• Tidak ada hasil yang ditemukan

Catatan kritis pemaparan oleh fasilitator, Usep Setiawan

Untuk Dian Patria (KPK)

a) Bagaimana KPK melakukan pengawasan dan monitoring dan kontrol terhadap 12 kementerian dan lembaga setelah renaksi tuntas disusun? Termasuk apa sanksi bagi menteri dan kementerian yang bandel?

b) Bagaimana formulasi kongkrit pelibatan CSO/masyarakat sipil dalam pengawalan da pengimplementasian NKB?

c) Apa harapan KPK terhadap DKN terkait pengawalan NKB?

Untuk Josi Khatrina (UKP4)

a) Bagaimana UKP4 memastikan 12 Kementerian dan Lembaga menjalankan renaksinya secara efektif? Fungsi UKP4 adalah memberikan pengawasan dan pengendalian, bagaimana posisi spesifik UKP4 terhadap implementasi NKB 12 K/L?

b) Posisi UKP4 sifatnya Ad Hoc dan akan berakhir masa pemerintahan ini di tahun 2014. Setelah 2014 UKP4 tidak jelas lagi baik secara eksistensi lembaga dan programnya. Bagaimana mengatasi transisi eksistensi lembaga UKP4 dan program-programnya?

c) Apa harapan UKP4 terhadap DKN berkaitan dengan NKB 12 K/L?

Untuk Bambang Soepijanto (Kemenhut)

a) Bagaimana Kemenhut berkoordinasi dengan Kemendagri dalam upaya mendorong Pemda? Koordinasi dengan Kemendagri sangat penting agar

keputusan MK bisa menjadi satu gerakan nasional antara kementerian kehutanan dan kemendagri khususnya supaya Pemda mengetahui, memahami dan memang terdorong untuk melakukan percepatan penetapan wilayah-wilayah adat atau hutan-hutan rakyat, atau pengakuan terhadap eksistensi satu komunitas masyarakat adat tertentu di wilayahnya.

b) Bagaimana Kemenhut berkomunikasi dengan masyarakat adat dan komunitas- komunitas lokal dalam implementasi atau tindak lanjut dari keputusan MK? Selain Pemda dan Kemendagri yang menaungi para Pemda itu, putusan MK ini akan secara langsung berpengaruh terhadap eksistensi masyarakat adat dan komunitas lokal yang bersentuhan dengan kawasan hutan. Di Jawa maupun di luar Jawa.

c) Apa harapan Kemenhut atas DKN untuk berperan dalam mengawal tindak lanjut putusan MK?

Untuk Noer Fauzy Rachman (SAINS)

Nur Fauzi diharapkan bisa menanggapi respon para narasumber, serta memberikan penajaman-penajaman yang nantinya bisa mengarahkan presidium DKN untuk membuat sesuatu yang kongkrit, dari NKB maupun putusan MK.

Respon Narasumber a). Dian Patria (KPK)

Fungsi kontrol yang selama ini KPK lakukan dalam konteks NKB adalah saran perbaikan pada Kementerian/Lembaga dan pemantauan atas implementasi saran perbaikan. Ada juga fungsi pencegahan terhadap pelaporan LHKPN, pelanggaran negara dan pelaporan gratifikasi. Khusus terkait NKB, KPK bersama-sama UKP4 menggunakan tools aplikasi webbased F8K (Formulir 8 kolom).

Kementerian/Lembaga setiap 3 bulan melaporkan progressnya. Ada kesepakatan dengan masing-masing K/L tentang target-target yang akan dilakukan 3 tahun kedepan. Itu masuk dalam webbased dan tiap 3 bulan melaporkan bukti

pendukungnya, misalnya peraturan yang baru atau dokumen yang lain. Kemudian tim Monev KPK melakukan pemantauan di lapangan.

Persoalannya, SDM KPK sangat terbatas. Litbang KPK yang mengurus NKB hanya dua orang. Oleh karena itu, dibutuhkan pelibatan-pelibatan CSO, pakar dan NGO. Misalnya dalam melakukan verifikasi dokumen-dokumen yang disampaikan pada KPK, kelengkapannya, substansinya, keterlibatan CSO, pakar, dan NGO sangat membantu KPK melihat apakah peraturan-peraturan yang disampaikan ke KPK menjawab saran perbaikan. Menjawab Renaksi. Karena bisa jadi, renaksi kita dijawab tapi ada jebakan-jebakan di dalamnya yang luput. DKN adalah salah satu CSO yang bisa diajak bekerjasama karena DKN memiliki 5 kamar dan punya 5 perspektif.

