PROCEEDING
WORKSHOP PRESIDIUM DKN
“PENATAAN KAWASAN HUTAN BAGI KEBANGKITAN
KEHUTANAN NASIONAL”
Hotel Grand Aston - Yogyakarta, 17 – 18 Juli 2013
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas terselenggaranya Workshop Presidium Dewan
Kehutanan Nasional – Penataan Kawasan Hutan Bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional. Kegiatan
workshop selama dua hari, tanggal 17 – 18 Juli 2013 tersebut diselenggarakan di Hotel Grand Aston,
Yogyakarta.
Tujuan diselenggarakannya workshop Presidium DKN ini adalah untuk merumuskan peran
strategis DKN dalam mendukung agenda dan kegiatan yang terkait dengan perubahan kebijakan
kehutanan di Indonesia. Dukungan tersebut melalui pengembangan kerjasama dan dukungan
terhadap implementasi NKB 12 kementerian dan lembaga yang dikoordinasikan dengan KPK.
Selain itu, workshop juga bertujuan untuk mengidentifikasi pandangan tentang substansi dan
merumuskan masukan konkrit berupa policy brief Presidium DKN tentang strategi implementasi
Rencana Aksi NKB 12 kementerian dan lembaga. Merangkum Keputusan MK tentang hutan adat dan
rumusan peran masyarakat adat dan komunitas lokal, serta menyusun dan menyepakati rencana kerja
(work plan) sebagai tindak lanjut workshop.
Workshop Presidium DKN diharapkan menghasilkan rumusan tentang peran strategis DKN
dalam perumusan rencana aksi NKB 12 kementerian dan lembaga. Selain itu juga menghasilkan
dokumen rancangan policy brief Presidium DKN sebagai masukan substansi yang akan menjadi
masukan bagi KPK dan 12 kementerian dan lembaga dalam implementasi rencana aksi untuk
mengakselerasi pengukuhan kawasan hutan di Indonesia. Menghasilkan rencana kerja (work plan)
berupa kegiatan-kegiatan tindak lanjut dari workshop ini, diantaranya konsultasi atau dialog publik di
tingkat nasional dan region, serta proyek percontohan implementasi NKB 12 kementerian dan
lembaga di sejumlah region.
Kami menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah mendukung dan mensukseskan pelaksanaan workshop Presidium DKN ini. Baik
pihak sekretariat DKN, EO maupun para anggota Presidium DKN dari semua kamar sebagai peserta
workshop dan para narasumber.
Proceeding ini berisi catatan proses yang telah dilalui dalam workshop Presidium DKN
“Penataan Kawasan Hutan Bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional”. Mencerminkan gambaran
telah dihasilkan dalam workshop ini baik berupa sikap, pandangan maupun masukan dari para peserta
bermanfaat bagi pengawalan program FIP di Indonesia untuk tujuan keadilan dan kelestarian hutan.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pada 11 Maret 2013, 12 Kementerian dan Lembaga menandatangani Nota
Kesepahaman Bersama (NKB) tentang “Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia”.
NKB 12 K/L ini lahir dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Tujuan NKB ialah untuk meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam percepatan
pengukuhan kawasan hutan serta meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam mendorong
percepatan pembangunan nasional dan pencegahan korupsi.
Tiga agenda utamanya adalah harmonisasi kebijakan dan peraturan
perundang-undangan. Penyelarasan teknis dan prosedur. Serta resolusi konflik berprinsip keadilan dan
HAM.
Kejelasan agenda dan kegiatan yang dijalankan menyusul terbitnya NKB 12 K/L ini
akan sangat tergantung pada rencana aksi bersamanya. Termasuk di dalamnya, terkait
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai status hutan adat. Keputusan MK ini tentu
akan membawa implikasi serius dan luas, baik terhadap perjuangan masyarakat (lokal dan
adat) atas hutan, juga menyangkut keseluruhan kebijakan kehutanan nasional di Indonesia.
Sinergitas para pihak sangat vital. Dalam hal ini, kedua belas kementerian/ lembaga
yang menandatangi NKB (Kemendagri, Kemenkum HAM, Kemenkeu, Kemen ESDM,
Kementan, Kemenhut, Kemen PU, Kemen LH, Kemen PP/ Bappenas, BPN, BIG, dan
Komnas HAM) harus benar-benar responsif, kredibel dan bekerja nyata dalam mensukseskan
maksud NKB ini.
Dewan Kehutanan Nasional (DKN) sebagai salah satu wadah dimana duduk wakil
konstituen dalam sektor kehutanan (Masyarakat Adat dan Lokal, Pemerintah, Bisnis, LSM/
Pemerhati, dan Akademisi/Peneliti) yang berkepentingan atas penataan kehutanan nasional,
tentu saja sangat penting untuk memberikan respon khusus atas terbitnya NKB ini, termasuk
Keputusan MK mengenai Hutan Adat. Respon DKN ini didudukkan sebagai bahan masukan
dan pertimbangan bagi semua pihak agar substansi NKB ini dipahami dengan utuh dan
implementasi rencana aksinya di lapangan dapat dikawal secara kritis, objektif dan efektif.
Sebagai langkah awal, guna mendiskusikan dan merumuskan respon tersebut, DKN
memandang perlu untuk mengadakan workshop yang dihadiri oleh semua pihak yang
merupakan unsur anggota DKN. Dalam Workshop ini didiskusikan, dirumuskan dan
dalam mengawal implementasi rencana aksi NKB dan tindak lanjut dari keputusan MK
tersebut. Beberapa isu strategis yang perlu elaborasi khusus dalam workshop ini adalah kaitan
NKB 12 K/L dan Keputusan MK dengan: reforma agraria, land reform plus, forestry land
tenure, hak masyarakat adat atas hutan, dan resolusi konflik agraria.
Tentu rangkaian kegiatan ini tidak akan berhenti di sini, berdasarkan diskusi dengan
KPK, ke depan diharapkan DKN bersama KPK akan mengawal sosialisasi rencana aksi ini di
7 (tujuh) regio. Diharapkan, perwakilan dari kamar pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia
usaha, dan LSM dapat memberikan kontribusi pemikirannya. Sehingga, percepatan
pengukuhan kawasan hutan dapat diarahkan guna memastikan penguasan dan pengusahaan
hutan sungguh jadi bagian dari perwujudan spirit ideologis Pancasila dan Konstitusi, yakni
keadilan sosial dan kemakmuran rakyat.
B. Materi dan Agenda Pembahasan
Materi dan substansi acara yang akan dibahas dalam workshop ini mencakup:
1. Pemaparan konteks dan substansi serta rencana aksi yang dikandung dalam NKB 12 K/L,
serta langkah-langkah tindak lanjut dalam implementasi rencana aksi NKB tersebut;
2. Pemaparan konteks dan substansi judicial review terhadap UU Kehutanan dan Putusan
MK, serta tindak lanjut dan konsekuensinya terhadap kebijakan kehutanan nasional dari
perspektif Kementerian Kehutanan;
3. Pemaparan pakar mengenai implikasi NKB 12 K/L dan Putusan MK serta
hubungannya dengan penataan kebijakan kehutanan dan reforma agraria dan pengelolaan
SDA;
4. Pembahasan peran DKN terhadap permasalahan dan kebijakan nasional
kehutanan, khususnya merespon NKB 12 K/L dan Putusan MK terkait hutan adat;
5. Pembahasan respon Presidium DKN berdasarkan kamar-kamar DKN untuk
mengidentifikasi pandangan dan masukan terhadap konteks, substansi dan pelaksanaan
rencana aksi NKB 12 K/L, dan kaitannya dengan Putusan MK tentang hutan adat;
6. Perumusan substansi hasil workshop ini menjadi sebuah dokumen yang utuh dan
terintegrasi (policy brief) berdasarkan masukan dari setiap Kamar DKN, dan rencana
kerja (work plan) sebagai tindak lanjut workshop.
Agenda pembahasan dalam workshop selama dua hari adalah sebagai berikut:
1. Pengantar dan Pembukaan: Penjelasan tentang pandangan dan sikap DKN terhadap
permasalahan dan kebijakan nasional kehutanan, khususnya merespon terbitnya NKB 12
K/L dan Putusan MK terkait hutan adat. Oleh Ketua Presidium DKN, Prof. Dr. Hariadi
2. Pemaparan Materi I: Uraian mengenai konteks dan substansi serta rencana aksi yang
dikandung oleh NKB 12 kementerian dan lembaga, serta langkah-langkah tindak lanjut
dalam implementasi rencana aksi NKB 12 K/L. Oleh Pimpinan KPK, dalam hal ini
diwakili Dian Patria (Tim Monitoring dan Evaluasi NKB-KPK).
3. Pemaparan Materi II: Uraian mengenai konteks dan substansi judicial review terhadap
UU Kehutanan dan Putusan MK terkait hutan adat, serta tindak lanjut dan
konsekuensinya terhadap kebijakan kehutanan nasional dari perspektif Kementerian
Kehutanan RI. Oleh Dirjen Planologi Kemenhut, Ir. Bambang Soepijanto, MM.
