BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Pengertian Halitosis
Halitosis berasal dari bahasa latin, halitus (nafas) dan osis (keadaan) yang
diartikan sebagai bau nafas tak sedap yang keluar dari mulut dan dapat melibatkan
kesehatan dan kehidupan sosial seseorang. Sumber halitosis dapat berasal dari mulut,
nasofaring atau bagian tubuh lainnya, namun dilaporkan penyebab kasus halitosis
lebih banyak dari rongga mulut (Gayford dan Haske, 1993; Jens & Peter, 2005;
Kapoor,et al., 2011).
Halitosis bukanlah suatu penyakit, halitosis hanya gejala dari suatu kelainan,
atau penyakit yang tidak disadari. Namun demikian, penderita halitosisakan sangat
mengganggu orang disekitar atau lawan bicaranya, sehingga mengganggu komunikasi
dan menimbulkan dampak negatif dalam hal berinteraksi sosial (Loesche, 2011;
Kapoor,et al., 2011).
Sebenarnya banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan bau mulut atau
nafas tak sedap yang berasal dari udara yang dikeluarkan oleh seseorang.Ada
beberapa istilah yang digunakan di dunia ilmiah atau di kalangan masyarakat awam
sehari-hari. Istilah-istilah tersebut antara lain halitosis, fetor oris, fetor ex ore, nafas
tak sedap, oral malador, bad breath, dragon breath, danjungle mouth.
Beberapa ahli menggunakan istilah halitosis untuk bau yang berasal dari
faktor-faktor sistemik, sedangkan Fetor Ex Ore atau Fetor Oris digunakan untuk bau
yang berasal dari hidung atau mulut (Lenton, 2011).
2.2Klasifikasi Halitosis
Secara umum, halitosis dibedakan atas 3 jenis yaitu halitosisgenuine, pseudo
dan halitophobia.
Halitosis ini adalah halitosis sejati atau halitosis sebenarnya.Halitosis tipe ini
dibedakan lagi atas halitosis fisiologis dan patologis (Yaegaki & Coil, 2000).Halitosis
fisiologis sering juga disebut halitosis transien atau sementara. Bau tidak sedap yang
ditimbulkannya akibat proses pembusukan makanan pada rongga mulut, terutama
berasal dari bagian posterior dorsum lidah, terbatas, dan tidak menghambat penderita
untuk tetap beraktivitas secara normal serta tidak memerlukan terapi khusus.
Kadang-kadang disebut juga sebagai „morning breath‟, yang lebih ditekankan pada masalah kosmetik daripada masalah yang berkaitan dengan kesehatan.Sebaliknya, halitosis
patologis bersifat permanen, dan tidak bisa hilang hanya dengan metode pembersihan
yang biasa sehingga menyebabkan penderita harus menghindar dari kehidupan
normalnya (Donaldson, et al, 2007).Halitosis tipe ini harus dirawat dan perawatannya
bergantung pada sumber bau mulut itu sendiri. Sumber penyebab halitosis patologis
dibedakan atas:
Intra Oral: Kondisi patologisnya berasal dari dalam rongga mulut dan/atau bagian
posterior dorsum lidah.
Ekstra Oral: Kondisi patologis berasal dari luar rongga mulut (misalnya, saluran
pencernaan, saluran pernafasan, gangguan sistemik, dan lain-lain).
2. Halitosispseudo
Halitosis ini disebut juga halitosis palsu, yaitu halitosis yang sebenarnya tidak
terjadi tetapi penderita merasa bahwa mulutnya berbau. Seseorang terus mengeluh
adanya bau mulut tetapi orang lain tidak merasa orang tersebut menderita halitosis
(Jens & Peter, 2005).
3. Halitophobia
Apabila setelah berhasil dilakukan perawatan terhadap halitosisgenuine
maupun halitosispseudo, penderita masih tetap merasa mulutnya berbau, maka orang
2.3Faktor Etiologi
Etiologi dari bau mulut dapat bersumber dari 2 tempat, yaitu:
1. Faktor intra-oral a. Bakteri
Dalam kebanyakan kasus (80-90%), bakteri yang hidup di dalam mulut adalah
salah satu penyebab bau mulut. Tempat-tempat yang biasa ditempati hidup bakteri
antara lain:
1. Lidah
Daerah lidah yang paling banyak ditempati bakteri adalah bagian posterior
karena pada daerah ini terdapat plak gigi yang merupakan tempat ideal untuk
bakteri.Tekstur permukaaan lidah menentukan penimbunan plak. Penderita dengan
lidah yang bercelah dan beralur dalam akan lebih potensial untuk akumulasi plak
dibandingkan dengan lidah penderita yang permukaannya lebih licin (Nachnani,
2008).
2. Batas gusi dan interdental
Daerah batas gusi baik di sekeliling dan di antara gigi merupakan lingkungan
anaerob yang ideal untuk pertumbuhan bakteri terutama pada penderita dengan
penyakit periodontal (Nachnani, 2008).Beberapa bakteri yang menyebabkan halitosis
adalah bakteri jenis anaerob yaitu bakteri Bacteriodes forsythus, Porphyromonas
gingivalis, Prevotella intermedia, Peptostreptococcus mikro, Campylobacter rectus,
Fusobacterium nucleatum (Roldan, et al., 2003; Donaldson, 2005).
Bakteri anaerob dan banyak bakteri gram negatif dalam rongga mulut
mendegradasi protein dari sisa-sisa makanan, sel deskuamatif oral mukosa, protein
saliva, leukosit, plak, dan pembusukan microbial untuk menghasilkan asam amino.