KPK dalam pemantauannya menggunakan mekanisme berbasis web dan ada pelibatan pakar. KPK dibantu 10 pakar, termasuk Prof. Dr. Hariadi Kartodiharjo dan Noer Fauzi Rachman, PhD. Keterlibatan pakar bertujuan untuk memastikan KPK tidak melenceng. KPK adalah lembaga yang mengurusi pemberantasan korupsi, bukan mengurusi kehutanan. Jadi, KPK berharap sisi governance-nya di sektor kehutanan dibantu oleh pakar.

Ada dua kebutuhan KPK baik untuk keluar maupun untuk kepentingan ke dalam. Untuk ke dalam, informasi diolah jika memang ternyata K/L-K/L-nya ada yang bandel. Informasi yang didapatkan mungkin bisa ditangani oleh bagian penindakan KPK.

Peran DKN, DKN memiliki 7 region dengan 5 kamar. Saat ini 12 K/L juga Selain F8K, KPK juga melaunching IMH (Indonesia Memantau Hutan). Sistem itu akan dibuka ke publik dan media sehingga CSO atau NGO bisa memberikan masukan atau informasi bahwa peta kawasan hutan atau ijin suatu kawasan hutan tertentu sedang bermasalah dsb.

akan dibagi disepakati dalam prioritas-prioritas untuk dikerjakan bertahap secara bersama-sama. Ini sudah dimulai oleh teman-teman UKP4 yang sudah memiliki lokasi implementasi karena mungkin prasyarat-prasyarat di sana sudah lebih lengkap. Itu bisa menjadi prioritas lokasi untuk implementasi NKB. Atau mungkin ada tempat- tempat lain, tentu saja dengan melihat kekuatan dan sumberdaya yang ada di KPK.

b). Josi Khatarina (UKP4)

UKP4 dalam hal ini pemantau program, sudah memiliki sebuah sistem establish karena selama ini yang dipantu UKP4 bukan hanya NKB tapi juga berbagai prioritas nasional. Sudah banyak INPRES yang ada selama ini dengan cara yang terukur dimana Kementerian dan Lembaga itu semuanya menyampaikan laporan berdasarkan format 8 kolom, setiap 3 bulan dan menyampaikan dokumen-dokumen pendukung melalui sistem wholecase. Setelah itu baru diberi catatan. Mekanisme pelaporan UKP4 langsung ke presiden. Raport Merah adalah mekanisme monev yang ada di UKP4 dan sudah establish.

UKP4 hanya ada pada masa pemerintahan saat ini. UKP4 bukan

penanggungjawab program tetapi lebih kepada pengawasan. Implementator adalah masing-masing K/L. Fungsi pengawasannya sendiri saat ini sedang dalam masa transisi ke Bappenas, sesuai dengan INPRES 1/2013 tentang Pemantauan yang dilakukan oleh Bappenas, format 8 kolom ini yang digunakan oleh Bappenas, sehingga bisa langsung dimanfaatkan di kemudian hari. Tugas dan Fungsi pengawasan akan dilakukan oleh Bappenas setelah tahun 2014. Sementara itu berbagai kegiatan, misalnya percepatan pengukuhan kawasan hutan, yang menjadi penanggungjawab utama di tingkat nasional adalah Kemenhut. Ini hanyalah komitmen untuk saling sama-sama belajar aspek-aspek mana dalam proses pengukuhan kawasan hutan yang perlu untuk diimprove. NKB merupakan exit

strategy bagi UKP4 karena masa hidup NKB lebih panjang dibandingkan UKP4.

