BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tidur
Tidur didefinisikan sebagai keadaan tidak sadar dimana seseorang dapat dibangunkan oleh stimulus sensori atau stimulus lainnya. Tidur harus dibedakan dengan koma yang merupakan keadaan tidak sadar yakni seseorang tidak dapat dibangunkan (Guyton, 2006).
2.1.1 Ritme Sirkadian
Siklus tidur-bangun manusia memiliki periode sekitar 24 jam. Ketika semua indikator waktu eksternal dihilangkan, ritme sirkadian bertahan namun waktu bangun dan tidur menjadi semakin lama setiap harinya. Ritme sirkadian dianggap diregulasi oleh nukleus suprakiasmatik hipotalamus. Hubungan retinohipotalamik mengikat ritme sirkadian ke kondisi cahaya lingkungan. Terdapat juga proyeksi retina ke kelenjar pineal dimana hormon melatonin yang dihasilkan memiliki efek yang mempengaruhi ritme (Rohkamm, 2004).
2.1.2 Stadium Tidur
Terdapat dua tipe tidur yaitu tidur non-rapid eye movement (NREM) dan tidur rapid eye movement (REM). Tidur NREM dibagi menjadi stadium 1, 2, 3, dan 4 dan mewakili perjalanan kedalaman tidur. Tidur NREM disebut juga tidur slow wave. Masing-masing stadium memiliki karakteristik unik yang melibatkan pola gelombang otak, pergerakan mata dan tonus otot (Altevogt, 2006).
keseluruhan tidur dan sangat mudah terganggu oleh suara (Purves, 2001 dan Barrett, 2010).
Stadium 2 pada tidur berlangsung selama 10 hingga 25 menit pada awal siklus dan memanjang di setiap siklusnya dan mewakili 45-55% dari jumlah waktu tidur. Individu pada stadium tidur kedua membutuhkan stimulus yang lebih intens daripada stadium pertama untuk bangun. Aktivitas otak pada EEG menunjukkan gelombang sinusoidal yang disebut sleep spindle (12-14 Hz) dan gelombang bifasik voltase tinggi yang disebut kompleks K yang berlangsung selama 1 dan 2 detik. Dihipotesakan bahwa sleep spindle memiliki peran penting untuk konsolidasi memori (Purves, 2001; Altevogt, 2006; dan Barrett, 2010).
Stadium tidur ketigamerepresentasikan tidur yang menengah dalam, jumlah spindel berkurang dan amplitudo gelombang frekuensi rendah meningkat menjadi gelombang delta dengan amplitudo tinggi (0,5-4 Hz). Stadium 3 berlangsung hanya selama beberapa menit dan mewakili 3-8 persen dari tidur (Purves, 2001; Altevogt, 2006; dan Barrett, 2010).
Stadium tidur NREM yang terakhir adalah stadium 4 yang berlangsung selama 20-40 menit dan mewakili 10-15% tidur, yakni ditandai dengan ambang bangun paling tinggi dibanding seluruh stadium NREM dan merupakan fase tidur yang paling dalam. Aktivitas EEG yang dominan berupa gelombang dengan amplitudo tinggi dan frekuensi rendah (1-4 Hz) yang disebut gelombang delta (Purves, 2001; Altevogt, 2006; dan Barrett, 2010).
Gambar 2.1 Gambaran Gelombang Electrooculogram (EOG), Electromyogram (EMG), dan Electroencephalogram (EEG) pada Tiap-Tiap Stadium Tidur Sumber: K.E. Barrett dalam Ganong’s Review of Medical Physiology edisi 23
(2010)
2.1.3 Fisiologi Tubuh Pada Saat Tidur
Selama tidur, terjadi penurunan denyut nadi dan tekanan darah tanpa adanya perubahan pada curah jantung. Hal ini disebabkan oleh deaktivasi kardiovaskular yang general dan resetting dari baroreflex selama tidur NREM. Tingkat terendah dari tekanan darah dicapai pada stadium 3 dan 4. Penurunan tekanan darah ini terutama berhubungan dengan penurunan denyut nadi dan vasomotor simpatis. Stadium 3 dan 4 dari tidur NREM merupakan fase yang paling dalam dengan penurunan 10-30% dari tekanan darah, kecepatan nafas dan laju metabolik basal (Murali, 2003; Altevogt, 2006 dan Silvani, 2013).
