• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemerkosaan Terhadap Penderita Gangguan Mental (Studi Putusan No. 377 Pid.B 2011 PN.BB)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemerkosaan Terhadap Penderita Gangguan Mental (Studi Putusan No. 377 Pid.B 2011 PN.BB)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu

pengetahuan dan teknologi menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak

positif pesatnya perkembangan antara lain terciptanya berbagai macam produk

yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui

satelit dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Dampak negatif antara lain

semakin meningkatnya krisis nilai moral di masyarakat yang berpotensi

meningkatnya jumlah orang melawan hukum pidana dalam berbagai bentuk.1

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan

Undang-undang Dasar 1945, mengatur setiap tingkah laku warga negaranya tidak

terlepas dari segala bentuk peraturan yang bersumber dari hukum.Negara hukum

menghendaki agar hukum senantiasa harus ditegakkan, dan di junjung tinggi oleh

siapapun juga tanpa ada pengecualian.Hal ini bertujuan untuk menciptakan

keamanan, ketertiban, kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara.Dalam upaya mewujudkan penegakan supremasi hukum di Indonesia,

diperlukan produk hukum yang dalam hal ini adalah undang-undang yang

berfungsi sebagai pengatur segala tindakan masyarakat sekaligus sebagai alat

paksa kepada masyarakat. Hal ini juga tentu saja dimaksudkan untuk mewujudkan

tujuan nasional sebagaimana yang telah dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945

yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

(2)

dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan sosial.

Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik karena terkait dengan

kepentingan umum, yaitu mengatur hubungan antar warga negara dengan

masyarakat hukum atau negara.Konsekuensi logis sebagai bagian dari hukum

publik, hukum pidana tidak saja mengatur segala urusan individu dengan

masyarakat hukum atau negara, tetapi mengatur juga bagaimana seharusnya

negara melaksanakan tugasnya.2

Enschede mendefenisikan hukum pidana secara singkat merupakan

“rumusan delik yang mengandung ukuran-ukuran suatu perbuatan”.3

Berdasarkan pendapat W.L.G Lemaire dan pemahaman dari pendapat

Enschede tersebut, maka menurut Sudarto, hukum pidana pada dasarnya berpokok

pada dua hal:

Rumusan ini

mengandung arti tidak hanya sekadar memuat rangkuman unsur-unsur suatu delik,

tetapi juga tentang sanksi dari delik tersebut apabila dilanggar yaitu berupa

nestapa.

4

1. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Adalah berupa perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang

memungkinkan adanya pemberian pidana.Perbuatan semacam itu, dapat disebut

“perbuatan yang dapat dipidana” atau disingkat “perbuatan jahat” (Verbrechen

atau crime).Oleh karena dalam “perbuatan jahat” harus ada orang yang

2

Marwan Effendy, Teori Hukum dan Prespektif kebijakan, Perbandingan dan

Harmonisasi Hukum Pidana, (Jakarta: Referensi), 2014 hal. 23

3Enschede dalam Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, Cet ke-2,

1990, hal. 9

(3)

melakukannya maka persoalan tentang “perbuatan tertentu” itu diperinci menjadi

dua, yakni perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.

2. Pidana

Adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang

melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Di dalam hukum

pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut “tindakan tata tertib”

(tuctmaatregel, masznahme). Di dalam ilmu pengetahuan hukum adat Ter Haar

memakai istilah (adat) reaksi.Di dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis

pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP.

Dalam hukum pidana ada 3 pokok persoalan, pertama tentang perbuatan

yang dilarang, kedua tentang orang yang melanggar larangan itu, dan ketiga

tentang pidana yang diancamkan kepada si pelanggar larangan itu.5Atas dasar itu,

maka persoalan dasar dari hukum pidana adalah makna, tujuan serta ukuran dari

penderitaan pidana yang harus diterima, yang merupakan persoalan tidak

terpecahkan hingga kini.6

Tindak pidana pemerkosaan ironisnya tidak hanya berlangsung di

lingkungan luar atau tempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia

berlainan jenis dapat berkomunikasi, namun juga dapat terjadi di lingkungan

sekitar yang seharusnya menjadi tempat memperoleh perlindungan.Pada

hakikatnya korban tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam

tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang

kehidupan dan penghidupan.Mengenai kejahatan asusila seperti pemerkosaan

tentunya dapat menimbulkan trauma yang mendalam bagi korban yang dapat

(4)

mempengaruhi perkembangan psikologisnya. Tidak hanya itu, hal ini juga

menyangkut kepercayaan, kelangsungan sebuah keluarga dan masa depan korban.