Berbagai program di UKP4 akan diupayakan masuk ke dalam NKB. Sejauh ini sebagian sudah masuk ke dalam NKB.

c). Bambang Soepijanto (Dirjen Planologi Kemenhut)

Dalam upaya mendorong Pemda, Kemenhut melakukan pertemuan- pertemuan dengan Pemda. Kemenhut sudah 3 kali meeting dengan Dirjen yang

DKN diharapkan bisa terlibat dalam proses perencanaan, dalam proses pelaksanaan maupun proses monev. Diharapkan dari forum DKN bisa didapatkan input untuk pelaksanaan NKB.

membidangi untuk membicarakan langkah-langkah kedepan. Persoalan kesepakatan pengukuhan dilakukan secara sistemik. Karena di Kehutanan hampir seluruhnya

concruent authority. Ketika tata batas diserahkan kepada pemerintah daerah 5 tahun

hanya bisa 7000. Ketika sudah ditarik ke sini, setiap tahun 3000. Akhir tahun 2014 akan diselesaikan 63.000. Tahun ini akan diselesaikan 19.000 km lari dan tahun depan 20.000 km lari. Tapi yang namanya tata batas tidak akan pernah selesai, karena selalu ada perubahan karena dinamika tata ruang 5 tahunan, parsial, permohonan pelepasan, dan permohonan pinjam pakai.

Kehutanan unik karena istilahnya macam-macam; pengelolaan, pelepasan, pemanfaatan, penggunaan. Oleh karena itu Kemenhut bersama Pemda menyepakati bahwa sekarang de Jure menurut PP 38, yang mengukur adalah tim Kemenhut tapi yang memegang jabatan Bupati. Ngga bakal selesai kalau Kementerian dalam negeri tidak bisa menyelesaikan, membantu ada edaran pada Bupati-Walikota untuk menyelesaikan itu. Kalau Bupati rapat dan tidak datang, berita acaranya batal. Oleh karena itu perlu ada penyederhanaan yaitu Berita acara bisa dikuasakan Butapi kepada siapa yang menghadiri. Jika tidak begitu, penentuan tata batas tidak akan selesai. Jadi yang mengukur adalah pihak Kemenhut, biaya juga dari Kemenhut, tata batasnya oleh Bupati dengan timnya. Oleh karena itu Kemenhut sudah berkoordinasi sebelum putusan MK tentang masyarakat hukum adat. Sekarang lebih intens pada tataran menteri dalam upaya mendorong lahirnya Perda. Di tataran eselon 1 dan 2 sudah jalan.

Kemenhut adalah pemerintah yang punya policy, tidak hanya policy statement tapi juga policy decision. DKN diharapkan bisa memberikan masukan dalam rangka reformulasi policy.

Putusan MK adalah policy decision maka dalam ekonomi politik kebijakan publik, state harus kuat tapi tidak dominan. Yang dilakukan adalah rekonstruksi policy, bukan dekonstruksi. Tidak perlu juga konstruksi karena policy sudah ada, maka direkonstruksi policy itu mengacu pada putusan MK. Kita bicaranya rule of the game. Yang disampaikan oleh pak Noer Fauzy di atas tadi ada 3 hal persoalan yaitu sosiologi hukum, sosiologi konflik, atau masalah reformasi kebijakan. Seharusnya tidak demikian. Begitu ada policy decision yang baru maka Kemenhut sebagai

Berkaitan dengan sosialisasi putusan MK, Pemerintah telah membentuk tim untuk melakukan sosialisasi dengan masyarakat adat dan lokal tentang substansi dan langkah-langkah yang akan ditempuh Pemerintah. Proses Sosialisasi ini tidak sederhana karena tim sosialisasi harus paham betul akan content dan situasi yang dihadapi.

masalah klaim kawasan dan konflik, urusannya jadi berbeda. Tidak semua disebut konflik. Ketika belum jelas persoalan hak, sebutannya adalah klaim kawasan. Situasi dimana satu kelompok merasa punya hak, berhadapan dengan administrasi bukan hak, itu disebut dengan konflik. Tapi ketika hanya merasa memiliki kawasan hutan, itu disebut dengan klaim kawasan. Klaim kawasan bicara sosisologi hukum, konflik bicara resolusi konflik. Klaim dan konflik adalah dua hal yang berbeda.

Putusan MK, langkahnya adalah rekonstruksi kebijakan untuk implementasi. Tidak perlu lagi bicara latar belakang yang ruwet karena sudah putusan MK, sehingga harus dilakukan oleh Pemerintah. Bahwa ada sejarah yang buruk, iya. Justru di situlah puncaknya adalah menguji konstitusional di MK. Bahwa ada hal-hal yang perlu disosialisasikan, benar. Tapi yang dilakukan pemerintah dalam welfare state ini adalah merekonstruksi kebijakan yang ada. Tidak ada lain. Tidak akan ngawur- ngawuran. Ini ilmiah. Kalau ada masalah diselesaikan dengan putusan MK. Kalau Perdanya memang menyatakan bahwa konsesi itu wilayah masyarakat adat, maka harus dilakukan revisi atas area bukan ijin. Akan tetapi hal itu harus diuji terlebih dahulu. Jika tidak demikian, negara ini akan jadi bukan negara hukum. Di sini state harus kuat tapi tidak dominan. Jika state tidak kuat maka yang terdorong adalah sosialisme modern. Itu tidak boleh ada di negeri ini. Negara harus berpikir

kesejahteraan tapi dalam koridor negara hukum dan dalam bingkai NKRI. Jika mau baik di depan publik maka harus benar di depan hukum. Kalau tidak benar di depan hukum maka tidak perlu baik di depan publik.

d). Noer Fauzi Rachman (Direktur Eksekutif SAINS)

DKN adalah satu channel bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, pengusaha, pemerintah, akademisi dan pemerhati/LSM agar masuk menjadi bagian dalam proses penyusunan kebijakan. Putusan MK ini sudah direspon dan akan terus direspon melalui proses sosial, diantaranya plangisasi yang dilakukan oleh AMAN dan rasa bahagia para kesultanan karena dengan adanya putusan MK ini mereka bisa melakukan klaim atas tanah-tanah mereka. Sejumlah Pemda-pun bekerja keras dan cepat untuk menetapkan wilayah-wilayah masyarakat hukum adat. Kesemua itu perlu masuk ke dalam proses kebijakan Kementerian Kehutanan.

Jika Perda menetapkan suatu kawasan sebagai wilayah hukum adat maka itu adalah hak masyarakat adat, dan yang berada di dalam wilayah hukum adat adalah hutan adat. Hutan adat adalah bukan hutan negara sebagaimana putusan MK kendati UU 41 belum dilakukan revisi tapi berlaku sejak diundangkan pada sidang paripurna.

Contoh-contoh respon tersebut diantaranya intensifikasi konflik antara masyarakat adat dengan pemegang konsesi, intensifikasi pembuatan perda kabupaten, intensifikasi hidupnya kembali pembentukan masyarakat hukum adat dalam bentuk kerajaan/kesultanan serta klaim wilayah adatnya, dan terjadi post-mobilitasi. Respon- respon tersebut harus masuk ke dalam proses kebijakan. Tanpa perlu khawatir dengan koridor NKRI, kelompok-kelompok ini sebelumya secara sosiologis dianggap sebagai bukan bagian dari yang dilindungi ketika keputusan-keputusan konsesi diberikan, dan terjadi kekerasan-kekerasan terhadap mereka atau kriminalisasi. Mereka yang telah dikriminalisasi di masa lampau mengalami rasa luka yang besar. Kini mereka mengambil sikap untuk protes atau sebagian lagi menghindar dan menjadi perambah lahan.

DKN sebaiknya punya pemetaan respon-respon itu di masing-masing region kemudian pemetaan itu masuk ke kebijakan nasional. Posisinya sudah bisa diketahui dimana ujungnya adalah keluarnya hutan adat dari kawasan hutan negara, tinggal bagaimana itu bisa berlangsung di dalam suatu mekanisme yang secara pegangan belum ada. Karena kedekatannya dengan problematik tersebut Kemenhut perlu membuat mekanisme bagaimana putusan MK dijalankan, kemudian bekerjasama dengan BPN, BIG, dan Pemda dan Kemendagri. DKN bisa bekerja membuat suatu proses bagaimana fakta sosiologis bisa naik ke dalam proses-proses kebijakan. Konflik-konflik yang ada di masyarakat membutuhkan mekanisme penyelesaian konflik. Klaim-klaim adat atas wilayah konsesi banyak terjadi, mulai dari yang proyek raksasa hingga ke skala unit. Apa yang dikerjakan oleh KPK dan NKB dapat memfasilitasi proses koordinasi di antara ke-4 kelembagaan itu. Kami masih akan terus bekerja bagaimana keempat lembaga nasional ini bisa bekerja menjamin bahwa terdapat suatu mekanisme yang mewadahi supaya putusan MK punya jalur dan menjadi implementasi yang nyata dan berefek nyata pada status dari penguasaan tanah masyarakat-masyarakat adat.

8. Diskusi dan pendalaman materi

Dokumen terkait