Terdapat tiga asam amino utama yang menghasilkan gas VSC, yaitu L. cysteine
(CH3)2S. Bau dari gas VSC hampir 90% terdiriatas hidrogen sulfida dan methyl
merkaptan, sedangkan dimetilsulfida hanya sebagian kecil (Donaldson,
2005).Halitosis dihasilkan oleh bakteri yang hidup secara normal di dalam permukaan
lidah.Bakteri tersebut secara normal ada disana karena bakteri tersebut membantu
proses pencernaan manusia dengan cara memecah protein (Djaya, 2000). Spesies
bakteri yang terdapat pada permukaan oral dapat bersifat sakarolitik, yaitu
menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik
atau proteolitik, yaitu menggunakan protein, peptida atau asam amino sebagai sumber
utamanya (Loesche, 1997). Kebanyakan bakteri gram positif bersifat sakarolitik dan
bakteri gram negatif bersifat asakarolitik atau proteolitik (Djaya, 2000).Bakteri gram
negatif merupakan penghuni utama plak supragingival termasuk plak yang menutupi
lidah dan permukaan mukosa lainnya.Porphyromonas gingivalis dan prevotella
intermedia secara normal terdapat dalam plak supragingival dan sangat efektif dalam
pembentukan halitosis (Kleinberg, 1997). Peran Porphyromonas gingivalis dalam
halitosis adalah dengan memproduksi metil mercaptan (CH3SH) yang merupakan
salah satu komponen mayor dari gas VSC. Peran Prevotella intermedia dalam
halitosis adalah dengan memproduksi hidrogen sulfida (H2S) yang juga merupakan
salah satu komponen mayor gas VSC (Loesche, 2000).
Gambar 2.1.Porphyromonas gingivalis(Roldan, et al., 2003)
b. Penyakit periondontal
Penyakit periodontal merupakan penyebab kedua terbanyak bau mulut.
Biasanya timbul setelah usia 35 tahun. Pada penyakit periodontal, infeksi bakteri
tulang sekitarnya menyebabkan pembentukan periodontal pockets yang sulit
dibersihkan sehingga merupakan tempat ideal untuk bakteri (Koshimune, et al, 2003).
c. Xerostomia
Adanya cairan mulut membuat kita menelan.Setiap menelan kita membuang
bakteri, makanan dan debris.Kelembaban ini juga melarutkan dan membuang kotoran
yang diproduksi bakteri.Selain itu, saliva juga mempunyai senyawa yang dapat
membunuh bakteri dan menetralkan kotoran yang diproduksinya. Oleh karena itu
mulut yang mengalami kekeringan akan menimbulkan bau yang persisten
(Koshimune, et al, 2003; Ellis, 2009).
2. Faktor ekstra-oral
Sekitar 10% diperkirakan penyebab halitosis adalah faktor ekstra oral (Ellis,
2009).
1. Makanan/minuman
Makanan dapat menyebabkan bau mulut, dan yang terbanyak adalah bawang
merah dan bawang putih karena kadar sulfurnya yang tinggi. Minuman seperti kopi
juga dapat menyebabkan bau mulut. Makanan atau minuman ini akan dicerna
menjadi molekul-molekul yang beberapa diantaranya mempunyai bau.
Molekul-molekul ini akan diabsorsikan masuk ke dalam sirkulasi dan didistribusikan ke
seluruh tubuh. Ketika melalui paru-paru, beberapa molekul ini dilepas sehingga saat
kita menghembuskan nafas, nafas kita akan mengandung molekul yang berbau ini
(Koshimune, et al 2003).
2. Merokok
Kita sudah biasa mendengar istilah nafas perokok.Bau ini disebabkan oleh tar,
nikotin dan lainnya yang berasal dari rokok yang berakumulasi di gigi dan jaringan
mulut (lidah, gusi, dan sebagainya). Merokok juga akan mengeringkan jaringan mulut
sehingga mengurangi efek pencucian dan buffer oleh saliva terhadap bakteri dan
3. Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan juga mempengaruhi bau mulut karena beberapa obat
bisa menyebabkan kekeringan pada mulut (Trudie, 2011).
Tabel.2.1 Obat-obat yang menyebabkan kekeringan mulut (Trudie, 2011)
Agen sistem saraf pusat Lainnya
Antiparkinson Antihistamin atau dekongestan
Antipsikotik Antikolinergik
Narkotik Antihipertensif
Antidepresan
1. Gangguan saluran pernafasan
Gangguan saluran pernafasan meliputi gangguan saluran pernafasan atas
(sinusitis kronik, obstruksi nasal, abses nasofaringeal dan karsinoma laring) dan
gangguan saluran pernafasan bawah (bronchitis, bronkiektasis, pneumonia, abses
pulmonal,karsinoma paru).
2. Gangguan saluran pencernaan
Gangguan saluran pencernaan seperti penyakit fistula lambung dan ulser
lambung.
3. Penyakit sistemik
Penyakit sistemik bisa mempengaruhi bau mulut dan setiap
penyakit-penyakitnya mempunyai bau yang bervariasi atau khas.
2.4Mekanisme Terjadinya Halitosis
Dr. Joseph Tonzetich dari Universitas of British Columbia, Vancouver,
Canada adalah pelopor yang mengubah halitosis, menjadi suatu ilmu tersendiri.
Tonzetich bahwa gas/senyawa sulfur yang mudah menguap atau dikenal sebagai
Volatile Sulfur Compound (VSC) merupakan penyebab utama halitosis. Dr. Tonzetich
dan kawan-kawan telah berhasil menemukan senyawa gas VSC yang berbau tidak
reaksi-reaksi dari bahan-bahan yang ada di dalam mulut yang tidak mudah menguap,
khususnya protein dengan bakteri-bakteri anaerob yang ada didalam mulut.Beberapa
studi telah pula membuktikan bahwa gas VSC ini juga mengakibatkan gangguan
patologis maupun fisiologis terhadap jaringan-jaringan di sekitarnya. Menurut Dr.
Tonzetich, gas VSC yang mempunyai peranan utama terhadap terjadinya halitosis
adalah hydrogen sulfide (H2S), methyl mercaptan (CH3SH), dan dimethyl
mercaptan(CH3)2S.
