• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Bahan Kumur Berbasis Minyak Atsiri Buah Kapulaga (Amomum cardamomum L) Terhadap Penurunan Gas Volatile Sulfur Compound (VSC) Pada Subjek Halitosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektifitas Bahan Kumur Berbasis Minyak Atsiri Buah Kapulaga (Amomum cardamomum L) Terhadap Penurunan Gas Volatile Sulfur Compound (VSC) Pada Subjek Halitosis"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pengertian Halitosis

Halitosis berasal dari bahasa latin, halitus (nafas) dan osis (keadaan) yang

diartikan sebagai bau nafas tak sedap yang keluar dari mulut dan dapat melibatkan

kesehatan dan kehidupan sosial seseorang. Sumber halitosis dapat berasal dari mulut,

nasofaring atau bagian tubuh lainnya, namun dilaporkan penyebab kasus halitosis

lebih banyak dari rongga mulut (Gayford dan Haske, 1993; Jens & Peter, 2005;

Kapoor,et al., 2011).

Halitosis bukanlah suatu penyakit, halitosis hanya gejala dari suatu kelainan,

atau penyakit yang tidak disadari. Namun demikian, penderita halitosisakan sangat

mengganggu orang disekitar atau lawan bicaranya, sehingga mengganggu komunikasi

dan menimbulkan dampak negatif dalam hal berinteraksi sosial (Loesche, 2011;

Kapoor,et al., 2011).

Sebenarnya banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan bau mulut atau

nafas tak sedap yang berasal dari udara yang dikeluarkan oleh seseorang.Ada

beberapa istilah yang digunakan di dunia ilmiah atau di kalangan masyarakat awam

sehari-hari. Istilah-istilah tersebut antara lain halitosis, fetor oris, fetor ex ore, nafas

tak sedap, oral malador, bad breath, dragon breath, danjungle mouth.

Beberapa ahli menggunakan istilah halitosis untuk bau yang berasal dari

faktor-faktor sistemik, sedangkan Fetor Ex Ore atau Fetor Oris digunakan untuk bau

yang berasal dari hidung atau mulut (Lenton, 2011).

2.2Klasifikasi Halitosis

Secara umum, halitosis dibedakan atas 3 jenis yaitu halitosisgenuine, pseudo

dan halitophobia.

(2)

Halitosis ini adalah halitosis sejati atau halitosis sebenarnya.Halitosis tipe ini

dibedakan lagi atas halitosis fisiologis dan patologis (Yaegaki & Coil, 2000).Halitosis

fisiologis sering juga disebut halitosis transien atau sementara. Bau tidak sedap yang

ditimbulkannya akibat proses pembusukan makanan pada rongga mulut, terutama

berasal dari bagian posterior dorsum lidah, terbatas, dan tidak menghambat penderita

untuk tetap beraktivitas secara normal serta tidak memerlukan terapi khusus.

Kadang-kadang disebut juga sebagai „morning breath‟, yang lebih ditekankan pada masalah kosmetik daripada masalah yang berkaitan dengan kesehatan.Sebaliknya, halitosis

patologis bersifat permanen, dan tidak bisa hilang hanya dengan metode pembersihan

yang biasa sehingga menyebabkan penderita harus menghindar dari kehidupan

normalnya (Donaldson, et al, 2007).Halitosis tipe ini harus dirawat dan perawatannya

bergantung pada sumber bau mulut itu sendiri. Sumber penyebab halitosis patologis

dibedakan atas:

Intra Oral: Kondisi patologisnya berasal dari dalam rongga mulut dan/atau bagian

posterior dorsum lidah.

Ekstra Oral: Kondisi patologis berasal dari luar rongga mulut (misalnya, saluran

pencernaan, saluran pernafasan, gangguan sistemik, dan lain-lain).

2. Halitosispseudo

Halitosis ini disebut juga halitosis palsu, yaitu halitosis yang sebenarnya tidak

terjadi tetapi penderita merasa bahwa mulutnya berbau. Seseorang terus mengeluh

adanya bau mulut tetapi orang lain tidak merasa orang tersebut menderita halitosis

(Jens & Peter, 2005).

3. Halitophobia

Apabila setelah berhasil dilakukan perawatan terhadap halitosisgenuine

maupun halitosispseudo, penderita masih tetap merasa mulutnya berbau, maka orang

(3)

2.3Faktor Etiologi

Etiologi dari bau mulut dapat bersumber dari 2 tempat, yaitu:

1. Faktor intra-oral a. Bakteri

Dalam kebanyakan kasus (80-90%), bakteri yang hidup di dalam mulut adalah

salah satu penyebab bau mulut. Tempat-tempat yang biasa ditempati hidup bakteri

antara lain:

1. Lidah

Daerah lidah yang paling banyak ditempati bakteri adalah bagian posterior

karena pada daerah ini terdapat plak gigi yang merupakan tempat ideal untuk

bakteri.Tekstur permukaaan lidah menentukan penimbunan plak. Penderita dengan

lidah yang bercelah dan beralur dalam akan lebih potensial untuk akumulasi plak

dibandingkan dengan lidah penderita yang permukaannya lebih licin (Nachnani,

2008).

2. Batas gusi dan interdental

Daerah batas gusi baik di sekeliling dan di antara gigi merupakan lingkungan

anaerob yang ideal untuk pertumbuhan bakteri terutama pada penderita dengan

penyakit periodontal (Nachnani, 2008).Beberapa bakteri yang menyebabkan halitosis

adalah bakteri jenis anaerob yaitu bakteri Bacteriodes forsythus, Porphyromonas

gingivalis, Prevotella intermedia, Peptostreptococcus mikro, Campylobacter rectus,

Fusobacterium nucleatum (Roldan, et al., 2003; Donaldson, 2005).

Bakteri anaerob dan banyak bakteri gram negatif dalam rongga mulut

mendegradasi protein dari sisa-sisa makanan, sel deskuamatif oral mukosa, protein

saliva, leukosit, plak, dan pembusukan microbial untuk menghasilkan asam amino.