Pada pernafasan akan terjadi penurunan ventilasi per menitdengan dimulainya tidur sebagai respon terhadap penurunan metabolisme dan berkurangnya kemosensitivitas terhadap oksigen dan karbondioksida. Ventilasi selama tidur NREM menunjukkan pola respirasi yang lebih teratur dibandingkan pernafasan sewaktu bangun, tanpa penurunan signifikan dalam frekuensi rata-rata.
Titik terendah dari ventilasi per menit pada tidur NREM terjadi pada stadium 3 dari tidur NREM sebagai hasil dari penurunan volume tidal (Krimsky, 2005; Altevogt, 2006; Smith, 2008 dan Malik, 2012).
Tidur NREM dihubungkan dengan penurunan signifikan dari aliran darah sedangkan aliran darah pada tidur REM menyerupai aliran darah ketika bangun. Namun, metabolisme dan aliran darah meningkat pada daerah otak tertentu selama tidur REM dibandingkan dengan ketika bangun seperti sistem limbik yang berpengaruh terhadap emosi dan daerah yang berhubungan dengan penglihatan (Altevogt, 2006).
Sekresi beberapa hormon endokrin tidak menetap sepanjang 24 jam. Beberapa ritme hormonal bergantung terhadap jam sirkadian seperti Adrenal Corticotropin Hormone(ACTH), kortisol dan melatonin. Beberapa lainnya berhubungan dengan tidur seperti prolaktin dan Thyroid Secreting Hormone
(TSH). Sekresi Growth Hormone (GH) berhubungan dengan episode tidur slow wave pertama di awal malam. Pulsasi prolaktin dan GH berhubungan dengan
peningkatan aktivitas gelombang delta (Luboshitzky, 2000 dan Altevogt, 2006). Kadar glukosa dan sekresi insulin meningkat selama tidur dan diperkirakan akibat penurunan metabolisme glukosa di otak akibat penurunan aktivitas otak selama tidur. Peningkatan glukosa seama tidur juga dapat disebabkan oleh kurangnya pemakaian glukosa oleh otot yang tidak aktif dan oleh sekresi GH yang memiliki efek anti-insulin. Ketika tidur REM, kadar glukosa dan sekresi insulin berkurang dan hal ini disebabkan oleh peningkatan pemakaan glukosa (Morris, 2012).
2.1.4 Fungsi Tidur
Secara keseluruhan, fungsi tidur belum diketahui dengan jelas. Namun, beberapa hipotesa telah disampaikan untuk menjelaskan fungsi tidur. Hipotesa-hipotesa tersebut yaitu:
1. Memulihkan sistem tubuh
Hipotesa ini menunjukkan kebutuhan organisme untuk memulihkan energi dan memperbaiki dirinya sendiri setelah periode pemakaian dan pemecahan energi. Otak yang tetap aktif selama tidur dan laju metabolik yang rendah diperkirakan berhubungan dengan reaksi biosintetik. Namun, tidak terdapat bukti bahwa perbaikan terjadi selama
masa tidur. Bahkan, sintesis protein berkurang ketika tidur (Bethesda, 2007).
2. Mengembalikan cadangan energi
Pemakaian energi lebih tinggi ketika tidak tidur dibandingan ketika tidur dan pemakaian energi lebih rendah ketika episode tidur selama 8 jam. Stadium tidur memiliki efek yang minimal terhadap pemakaian energi. Hal ini berkaitan dengan fungsi tidur untuk memulihkan cadangan energi (Jung, 2010). Selain itu, penyakit infeksi cenderung membuat seseorang lebih mengantuk. Hal ini disebabkan oleh pengeluaran sitokin selama proses infeksi. Dihipotesiskan bahwa energi yang tersimpan selama proses tidur dapat digunakan oleh sistem imun untuk melawan infeksi (Bethesda, 2007).
3. Konsolidasi memori dan pembelajaran
peningkatan lokal dari aktivitas gen membantu konsolidasi sinaptik memori ke dalam korteks (Diekelmann, 2010).
