BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak
positif pesatnya perkembangan antara lain terciptanya berbagai macam produk
yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui
satelit dan meningkatnya pendapatan masyarakat. Dampak negatif antara lain
semakin meningkatnya krisis nilai moral di masyarakat yang berpotensi
meningkatnya jumlah orang melawan hukum pidana dalam berbagai bentuk.1
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945, mengatur setiap tingkah laku warga negaranya tidak
terlepas dari segala bentuk peraturan yang bersumber dari hukum.Negara hukum
menghendaki agar hukum senantiasa harus ditegakkan, dan di junjung tinggi oleh
siapapun juga tanpa ada pengecualian.Hal ini bertujuan untuk menciptakan
keamanan, ketertiban, kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.Dalam upaya mewujudkan penegakan supremasi hukum di Indonesia,
diperlukan produk hukum yang dalam hal ini adalah undang-undang yang
berfungsi sebagai pengatur segala tindakan masyarakat sekaligus sebagai alat
paksa kepada masyarakat. Hal ini juga tentu saja dimaksudkan untuk mewujudkan
tujuan nasional sebagaimana yang telah dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik karena terkait dengan
kepentingan umum, yaitu mengatur hubungan antar warga negara dengan
masyarakat hukum atau negara.Konsekuensi logis sebagai bagian dari hukum
publik, hukum pidana tidak saja mengatur segala urusan individu dengan
masyarakat hukum atau negara, tetapi mengatur juga bagaimana seharusnya
negara melaksanakan tugasnya.2
Enschede mendefenisikan hukum pidana secara singkat merupakan
“rumusan delik yang mengandung ukuran-ukuran suatu perbuatan”.3
Berdasarkan pendapat W.L.G Lemaire dan pemahaman dari pendapat
Enschede tersebut, maka menurut Sudarto, hukum pidana pada dasarnya berpokok
pada dua hal:
Rumusan ini
mengandung arti tidak hanya sekadar memuat rangkuman unsur-unsur suatu delik,
tetapi juga tentang sanksi dari delik tersebut apabila dilanggar yaitu berupa
nestapa.
4
1. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Adalah berupa perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang
memungkinkan adanya pemberian pidana.Perbuatan semacam itu, dapat disebut
“perbuatan yang dapat dipidana” atau disingkat “perbuatan jahat” (Verbrechen
atau crime).Oleh karena dalam “perbuatan jahat” harus ada orang yang
2
Marwan Effendy, Teori Hukum dan Prespektif kebijakan, Perbandingan dan
Harmonisasi Hukum Pidana, (Jakarta: Referensi), 2014 hal. 23
3Enschede dalam Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, Cet ke-2,
1990, hal. 9
melakukannya maka persoalan tentang “perbuatan tertentu” itu diperinci menjadi
dua, yakni perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.
2. Pidana
Adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Di dalam hukum
pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut “tindakan tata tertib”
(tuctmaatregel, masznahme). Di dalam ilmu pengetahuan hukum adat Ter Haar
memakai istilah (adat) reaksi.Di dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis
pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP.
Dalam hukum pidana ada 3 pokok persoalan, pertama tentang perbuatan
yang dilarang, kedua tentang orang yang melanggar larangan itu, dan ketiga
tentang pidana yang diancamkan kepada si pelanggar larangan itu.5Atas dasar itu,
maka persoalan dasar dari hukum pidana adalah makna, tujuan serta ukuran dari
penderitaan pidana yang harus diterima, yang merupakan persoalan tidak
terpecahkan hingga kini.6
Tindak pidana pemerkosaan ironisnya tidak hanya berlangsung di
lingkungan luar atau tempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia
berlainan jenis dapat berkomunikasi, namun juga dapat terjadi di lingkungan
sekitar yang seharusnya menjadi tempat memperoleh perlindungan.Pada
hakikatnya korban tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam
tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang
kehidupan dan penghidupan.Mengenai kejahatan asusila seperti pemerkosaan
tentunya dapat menimbulkan trauma yang mendalam bagi korban yang dapat
mempengaruhi perkembangan psikologisnya. Tidak hanya itu, hal ini juga
menyangkut kepercayaan, kelangsungan sebuah keluarga dan masa depan korban.