Terdapat tiga asam amino utama yang menghasilkan gas VSC, yaitu L. cysteine

(4)

(CH3)2S. Bau dari gas VSC hampir 90% terdiriatas hidrogen sulfida dan methyl

merkaptan, sedangkan dimetilsulfida hanya sebagian kecil (Donaldson,

2005).Halitosis dihasilkan oleh bakteri yang hidup secara normal di dalam permukaan

lidah.Bakteri tersebut secara normal ada disana karena bakteri tersebut membantu

proses pencernaan manusia dengan cara memecah protein (Djaya, 2000). Spesies

bakteri yang terdapat pada permukaan oral dapat bersifat sakarolitik, yaitu

menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik

atau proteolitik, yaitu menggunakan protein, peptida atau asam amino sebagai sumber

utamanya (Loesche, 1997). Kebanyakan bakteri gram positif bersifat sakarolitik dan

bakteri gram negatif bersifat asakarolitik atau proteolitik (Djaya, 2000).Bakteri gram

negatif merupakan penghuni utama plak supragingival termasuk plak yang menutupi

lidah dan permukaan mukosa lainnya.Porphyromonas gingivalis dan prevotella

intermedia secara normal terdapat dalam plak supragingival dan sangat efektif dalam

pembentukan halitosis (Kleinberg, 1997). Peran Porphyromonas gingivalis dalam

halitosis adalah dengan memproduksi metil mercaptan (CH3SH) yang merupakan

salah satu komponen mayor dari gas VSC. Peran Prevotella intermedia dalam

halitosis adalah dengan memproduksi hidrogen sulfida (H2S) yang juga merupakan

salah satu komponen mayor gas VSC (Loesche, 2000).

Gambar 2.1.Porphyromonas gingivalis(Roldan, et al., 2003)

b. Penyakit periondontal

Penyakit periodontal merupakan penyebab kedua terbanyak bau mulut.

Biasanya timbul setelah usia 35 tahun. Pada penyakit periodontal, infeksi bakteri

(5)

tulang sekitarnya menyebabkan pembentukan periodontal pockets yang sulit

dibersihkan sehingga merupakan tempat ideal untuk bakteri (Koshimune, et al, 2003).

c. Xerostomia

Adanya cairan mulut membuat kita menelan.Setiap menelan kita membuang

bakteri, makanan dan debris.Kelembaban ini juga melarutkan dan membuang kotoran

yang diproduksi bakteri.Selain itu, saliva juga mempunyai senyawa yang dapat

membunuh bakteri dan menetralkan kotoran yang diproduksinya. Oleh karena itu

mulut yang mengalami kekeringan akan menimbulkan bau yang persisten

(Koshimune, et al, 2003; Ellis, 2009).

2. Faktor ekstra-oral

Sekitar 10% diperkirakan penyebab halitosis adalah faktor ekstra oral (Ellis,

2009).

1. Makanan/minuman

Makanan dapat menyebabkan bau mulut, dan yang terbanyak adalah bawang

merah dan bawang putih karena kadar sulfurnya yang tinggi. Minuman seperti kopi

juga dapat menyebabkan bau mulut. Makanan atau minuman ini akan dicerna

menjadi molekul-molekul yang beberapa diantaranya mempunyai bau.

Molekul-molekul ini akan diabsorsikan masuk ke dalam sirkulasi dan didistribusikan ke

seluruh tubuh. Ketika melalui paru-paru, beberapa molekul ini dilepas sehingga saat

kita menghembuskan nafas, nafas kita akan mengandung molekul yang berbau ini

(Koshimune, et al 2003).

2. Merokok

Kita sudah biasa mendengar istilah nafas perokok.Bau ini disebabkan oleh tar,

nikotin dan lainnya yang berasal dari rokok yang berakumulasi di gigi dan jaringan

mulut (lidah, gusi, dan sebagainya). Merokok juga akan mengeringkan jaringan mulut

sehingga mengurangi efek pencucian dan buffer oleh saliva terhadap bakteri dan

(6)

3. Obat-obatan

Penggunaan obat-obatan juga mempengaruhi bau mulut karena beberapa obat

bisa menyebabkan kekeringan pada mulut (Trudie, 2011).

Tabel.2.1 Obat-obat yang menyebabkan kekeringan mulut (Trudie, 2011)

Agen sistem saraf pusat Lainnya

Antiparkinson Antihistamin atau dekongestan

Antipsikotik Antikolinergik

Narkotik Antihipertensif

Antidepresan

1. Gangguan saluran pernafasan

Gangguan saluran pernafasan meliputi gangguan saluran pernafasan atas

(sinusitis kronik, obstruksi nasal, abses nasofaringeal dan karsinoma laring) dan

gangguan saluran pernafasan bawah (bronchitis, bronkiektasis, pneumonia, abses

pulmonal,karsinoma paru).

2. Gangguan saluran pencernaan

Gangguan saluran pencernaan seperti penyakit fistula lambung dan ulser

lambung.

3. Penyakit sistemik

Penyakit sistemik bisa mempengaruhi bau mulut dan setiap

penyakit-penyakitnya mempunyai bau yang bervariasi atau khas.

2.4Mekanisme Terjadinya Halitosis

Dr. Joseph Tonzetich dari Universitas of British Columbia, Vancouver,

Canada adalah pelopor yang mengubah halitosis, menjadi suatu ilmu tersendiri.

Tonzetich bahwa gas/senyawa sulfur yang mudah menguap atau dikenal sebagai

Volatile Sulfur Compound (VSC) merupakan penyebab utama halitosis. Dr. Tonzetich

dan kawan-kawan telah berhasil menemukan senyawa gas VSC yang berbau tidak

(7)

reaksi-reaksi dari bahan-bahan yang ada di dalam mulut yang tidak mudah menguap,

khususnya protein dengan bakteri-bakteri anaerob yang ada didalam mulut.Beberapa

studi telah pula membuktikan bahwa gas VSC ini juga mengakibatkan gangguan

patologis maupun fisiologis terhadap jaringan-jaringan di sekitarnya. Menurut Dr.

Tonzetich, gas VSC yang mempunyai peranan utama terhadap terjadinya halitosis

adalah hydrogen sulfide (H2S), methyl mercaptan (CH3SH), dan dimethyl

mercaptan(CH3)2S.