4. Pemaparan Materi III: Uraian pakar mengenai implikasi NKB 12 K/L dan Putusan MK
terkait hutan adat serta hubungannya dengan penataan kebijakan kehutanan dan reforma
agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Oleh Direktur Eksekutif SAINS, Noer Fauzi
Rachman, PhD.
5. Diskusi dan Klarifikasi: Peserta memberikan respon berupa pertanyaan dan pandangan
terhadap apa yang sudah diuraikan oleh narasumber, lalu narasumber menyampaikan
respon baliknya yang dipandu oleh fasilitator.
6. Pengantar Sidang Kamar: Penjelasan singkat mengenai substansi materi yang akan
dibahas, dan proses pelaksanaan diskusi kelompok atau sidang kamar yang dipandu oleh
fasilitator.
7. Pelaksanaan Sidang Kamar: Membahas respon Presidium DKN berdasarkan
kamar-kamar DKN untuk mengidentifikasi pandangan dan masukan terhadap konteks, substansi
dan pelaksanaan rencana aksi NKB 12 K/L, dan kaitannya dengan Putusan MK terkait
hutan adat yang dipimpin oleh ketua kamar dan dibantu sekretaris kamar masing-masing.
8. Perumusan Hasil Sidang Kamar: Para Ketua dan Sekretaris Kamar merumuskan hasil
Sidang Kamar dan menyiapkan bahan pemaparan pleno.
9. Review dan Pengantar: Penjelasan tentang proses yang sudah berjalan pada hari pertama,
dan yang akan berlangsung pada hari kedua yang dipandu fasilitator.
10. Pleno Pemaparan Hasil Sidang Kamar: Uraian mengenai rumusan hasil sidang setiap
kamar DKN terhadap substansi dan implementasi NKB 12 kementerian dan lembaga,
serta tindak lanjut dalam implementasi rencana aksinya. Oleh ketua kamar
masing-masing dan dipandu fasilitator.
11. Perumusan Hasil: Merumuskan substansi hasil workshop ini menjadi sebuah dokumen
yang utuh dan terintegrasi (policy brief) berdasarkan masukan dari setiap Kamar DKN,
dan rencana tindak lanjut setelah lokakarya yang dipandu oleh fasilitator.
12. Perumusan Rencana Kerja: Menyusun rencana kerja (work plan) sebagai tindak lanjut
dari workshop ini yang dipandu pleh fasilitator.
II. DINAMIKA FORUM A. Hari Pertama
1. Pembukaan
Oleh Ketua Presidium DKN, Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo.
Ketua menyampaikan terimakasih kepada anggota presidium DKN serta Dirjen
Planologi Kemenhut, Tim KPK dan UKP4 yang akan menjadi narasumber.
Kinerja nasional terkait kehutanan dan pengelolaan lahan:
a). Masalah kelola hutan konservasi & lindung, penurunan kinerja
usaha besar, terutama hutan alam, dan stagnasi peran usaha kecil;
b). Gap antara de jure dan de facto dari kawasan hutan negara. Dari
konteks de jure kawasan hutan Indonesia cukup luas. Meskipun
persentase penetapan masih kecil tapi secara de facto sebenarnya
tidak terlalu menggembirakan karena banyak potensi konflik yang
terkait dengan kawasan hutan;
c). Rendahnya tata kelola hutan dan lahan, terkait dengan
pelaksanaan kebijakan transparansi, akuntabilitas, korupsi dst. Ini
sudah dikaji dan sudah diserahkan ke Presidium DKN. Masalah ini
perlu mendapatkan perhatian khusus yang sekarang oleh tim UNDP
dan UKP4 sedang berkeliling ke 10 propinsi untuk melihat bagaimana
peningkatan tata kelola hutan dan lahan.
Memahami kondisi dan perubahan kebijakan kehutanan dan pertanahan:
Pegangan kedepan harus memperhatikan RKTN
• (Permenhut 49/2011)—
• MP3EI (Perpres 32/2011)—
• RAN GRK (Prespres 61/2011)—
• Stranas REDD+ (02/Satgas Redd+/09/2012)—
• (P 6/2007 jo P 3/2008) kaitannya dengan upaya kemenhut untuk
mengoperasionalkan KPH.
Kebijakan terkait dengan penetapan kawasan hutan negara
Arah kedepan dari kebijakan-kebijakan ini sudah jelas yaitu untuk
memastikan di satu sisi pelestarian hutan, di sisi lain adalah distribusi
pendapatan kepada masyarakat. Tetapi tidak seluruhnya sinkron satu sama
lain. Ada hal-hal yang terkait dengan pertentangan-pertentangan prioritas.
• Putusan MK (45/2011)
• NKB 12/KL, dikoordinasikan oleh KPK. Fokus pada kawasan hutan dan
percepatan pengukuhannya serta seluruh aspek yang terkait dengan persoalan
kawasan hutan.
• Putusan MK (35/2012) yang menyatakan bahwa hutan adat berada di luar
kawasan hutan negara.
Berkaitan dengan MDG’s dan penanggulangan Kemiskinan (right base approah)
• UU P3H (Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan)
• Revisi UU 32/2004 dan PP 38/2007. Pada akhir Juni di Surabaya,
Dirjen BUK melakukan diskusi mengenai revisi berbagai peraturan perijinan
untuk meningkatkan pelayanan publik. Dalam acara tersebut Kemendagri
mempresentasikan arah perubahan PP 38. Kemendagri berpandangan bahwa
kehutanan dalam konteks sebagai lanskap dan ekosistem sehingga peran propinsi
sangat tinggi dibandingkan kebupaten.
• FIP dan DGM, yang juga menjadi tema di DKN.
Tampaknya ini akan menjadi tema besar di dunia setelah tahun 2015.
Penjelasan tentang FIP dan DGM
Forest Investment Program (FIP) adalah satu dari tiga program di bawah
Dana Iklim Strategis (SCF), sebuah dana perwalian multi-donor yang dibentuk pada
tahun 2009 untuk memberikan pembiayaan jalur cepat.
Jadi akan ada proses tertentu yang terkait dengan pembiayaan ini yang
tujuannya adalah pengurangan deforestasi dan degradasi. Kemenhut sudah
membentuk SC ketuanya adalah Sekjen Kementerian Kehutanan. DKN diminta
sebagai anggota SC, termasuk eselon 1 Kementerian keuangan dst. Di pertemuan ini
akan dibicarakan secara khusus bagaimana FIP dan DGM itu.
Dedicated Grand Mechanism (DGM) adalah mekanisme hibah khusus bagi
masyarakat adat dan lokal, sebuah inisiatif global dalam rangka memberikan hibah
kepada masyarakat adat dan lokal untuk meningkatkan kapasitas dan mendukung
inisiatif tertentu, sehingga dapat lebih banyak berpartisipasi dalam FIP dan proses-DKN sudah bicara dengan KPK tentang bagaimana proses-DKN bisa mendukung
proses ini terutama dalam implementasinya. Agenda NKB 12/KL
direncanakan hingga tahun 2015. Ini merupakan program jangka panjang dan
US $ akan digunakan untuk maksud tsb. Basis pengembangan FIP adalah melalui
pembangunan KPH;
Catatan DKN berkaitan dengan FIP dan DGM
Ketua Presidium DKN belum bisa memberikan hal yang lebih detil lagi karena
SCFIP belum pernah mengadakan pertemuan sehingga DKN belum bisa
mendapatkan informasi terkait pelaksanaan FIP.
Pemetaan Agenda NKB 12 K/L
Pertama, terkait dengan seluruh aspek pemanfaatan kawasan hutan beserta
pengukuhannya serta penyelesaian pihak ketiga. Pihak ketiga itu bisa kampung, desa,
masyarakat adat. Ada juga pedoman tersendiri untuk memastikan bagaimana
penempatannya. Lalu ada juga revisi P 44 dan P 47 yang terkait dengan panitia tata
batas dan pengukuhan kawasan hutan. Disamping itu juga tersedia sistem pengaduan
dan tindak lanjut dari proses-proses pengukuhan dan masalah tenurial. Diharapkan
kedepan ada semacam informasi yang terbuka bagi masyarakat jika ada masalah
terkait sehingga ada komunikasi secara langsung mengenai pengaduan dan prosesnya.
Hal ini tidak mudah karena banyak juga lembaga yang melakukan itu,
termasuk Komnas Ham dan DKN. Hampir setiap tahun dua lembaga ini menerima
beberapa puluh konflik. Yang penting adalah bagaimana tindak lanjut dari pangaduan
tersebut. Di samping ini ada juga segenap hal lain yang diperlukan, seperti peta dasar
yang harus seragam dst.
Kedua, berkaitan dengan operasional KPH dengan kelengkapan regulasinya,
pelaksanaan program pendampingan masyarakat di KPH itu, lalu mempercepat Diperlukan pembaruan dan pelaksanaan kebijakan (peraturan-perundangan
dan kelembagaan) —NKB 12 K/L adalah salah satu proses yang sedang
dilakukan. Kamar bisnis menyatakan bahwa policy reform lebih penting
daripada softloan, untuk kondisi Indonesia sekarang.
DKN bukan pelaksana dari FIP dan DGM. DKN hanya sebagai anggota SC.