Delik kesusilaan termasuk bagian hukum pidana yang tidak netral, artinya
berbeda misalnya dengan delik pembunuhan, pencurian, dan lain-lain.Delik
kesusilaan disetiap negara berbeda-beda.7 Jika delik kesusilaan di Indonesia
semakin kencang, antara lain dengan dikeluarkannya undang-undang tentang
pornografi yang sangat ketat, maka di Belanda, Perancis, dan lain-lain
peraturannya semakin melunak. Delik permukahan (Overspel) sudah dicabut dari
Nederland Wetboek van Straafrecht sejak tahun 1971 karena dianggap kejahatan
tanpa korban.8
1. Besarnya jumlah dan sukarnya melakukan pencegahan terhadap
gelombang urbanisasi remaja dari desa ke kota;
Namun kejahatan kesusilaan khususnya pemerkosaan tidak selamanya
terjadi karena ada faktornya dari pelaku, namun juga biasa terjadi karena
disebabkan oleh korban.Pemerkosaan dalam hal ini diatur dalam Pasal 285-297
KUHP.
Menurut Lunden di negara berkembangan kejahatan timbul disebabkan oleh:
2. Terjadinya konflik antarnorma adat perdesaan (tradisional) dengan norma
baru yang tumbuh dalam proses dan perkembangan kehidupan sosial yang
cepat di kota besar;
3. Memudarnya pola-pola kepribadian individu yang terkait kuat pada pola
kontrol sosial tradisionalnya, sehingga anggota masyarakat terutama
7
Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di Dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika) 2015, hal 164.
remajanya mulai kehilangan pola kepribadian atau “samar pola”
menentukan perilakunya.9
Kejahatan seksual sekarang ini merebak dengan segala bentuk. Khususnya
pada kasus pemerkosaan, pelaku tidak mengenal lagi status, pangkat, pendidikan,
jasmani, dan usia korban. Semua ini dilakukan apabila mereka merasa terpuaskan
hawa nafsunya. Demikian juga usia pelaku yang tidak mengenal batas usia.
Selama individu maasih mempunyai daya seksual, dari anak-anak sampai
kakek-kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan
pemerkosaan.Kejahatan pemerkosaan benar-benar perbuatan yang keji, karena
selain perbuatan ini tidak disenangi oleh masyarakat terutama keluarga yang
menjadi korban, Tuhan juga melaknat bagi pelaku pemerkosaan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik mengkaji lebih dalam dan
menyusun dalam bentuk skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban Pidana
Pelaku Pemerkosaan Terhadap Penderita Gangguan Mental (Studi Putusan No. 377/Pid.B/2011/PN.BB)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan hukumtentang tindak pidana pemerkosaan?
2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku
pemerkosaan penderita gangguan mental berdasarkan Putusan No.
377/Pid.B/2011/PN.BB?
9
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang tindak pidana pemerkosaan
dan unsur-unsur tindak pidananya
2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana pelaku
pemerkosaan terhadap penderita gangguan mental dan hal-hal apa saja
yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap
pelaku pemerkosaan terhadap gangguan mental
D. Manfaat Penulisan
Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat secara teoretis dan manfaat
secara praktis sebagai berikut:
1. Manfaat teoretis
Hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum pidana pada
khususnya.
2. Manfaat praktis
Memberikan sumbangan pemikiran yang moderat, sekaligus memberikan
informasi kepada masyarakat agar lebih berhati-hati terhadap
kejahatan-kejahatan yang sekarang marak.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan ini dilakukan atas ide dan pemikiran dari peneliti sendiri atas
masukan yang berasal dari berbagai pihak guna membantu penulisan dimaksud.
Universitas Sumatera Utara, penulisan tentang Pertanggungjawaban Pidana
Pelaku Pemerkosaan Pemerkosaan Terhadap Penderita Gangguan Mental (Studi
Putusan No. 377/Pid.B/2011/PN.BB), adapun judul yang ada di Perpustakan
Universitas Sumatera Utara antara lain:
Belum pernah ditulis oleh penulis sebelumnya.
Dengan demikian, jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam
penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah
yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka
dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya.
F. Tinjaun Kepustakaan
1. Tindak Pidana Pemerkosaan a. Tindak Pidana
Tindak Pidana (Strafbaar Feit) adalah perilaku yang pada waktu tertentu
dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki
dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana.10
Sedangkan menurut Simons, Strafbaar Feit adalah suatu tindakan
melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat Menurut Moelijatno suatu perbuatan pidana (Criminal act) harus dipisahkan
dengan Pertanggungjawaban Pidana (Criminal liability atau Criminal
Responsibility).Oleh karena itu maka pengertian tindak pidana tidak meliputi
pertanggungjawaban pidana.