Gambar 2.2. Reduksi asam amino menghasilkan gas VSC Cystine (-S-S)

Reduction

Desulphydration

H2S and Serine

Reduction Reduction Cysteine (-SH SH-)

Methionine (CH-S)

CH3SH

H2S dan CH4 Deamination

Decarbotion

CH3SH

(8)

2.5Parameter Halitosis

2.5.1VSC (Volatile Sulfur Compound)

Halitosis biasanya disebabkan oleh Volatile Sulfur Compound (VSC) yang

terdiri dari hydrogen sulfide (H2S), methyl mercaptan (CH3SH), dan dimetil sulfide

[(CH3)2S]. Sebagian besar dari komponen ini merupakan hasil produksi dari aktivitas

bakteri anaerob di dalam mulut, bakteri tersebut akan bereaksi dengan protein-protein

yang terdapat pada sisa makanan, cairan gingival, plak interdental dan saliva, lalu

protein tersebut diurai oleh bakteri menghasilkan asam amino, bakteri yang berperan

dalam produksi gas VSC umumnya adalah bakteri anaerob gram negatif yang bersifat

proteolitik, yang memerlukan protein untuk kelangsungan hidupnya, sehingga protein

akan dipecah oleh bakteri menjadi asam-asam amino (Fukui & Yaegaki,et al., 2008).

Kemudian asam amino mengalami degradasi menjadi asam amino yang

mengandung sulfur yang akan menghasilkan gas VSC. Terdapat 3 asam amino utama

yang menghasilkan gas VSC, yaitu L. cysteine menghasilkan H2S, L. metionine

menghasilkan CH3SH, L. cistine menghasilkan (CH3)2S. Bau dari gas VSC hampir

90% terdiri dari Hidrogen sulfida dan Methyl mercaptan, sedangkan Dimetil sulfida

hanya sebagian kecil (Quirynen, 2003; Roldan,et al., 2003).

Gas VSC tidak saja dapat menghasilkan bau yang tidak enak tapi juga

berpotensi menjadi patogen untuk penyakit periodontal dengan cara berpenetrasi ke

dalam membran sel dan mengganggu metabolisme sel tersebut (Rosing,et al., 2002).

Pada penelitian sebelumnya dikatakan bahwa level gas VSC seseorang dalam mulut

berhubungan dengan kedalaman dari poket periodontal yang ada, jumlah gas VSC

akan bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah, kedalaman dan tendensi

perdarahan dari poket periodontal, namun demikian tidak semua kasus oral malodour

(9)

2.5.2Skor Organoleptik

Skor organoleptikdiperoleh dari hasil pengukuran organoleptik yang

dikalibrasikan. Hasil dinyatakan dengan skor (Qian & Yaegaki, 2007):

0 = bau mulut tidak terdeteksi

1 = bau mulut terdeteksi namun dianggap bukan halitosis

2 = halitosis ringan

3 = halitosis terdeteksi

4 = halitosis sangat terasa tapi masih dapat ditoleransi oleh operator

5 = halitosis berat hingga tidak dapat ditoleransi oleh operator

2.5.3 Tongue Coating score

Permukaan dorsum lidah adalah tempat utama bagi bakteri yang menimbulkan

gas VSC. Karena sifat papiler dari dorsum lidah dapat mendukung akumulasi bakteri

mulut.Tongue Coating merupakan bagian penting dalam mengembangkan bau mulut

tak sedap dari mulut (Nachnani, 2008).

Tongue Coating juga dipercaya sebagai salah satu daerah pembentuk gas VSC

pada manusia sehat.Tongue Coating terbentuk dari deskuamasi sel-sel epitel, sel

darah dan bakteri.Lebih dari 100 bakteri terdapat dalam sel epitel pada dorsum lidah,

dimana hanya 25 bakteri yang melekat pada setiap sel pada rongga mulut. Karena itu

Tongue Coating juga berperan dalam proses pembusukan sehingga dihasilkan gas

VSC (Yaegaki, 2007).

Skor dari Tongue Coating dapat diperoleh melalui perkalian dari skor

ketebalan Tongue Coating dengan skor area yang terdapat Tongue Coating menurut

(Nachnani, 2008). Skor untuk ketebalan ditunjukkan dengan nilai 0 = tidak terdapat

Tongue Coating, 2 = terdapat lapisan tipis Tongue Coating dengan papilla yang

masih dapat terlihat dan 3 = lapisan Tongue Coating yang tebal dan papilla tidak

terlihat (Tanaka,et al., 2003).Miyazaki, et al., 2006 mengatakan skor Tongue

(10)

Tongue Coating termasuk poket periodontal merupakan sumber utama

pembentukan gas VSC pada pasien penyakit periodontal dan berperan penting dalam

mempercepat pembentukan gas VSC. Pembuangan Tongue Coating dapat

mengurangi gas VSC (Yaegaki, 2007).

Pada sejumlah penelitian telah menemukan hubungan antara mekanisme

penghapusan Tongue Coating dan penurunan kadargas VSC, termasuk penurunan

tingkat metil mercaptan dan hidrogen sulfida namun penurunan ini bervariasi

tergantung pada perangkat yang digunakan untuk menghapus lapisan, yaitu sikat gigi

atau lidah scraper (Roldan, 2003).

Kelas 1. Coating menutupi 1/3 posterior

dorsum lidah

Kelas 2. Coating menutupi 2/3 dorsum lidah

Kelas 3. Coating menutupi seluruh lidah

Gambar 2.3.Tongue Coating Score (Yaegaki, 2007)

2.6Pengukuran Halitosis

Pengukuran halitosis yang paling utama dapat dilakukan dengan empatcara,

yaitu (Yaegaki, et al., 2000):

1. OrganoleptikMeasurement (OM)

Pengukuran dengan mencium langsung udara pernafasan yang terpancar dari

mulut.Subjek diinstruksikan untuk menutup mulutnya selama 1 menit dan bernafas

(11)

jarak kurang lebih 10 cm antara subjek dengan pemeriksa (Gambar 2.4) nilai

organoleptik diukur sebanyak 2 kali. Hasil penelitian berskala 0-5 yaitu:

0 = bau mulut tidak terdeteksi

1 = bau mulut terdeteksi namun dianggap bukan halitosis

2 = halitosis ringan

3 = halitosis terdeteksi

4 = halitosis sangat terasa tapi masih dapat ditoleransi oleh operator

5 = halitosis berat hingga tidak dapat ditoleransi oleh operator

Organoleptik measurement merupakan gold standard untuk mengukur bau

mulut karena banyak senyawa organik penyebab bau mulut yang tidak dapat diukur

menggunakan gas chromatograph atau pengukuran lainnya.Penilaian organoleptik ini

memiliki kekurangan di antaranya hasil dari penilaian ini kurang objektif, karena

adanya variabilitas antar pemeriksa Oleh karena itu, peneliti harus dikalibrasi terlebih

dahulu (Nachnani, 2008; Rosing, 2011).