Persoalan DKN dengan FIP sebetulnya bukan DKN menolak atau menerima
FIP, karena menolak atau menerima, FIP tetap jalan, tapi yang sangat penting
adalah catatan DKN yang akan disampaikan di dalam SCFIP, untuk
memastikan perbaikan FIP jika ada temuan kelemahan di masing-masing
pelaksanaan pencadangan untuk HTR, HKM, HD dst yang diharapkan KPH punya
peranan penting dalam konteks ini. Yang selama ini relatif sulit masyarakat dapat
menyampaikan proposal perijinan dst, diharapkan KPH punya peran seperti itu.
Ketiga terkait dengan review dan proses perbaikan kebijakan perijinan. Yang
diharapkan tidak hanya ijin pinjam pakai terkait kawasan hutan tapi seluruh perijinan
karena pada saat bulan lalu DKN memfasilitasi di Surabaya banyak sekali terkait
dengan perijinan yang lain yang berada di kawasan hutan yang sedang berjalan.
Bukan hanya persoalan penggunaan dan pelepasan kawasan hutan tapi eksisting ijin
itu juga mempunyai peran penting.
Keempat, ada khusus penyelesaian konflik sendiri, regulasi penyelesaian
sengketa di dalam kawasan hutan, kemudian juga terbangun konsensus penyelesaian
konflik ini oleh Kementerian dan Lembaga. Ini sangat penting karena konflik,
terutama keterlanjuran itu banyak sekali interpretasi yang berbeda. Apalagi kemudian
menggunakan UU Kehutanan, yang satu menggunakan cara bekerjanya BPN, dst. Ini
juga perlu bukan hanya jangka pendek tapi juga jangka panjang karena
persoalan-persoalan yang terkait dengan konteks sengketa ini. Ini juga sangat terkait dengan UU
Pertanahan yang akan segera muncul; bagaimana sebenarnya peradilan pertahan dsb
bisa menyelesaikan konflik.
Kelima, berkaitan dengan penguatan peraturan-peraturan rencana yang
intinya adalah penjabaran RKTN menjadi hal-hal yang sifatnya operasional;
bagaimana itu bisa dilaksanakan di setiap pulau, bagaimana tata batas bisa bekerja
dengan penguatan kapasitas. Idenya adalah satu tahun sebelum panitia tata batas
bekerja, ada survey sosial untuk mengetahui desa dsb.
Ketua Presidium DKN sedang menyarankan, memberikan input kepada tim
KPK untuk melakukan klustering dari 93 rencana aksi.
Garis Besar Agenda NKB—12K/L: Harapan Peran DKN
a) Penyempurnaan kebijakan dan peraturan serta percepatan pengukuhan kawasan
hutan, termasuk kepastian status pihak ke-3 dalam kawasan hutan negara;
b) Beroperasinya 120 KPH serta berjalannya kemitraan dan pemberdayaan masyarakat,
RHL, di dalam areal kerja KPH itu;
c) Proses perizinan secara integratif dan transparan dengan jaminan masa depan
perizinan sesuai peraturan-perundangan dan bebas konflik;
d) Terdapat regulasi penyelesaian sengketa kehutanan dan terwujud konsensus
penyelesaian konflik oleh 12 K/L;
Dalam konteks percepatan pengukuhan kawasan hutan, UKP4 mengadakan
pertemuan antara pak Untoro dengan gubernur Kalimantan Tengah di Barito Selatan.
Diharapkan KPK juga menggagas tindakan serupa bersama kementerian dan lembaga
mungkin ada fokus menyelesaikan tata ruang dan tata batas di propinsi tertentu.
Dalam konteks operasional di lapangan, terhadap 5 kluster rencana aksi ini, DKN
diharapkan bisa melihat pelaksanaan ini. Seperti yang diketahui bersama, pada saat
membicarakan ekonomi, peran masyarakat adat, termasuk juga konservasi, mustahil
bisa tercapai ketika kawasan hutan tidak menjadi prioritas. Setiap pergantian menteri
selalu mengambil program populis, tetapi kawasan hutan selalu menjadi bagian yang
tidak prioritas. Ini terlihat dari anggaran kementerian kehutanan dimana 46%
ditujukan untuk membuat persemaian. Sebaiknya anggaran itu untuk Dirjen
Planologi.
2. Pengantar oleh Usep Setiawan (Fasilitator)
Usep Setiawan menjelaskan tentang tujuan dan keluaran yang hendak dicapai dalam
workshop serta alur dan acara hari pertama.
3. Pemaparan materi NKB Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia Sebagai
Upaya Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan
oleh Tim Monev NKB-KPK, Dian Patria
Tanggal 3 Desember 2010 KPK melakukan paparan hasil kajian Sistem
Perencanaan Kawasan Hutan di Dirjen Planologi. KPK masuk ke perencanaan di
planologi karena KPK menganggap upaya perbaikan harus mulai dari perencanaan.
Proses belangsung hingga 11 Maret 2013 dengan ditandantanginya NKB Percepatan
Pengukuhan Kawasan Hutan.
Program yang didukung oleh KPK ini adalah program fundamental yang
harusnya selesai dalam 10 tahun mendatang, setelah itu baru hal-hal lain
dibicarakan untuk memastikan pembangunan kedepan.
Ada sejumlah syarat rekomendasi KPK di Dirjen Planologi. Salah satunya
adalah perlu adanya satu peta yang menjadi acuan bersama. Dalam kajiannya,
KPK menemukan banyak versi kawasan hutan dengan skala yang tidak
operasional sehingga KPK menyarankan adanya one map sebagai acuan semua
pihak. Syarat yang lainnya adalah adanya jaminan pelepasan kawasan hutan.
Kajian KPK juga menemukan banyak tanah-tanah terlantar yang dilepaskan
Persoalan kehutanan tidak mudah dan tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Dirjen
Planologi. Perlu berbagai peran dari Kementerian dan lembaga yang lain. Oleh karena itu
KPK melakukan pengkajian dan pendalaman dengan mengundang para pakar. Berberapa
kali KPK berdiskusi dengan CSO, LSM akademisi dan K/L. Dari pengkajian, pendalaman
dan diskuti tersebut lahirlah 3 naskah tematik yaitu Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan
Perundangan, Penyelarasan Teknis dan Prosedur, serta Resolusi Konflik. Kalau bicara
dalam konteks KPK, korupsi bisa terjadi karena keijakan yang bermasalah. Oleh karena
itu perlu ada perbaikan dan harmonisasi kebijakan. Dalam operasionalisasi pun terjadi
penyimpangan-penyimpangan, ada kolusi, suap dalam pemberian ijin dsb. Salah satu
sumber konflik adalah karena adanya penyelewengan pada saat operasional.
Rencana Aksi NKB 12 K/L
Dalam rencana aksi NKB terdapat tiga tema yang saling terkait dan outputnya
pun beririsan; ada rencana aksi yang menjadi prasyarat untuk rencana aksi yang lain di
kementerian yang sama atau kementerian yang lain. Total ada 93 Renaksi dan sudah
disimplifikasi oleh pak Hariadi menjadi satu tabel.
Latar Belakang
Di Sektor kehutanan banyak sekali masalah yang sudah lama berlangsung akibat
tata kelola dan korupsi di sektor sumberdaya alam. Masalah-masalah di sektor kehutanan
diantaranya tingginya deforestasi, tingginya kerugian negara di sektor kehutanan, dan
adanya ketidakpastian hukum atas kawasan hutan yang menyebabkan tumpang tindih
izin.
KPK concern dengan masalah di sektor kehutnan karena KPK ingin
berkontribusi untuk menyelamatkan sumberdaya alam atau menghilangkan
Salah satu penyebab yang ditemukan KPK mengapa tambang tidak clean dan
celar adalah belum selesainya masalah batas administrasi. Baru sekitar 17% segmen yang
telah mempunyai batas administrasi yang jelas. Jika tidak ada kejelasan batas
administrasi, ketika lokasi tambang yang berbatasan dengan kabupaten atau propinsi yang
lain, biasanya terjadi konflik.
Dari sisi PNPB SDA penerimaan dari hutan dan tambang tidak terlalu banyak.
Jauh di bawah APBN. Angka tidak seimbang dengan konflik-konflik di area hutan yang
sangat besar dan tingginya kerusakan lingkungan. Ada biaya sosial korupsi.
UU KPK mengatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara
meluas tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga
tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus
dilakukan secara luar biasa. KPK dibentuk dalam perspektif Penjagaan Hak-hak Sosial
dan Ekonomi untuk Kesejahteraan Rakyat. Jadi, KPK tidak hanya menangkap koruptor
tapi juga memberikan perubahan nyata di masyarakat.
KPK masuk ke chapter sumberdaya alam karena di dalam strategy map KPK ada
3 hal, yaitu ketahanan pangan, pendapatan dan ketahanan energi serta sektor kesehatan.
KPK sampai tahun 2003-2015 fokus pada 3 sektor tersebut. Tahun lalu KPK mengkaji
tata niaga daging sapi. KPK menemukan dugaan-dugaan penyimpangan. KPK
bekerjasama antara pencegahan dan penindakan. Selain perbaikan sistem, KPK juga
melakukan tindakan ketika ada kasus. Hal serupa juga dilakukan di chapter pendapatan
berkaitan dengan perpajakan dll.