dihukum.11
1. Perbuatan;
dalam merumuskan suatu pidana, atau suatu pidana dapat dinyatakan
suatu perbuatan pidana, syaratnya adalah harus memenuhi unsur-unsur pidana,
unsur-unsur tindak pidana menurut Moelijatno, adalah:
2. Yang dilarang (Oleh aturan Hukum);
3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar)
Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada
pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya.Ancaman dengan
pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya
benar-benar dipidana. Dalam perkembangannya, tindak pidana (Delict) memiliki
kategorisasi, yaitu:12
1. Delik yang bersifat menyakiti/merugikan (krenkingsdekicten) dan Delik
yang menimbulkan Ancaman atau Keadaan Bahaya
(Gevaarzettingsdelicten)
Dalam aturan hukum baik Indonesia maupun Belanda, rumusan tindak
pidana dapat kita bedakan antara tindak pidana yang terfokus pada sifat
menyakiti.Disini kerugian harus lebih dulu muncul sebelum hukum pidana
member reaksi, misal dalam delik pembunuhan (pasal 338 KUHP), Pencurian
(Pasal 362 KUHP), Penipuan (pasal 378 KUHP), Perusakan (pasal 406 KUHP)
dan dengan tindak pidana yang difokuskan pada ancaman bahaya yang mungkin
timbul dari suatu delik.
11
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Raja Grafindo Persada: Jakarta) 2008, hal. 75
2. Delik persiapan
Satu bentuk khusus delik yang menimbulkan bahaya abstrak adalah delik
persiapan (Voorbereidingsdelicten).Ini mencakup perumusan tindak pidana oleh
pembuat undang-undang atas suatu perbuatan yang memang ditujukan untuk
melaksanakan delik menyakiti/merugikan atau delik yang menimbulkan bahaya
konkret, namun perbuatan itu sendiri tidak cukup untuk dikatakan memenuhi
unsure percobaan
3. Delik Materiil dan Delik Formil
Delik formil adalah tindak pidana yang di dalam perundang-undangan
cukup disebut merujuk pada perbuatan tertentu atau kelalaian; sedangkan delik
materiil adalah perbuatan yang menyebabkan konsekuensi tertentu, dimana
perbuatan tersebut kadang tercakup dan kadang tidak tercakup sebagai unsur
dalam perumusan tindak pidana.
2. Pemerkosaan 1. Pengertian
Pemerkosaan berasal dari kata dasar “perkosa” yang berarti paksa, gagah,
kuat, perkasa.Memperkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa,
melanggar dengan kekerasan.Sedangkan pemerkosaan diartikan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia pemerkosaan memiliki unsur-unsur pria memaksa dengan
kekerasan, bersetubuh dengan seorang wanita.13
Pemerkosaan tidak hanya terjadi kepada wanita dewasa, tetapi sering pula
terjadi pada anak-anak.Jadi pemerkosaan menurut yuridis adalah perbuatan
13
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar
memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.14
1. Menundukkan dengan kekerasan; Menggagahi, memaksa dengan kekerasan,
misalnya memperkosa istri orang, memperkosa gadis yang belum berumur Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia 1976 Susunan Poerwadarminto,
ia mengatakan bahwa pemerkosaan berarti:
2. Melanggar, menyerang, dan sebagainya dengan kekerasan.
Menyetubuhi orang yang tidak berdaya atau pingsan atau anak di bawah umur
(dengan persetujuannya), bukan tidak dipidana dalam KUHP, tetapi tidak
termasuk perkosaan dan diatur dalam pasal lain, yaitu pasal 286 dan 287 KUHP.
Sebagai perbandingan, disini dikutip Pasal (Section) 213.1 model penal code
(USA), Rape and related offenses.15
(a) He compels her to submit by force or by threat of imminent death, serious bodily injury, extreme pain or kidnapping, to be inflicted on anyone; or
Rape: A male who sexual intercourse with a female, not his wife, is guilty of rape, if:
(b) He has substantially impaired her power to appraise of control her
conduct by administering of employing without her knowledge drugs, intoxicant or other means for purpose of preventing resistance; or
(c) The female is unconscious; or (d) The female is less than 10 years old.
Terjemahan:
Pemerkosaan: seorang laki-laki melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya bersalah melakukan perkosaan, jika:
(a) Ia memaksa perempuan itu tunduk dengan kekerasan atau ancaman akan dibunuh, dilukai secara serius, disakiti dengan sangat, atau penculikkan yang akan dilakukan pada seseorang; atau
(b) Pada pokoknya ia telah menghalangi untuk menilai atau mengendalikan tingkah lakunya dengan jalan memberikan atau menggunakan obat, minuman
14 Suryono Ekotama et al, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, (Yogyakarta:
Universitas Atmajaya) 2001, hal. 96
15
keras, atau cara-cara lain tanpa sepengetahuannya, dengan maksud untuk mencegah perlawanannya;
(c) Perempuan itu tidak sadar
(d) Perempuan itu berumur kurang dari sepuluh tahun.