Gambar 2.4. Pengukuran dengan organoleptik

2. Gas Chromatograph (GC)

Gas chromatograph terdiri atas dua macam, yang pertama dilengkapi dengan

Flame Photometric Detector (FPD) dan yang kedua dilengkapi dengan Semicondutor

(12)

FPD memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Pengukuran menggunakan

GC-FPD memberikan hasil pengukuran dengan tingkat reproduksibilitas yang tinggi dan

alat ini dapat mengukur kadargas VSC secara terpisah, sedangkan kekurangan alat

tersebut di antaranya adalah harganya yang mahal, diperlukan operator yang ahli

(tidak semua orang dapat mengoperasikan alat tersebut) dan tidak praktis. GC-SCS

memberikan hasil pengukuran yang akurat karena alat ini memiliki semiconductor

gas sensor (SCS) indium oxide (In2O3) yang sangat sensitif terhadap komponen gas

VSC, alat ini dapat mendeteksi masing-masing komponen secara terpisah. Ada tiga

zat yang dapat kita ukur, yaitu hidrogen sulfida (H2S), metil merkaptan (CH3SH),

dan metil sulfida [(CH3)2S].Jika terdapat H2S yang dominan pada udara di dalam

mulut, maka diduga terdapat penyakit periodontal. Sedangkan (CH3)2S meningkat

pada kondisi liver dan biasanya merupakan komponen minor dari gas VSC

(Gambar 2.5).

Gambar 2.5.Gas chromatograph

3. Monitoring Sulfida

Salah satu alat mengukur halitosis adalah halimeter.Halimeter merupakan alat

monitoring sulfida portable yang penggunaannya mudah dan sederhana, hal ini

(13)

sangat membantu dan dapat memberikan hasil bacaan gas VSC sampai ppb (part per

billion) seperti kemampuan hidung manusia (Gambar 2.6). Dengan menggunakan alat

ini, Miyazaki (1995), menemukan adanya hubungan antara gas VSC dan adanya

lapisan pada lidah (Tongue Coating). Selain itu, ia menemukan adanya hubungan

antara gas VSC dengan gingivitis dan penyakit periodontal. Sebelumnya, Yaegaki

dan Sanada (1992) telah melaporkan adanya hubungan ini dengan menemukan bahwa

gas VSC lebih banyak dijumpai pada kelompok yang menderita penyakit periodontal

(Miyazaki, 2006). Kelemahan alat ini adalah membutuhkan waktu untuk

mengkalibrasi kembali dan pengukuran tidak dapat dilakukan apabila

subjekmenggunakan alkohol atau minyak pewangi, dengan kata lain pengukuran

dapat berpengaruh jika subjeknya menggunakan parfum, hairspray, deodorant, dan

lain-lain (Nachnani, 2008; Ueno, 2008).

Gambar 2.6. Halimeter

4. Oral chroma

Alat ini adalah alat untuk mendeteksi halitosis yang cara penggunaannya

sederhana dilengkapi dengan sensor oksida semikonduktor baru diciptakan gas

indium (SCS) untuk mengukur konsentrasi gas VSC dalam mulut. Alat ini mengukur

senyawa hidrogen sulfida, dimetil sulfida, yang menjadi penyebab utama terjadinya

(14)

CH3(H2S). Sangat mudah digunakan dan hanya memerlukan delapan menit untuk

menganalisis sampel (Imazukita & Thurumi-ku, 2007)-(Gambar 2.7).

Gambar 2.7.Oral chroma

2.7Diagnosis Halitosis

Diagnosis halitosis perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab halitosis

melakukan tindakan pencegahan maupun perawatannya.Ada banyak metode yang

digunakan untuk menegakkan diagnosis halitosis.Cara sederhana yang biasa

dilakukan adalah dengan mengeruk bagian posterior dorsum lidah menggunakan

sendok plastik.Bau sendok kemudian dicium dan dibandingkan dengan bau lainnya di

dalam mulut (cit Pintauli & Hamada, 2008).

Yang juga umum dipakai untuk menentukan ada tidaknya halitosis adalah

dengan cara Breening: Pasien diminta mengatupkan bibir dan menghembuskan nafas

lewat hidung. Jika tercium bau, berarti penyebabnya di luar mulut atau sebaliknya.

Selain cara sederhana, ada tiga metode pengukuran halitosis dengan menggunakan

alat yaitu:

a) Pengukuran organoleptik.

b) Pengukuran menggunakan gas chromatograph(GC) dengan alat yang disebut

Oral chroma atau Refres-101, dan

(15)

2.8 Penatalaksanaan Halitosis

Halitosis pada dasarnya dapat dirawat atau dikontrol sehingga tidak

mengganggu seseorang dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya serta untuk

meningkatkan rasa percaya diri seseorang.Tugas seorang dokter gigi adalah untuk

membedakan bau mulut sebagai kelainan di dalam mulut atau di luar mulut.Oleh

karena itu penatalaksanaan halitosis tergantung pada faktor penyebabnya.Bila

disebabkan kelainan dalam mulut, umumnya terjadi akibat sisa-sisa makanan yang

membusuk oleh bakteri karena kebersihan mulut yang buruk (Scully, 2008; Trudie,

2011).

Tugas dokter gigi adalah untuk membedakan bau mulut sebagai kelainan di

dalam atau diluar mulut. Berbagai cara yang dianjurkan para ahli adalah :

1. Menyikat gigi

Sebaiknya gigi disikat dua kali sehari.Usahakan untuk menggunakan sikat

gigi dengan bulu sikat lunak dan kepala sikat yang kecil sehingga bisa menjangkau

semua area di dalam mulut.Setidaknya penyikatan gigi dilakukan selama 2 menit

terutama diperhatikan daerah pertemuan gigi dan gingival.Penyikatan gigi setidaknya

disertai dengan penggunaan pasta gigi yang mengandung fluor untuk mencegah

karies gigi sekaligus.

2. Membersihkan lidah

Tidak hanya gigi dan gusi saja, tetapi sebaiknya lidah disikat minimal satu

kali sehari.Apabila tidak menggunakan sikat gigi, maka gunakan pembersih lidah

untuk menyikat lidah oleh karena lapisan di bagian posterior dorsum lidah sering

merupakan sumber bau nafas yang tidak sedap.