KPK juga melibatkan CSO. Hal ini sangat tepat karena dengan pertimbangan
sumberdaya KPK yang terbatas. Misalnya dalam, konteks NKB, peran CSO adalah
memantau impelementasi NKB di lapangan atau memberikan masukan secara substansial
sehingga KPK bisa bekerja lebih efektif dan efisien.
Tugas KPK Dalam NKB
Tugas KPK merupakan kombinasi antara pencegahan dan penindakan.
Sebenarnya peran KPK dalam NKB lebih banyak memberikan koordinasi dan
supervisi. Jadi tidak hanya dalam bidang penindakan, KPK melakukan
koordinasi, tapi juga dalam pencegahan, dalam rangka perbaikan sistem.
Termasuk dalam NKB ini. Seringkali KPK memberikan saran, menjadi mediator
Tugas Monitor KPK sesuai pasal 14 diantaranya Melakukan pengkajian terhadap
sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara & pemerintah. Tahun 2010
KPK melakukan kajian di Dirjen Planologi, BPN, Imigrasi, Bea Cukai, dll. Memberi
saran perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi
tersebut berpotensi korupsi kepada semua pimpinan lembaga negara & pemerintah. Dan
melaporkan jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan kepada
Presiden, DPR, & BPK. Salah satu instansi yang dinilai kooperatif yaitu Kementerian
Kehutanan.
Pemetaan Permasalahan dan Komitmen Bersama
Tema 1: Harmonisasi kebijakan dan Peraturan Perundagan.
Renaksi Tema 1 diantaranya
a) Harmonisasi kebijakan dalam rangka penyelarasan wilayah usaha sektoral, dengan
kebijakan tata ruang dll.
b) Mendorong proses perizinan terintegrasi. BPK sering menemukan tidak adanya ijin
pinjam pakai bagi perusahaan tambang di Kawasan hutan. Misalnya di Aceh tidak satu
pun perusahaan tambang mempunyai ijin pinjam pakai. Pihak Kehutanan hanya tahu yang
lapor dan berharap dinas kehutanan di daerah melakukan pengawasan. Tapi di daerah,
pengendalian sangat lemah. Sama juga dengan pertambangan.
Akhirnya pengusaha jalan terus. Ditambah lagi dengan ketidakjelasan peta kawasan
hutan.
c) Mendorong instrumen pengendalian dalam pengelolaan SDA. Dengan otonomi daerah
tidak mudah mengendalikan ijin. Ijin-ijin usaha perkebunan oleh Bupati, sangat sedikit
yang dilaporkan ke pusat. Tahun lalu tidak ada satupun Pemda yang melaporkan IUP.
Sangsi sulit diterapkapkan kepada Pemda. Pemda selalu beralasan lokasi tambang yang
jauh dan sumberdaya Pemda yang terbatas.
Masalah di NKB sudah lama tapi tidak ada penyelesaian. Sudah ada TAP MPR
9/2001 tapi dinilai tidak ada implementasi. Untuk menyelesaikan masalah ini
KPK menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi untuk mempercepat
implementasi Renaksi NKB. Intinya KPK berusaha mendorong bagaimana akar
masalah bisa hilang sehingga koruptor makin sulit bersembunyi di balik masalah
yang tidak kunjung selesai.
Data yang dipakai adalah data surveyor. Data tersebut dipakai oleh pemerintah dan
negara, sementara surveyor dibayar oleh perusahaan tambang.
Tema 2: Penyelarasan Teknik dan Prosedur Pengukuhan Kawasan Hutan
Renaksi Tema 2, diantaranya:
a) Mendorong one map yang jadi acuan semua stakeholders sehingga bisa single reference,
single standard.
b) Pengembangan integrasi informasi geospasial dengan memperkuat peran BIG,
memperkuat jaringan data spasial nasional. Sesuai data kajian, masih 16% yang clear dan
clean serta 16% batasan administrasi yang selesai sehingga perlu dipercepat.
c) Percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia, Pembentukan KPH. Data terakhir ada
60.000 km yang belum memiliki tata batas. Tapi dengan usulan perubahan tata ruang,
menjadi 170.000 km lari.
Tema 3: Resolusi Konflik
Renaksi tema 3 diantaranya:
a) Membangun basis data dan informasi konflik agraria. Di sini juga ada peran Komnas
HAM;
b) Membangun konsesus perlunya lembaga penyelesaian konflik agrarian;
c) Memperluas wilayah kelola masyarakat.
Terkait Harmonisasi Kebijakan, tidak ada yang pas antara UU sektoral, UU 4/2009, UU
Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Tata Ruang, karena masih jalan
masing-masing.
Di tema 1 ada peran-peran dari Kemenhut, ESDM, Lingkungan Hidup, Pertanian,
dan PU untuk harmonisasi regulasi baik di internal K/L maupun diantara K/L itu sendiri.
Banyak hal yang perlu dilakukan di renaksi tema 1.
Tema 2, penyelarasan teknik dan prosedur pengukuhan kawasan hutan. Seperti
diketahui ada putusan MK 45 bahwa penunjukkan saja tidak cukup untuk pengukuhan
kawasan hutan. Ada masalah-masalah di dalamnya. Ada yang sudah terlanjur ditunjuk
tapi belum sempat diinventarisasi, baik itu kayu maupun masyarakat di dalamnya. Tata
batas juga masih banyak sekali PR-nya. Terakhir ada putusan MK 35 tentang hutan adat.
Putusan itu setelah NKB ditandatangani. Akibatnya adalah lemahnya legitimasi kawasan
hutan dan konflik yang tidak kunjung habis.
Tema 2 terdorong oleh visi PP 44, PP 50 dan PP 47 untuk penguatan Panitia Tata
Batas. Ada di kajian KPK tahun 2010, dimana Bupati sebagai ketua Panitia Tata Batas
tidak mengindahkan saran dari tim sehingga tidak ada solusi. KPK juga mendorong
Pemda, melalui Mendagri untuk mensosialisasikan setiap rencana tata batas dan
membuka ruang partisipasi masyarakat dalam penataan tata batas di wilayahnya. Agar
masyarakat tahu wilayah mana yang akan ditatabatas sehingga konflik bisa diminimalisir
dan diaplikan di APBD.
Tema 3 menunjukkan bahwa peran masyarakat sangat dikedepankan di dalam
NKB.
Tindak Lajut NKB
a) Menyusun Tim dan Kelembagaan Monev Pelaksanaan Renaksi Bersama NKB;
b) Membentuk Satgas Pelaksanaan NKB (gabungan dari perwakilan 12 K/L);
c) Penajaman dan finalisasi renaksi NKB dengan 10 K/L dengan melibatkan Pakar dan
CSO;
d) Pleno dengan 12 K/L (akhir Juli 2013);
e) Pemantauan implementasi renaksi dengan melibatkan Pakar dan CSO. KPK
menggunakan aplikasi F8K dan IMH (Indonesia Memantau Hutan). IMH akan
dilaunching pada 17 Agustus 2013. Diharapkan CSO bisa berperan memberikan masukan
atas data-data spasial, tidak hanya kehutanan tapi juga pertambangan dan perkebunan.
4. Pemaparan materi mengawal reformasi tatakelola hutan dan lahan gambut di
Indonesia oleh Tim UKP4, Josi Khatarina
Sekilas UKP-PPP (UKP4)
Dasar pendirian UKP4 adalah Perpres 54/2009 jo Perpres 10/2012.Tugasnya
antara lain membantu Presiden dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian
pembangunan sehingga mencapai sasaran pembangunan nasional dengan
penyelesaian penuh.
Prioritas tugasnya antara lain meningkatan efektivitas dan percepatan
pelaksanaan reformasi birokrasi dan perbaikan layanan umum, meningkatan
efektivitas penegakan hukum serta perwujudan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan
dan berkeadilan.
Tugas awal UKP4, antara lain monitoring dan evaluasi prioritas nasional.
Debottlenecking; memastikan apabila ada persoalan-persoalan dalam prioritas
nasional maka ada upaya-upaya untuk melakukan terobosan-terobosan. Penguatan
Lembaga Penegakan Hukum.
Contoh tugas-tugas terkait tugas utama adalah REDD+, TEPA (Penyerapan
Anggaran), Satgas PMH (Pemberantasan Mafia Hukum), sampai tahun 2011, Open
Government Indonesia.
Memonitor dan Mengawal Prioritas Nasional
Dari 11 prioritas nasional Kabinet Indonesia Bersatu 2010-2014 dua
diantaranya yang terkait langsung dengan NKB 12/KL adalah Reformasi Birokrasi
dan Pemerintahan serta Lingkungan Hidup dan Tatakelola Daerah Pasca Bencana.
Tiga prioritas bidangnya adalah politik, hukum dan Keamanan, Ekonomi dan
Kesejahteraan Rakyat.
Mengawal REDD+ dan Tata Kelola Hutan & Lahan Gambut
Karena sampai akhir Juni lalu Ketua Satgas REDD+ adalah Pak Untoro,
maka program-program reformasi tata kelola dan lahan gambut di Indonesia yang
dikawal UKP4 banyak dilakukan dan terkait dengan prioritas di bidang penurunan
emisi atau perubahan iklim secara umum.
