a). Pengantar oleh Ketua Presidium DKN, Hariadi Kartodihardjo • Dokumen pendukung sidang Kamar
DKN juga harus meningkatkan pengalamannya memediasi kasus konflik menjadi pengalaman mengelola teritorial. Dari kasus ke teritorial. Oleh karena perlu dilihat lagi cara manajemen pengelolaan konflik yang selama ini dijalankan di 7 region DKN.
– Handout presentasi pemaparan workshop;
– Draft Naskah Kebijakan DKN: Penataan Kawasan Hutan bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional; masalah kebijakan dan peran DKN; – Tiga Lampiran NKB 12/KL;
– Detail Rencana Aksi detail;
– Garis Besar Haluan Kehutanan (GBHK), yang merupakan hasil rumusan pada saat kongres kehutanan Indonesia ke-5. GBHK berisi cakupan mandat yang diamanatkan oleh kongres. Ada 10 aspek yang dirumuskan di dalam kongres Kehutanan Indonesia ke-5 tahun 2011.
– Surat-surat berkaitan dengan intervensi World Bank. Ketua presidium dan perwakilan tiap kamar akan melakukan pertemuan dengan World Bank untuk membahas sikap DKN terhadap hubungan kerjasama dengan World Bank. Ini dalam rangka mengembalikan DKN sesuai dengan statutanya.
• Hasil sidang kamar
– Diinput langsung ke dalam naskah draft kebijakan;
– Catatan-catatan penting untuk ditambahkan ke dalam naskah kebijakan; – Follow up dari KPK dan DKN berkaitan dengan implementasi NKB 12
K/L.
• Sidang dipimpin Ketua Kamar, dibantu sekretaris • Substansi yang didiskusikan dan dirumuskan:
– Apa pandangan masing-masing kamar terhadap keberadaan NKB 12 K/L, dan Putusan MK 35/2012 ?
– Apa saja masukan substansi dan strategis kamar terhadap 3 kelompok Renaksi NKB 12 K/L ?
– Apa saja kegiatan yang penting dijalankan oleh kamar atau komisi dan DKN secara keseluruhan ?
• Setiap kamar menyiapkan:
– Bahan presentasi (power point); – Mempresentasikan hasil sidang kamar.
Pembagian Kamar
1. Kamar Pemerintah (Ketua: Agus Yustianto) 2. Kamar Masyarakat (Ketua: Leonard Imbiri) 3. Kamar Akademisi (Ketua: Hariadi Kartodhardjo) 4. Kamar Bisnis (Ketua: Agus Wahyudi)
b). Pembekalan oleh Noer Fauzi Rachman
Renaksi NKB 12 K/L tidak mempertimbangkan putusan MK karena pada saat itu belum ada. Naskah lampiran ketiga NKB 12 K/L tentang Resolusi Konflik belum mempertimbangkan putusan MK. Maka naskah ini memiliki bentuk khusus karena ada konflik antara konsesi, Kementerian Kehutanan, dan masyarakat hukum adat. Konflik tersebut akan berlangsung di lapangan dan diperkirakan memiliki intensitas yang lebih besar.
Putusan MK seperti memberi isi bahwa akan ada jenis konflik melalui mana status dari masyarakat hukum adat menjadi lebih kuat karena dia akan keluar dari hutan negara. Padahal hutan negaranya sebagian sudah ada di dalam kawasan- kawasan konsesi kehutanan. Konsesi kehutanan dapat berbentuk konsesi hutan produksi seperti HPH, bisa hutan tanaman, bisa hutan konservasi, bisa juga konsesi restorasi ekosistem.
Butir-butir yang dibicarakan di dalam sidang kamar 1. Pandangan DKN atas konflik yang akan terjadi;
2. Pandangan DKN atas konflik yang akan diurus oleh DKN; 3. Rencana Kerja DKN.
B. Hari Kedua
Pleno Pemaparan Hasil Sidang Kamar 1. Kamar Masyarakat
Peserta Sidang Kamar Masyarakat a) Leonard Imbiri;
b) Yanes Balubun; c) Jomi Suhendri; d) Sungging Septivianto; e) Andreas Lagimpu.