3. Menggunakan benang gigi

Sebaiknya benang gigi digunakan satu kali sehari setelah menyikat gigi,

namun bila memungkinkan dilakukan dua kali sehari. Sebaiknya pasien bertanya

kepada dokter gigi tentang cara menggunakan benang gigi agar pembersihan yang

dilakukan lebih efektif. Biasanya, benang gigi dipotong dulu kira-kira sepanjang 40

(16)

ke celah di antara gigi dan ditahan dengan ibu jari agar kuat dan tidak lepas ketika

dilakukan gerakan seperti menggergaji.Tindakan ini dapat membersihkan celah gigi

yang sempit yang tidak dapat dicapai sikat gigi.

4. Menggunakan obat kumur

Obat kumur adalah larutan dengan rasa yang nyaman, mengandung

antibakteri dan berguna untuk menyegarkan mulut dan mouthwash adalah sediaan

cair dengan viskositas yang tidak terlalu kental dan tidak terlalu cair, dengan rasa

yang enak (Lee, 2010).

Karakteristik mouthwash yang ideal yaitu:

1) Membasmi kuman yang menyebabkan gangguan kesehatan mulut dan gigi

2) Tidak menyebabkan iritasi

3) Tidak mengubah indera perasa

4) Tidak menganggu keseimbangan flora mulut

5) Tidak meningkatkan resistensi mikroba

6) Tidak menimbulkan noda pada gigi

7) Pada dasarnya, di luar fungsi penyegar, mouthwash juga berfungsi:

1) Mencegah terjadinya pengumpulan plak

2) Mencegah dan mengobati gingivitis

3) Mencegah atau mengobati sariawan

4) Mengobati Candidasis (mouthwash yang mengandung khlorheksidin)

5) Membantu penyembuhan gusi setelah operasi pada rongga mulut

6) Menghilangkan sakit akibat tumbuhnya gigi

7) Mencegah atau mengurangi sakit akibat inflamasi

Ada berbagai jenis obat kumur, berikut adalah tipe-tipenya (Adlerova,et al.,

2008; Lee, 2010):

1. Obat kumur kosmetik

Obat kumur tipe ini didesain hanya untuk mengatasi bau mulut.Obat kumur

(17)

bersih, tetapi obat kumur ini tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi bakteri atau

plak.Oleh karena itu, obat kumur jenis ini tidak memproteksi gigi terhadap karies.

2. Obat kumur antiseptik

Obat kumur jenis ini dapat melakukan lebih dari sekedar mengatasi bau

mulut.Obat kumur jenis ini secara aktif memerangi plak dan memproteksi gigi dari

karies.Selain itu, obat kumur jenis ini direkomendasikan kepada pasien dengan

penyakit gusi.

3. Obat kumur fluoride

Obat kumur jenis ini diperuntukkan bagi mereka yang rentan terhadap karies

gigi karena obat kumur jenis ini membantu memperkuat enamel gigi.

4. Obat kumur natural/herbal

Obat kumur jenis ini bebas dari kandungan alkohol dan memiliki cara kerja

yang sama dengan obat kumur konvensional lainnya, membantu mengurangi bau

mulut, contohnya adalah ekstrak teh hijau, dan ada juga para ahli yang menyarankan

(18)

5. Obat kumur khlorheksidine

Obat kumur jenis ini adalah anti plak yang paling efektif dan anti

gingivitis.Namun penggunaan khlorheksidine dalam mengatasi halitosis belum

banyak dipelajari. Hal ini bisa saja dikarenakan kebutuhan untuk penggunaan jangka

panjang dari khlorheksidine pada konsentrasi yang biasa (0,2% dan 0,12%) bisa

menimbulkan efek samping seperti perubahan warna pada gigi (Rosenberg, 1992;

Roldan, 2003).

6. Obat kumur klorindioksida

Beberapa studi menunjukkan bahwa klorindioksida (ClO2) memiliki

kemampuan untuk mengoksidasi langsung gas VSC namun hanya efektif untuk

jangka waktu yang pendek (Roldan, 2003).

7. Cara-cara tradisional

Disamping cara-cara yang telah dijelaskan diatas, pada sementara masyarakat

dipergunakan pula cara-cara tradisional yang diyakini dapat menghilangkan

halitosisakan tetapi mekanisme kerjanya belum jelas dan merupakan kebiasaan turun

temurun. Cara-cara ini misalnya penggunaan tomato juice, anjuran mengunyah

parsley, makan chlorophyl, pemakaian ragi, ekstrak teh, di Jepang masyarakat

menggunakan sejenis rempah-rempah yang disebut “Kampo”, juga di Indonesia ada

yang menggunakan ramuan dari daun mangkokan (Mailina, 2007).

Di Timur Tengah, kapulaga adalah rempah yang telah digunakan

berabad-abad oleh masyarakat Timur Tengah. Rempah ini dikunyah seperti tembakau dan

digunakan dalam obat kumur, sabun dan shampoo.“Cineol” kandungan tertinggi

yang terdapat pada kapulaga merupakan antiseptik yang dapat membunuh bakteri dan

mengurangi bau mulut.Rasanya sedikit pedas, namun jika dijadikan obat kumur

terasa sejuk.Bahkan ini biasanya digunakan dalam pembuatan pepermint palsu

(Handayani, 2008).

(19)

Compactum solad ex maton, atau Elletaria cardamomum maton, termasuk familia

dari Zingiberaceal, mempunyai ciri-ciri berupa rumput tahunan dengan tinggi

mencapai 1.5 meter. Tumbuh bergerombol, batang semu, berupa daun tunggal,

bunga majemuk dan berbentuk bongkal di pangkal.Bagian yang digunakan adalah

buahnya yang berbentuk bulat, berlekuk dan berwarna putih.Biasanya buah kapulaga

digunakan sebagai bumbu pengharum masakan (Handayani, 2008).

Kapulaga kaya kandungan kimia, antara lain “terpinol” dan “alfaborneol”, “betakamper”, protein, gula, lemak dan silikat. Kapulaga memiliki rasa agak pahit dan hangat. Dari hasil penelitian, kapulaga terbukti memiliki aroma sedap sehingga

orang Inggris menganggapnya sebagai “grains of paradise”. Aroma sedap ini berasal dari kandungan minyak atsiri. Minyak atsiri ini mengandung lima zat utama, yaitu

borneol” yang berbau kamper, “alfa-terpinilasetat” yang harum jeruk pettigrain, “limonen” harum jeruk keprok, “alfa terpinen” yang harum jeruk sitrun dan “cineol” yang menghangatkan. Manfaat kapulaga selain sebagai pengharum masakan juga

dapat sebagai obat pengencer dahak (ekpektorant), analgesik (penghilang rasa sakit),

dan menghilangkan bau mulut (Mailina, 2007).