Delik kesusilaan termasuk bagian hukum pidana yang tidak netral, artinya

berbeda misalnya dengan delik pembunuhan, pencurian, dan lain-lain.Delik

kesusilaan disetiap negara berbeda-beda.7 Jika delik kesusilaan di Indonesia

semakin kencang, antara lain dengan dikeluarkannya undang-undang tentang

pornografi yang sangat ketat, maka di Belanda, Perancis, dan lain-lain

peraturannya semakin melunak. Delik permukahan (Overspel) sudah dicabut dari

Nederland Wetboek van Straafrecht sejak tahun 1971 karena dianggap kejahatan

tanpa korban.8

1. Besarnya jumlah dan sukarnya melakukan pencegahan terhadap

gelombang urbanisasi remaja dari desa ke kota;

Namun kejahatan kesusilaan khususnya pemerkosaan tidak selamanya

terjadi karena ada faktornya dari pelaku, namun juga biasa terjadi karena

disebabkan oleh korban.Pemerkosaan dalam hal ini diatur dalam Pasal 285-297

KUHP.

Menurut Lunden di negara berkembangan kejahatan timbul disebabkan oleh:

2. Terjadinya konflik antarnorma adat perdesaan (tradisional) dengan norma

baru yang tumbuh dalam proses dan perkembangan kehidupan sosial yang

cepat di kota besar;

3. Memudarnya pola-pola kepribadian individu yang terkait kuat pada pola

kontrol sosial tradisionalnya, sehingga anggota masyarakat terutama

7

Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika) 2015, hal 164.

(5)

remajanya mulai kehilangan pola kepribadian atau “samar pola”

menentukan perilakunya.9

Kejahatan seksual sekarang ini merebak dengan segala bentuk. Khususnya

pada kasus pemerkosaan, pelaku tidak mengenal lagi status, pangkat, pendidikan,

jasmani, dan usia korban. Semua ini dilakukan apabila mereka merasa terpuaskan

hawa nafsunya. Demikian juga usia pelaku yang tidak mengenal batas usia.

Selama individu maasih mempunyai daya seksual, dari anak-anak sampai

kakek-kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan

pemerkosaan.Kejahatan pemerkosaan benar-benar perbuatan yang keji, karena

selain perbuatan ini tidak disenangi oleh masyarakat terutama keluarga yang

menjadi korban, Tuhan juga melaknat bagi pelaku pemerkosaan.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik mengkaji lebih dalam dan

menyusun dalam bentuk skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana

Pelaku Pemerkosaan Terhadap Penderita Gangguan Mental (Studi Putusan No. 377/Pid.B/2011/PN.BB)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis

merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan hukumtentang tindak pidana pemerkosaan?

2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku

pemerkosaan penderita gangguan mental berdasarkan Putusan No.

377/Pid.B/2011/PN.BB?

9

(6)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang tindak pidana pemerkosaan

dan unsur-unsur tindak pidananya

2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana pelaku

pemerkosaan terhadap penderita gangguan mental dan hal-hal apa saja

yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap

pelaku pemerkosaan terhadap gangguan mental

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat secara teoretis dan manfaat

secara praktis sebagai berikut:

1. Manfaat teoretis

Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum pidana pada

khususnya.

2. Manfaat praktis

Memberikan sumbangan pemikiran yang moderat, sekaligus memberikan

informasi kepada masyarakat agar lebih berhati-hati terhadap

kejahatan-kejahatan yang sekarang marak.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas

masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penulisan dimaksud.

(7)

Universitas Sumatera Utara, penulisan tentang Pertanggungjawaban Pidana

Pelaku Pemerkosaan Pemerkosaan Terhadap Penderita Gangguan Mental (Studi

Putusan No. 377/Pid.B/2011/PN.BB), adapun judul yang ada di Perpustakan

Universitas Sumatera Utara antara lain:

Belum pernah ditulis oleh penulis sebelumnya.

Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam

penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah

yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka

dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

F. Tinjaun Kepustakaan

1. Tindak Pidana Pemerkosaan a. Tindak Pidana

Tindak Pidana (Strafbaar Feit) adalah perilaku yang pada waktu tertentu

dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki

dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana.10

Sedangkan menurut Simons, Strafbaar Feit adalah suatu tindakan

melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat Menurut Moelijatno suatu perbuatan pidana (Criminal act) harus dipisahkan

dengan Pertanggungjawaban Pidana (Criminal liability atau Criminal

Responsibility).Oleh karena itu maka pengertian tindak pidana tidak meliputi

pertanggungjawaban pidana.