Input Draft Kebijakan DKN Terkait NKB 12/KL
a) Proses pelaksanaan program percepatan pengukuhan kawasan hutan/ NKB 12 KL (dasar : putusan MK No.45/2011) harus selaras dengan upaya implementasi keputusan MK No.35/2012 tekait dengan status hutan adat.
b) Proses pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memperhatikan dan menghormati hak perorangan dan hak komunal/pertuanan/ulayat terkait dengan hutan adat sesuai putusan MK No.35/2013.
Yang bisa dilakukan DKN dalam kaitannya dengan KPK adalah membuat resolusi konflik menjadi bagian yang diusulkan untuk dijadikan topik
interaksinya. Masing-masing kamar memiliki andil khusus karena merupakan channel bagi tiap konstituennya.
c) Penggunaan kalimat “masyarakat perlu membuktikan hutan adatnya”,
merupakan bagian dari proses penetapan kawasan hutan adat yang berbelit dan mempersulit masyarakat adat untuk menguasai dan mengelola kawasan hutannya. d) Perlu diatur dengan PP yang memungkinkan pemerintah memfasilitasi dan
mendanai proses penetapan hutan adat.
e) Peta kawasan hutan adat adalah salah satu alat dan bukan satu-satunya alat dalam membantu identifikasi kawasan hutan adat.
f) Perumusan kebijakan kehutanan dalam kaitan dengan pengukuhan kawasan hutan secara khusus hutan adat di provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat haruslah merujuk pada UU otonomi khusus Papua dan Aceh.
g) Penunjukkan kawasan hutan pada pulau-pulau kecil yang akan dikukuhkan perlu dikaji dengan mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan budaya masyarakat setempat.
h) Rumusan Materi pokok dan peran bagi masyarakat adat/lokal pada halaman 4 dan aktifitas pada halaman 5 perlu dirumuskan kembali dengan mempertimbangkan keputusan MK No.35/2013.
i) Pada bagian peran masyarakat adat/lokal (halaman 4 & 5) perlu memasukkan posisi BUMN Kehutanan (Perum Perhutani,Inhutani) sebagai pihak yang selama ini juga mendapatkan alokasi besar dalam pengelolaan hutan.
j) Pada halaman 6 perlu memasukkan peran UKM kehutanan yang telah memiliki konstribusi positif melalui hutan tanaman/hutan rakyat, namun belum
mendapatkan perhatian yang baik melalui kebijakan pemerintah.
k) Dalam kluster renaksi (gambar 1. hal 5) perlu memasukkan upaya perluasan pencadangan kawasan hutan untuk HTR, HKM dan Hutan Desa.
l) FIP/DGM akan mencapai kesetaraan dan legitimasi jika rancangan, implementasi dan alokasi berbagai manfaatnya mencerminkan kebutuhan dan aspirasi di tingkat nasional dan subnasional.
Berkaitan dengan penanganan konflik, perlu;
1) memperkuat sistem yang telah dimiliki DKN (komisi mediasi konflik,
mekanisme dan protokol penanganan konflik, infrastruktur pengaduan berbasis Web based online/offline, jejaring sosial, SMS Center);
2) memperkuat koordinasi dengan pihak terkait terutama Kementerian Kehutanan; 3) memperkuat kapasitas mediasi konflik.
Tambahan Kamar Masyarakat
Leonard Imbiri: Dalam perumusan kebijakan, terutama peraturan perundang-
undangan, biasanya ada kalimat-kalimat yang kadangkala menjadi jebakan dan tidak memperhitungkan mekanisme internal atau kearifan lokal masyarakat adat dalam menentukan batas-batas wilayah. Kalimat “masyarakat perlu membuktikan tanah adatnya.” menurut kita itu adalah suatu bentuk penyangkalan terhadap keberadaan masyarakat adat di wilayah Republik Indonesia. Kami menyarankan kalimat seperti itu tidak digunakan karena secara hukum itu kadangkala mempersulit masyarakat dalam proses-proses pengurusan hak-haknya.