Minyak atsiri buah kapulaga dalam keadaaan segar tidak berwarna, tetapi

makin lama disimpan akan berubah menjadi keruh, lebih kering dan bau harumnya

akan berkurang. Minyak atsiri buah kapulaga sangat mudah larut dalam alkohol dan

segera larut dalam empat bagian volume alkohol 70% dan berwarna jernih

(Brotosoetarno, 2009).

Penelitian mengenai obat tradisional, khususnya yang bahannya berupa

tanaman obat, terus berlangsung bahkan meningkat jumlahnya akhir–akhir

ini.Meskipun demikian, dalam kenyataan hingga kini, belum satupun hasil penelitian

obat tradisional ataupun tanaman obat yang digunakan dalam fasilitas pelayanan

kesehatan.Obat yang digunakan pada fasilitas pelayanan kesehatan harus memenuhi

persyaratan aman, bermanfaat dan sudah terstandarisasi.Bukti yang diperlukan harus

(20)

Agar suatu tanaman obat tradisional dapat menjadi obat fitofarmaka maka

harus melalui tahap – tahap sebagai berikut:

a) Langkah I: Uji praklinis yang menentukan keamanan melalui uji toksisitas dan

menentukan khasiat melalui uji Farmakodinamika.

b) Langkah II: Standarisasi secara sederhana.

c) Langkah III: Teknologi farmasi yang menentukan identitas secara seksama

sampai dapat dibuat produk yang terstandarisasi.

(21)

Standardisasi

Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV

(22)

Gambar 2.8. Bagan Uji Praklinik Obat Tradisional (Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik

Obat Tradisional, 2000)

2.9Tanaman Kapulaga (Amomum cardamomum L)

Tanaman kapulaga atau kapol adalah tanaman hutan yang saat ini

dibudidayakan orang.Sesuai dengan asal tempat tumbuhnya, kapulaga

tumbuhdibawah naungan pohon-pohon kayu hutan yang sangat lindung.

Jenis tanah yang baik buat kapulaga untuk pertumbuhan adalah tanah yang liat

dan berpasir, dengan derajat keasaman (pH) tanah 5,6-8 dengan bahan organik tinggi.

Pada dasarnya tanaman kapulaga dapat tumbuh pada dataran rendah maupun pada

dataran tinggi.

Kapulaga lokal dapat hidup pada ketinggian 200-1000 meter diatas

permukaan laut, karena pada ketinggian ini kapulaga dapat menghasilkan buah yang

baik.

Ketinggian tempat berkaitan erat dengan kondisi suhu udara

setempat.Kapulaga memerlukan suhu 10-35oC dengan udara yang sedikit

lembab.Apabila di daerah dengan curah hujan sedikit atau dengan musim kemarau

berkepanjangan tanaman kapulaga menjadi kurang menghasilkan.

Tanaman ini dapat diperbanyak secara genetatif dengan biji atau secara

vegatatif, dengan anakan, yang disebut juga sobekan tanaman. Satu sobekan tanaman

terdiri dari satu tunas yang baru tumbuh dan satu batang semu beserta rimpang dan

sebagian akarnya. Sedangkan bibit yang berasal dari biji merupakan tanaman muda

setinggi 30-70 cm, yang telah disemaikan terlebih dahulu selama 6-9 bulan. Peta dan

(23)

Gambar 2.9. Tanaman Kapulaga lahan kebun desa Bintang Meriah kecamatan STM

Hulu kabupaten Deli Serdang

2.9.1Nama Daerah(Madjo, 1987) Aceh : Kapulaga

Minangkabau : Palago, Pelaga, Puwar

Sunda : Kapol, Kapol Sebrang

Jawa : Kapulogo, Pulogo

Madura : Kapulagha, Palagha

Bali : Korkolaka

2.9.2Nama Asing (Madjo Indo, 1987) Malaysia : Pelaga

Thailand : Luk Grawan

Inggris : Cardamom

Belanda : Ronde Kardemon

Perancis : Amome a grappe

2.9.3Sistematik Tanaman

Sistematika dari tanaman kapulaga sebagai berikut(Hartono, 1996)

Divisio : Spermatophyta

Sub division : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Sub kelas : Zingiberidae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingeberaceae

Genus : Amomum

(24)

Pemanfaatan secara tradisional, kapulaga dapat mengatasi kembung, kejang

perut, sakit perut, masuk angin, bau mulut (air rebusan bahan-bahan diminum),

muntah-muntah radang lambung (maag), batuk, influenza, demam rematik, asam urat,

dan pegal linu.

2.9.4Kandungan Kimia

Belum banyak dilaporkan kandungan kimia kapulaga (Amomum cardamomum

L) berbeda dengan true cardamom yang laporannya sudah cukup banyak baik secara

kimia ataupun aktivitas biologinya. Dilaporkan biji kapulaga mengandung minyak

atsiri sekitar 2-4%, dengan kandungan utamanya 1,8 sineol dengan kadar sampai

70%. Kandungan minyak atsirinya yang lain diantaranya β- dan α-pinen, α-terpineol,

humulen, dan borneol.

2.9.5Identitas Simplisia

Pemerian buah sejati, buah kotak, bentuk hampir bulat, menggembung atau

agak keriput, warna kecokelatan atau kuning kecokelatan, bau khas aromatik, rasa

agak pedas, panjang 1-1,8 cm, lebar sampai lebih kurang 1,5 cm; pada permukaan

terdapat 3 alur membujur yang membagi buah menjadi 3 bagian; permukaan luar licin

atau bergaris-garis membujur; buah beruang 3, dipisahkan satu dengan yang lainnya

oleh sekat, dalam ruang terdapat 2 deret biji yang saling berlekatan dan menempel

pada plasenta sumbu buah. Biji berwarna cokelat kemerahan; panjang 3-5 mm, lebar

2-3,5 mm; bentuk tidak beraturan, bersudut-sudut, permukaan biji berkerut-kerut

(25)

Gambar 2.10. Simplisia buah kapulaga

2.9.6Parameter Mutu Simplisia

Parameter mutu simplisia kapulaga (Materia Medika Indonesia):

a. Kadar abu tidak lebih dari 12,3%

b. Kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 2,3%

c. Kadar sari larut air tidak kurang dari 10,7%

d. Kadar sari larut etanol tidak kurang dari 2,7%

e. Kadar air 10%

2.10 Minyak Atsiri

Minyak atsiri yang dikenal juga dengan nama minyak eteris atau minyak

terbang (essential oil, volatile oil) dihasilkan oleh tanaman. Minyak tersebut mudah

menguap pada suhu kamar tanpa dekomposisi, mempunyai rasa getir, berbau wangi

sesuai dengan bau tanamanm penghasilnya, umumnya larut dalam pelarut organik

dan tidak larut dalam air (Naik, et al, 2004).