Gambar 2.2. Reduksi asam amino menghasilkan gas VSC Cystine (-S-S)
Reduction
Desulphydration
H2S and Serine
Reduction Reduction Cysteine (-SH SH-)
Methionine (CH-S)
CH3SH
H2S dan CH4 Deamination
Decarbotion
CH3SH
2.5Parameter Halitosis
2.5.1VSC (Volatile Sulfur Compound)
Halitosis biasanya disebabkan oleh Volatile Sulfur Compound (VSC) yang
terdiri dari hydrogen sulfide (H2S), methyl mercaptan (CH3SH), dan dimetil sulfide
[(CH3)2S]. Sebagian besar dari komponen ini merupakan hasil produksi dari aktivitas
bakteri anaerob di dalam mulut, bakteri tersebut akan bereaksi dengan protein-protein
yang terdapat pada sisa makanan, cairan gingival, plak interdental dan saliva, lalu
protein tersebut diurai oleh bakteri menghasilkan asam amino, bakteri yang berperan
dalam produksi gas VSC umumnya adalah bakteri anaerob gram negatif yang bersifat
proteolitik, yang memerlukan protein untuk kelangsungan hidupnya, sehingga protein
akan dipecah oleh bakteri menjadi asam-asam amino (Fukui & Yaegaki,et al., 2008).
Kemudian asam amino mengalami degradasi menjadi asam amino yang
mengandung sulfur yang akan menghasilkan gas VSC. Terdapat 3 asam amino utama
yang menghasilkan gas VSC, yaitu L. cysteine menghasilkan H2S, L. metionine
menghasilkan CH3SH, L. cistine menghasilkan (CH3)2S. Bau dari gas VSC hampir
90% terdiri dari Hidrogen sulfida dan Methyl mercaptan, sedangkan Dimetil sulfida
hanya sebagian kecil (Quirynen, 2003; Roldan,et al., 2003).
Gas VSC tidak saja dapat menghasilkan bau yang tidak enak tapi juga
berpotensi menjadi patogen untuk penyakit periodontal dengan cara berpenetrasi ke
dalam membran sel dan mengganggu metabolisme sel tersebut (Rosing,et al., 2002).
Pada penelitian sebelumnya dikatakan bahwa level gas VSC seseorang dalam mulut
berhubungan dengan kedalaman dari poket periodontal yang ada, jumlah gas VSC
akan bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah, kedalaman dan tendensi
perdarahan dari poket periodontal, namun demikian tidak semua kasus oral malodour
2.5.2Skor Organoleptik
Skor organoleptikdiperoleh dari hasil pengukuran organoleptik yang
dikalibrasikan. Hasil dinyatakan dengan skor (Qian & Yaegaki, 2007):
0 = bau mulut tidak terdeteksi
1 = bau mulut terdeteksi namun dianggap bukan halitosis
2 = halitosis ringan
3 = halitosis terdeteksi
4 = halitosis sangat terasa tapi masih dapat ditoleransi oleh operator
5 = halitosis berat hingga tidak dapat ditoleransi oleh operator
2.5.3 Tongue Coating score
Permukaan dorsum lidah adalah tempat utama bagi bakteri yang menimbulkan
gas VSC. Karena sifat papiler dari dorsum lidah dapat mendukung akumulasi bakteri
mulut.Tongue Coating merupakan bagian penting dalam mengembangkan bau mulut
tak sedap dari mulut (Nachnani, 2008).
Tongue Coating juga dipercaya sebagai salah satu daerah pembentuk gas VSC
pada manusia sehat.Tongue Coating terbentuk dari deskuamasi sel-sel epitel, sel
darah dan bakteri.Lebih dari 100 bakteri terdapat dalam sel epitel pada dorsum lidah,
dimana hanya 25 bakteri yang melekat pada setiap sel pada rongga mulut. Karena itu
Tongue Coating juga berperan dalam proses pembusukan sehingga dihasilkan gas
VSC (Yaegaki, 2007).
Skor dari Tongue Coating dapat diperoleh melalui perkalian dari skor
ketebalan Tongue Coating dengan skor area yang terdapat Tongue Coating menurut
(Nachnani, 2008). Skor untuk ketebalan ditunjukkan dengan nilai 0 = tidak terdapat
Tongue Coating, 2 = terdapat lapisan tipis Tongue Coating dengan papilla yang
masih dapat terlihat dan 3 = lapisan Tongue Coating yang tebal dan papilla tidak
terlihat (Tanaka,et al., 2003).Miyazaki, et al., 2006 mengatakan skor Tongue
Tongue Coating termasuk poket periodontal merupakan sumber utama
pembentukan gas VSC pada pasien penyakit periodontal dan berperan penting dalam
mempercepat pembentukan gas VSC. Pembuangan Tongue Coating dapat
mengurangi gas VSC (Yaegaki, 2007).
Pada sejumlah penelitian telah menemukan hubungan antara mekanisme
penghapusan Tongue Coating dan penurunan kadargas VSC, termasuk penurunan
tingkat metil mercaptan dan hidrogen sulfida namun penurunan ini bervariasi
tergantung pada perangkat yang digunakan untuk menghapus lapisan, yaitu sikat gigi
atau lidah scraper (Roldan, 2003).
Kelas 1. Coating menutupi 1/3 posterior
dorsum lidah
Kelas 2. Coating menutupi 2/3 dorsum lidah
Kelas 3. Coating menutupi seluruh lidah
Gambar 2.3.Tongue Coating Score (Yaegaki, 2007)
2.6Pengukuran Halitosis
Pengukuran halitosis yang paling utama dapat dilakukan dengan empatcara,
yaitu (Yaegaki, et al., 2000):
1. OrganoleptikMeasurement (OM)
Pengukuran dengan mencium langsung udara pernafasan yang terpancar dari
mulut.Subjek diinstruksikan untuk menutup mulutnya selama 1 menit dan bernafas
jarak kurang lebih 10 cm antara subjek dengan pemeriksa (Gambar 2.4) nilai
organoleptik diukur sebanyak 2 kali. Hasil penelitian berskala 0-5 yaitu:
0 = bau mulut tidak terdeteksi
1 = bau mulut terdeteksi namun dianggap bukan halitosis
2 = halitosis ringan
3 = halitosis terdeteksi
4 = halitosis sangat terasa tapi masih dapat ditoleransi oleh operator
5 = halitosis berat hingga tidak dapat ditoleransi oleh operator
Organoleptik measurement merupakan gold standard untuk mengukur bau
mulut karena banyak senyawa organik penyebab bau mulut yang tidak dapat diukur
menggunakan gas chromatograph atau pengukuran lainnya.Penilaian organoleptik ini
memiliki kekurangan di antaranya hasil dari penilaian ini kurang objektif, karena
adanya variabilitas antar pemeriksa Oleh karena itu, peneliti harus dikalibrasi terlebih
dahulu (Nachnani, 2008; Rosing, 2011).