2. Objek Pemerkosaan dalam Hukum Pidana
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Objek adalah benda, hal, atau
sesuatu yang dijadikan sasaran pembicaraan, penelitian dan sebagainya. Dalam
hukum pidana, terkhusus pidana pemerkosaan yang menjadi objek aalah korban,
korban adalah mereka yang menderita secara jasmani dan rohani sebagai tindakan
orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi manusia.16
Sahetapy memberikan pengertian korban tidak hanya dibatasi sebagai
korban kejahatan saja, karena dari sebab timbulnya dan akibat yang ada
mempunyai aspek yang luas dilihat dari beberapa segi, hal ini dapat dilihat
pendapatnya mengenai korban, yaitu korban adalah orang perorangan atau badan
hukum yang menderita luka-luka, kerusakan atau bentuk-bentuk kerugian lainnya
yang dirasakan, baik secara fisik maupun secara kejiwaan. Kerugian bukan hanya
dilihat dari sisi hukum saja, tetapi juga dapat dilihat dari sisi ekonomi, politik,
maupun sosial budaya.Mereka yang menjadi korban dalam hal ini dapat
dikarenakan kesalahan si korban itu sendiri, peranan korban secara langsung atau
tidak langsung, dan tanpa adanya peranan dari si korban.17
Ada beberapa objek yang menjadi korban pemerkosaan, yaitu:18
a. Heteroseksual
16 Muhammad Arif, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana. (Jakarta) 1992,
hal 23
17 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Presindo), 1993, hal 45 18
Yaitu pemerkosaan pada umumnya, dimana pelakunya adalah laki-laki
dan korbannya adalah perempuan yang dengan paksaan, kekerasan, atau ancaman
kekerasan memaksa untuk bersetubuh.
b. Homoseksual
Perbuatan memaksa seorang laki-laki (sesame jenis) untuk bersetubuh
dengan paksaan, kekerasan, atau ancaman kekerasan, pelaku melakukan sodomi
kepada korban nya, namun lebih lanjut menurut Njowito Hamdani istilah
‘bersetubuh’ disini adalah untuk istilah medis, sedangkan dari segi hukum,
perbuatan ini dianggap sebagai perbuatan cabul, karena tidak memenuhi
unsur-unsur pemerkosaan sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 285 KUHP.
Seseorang yang normal dapat berubah menjadi homoseksual, misalnya di
Lembaga Pemasyarakatan. Sodomi sendiri berasal dari kata Sodom, sebuah kota
purbakala di Syria yang dengan kota Gamora, menurut Alkitab Perjanjian Lama
dibakar oleh Allah karena kelakuan seksual penduduk yang tidak senonoh.
Sedangkan istilah homoseksual bagi perempuan dikenal dengan istilah tribade,
sapfisme, amor lesbicus, dan frikatises. Tribade berasal dari kata tribas yang
berarti ‘menggesek’, begitu juga dengan arti frikatises. Sapfisme berasal dari nama
Sappho, seorang penyair perempuan yang tersohor di pulau Lesbos, yang
membuat syair asmara untuk kekasih-kekasihnya. Dari Lesbos kemudian timbul
kata amor Lesbicus dan Lesbian.
c. Zoofilia
Adalah perbuatan cabul yang dilakukan seseorang kepada
hewan/binatang, baik jantan maupun betina.Sering terjadi pada penggembala
khusus membahas tentang kejahatan terhadap hewan, yaitu Pasal 302 KUHP yang
berbunyi:
(1)Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan:
1. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya.
2. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak member makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada dibawah pengawasannya atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya
(2)Jika perbuatan itu menyebabkan sakit lebih dari seminggu atau cacat atau menderita luka berat lainnya atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena penganiayaan hewan.
(3)Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas (4)Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.
d. Nekrofilia
Nekrofilia atau nekromaniadalah seseorang yang melakukan
persetubuhan dengan mayat.Perbuatan dapat berupa perbuatan cabul, sentuhan,
bahkan persetubuhan.Dalam kasus ini pelaku dapat dikenakan Pasal 180 atau 406
KUHP.