Gambaran Umum Persoalan Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut
Perencanaan
a) Belum selesainya penataan ruang;
b) Belum selesainya pengukuhan kawasan hutan;
c) Terdapat beberapa perbedaan dalam pengaturan kriteria kawasan lindung dan
budidaya di dalam kawasan hutan dan APL;
d) Proses perencanaan yang belum transparan, partisipatif dan akuntabel.
Pemanfaatan
a) Perizinan yang belum transparan, efisien dan efektif serta harmonis antar sektor
dan pusat dan daerah;
Fungsi UKP4 antara lain pencegahan dan pemberantasan mafia hukum,
penyempurnaan peraturan dan informasi pertanahan, sumber daya alam dan
tata ruang, penguatan kontribusi Indonesia dalam isu perubahan iklim
b) Tidak tersedianya sarpras yang memadai termasuk ketiadaan database perizinan
yang terkoneksi antar pusat-daerah, dan antar sektor, sehingga data-data perijinan
tidak terbaharui dengan baik di tingkat pusat. Bahkan di tingkat propinsi pun
data-data perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tingkat II tidak
diketahui. Di beberapa kasus ditemukan pemerintahan yang ada saat ini tidak
memiliki data perijinan yang diberikan oleh pemerintahan tahap sebelumnya.
c) Akses masyarakat yang relatif tertutup di dalam pengelolaan SDA.
Pengawasan dan penegakan hukum
a) Rumusan delik yang tidak efektif dalam memberikan efek jera;
b) Lemahnya koordinasi antar APH dan kapasitas serta sarpras yang belum
memadai. SDM juga belum memadai dan jauh dari mencukupi untuk memastikan
adanya penegakan hukum yang efektif;
c) Judicial corruption. Ini adalah salah satu alasan presiden mendirikan Satgas
PHM pada tahun 2009.
Berbagai Rencana Aksi
a) Inpres 1/2013 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Ada outline untuk memastikan sektor pertambangan memiliki perijinan berbasis
teknologi informasi;
b) Inpres 2/2013 tentang Keamanan dan Ketertiban Dalam Negeri (dalam kaitannya
dengan penyelesaian konflik); salah satu item yang ada di rencana aksi adalah
percepatan pengukuhan kawasan hutan;
c) Inpres 6/2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata
Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini ditindaklanjuti dengan
sebuah rencana aksi yang didalamnya terdapat berbagai rencana aksi yang harus
dilakukan oleh kementerian dan lembaga yang dilaporkan dan dipantau juga oleh
UKP4;
d) NKB 12 K/L tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan. Bisa dikatakan
ada beberapa rencana aksi yang keliatannya overlapping untuk mencapai tujuan
yang berbeda-beda. Tapi perlu dipahami bahwa pengawasan di UKP4 hanya
satu. Mungkin ada beberapa rencana aksi yang terkait beberapa Inpres, rencana
aksinya sama tapi pelaporannya cukup satu dan pemantauannya terintegrasi; Database perijinan menjadi salah satu yang krusial yang harus ditangani.
e) MOU dan Peraturan Bersama (6 K/L: Kemenhut, KemenLH, Kemenkeu,
Kejaksaan Agung, POLRI, PPATK) Penanganan Perkara Tindak Pidana Terkait
SDA-LH Di Atas Hutan dan Lahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor+;
f) MOU antara Satgas REDD+ dengan Pemda Prov Kalteng, Kaltim dan Jambi. Di
Kalteng ada dua kegiatan utama terkait MoU, yaitu penataan perijinan dan
percepatan pengukuhan kawasan hutan. Sementara di Kaltim kegiatannya
terfokus pada penataan perijinan. Untuk di Jambi, selain penataan perijinan ada
juga pemanfaatan data-data one map. Pada dasarnya MoU-MoU ini itu adalah
melaksanakan sebuah kegiatan di tingkat teknis sehingga hasil dari kegiatan ini
bisa menjadi input bagi pembenahan tata kelola di tingkat nasional. Nanti akan
dilihat bagaimana implementasi MoU menyumbang pada beberapa perubahan
peraturan di tingkat nasional.
Kegiatan-kegiatan yang diupayakan untuk menjawab masalah-masalah
dalam tata kelola hutan dan lahan gambut:
a) Reformasi Peraturan Perundang-undangan: Mempersiapkan dan memberi
kerangka hukum bagi reformasi tata kelola hutan dan lahan gambut serta
memberi dasar bagi REDD+. Kegiatan ini sedikit berbeda dengan NKB yang
tujuannya lebih kepada pencegahan korupsi. Kegiatan ini diarahkan bagi
pengurangan emisi melalui penyempurkan tata kelola hutan dan lahan gambut;
b) Gerakan One Map;
c) Percepatan pengukuhan kawasan hutan;
d) Penataan perjinan;
e) Penguatan penegakan hukum.
“Policy Paper” Pengkajian & Perancangan Peraturan Perundang-undangan
Mempersiapkan dan Memberi Kerangka Hukum bagi REDD+
Isi Policy Paper secara umum:
a) Menganalisa kondisi kerangka hukum yang mengatur tata kelola hutan dan lahan gambut yang ada saat ini.
Bagaimana mengkaji secara sistematis berbagai peraturan perundang-undangan yang ada terkait hutan dan lahan gambut,
UKP4 bekerjasama dengan kementerian Hukum dan Ham membangun sebuah
policy paper yang isinya adalah prinsip-prinsip, mengkaji dan merancang
peraturan perundang-undangan untuk mempersiapkan dan memberi kerangka
Mengidentifikasi persoalan-persoalan di dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
Dan pada akhirnya memberikan masukan-masukan tentang peraturan-peraturan mana yang mungkin perlu direvisi, peraturan-peraturan mana yang perlu
dicabut, atau peraturan mana yang perlu dibuat. Misalnya secara khusus
perlu dibuat peraturan tentang masyarakat adat.
b) Membangun Konsep hukum yang tepat dalam konteks Indonesia untuk melakukan pembenahan pengurusan SDH dan lahan gambut
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan REDD+ (lembaga REDD+, badang REDD+, instrumen pendanaan, mekanisme MAV)
Selain secara substantif memberikan arahan tentang bagaimana menyempurnakan tata kelola hutan dan lahan gambut, di dalam policy
paper ini juga ada mekanisme kelembagaannya. Berdasarkan diskusi
dengan berbagai K/L dan juga masyarakat sipil yang dilakukan dalam
membangun peraturan perundang-undangan ini maka disepakati bahwa
diperlukan sebuah mekanisme dan kelembagaan untuk mengawal policy
paper ini. Salah satu opsi yang ada yaitu Kementerian Hukum dan Ham
lewat GBHN dari Dirjen Perundang-undangan. Itu diharapkan nantinya
akan mengawal seluruh proses reformasi peraturan perundang-undangan
ini.
c) Memberi dasar yang kuat bagi pelaksanaan mekanisme REDD+.
Pengukuhan Kawasan Hutan; Studi Kasus Barito Selatan
Kalau misalnya di NKB itu dibicarakan rencana aksi di tingkat nasional, sebetulnya rencana
aksi itu juga dibangun berdasarkan kerja dari studi kasus yang kita lakukan di Barito Selatan.
Di Barito Selatan ada sebuah tim percepatan pengukuhan kawasan hutan yang terdiri dari
Kementerian Kehutanan, Direktur Pengukuhan, Dirjen Planologi, Kemendagri (berkaitan dengan
penyelesaian batas wilayah), UKP4, BPN (berkaitan dengan hak pihak ketiga), Pemda (sebagai
penanggungjawab pengukuhan kawasan hutan), dan Akademisi. Setelah penandatanganan MoU, lalu
ada Tim Percepatan Pengukuhan tersebut, ada pertemuan dengan Bupati dan Dinas Kehutanan. Pada
tahap ini ada pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan yang sudah berjalan.
Tahun sebelumnya sudah ada pembentukan BPKH sebagai salah satu bagian dari Renaksi dan
kebetulan sesuai dengan rencana di Kemenhut untuk membentuk BPKH khusus di Kalimantan
Tengah. Mudah-mudahan bisa membantu secara umum proses pengukuhan kawasan hutan di
Kalimatan Tengah. Saat ini yang sedang berjalan di Barito Selatan adalah pengembangan juklak
Pada saat pembahasan mengenai prioritas wilayah mana yang akan ditatabatas, karena
keterbatasan anggaran, maka disepakati di dalam Tim Percepatan Pengukuhan yang kemudian
difollowup di lapangan yaitu penatabatasan ini diarahkan pada penyelamatan hutan yang tersisa dan
saat yang bersamaan memiliki ancaman tinggi. Daerah yang dipilih sesuai dengan data-data yang ada,
termasuk citra resolusi tinggi yang saat ini sudah tersedia.