(8)

dihukum.11

1. Perbuatan;

dalam merumuskan suatu pidana, atau suatu pidana dapat dinyatakan

suatu perbuatan pidana, syaratnya adalah harus memenuhi unsur-unsur pidana,

unsur-unsur tindak pidana menurut Moelijatno, adalah:

2. Yang dilarang (Oleh aturan Hukum);

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar)

Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada

pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya.Ancaman dengan

pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya

benar-benar dipidana. Dalam perkembangannya, tindak pidana (Delict) memiliki

kategorisasi, yaitu:12

1. Delik yang bersifat menyakiti/merugikan (krenkingsdekicten) dan Delik

yang menimbulkan Ancaman atau Keadaan Bahaya

(Gevaarzettingsdelicten)

Dalam aturan hukum baik Indonesia maupun Belanda, rumusan tindak

pidana dapat kita bedakan antara tindak pidana yang terfokus pada sifat

menyakiti.Disini kerugian harus lebih dulu muncul sebelum hukum pidana

member reaksi, misal dalam delik pembunuhan (pasal 338 KUHP), Pencurian

(Pasal 362 KUHP), Penipuan (pasal 378 KUHP), Perusakan (pasal 406 KUHP)

dan dengan tindak pidana yang difokuskan pada ancaman bahaya yang mungkin

timbul dari suatu delik.

11

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Raja Grafindo Persada: Jakarta) 2008, hal. 75

(9)

2. Delik persiapan

Satu bentuk khusus delik yang menimbulkan bahaya abstrak adalah delik

persiapan (Voorbereidingsdelicten).Ini mencakup perumusan tindak pidana oleh

pembuat undang-undang atas suatu perbuatan yang memang ditujukan untuk

melaksanakan delik menyakiti/merugikan atau delik yang menimbulkan bahaya

konkret, namun perbuatan itu sendiri tidak cukup untuk dikatakan memenuhi

unsure percobaan

3. Delik Materiil dan Delik Formil

Delik formil adalah tindak pidana yang di dalam perundang-undangan

cukup disebut merujuk pada perbuatan tertentu atau kelalaian; sedangkan delik

materiil adalah perbuatan yang menyebabkan konsekuensi tertentu, dimana

perbuatan tersebut kadang tercakup dan kadang tidak tercakup sebagai unsur

dalam perumusan tindak pidana.

2. Pemerkosaan 1. Pengertian

Pemerkosaan berasal dari kata dasar “perkosa” yang berarti paksa, gagah,

kuat, perkasa.Memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa,

melanggar dengan kekerasan.Sedangkan pemerkosaan diartikan dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia pemerkosaan memiliki unsur-unsur pria memaksa dengan

kekerasan, bersetubuh dengan seorang wanita.13

Pemerkosaan tidak hanya terjadi kepada wanita dewasa, tetapi sering pula

terjadi pada anak-anak.Jadi pemerkosaan menurut yuridis adalah perbuatan

13

Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar

(10)

memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.14

1. Menundukkan dengan kekerasan; Menggagahi, memaksa dengan kekerasan,

misalnya memperkosa istri orang, memperkosa gadis yang belum berumur Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia 1976 Susunan Poerwadarminto,

ia mengatakan bahwa pemerkosaan berarti:

2. Melanggar, menyerang, dan sebagainya dengan kekerasan.

Menyetubuhi orang yang tidak berdaya atau pingsan atau anak di bawah umur

(dengan persetujuannya), bukan tidak dipidana dalam KUHP, tetapi tidak

termasuk perkosaan dan diatur dalam pasal lain, yaitu pasal 286 dan 287 KUHP.

Sebagai perbandingan, disini dikutip Pasal (Section) 213.1 model penal code

(USA), Rape and related offenses.15

(a) He compels her to submit by force or by threat of imminent death, serious bodily injury, extreme pain or kidnapping, to be inflicted on anyone; or

Rape: A male who sexual intercourse with a female, not his wife, is guilty of rape, if:

(b) He has substantially impaired her power to appraise of control her

conduct by administering of employing without her knowledge drugs, intoxicant or other means for purpose of preventing resistance; or

(c) The female is unconscious; or (d) The female is less than 10 years old.

Terjemahan:

Pemerkosaan: seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya bersalah melakukan perkosaan, jika:

(a) Ia memaksa perempuan itu tunduk dengan kekerasan atau ancaman akan dibunuh, dilukai secara serius, disakiti dengan sangat, atau penculikkan yang akan dilakukan pada seseorang; atau

(b) Pada pokoknya ia telah menghalangi untuk menilai atau mengendalikan tingkah lakunya dengan jalan memberikan atau menggunakan obat, minuman

14 Suryono Ekotama et al, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, (Yogyakarta:

Universitas Atmajaya) 2001, hal. 96

15

(11)

keras, atau cara-cara lain tanpa sepengetahuannya, dengan maksud untuk mencegah perlawanannya;

(c) Perempuan itu tidak sadar

(d) Perempuan itu berumur kurang dari sepuluh tahun.