Pasal 180 KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menggali atau mengambil atau memindahkan atau mengangkut mayat yang sudah digali atau diambil, diancam cengan pidana paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 406 KUHP:
2. Pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya.Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang
itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.Dengan demikian, terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang.Pertanggungjawaban pidana pada hakekatnya merupakan suatu
mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap
pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.19
Pertanggungjawaban Pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan
penghapus pidana. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang
pembuat tidak memiliki “defence”, ketika melakukan suatu tindak pidana itu. Defenisi tentang Pertanggungjawaban Pidana tidak ditemukan dalam
KUHP positif.Pertanggungjawaban Pidana menurut doktrin adalah diteruskannya
alasan yang secara objektif ada pada perbuatan pidana, secara subjektif kepada
pelaku tindak pidana yang memenuhi syarat yang dapat dijatuhi pidana. Defenisi
tentang pertanggungjawaban pidana menurut doktrin tersebut kemudian diadopsi
oleh konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional,
sebagaimana dapat dilihat di dalam Pasal 37 konsep KUHP Nasional, yang
menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang
memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
20
19
Chairul Huda, Dari tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan: Tinjauan kritis terhadap teori pemisahan tindak pidana dan Pertanggungjawaban pidana, (Prenada Media: Jakarta), 2006, hal. 68
20
Dalam pengertian hukum pidana dapat disebut ciri-ciri atau unsur
kesalahan dalam arti luas, yaitu:21
a. Dapat dipertanggungjawabkan pembuat;
b. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya
sengaja atau kesalahan dalam arti sempit;
c. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya
dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat (tidak ada
alasan penghapus pidana).
Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat
memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan.
Dengan demikian, keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya mampu
membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang atidak boleh
dilakukan, atau dengan kata lain mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu
yang berada diluar pengertian kesalahan. Mampu bertanggungjawab adalah syarat
kesalahan, sehingga bukan merupakan bagiandari kesalahan itu sendiri.Oleh
karena itu, terhadap subjek hukum manusia, mampu bertanggungjawab
merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus syarat adanya
kesalahan.22
Simons memberikan rumusan yang agak panjang, tetapi lebih jelas yaitu
bahwa kesalahan adalah adanya keaaan psikis yang tertentu pada orang yang
melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut
21
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Rineka Cipta: Jakarta), 1994, hal. 130
dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela
karena melakukan perbuatan tadi.23
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan terutama dibatasi pada
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (Dolus). Dapat dipidananya delik
culpahanya bersifat perkecualian (eksepsional) apabila ditentukan secara tegas
oleh undang-undang diperberat dengan ancaman pidananya, hanya dikarenakan
kepada terdakwa apabila ia sepatutnya sudah dapat menduga kemungkinan
terjadinya akibat itu atau apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan. Jadi konsep
tidak menganut doktrin “Erfolgshafting” (doktrin “menanggung akibat”) secara
murni, tetapi tetap diorientasikan pada asas kesalahan.24
3. Gangguan Mental
Sedangkan Roeslan Saleh berpendapat bahwa pengertian
pertanggungjawaban Pidana tidak termasuk perbuatan pidana.Perbuatan pidana
dikatakan bahwa, orang yang melakukan perbuatan pidana dan memang
mempunyai kesalahan merupakan dasar adanya pertanggungjawaban Pidana.
a. Pengertian
Gangguan mental atau keterbelakangan mental disebut juga
tunagrahita.Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang
yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata.Dalam kepustakaan
bahasa asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mental retarded,
mentally deviciency, mental detective, dan lain-lain.
Istilah diatas mempunyai arti yang sama yaitu memaparkan kondisi
seseorang yang kecerdasannya dibawah rata-rata dan ditandai dengan keterbatasan
23 Moelijatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka), 2002, hal. 158 24
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan
intelegensi dan ketidakcakapannya dalam berinteraksi sosial. Dengan latar
belakang seperti ini, Alfred Binet tampil dengan konsep baru tentang psikologi
bahwa kecerdasan diteliti secara langsung tanpa adanya perantara lagi.Selanjutnya
Binet melontarkan pula ide baru yang diistilahkan dengan “Mental level” yang
kemudian menjadi “Mental age”.25
Gangguan mental atau retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensi
yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa
anak-anak).Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara
keseluruhan, tetapi gejala utama (yang menonjol) ialah intelegensi yang
terbelakang (gangguan intelegensi).Retardasi mental disebut juga Oligofrenia
(oligo berarti kurang atau sedikit dan fren yang berarti jiwa) atau tuna mental.26
Untuk tidak memberikan pengertian yang berbaur perlu dijelaskan
bahwa, dari sejarah penyebabnya, intelegensi subnormal terbagi atas dua macam,
yaitu mental terhambat atau lemah mental (Mentally retarded) dan cacat mental
(mentally devective).Penderita mental terhambat biasanya tidak menunjukkan
tanda-tanda kelainan fisik.Secara fisik mereka normal dan sehat serta tidak
mempunyai sejarah penyakit atau luka yang mungkin menyebabkan kerusakan
mental.Penderita mengalami kelemahan mental secara umum dan bukan
dikarenakan cacat tertentu. Dengan kata lain, kelemahan mental yang diderita
tidak mempunyai dasar organik. Sering kali didapati bahwa penderita memang
mempunyai garis retardasi mental dalam keluarganya.27
25
T. Sutjihati Somantri, Psikologi Anak Luar Biasa,(Bandung: Refika Aditama), 2006, hal.103
26
Muzdalifah, Psikologi Pendidikan,(Kudus: STAIN Kudus), 2008, hal.183
27
Untuk memahami penderita tunagrahita atau gangguan mental, ada
baiknya kita melihat defenisi tentang penderita ini yang dikembangkan oleh
AAMD(American Association of mental Deficiency) sebagai berikut: “Retardasi
mental menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata secara jelas dengan
disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa
perkembangan”.28
Istilah untuk orang penderita gangguan mental sangat bervariasi. Dalam
bahasa Indonesia, penderita gangguan mental atau tunagrahita juga dikenal
dengan sebutan lemah pikiran, terbelakang mental, cacat grahita, dan sebagainya.