Pengembangan Juklak Resolusi Konflik & Proses Partisipatif
Pada saat pembahasan percepatan pengukuhan saat itu, P50 sudah berubah dengan P44, dan
banyak hal di dalam P44 sudah sangat membantu agar proses pengukuhan bisa jauh lebih cepat
dibandingkan proses sebelumnya. Salah satu yang masuk adalah patok virtual. Tapi di sisi lain, ada
beberapa hal yang kelihatannya masih perlu ditindaklanjuti, antara lain:
Tim percepatan kemudian menginisiasi sebuah penyusunan Juklak teknis untuk berbagai
pengaturan tersebut sehingga pengukuhan kawasan hutan ini bukan hanya cepat selesai tapi juga tidak
menyisakan konflik-konflik di lapangan. Jadi, tingkat akseptabilitas-nya jadi jauh lebih tinggi. Saat ini
draft tersebut sudah ada di Kemenhut dan akan disinkronkan dengan proses di NKB dimana
diharapkan akan menjadi bagian terintegrasi dari perubahan P44 dan P47.
Penataan Perizinan
Penataan perijinan didasarkan pada MoU dengan tiga daerah, Kaltim, Kalteng dan Jambi.
Inisiatif penataan perijinan bukan hanya dari pemerintah pusat tapi juga pemerintah daerah. Jadi, ada
demand dari pemerintah daerah menyambut berbagai perkembangan pemikiran tentang perijinan yang
sudah dibangun di Satgas REDD+-UKP4. Ketiga provinsi inisiator ini secara sukarela memasukkan
diri ke dalam MoU.
Tiga Kegiatan utama Penataan Perijinan
1) Pengembangan sistem pengelolaan informasi perijinan (SPIP)
Kegiatan ini sudah berjalan di Kalimantan Tengah. Kegiatan turunan
a) Pengumpulan data.
Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti untuk percepat pengukuhan kawasan hutan
a). Keterlibatan masyarakat adat dan lokal;
b). Bagaimana resolusi konflik di lapangan atas indentifikasi hak-hak yang ada;
c). Peningkatan transparansi proses;
d). mekanisme keberatan apabila dalam proses pengukuhan ada pihak yang tidak setuju
Selama ini yang dimiliki oleh Pemprov adalah daftar perijinan tanpa ada data-data dukung.
Dengan adanya SPIP ini diharapkan pemprov dan pemerintah pusat memiliki akses terhadap
seluruh data dukung perijinan.
b) Pengembangan infrastruktur SPIP yang terintegrasi (software SPIP)
c) Registrasi izin (Upload dan penomoran data secara digital). Untuk mempermudah akses oleh policy maker.
d) Verifikasi data oleh pemegang izin
Tahap ini sedang dijajaki dengan Kalimantan Tengah, dan akan dilanjutkan dengan Kaltim
dan Jambi. Data-data yang asalnya adalah dari Pemda, pada satu tahap dirasa perlu untuk
dibuka dan diberikan waktu kepada pemegang ijin untuk melakukan verifikasi, apakah
data-data tersebut mutakhir atau tidak.
e) Penerapan sistem perizinan on-line terintegrasi
f) Publikasi informasi publik perizinan, hanya untuk data yang memang bisa dikonsumsi oleh publik. Sebagian merupakan data yang diperlukan oleh K/L untuk proses administrasi
perijinan itu sendiri. Yang akan berjalan secara paralel adalah kajian tentang data-data mana
yang harus terbuka pada publik dan mana yang merupakan bagian dari informasi internal
pemerintahan.
2) Uji tuntas
a) Penyediaan dokumen
b) Pelaksanaan audit oleh law firm (Kalimatan Tengah)
c) Penyusunan rekomendasi. Rekomendasi dibangun pada dua tingkat, Tingkat kegiatan
Dari data yang masuk dilihat kegiatan mana saja yang perlu difollow up.
Rekomendasi di tingkat kegiatan yang saat itu dibangun berdasarkan MoU nanti akan
diberikan kepada pemerintah daerah karena pemerintah daerah adalah pihak yang
memberikan ijin dan nantinya akan punya kewenangan mengenai tindakan-tindakan
tertentu.
Tingkat kebijakan
Di tingkat ini dilihat kebijakan-kebijakan apa saja yang berpengaruh pada kondisi
perijinan yang ada saat ini. Rekomendasi didapatkan dari lawfirm dan akademisi.
3) Implementasi
a) Penertiban;
b) Penyelesaian konflik lahan; c) Pembenahan kebijakan
Lingkup Audit Ijin
Di aspek sosial di sini diupayakan identifkasi kemungkinan adanya overlapping klaim atas
satu bidang lahan. Aspek Revenues saat ini baru berfokus pada pajak saja dan bekerjasama dengan
Dirjen pajak untuk mengidentifikasi kepatuhan membayar pajak dari berbagai perusahaan yang
masuk.
Berdasarkan MoU yang ada serta kapasitas dan sumberdaya yang ada, fokus penataan
perijinan baru pada kebun dan tambang.
Sistem Database yang terintegrasi
Harapannya SPIP ini hanya ada satu saja secara nasional dan nantinya masing-masing daerah
akan bisa mengakses dan memperbaharui datanya melalui microsites. Di masing-masing Pemda
tingkat II dan I akan punya akun khusus untuk mengupload data-data perijinan yang mereka miliki.
Untuk tambang sudah ada peraturan perundang-undangan yang menjamin adanya akses data dari
pemda ke pemerintah pusat, sementara untuk kebun, seperti masukan ke draft terkahir dari program
Permentan 2006/2007, mewajibkan pemda maupun pemegang ijin untuk mengupload data-data
mereka melalui database yang sudah disediakan.
Lingkup informasi dalam SPIP
a). Permohonan Izin dan Pemrosesan
Dokumen permohonan izin dan kelengkapan-nya; I nformasi proses perizinan yang real time.
b). Penerbitan Izin
Dokumen izin, meliputi antara lain: izin lokasi, AMDAL, izin lingkungan, izin usaha perkebunan,
izin pelepasan kawasan hutan.
c). Pelaporan dan Pengawasan
Dokumen laporan perusahaan; Dokumen laporan pengawasan d). Penegakan Hukum
Surat keputusan yang berisi tindakan penegakan hukum kepada pengusaha, meliputi antara lain
surat peringatan, dll.
Penguatan Penegakan Hukum
Pendekatan Multidoor
Alasan menggunakan pendekatan Multidoor:
b) Keterbatasan Peraturan Perundang-undangan yang satu dapat diisi dengan Peraturan
perundang-undangan yang lain;
c) Kejahatan kehutanan hampir selalu dibarengi oleh pencucian uang, suap, gratifikasi dan
penghindaran pajak.
Tujuan dan Manfaat Multidoor
a) Sistem Penegakan Hukum Terpadu
b) Menghindarkan disparitas tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis
c) Menghindari peluang lolosnya pelaku kejahatan (ijin terbang)
d) Efek Jera
e) Pertanggung jawaban Korporasi apabila terjadi kejahatan kerusakan lingkungan
f) Pemulihan Lingkungan
g) Kerjasama Internasional (asset recovery)
h) Pengembalian Kerugian Negara
Pada dasarnya latar belakang multidoor adalah mendorong Koordinasi dan kerjasama antar
Aparat Penegak Hukum. Aparat Penegak Hukum bisa melihat satu kasus dengan pendekatan multi
rezim hukum. Di sini peran fasilitator dan confiner sangat dibutuhkan.
5. Pemaparan materi perspektif kebijakan atas putusan MK No. 35/PUU-X/2012
tentang uji konstitusionalitas UU No. 41/1999 terkait hak masyarakat hukum adat
oleh Dirjen Planologi Kemenhut, Ir. Bambang Soepijanto, MM
KPK dan UKP4 adalah mitra kementerian kehutanan untuk memperbaiki tata
kelola. Penandatangan NKB 12/KL adalah puncak dari pemahaman KPK tentang
kesulitan kementerian kehutanan untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Dan
pembentukan BPKH yang baru merupakan rekomendasi dari ABK. Semula kita Pendekatan Multidoor adalah Pendekatan penegakan hukum atas rangkaian/gabungan
tindak pidana terkait Sumber Daya Alam-Lingkungan Hidup (SDA-LH) di atas hutan
dan lahan gambut yang mengandalkan berbagai peraturan perundangan antara lain
Kehutanan, Perkebunan, Pertambangan, Penataan ruang, Lingkungan hidup,
Perpajakan, Tindak pidana Korupsi, dan TP Pencucian uang. Diharapkan secara
optimal bisa diupayakan sebuah efek jera apabila ditemukan pelanggaran di atas hutan
yang ditugaskan oleh kami maka yang sekarang ini ada di Kalteng, di Riau,
Lampung, Aceh dan Kendari, merupakan salah satu renaksi yang kami tindaklanjuti.
Kehutanan berbeda dengan Kementerian Pertanian yang houlding company
karena eksekutor Kehutanan adalah Menteri.
KPK sungguh memahami itu. Oleh karena itu Kementerian kehutanan diberikan
rencana aksi untuk memudahkan itu, antara lain adanya single reference dalam bentuk
peta dasar yang tunggal. Peta dasar hanya dikeluarkan oleh BIG. Dalam implementasi
ini, kemenhut terus menerus dipandu oleh KPK dan UKP4.
Pemohon uji konstitusionalitas UU No. 41/1999 terkait hak masyarakat
hukum adat adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Kasepuhan Cisitu.
Pasal yang diuji meliputi: Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat (1)
ayat (2), ayat (3), ayat (4); Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3). Sebagian permohonan
dikabulkan, yaitu Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat (1) ayat (2), ayat
(3), ayat (4).