Gambar 2.4. Pengukuran dengan organoleptik
2. Gas Chromatograph (GC)
Gas chromatograph terdiri atas dua macam, yang pertama dilengkapi dengan
Flame Photometric Detector (FPD) dan yang kedua dilengkapi dengan Semicondutor
FPD memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Pengukuran menggunakan
GC-FPD memberikan hasil pengukuran dengan tingkat reproduksibilitas yang tinggi dan
alat ini dapat mengukur kadargas VSC secara terpisah, sedangkan kekurangan alat
tersebut di antaranya adalah harganya yang mahal, diperlukan operator yang ahli
(tidak semua orang dapat mengoperasikan alat tersebut) dan tidak praktis. GC-SCS
memberikan hasil pengukuran yang akurat karena alat ini memiliki semiconductor
gas sensor (SCS) indium oxide (In2O3) yang sangat sensitif terhadap komponen gas
VSC, alat ini dapat mendeteksi masing-masing komponen secara terpisah. Ada tiga
zat yang dapat kita ukur, yaitu hidrogen sulfida (H2S), metil merkaptan (CH3SH),
dan metil sulfida [(CH3)2S].Jika terdapat H2S yang dominan pada udara di dalam
mulut, maka diduga terdapat penyakit periodontal. Sedangkan (CH3)2S meningkat
pada kondisi liver dan biasanya merupakan komponen minor dari gas VSC
(Gambar 2.5).
Gambar 2.5.Gas chromatograph
3. Monitoring Sulfida
Salah satu alat mengukur halitosis adalah halimeter.Halimeter merupakan alat
monitoring sulfida portable yang penggunaannya mudah dan sederhana, hal ini
sangat membantu dan dapat memberikan hasil bacaan gas VSC sampai ppb (part per
billion) seperti kemampuan hidung manusia (Gambar 2.6). Dengan menggunakan alat
ini, Miyazaki (1995), menemukan adanya hubungan antara gas VSC dan adanya
lapisan pada lidah (Tongue Coating). Selain itu, ia menemukan adanya hubungan
antara gas VSC dengan gingivitis dan penyakit periodontal. Sebelumnya, Yaegaki
dan Sanada (1992) telah melaporkan adanya hubungan ini dengan menemukan bahwa
gas VSC lebih banyak dijumpai pada kelompok yang menderita penyakit periodontal
(Miyazaki, 2006). Kelemahan alat ini adalah membutuhkan waktu untuk
mengkalibrasi kembali dan pengukuran tidak dapat dilakukan apabila
subjekmenggunakan alkohol atau minyak pewangi, dengan kata lain pengukuran
dapat berpengaruh jika subjeknya menggunakan parfum, hairspray, deodorant, dan
lain-lain (Nachnani, 2008; Ueno, 2008).
Gambar 2.6. Halimeter
4. Oral chroma
Alat ini adalah alat untuk mendeteksi halitosis yang cara penggunaannya
sederhana dilengkapi dengan sensor oksida semikonduktor baru diciptakan gas
indium (SCS) untuk mengukur konsentrasi gas VSC dalam mulut. Alat ini mengukur
senyawa hidrogen sulfida, dimetil sulfida, yang menjadi penyebab utama terjadinya
CH3(H2S). Sangat mudah digunakan dan hanya memerlukan delapan menit untuk
menganalisis sampel (Imazukita & Thurumi-ku, 2007)-(Gambar 2.7).
Gambar 2.7.Oral chroma
2.7Diagnosis Halitosis
Diagnosis halitosis perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab halitosis
melakukan tindakan pencegahan maupun perawatannya.Ada banyak metode yang
digunakan untuk menegakkan diagnosis halitosis.Cara sederhana yang biasa
dilakukan adalah dengan mengeruk bagian posterior dorsum lidah menggunakan
sendok plastik.Bau sendok kemudian dicium dan dibandingkan dengan bau lainnya di
dalam mulut (cit Pintauli & Hamada, 2008).
Yang juga umum dipakai untuk menentukan ada tidaknya halitosis adalah
dengan cara Breening: Pasien diminta mengatupkan bibir dan menghembuskan nafas
lewat hidung. Jika tercium bau, berarti penyebabnya di luar mulut atau sebaliknya.
Selain cara sederhana, ada tiga metode pengukuran halitosis dengan menggunakan
alat yaitu:
a) Pengukuran organoleptik.
b) Pengukuran menggunakan gas chromatograph(GC) dengan alat yang disebut
Oral chroma atau Refres-101, dan
2.8 Penatalaksanaan Halitosis
Halitosis pada dasarnya dapat dirawat atau dikontrol sehingga tidak
mengganggu seseorang dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya serta untuk
meningkatkan rasa percaya diri seseorang.Tugas seorang dokter gigi adalah untuk
membedakan bau mulut sebagai kelainan di dalam mulut atau di luar mulut.Oleh
karena itu penatalaksanaan halitosis tergantung pada faktor penyebabnya.Bila
disebabkan kelainan dalam mulut, umumnya terjadi akibat sisa-sisa makanan yang
membusuk oleh bakteri karena kebersihan mulut yang buruk (Scully, 2008; Trudie,
2011).
Tugas dokter gigi adalah untuk membedakan bau mulut sebagai kelainan di
dalam atau diluar mulut. Berbagai cara yang dianjurkan para ahli adalah :
1. Menyikat gigi
Sebaiknya gigi disikat dua kali sehari.Usahakan untuk menggunakan sikat
gigi dengan bulu sikat lunak dan kepala sikat yang kecil sehingga bisa menjangkau
semua area di dalam mulut.Setidaknya penyikatan gigi dilakukan selama 2 menit
terutama diperhatikan daerah pertemuan gigi dan gingival.Penyikatan gigi setidaknya
disertai dengan penggunaan pasta gigi yang mengandung fluor untuk mencegah
karies gigi sekaligus.