Bahkan tunagrahita sering disamakan dengan berbagai istilah, seperti lemah
pikiran (feeble-minded), terbelakang mental (mental retarted), bodoh atau dungu
(idiot), pander (imbecile), tolol (moron), oligofrenia (oligophrenia), mampu didik
(educable), mampu latih (trainable), ketergantungan penuh (totally dependent)
atau butuh rawat, mental subnormal, deficit kognitif, cacat mental, gangguan
intelektual, dan sebagainya.29
Penderita gangguan mental tergolong luar biasa karena mempunyai
kekurangan atau keterbatasan disbanding orang normal.Keterbatasan tersebut
mencakup banyak hal, mulai dari segi fisik, intelektual, sosial, emosi, dan atau
gabungan dari hal-hal tersebut.Dengan demikian, penderita tunagrahita
membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya
secara optimal.Jadi anak tunagrahita dapat dikatakan mempunyai kekurangan atau
keterbatasan dari segi mental intelektualnya di bawah rata-rata normal, sehingga
mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas-tugas akademik, menjalin
28
Kauffman dan Hallahan dalam Muzdalifah, Op.Cit, hal. 184
29 Bambang Purtanto, Tips Menangani Murid Yang Membutuhkan Perhatian Khusus,
komunikasi, serta berhubungan sosial.Karena itulah penderita tunagrahita
memerlukan layanan pendidikan khusus.
American Association on Mental Deficiency (AAMD) mendefenisikan
tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum dibawah
rata-rata (sub-average), yaitu IQ 84 kebawah berdasarkan tes sebelum usia 16 tahun.
Angka tersebut menunjukkan adanya hambatan dalam perilaku adaptif. Adapun
pengertian tunagrahita dalam Japan league for Mentallity Retarded adalah anak
dengan fungsi intelektual lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes
intelegensi baku yang menunjukkan adanya kekurangan dalam perillaku adaptif.
Tunagrahita terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa konsepsi hingga
usia 18 tahun. Dengan demikian, anak sekolah sangat rawan terkena jenis
gangguan ini.Oleh sebab itu, jika seseorang diketahui mengalami hal ini, maka
harus diberikan penanganan secara khusus.30
b. Jenis-Jenis Gangguan Mental
Potensi dan kemampuan setiap anak berbeda-beda. Begitu juga dengan
penderita tunagrahita yang memiliki beberapa tingkatan.Oleh karena itu, untuk
menunjang pendidikan agar berjalan efektif, pengelompokkan penderita
tunagrahita perlu dilakukan, pengelompokkan didasarkan pada berat-ringannya
gangguan. Atas dasar itulah anak tunagrahita dapat dikelompokkan sebagai
berikut:31
1. Tunagrahita Ringan (Debil)
Anak yang menderita tunagrahita ringan biasanya penampilan atau kondisi
fisiknya tidak berbeda dengan anak normal.Anak tersebut mempunyai kecerdasan
30Ibid, hal. 209
intelektual (IQ) pada kisaran 50-70.Mereka juga termasuk kelompok mampu
didik, masih bisa diajar membaca, menulis, dan berhitung.Anak tunagrahita ringan
biasanya mampu menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV pada sekolah dasar
umum.Anak yang tergolong tunagrahita ringan memiliki banyak kelebihan dan
kemampuan.Mereka mampu dididik dan dilatih membaca, menulis, berhitung,
menjahit, memasak, bahkan berjualan.Tunagrahita ringan juga lebihh mudah
diajak berkomunikasi.Selain itu, kondisi fisik mereka tidak begitu
mencolok.Mereka mampu berlindung dari segala jenis bahaya apapun.Karena
itulah anak dengan tunagrahita ringan tidak terlalu membutuhkan pengawasan
ekstra.