Uraian Pasal Yang Diuji
a) Pasal 1 angka 6, berbunyi Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
b) Pasal 4 ayat (3), berbunyi Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
c) Pasal 5
Aayat (1), berbunyi Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara, dan hutan hak.
Ayat (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
Ayat (3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
Ayat (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada
Pemerintah.
d) Pasal 67
1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan
pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
AMAR PUTUSAN YANG DIKABULKAN MK
No. Pasal Dalam UU No. 41 Tahun 1999 Amar Putusan MK 1. Kata ”negara” dalam pasal 1 angka 6,
yaitu: “Hutan adat adalah hutan “negara” yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 1 angka 6 UU No. 41 Tahun 1999 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal 1 angka 6 dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat”.
2. Pasal 4 ayat (3), yaitu: “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.
Pasal 4 ayat (3) dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
3. Pasal 5 ayat (1), yaitu: Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak
Pasal 5 ayat (1), dimaknai “hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”
Pasal 5 ayat (1) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Pasal 5 ayat (2), yaitu: Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
5. Pasal 5 ayat (3), yaitu: pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “dan ayat (2)” dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
Frasa “dan ayat (2)” dalam pasal 5 ayat (3) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 ; Frasa “dan ayat (2)” dalam pasal 5 ayat (3)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal 5 ayat (3) dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaannya”.
Pada pasal 5 ayat (3), kata “sepanjang” tidak berani dihilangkan. Yang dilakukan oleh MK adalah
penyempurnaan.
AMAR PUTUSAN YANG DITOLAK MK
No. Pasal Dalam UU No. 41 Tahun 1999 Pertimbangan Hukum MK Pasal 67
(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. (3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan mengandung substansi yang sama dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam konteks frasa “sepanjang kenyataannya masih
ada dan diakui keberadaannya”. Oleh
karenanya, pertimbangan hukum terhadap Pasal 4 ayat (3) UU
Kehutanan menyangkut konteks frasa
“sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”mutatis mutandis berlaku terhadap dalil
permohonan Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan;
Perspektif Kebijakan Pasca Putusan MK No.. 35/PUU-X/2012
A. Pertimbangan MK atas pengujian Pasal 67 UU 41/1999
Pengujian Pasal 67 yang tidak dikabulkan oleh MK, didasarkan pertimbangan sebagai
berikut:
1. Frasa “dan Hutan Adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, Frasa
dimaksud sudah tepat dan sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) dan pasal 28I ayat (2)
2. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak
ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat dikembalikan kepada Pemerintah, dan
status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara (vide halaman 182)
B. Langkah-Langkah
1. Membentuk tim sosialisasi putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012.
2. Telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Kehutanan No SE.1/Menhut-II/2013 tanggal
16 Juli 2013 kepada Gubernur/Bupati/Walikota Seluruh Indonesia dan Kepala Dinas
Provinsi /Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan yang memuat penjelasan
putusan MK.
3. Mempercepat penyelesaian RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat (inisiatif DPR).
4. Meminta Kemendagri untuk mendorong Pemda menetapkan Perda tentang Penetapan
Wilayah Masyarakat Hukum Adat.
5. Wilayah masyarakat hukum adat yang berdasarkan Perda berada dalam kawasan
hutan, maka sesuai Permenhut No P.44/Menhut-II/2012 dikeluarkan dari kawasan
hutan.
Inventarisasi Masyarakat Hukum Adat
A. Hasil Inventarisasi Perda
Perda Provinsi
1. Perda Provinsi Maluku No 14 Tahun 2005 dan Perda No 3 Tahun 2008;
2. Perda Provinsi Sumatera Barat No 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan
Pemanfaatannya (tidak dilampiri peta);
3. Perda Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah
(tidak dilampiri peta);
4. Perda Provinsi Riau No 1 Tahun 2012 Tentang Lembaga Adat Melayu Riau (tidak
dilampiri peta).
Perda Kabupaten
Sepanjang UU yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 belum
terbentuk, dalam mengisi kekosongan hukum, maka pengukuhan dan hapusnya
masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dapat dibenarkan
1. Perda Kab. Kampar No 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat (tidak dilampiri
peta);
2. Perda Kab. Lebak No 65 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat
Masyarakat Baduy (tidak dilampiri peta namun terdapat batas-batas wilayah);
3. Perda Kabupaten Maluku Tenggara No 03 Tahun 2009 Tentang Ratshap dan Ohoi
(tidak dilampiri peta);
4. Perda Kabupaten Nunukan No 03 Tahun 2004 Tentang Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat Kabupaten Nunukan (tidak dilampiri peta).
Ini adalah masukan dalam rangka penyusunan Perda karena nanti kementerian
kehutanan akan merespon Perda-Perda yang memang merupakan penetapan wilayah
masyarakat hukum adat. Jadi, ada tanggungjawab. Contoh pembuktian untuk ditetapkan
sebagai wilayah hukum adat: makam menggunakan batu berwarna hitam, ada tulisan
meninggal tahun 1881. Pemerintah daerah harus punya tanggungjawab bagaimana
menetapkan itu karena mereka harus mencari pembuktian baik itu saksi hidup ataupuan
tanda-tanda yang masih ada. Atau juga kebiasaan yang terpelihara baik. Bukti-bukti itu
akan menjadi ruh dari perda.
6. Pemaparan materi ralat kebijakan agraria kehutanan oleh MK: apresiasi dan
konsekuensinya oleh Direktur Eksekutif SAINS, Noer Fauzi Rachman
Adat merupakan retorika legitimasi bagi hampir semua pengguna praktek atau
hak yang dituntut. Adat bukan suatu bagian dari peristiwa masa lampau yang masih Putusan MK bagi Kemenhut tidak ada masalah. Semua bisa dilaksanakan dengan
baik sepanjang sudah ada Perda yang menetapkan itu atau sekarang segera
menetapkan perda atas wilayah masyarakat hukum adat. Jadi, tidak ada masalah kita
akan bisa bekerja secara cepat sepanjang itu menyangkut tindak lanjut dari putusan
MK.
B. Syarat-syarat pengakuan masyarakat hukum adat (Kumulatif)
Syarat-syarat berdasarkan penjelasan Pasal 67 UU 41 Tahun 1999:
1. Masyarakat dalam bentuk paguyuban,
2. Ada kelembagaan adat,
3. Ada wilayah hukum adat yang jelas,
4. Ada pranata adat, khususnya peradilan adat,
bersisa pada masa sekarang. Adat adalah suatu cara dimana kelompok masyarakat yang
berada dalam situasi konflik untuk melegitimasi klaimnya. Konflik yang dimaksud adalah
konflik yang berkenaan dengan, pertama-tama dimasukkannya hutan adat dalam kawasan
hutan negara, tapi lebih dari itu, setelah dimasukkan dalam kategori hutan negara,
kementerian kehutanan dalam hal ini Menteri mengalokasikan, memberikan ijin hak dan
pengelolaan hutan kepada industri di atas tanah dan wilayah yang diklaim oleh
masyarakat adat itu. Jadi, situasinya konflik. Kalau masyarakat adat itu menyingkir, tidak
masalah. Masalah akan timbul jika masyarakat adat menolak untuk menyingkir dan
mempertanyakan legitimasi dari pemberian lisensi itu dan bekerjanya konsesi, baik itu
taman nasional, hutan tanaman industri, hutan produksi, atau sekarang adalah konsesi
restorasi ekosistem.
Pada situasi konflik seperti itu, dan memang karena latar belakang demikianlah,
AMAN dengan dua komunitas anggotanya mengajukan constitutional review ke MK.
Yang dilaporkan oleh masyarakat adat di dalam MK itu adalah peristiwa-peristiwa
kekerasan, bahkan masyarakat dari Manggarai melaporkan kematian sejumlah orang. MK
diminta untuk meninjau konstitusionalitas kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan
hutan adat.
Garisbawah terhadap keputusan MK
Dikabulkannya klaim masyarakat adat itu didasarkan pada pasal-pasal tertentu,
diantaranya adalah pasal 18b. Uraian tentang pasal 18b dinyatakan bahwa ada hal yang
fundamental. Berikut kutipan pasal 18b, “hal yang penting dan fundamental adalah
masyarakat hukum adat tersebut secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai
penyandang hak yang dengan demikian tentu dapat pula dibebani kewajiban. Dengan
demikian masyarakat hukum adat adalah subyek hukum. Sebagai subyek hukum di dalam
suatu masyarakat di dalam negara maka masyarakat hukum adat haruslah mendapatkan
perhatian sebagaimana subyek hukum yang lain.”
Masyarakat adat adalah penyandang hak dan subyek hukum atas tanah wilayah
adatnya yang harus diperlakukan sama dengan subyek hukum yang lain yakni dalam
hal ini negara dan pihak ketiga seperti pemegang lisensi-lisensi yang diberikan oleh
Kementerian Kehutanan itu.