Tidur juga penting untuk pembelajaran. Seseorang yang mendapatkan tidur dalam NREM yang banyak pada paruh pertama malam dan tidur REM pada paruh kedua meningkatkan kemampuan melakukan tugas yang berhubungan dengan ruang (Bethesda, 2007).
4. Penyaluran emosi
Dihipotesakan bahwa bermimpi selama tidur REM menyediakan penyaluran emosi yang aman. Sebagai perlindungan, paralisis otot selama tidur REM tidak memungkinkan seseorang untuk melakukan apa yang
dimimpikannya. Sekitar 65% dari mimpi berhubungan dengan kesedihan, pemahaman, atau kemarahan, 20% berhubungan dengan kegembiraan, dan hanya 1% yang berhubungan dengan perasaan seksual. Dihipotesakan bahwa mimpi memberi kelegaan terhadap stress yang terjadi selama masa bangun dan membantu mempertahankan performa optimal (Purves, 2001 dan Bethesda, 2007).
2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Tidur
Faktor yang paling sering dijumpai mengakibatkan gangguan tidur adalah (LeBlanc, 2009):
• Faktor demografis (seperti penuaan, wanita, tinggal sendiri) • Kondisi genetik (riwayat keluarga menderita insomnia) • Faktor psikologis (kecemasan dan depresi)
• Faktor fisiologis dan gaya hidup (kerentanan untuk dibangunkan dan merokok)
Faktor pencetus terjadinya gangguan tidur berupa kejadian hidup yang mencetus stress seperti perceraian, perpisahan, dan kematian orang yang dicintai
tidur berupa lingkungan tidur yang tidak familiar, jet lag, perubahan waktu kerja, lingkungan tidur yang tidak nyaman seperti suara bising, temperatur yang terlalu panas atau terlalu dingin, cahaya atau permukaan tidur yang buruk dan masalah pada rekan tidur (American Psychological Association, 2001).
2.1.6Efek dari Gangguan Tidur
Gangguan pada tidur meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis yang berujung kepada peningkatan tekanan darah dan peningkatan sekresi kortisol. Respon imun dapat terganggu dan perubahan metabolik seperti resistensi insulin dapat terjadi (Alhola, 2007). Gangguan tidur juga dapat meningkatkan berat badan
dan resiko diabetes melalui efek perubahan pada metabolisme glukosa, meningkatnya selera makan, dan berkurangnya pengeluaran energi (Knutson, 2007 dan Silver, 2011).
Penurunan pada performa kognitif juga dapat terjadi pada penderita gangguan tidur. Penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya kewaspadaan dan perhatian, menurunnya respon, dan ketidakstabilan kesadaran (Philibert, 2005 dan Knutson, 2007).
Gangguan tidur juga meningkatkan resiko kecelakaan akibat kesalahan manusia. Hal ini disebabkan terutama karena mengantuk di siang hari. Penelitian terbaru untuk menunjukkan prevalensi mengantuk di siang hari pada responden berusia 21-30 tahun menunjukkan bahwa rata-rata tidur malam hari sebanyak 6,7 jam. Mengantuk berhubungan terbalik dengan jumlah jam tidur. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidur malam selama 8 hingga 9 jam dibutuhkan untuk menghilangkan mengantuk akibat berkurangnya waktu tidur (Durmer, 2005).
2.2Gadget
Menurut masyarakat awam, gadgetmerujuk kepada perangkat elektronik yang memiliki fungsi yang spesifik, misalnya sebagai perekam suara, pemutar video ataupun smartphone. Namun, menurut CambridgeDictionaries, gadget adalah sebuah alat atau mesin kecil dengan fungsi dan tujuan tertentu, dan terutama merupakan penemuan baru. Dalam karya tulis ini, yang dimaksudkan sebagai gadget adalah peralatan media elektronik seperti smartphone, tablet PC dan juga laptop.