2. Tunagrahita Sedang (Imbesil)
orang yang menderita tunagrahita sedang termasuk kelompok latih
(trainable). Penampilan atau kondisi fisiknya sudah dapat terlihat berbeda
dibanding anak normal.Namun demikian, ada sebagian anak tunagrahita sedang
yang mempunyai fisik normal.Kelompok ini mempunyai IQ antara
30-50.Biasanya, mereka mampu menyelesaikan pendidikan setingkat kelas II sekolah
dasar umum.Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan, seorang anak
penderita tunagrahita sedang mampu diajak berkomunikasi.Ia hanya tidak begitu
mahir dalam menulis, membaca, dan berhitung. Akan tetapi, ketika ditanya nama
dan alamat rumahnya, ia mampu menjawab secara jelas. Penderita tunagrahita
sedang juga dapat bekerja dilapangan, tetapi dengan sedikit pengawasan.Anak
tersebut juga masih mampu melindungi diri sendiri dari bahaya.Jadi anak
tunagrahita sedang hanya memerlukan sedikit perhatian dan pengawasan untuk
3. Tunagrahita berat atau Idiot.
Dalam kegiatan sehari-hari, mereka membutuhkan pengawasan, perhatian,
bahkan pelayanan maksimal.Mereka tidak dapat mengurus diri sendiri, apalagi
berlindung dari bahaya. Asumsi penderita tunagrahita sama dengan idiot hanya
tepat digunakan terhadap golongan tunagrahita berat. Orang dengan tunagrahita
berat memiliki tingkat intelegensi yang sangat rendah sehingga tidak mampu
menempuh pendidikan secara formal.Penderita tunagrahita berat termasuk
kelompok mampu rawat.Pada umumnya, IQ mereka rata-rata sebesar 30 kebawah.
Dalam kegiatan sehari-hari, mereka membutuhkan bantuan orang lain.
c. Faktor Penyebab Tunagrahita
Menurut penyelidikan para ahli, tunagrahita dapat terjadi akibat beberapa
kondisi berikut.32
1. 1. Prenatal (Sebelum Lahir)
Tunagrahita dapat terjadi sewaktu bayi masih berada didalam
kandungan.Adapun beberapa penyebabnya adalah campak, diabetes, cacar,
serta virus tokso. Selain itu kondisi ibu hamil yang kekurangan gizi, gemar
memakai obat-obatan terlarang, serta suka merokok juga dapat memicu
tunagrahita pada bayi
2. Natal (Sewaktu Lahir)
Proses melahirkan yang terlalu lama dapat mengakibatkan otak bayi
tersebut kekurangan oksigen. Selain itu, jika tulang pinggul ibu terlalu kecil
maka hal tersebut dapat menyebabkan otak bayi terjepit sehingga terjadi
32
pendarahan (anoxia).Proses melahirkan yang menggunakan alat bantu,
seperti penjepit atau tang juga rawan menyebabkan tunagrahita pada bayi.
3. Post Natal (Sesudah Lahir)
Pertumbuhan bayi yang kurang baik, seperti gizi buruk, busung lapar,
demam tinggi disertai kejang-kejang, kecelakaan, serta selaput otak
(meningitis) dapat menyebabkan seseorang mengalami tunagrahita.
d. Ciri-Ciri penderita Tunagrahita
Beberapa karakteristik penderita tunagrahita dapat dijelaskan dalam
indikator berikut ini:33
a. Fisik (penampilan)
1) Terlihat hamper sama dengan anak normal
2) Kematangan motorik lambat
3) Koordinasi gerak kurang
4) Khusus anak tunagrahita berat penampilannya jauh bebeda dengan
anak normal
b. Intelektual
1) Sulit mempelajari hal-hal akademik
2) Pada anak tunagrahita ringan, kemampuan belajar paling tinggi
setara anak normal berusia 12 tahun dengan IQ 50-70.
3) Pada anak tunagrahita sedang, kemampuan belajar paling tinggi
setara anak normal berusia 7-8 tahun dengan IQ 30-50
4) Pada anak tunagrahita berat, kemampuan belajar paling tinggi
setara anak normal berusia 3-4 tahun dengan IQ dibawah 30.
c. Sosial dan Emosi
1) Suka bergaul dengan anak yang lebih muda
2) Senang menyendiri
3) Mudah dipengaruhi
4) Kurang dinamis
5) Kurang pertimbangan/ sulit mengendalikan diri
6) Kurang konsentrasi
7) Tidak mampu memimpin diri sendiri dan orang lain.
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis
adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal
yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.
1. Jenis penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, mencakup penelitian
inventarisasi hukum positif, asas-asas hukum, penelitian hukum klinis, sistematika
peraturan perundang-undangan, sinkronisasi suatu perundang-undangan, sejarah
hukum dan perbandingan hukum.Penelitian hukum ini merupakan penelitian
mengenai pertanggungjawaban seseorang terhadap tindak pidana yang telah
dilakukannya.