2. Membersihkan lidah
Tidak hanya gigi dan gusi saja, tetapi sebaiknya lidah disikat minimal satu
kali sehari.Apabila tidak menggunakan sikat gigi, maka gunakan pembersih lidah
untuk menyikat lidah oleh karena lapisan di bagian posterior dorsum lidah sering
merupakan sumber bau nafas yang tidak sedap.
3. Menggunakan benang gigi
Sebaiknya benang gigi digunakan satu kali sehari setelah menyikat gigi,
namun bila memungkinkan dilakukan dua kali sehari. Sebaiknya pasien bertanya
kepada dokter gigi tentang cara menggunakan benang gigi agar pembersihan yang
dilakukan lebih efektif. Biasanya, benang gigi dipotong dulu kira-kira sepanjang 40
ke celah di antara gigi dan ditahan dengan ibu jari agar kuat dan tidak lepas ketika
dilakukan gerakan seperti menggergaji.Tindakan ini dapat membersihkan celah gigi
yang sempit yang tidak dapat dicapai sikat gigi.
4. Menggunakan obat kumur
Obat kumur adalah larutan dengan rasa yang nyaman, mengandung
antibakteri dan berguna untuk menyegarkan mulut dan mouthwash adalah sediaan
cair dengan viskositas yang tidak terlalu kental dan tidak terlalu cair, dengan rasa
yang enak (Lee, 2010).
Karakteristik mouthwash yang ideal yaitu:
1) Membasmi kuman yang menyebabkan gangguan kesehatan mulut dan gigi
2) Tidak menyebabkan iritasi
3) Tidak mengubah indera perasa
4) Tidak menganggu keseimbangan flora mulut
5) Tidak meningkatkan resistensi mikroba
6) Tidak menimbulkan noda pada gigi
7) Pada dasarnya, di luar fungsi penyegar, mouthwash juga berfungsi:
1) Mencegah terjadinya pengumpulan plak
2) Mencegah dan mengobati gingivitis
3) Mencegah atau mengobati sariawan
4) Mengobati Candidasis (mouthwash yang mengandung khlorheksidin)
5) Membantu penyembuhan gusi setelah operasi pada rongga mulut
6) Menghilangkan sakit akibat tumbuhnya gigi
7) Mencegah atau mengurangi sakit akibat inflamasi
Ada berbagai jenis obat kumur, berikut adalah tipe-tipenya (Adlerova,et al.,
2008; Lee, 2010):
1. Obat kumur kosmetik
Obat kumur tipe ini didesain hanya untuk mengatasi bau mulut.Obat kumur
bersih, tetapi obat kumur ini tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi bakteri atau
plak.Oleh karena itu, obat kumur jenis ini tidak memproteksi gigi terhadap karies.
2. Obat kumur antiseptik
Obat kumur jenis ini dapat melakukan lebih dari sekedar mengatasi bau
mulut.Obat kumur jenis ini secara aktif memerangi plak dan memproteksi gigi dari
karies.Selain itu, obat kumur jenis ini direkomendasikan kepada pasien dengan
penyakit gusi.
3. Obat kumur fluoride
Obat kumur jenis ini diperuntukkan bagi mereka yang rentan terhadap karies
gigi karena obat kumur jenis ini membantu memperkuat enamel gigi.
4. Obat kumur natural/herbal
Obat kumur jenis ini bebas dari kandungan alkohol dan memiliki cara kerja
yang sama dengan obat kumur konvensional lainnya, membantu mengurangi bau
mulut, contohnya adalah ekstrak teh hijau, dan ada juga para ahli yang menyarankan
5. Obat kumur khlorheksidine
Obat kumur jenis ini adalah anti plak yang paling efektif dan anti
gingivitis.Namun penggunaan khlorheksidine dalam mengatasi halitosis belum
banyak dipelajari. Hal ini bisa saja dikarenakan kebutuhan untuk penggunaan jangka
panjang dari khlorheksidine pada konsentrasi yang biasa (0,2% dan 0,12%) bisa
menimbulkan efek samping seperti perubahan warna pada gigi (Rosenberg, 1992;
Roldan, 2003).
6. Obat kumur klorindioksida
Beberapa studi menunjukkan bahwa klorindioksida (ClO2) memiliki
kemampuan untuk mengoksidasi langsung gas VSC namun hanya efektif untuk
jangka waktu yang pendek (Roldan, 2003).
7. Cara-cara tradisional
Disamping cara-cara yang telah dijelaskan diatas, pada sementara masyarakat
dipergunakan pula cara-cara tradisional yang diyakini dapat menghilangkan
halitosisakan tetapi mekanisme kerjanya belum jelas dan merupakan kebiasaan turun
temurun. Cara-cara ini misalnya penggunaan tomato juice, anjuran mengunyah
parsley, makan chlorophyl, pemakaian ragi, ekstrak teh, di Jepang masyarakat
menggunakan sejenis rempah-rempah yang disebut “Kampo”, juga di Indonesia ada
yang menggunakan ramuan dari daun mangkokan (Mailina, 2007).
Di Timur Tengah, kapulaga adalah rempah yang telah digunakan
berabad-abad oleh masyarakat Timur Tengah. Rempah ini dikunyah seperti tembakau dan
digunakan dalam obat kumur, sabun dan shampoo.“Cineol” kandungan tertinggi
yang terdapat pada kapulaga merupakan antiseptik yang dapat membunuh bakteri dan
mengurangi bau mulut.Rasanya sedikit pedas, namun jika dijadikan obat kumur
terasa sejuk.Bahkan ini biasanya digunakan dalam pembuatan pepermint palsu
(Handayani, 2008).
Compactum solad ex maton, atau Elletaria cardamomum maton, termasuk familia
dari Zingiberaceal, mempunyai ciri-ciri berupa rumput tahunan dengan tinggi
mencapai 1.5 meter. Tumbuh bergerombol, batang semu, berupa daun tunggal,
bunga majemuk dan berbentuk bongkal di pangkal.Bagian yang digunakan adalah
buahnya yang berbentuk bulat, berlekuk dan berwarna putih.Biasanya buah kapulaga
digunakan sebagai bumbu pengharum masakan (Handayani, 2008).