Berdasarkan International Telecommunication Union, pada tahun 2013 terdapat 96,2% penduduk dunia yang memiliki gadget dan 38,8% yang memiliki
akses dengan internet. Di Amerika Serikat, lebih dari 80% remaja memiliki setidaknya satu gadget, misalnya handphone, PDA, ataupun komputer dan mereka
menggunakan teknologi ini dengan frekuensi yang meningkat untuk mengirim pesan, email, dan mengakses media sosial.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika pada tahun 2010 didapatkan jumlah gadget yang beredar di Indonesia berjumlah 240 juta dan meliputi 67% dari penduduk Indonesia. Survei dari Kaiser Family Foundation menemukan bahwa anak-anak berusia 8 hingga 18 tahun rata-rata menghabiskan waktu dengan gadget selama 6 jam 21 menit setiap hari. Paparan terhadap media ini melebihi waktu yang dihabiskan untuk tidur (Ray, 2010). Menurut Andreassen (2013), lebih dari 90 persen remaja membuka internet, menonton film, atau email minimal satu kali seminggu sebelum tidur.
Berdasarkan penelitian independen oleh Retrevo, aktivitas mengakses media sosial seperti Facebook dan Twitter tetap berlanjut bahkan pada waktu tidur. Sekitar 48% responden mengakses media sosial ketika mereka bangun di tengah malam atau segera setelah mereka terbangun di pagi harinya dan kebanyakan berusia di bawah usia 25 tahun (Van Grove, 2010).
2.2.1 Efek Pemakaian Gadgetdan Internet yang Patologis
Pemakaian gadget sebagai aktivitas malam hari terus meningkat pada
pola tidur dan pekerjaan di siang hari. Penelitian di Australia menemukan bahwa 71% remaja melaporkan tidur malam yang tidak optimal akibat pemakaian gadget di malam hari sebelum tidur. Ini menunjukkan bagaimana pemakaian gadget dapat mempengaruhi pola tidur dan waktu mulainya tidur pada remaja (King, 2014).
Menurut Andreassen (2013), cahaya dari gadget dapat mempengaruhi mekanisme biologis yang menunda tidur dan ritme sirkardian. Permainan komputer atau acara televisi dapat menimbulkan kegembiraan dan mengakibatkan susah tidur. Meskipun begitu, hal ini dapat terjadi sebaliknya. Insomnia dan penundaan pada pola tidur dapat mengakibatkan orang-orang berbaring lebih lama
pada jam tidur tanpa tertidur yang akhirnya mencari media elektronik sebagai hiburan.
Pemakaian internet yang berlebihan juga menjadi salah satu alasan pemakaian gadget sebelum tidur. Menurut Pies (2009), internet addiction atau kecanduan internet merupakan ketidakmampuan seorang individu untuk mengendalikan pemakaian internet yang mengakibatkan distress ataupun gangguan fungsi yang bermakna dalam hidup sehari-hari. Meskipun tidak termasuk dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) edisi kelima, kecanduan internet dianggap sebuah diagnosis gangguan spektrum kompulsif impulsif yang meliputi pemakaian komputer online atau offline dan terdiri dari minimal tiga subtipe yaitu bermain game berlebihan, preokupasi seksual, dan mengirim pesan singkat.
Kriteria diagnostik untuk kecanduan internet yang diajukan adalah (Lai, 2013):
• Preokupasi terhadap internet
• Kebutuhan untuk menghabiskan waktu yang meningkat untuk
menggunakan internet
• Usaha berulang namun gagal untuk mengurangi pemakaian internet • Gejala withdrawal akibat pengurangan pemakaian internet
• Perubahan mood akibat pemakaian internet
Efek dari pemakaian internet yang berlebihan terutama atas alasan rekreasi adalah gangguan pada performa akademis. Gangguan ini disebabkan karena
kesepian, bangun hingga larut malam, kelelahandan tidak masuk ke kelas (Kubey, 2001).
Kecenderungan mengirim pesan, chatting dan media sosial seperti Facebook masih relatif baru sehingga penelitian terhadap efek jangka panjangnya belum tersedia. Namun, dapat dijumpai banyak penelitian tentang efek dari televisi dan video games. Waktu yang lebih banyak dihabiskan untuk menonton televisi memiliki dampak negatif terhadap perhatian dan performa akademik seseorang. Pemakaian media yang meningkat berhubungan dengan nilai akademis yang menurun (Diaz, 2011).