisi mangrove telah

mengalami peningkatan kerusakan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010.

Menurut data BPHM Wilayah II (2006) menunjukkan bahwa luas penyebaran

hutan mangrove di Sumut mencapai 364.580,95 Ha yang sebagian besar atau

(sekitar 60%) diantaranya dalam kondisi rusak dan kerusakan paling tinggi di

wilayah Tanjung Pura. Berdasarkan data Ditjen RRL (1999), luas hutan mangrove

Indonesia tinggal 9,2 juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha di

luar kawasan). Namun demikian, lebih dari setengah hutan mangrove yang ada

(57,6 %), ternyata dalam kondisi rusak parah.

Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove

Di Areal Model Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang Kecamatan

Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang kerapatan di tingkat pohon adalah 2432

(46)

Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri Nomor 201 Tahun 201 tentang

kriteria baku kerusakan mangrove dan Pedoman Pemantauan Kerusakan

Mangrove, telah mengeluarkan suatu kriteria tingkat kerusakan mangrove

berdasarkan nilai kerapatan pohon per hektar. Kriteria baku tersebut dibagi

menjadi baik (sangat padat) apabila terdapat > 1.500 pohon per hektar, baik

(sedang) apabila terdapat 1.000 < μ < 1.500 pohon per hektar, rusak (jarang)

apabila terdapat < 1.000 pohon per hektar.

(47)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa :

Hutan mangrove di Areal Model Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang

Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang memiliki keanekaragaman yang

rendah..Adapun penyusun pada masing- masing tingkat pertumbuhan yakni pada

tingkat pohon (6 jenis), kemudian diikuti oleh tingkat pancang (6 jenis) dan

tingkat semai (6 jenis).enis- jenis vegetasi mangrove yaitu Rhizophora apiculata,

Avicennia lanata, Sonneratia caseolaris, Xylocarpus granatum, Ceriops decandra

dan Bruguiera gymnorhiza. Ada 3 jenis penyebarannya terbesar pada tingkat

pertumbuhan pohon yaitu Rhizophora apiculata, Avicennia sp, Sonneratia

sp.Pada tingkat pertumbuhan pohon Rhizophora apiculata dengan INP (66,7 %).,

Avicennia lanata dengan INP ( 64,6 %) and Sonneratia caseolaris dengan INP

(65,6 %). Keanekargaman jenis mangrove yang terdapat di Areal Model

Arboretum Mangrove Desa Bagan Serdang (Hs’) termasuk rendah yakni 1,50 pada

tingkat pohon

Saran

Berdasarkan hasil penelitian disarankan pembangunan hutan mangrove

khususnya pada areal model arboretum dapat menambah jenis koleksi vegetasi

sehingga dengan keanekaragaman yang lebih banyak lagi dapat menjadi daya

tarik serta menjadi areal yang nantinya bisa dipakai untuk tujuan pendidikan dan

penelitian.

(48)

Lahan Kerjasama BBKSDA Propinsi Sumatera Utara dengan CV. Agriforest Mandiri Faperta. Medan.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi. USU Press. Medan.

Bengen, D. G. 2001. Pedoman Teknis pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.

Dahuri, R.J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolahan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prodya Paramita. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 1992. Hutan Bakau di Indonesia. Departemen Kehutanan R. I. Indonesia.

Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS). 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove. Jakarta.

Irwanto, 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku ( Tesis). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Kusmana, C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Proceeding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi. Jakarta, 10-12 Agustus 1995.

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. IPB-Press. Bogor.

Kusmana, C., Sri Wilarso, Iwan H., Prijanto P., Cahyo W., Tatang T., Adi T., Yusnafi dan Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 2005. Laporan Akhir Kajian Implementasi Pemulihan Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Deli Serdang. Kerjasama Bapedalda Propinsi Sumatera Utara dengan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia, 2008. Ekosistem

Mangrove di Indonesia . hhtp;// IMRed.org.htm

( diakses tanggal 16 Agustus 2009 ).

(49)

Ningsih, S. S, 2008. Inventarisasi Hutan Mangrove Sebagai Bagian Dari Upaya Pengelolahan Wilayah Pesisir Deli Serdang. [ Tesis ] USU. Medan

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Noor, Y. R., M. Khazali dan INN. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Direktorat Jenderal PKA dan Wetlands International-Indonesia Program. Bogor.

Onrizal, 2005. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Alternatif Rehabilitasinya di Jawa Barat dan Banten. USU press. Medan

Onrizal, Kusmana. 2008. Studi Ekologi Hutan Mangrove Dipesisir Sumatera Utara. Biodersivitas 9, (1): 25-29.

Onrizal. 2010. Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977-2006. Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 163-172).

Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat, 2009. Web Resmi Pemerintah Langkat.

hhtp

Rahayu, S. B. Lusiana, dan M. van Noordwijk. 2005. Above ground carbon stock assessment for various land use systems in Nunukan, East Kalimantan. pp. 21-34. Bogor, Indonesia.

Rochana, 2006. Ekosistem Mangrove Dan Pengelolaanya Dindonesia http:// irwantoshut.com(diakses tanggal 17 desember 2008).

Rumapea, M. 2005. Pengaruh Keberadaan Hutan Bakau (Mangrove) Terhadap Usaha Produksi Arang Dan Perekonomian Daerah Di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat, Perencanaan & Pengembangan Wilayah .Medan, Wahana Hijau, 1(.2) : 1-6

Setyawan, A.D., Indrowuryanto, Wiryanto, Winarno, K., dan Susilowati, A. 2004. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah : 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi. Jurnal Biodeversitas. Volume 6, No.3 : 194-198.

Siregar, EBM dan Agus Purwoko, 2002. Pengelolaan Ekosistem dan Lingkungan Pesisir. Makalah pada Lokakarya Partisipasi Publik dalam Pengelolaan

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sukardjo, S. 1981. Mangrove di Indonesia Duta Rimba No. 49/VIII/1981.

(50)

Gambar

Gambar 4. Skema penempatan transek dan petak- petak pengukran                            pada analisa vegetasi

Referensi

Dokumen terkait

When interpreting digital aerial photographs, most operators search intended digital aerial photographs manually by collating the point to investigate with an index map

diakui oleh kabupaten baru.  Perlu ada antisipasi kemungkinan masyarakat adat yang meminta kembali hutannya yang semula sudah diserahkan kepada negara.  Area konsesi bisa jadi

Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik

umumnya bukan merupakan inang utama dari spesies ini, namun keberadaan tanaman hutan di suatu habitat dapat berperan sebagai inang alternatif bagi lalat buah di suatu

Lamanya benih hidup tergantung pada RH dan suhu ruang simpan, jenis benih dan kondisi benih sebelum disimpan. • Ruang simpan dingin dan kering 

“ Parents as teachers ” trains parents to instruct their child on FMS while a lead teacher develops the lesson plans and acts as the facilitator during lesson implementation

Representasi penyelesaian Soal nomor 1 , dari deskripsi data diperoleh bahwa terjadi hambatan semantik dan sintaksis, dimana pada ST 1. mengalami hambatan

METI ARAINI, Potensi Destinasi Wisata Pantai Tongaci (Studi Pengembangan Objek dan Daya Tarik Wisata Tongaci sebagai Pusat Konservasi dan LIterasi) Dibimbing