Kapulaga kaya kandungan kimia, antara lain “terpinol” dan “alfaborneol”, “betakamper”, protein, gula, lemak dan silikat. Kapulaga memiliki rasa agak pahit dan hangat. Dari hasil penelitian, kapulaga terbukti memiliki aroma sedap sehingga
orang Inggris menganggapnya sebagai “grains of paradise”. Aroma sedap ini berasal dari kandungan minyak atsiri. Minyak atsiri ini mengandung lima zat utama, yaitu
“borneol” yang berbau kamper, “alfa-terpinilasetat” yang harum jeruk pettigrain, “limonen” harum jeruk keprok, “alfa terpinen” yang harum jeruk sitrun dan “cineol” yang menghangatkan. Manfaat kapulaga selain sebagai pengharum masakan juga
dapat sebagai obat pengencer dahak (ekpektorant), analgesik (penghilang rasa sakit),
dan menghilangkan bau mulut (Mailina, 2007).
Minyak atsiri buah kapulaga dalam keadaaan segar tidak berwarna, tetapi
makin lama disimpan akan berubah menjadi keruh, lebih kering dan bau harumnya
akan berkurang. Minyak atsiri buah kapulaga sangat mudah larut dalam alkohol dan
segera larut dalam empat bagian volume alkohol 70% dan berwarna jernih
(Brotosoetarno, 2009).
Penelitian mengenai obat tradisional, khususnya yang bahannya berupa
tanaman obat, terus berlangsung bahkan meningkat jumlahnya akhir–akhir
ini.Meskipun demikian, dalam kenyataan hingga kini, belum satupun hasil penelitian
obat tradisional ataupun tanaman obat yang digunakan dalam fasilitas pelayanan
kesehatan.Obat yang digunakan pada fasilitas pelayanan kesehatan harus memenuhi
persyaratan aman, bermanfaat dan sudah terstandarisasi.Bukti yang diperlukan harus
Agar suatu tanaman obat tradisional dapat menjadi obat fitofarmaka maka
harus melalui tahap – tahap sebagai berikut:
a) Langkah I: Uji praklinis yang menentukan keamanan melalui uji toksisitas dan
menentukan khasiat melalui uji Farmakodinamika.
b) Langkah II: Standarisasi secara sederhana.
c) Langkah III: Teknologi farmasi yang menentukan identitas secara seksama
sampai dapat dibuat produk yang terstandarisasi.
Standardisasi
Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV
Gambar 2.8. Bagan Uji Praklinik Obat Tradisional (Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik
Obat Tradisional, 2000)
2.9Tanaman Kapulaga (Amomum cardamomum L)
Tanaman kapulaga atau kapol adalah tanaman hutan yang saat ini
dibudidayakan orang.Sesuai dengan asal tempat tumbuhnya, kapulaga
tumbuhdibawah naungan pohon-pohon kayu hutan yang sangat lindung.
Jenis tanah yang baik buat kapulaga untuk pertumbuhan adalah tanah yang liat
dan berpasir, dengan derajat keasaman (pH) tanah 5,6-8 dengan bahan organik tinggi.
Pada dasarnya tanaman kapulaga dapat tumbuh pada dataran rendah maupun pada
dataran tinggi.
Kapulaga lokal dapat hidup pada ketinggian 200-1000 meter diatas
permukaan laut, karena pada ketinggian ini kapulaga dapat menghasilkan buah yang
baik.
Ketinggian tempat berkaitan erat dengan kondisi suhu udara
setempat.Kapulaga memerlukan suhu 10-35oC dengan udara yang sedikit
lembab.Apabila di daerah dengan curah hujan sedikit atau dengan musim kemarau
berkepanjangan tanaman kapulaga menjadi kurang menghasilkan.
Tanaman ini dapat diperbanyak secara genetatif dengan biji atau secara
vegatatif, dengan anakan, yang disebut juga sobekan tanaman. Satu sobekan tanaman
terdiri dari satu tunas yang baru tumbuh dan satu batang semu beserta rimpang dan
sebagian akarnya. Sedangkan bibit yang berasal dari biji merupakan tanaman muda
setinggi 30-70 cm, yang telah disemaikan terlebih dahulu selama 6-9 bulan. Peta dan
Gambar 2.9. Tanaman Kapulaga lahan kebun desa Bintang Meriah kecamatan STM
Hulu kabupaten Deli Serdang
2.9.1Nama Daerah(Madjo, 1987) Aceh : Kapulaga
Minangkabau : Palago, Pelaga, Puwar
Sunda : Kapol, Kapol Sebrang
Jawa : Kapulogo, Pulogo
Madura : Kapulagha, Palagha
Bali : Korkolaka
2.9.2Nama Asing (Madjo Indo, 1987) Malaysia : Pelaga
Thailand : Luk Grawan
Inggris : Cardamom
Belanda : Ronde Kardemon
Perancis : Amome a grappe
2.9.3Sistematik Tanaman
Sistematika dari tanaman kapulaga sebagai berikut(Hartono, 1996)
Divisio : Spermatophyta
Sub division : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Sub kelas : Zingiberidae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingeberaceae
Genus : Amomum
Pemanfaatan secara tradisional, kapulaga dapat mengatasi kembung, kejang
perut, sakit perut, masuk angin, bau mulut (air rebusan bahan-bahan diminum),
muntah-muntah radang lambung (maag), batuk, influenza, demam rematik, asam urat,
dan pegal linu.
2.9.4Kandungan Kimia
Belum banyak dilaporkan kandungan kimia kapulaga (Amomum cardamomum
L) berbeda dengan true cardamom yang laporannya sudah cukup banyak baik secara
kimia ataupun aktivitas biologinya. Dilaporkan biji kapulaga mengandung minyak
atsiri sekitar 2-4%, dengan kandungan utamanya 1,8 sineol dengan kadar sampai
70%. Kandungan minyak atsirinya yang lain diantaranya β- dan α-pinen, α-terpineol,
humulen, dan borneol.