Penelitian hukum normatif atau penelitian perpustakaan ini merupakan
penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data
hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.Penelitian jenis normatif ini
menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada
dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka.Hal-hal yang dikaji
dalam penelitian hukum normatif meliputi beberapa hal seperti asas-asas hukum,
sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah
hukum.
2. Sifat penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah termasuk penelitian deskriptif, penelitian
deskriptif adalah salah satu jenis penelitian yang tujuannya untuk menyajikan
gambaran lengkap mengenai setting sosial atau dimaksudkan untuk eksplorasi dan
klarifikasi mengenai suatu fenomena kenyataan sosial, dengan jalan
mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.
Penelitian hukum ini bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh
gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku.34
3. Jenis data
Dalam
penulisan ini diharapkan dapat memberikan deskripsi mengenai
Pertanggungjawaban pidana pelaku pemerkosaan terhadap penderita gangguan
mental.
Data adalah kumpulan informasi yang diperoleh dari suatu pengamatan, dapat
berupa angka, lambing, atau sifat.Data dapat meberikan gambaran tentang suatu
keadaan atau persoalan.Data juga bisa didefenisikan sebagai sekumpulan
informasi atau nilai yang diperoleh dari pengamatan (observasi) suatu objek.
Berdasarkan sumber perolehannya, data terbagi atas dua jenis, yaitu:
34 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Persada Media Group.
a. Data Primer (Primairy Data)
Yaitu data yang dikumpulkan sendir oleh perorangan/suatu organisasi
secara langsung dari objek yang diteliti dan untuk kepentingan studi
yang berssangkutan yang dapat berupa interview atau Observasi.
b. Data Sekunder (Secondary Data)
Yaitu data yang diperoleh/dikumpulkan dan disatukan oleh studi-studi
sebelumnya atau yang diterbitkan oleh berbagai instansi lain. Biasanya
sumber tidak langsung berupa dokumentasi dan arsip-arsip resmi.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya memiliki otoritas. Bahan-bahan hukum primer dalam penulisan ini terdiri
dari peraturan perundang-undangan anatara lain Undang-Undang Dasar1945,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, PERPPU No. 1 tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan masalah yang
dibahas dalam penulisan ini. Data primer juga dari lapangan yaitu berkas putusan
dari pihak pengadilan negeri yang berkaitan dengan permasalahan penulisan
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan hukum pendukung yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi buku-buku teks,
dokumen-dokumen, artikel dan jurnal-jurnal hukum.Pada penulisan ini sebagai bahan
hukum sekunder penulis menggunakan buku-buku ilmu hukum, jurnal, publikasi
media cetak maupun elektronik yang berkaitan dengan masalah yang dibahas pada
penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, baik itu berupa rancangan
undang-undang, kamus hukum, maupun ensiklopedia.
4. Teknik pengumpulan data
Mengingat jenis data yang digunakan dalam tulisan ini adalah jenis data
sekunder yang diperoleh dari bahan pustaka, maka teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan.Pustaka yang dimaksud
terdiri dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya tulis, dan data yang
didapat dari halaman-halaman internet (webpage). Kegiatan studi pustaka tersebut
dilakukan dengan mengikuti tahap-tahap sebagai berikut:
a. Penentuan sumber data sekunder.
b. Identifikasi data sekunder yang diperlukan, yaitu proses mencari dan
mengenai badan hukum.
c. Inventarisasi data yang relevan dengan rumusan masalah, dengan cara
d. Pengkajian data yang sudah terkumpul guna menentukan relevansinya
dengan kebutuhan dan rumusan masalah.35
5. Analisis data
Setelah data terkumpul kemudian dianalisa menggunakan metode analisis
kualitatif.Metode penelitian kulitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan
pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, (sebagai lawannya eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai
instrument kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive
dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan trianggulasi (gabungan), analisis data
bersifat induktif/kualitaif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
dari pada generalisasi.36
Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat
penemuan. Dalam penelitian kualitatif, adalah instrumen kunci. Oleh karena itu,
penelitian harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya,
menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih
jelas.Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai.Penelitian
kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang Analisis kualitatif bisa juga diartikan sebagai suatu analisa
yang memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil penelitian dan
jawaban-jawaban responden untuk dicari hubungan antara satu dengan yang lain, kemudian
disusun secara sistematis.
35
Nana Syaodih Sukmadinata.Metode Penelitian Kuantitatif.( Jakarta : PT Remaja Rosdakarya), 2005
36
Sugiyono dalamWinarno Surakhmad, Paper, Skripsi, Thesis, Disertasi, (Bandung:
tersembunyi,untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori,
untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan.37