Dan itu tidak hanya pada pemanfaatan peta tapi juga dengan memperhitungkan bagaimana mekanisme lokal masyarakat dalam menentukan batas wilayah adatnya.
Diskusi dan Klarifikasi
Zulfikar (Kamar Pemerintah): saya mempertanyakan implementasi dari
pernyataan “tidak diperlukan pembuktian terhadap batas wilayah masyarakat hukum adat.” Pertama, saya informasikan bahwa kondisi masyarakat hukum adat di setiap wilayah Indonesia berbeda-beda, karena masing-masing memiliki sejarah yang berbeda. Kedua, kaitannya dengan peraturan perundangan. Keputusan MK masih mengiyakan yang 67, lalu diatur dengan Undang-undang, dan dalam konteks diatur dengan undang-undang itu pengertiannya, sesuai dengan peraturan perundangan.
Leonard Imbiri (Kamar Masyarakat): Dalam penjelasan teman-teman lebih
banyak berkaitan dengan proses-proses penataan yang dilakukan terhadap tanah/hutan adat.
Berkaitan dengan fungsi supervisi yang dilakukan KPK terhadap
implementasi NKB 12 KL, peran strategis yang perlu dilakukan DKN adalah memberikan masukan berupa informasi yang berkaitan dengan isu
kehutanan.
Apabila UU itu belum ada maka UU sebelumnya yang mengatur hal tersebut yang tidak berlawanan dengan substansi keputusan MK, masih berlaku. Dengan demikian maka tetap diperlukan pengakuan terhadap batas wilayah masyarakat hukum adat melalui Perda.
Kamar masyarakat mengusulkan agar penentuan hutan adat perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah yang memungkinkan pemerintah
Di sini masyarakat adat disuruh untuk membuktikan hutan adatnya, melalui peta tadi. Menurut kami itu adalah suatu kerja yang membutuhkan kapasitas yang besar dan dalam proses-proses hukumnya masyarakat adat akan mengalami satu proses yang berbelit-belit dan itu akan membawa dia pada posisi sekarang. Itu satu kekhawatiran setelah menginterpretasikan kalimat “masyarakat adat perlu membuktikan hutan adatnya.”
Kita tidak mengatakan “tidak membuktikan”, tapi penggunaan kalimat “masyarakat adat perlu membuktikan hutan adatnya.” dalam mekanisme, itu menyangkal posisi masyarakat adat dalam kaitannya dengan kearifan lokalnya menentukan batas-batasnya.
Zulfikar (Kamar Pemerintah): Saya menyarankan kita perlu memberi
perhatian khusus terhadap proses dan mekanisme di dalam Perda. Kita paham masyarakat punya kelemahan untuk melakukan pembuktian karena pembuktian butuh waktu, biaya serta berpotensi konflik. Perhatian khusus yang dimaksud adalah Pemerintah daerah dan DPR yang akan membuat Perda perlu ada persiapan dan perhatian khusus karena hal itu mengandung konsekuensi tertentu.
Usep Setiawan (Fasilitator): Poin pak Zulfikar adalah memang harus jelas
betul mengenai proses dan tatacara dalam penentuan mana yang disebut hutan adat dan mana yang bukan. Kita ingin memastikan bahwa proses penentuan wilayah adat betul-betul dijalankan dengan baik, dengan melibatkan banyak pihak, saling
bersinergi, dan tidak ada yang menegasikan satu pihak dengan pihak yang lain.
Leonard Imbiri (Kamar Masyarakat): Pertama, Perda untuk menentukan
mekanisme sangat penting. Kearifan lokal dalam menentukan batas perlu dimasukkan ke dalam perda sebagai satu bentuk mekanisme. Jika kearifan lokal tidak dipakai, masyarakat tidak akan memiliki kapasitas untuk itu.