2. Objek Pemerkosaan dalam Hukum Pidana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Objek adalah benda, hal, atau

sesuatu yang dijadikan sasaran pembicaraan, penelitian dan sebagainya. Dalam

hukum pidana, terkhusus pidana pemerkosaan yang menjadi objek aalah korban,

korban adalah mereka yang menderita secara jasmani dan rohani sebagai tindakan

orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang

bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi manusia.16

Sahetapy memberikan pengertian korban tidak hanya dibatasi sebagai

korban kejahatan saja, karena dari sebab timbulnya dan akibat yang ada

mempunyai aspek yang luas dilihat dari beberapa segi, hal ini dapat dilihat

pendapatnya mengenai korban, yaitu korban adalah orang perorangan atau badan

hukum yang menderita luka-luka, kerusakan atau bentuk-bentuk kerugian lainnya

yang dirasakan, baik secara fisik maupun secara kejiwaan. Kerugian bukan hanya

dilihat dari sisi hukum saja, tetapi juga dapat dilihat dari sisi ekonomi, politik,

maupun sosial budaya.Mereka yang menjadi korban dalam hal ini dapat

dikarenakan kesalahan si korban itu sendiri, peranan korban secara langsung atau

tidak langsung, dan tanpa adanya peranan dari si korban.17

Ada beberapa objek yang menjadi korban pemerkosaan, yaitu:18

a. Heteroseksual

16 Muhammad Arif, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana. (Jakarta) 1992,

hal 23

17 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Presindo), 1993, hal 45 18

(12)

Yaitu pemerkosaan pada umumnya, dimana pelakunya adalah laki-laki

dan korbannya adalah perempuan yang dengan paksaan, kekerasan, atau ancaman

kekerasan memaksa untuk bersetubuh.

b. Homoseksual

Perbuatan memaksa seorang laki-laki (sesame jenis) untuk bersetubuh

dengan paksaan, kekerasan, atau ancaman kekerasan, pelaku melakukan sodomi

kepada korban nya, namun lebih lanjut menurut Njowito Hamdani istilah

‘bersetubuh’ disini adalah untuk istilah medis, sedangkan dari segi hukum,

perbuatan ini dianggap sebagai perbuatan cabul, karena tidak memenuhi

unsur-unsur pemerkosaan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 285 KUHP.

Seseorang yang normal dapat berubah menjadi homoseksual, misalnya di

Lembaga Pemasyarakatan. Sodomi sendiri berasal dari kata Sodom, sebuah kota

purbakala di Syria yang dengan kota Gamora, menurut Alkitab Perjanjian Lama

dibakar oleh Allah karena kelakuan seksual penduduk yang tidak senonoh.

Sedangkan istilah homoseksual bagi perempuan dikenal dengan istilah tribade,

sapfisme, amor lesbicus, dan frikatises. Tribade berasal dari kata tribas yang

berarti ‘menggesek’, begitu juga dengan arti frikatises. Sapfisme berasal dari nama

Sappho, seorang penyair perempuan yang tersohor di pulau Lesbos, yang

membuat syair asmara untuk kekasih-kekasihnya. Dari Lesbos kemudian timbul

kata amor Lesbicus dan Lesbian.

c. Zoofilia

Adalah perbuatan cabul yang dilakukan seseorang kepada

hewan/binatang, baik jantan maupun betina.Sering terjadi pada penggembala

(13)

khusus membahas tentang kejahatan terhadap hewan, yaitu Pasal 302 KUHP yang

berbunyi:

(1)Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan:

1. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya.

2. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak member makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada dibawah pengawasannya atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya

(2)Jika perbuatan itu menyebabkan sakit lebih dari seminggu atau cacat atau menderita luka berat lainnya atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena penganiayaan hewan.

(3)Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas (4)Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.

d. Nekrofilia

Nekrofilia atau nekromaniadalah seseorang yang melakukan

persetubuhan dengan mayat.Perbuatan dapat berupa perbuatan cabul, sentuhan,

bahkan persetubuhan.Dalam kasus ini pelaku dapat dikenakan Pasal 180 atau 406

KUHP.

Pasal 180 KUHP:

“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menggali atau mengambil atau memindahkan atau mengangkut mayat yang sudah digali atau diambil, diancam cengan pidana paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Pasal 406 KUHP:

(14)

2. Pertanggungjawaban pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap

tindak pidana yang dilakukannya.Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang

itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.Dengan demikian, terjadinya

pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang.Pertanggungjawaban pidana pada hakekatnya merupakan suatu

mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap

pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.19

Pertanggungjawaban Pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan

penghapus pidana. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang

pembuat tidak memiliki “defence”, ketika melakukan suatu tindak pidana itu. Defenisi tentang Pertanggungjawaban Pidana tidak ditemukan dalam

KUHP positif.Pertanggungjawaban Pidana menurut doktrin adalah diteruskannya

alasan yang secara objektif ada pada perbuatan pidana, secara subjektif kepada

pelaku tindak pidana yang memenuhi syarat yang dapat dijatuhi pidana. Defenisi

tentang pertanggungjawaban pidana menurut doktrin tersebut kemudian diadopsi

oleh konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional,

sebagaimana dapat dilihat di dalam Pasal 37 konsep KUHP Nasional, yang

menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang

objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang

memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.