Kebijakan sebelumnnya yang berkaitan dengan hutan adat dianggap keliru secara
konstitusional harus diralat, karena ini ditemukan di dalam semangat putusan MK, seperti
yang diungkapkan oleh hakim MK itu bahwa, jika dikaitkan dengan pasal 33 ayat 3
UUD45, yang menjadi tugas negara adalah bagaimaa pengusahaan sumberdaya alam
yang di bumi, air ….secara adil dan merata.”, hal itu tidak dapat dicapai dengan
menegakkan hukum semata karena hukum yang berkenaan dengan sumberdaya alam
mengandung cacat yang jika ditegakkan justru akan menimbulkan ketidakadilan sosial.
Penegakan hukum sumberdaya alam yang tidak adil akan mengancam eksistensi
masyarakat hukum adat yang sangat rentan penggusuran oleh mereka yang
mengatasnamakan atau izin dari negara.” Ini adalah kalimat dari salah satu hakim MK,
Ahmad Shodiqin Jadi jelas sekali definisi bahwa pasal yang diluruskan oleh MK itu
adalah hukum yang menciptakan ketidakadilan itu atau yang dianggap pak Ahmad
Sodiqin sebagai cacat konstitusional.
Sekarang bagaimana peristiwanya apabila situasi kenyataannya kawasan atau
tanah wilayah adat ada di dalam kawasan konsesi suatu persusahaan tertentu, kawasan
konsesi taman nasional?
Hal-hal yang diuraikan pak Bambang sangat indah apabila situasinya bukan di
dalam konflik agraria. Tetapi akan tidak mudah dan menjadi ada masalah ketika wilayah
adatnya ada di dalam kawasan konsesi yang masih berjalan. Kalau saja diserahkan
Kementerian Kehutanan untuk melakukan indentifikasi, ada konflik-konflik interest,
yakni tidak mungkin wilayah adat yang diidentifikasi itu ditunjukkan ada di dalam
klausul konsesi. Ini potensialnya besar menjadi konflik interest. Oleh karena itu, ini
adalah sesuatu yang perlu penanganan khusus. Kalau pak Bambang sendiri sebagai ketua
tim yang menyusun daftar isian masalah terhadap RUU PPMA (Pengakuan dan
Perlindungan atas Masyarakat Hukum Adat) yang diajukan oleh DPR secara inisiatif,
maka soal ini harusnya diurus secara sungguh-sungguh. Uraian pak Bambang
menunjukkan hal itu belum mendapat perhatian.
Lisensi-lisensi yang berkenaan dengan wilayah adat sangat besar. Hampir
wilayah-wilayah anggota komunitas masyarakat adat di dalam AMAN itu dalam situasi
konflik; pertambangan, kehutanan, konservasi. Yang ini masalahnya adalah bagaimana
wilayah adat itu telah terfragmentasi dan untuk mengembalikannya ke dalam situasi yang
utuh, memerlukan penyelesaian konflik dengan pemegang konsesi-konsesi itu. Konflik
tersebut bukan sesuatu yang terjadinya satu kali dua kali tapi sudah kronis dan meluas.
Sifat kronis dan meluas ini sudah berlangsung bertahun-tahun, bukan hanya konflik
antara masyarakat hukum adat tersebut dengan pemegang lisensi dan pemerintah yang
memberikan lisensi, akan tetapi meluas hingga, misalnya konflik antara masyarakat
kebijakan yang dibicarakan di dalam penyelesaian terhadap putusan-putusan mengenai
pemberian lisensi yang ada di dalam kawasan hukum adat.
Ada beberapa pandangan mengenai hal ini, tetapi yang paling penting adalah
bahwa ralat ini berkenaan dengan putusan yang telah diberikan oleh Menteri Kehutanan
terhadap satu wilayah hutan negara yang di dalamnya terdapat wilayah adat. Ralat ini
apakah akan berujung pada ralat terhadap kawasan-kawasan yang konsesinya telah
diberikan itu? Apakah hendak dikeluarkan, wilayahnya itu? Permen Agraria 5/99
menyatakan wilayah hukum adat itu tidak bisa ditetapkan pada kawasan yang telah
diberikan hak oleh pejabat publik di atasnya.
Tantangannya saat ini adalah mencari cara yang manjur agar wilayah adat bisa
keluar dari hutan negara dan menjadi hutan hak. Menunggu Perda, seperti yang
ditindaklanjuti oleh Kementerian Kehutanan, bukanlah sesuatu yang bisa ditunggu oleh
AMAN. AMAN, begitu keluar keputusan MK, Abdon Nababan, Sekjen AMAN,
menyampaikan ke Presiden untuk minta maaf karena sebelumnya keputusan-keputusan
Kementerian Kehutanan diberikan lisensi pada kawasan wilayah adat, anggota-anggota
AMAN. Kemudian para pejuang-pejuang adat yang bertarung di dalam konflik itu,
sebagian dikriminalisasi. Karena masih ada yang dipenjara, mereka diminta untuk
diamnesti. Karena menang sebagian, AMAN merayakan. Salah satu perayaannya adalah
apa yang disebut sebagai Plangisasi. Plangisasi adalah gerakan dimana masyarakat
hukum adat memberikan tanda mengenai wilayah adat mereka. Masalahnya, wilayah itu
masih dalam wilayah konsesi. Sementara Menteri Kehutanan mengatakan bahwa
kementeriannya berposisi menunggu.
Sebaliknya Pemda kabupaten dan kota harus aktif mengajukan Perda karena yang
mengetahui kawasan hutan adat adalah pemerintah daerah. Sekjen Kementerian
Kehutanan mengatakan perlu mendorong pemerintah di berbagai daerah untuk
mempercepat penyusunan perda. Dia sangat mengandalkan Perda. Pada perspektif
konflik, cara yang mengandalkan Perda agak sulit bekerja karena sebagian dari yang
memotivasi AMAN melakukan tuntutan ke MK itu adalah perbuatan hukum yang
dilakukan dari Menteri Kehutanan dalam memberikan izin ataupun hak atas wilayah yang
didalamnya wilayah itu ada kawasan atau wilayah adat. Pejabat publik telah berbuat
sesuatu pada masa lampau yang pada situasi sekarang mengakibatkan sebagian besar atau
kecil atau seluruhnya dari wilayah adat itu masuk dalam kawasan konsesi. Lalu sekarang Jika Permen 5/1999 diterapkan di dalam urusan ini, wilayah adat tidak bisa
diterapkan. Pemda yang mengikuti peraturan penyelesaian masalah ulayat oleh
Permen 5/1999 ini tidak akan memberikan pemulihan secara sepenuhnya terhadap
wilayah adat. Dia hanya bisa dipergunakan untuk wilayah sisa saja, yaitu yang
identifikasi. Kalau pakai pedoman Permen 5/1999, Perda akan ambil wilayah sisanya
saja. Sedangkan kalau pakai pedoman yang lain maka dia akan masuk ke dalam kawasan
konsesi. Ujiannya DKN di sini, karena ini akan menjadi peristiwa yang sifatnya
pertarungan.
Karena ini menjadi masalah nasional, presiden mengungkapkan I am personally
committed to initiating a process that registers and recognizes the collective ownership of adat territories in Indonesia. Seharusnya presiden mengungkapkan hal itu bukan sebagai
personal, melainkan sebagai pejabat publik karena presiden punya otoritas untuk
membuat Perpu, karena jelas dalam putusan MK yang dibutuhkan adalah
Undang-undang.
Situasi konflik ini berlangsung terus di lapangan dan memerlukan penyelesaian
yang luar biasa. Belum bisa ada analisis yang firm tentang bagaimana kementerian
kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, dan BIG bekerja
untuk membuat satu kesepahaman bersama apakah dalam bentuk surat putusan bersama
untuk kepastian mengenai wilayah adat ini.
Dari pengalaman masa lampau, sinergi kerja ataupun harmonisasi kerja diantara
badan-badan ini adalah peristiwa langka. Badan Pertanahan Nasional takut kalau
melakukan tindakan menyelesaikan, apa yang diistilahkan “hak pihak ketiga dalam
kawasan hutan”. Bagi mereka haram masuk ke dalam urusan memastikan hak masyarakat
bila itu ada di dalam kawasan hutan negara. Mereka akan menjadi objek kriminalisasi
juga. Dan bukan sedikit pejabat-pejabat dari BPN yang dikriminalisasi karena
memberikan satu sertifikat di atas kawasan hutan negara.
Problematik yang ada sekarang sebenarnya mengacu pada suatu prinsip apakah
pejabat publik atau pemegang kekuasaan negara itu punya kesediaan untuk mengakui
eksistensi masyarakat hukum adat yang otonomi dan pada satu pihak itu juga memberikan
kemungkinan bagi mereka untuk melanjutkan hidup berkenaan dengan penguasaan tanah
dan sumberdaya alam yang berada diatasnya, yang itu juga vital bagi kelestarian fisik dan
non-fisik masyarakat tersebut. Ini bukan hanya perjuangan keadilan sosial, ini perjuangan
kewarganegaraan yang diusir. Prinsip dasar penguasaan negara atas wilayah hutan negara
adalah kriminalisasikanlah masyarakat hukum adat yang berada dalam kawasan hutan
yang mau dikuasai oleh negara. Prinsip itu sudah berlaku sejak jaman kolonial. Menurut
Alm. Edhar Lauden, yang juga anggota Dewan Kehutanan Nasional, itu adalah hukum Dan ketika Undang-undang tidak bisa dijalankan, ada Perpu yang dapat dilakukan