Dalam pandangan kami bahwa, pertama, masyarakat adat memiliki kearfian lokal dalam menentukan batas wilayah. Peta bukan satu-satunya alat untuk menentukan batas wilayah masyarakat adat. Kedua, pembuktian tentang hutan adat tidak merupakan kerja masyarakat adat.
Kalau kearifan lokal dipakai, masyarakat akan jauh mempunyai kapasitas dalam mendorong proses-proses penenntuan batas wilayah adat. Mekanisme dari luar yang terlalu dipaksakan di luar mekanisme masyarakat adat, akan selalu membawa konflik baru bagi masyarakat.
Hasby: kekhawatiran Kamar Masyarakat sudah ada di NKB, bahwa sebelum
kita menetapkan kawasan atau wilayah hukum masyarakat adat, pertama kali perlu melakukan identifikasi. Identifikasi dilakukan melalui survey sosial yang melibatkan seluruh stakeholder. Disitulah kearifan lokal digunakan. Di dalam survey sosial, kearifan lokal bisa masuk untuk mengidentifikasi. Setelah itu menentukan batas-batas di lapangan.
David (Kamar Bisnis): di dalam pembuktian hutan adat, yang sering
dipikirkan adalah potensi konflik dengan perusahaan atau dengan pemerintah. Kalau di Kalimantan Timur ada hambatan ketidaksepakatan antara masyarakat adat itu sendiri. Tidak ada solusi untuk masalah seperti itu. Pemegang ijin terpaksa menunggu mereka menyelesaikan persoalan, bahkan pro aktif menghubungi Panglima Dayak dsb. Dalam perencanaan penataan kawasan hutan perlu dipikirkan mekanisme penyelesaian masalah jika terjadi ketidaksepakatan antar sesama kelompok masyarakat. Di Sumatera juga terjadi hal serupa. Ada beberapa areal di Sumatera terjadi overlapping klaiming, masyarakat yang berbeda merasa memiliki areal yang sama sehingga terjadi dualisme kepemimpinan masyarakat adat di wilayah yang sama.
Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): Pertama, kemarin kita
mendiskusikan sejarah keluarnya MK 45/2012. Putusan MK 45 dari sebuah proses penunjukan yang oleh MK menyatakan bahwa itu bertentangan dengan hukum sehingga harus dilakukan yang dinamakan pengukuhan. Menjadi pertanyaan diskusi kemarin adalah apakah pengukuhan itu akan dilakukan di atas wilayah-wilayah hasil penunjukan. Kalau itu dilakukan di atas wilayah hasil penunjukan, maka konflik akan terjadi, karena sejarah penunjukkan di masa lalu selalu bertentangan dengan hukum, selalu terjadi pelanggaran HAM, dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat.
Kalau memang dari pemerintah sendiri meyakinkan kita, masyarakat adat atau masyarakat lokal, bahwa proses pengukuhan kawasan hutan bukan serta merta di Setelah batas-batas di lapangan ada, barulah dipetakan. Jadi, tidak terbalik; dipetakan baru dibuktikan. Survey sosial yang mengakomodir kearifan lokal dalam mengindentifikasi wilayah bisa meminimalisir konflik antara
masyarakat adat dengan pemerintah juga antara masyarakat adat satu dengan yang lain.
Dalam rangka kelancaran penataan hutan, jika terjadi konflik antar masyarakat adat, perlu ditentukan pihak mana yang akan menyelesaikan konflik tersebut.
atas wilayah-wilayah yang sudah mendapat penunjukan kawasan hutan, atau
pengukuhan kawasan hutan itu di wilayah baru yang diajukan oleh dunia usaha, maka mungkin mekanisme proses identifikasi itu bisa dilakukan secara terbuka dan secara partisipatif dengan masyarakat.
Kalau proses pengukuhan kawasan itu dilakukan lagi di atas kawasan hutan yang sudah ditunjuk, hanya untuk memenuhi sebuah syarat legalitas hukum, setelah MK menyatakan itu tidak sah, maka itu yang tidak kita inginkan. Akan menjadi persoalan karena itu berarti bahwa sudah dibayangkan proses mengindentifikasi semua pranata-pranata sosial untuk menentukan, mengeluarkan hak ulayat, mengeluarkan hak perorangan terkait dengan masyarakat-masyarakat lokal, itu pun juga akan menjadi persoalan. Untuk mengantisipasi konfliknya bisa menggunakan peran DKN.