20

19

Chairul Huda, Dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada

pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan: Tinjauan kritis terhadap teori pemisahan tindak pidana dan Pertanggungjawaban pidana, (Prenada Media: Jakarta), 2006, hal. 68

20

(15)

Dalam pengertian hukum pidana dapat disebut ciri-ciri atau unsur

kesalahan dalam arti luas, yaitu:21

a. Dapat dipertanggungjawabkan pembuat;

b. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya

sengaja atau kesalahan dalam arti sempit;

c. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya

dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat (tidak ada

alasan penghapus pidana).

Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat

memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan.

Dengan demikian, keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya mampu

membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang atidak boleh

dilakukan, atau dengan kata lain mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu

yang berada diluar pengertian kesalahan. Mampu bertanggungjawab adalah syarat

kesalahan, sehingga bukan merupakan bagiandari kesalahan itu sendiri.Oleh

karena itu, terhadap subjek hukum manusia, mampu bertanggungjawab

merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus syarat adanya

kesalahan.22

Simons memberikan rumusan yang agak panjang, tetapi lebih jelas yaitu

bahwa kesalahan adalah adanya keaaan psikis yang tertentu pada orang yang

melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut

21

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Rineka Cipta: Jakarta), 1994, hal. 130

(16)

dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela

karena melakukan perbuatan tadi.23

Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan terutama dibatasi pada

perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (Dolus). Dapat dipidananya delik

culpahanya bersifat perkecualian (eksepsional) apabila ditentukan secara tegas

oleh undang-undang diperberat dengan ancaman pidananya, hanya dikarenakan

kepada terdakwa apabila ia sepatutnya sudah dapat menduga kemungkinan

terjadinya akibat itu atau apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan. Jadi konsep

tidak menganut doktrin “Erfolgshafting” (doktrin “menanggung akibat”) secara

murni, tetapi tetap diorientasikan pada asas kesalahan.24

3. Gangguan Mental

Sedangkan Roeslan Saleh berpendapat bahwa pengertian

pertanggungjawaban Pidana tidak termasuk perbuatan pidana.Perbuatan pidana

dikatakan bahwa, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang

mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban Pidana.

a. Pengertian

Gangguan mental atau keterbelakangan mental disebut juga

tunagrahita.Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang

yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata.Dalam kepustakaan

bahasa asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mental retarded,

mentally deviciency, mental detective, dan lain-lain.

Istilah diatas mempunyai arti yang sama yaitu memaparkan kondisi

seseorang yang kecerdasannya dibawah rata-rata dan ditandai dengan keterbatasan

23 Moelijatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka), 2002, hal. 158 24

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan

(17)

intelegensi dan ketidakcakapannya dalam berinteraksi sosial. Dengan latar

belakang seperti ini, Alfred Binet tampil dengan konsep baru tentang psikologi

bahwa kecerdasan diteliti secara langsung tanpa adanya perantara lagi.Selanjutnya

Binet melontarkan pula ide baru yang diistilahkan dengan “Mental level” yang

kemudian menjadi “Mental age”.25

Gangguan mental atau retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensi

yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa

anak-anak).Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara

keseluruhan, tetapi gejala utama (yang menonjol) ialah intelegensi yang

terbelakang (gangguan intelegensi).Retardasi mental disebut juga Oligofrenia

(oligo berarti kurang atau sedikit dan fren yang berarti jiwa) atau tuna mental.26

Untuk tidak memberikan pengertian yang berbaur perlu dijelaskan

bahwa, dari sejarah penyebabnya, intelegensi subnormal terbagi atas dua macam,

yaitu mental terhambat atau lemah mental (Mentally retarded) dan cacat mental

(mentally devective).Penderita mental terhambat biasanya tidak menunjukkan

tanda-tanda kelainan fisik.Secara fisik mereka normal dan sehat serta tidak

mempunyai sejarah penyakit atau luka yang mungkin menyebabkan kerusakan

mental.Penderita mengalami kelemahan mental secara umum dan bukan

dikarenakan cacat tertentu. Dengan kata lain, kelemahan mental yang diderita

tidak mempunyai dasar organik. Sering kali didapati bahwa penderita memang

mempunyai garis retardasi mental dalam keluarganya.27

25

T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa,(Bandung: Refika Aditama), 2006, hal.103

26

Muzdalifah, Psikologi Pendidikan,(Kudus: STAIN Kudus), 2008, hal.183

27

(18)

Untuk memahami penderita tunagrahita atau gangguan mental, ada

baiknya kita melihat defenisi tentang penderita ini yang dikembangkan oleh

AAMD(American Association of mental Deficiency) sebagai berikut: “Retardasi

mental menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata secara jelas dengan

disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa

perkembangan”.28

Istilah untuk orang penderita gangguan mental sangat bervariasi. Dalam

bahasa Indonesia, penderita gangguan mental atau tunagrahita juga dikenal

dengan sebutan lemah pikiran, terbelakang mental, cacat grahita, dan sebagainya.