Kegunaan minyak atsiri sangat luas dan spesifik, khususnya dalam berbagai

bidang industri, antara lain dalam industri kosmetik seperti: sabun, pasta gigi, sampo,

losion, dalam industri makanan digunakan sebagai bahan penyedap atau penambah

cita rasa, dalam industri parfum sebagai pewangi dalam berbagai produk minyak

wangi, dalam industri farmasi atau obat-obatan sebagai anti nyeri, anti infeksi,

pembunuh bakteri, dalam industri bahan pengawet, bahkan digunakan pula sebagai

insektisida. Oleh karena itu, tidak heran jika minyak atsiri banyak diburu berbagai

negara.

Di Indonesia ada beberapa tanaman penghasil minyak atsiri, antara lain: jahe,

kencur, kunyit, akar wangi, jeruk, pala, nilam, mawar, sirih dan kapulaga.

(26)

Ditinjau dari segi kimia fisika, minyak atsiri hanya mengandung dua

golongan senyawa, yaitu oleoptena dan stearoptena.Oleoptena adalah bagian

hidrokarbon di dalam minyak atsiri dan berwujud cairan.Umumnya senyawa

golongan oleoptena ini terdiri atas senyawa monoterpena, sedangkan stearoptena

adalah senyawa hidrokarbon teroksidasi dan umumnya berwujud padat (Ajit, et al.,

1995; Naik, et al., 2004).

Pada dasarnya semua minyak atsiri mengandung campuran senyawa kimia

dan biasanya campuran tersebut sangat kompleks, namun tidak melebihi dari 300

senyawa.Beberapa tipe senyawa organik mungkin terkandung dalam minyak atsiri,

seperti hidrokarbon, alkohol, ester, aldehida, dan eter.Yang menentukan aroma

minyak atsiri biasanya komponen yang persentasinya tinggi.Walaupun begitu,

kehilangan satu komponen dalam persentasi kecilpun dapat memungkinkan

terjadinya perubahan aroma dari minyak atsiri tersebut (Naik, et al., 2004).

2.11.1 Lokalisasi Minyak Atsiri

Minyak atsiri terkandung dalam berbagai organ, seperti didalam rambut

kelenjar (pada family Labiateae), didalam sel-sel parenkim (misalnya family

Piperaceae), didalam saluran minyak yang disebut vittae (famili Umbelliferae),

didalam rongga-rongga skizogen dan lisigen (pada famili Pinaceae dan Rutaceae),

terkandung didalam semua jaringan (pada famili Coniferae).

Minyak atsiri dapat terbentuk secara langsung oleh protoplasma akibat adanya

peruraian lapisan resin pada dinding sel atau oleh hidrolisis dari glikosida tertentu.

Peranan paling utama minyak atsiri terhadap tumbuhan itu sendiri adalah penggusir

serangga, serta penggusir hewan-hewan pemakan daun lainnya.

2.11.2 Cara Isolasi Minyak Atsiri

Isolasi minyak atsiri dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

1. Penyulingan (distillation)

(27)

3. Ekstraksi dengan pelarut menguap (solvent extraction)

(28)

2.11.3 Metode Penyulingan

Minyak atsiri dapat diproduksi melalui tiga metode penyulingan, yaitu

penyulingan dengan air, penyulingan dengan uap dan penyulingan dengan air dan

uap.

1. Penyulingan dengan air

Pada metode ini, bahan tanaman yang akan disuling mengalami kontak

langsung dengan air mendidih. Bahan dapat mengapung diatas air atau terendam

secara sempurna, tergantug pada berat jenis dan jumlah bahan yang disuling.

Penyulingan dengan cara langsung ini dapat menyebabkan banyaknya rendemen

minyak yang hilang (tidak tersuling) dan terjadi pula penurunan mutu minyak yang

diperoleh.

2. Penyulingan dengan uap

Model ini disebut juga penyulingan uap atau penyulingan tak langsung. Pada

prinsipnya, model sama dengan penyulingan langsung. Hanya saja, air penghasil uap

tidak diisikan bersama-sama dalam ketel penyulingan.Uap yang digunakan berupa

uap jenuh atau kelewat panas dengan tekanan lebih dari 1 atmosfer.

3. Penyulingan dengan air dan uap

Pada model penyulingan ini, bahan tanaman yang akan disuling diletakkan

diatas rak-rak atau saringan berlubang. Kemudian ketel penyulingan diisi dengan air

sampai permukaannya tidak jatuh dari bagian bawah saringan.

2.12 Analisis Komponen Minyak Atsiri dengan GC-MS

Analisis komponen minyak atsiri merupakan masalah yang cukup rumit

karena minyak atsiri mengandung campuran senyawa dan sifatnya yang mudah

menguap pada suhu kamar. Setelah ditemukannya kromatografi gas (GC), kendala

dalam analisis komponen minyak atsiri mulai dapat diatasi. Pada penggunaan GC,

efek penguapan dapat dihindari bahkan dihilangkan sama sekali. Perkembangan

(29)

merupakan gabungan dua sistem dengan prinsip dasar yang berbeda satu sama lain

tetapi saling melengkapi, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan spectrometer

massa. Kromatografi gas berfungsi sebagai alat pemisah berbagai campuran

komponen dalam sampel sedangkan spectrometermassa berfungsi untuk mendeteksi

masing-masing komponen yang telah dipisahkan pada kromatografi gas (Rohman,

2007).

2.12.1 Uji Organoleptik Sediaan

Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses

penginderaan. Penginderaan diartikan sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu

kesadaran atau pengenalan alat indera akan sifat-sifat benda karena adanya

rangsangan yang diterima alat indera yang berasal dari benda tersebut. Penginderaan

dapat juga berarti reaksi mental (sensation) jika alat indera mendapat rangsangan

(stimulus).

Uji organoleptik disebut juga uji penerimaan yang bertujuan untuk

mengetahui apakah sediaan dapat diterima oleh masyarakat dari segi warna, rasa, dan

aroma (Sarastani, 2008).