2.9.5Identitas Simplisia
Pemerian buah sejati, buah kotak, bentuk hampir bulat, menggembung atau
agak keriput, warna kecokelatan atau kuning kecokelatan, bau khas aromatik, rasa
agak pedas, panjang 1-1,8 cm, lebar sampai lebih kurang 1,5 cm; pada permukaan
terdapat 3 alur membujur yang membagi buah menjadi 3 bagian; permukaan luar licin
atau bergaris-garis membujur; buah beruang 3, dipisahkan satu dengan yang lainnya
oleh sekat, dalam ruang terdapat 2 deret biji yang saling berlekatan dan menempel
pada plasenta sumbu buah. Biji berwarna cokelat kemerahan; panjang 3-5 mm, lebar
2-3,5 mm; bentuk tidak beraturan, bersudut-sudut, permukaan biji berkerut-kerut
Gambar 2.10. Simplisia buah kapulaga
2.9.6Parameter Mutu Simplisia
Parameter mutu simplisia kapulaga (Materia Medika Indonesia):
a. Kadar abu tidak lebih dari 12,3%
b. Kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 2,3%
c. Kadar sari larut air tidak kurang dari 10,7%
d. Kadar sari larut etanol tidak kurang dari 2,7%
e. Kadar air 10%
2.10 Minyak Atsiri
Minyak atsiri yang dikenal juga dengan nama minyak eteris atau minyak
terbang (essential oil, volatile oil) dihasilkan oleh tanaman. Minyak tersebut mudah
menguap pada suhu kamar tanpa dekomposisi, mempunyai rasa getir, berbau wangi
sesuai dengan bau tanamanm penghasilnya, umumnya larut dalam pelarut organik
dan tidak larut dalam air (Naik, et al, 2004).
Kegunaan minyak atsiri sangat luas dan spesifik, khususnya dalam berbagai
bidang industri, antara lain dalam industri kosmetik seperti: sabun, pasta gigi, sampo,
losion, dalam industri makanan digunakan sebagai bahan penyedap atau penambah
cita rasa, dalam industri parfum sebagai pewangi dalam berbagai produk minyak
wangi, dalam industri farmasi atau obat-obatan sebagai anti nyeri, anti infeksi,
pembunuh bakteri, dalam industri bahan pengawet, bahkan digunakan pula sebagai
insektisida. Oleh karena itu, tidak heran jika minyak atsiri banyak diburu berbagai
negara.
Di Indonesia ada beberapa tanaman penghasil minyak atsiri, antara lain: jahe,
kencur, kunyit, akar wangi, jeruk, pala, nilam, mawar, sirih dan kapulaga.
Ditinjau dari segi kimia fisika, minyak atsiri hanya mengandung dua
golongan senyawa, yaitu oleoptena dan stearoptena.Oleoptena adalah bagian
hidrokarbon di dalam minyak atsiri dan berwujud cairan.Umumnya senyawa
golongan oleoptena ini terdiri atas senyawa monoterpena, sedangkan stearoptena
adalah senyawa hidrokarbon teroksidasi dan umumnya berwujud padat (Ajit, et al.,
1995; Naik, et al., 2004).
Pada dasarnya semua minyak atsiri mengandung campuran senyawa kimia
dan biasanya campuran tersebut sangat kompleks, namun tidak melebihi dari 300
senyawa.Beberapa tipe senyawa organik mungkin terkandung dalam minyak atsiri,
seperti hidrokarbon, alkohol, ester, aldehida, dan eter.Yang menentukan aroma
minyak atsiri biasanya komponen yang persentasinya tinggi.Walaupun begitu,
kehilangan satu komponen dalam persentasi kecilpun dapat memungkinkan
terjadinya perubahan aroma dari minyak atsiri tersebut (Naik, et al., 2004).
2.11.1 Lokalisasi Minyak Atsiri
Minyak atsiri terkandung dalam berbagai organ, seperti didalam rambut
kelenjar (pada family Labiateae), didalam sel-sel parenkim (misalnya family
Piperaceae), didalam saluran minyak yang disebut vittae (famili Umbelliferae),
didalam rongga-rongga skizogen dan lisigen (pada famili Pinaceae dan Rutaceae),
terkandung didalam semua jaringan (pada famili Coniferae).
Minyak atsiri dapat terbentuk secara langsung oleh protoplasma akibat adanya
peruraian lapisan resin pada dinding sel atau oleh hidrolisis dari glikosida tertentu.
Peranan paling utama minyak atsiri terhadap tumbuhan itu sendiri adalah penggusir
serangga, serta penggusir hewan-hewan pemakan daun lainnya.
2.11.2 Cara Isolasi Minyak Atsiri
Isolasi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
1. Penyulingan (distillation)
3. Ekstraksi dengan pelarut menguap (solvent extraction)
2.11.3 Metode Penyulingan
Minyak atsiri dapat diproduksi melalui tiga metode penyulingan, yaitu
penyulingan dengan air, penyulingan dengan uap dan penyulingan dengan air dan
uap.
1. Penyulingan dengan air
Pada metode ini, bahan tanaman yang akan disuling mengalami kontak
langsung dengan air mendidih. Bahan dapat mengapung diatas air atau terendam
secara sempurna, tergantug pada berat jenis dan jumlah bahan yang disuling.
Penyulingan dengan cara langsung ini dapat menyebabkan banyaknya rendemen
minyak yang hilang (tidak tersuling) dan terjadi pula penurunan mutu minyak yang
diperoleh.
2. Penyulingan dengan uap
Model ini disebut juga penyulingan uap atau penyulingan tak langsung. Pada
prinsipnya, model sama dengan penyulingan langsung. Hanya saja, air penghasil uap
tidak diisikan bersama-sama dalam ketel penyulingan.Uap yang digunakan berupa
uap jenuh atau kelewat panas dengan tekanan lebih dari 1 atmosfer.
3. Penyulingan dengan air dan uap
Pada model penyulingan ini, bahan tanaman yang akan disuling diletakkan
diatas rak-rak atau saringan berlubang. Kemudian ketel penyulingan diisi dengan air
sampai permukaannya tidak jatuh dari bagian bawah saringan.
2.12 Analisis Komponen Minyak Atsiri dengan GC-MS
Analisis komponen minyak atsiri merupakan masalah yang cukup rumit
karena minyak atsiri mengandung campuran senyawa dan sifatnya yang mudah
menguap pada suhu kamar. Setelah ditemukannya kromatografi gas (GC), kendala
dalam analisis komponen minyak atsiri mulai dapat diatasi. Pada penggunaan GC,
efek penguapan dapat dihindari bahkan dihilangkan sama sekali. Perkembangan
merupakan gabungan dua sistem dengan prinsip dasar yang berbeda satu sama lain
tetapi saling melengkapi, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan spectrometer
massa. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai campuran
komponen dalam sampel sedangkan spectrometermassa berfungsi untuk mendeteksi
masing-masing komponen yang telah dipisahkan pada kromatografi gas (Rohman,
2007).
2.12.1 Uji Organoleptik Sediaan
Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses
penginderaan. Penginderaan diartikan sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu
kesadaran atau pengenalan alat indera akan sifat-sifat benda karena adanya
rangsangan yang diterima alat indera yang berasal dari benda tersebut. Penginderaan
dapat juga berarti reaksi mental (sensation) jika alat indera mendapat rangsangan
(stimulus).
Uji organoleptik disebut juga uji penerimaan yang bertujuan untuk
mengetahui apakah sediaan dapat diterima oleh masyarakat dari segi warna, rasa, dan
aroma (Sarastani, 2008).
Uji organoleptik ini dilakukan untuk mengetahui tanggapan kesukaan panelis
terhadap warna, kekentalan, aroma, rasa, sensasi di mulut, dan penampakan
(penilaian) umum.
Uji organoleptik yang digunakan dalam formulasi obat kumur adalah uji
hedonik (kesukaan), yaitu:
1. Warna
Penilaian warna digunakan dalam pengujian organoleptik karena warna
mempunyai peranan penting terhadap tingkat penerimaan produk secara visual.
2. Kekentalan
Penilaian kekentalan digunakan dalam pengujian organoleptik karena
kekentalan mempunyai peranan penting terhadap tingkat penerimaan produk saat
3. Aroma
Penilaian aroma digunakan dalam pengujian organoleptik karena aroma
mempunyai peranan penting terhadap tingkat penerimaan produk.
5. Rasa
Penilaian rasa digunakan dalam pengujian organoleptik karena rasa
mempunyai peranan penting terhadap tingkat penerimaan produk.Rasa dapat dinilai
dengan adanya tanggapan kimiawi oleh indera pencicip (lidah).
6. Sensasi di Mulut
Penilaian sensasi di mulut digunakan dalam pengujian organoleptik karena
efek sensasi di mulut mempunyai peranan penting terhadap tingkat penerimaan
produk.
2.12.2 Uji Klinis
Uji klinis (clinical trial) merupakan penelitian eksperimental terencana
yangdilakukan pada manusia.Pada uji klinis peneliti memberikan perlakuan atau
intervensi pada subjek penelitian, kemudian efek perlakuan (outcomes) diukur dan
dianalisa, sehingga dapat dijelaskan hubungan antara faktor prediktor dengan efek
(hubungan sebab-akibat).
Pada uji klinis, peneliti atau investigator akan membandingkan efek
(outcomes) pada kelompok-kelompok (grup-grup) yang berpartisipasi atau diikutkan
dalam penelitian dimana setiap kelompok-kelompok tersebut mendapat perlakuan
(intervensi) yang berbeda. Desain antara 2 grup (between-grup designs) selalu
digunakan pada uji klinis karena ingin membandingkan efek pengobatan (comparison
treatment), karena pada desain ini 1 kelompok yang mendapat intervensi (terapi) dan
1 kelompok tidak mendapat terapi (lebih populer disebut kelompok plasebo)
(Mukhtar, et al., 2011).
Dewasa ini semua uji klinis yang dimaksudkan untuk mengembangkan obat
Pratice (GCP) atau cara uji klinis yang baik (CUKB). Dengan menerapkan GCP ini
akan diperoleh dapat dipercaya, tepat, dan akurat. Yang kedua ialah terjaminnya hak,
keselamatan, integritas, dan kesejahteraan subjek yang ikut dalam
(Sanz,et al., 2001; Roldan,et al., 2003; Donaldson, et al., 2005; Waler, SM.,1992, cit
Djaya, 2000).
2.14 Hipotesis Penelitian: 2.14.1 Hipotesis Mayor:
a. Berkumur dengan minyak atsiri buah kapulaga dapat menurunkan kadar
gas VSC pada subjekhalitosis dibandingkan dengan kontrol positif (obat kumur
Listerine®) dan kontrol negatif (plasebo).
2.14.2 Hipotesis Minor:
a.Ada hubungan antara kenaikan konsentrasi minyak atsiri buah kapulaga
dengan penurunan kadar gas VSC.
b. Pada konsentrasi 0,25% dapat menghambat pertumbuhan bakteri
Porphyromonas gingivalis.
c. Pada konsentrasi 0,5% dapat membunuh bakteri Porphyromonas
gingivalis.
d. Pada konsentrasi 1% dapat membunuh bakteri Porphyromonas gingivalis.
e. Pada konsentrasi 1,5% dapat membunuh bakteri Porphyromonas
gingivalis.
f. Pada konsentrasi 2% dapat membunuh bakteri Porphyromonas gingivalis.
g.Obat kumur minyak atsiri buah kapulaga sama efektifnya dengan obat
kumur Listerine® dan lebih efektif dalam menurunkan gas VSC dibandingkan obat
2.15 Kerangka Konsep
Minyak Atsiri Buah Kapulaga
0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 1,5%, 2%
Porphyromonas gingivalis
(+)
Porphyromonas gingivalis
(-)
Pre Klinis
Uji Klinis
Pre Test Post Test
Skor organoleptik Kadar gas H2S Kadar gas CH3SH Kadar gas CH32S Kadar gas VSC
Skor organoleptik Kadar gas H2S Kadar gas CH3SH Kadar gas CH32S Kadar gas VSC Minyak Atsiri Buah Kapulaga 0,5%
Listerine®