Bahkan tunagrahita sering disamakan dengan berbagai istilah, seperti lemah

pikiran (feeble-minded), terbelakang mental (mental retarted), bodoh atau dungu

(idiot), pander (imbecile), tolol (moron), oligofrenia (oligophrenia), mampu didik

(educable), mampu latih (trainable), ketergantungan penuh (totally dependent)

atau butuh rawat, mental subnormal, deficit kognitif, cacat mental, gangguan

intelektual, dan sebagainya.29

Penderita gangguan mental tergolong luar biasa karena mempunyai

kekurangan atau keterbatasan disbanding orang normal.Keterbatasan tersebut

mencakup banyak hal, mulai dari segi fisik, intelektual, sosial, emosi, dan atau

gabungan dari hal-hal tersebut.Dengan demikian, penderita tunagrahita

membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya

secara optimal.Jadi anak tunagrahita dapat dikatakan mempunyai kekurangan atau

keterbatasan dari segi mental intelektualnya di bawah rata-rata normal, sehingga

mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas akademik, menjalin

28

Kauffman dan Hallahan dalam Muzdalifah, Op.Cit, hal. 184

29 Bambang Purtanto, Tips Menangani Murid Yang Membutuhkan Perhatian Khusus,

(19)

komunikasi, serta berhubungan sosial.Karena itulah penderita tunagrahita

memerlukan layanan pendidikan khusus.

American Association on Mental Deficiency (AAMD) mendefenisikan

tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum dibawah

rata-rata (sub-average), yaitu IQ 84 kebawah berdasarkan tes sebelum usia 16 tahun.

Angka tersebut menunjukkan adanya hambatan dalam perilaku adaptif. Adapun

pengertian tunagrahita dalam Japan league for Mentallity Retarded adalah anak

dengan fungsi intelektual lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes

intelegensi baku yang menunjukkan adanya kekurangan dalam perillaku adaptif.

Tunagrahita terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga

usia 18 tahun. Dengan demikian, anak sekolah sangat rawan terkena jenis

gangguan ini.Oleh sebab itu, jika seseorang diketahui mengalami hal ini, maka

harus diberikan penanganan secara khusus.30

b. Jenis-Jenis Gangguan Mental

Potensi dan kemampuan setiap anak berbeda-beda. Begitu juga dengan

penderita tunagrahita yang memiliki beberapa tingkatan.Oleh karena itu, untuk

menunjang pendidikan agar berjalan efektif, pengelompokkan penderita

tunagrahita perlu dilakukan, pengelompokkan didasarkan pada berat-ringannya

gangguan. Atas dasar itulah anak tunagrahita dapat dikelompokkan sebagai

berikut:31

1. Tunagrahita Ringan (Debil)

Anak yang menderita tunagrahita ringan biasanya penampilan atau kondisi

fisiknya tidak berbeda dengan anak normal.Anak tersebut mempunyai kecerdasan

30Ibid, hal. 209

(20)

intelektual (IQ) pada kisaran 50-70.Mereka juga termasuk kelompok mampu

didik, masih bisa diajar membaca, menulis, dan berhitung.Anak tunagrahita ringan

biasanya mampu menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV pada sekolah dasar

umum.Anak yang tergolong tunagrahita ringan memiliki banyak kelebihan dan

kemampuan.Mereka mampu dididik dan dilatih membaca, menulis, berhitung,

menjahit, memasak, bahkan berjualan.Tunagrahita ringan juga lebihh mudah

diajak berkomunikasi.Selain itu, kondisi fisik mereka tidak begitu

mencolok.Mereka mampu berlindung dari segala jenis bahaya apapun.Karena

itulah anak dengan tunagrahita ringan tidak terlalu membutuhkan pengawasan

ekstra.