Uji organoleptik ini dilakukan untuk mengetahui tanggapan kesukaan panelis

terhadap warna, kekentalan, aroma, rasa, sensasi di mulut, dan penampakan

(penilaian) umum.

Uji organoleptik yang digunakan dalam formulasi obat kumur adalah uji

hedonik (kesukaan), yaitu:

1. Warna

Penilaian warna digunakan dalam pengujian organoleptik karena warna

mempunyai peranan penting terhadap tingkat penerimaan produk secara visual.

2. Kekentalan

Penilaian kekentalan digunakan dalam pengujian organoleptik karena

kekentalan mempunyai peranan penting terhadap tingkat penerimaan produk saat

(30)

3. Aroma

Penilaian aroma digunakan dalam pengujian organoleptik karena aroma

mempunyai peranan penting terhadap tingkat penerimaan produk.

5. Rasa

Penilaian rasa digunakan dalam pengujian organoleptik karena rasa

mempunyai peranan penting terhadap tingkat penerimaan produk.Rasa dapat dinilai

dengan adanya tanggapan kimiawi oleh indera pencicip (lidah).

6. Sensasi di Mulut

Penilaian sensasi di mulut digunakan dalam pengujian organoleptik karena

efek sensasi di mulut mempunyai peranan penting terhadap tingkat penerimaan

produk.

2.12.2 Uji Klinis

Uji klinis (clinical trial) merupakan penelitian eksperimental terencana

yangdilakukan pada manusia.Pada uji klinis peneliti memberikan perlakuan atau

intervensi pada subjek penelitian, kemudian efek perlakuan (outcomes) diukur dan

dianalisa, sehingga dapat dijelaskan hubungan antara faktor prediktor dengan efek

(hubungan sebab-akibat).

Pada uji klinis, peneliti atau investigator akan membandingkan efek

(outcomes) pada kelompok-kelompok (grup-grup) yang berpartisipasi atau diikutkan

dalam penelitian dimana setiap kelompok-kelompok tersebut mendapat perlakuan

(intervensi) yang berbeda. Desain antara 2 grup (between-grup designs) selalu

digunakan pada uji klinis karena ingin membandingkan efek pengobatan (comparison

treatment), karena pada desain ini 1 kelompok yang mendapat intervensi (terapi) dan

1 kelompok tidak mendapat terapi (lebih populer disebut kelompok plasebo)

(Mukhtar, et al., 2011).

Dewasa ini semua uji klinis yang dimaksudkan untuk mengembangkan obat

(31)

Pratice (GCP) atau cara uji klinis yang baik (CUKB). Dengan menerapkan GCP ini

akan diperoleh dapat dipercaya, tepat, dan akurat. Yang kedua ialah terjaminnya hak,

keselamatan, integritas, dan kesejahteraan subjek yang ikut dalam

(32)

(Sanz,et al., 2001; Roldan,et al., 2003; Donaldson, et al., 2005; Waler, SM.,1992, cit

Djaya, 2000).

2.14 Hipotesis Penelitian: 2.14.1 Hipotesis Mayor:

a. Berkumur dengan minyak atsiri buah kapulaga dapat menurunkan kadar

gas VSC pada subjekhalitosis dibandingkan dengan kontrol positif (obat kumur

Listerine®) dan kontrol negatif (plasebo).

2.14.2 Hipotesis Minor:

a.Ada hubungan antara kenaikan konsentrasi minyak atsiri buah kapulaga

dengan penurunan kadar gas VSC.

b. Pada konsentrasi 0,25% dapat menghambat pertumbuhan bakteri

Porphyromonas gingivalis.

c. Pada konsentrasi 0,5% dapat membunuh bakteri Porphyromonas

gingivalis.

d. Pada konsentrasi 1% dapat membunuh bakteri Porphyromonas gingivalis.

e. Pada konsentrasi 1,5% dapat membunuh bakteri Porphyromonas

gingivalis.

f. Pada konsentrasi 2% dapat membunuh bakteri Porphyromonas gingivalis.

g.Obat kumur minyak atsiri buah kapulaga sama efektifnya dengan obat

kumur Listerine® dan lebih efektif dalam menurunkan gas VSC dibandingkan obat

(33)

2.15 Kerangka Konsep

Minyak Atsiri Buah Kapulaga

0,125%, 0,25%, 0,5%, 1%, 1,5%, 2%

Porphyromonas gingivalis

(+)

Porphyromonas gingivalis

(-)

Pre Klinis

Uji Klinis

Pre Test Post Test

 Skor organoleptik  Kadar gas H2S  Kadar gas CH3SH  Kadar gas CH32S  Kadar gas VSC

 Skor organoleptik  Kadar gas H2S  Kadar gas CH3SH  Kadar gas CH32S  Kadar gas VSC Minyak Atsiri Buah Kapulaga 0,5%

Listerine®

Gambar

Gambar 2.1.Porphyromonas gingivalis(Roldan, et al., 2003)
Gambar 2.2. Reduksi asam amino menghasilkan gas VSC
Gambar 2.3.Tongue Coating Score (Yaegaki, 2007)
Gambar 2.4. Pengukuran dengan organoleptik
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan konsumen akan mempengaruhi keputusan nasabah memilih perbankan syariah ketika konsumen memiliki pengetahuan yang lebih, maka

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kinerja guru adalah prestasi kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya melakukan proses belajar

Dengan demikian, membangun masjid agung yang representatif – yang mampu menampung berbagai macam aktivitas masyarakat Minangkabau baik itu sebagai tempat ibadah maupun sebagai tempat

diberi rentang antara risiko yang jarang terjadi ( rare ) sampai dengan risiko yang dapat terjadi setiap saat ( almost certain ).Sedangkan untuk keparahan atau

Tulisan ini mencoba mengulas misteri rumah tinggal orang Jawa, dengan penekanan pada konsep ruang yang terjadi melalui pengetahuan budaya yang dimiliki oleh orang Jawa.

Berdasarkan hasil penilaian indeks risiko menggunakan NHS Highland dapat dilihat bahwa terdapat 5 potensi risiko dalam kategori high risk , yaitu masing-masing pada

The research about utilization of nitrogen gas as a carrier gas in the determination of Hg ions by using Cold Vapor-Atomic Absorption Spectrophotometer (CV-AAS) method has

Ramli, Soehatman, (2010) Pedoman praktis Manajemen Risiko dalam prespektif K3OHS Risk Management, Dian Rakyat, Jakarta.. Universitas