Kedua, berkaitan dengan konflik antar masyarakat adat. Berdasarkan pengalaman kita, masyarakat adat memiliki kearifan untuk menyelesaikan konflik antar masyarakat adat. Tapi kalau tidak ada penyelesaian, ada intervensi dari oknum dunia usaha terhadap konflik itu. Oleh karena itu pemerintah harus memfasilitasi proses-proses penyelesaian konflik antar masyarakat adat agar semua pihak bisa duduk bersama-sama.
Dunia usaha juga memberikan ruang kepada masyarakat adat untuk masuk ke dalam wilayahnya untuk melakukan pemetaan wilayah adat, tanpa merasa takut akan dikeluarkan dari wilayah investasi, dan masyarakat adat juga terbuka menyatakan titik-titik penguasaannya secara adat.
Usep Setiawan (Fasilitator): Dua catatan kritis: mekanisme penanganan
konflik yang mungkin terjadi dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan proses identifikasi hutan-hutan adat harus disusun sedemikian rupa.
Marthen (Kamar Pemerintah): Pertama, percepatan proses penataan dan
pengukuhan kawasan hutan bukan satu-satunya alat untuk menyelesaikan konflik tenurial. Kamar masyarakat menyatakan proses itu harus melibatkan masyarakat. Mekanisme proses penentuan batas dirinci dengan baik karena ini sangat berkaitan dengan hukum. Berdasarkan pengalaman, di H-2 dilakukan proses inventarisasi trayek batas terlebih dahulu sebagai prakondisi untuk melakukan penataan batas.
Di Maluku, ketika terjadi konflik antar negeri, maka Latupati, Forum Raja- raja di kawasan itu yang akan rapat dan memutuskan penyelesaian konflik. Masyarakat adat harus diberi ruang untuk menyelesaikan konfliknya.
penataan batas kawasan dan Penentuan batas bukan satu-satunya alat untuk menyelesaikan konflik, terutama di Papua karena 200 suku menyebar merata di seluruh tanah Papua.
Kedua, bicara soal identifikasi hak-hak masyarakat adat harus dengan hati, tidak hanya dengan pikiran. Hati dan pikiran harus sinergis. Konflik kehutanan dan tenurial sudah berlangsung sangat lama dan basisnya hanya masyarakat dan pengusaha. Seharusnya Kemenhut harus ikut terlibat dalam penyelesaian konflik. Tidak bisa hanya mengandalkan Pemda. Penataan batas merupakan kata kunci, peta buka satu-satunya cara. Masing-masing kelompok masyarakat adat memiliki cara identifikasi kepemilikan hak ulayat yang berbeda-beda. Pengakuan kepemilikannya pun berbeda salah satunya berdasarkan sejarah perjuangan, seperti Papua.
Usep Setiawan: Implementasi NKB tidak diperuntukkan bagi penyelesaian
konflik tapi NKB punya kontribusi positif terhadap upaya-upaya penyelesaian konflik tenurial kehutanan. Noer Fauzy mengingatkan bahwa NKB punya potensi konflik karena terjadi tarik menarik kepentingan baik antar K/L, K/L dengan dunia usaha, dunia usaha dengan masyarakat, bahkan antar kelompok masyarakat. Dalam implementasi NKB ada tahapan-tahapan kritis yang harus disiapkan; mekanisme penyelesaian konflik.
Oding (Kamar Akademisi): Di Papua dan Maluku sebagian besar kawasan
hutannya berstatus hutan adat. Bisa jadi tidak ada hutan negara. Nanti kalau itu benar- benar terjadi, dengan berlaku putusan MK 35 maka potensi konfliknya sangat besar. Penting untuk mencermati dan menghilangkan potensi konflik itu.
Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): memperjelas poin memperkuat
koordinasi dengan pihak terkait terutama Kemenhut. Poin ini berkaitan dengan penangan konflik-konflik kehutanan.
Usep Setiawan (Fasilitator): identifikasi pihak terkait selain Kemenhut dalam
urusan penanganan konflik?
Sungging Septivianto (Kamar Masyarakat): ketika proses penangangan
konflik sudah berjalan dengan baik di awal, di pertengahan dan menjelang akhir proses biasanya Kemenhut berjalan sendiri dalam pengambilan keputusan. Salah satu contohnya yang ditangani di Sumatera. Ada upaya memperkuat koordinasi agar itu tidak terjadi lagi.
Leonard Immbiri (Kamar Masyarakat): menambahkan mekanisme lokal
dalam penanganan konflik.
2. Kamar LSM dan Pemerhati
Sekretaris : Ita Natalia Anggota : Paramita Iswari
Rafles Ahmad Zazali
Catatan dan Masukan
a) Lampiran 1; Harmonisasi kebijakan dan Peraturan Perundangan tabel hal 5 Renaksi Kementerian Kehutanan mengenai penyempurnaan aturan tentang pengukuhan kawasan hutan perlu penegasan mengenai: 1. Penerbitan aturan tentang STATUS kawasan hutan, 2. Penyempurnaan aturan terkait FUNGSI kawasan hutan.
b) Terkait dengan hal tersebut, pada lampiran 5, draft naskah kebijakan DKN perlu di tambahkan catatan kaki mengenai belum adanya SK penunjukan/penetapan terhadap STATUS KAWASAN hutan di Indonesia
c) Usulan; Tabel 5 pada draft Naskah Kebijakan DKN tidak perlu di cantumkan. d) Sebelum adanya kepastian hukum atas kawasan hutan sebaiknya revisi atas
RTRWP di tangguhkan karena belum ada kepastian legal mengenai kawasan hutan.Implikasi dari melanjutkan RTRWP akan melegalkan pemutihan pelanggaran.
e) Lampiran 3; Resolusi konflik. Terbangunnya konsensus penyelesaian konflik secara terpadu dan perlu ditetapkan penyelesaian konflik 1 pintu di kementerian atau lembaga terkait.
f) Lampiran 3 ; bagi konsesi yang belum tata batas penyelesaian konflik (hak pihak ke tiga/ hutan adat) diselaraskan dengan proses tata batas. Bagi konsesi yang sudah tata batas tapi masih ada konflik (hak pihak ke tiga/hutan adat)
penyelesaian dengan mekanisme dialog dan mediasi. Poin ini mendukung kerja- kerja di poin 5.
g) Secara khusus untuk KPK, perlu secara jeli menindak lebih lanjut kementerian atau lembaga yang mengabaikan renaksi NKB nya
h) Catatan khusus kepada Presiden, untuk memberikan sanksi kepada kementerian atau lembaga yang mengabaikan renaksi NKB yang ditetapkan
Pandangan umum terhadap Carut Marutnya Tata Kelola Kehutanan Di Indonesia
a) Dalam konteks Putusan MK 35/2012 & No.45/2012; Masalah kehutanan saat ini adalah sebagai masalah bersama dan masalah sektoral yang perlu perubahan cara
b) Inkonsistensi terhadap proses pengukuhan kawasan hutan yang telah ada selama ini sehingga diperlukan transparansi terhadap seluruh dokumen dalam
pengukuhan kawasan hutan (peta dan berita acara) sehingga dapat diverifikasi oleh publik.
Pandangan Kamar LSM/Pemerhati terhadap NKB 12 K/L
a) Partisipasi masyarakat sangat penting mengawal proses NKB K/L sampai ke tujuan.
b) Bahwa NKB 12 K/L bisa menjadi terobosan untuk mengatasi carut marutnya persoalan kehutanan dengan catatan semua pihak (pemerintah, CSO, masyarakat adat dan komunitas lokal, sektor usaha, akademisi) mengambil peran/bagian sesuai dengan fungsinya terkait dengan putusan MK ini.
c) Bahwa dalam upaya memperkuat Indonesia Memantau Hutan (IMH) menghimbau kepada semua pihak untuk mendukung upaya tersebut yang di fasilitasi KPK.
d) Memastikan transparansi dari setiap proses serta uji akuntabilitas terhadap output yang dihasilkan
Rekomendasi
a) Memastikan prinsip keadilan gender dalam NKB
b) Legalitas perijinan akan bermasalah ketika kepastian hukum belum ada sehingga moratorium menjadi alasan yang paling kuat.Ijin-ijin tidak diterbitkan di wilayah yang belum ditata batas menjadi hutan Negara, tidak dipertukarkan dan tidak dipinjamkan, sebagaimana penjelasan UUK pasal 12.
c) KPK bersama DKN membangun sebuah sistem monitoring yang transparan dan inklusif
d) Dalam upaya memperkuat Indonesia Memantau Hutan IMH) menghimbau untuk mendukung bentuk pemantauan hutan yang di fasilitasi KPK. Tidak harus semua melalui DKN, bisa juga bentuknya himbauan untuk memperkuat IMH yang difasilitasi KPK. Secara explicit kita biulang yang difasilitasi
e) KPK bersama DKN mendiseminasikan hasil NKB 12 K/L dan rencana aksinya seluruh wilayah di Indonesia, termasuk pulau kecil.
f) KPK bersama DKN melakukan peningkatan kapasitas terhadap masyarakat sipil untuk dapat memantau pelaksanaan NKB ini
g) Kementerian Kehutanan harus mempunyai desk terpadu untuk penyelesaian konflik kawasan hutan. Ini juga berlaku untuk Papua dan pulau-pulau kecil.
Dalam Tabel 5 pada naskah Kebijakan DKN, yang dijelaskan hanya fungsi saja. Sementara yang menyangkut status tidak dibahas sehingga tentang hutan negara, hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan rakyat, dll tidak ada kejelasan. Pernyataan bahwa bisa jadi di Papua tidak ada hutan negara, dikarenakan persoalan status yang tidak jelas. Dalam konteks fungsi, diasumsikan fungsi kawasan hutan merupakan hutan negara. Status menjadi isu yang penting. Hubungannya dengan moratorium dan kepastian hukum, aspek penetapan dengan memperhatikan aspek status menjadi sangat penting.
Momentum
Terkait dengan UU 41 banyak sekali terjadi kriminalisasi sehingga masyarakat adat menginginkan segera adanya amnesti terhadap kasus-kasus yang ada. Implikasinya adalah soal kepastian hukum kalau kita bicara mengenai hutan adat, aspek pengukuhan. Moratorium juga berimplikasi pada kepastian hukum. Kalau kepastian hukum ini dalam konteks mendukung NKB 12/KL maka revisi rencana RTRWP itu dalam konteks kepastian hukum.
Tambahan Kamar LSM
Rafles: Status kawasan hutan diatur dalam pasal 5 UU 41 sedangkan fungsi
kawasan hutan diatur dalam pasal 6 UU 41. Yang terjadi dalam aturan-aturan pelaksanaanya itu adalah mengacaukan istilah status dan fungsi di dalam Permen- Permen yang kemudian keluar.
Sama saja ketika kita mempersoalkan antara kawasan hutan dengan batas administrasi negara karena memang kepemilikan pasti dibagi habis. Kalau tidak dimiliki oleh rakyat, pasti dimiliki oleh negara. Sampai saat ini, dari 8 SK penunjukan kawasan hutan yang ada di pulau Sumatera, tidak satupun SK penunjukan yang mengatakan itu adalah status kawasan hutan, tapi fungsi kawasan hutan. Itu kenapa kita berani mengatakan bahwa ini tidak dilaksanakan. Mungkin paradigma ini yang perlu dilihat ulang. Artinya, sepertinya sudah ada penerjemahan-penerjemahan yang Dalam status kawasan hutan sebetulnya tidak perlu adanya PU 45 maupun PU 35 kalau mandat ini dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan. Karena