2. Tunagrahita Sedang (Imbesil)

orang yang menderita tunagrahita sedang termasuk kelompok latih

(trainable). Penampilan atau kondisi fisiknya sudah dapat terlihat berbeda

dibanding anak normal.Namun demikian, ada sebagian anak tunagrahita sedang

yang mempunyai fisik normal.Kelompok ini mempunyai IQ antara

30-50.Biasanya, mereka mampu menyelesaikan pendidikan setingkat kelas II sekolah

dasar umum.Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan, seorang anak

penderita tunagrahita sedang mampu diajak berkomunikasi.Ia hanya tidak begitu

mahir dalam menulis, membaca, dan berhitung. Akan tetapi, ketika ditanya nama

dan alamat rumahnya, ia mampu menjawab secara jelas. Penderita tunagrahita

sedang juga dapat bekerja dilapangan, tetapi dengan sedikit pengawasan.Anak

tersebut juga masih mampu melindungi diri sendiri dari bahaya.Jadi anak

tunagrahita sedang hanya memerlukan sedikit perhatian dan pengawasan untuk

(21)

3. Tunagrahita berat atau Idiot.

Dalam kegiatan sehari-hari, mereka membutuhkan pengawasan, perhatian,

bahkan pelayanan maksimal.Mereka tidak dapat mengurus diri sendiri, apalagi

berlindung dari bahaya. Asumsi penderita tunagrahita sama dengan idiot hanya

tepat digunakan terhadap golongan tunagrahita berat. Orang dengan tunagrahita

berat memiliki tingkat intelegensi yang sangat rendah sehingga tidak mampu

menempuh pendidikan secara formal.Penderita tunagrahita berat termasuk

kelompok mampu rawat.Pada umumnya, IQ mereka rata-rata sebesar 30 kebawah.

Dalam kegiatan sehari-hari, mereka membutuhkan bantuan orang lain.

c. Faktor Penyebab Tunagrahita

Menurut penyelidikan para ahli, tunagrahita dapat terjadi akibat beberapa

kondisi berikut.32

1. 1. Prenatal (Sebelum Lahir)

Tunagrahita dapat terjadi sewaktu bayi masih berada didalam

kandungan.Adapun beberapa penyebabnya adalah campak, diabetes, cacar,

serta virus tokso. Selain itu kondisi ibu hamil yang kekurangan gizi, gemar

memakai obat-obatan terlarang, serta suka merokok juga dapat memicu

tunagrahita pada bayi

2. Natal (Sewaktu Lahir)

Proses melahirkan yang terlalu lama dapat mengakibatkan otak bayi

tersebut kekurangan oksigen. Selain itu, jika tulang pinggul ibu terlalu kecil

maka hal tersebut dapat menyebabkan otak bayi terjepit sehingga terjadi

32

(22)

pendarahan (anoxia).Proses melahirkan yang menggunakan alat bantu,

seperti penjepit atau tang juga rawan menyebabkan tunagrahita pada bayi.

3. Post Natal (Sesudah Lahir)

Pertumbuhan bayi yang kurang baik, seperti gizi buruk, busung lapar,

demam tinggi disertai kejang-kejang, kecelakaan, serta selaput otak

(meningitis) dapat menyebabkan seseorang mengalami tunagrahita.

d. Ciri-Ciri penderita Tunagrahita

Beberapa karakteristik penderita tunagrahita dapat dijelaskan dalam

indikator berikut ini:33

a. Fisik (penampilan)

1) Terlihat hamper sama dengan anak normal

2) Kematangan motorik lambat

3) Koordinasi gerak kurang

4) Khusus anak tunagrahita berat penampilannya jauh bebeda dengan

anak normal

b. Intelektual

1) Sulit mempelajari hal-hal akademik

2) Pada anak tunagrahita ringan, kemampuan belajar paling tinggi

setara anak normal berusia 12 tahun dengan IQ 50-70.

3) Pada anak tunagrahita sedang, kemampuan belajar paling tinggi

setara anak normal berusia 7-8 tahun dengan IQ 30-50

4) Pada anak tunagrahita berat, kemampuan belajar paling tinggi

setara anak normal berusia 3-4 tahun dengan IQ dibawah 30.

(23)

c. Sosial dan Emosi

1) Suka bergaul dengan anak yang lebih muda

2) Senang menyendiri

3) Mudah dipengaruhi

4) Kurang dinamis

5) Kurang pertimbangan/ sulit mengendalikan diri

6) Kurang konsentrasi

7) Tidak mampu memimpin diri sendiri dan orang lain.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan

konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis

adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal

yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.

1. Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, mencakup penelitian

inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum, penelitian hukum klinis, sistematika

peraturan perundang-undangan, sinkronisasi suatu perundang-undangan, sejarah

hukum dan perbandingan hukum.Penelitian hukum ini merupakan penelitian

mengenai pertanggungjawaban seseorang terhadap tindak pidana yang telah

dilakukannya.

Penelitian hukum normatif atau penelitian perpustakaan ini merupakan

penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data

(24)

hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.Penelitian jenis normatif ini

menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada

dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka.Hal-hal yang dikaji

dalam penelitian hukum normatif meliputi beberapa hal seperti asas-asas hukum,

sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah

hukum.

2. Sifat penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah termasuk penelitian deskriptif, penelitian

deskriptif adalah salah satu jenis penelitian yang tujuannya untuk menyajikan

gambaran lengkap mengenai setting sosial atau dimaksudkan untuk eksplorasi dan

klarifikasi mengenai suatu fenomena kenyataan sosial, dengan jalan

mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.

Penelitian hukum ini bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh

gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku.34

3. Jenis data

Dalam

penulisan ini diharapkan dapat memberikan deskripsi mengenai

Pertanggungjawaban pidana pelaku pemerkosaan terhadap penderita gangguan

mental.

Data adalah kumpulan informasi yang diperoleh dari suatu pengamatan, dapat

berupa angka, lambing, atau sifat.Data dapat meberikan gambaran tentang suatu

keadaan atau persoalan.Data juga bisa didefenisikan sebagai sekumpulan

informasi atau nilai yang diperoleh dari pengamatan (observasi) suatu objek.

Berdasarkan sumber perolehannya, data terbagi atas dua jenis, yaitu:

34 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Persada Media Group.

(25)

a. Data Primer (Primairy Data)

Yaitu data yang dikumpulkan sendir oleh perorangan/suatu organisasi

secara langsung dari objek yang diteliti dan untuk kepentingan studi

yang berssangkutan yang dapat berupa interview atau Observasi.

b. Data Sekunder (Secondary Data)

Yaitu data yang diperoleh/dikumpulkan dan disatukan oleh studi-studi

sebelumnya atau yang diterbitkan oleh berbagai instansi lain. Biasanya

sumber tidak langsung berupa dokumentasi dan arsip-arsip resmi.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer dalam penulisan ini terdiri

dari peraturan perundang-undangan anatara lain Undang-Undang Dasar1945,

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, PERPPU No. 1 tahun 2016

tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan masalah yang

dibahas dalam penulisan ini. Data primer juga dari lapangan yaitu berkas putusan

dari pihak pengadilan negeri yang berkaitan dengan permasalahan penulisan

(26)

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan hukum pendukung yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi buku-buku teks,

dokumen-dokumen, artikel dan jurnal-jurnal hukum.Pada penulisan ini sebagai bahan

hukum sekunder penulis menggunakan buku-buku ilmu hukum, jurnal, publikasi

media cetak maupun elektronik yang berkaitan dengan masalah yang dibahas pada

penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, baik itu berupa rancangan

undang-undang, kamus hukum, maupun ensiklopedia.

4. Teknik pengumpulan data

Mengingat jenis data yang digunakan dalam tulisan ini adalah jenis data

sekunder yang diperoleh dari bahan pustaka, maka teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan.Pustaka yang dimaksud

terdiri dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya tulis, dan data yang

didapat dari halaman-halaman internet (webpage). Kegiatan studi pustaka tersebut

dilakukan dengan mengikuti tahap-tahap sebagai berikut:

a. Penentuan sumber data sekunder.

b. Identifikasi data sekunder yang diperlukan, yaitu proses mencari dan

mengenai badan hukum.

c. Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah, dengan cara

(27)

d. Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya

dengan kebutuhan dan rumusan masalah.35

5. Analisis data

Setelah data terkumpul kemudian dianalisa menggunakan metode analisis

kualitatif.Metode penelitian kulitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan

pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang

alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai

instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive

dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data

bersifat induktif/kualitaif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna

dari pada generalisasi.36

Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat

penemuan. Dalam penelitian kualitatif, adalah instrumen kunci. Oleh karena itu,

penelitian harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya,

menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih

jelas.Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai.Penelitian

kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang Analisis kualitatif bisa juga diartikan sebagai suatu analisa

yang memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil penelitian dan

jawaban-jawaban responden untuk dicari hubungan antara satu dengan yang lain, kemudian

disusun secara sistematis.

35

Nana Syaodih Sukmadinata.Metode Penelitian Kuantitatif.( Jakarta : PT Remaja Rosdakarya), 2005

36

Sugiyono dalamWinarno Surakhmad, Paper, Skripsi, Thesis, Disertasi, (Bandung:

(28)

tersembunyi,untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori,

untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan.37

Referensi

Dokumen terkait

Dampak akibat hutan gundul tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di sekitar hutan gundul saja,namun dampak buruk dari hutan gundul bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat

Sayuran yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi hidroponik memiliki.. kualitas lebih baik dibandingkan

[r]

Evolution of the number of total citation per document and external citation per document (i.e. journal self- citations removed) received by a journal's published documents during

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi retinoblastoma melalui analisis citra fundus retina dengan menggunakan Backpropagation Neural Network..

Ada beberapa keunggulan penerapan kinerja balanced scorecard (BS) dibanding- kan dengan kinerja tradisional yang hanya fokus pada aspek keuangan saja, yaitu: (1) Pengukuran

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan