• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIKA M (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIKA M (1)"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI

MATEMATIKA PADA MODEL PEMBELAJARAN

ADDIE DENGAN PENDEKATAN PMRI

BERBANTUAN TIME TOKEN TERHADAP SISWA

SMP

Proposal Skripsi

Disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika oleh

Ajeng Angela Kartikarini 4101412086

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii

PENGESAHAN

Proposal Skripsi yang berjudul

“Analisis Literasi Matematika pada Model Pembelajaran ADDIE dengan Pendekatan PMRI Berbantuan Time Token terhadap Siswa SMP”

Disusun oleh

Ajeng Angela Kartikarini 4101412086

Telah disahkan pada tanggal Oktober 2015

Mengetahui

Pembimbing 1 Pembimbing II

Dr. Wardono, M.Si. Drs.Mohhamad Asikin, M.Pd NIP 196202071986011001 NIP 195707051986011001

Ketua Jurusan Matematika

Drs. Arief Agoestanto, M.Si.

(3)

iii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN ... ii

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...1

1.2 Perumusan Masalah ...11

1.3 Tujuan Penelitian ...11

1.4 Manfaat Penelitian ...13

1.4.1 Manfaat Teoritis ...13

1.4.2 Manfaat Praktis ...13

1.4.2.1 Bagi Guru ...13

1.4.2.2 Bagi Siswa ...13

1.4.2.3 Bagi Peneliti ...13

1.4.2.4 Bagi Sekolah ...14

1.4.2.5 Bagi Peneliti lain ...14

1.5 Penegasan Istilah ...14

1.5.1 Kemampuan Literasi Matematika ...14

1.5.2 Model Pembelajaran ADDIE ...15

1.5.3 Pendekatan Realistik ...15

1.5.4 Model Pembelajaran ADDIE dengan Pendekatan Realistik Berbantuan Time Token ...16

1.5.5 Model Pembelajaran ADDIE dengan Pendekatan Realistik .16 1.5.6 Model Pembelajaran Ekspositori ...16

1.5.7 Time Token ...16

1.5.8 PISA (Programmer For International Student Assesment ) .17 1.5.9 Konten Shape and Space ...17

1.5.10 Kesulitan Belajar Matematika ...17

1.5.11 Kualitas Pembelajaran ...18

1.5.12 Materi Teorema Pythagoras ...18

(4)

iv

1.5.14 Karakter Rasa Tanggung Jawab...18

1.6 Sistematika Penulisan Skripsi ...19

1.6.1 Bagian Awal...19

1.6.2 Bagian Isi ...19

1.6.3 Bagian Akhir ...19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori ...20

2.1.1 Belajar ...20

2.1.2 Definisi Hasil Belajar ...23

2.1.3 Pembelajaran Matematika ...24

2.1.4 Teori Belajar ...24

2.1.1.1 Teori Belajar Bruner ...25

2.1.2.2 Teori Belajar Vygotsky ...26

2.1.3.3 Teori Belajar Ausebel ...27

2.1.4.4 Teori Belajar Piaget ...30

2.1.5 Kualitas Pembelajaran ...33

2.1.6 Pembelajaran Matematika Realistik ...33

2.1.6.1 Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik ...34

2.1.6.2 Kelebihan Pendidikan Matematika Realistik ………Indoensia ...36

2.1.6.3 Kekurangan Pendidikan Matematika Realistik ………Indonesia ...37

2.1.7 Model Pembelajaran ADDIE ...38

2.1.8 Kemampuan Literasi Matematika ...40

2.1.9 PISA (Programmer For International Student Assesment ) .41 2.1.9.1 Domain PISA ...42

2.1.9.2 Konten (Content) ...43

2.1.9.3 Konteks (Context) ...46

2.1.9.4 Kompetensi Literasi Matematika dalam PISA ...47

2.1.9.5 Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik ...50

(5)

v

2.1.11 Time Token ...53

2.1.11.1 Langkah-Langkah Pembelajaran Time Token ...54

2.1.11.2 Kelebihan Time Token ...55

2.1.11.3 Kekurangan Time Token ...55

2.1.12 Model Pembelajaran ADDIE Pendekatan Realistik ……...Berbantuan Time Token ...55

2.1.13 Model Pembelajaran Ekspositori ...58

2.1.14 Materi Pokok Lingkaran ...59

2.1.15 Materi Pokok Himpunan ...64

2.1.16 Karakter Tanggung Jawab ...69

2.2 Kajian Penelitian yang Relevan ...70

2.3 Kerangka Berfikir ...70

2.4 Hipotesis Penelitian ...74

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Metode Penelitian ...75

3.2 Metode Penentuan Subjek Penelitian ...76

3.2.1 Populasi ...76

3.2.2 Sampel dan Teknik Sampling ...76

3.3 Variable Penelitian ...77

3.3.1 Variable Bebas ...77

3.3.2 Variable Terkait ...78

3.4 Langkah-Langkah Penelitian ...78

3.5 Metode Pengumpulan Data ...78

3.5.1 Metode Dokumentasi ...78

3.5.2 Metode Observasi ...79

3.5.3 Metode Wawancara ...79

3.5.4 Metode Angket (Kuisioner) ...79

3.5.5 Metode Tes ...80

3.5.6 Model Campuran Tidak Berimbang ...80

3.6 Desain Penelitian ...81

(6)

vi

3.7.1 Tes Kemampuan Literasi Tanggung Jawab ...84

3.7.2 Angket Karakter Tanggung Jawab ...85

3.7.3 Lembar Observasi Kualitas Pembelajaran ...86

3.7.4 Pedoman Wawancara ...87

3.8 Analisis Data Awal ...88

3.8.1 Uji Normalitas ...88

3.8.2 Uji Homogenitas ...90

3.8.3 Uji Kesamaan Rata-Rata ...91

3.9 Analisis Data Uji Coba Instrumen Tes (Kemampuan Literasi Matika) ...92

3.9.1 Uji Validitas ...92

3.9.2 Uji Reliabilitas ...93

3.9.3 Uji Daya Beda ...94

3.9.4 Tingkat Kesukaran Soal ...95

3.10 Analisis Data Akhir ...96

3.10.1 Uji Normalitas ...96

3.10.2 Uji Homogenitas ...96

3.10.3 Analisis Kategori Tanggung Jawab ...96

3.10.4 Analisis Kualitas Pembelajaran ...98

3.10.5 Uji Hipotesis 1 ……...(Analisis Kemampuan Literasi Matematika) ...99

3.10.5.1 Uji Ketuntasan Belajar Individual ...99

3.10.5.2 Uji Ketuntasan Belajar Klasikal ...100

3.10.6 Uji Hipotesis II ...101

3.10.7 Uji Hipotesis III ...102

(7)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Pendidikan merupakan kebutuhan manusia selama manusia hidup. Tanpa adanya pendidikan, maka dalam menjalani kehidupan ini manusia tidak akan dapat berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan itu harus betul – betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas yang mampu bersaing, memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik. Permasalahan pendidikan selalu muncul bersama dengan berkembangnya dan meningkatnya kemampuan peserta didik, situasi dan kondisi lingkungan yang ada, pengaruh informasi dan kebudayaan,serta berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Indra : 2011).Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdikan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan

negara.”

Dari kedua pernyataan diatas dapat terlihat bahwa pendidikan merupakan hal mendasar yang harus diperoleh setiap manusia. Dengan pendidikan manusia dapat memperoleh pengetahuan serta hal baru yang mampu meningkatkan keterampilan dan kemampuan mereka.Sedangkan fungsi pendidikan tidak hanya mencerdaskan siswa tetapi juga membentuk karakter sebagai penerus Bangsa Indonesia yang nantinya dapat memajukan dan membangun Bangsa Indonesia.

(8)

kepada peserta didik, tetapi banyak hal dan kegiatan yang harus dipertimbangkan dan dilakukan.Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas guru diperkenankan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia,sumber bellajar dan teknologi memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar (Depdiknas,2006;6) sebagaimana dikutip oleh Utari (2010:2).

Ada delapan keterampilan mengajar yang sangat berperan dan menentukan kualitas pembelajaran, yaitu keterampilan bertanya, membuat variasi, menjelaskan, membuka dan menutup pelajaran, membimbing diskusi, mengelola kelas, mengajar kelompok kecil dan perorangan, serta keterampilan memberikan penguatan (Indiati dan Listyaning Sumardiyani, 2011: 19).

Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penguasaan terhadap keterampilan mengajar tersebut harus utuh dan terintegrasi sehingga diperlukan latihan yang sistematis

.

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa kemajuan setiap bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Salah satunya pendapat dari Umar Tirtarahardja dalam Andi (2015:2) yang menyatakan bahwa pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan karena sasarannya adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Diperlukan pendidikan yang baik untuk menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas untuk menunjang kemajuan bangsa.Salah satu ilmu yang mampu menunjang peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) adalah ilmu matematika, karena matematika merupakan ilmu yang menjadi induk dari semua ilmu pengetahuan (mother of science).

Depdiknas (2008:18) menyatakan bahwa matematika merupakan ilmu yang mendasari perkembangan teknologi yang berperan penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang, dan matematika diskrit.

(9)

matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan untuk (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki Tanggung Jawab, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

(10)

keruangan; dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.

Inilah yang menjadikan ilmu matematika wajib dipelajari terutama di sekolah baik dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah. Tujuan dari pembelajaran matematika di sekolah menurut Wardhani (2008: 8) yaitu agar siswa memiliki kemampuan: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki Tanggung Jawab, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Menurut Andi (2015:3) tujuan pembelajaran matematika adalah membekali siswa dengan kemampuan yang lengkap untuk dapat digunakan dalam menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari.

(11)

kehidupan sehari – hari. Hal ini terlihat pada rendahnya nilai matematika Indonesia dalam studi komparatif internasional PISA ( Programme for International Student Assesment).

Tujuan pembelajaran matematika yang ditetapkan Departemen Pendidian Nasional (2006) sejalan dengan NCTM (2000: 67) yang menetapkan lima kompetensi dalam pembelajaran matematika: pemecahan masalah matematis (mathematical problem solving), komunikasi matematis (mathematical communication), penalaran matematis (mathematical reasoning), koneksi matematis (mathematical connection), dan representasi matematis (mathematical representation). Gabungan kelima kompetensi tersebut perlu dimiliki siswa agar dapat mempergunakan ilmu matematika dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan yang mencakup kelima kompetensi tersebut adalah kemampuan literasi matematika.

(12)

di bawah 400 dengan kemampuan kognitif paling tinggi rata-ata hanya bisa mencapai level 3 dan 4. Selain itu, paparan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies R. Baswedan, Phd yang disampaikan dalam silaturahmi Kementerian dengan Kepala Dinas tanggal 1 Desember 2014, menyatakan bahwa dari enam tingkatan kompetensi matematis dalam PISA yang dapat dicapai oleh siswa berdasarkan tingkat kecakapan, terdapat 76% anak Indonesia di PISA yang tidak mencapai level 2, level minimal untuk keluar dari kategori low achievers. Sedangkan jumlah anak yang mencapai level tertinggi yaitu level 5 dan 6, hanya 0,3%. Tingkatan kompetensi matematis tersebut memperlihatkan kemampuan siswa Indonesia yang masih lemah dalam literasi matematika.Hasil PISA dan paparan menteri tersebut menunjukkan rendahnya kemampuan literasi matematika siswa Indonesia. Padahal literasi matematika sejalan dengan standar isi mata pelajaran matematika dalam kurikulum Indonesia (Wardono, 2014).

(13)

semua orang perlu memiliki literasi matematika yang dapat digunakan saat menghadapi berbagai permasalahan. Hal ini dikarenakan literasi matematika sangat penting bagi semua orang terkait dengan pekerjaan dan tugasnya dalam kehidupan sehari-hari.

Kemampuan literasi matematika membantu siswa untuk memahami peran dan kegunaan matematika di setiap aspek kehidupan sehari-hari dan juga menggunakannya untuk membantu membuat keputusan-keputusan yang tepat dan beralasan. Alasan inilah yang membuat literasi matematika penting untuk dimiliki siswa, karena dapat menyiapkan siswa dalam pergaulan di masyarakat modern (OECD, 2010). Dalam hidup di abad modern ini, semua orang perlu memiliki literasi matematika untuk digunakan saat menghadapi berbagai masalah, karena literasi matematika sangat penting bagi semua orang terkait dengan pekerjaan dan tugasnya dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti literasi matematika dapat membantu siswa untuk mengenal peran matematika di dunia nyata dan sebagai dasar pertimbangan dan penentuan keputusan yang dibutuhkan oleh mereka. Karena masalah dan situasi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, memerlukan beberapa tingkat pemahaman matematika, penalaran matematika dan alat-alat matematika, sebelum mereka dapat sepenuhnya dipahami dan ditangani (OECD, 2010).

(14)

maupun strategi pembelajaran matematika yang karakteristiknya dapat ditujukan untuk melatih kemampuan literasi matematika siswa.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang mampu menjadikan siswa berlatih untuk mencapai dan meningkatkan kemampuan literasi matematika adalah pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). PMR atau dalam istilah asingnya adalah Realistic Mathematics Education (RME) dan di Indonesia lebih dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang mengedepankan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran di kelas dengan tujuan agar siswa mampu membangun pengetahuannya sendiri terhadap masalah matematika yang sedang dihadapi. Dalam pembelajaran ini, guru bertindak sebagai fasilitator bagi siswa dalam belajar matematika. Pada pendekatan RME, siswa dituntut untuk mengonstruksi pengetahuan dengan kemampuannya sendiri melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kegiatan pembelajaran.Siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa, dalam hal ini adalah guru. PMRI inilah yang menjadi salah satu alternatif pendekatan pembelajaran yang diupayakan di Indonesia untuk meningkatkan kemampuan literasi matematika siswa.

Sejak dikenalkannya PMRI di Indonesia tahun 2001, sudah banyak pihak baik guru maupun peneliti yang menerapkan dan mengembangkan pembelajaran matematika berbasis PMRI di sekolah-sekolah. Akan tetapi, dalam kurun waktu 2001-sekarang belum begitu tampak perubahan menuju arah yang lebih baik terhadap prestasi belajar matematika di Indonesia. Bukti nyatanya adalah hasil penilaian PISA terhadap kemampuan literasi matematika seperti yang telah ditulis di awal pendahuluan ini. Sementara itu, model pembelajaran yang mendukung siswa dalam meningkatkan kemampuan literasi matematika di Indonesia masih tergolong langka.

(15)

ini menarik karena desain sistem pembelajarannya memperlihatkan tahapan-tahapan dasar desain sistem pembelajaran yang sederhana dan mudah dipelajari. Model pembelajaran ADDIE dikembangkan sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan oleh guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik.

Menurut Prawiradilaga (2009: 21) menjelaskan bahwa “model pembelajaran ADDIE berisi lima komponen yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran. Kelima komponen tersebut yaitu: (1) Analysis (analisis); (2) Design (merancang); (3) Development (pengembangan); (4) Implementation (penerapan); (5) Evaluation (evaluasi).”

Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang guru harus mampu menganalisis semua karakteristik siswa kemudian merancang pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan mampu mengembangkan model pembelajaran yang sesuai kemudian menerapkannya ke dalam pembelajaran yang ada serta memberikan evaluasi yang sesuai untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa dalam pembelajaran. Sehingga penggabungan kelima komponen tersebut, model pembelajaran ADDIE menjadi jawaban dari pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi kemampuan literasi matematika siswa.

(16)

ide-ide kreatif bila menemuipermasalahan dalam proses atau produk, sehingga hasilnya kurang maksimal.

Permasalahan tersebut dikarenakan pola pembelajaran selama ini lebih menekankan pada penguasaan akademik dan kurang memberi porsi pada upaya untuk menumbuhkembangkan karakter kepribadian agar berdampingan dengan kemampuan akademik. Demikian juga pembelajaran selama ini kurang menumbuhkembangkan karakter tanggung jawabmulai dari persiapan diri, persiapan kerja, proses produksi, dan berkemas. Oleh karena itu, diperlukan pembelajaran karakter kepribadian yang terintegrasi melalui pembelajaranpraktikyang memungkinkan siswa belajar tanggung jawab lebih baik dan lebih bermakna bagi peningkatan profesionalitasnya..

Metode pembelajaran ADDIE akan lebih bermakna lagi apabila penggunaannya dengan berbantuan model pembelajaran Time Token. Time token merupakan media pembelajaran yang sangat menarik dan dapat meningkatkan keaktifan serta tanggung jawab siswa yakni dengan diberikannya tiket belajar kepada siswa .

Pada Time Token, aktivitas siswa meningkat karena siswa dituntut untuk menggunakan tiket belajarnya sampai habis. Apabila siswa tidak menggunakan tiket belajar untuk menjawab pertanyaan, menanggapi pendapat, bertanya maupun mengungkapkan pendapat, maka tiket tersebut akan semakin menumpuk. Masing-masing siswa juga akan termotivasi menggunakan tiket belajar tersebut karena dalam penggunaan kartu belajar memiliki batasan waktu yang ditentukan dan digunakan dengan secepat-cepatnya karena bersaing dengan yang lainnya dalam menggunakan tiket belajarnya.

(17)

Berdasarkan uraian diatas, peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Analisis Kemampuan Literasi Matematika pada Model Pembelajaran ADDIE dengan Pendekatan PMRI Berbantuan Time Token terhadap Siswa SMP”

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Apakah hasil belajar matematika siswa SMP Negeri 4 Semarang yang memperoleh pembelajaran ADDIE pendekatan realistik berbantuan

Time Token dan siswa yang memperoleh pembelajaran ADDIE pendekatan realistik dapat mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) ?

2. Apakah kemampuan literasi matematika siswa SMP Negeri 4 Semarang yang memperoleh pembelajaran ADDIE pendekatan realistik berbantuan Time Token lebih baik bila dibandingkan dengan kemampuan literasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran ADDIE pendekatan realistik dan kemampuan literasi matematika yang memperoleh pembelajaran secara ekspositori? 3. Apakah terdapat peningkatan kemampuan literasi matematika siswa

SMP Negeri 4 Semarang yang memperoleh pembelajaran ADDIE pendekatan realistik berbantuan Time Token ?

4. Apakah kualitas pembelajaran ADDIE dengan pendekatan realistik berbantuan Time Token termasuk dalam kategori minimal baik ? 5. Bagaimana kemampuan literasi matematika siswa SMP Negeri 4

Semarang dengan pembelajaran ADDIE pendekatan realistik berbantuan Time Token dan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran ADDIE dengan pendekatan realistik?

(18)

menggunakan model pembelajaran ADDIE dengan pendekatan realistik?

1.3

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui hasil belajar matematika siswa SMP Negeri 4 Semarang yang memperoleh pembelajaran ADDIE pendekatan realistik berbantuan Time Token dan siswa yang memperoleh pembelajaran ADDIE pendekatan realistik dapat mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

2. Mengetahui kemampuan literasi matematika siswa SMP Negeri 4 Semarang yang memperoleh pembelajaran ADDIE pendekatan realistik berbantuan Time Token lebih baik atau sebaliknya bila dibandingkan dengan kemampuan literasi siswa yang memperoleh pembelajaran ADDIE pendekatan realistik dan kemampuan literasi siswa yang memperoleh pembelajaran secara ekspositori.

3. Mengetahui peningkatan kemampuan literasi matematika siswa SMP Negeri 4 Semarang yang memperoleh pembelajaran ADDIE pendekatan realistik berbantuan Time Token lebih baik atau sebaliknya bila dibandingkan dengan peningkatan kemampuan literasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran ADDIE pendekatan realistik dan peningkatan kemampuan literasi matematika kelas yang memperoleh pembelajaran secara ekspositori.

(19)

6. Untuk mendeskripsikan kesulitan siswa SMP Negeri 4 Semarang dalam menyelesaikan soal berorientasi PISA pada pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran ADDIE dengan pendekatan realistik berbentuan Time Token dan pada pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran ADDIE dengan pendekatan realistik .

1.4

Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan analisis literasi matematika dengan pembelajaran ADDIE pendekatan realistik berbantuan Time Token. Diharapkan dengan pembelajaran ADDIE memperoleh suasana baru dalam proses pembelajaran guru dan siswa. Pola pikir matematis hanya dapat berkembang jika terdapat aktifitas yang langsung terkait dengan isi dan metode aritmatika dan matematika. Diharapkan dengan adanya pembelajaran ADDIE pendekatan realistik berbantuan Time Token dapat meningkatkan pola pikir matematis sehingga dapat meningkatkan literasi matematika siswa.

1.4.2 Manfaat Praktis 1.4.2.1 Bagi Guru

1. Dapat membantu tugas guru dalam mengetahui kemampuan literasi matematika siswa selama proses pembelajaran di kelas secara efektif dan efisien.

2. Sebagai bahan referensi atau masukan tentang model pembelajaran agar dapat mengetahui kemampuan literasi matematika siswa.

3. Mempermudah guru melaksanakan pembelajaran. 1.4.2.2 Bagi Siswa

1. Dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengetahui kemampuan literasi matematika dalam pembelajaran.

(20)

3. Melatih siswa untuk dapat mengemukakan ide atau pendapat dalam pembelajarannya.

4. Melatih siswa untuk mampu menemukan konsep matematika dengan kemampuan masing-masing.

5. Melatih siswa untuk mampu menyimpulkan hasil pembelajaran 6. Meningkatkan keaktifan dan daya tarik siswa terhadap mata

pelajaran matematika.

7. Meningkatkan karakter tanggung jawab pada siswa melalui pembelajaran.

1.4.2.3 Bagi Peneliti

1. Mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dalam menerapkan model pembelajaran ADDIE dengan pendekatan realistik berbantuan Time Token pada pembelajaran matematika.

2. Mampu mengidentifikasi penyebab terhambatnya kemampuan literasi matematika pada siswa.

3. Meningkatnya kemampuan dasar mengajar dalam mengembangkan pembelajaran matematika.

1.4.2.4Bagi Sekolah

Pembelajaran ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dan masukan yang baik bagi sekolah untuk mengetahui kemampuan literasi matematika siswa dan kualitas pembelajaran matematika melalui pembelajaran ADDIE dengan pendekata realistik berbantuan Time Token di sekolah.

1.4.2.5Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dan sumbangan pemikiran untuk penelitian selanjutnya mengenai analisis kemampuan literasi matematika dengan model pembelajaran ADDIE pendekatan realistik berbantuan Time Token.

1.5

Penegasan Istilah

(21)

dan menghindari penafsiran makna yang berbeda. Penegasan istilah juga dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup permasalahan sesuai dengan tujuan dalam penelitian ini. Istilah-istilah yang perlu diberikan penegasan adalah sebagai berikut.

1.5.1 Kemampuan Literasi Matematika

OECD (2009) menjelaskan definisi literasi matematis (mathematical literacy), adalah:

Mathematical literacy isan individual’s capacity to

identify and understand the role that mathematics plays in the world, to make well-founded judgements and to use and engage with mathematics in ways that meet the needs of

that individual’s life as a constructive, concerned and

reflective citizen.”

Definisi di atas, dapat kita pahami bahwa dalam PISA siswa dituntut untuk merefleksikan dan mengevaluasi materi yang telah dipelajarinya, bukan hanya sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang memiliki jawaban yang benar dan tunggal tetapi juga melakukan penalaran, serta menarik kesimpulan. Kemampuan literasi matematika dapat dilakukan penilaian. PISA menyajikan teknik penilaian literasi matematika yang didasarkan pada konten, : bentuk dan ruang, perubahan dan hubungan, kuantitas, dan ketidakpastian dan data. Untuk mengetahui tingkat literasi matematika siswa akan diadakan tes awal ( pre-test) dan tes akhir (post-test) saat pembelajaran pada penelitian inti.

1.5.2 Model Pembelajaran ADDIE

“Model pembelajaran ADDIE terdiri dari lima tahap atau fase yang

merupakan satu kesatuan dan diperlukan dalam kegiatan pembelajaran”

(Pribadi, 2009: 125). Kelima komponen tersebut yaitu; (1) Analysis (analisis) berhubungan dengan peran guru untuk menganalisis semua kebutuhan dan karakteristik siswa sebelum melakukan pembelajaran; (2) Design

(merancang) berhubungan dengan merancang kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai; (3) Development

(22)

lingkungan sekitar dan mengembangkan alat peraga atau media pembelajaran yang sesuai dengan materi dan memudahkan penjelasan materi kepada siswa; (4) Implementation (penerapan) yaitu guru harus menerapkan apa yang sudah direncanakan sebelumnya ke dalam proses pembelajaran yang sesungguhnya di lapangan; (5) Evaluation (evaluasi), dengan memberikan evaluasi yang objektif dan adil serta segera menginformasikan hasil evaluasi akan menjadi motivator siswa untuk meningkatkan prestasi belajar yang ingin dicapai. 1.5.3 Pendekatan Realistik

Di Indonesia, pendekatan pembelajaran RME dikenal dengan nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) . Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994 dalam Hadi), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan

persoalan “dunia riil” (de Lange 1995, dalam Hadi).

1.5.4 Model Pembelajaran ADDIE dengan Pendekatan Realistik Berbantuan Time Token

Model pembelajaran ADDIE dengan pendekatan realistik berbantuan

Time Token adalah perpaduan model pembelajaran ADDIE dengan pendekatan realistik dibantu dengan permainan Time Token yang kemampuan siswanya akan diukur menggunakan soal beroirentasi PISA. Model pembelajaran ADDIE dengan pendekatan realistik berbantuan Time Token

akan diterapkan pada kelas eksperimen 1 .

(23)

Model pembelajaran ADDIE dengan pendekatan realistik akan diterapkan pada kelas eksperimen 2 .

1.5.6 Model Pembelajaran Ekspositori

Model ekspositori adalah cara penyampaian pelajaran dari seorang guru kepada peserta didik di dalam kelas dengan cara berbicara di awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal disertai tanya jawab (Suyitno, 2004: 4).

Model pembelajaran ekspositori merupakan pembelajaran yang berorientasi pada guru. Model pembelajaran ekspositori akan diterapkan pada kelas kontrol.

1.5.7 Time Token

Time Token adalah model pembelajaran digunakan (Arends, 1998) untuk melatih dan mengembangkan ketrampilan sosial agar siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Guru memberi sejumlah kupon berbicara dengan waktu ± 2,5menit per kupon pada tiap siswa. Sebelum berbicara, siswa menyerahkan kupon terlebih dahulu pada guru. Setiap tampil berbicara satu kupon. Siswa dapat tampil lagi setelah bergiliran dengan siswa lainnya. Siswa yang telah habis kuponnya tak boleh bicara lagi. Siswa yang masih memegang kupon harus bicara sampai semua kuponnya habis. Dalam penelitian ini Time Token berperan sebagai bantuan berupa permainan dalam proses pembelajaran.

1.5.8 Programmer for International Student Assesment ( PISA)

(24)

setiap tiga tahun sekali, yaitu pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan seterusnya. Sejak tahun 2000 Indonesia mulai sepenuhnya berpartisipasi pada PISA. Pada penelitian ini PISA digunakan sebagai acuan dalam pembuatan soal – soal matematika yang akan diberikan kepada siswa untuk mengukur kemampuan literasi matematika siswa.

1.5.9 Konten Shape and Space dan Quantity

Konten shape and space mencakup tentang bentuk dan ruang yang meliputi fenomena yang berkaitan dengan dunia visual yang melibatkan pola,sifat dari objek,posisi dan orientasi, representasi dari objek,pengkodean informasi visual,dan interaksi dinamik yang berkaitan dengan bentuk riil. Konten shape and space berkaitan dengan pokok pelajaran geometri . Konten

Quantity mencakup tentang perubahan dan hubungan berkaitan dengan pokok pelajaran aljabar. Peserta didik dapat merubah dari masalah realistik kemudian diterjemahkan dan dihubungkan ke dalam bentuk matematika. Pada penelitian ini akan diberikan dan diujikan materi lingkaran yang sesuai dengan konten shape and space. Sedangkan untuk konten Quantity pada penelitian ini akan diujikan pada materi himpunan.

1.5.10 Kesulitan Belajar Matematika

Kesulitan dalam belajar matematika merupakan beragam gangguan dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berhitung karena faktor internal individu itu sendiri (Andi:2015). Kesulitan belajar ini juga terjadi saat mempelajari matematika, dimana kesulitan belajar matematika ini mempengaruhi siswa dalam mengerjakan dan menyelesaikan soal-soal matematika.

1.5.11 Kualitas Pembelajaran

(25)

mengukur kualitas suatu pembelajaran dapat ditinjau melalui indikator ketiga strategi tersebut.

1.5.12 Materi Lingkaran

Berdasarkan Silabus, Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar KTSP SMP Kelas VIII Semester Genap, Lingkaran merupakan salah satu materi yang harus dipelajari dan dikuasai oleh peserta didik.

1.5.13 Ketuntasan Belajar

Ketuntasan belajar dalam penelitian ini ada 2 yaitu ketuntasan individual dan ketuntasan klasikal. Ketuntasan individual adalah jika nilai yang diperoleh siswa lebih dari atau sama dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 75. Ketuntasan klasikal adalah jika presentase siswa yang mencapai ketuntasan individual minimal 75% dari jumlah siswa yang ada di kelas tersebut.

1.5.14 Karakter Tanggung Jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Kebiasaan disiplin dalam bernalar yang terbentuk dalam mempelajari matematika melahirkan suatu sikap tanggung jawab atas pelaksanaan kewajiban yang seharusnya dilakukan, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

1.6

Sistematika Penulisan Skripsi

Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir, yang masing-masing diuraikan sebagai berikut.

1.6.1 Bagian Awal

Bagian ini terdiri dari halaman judul, halaman pengesahan, pernyataan, motto dan persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar dan daftar lampiran.

1.6.2 Bagian Isi

(26)

BAB I : Pendahuluan

Bagian ini meliputi latar belakang, rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan, manfaat, penegasan istilah dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : Landasan Teori dan Hipotesis

Bagian ini membahas teori yang melandasi permasalahan skripsi serta penjelasan yang merupakan landasan teoritis yang diterapkan dalam skripsi,pokok bahasan yang terkait dengan pelaksanaan penelitian,kerangka berfikir, dan hipotesis penelitian.

BAB III: Metode Penelitian

Bab ini berisi metode dan desain penelitian, jenis penelitian, populasi, sampel, variabel penelitian, metode pengumpulan data, instrumen dan analisis data.

BAB IV: Hasil penelitian dan pembahasan.

BAB V: Penutup, berisi simpulan hasil penelitian dan saran-saran 1.6.3 Bagian Akhir

(27)

20

2.1

Landasan Teori

2.1.1 Belajar

Banyak orang beranggapan bahwa yang dimaksud dengan belajar adalah mencari ilmu atau menuntut ilmu. Belajar sebenarnya tidak terbatas pada bangku sekolah atau pada akademik semata, akan tetapi belajar sangatlah luas. Belajar bisa dari alam, lingkungan sekitar, dari pengalaman yang terjadi pada diri sendiri ataupun yang terjadi pada orang lain. Hampir semua ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsiran tentang pengertian belajar. Seringkali pula perumusan dan tafsiran itu berbeda satu sama lain. Perbedaan pendapat tentang belajar disebabkan karena adanya kenyataan bahwa perbuatan belajar itu sendiri bermacam-macam. Banyak jenis kegiatan atau akivitas-aktivitas yang setiap orang dapat disetujui kalau disebut perbuatan belajar, seperti misalnya mendapatkan perbendaharaan kata-kata baru, menghafal syair,menghafal nyanyian, dan sebagainya (Suryabata 2004:230).

Menurut Fauzi (2004: 46) mengatakan bahwa “belajar adalah pengalaman yang universal. Perkataan belajar mempunyai tiga arti:

menemukan, mengingat, menjadi efisien”. Hilgard dan Bower (Purwanto, 2002: 84) mengemukakan bahwa, Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya).

(28)

pengetahuan atau kemahiran yang sifatnya relatif permanen. Sejalan dengan pendapat Liang Gie, Winkel (Hidayatullah, 2010:324) yang mendefinisikan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental atau fisik yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap.

Purwanto (2002:85) mengemukakan bahwa “belajar merupakan suatu proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata: prosesitu terjadi di dalam diri seseorang yang sedang mengalami belajar”. Sejalan dengan Purwanto, Moskowitz (Lubis, 2010:46) menyebutkan bahwa belajar adalah perilaku sebagai hasi langsung dari pengalaman bukan akibat hubungan-hubungan dalam system syaraf yang dibawa sejak lahir. Menurut Good dan Brophy (Purwanto, 2002: 85), belajar bukan tingkah laku yang nampak, tetapi terutama adalah prosesnya yang terjadi secara internal di dalam diri individu dalam usahanya memperoleh hubungan-hubungan baru (new associations). Hubungan–hubungan baru itu dapat berupa: antara perangsang–perangsang, antara reaksi–reaksi, atau antara perangsang dan reaksi.

Dimyati (2009:295) mengemukakan bahwa “belajar adalah kegiatan individu memperoleh pengetahuan, perilaku, dan keterampilan dengan cara

mengolah bahan belajar”. Maka dari itu, individu yang ingin memperoleh

pengetahuan melalui pengalaman belajar diharapkan mampu mengolah bahan belajar yang mereka dapatkan.

Ciri-ciri belajar diungkapkan oleh Burhanuddin dan Wahyuni dalam Thobroni (2011:19), yaitu sebagai berikut: 1) Belajar ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku (change behavior), 2) Perubahan perilaku relatif permanen, 3) Perubahan tingkah laku tidak harus segera dapat diamati pada saat proses belajar berlangsung, perubahan perilaku tersebut bersifat potensial, 4) Perubahan tingkah laku merupakan hasil latihan atau pengalaman, dan 5) Pengalaman atau latihan itu dapat member penguatan.

(29)

disadari, 2) Kontinu atau berkesinambungan dengan perilaku lainnya, 3) Fungsional atau bermanfaat sebagai bekal

hidup, 4) Positif atau berakumulasi, 5) Aktif sebagai usaha yang direncanakan dan dilakukan, 6) Permanen atau tetap, 7) Bertujuan dan terarah, dan 8) Mencakup keseluruhan potensi kemanusiaan.

Belajar merupakan hal terpenting yang harus dilakukan manusia untuk menghadapi perubahan lingkungan yang senantiasa berubah setiap waktu, oleh karena itu hendaknya seseorang mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kehidupan yang dinamis dan penuh persaingan dengan belajar, dimana didalamnya termasuk belajar memahami diri sendiri, memahami perubahan, dan perkembangan globalisasi. Sehingga dengan belajar seseorang siap menghadapi perkembangan zaman yang begitu pesat. Belajar menurut pengertian psikologi merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, pendapat tersebut didukung oleh penjelasan

Slameto bahwa: “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.”

Menurut Suprijono dalam Thobroni (2011:21), prinsip belajar adalah, perubahan perilaku sebagai hasil belajar yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Sebagai hasil tindakan rasional instrumental, yaitu perubahan yang disadari, 2) Kontinu atau berkesinambungan dengan perilaku lainnya, 3) Fungsional atau bermanfaat sebagai bekal hidup, 4) Positif atau berakumulasi, 5) Aktif sebagai usaha yang direncanakan dan dilakukan, 6) Permanen atau tetap, 7) Bertujuan dan terarah, dan 8) Mencakup keseluruhan potensi kemanusiaan.

(30)

2.1.2 Definisi Hasil Belajar

Menurut Nana Sudjana, hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran yaitu, berbentuk test yang disusun secara terencana, baik test tertulis, test lisan maupun test perbuatan. S. Nasution (1989: 25) berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar.

Definisi hasil belajar juga disampaikan oleh Ngalim Purwanto, hasil belajar adalah hasil-hasil pelajaran yang telah diberikan guru kepada murid-muridnya.Gagne menyatakan bahwa hasil belajar dibedakan menjadi lima aspek, yaitu kemampuan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap, dan keterampilan.

Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima kategori hasil belajar; yaitu:

a. Informasi verbal

b. Keterampilan intelektual c. Strategi kognitif

d. Sikap

e. Dan keterapilan motoris

Hasil belajar merupakan hasil pengukuran dari penilaian kegiatan belajar atau proses belajar yang dinyatakan dalam symbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu. Hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil aktivitas belajar.

Untuk mendapatkan hasil dalam bentuk “perubahan” harus melalui proses

(31)

pengetahuan atau ilmu matematika. Oleh karena itu, di dalam proses pembelajaran matematika seorang guru harus menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan bagi siswa untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran yang baik. Sehingga pengetahuan atau ilmu dapat dipahami. Karena hasil belajar matematika adalah untuk membekali siswa pada pembelajaran matematika dalam kompetensi tertentu.

2.1.3 Pembelajaran Matematika

Sanjaya (2008 : 215), “Pembelajaran merupakan istilah lain dari mengajar. Dalam kegiatan pembelajaran siswa harus dijadikan sebagai pusat dari kegiatan. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan Edisi Khusus No. 2, Agustus 2011-84 ISSN 1412-565X peserta didik”. Dalam proses pembelajaran La Costa (dalam Sanjaya, 2008: 219), mengklasifikasikan pembelajaran berpikir menjadi tiga, yang salah satunya adalah teaching of thinking. Teaching of thinking adalah proses pembelajaran yang diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental tertentu, seperti keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif dan sebagainya.

Menurut Mahmudi ( 2009:1) pembelajaran matematika hendaknya tidak hanya mencakup berbagai penguasaan konsep matematika, melainkan juga terkait dengan aplikasinya dalam kehidupan nyata. Kemampuan matematika aplikatif, seperti mengoleksi, menyajikan, menganalisis, dan menginterpretasikan data, serta mengkomunikasikannya sangat perlu untuk dikuasi siswa.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika adalah usaha sadar guru untuk membentuk watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peserta didik serta membantu siswa dalam belajar matematika agar tercipta komunikasi matematika yang baik sehingga matematika itu lebih mudah dipelajari dan lebih menarik. Selama proses pembelajaran matematika berlangsung guru dituntut untuk dapat mengaktifkan siswanya.

2.1.4 Teori Belajar

(32)

ini diuraikan oleh para ahli. Teori-teori belajar yang mendukung penelitian ini diuraikan sebagai berikut.

2.1.4.1 Teori Belajar Bruner

Bruner (Pitajeng, 2006: 27) berpendapat bahwa “belajar matematika

adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika”. Siswa harus menemukan keteraturan dengan cara mengutak-atik benda-benda yang berhubungan dengan keteraturan intuitif yang sudah dimiliki siswa. Dengan demikian siswa dalam belajar, harus terlibat aktif mentalnya. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat siswa. Dalam hubungannya dengan pelajaran simetri lipat, bruner menyatakan bahwa cara terbaik bagi siswa untuk mulai belajar konsep dan prinsip di dalam simetri lipat adalah dengan mengkonstruksikan sendiri konsep dan prinsip tersebut.

Menurut Zulfikar Ali (2010:59) Jerome S. Bruner dadalah ahli psikologi perkembangan yang memiliki perhatian terhadap kemajuan pendidikan, terlihat dalam empat tema pendidikan yang selalu ia sorot demi pengembangan peserta didik sebagai berikut:

1. Struktur pengetahuan

Struktur pengetahuan dipandang penting bagi peserta didik karena akan memberi dorongan untuk melihat fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan dapat dihubungkan antara satu dengan yang lainnya dan pada informasi yang telah dimilikinya.

2. Kesiapan (readiness) untuk belajar

Kesiapan belajar juga sangat urgen dalam pendidikan, kesiapan belajar terdiri dari penguasaan keterampilan-keterampilan yang lebih tinggi lagi. 3. Nilai Intuisi dalam Belajar

(33)

4. Motivasi atau keinginan untuk Belajar

Dengan adanya motivasi belajar diharapkan akan tertanamkan pada pengalaman-pengalaman pendidikan yang secara langsung mau berpartisipasi secara aktif dalam menghadapai proses belajar mengajar. 2.1.4.2Teori Belajar Vygotsky

Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu:

(1) Pembelajaran sosial (social leaning).

Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap;

(2) ZPD (zone of proximal development).

Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak.

(3) Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship);

Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai;

(4) Pembelajaran Termediasi (mediated learning).

Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.

(34)

sendiri tetapi memerlukan bantuan kelompok atau orang dewasa. Dalam belajar, zone proximal ini dapat dipahami pula sebagai selisih antara apa yang bisa dikerjakan seseorang dengan kelompoknya atau dengan bantuan orang dewasa. Maksimalnya perkembangan ini tergantung pada intensifnya interaksi antara seseorang dengan lingkungan sosial.

Satu lagi ide penting dari Vygotsky adalah Scaffolding yakni pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah anak dapat melakukannya. Penafsiran terkini terhadap ide-ide Vygotsky adalah siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks, sulit, dan realistik dan kemudian diberikan bantuan untuk menyelesaikan tugas-tugas itu. Hal ini bukan berarti bahwa diajar sedikit demi sedikit komponen-komponen suatu tugas yang kompleks yang pada suatu hari diharapkan akan terwujud menjadi suatu kemampuan untuk menyelesaikan tugas kompleks tersebut (Nur & Wikandari dalam Trianto,2007: 27).

Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vigotky, fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zona of proximal development

mereka.

2.1.4.3 Teori Belajar Ausebel

(35)

tersebut disajikan kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitifnya (berupa fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa) yang telah ada. Kedua dimensi tersebut, yaitu penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna, tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu kontinum ( Harun:2014)

Inti dari teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna. Menurut Ausebel, belajar bermakna akan terjadi bila si pembelajar dapat mengaitkan informasi yang baru diperolehnya dengan konsep-konsep (dikenal sebagai subsumer-subsumer) relevan yang terdapat dalam struktur kognitif si pembelajar tersebut. Akan tetapi, bila si pembelajar hanya mencoba menghafalkan informasi baru tadi tanpa menghubungkan dengan konsepkonsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya tersebut, kondisi ini dikatakan sebagai belajar hafalan.

Beberapa syarat yang harus dipenuhi agar belajar menjadi bermakna yaitu:

1. Pengaturan awal (Advance organizer)

Pengaturan awal ini berisi konsep-konsep atau ide-ide yang diberikan kepada siswa jauh sebelum materi pelajaran yang sesungguhnya diberikan.

2. Progressive differentiation

Menurut Ausubel pengembangan konsep berlangsung paling baik bila dimulai dengan cara menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang umum terus sampai kepada hal-hal yang khusus dan rinci disertai dengan pemberian contoh-contoh.

3. Rekonsiliasi integratif

Guru menjelaskan dan menunjukkan secara jelas perbedaan dan persamaan materi yang baru dengan materi yang telah dijelaskan terlebih dahulu yang telah dikuasai siswa.

(36)

Guru memberikan pemantapan atas materi pelajaran yang telah diberikan untuk memudahkan siswa memahami dan mempelajari materi selanjutnya.

Selanjutnya, menurut Ausebel ada prasyarat-prasyarat tertentu agar terjadinya belajar bermakna. Pertama, materi yang dipelajari harus bermakna

secara potensial, maksudnya materi pelajaran tersebut harus memiliki kebermaknaan logis. Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang konsisten dengan apa yang telah diketahui (disebut materi non-arbitrer) dan materi tersebut dapat dinyatakan dalam berbagai cara, tanpa mengubah arti (disebut materi substantif). Selain itu, aspek lain dari materi bermakna potensial ini adalah dalam struktur kognitif siswa harus ada gagasan-gagasan yang relevan. Artinya, pembelajaran harus memperhatikan pengalaman siswa, tingkat perkembangan mereka, intelegensi, dan usia. Bila para siswa tidak memiliki pengalaman yang diperlukan untuk mengaitkan atau menghubungkan isi pembelajaran tersebut, maka isi pembelajaran tersebut harus dipelajari secara hafalan.

Kedua, siswa yang akan belajar harus mempunyai niat/tujuan dan kesiapan untuk melaksanakan belajar bermakna. Tujuan belajar siswa merupakan faktor utama dalam belajar bermakna. Banyak siswa yang mengikuti pembelajaran nampaknya tidak relevan dengan kebutuhan mereka pada saat itu. Dalam pembelajaran yang demikian, materi dipelajari secara hafalan. Para siswa mungkin kelihatan dapat memberikan jawaban yang benar tanpa menghubungkan materi itu pada aspek-aspek lain dalam struktur kognitif mereka.

Jadi, agar terjadi belajar bermakna materi pelajaran harus bermakna secara logis, siswa harus bertujuan untuk memasukkan materi pembelajaran tersebut ke dalam struktur kognitifnya, dan dalam struktur kognitif siswa harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengaitkan atau menghubungkan materi yang baru tersebut secara non-arbitrer dan substantif. Jika salah satu komponen ini tidak ada, maka materi itu kalaupun dipelajari, akan dipelajari secara hafalan saja (Roser, 1984) dalam Harun (2014:3).

Belajar menurut Ausubel ada 4 (Asbarsalim:2015), yaitu:

(37)

dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menmukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.

2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.

3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.

4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir , kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki.

Teori belajarr ini sejalan dengan penggunaan soal berorientasi PISA sebagai penilaian hasil belajar siswa. Dimana setelah siswa dihadapkan pada suatu masalah,mereka harus memecahkan permasalahan tersebut sebagai batu loncatan tejadinya suatu penemuan, baik penemuan konsep, model matematika, ataupun solusi pemasalahan. Denan penggunaan soal berorientasi PISA akan membuat siswa lebih terbiasa untuk menemukan konsep, model matematika, ataupun solusi matematika.

2.1.4.4 Teori Belajar Piaget

Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif sebagai skemata (Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya. Piaget memakai istilah scheme dengan istilah struktur. Scheme adalah pola tingkah laku yang dapat diulang . Scheme berhubungan dengan :

(38)

2. Scheme mental ; misalnya scheme of classification, scheme of operation. ( pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap, pola tingkah laku yang dapat diamati).

Faktor yang Berpengaruh dalam Perkembangan Kognitif (Dahar, 2011: 141) yaitu :

1. Fisik

Interaksi antara individu dan dunia luar merupakan sumber pengetahuan baru, tetapi kontak dengan dunia fisik itu tidak cukup untuk mengembangkan pengetahuan kecuali jika intelegensi individu dapat memanfaatkan pengalaman tersebut.

2. Kematangan

Kematangan sistem syaraf menjadi penting karena memungkinkan anak memperoleh manfaat secara maksimum dari pengalaman fisik. Kematangan membuka kemungkinan untuk perkembangan sedangkan kalau kurang hal itu akan membatasi secara luas prestasi secara kognitif. Perkembangan berlangsung dengan kecepatan yang berlainan tergantung pada sifat kontak dengan lingkungan dan kegiatan belajar sendiri.

3. Pengaruh sosial

Lingkungan sosial termasuk peran bahasa dan pendidikan, pengalaman fisik dapat memacu atau menghambat perkembangan struktur kognitif 4. Proses pengaturan diri yang disebut ekuilibrasi

Proses pengaturan diri dan pengoreksi diri, mengatur interaksi spesifik dari individu dengan lingkungan maupun pengalaman fisik, pengalaman sosial dan perkembangan jasmani yang menyebabkan perkembangan kognitif berjalan secara terpadu dan tersusun baik. Tahap – tahap Perkembangan

Piaget (dalam Dahar, 2011: 136-139) membagi perkembangan kognitif anak ke dalam 4 periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia :

(39)

3. Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)

4. Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa) 1. Periode sensorimotor

Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode.

2. Tahapan praoperasional

Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra) Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.

3. Tahapan operasional konkrit

Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai

4. Tahapan operasional formal

(40)

melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada

“gradasi abu-abu” di antaranya. 2.1.5 Kualitas Pembelajaran

Menurut Mariani dalam (Haryati dan Rochman:2012) menyatakan bahwa kualitas pembelajaran secara operasional dapat diartikan sebagai intensitas keterkaitan sistemik dan sinergis guru, siswa, materi, iklim pembelajaran, dan media dalam menghasilkan proses dan hasil belajar yang optimal sesuai dengan tuntutan kurikuler.

Secara kasat mata indikator kualitas pembelajaran dapat dilihat antara lain dari perilaku pembelajaran guru (teacher behavior), perilaku dan dampak belajar siswa (student behavior), iklim pembelajaran (learning climate), materi pembelajaran, dan media pembelajaran.

Masing-masing indikator tersebut secara singkat dapat dijabarkan sebagai berikut menurut Mariani sebagaimana dikutip dari (Haryati dan Rochman:2012). Dari sisi guru, kualitas dapat dilihat dari seberapa optimal guru mampu memfasilitasi proses belajar siswa; 2) Dari sisi siswa, kualitas dapat dilihat perilaku dan dampak belajar siswa yang mampu membuat siswa termotivasi, aktif, dan kreatif; 3) Dari aspek iklim pembelajaran, kualitas dapat dilihat dari seberapa besar suasana belajar mendukung terciptanya kegiatan pembelajaran yang menarik, menantang, menyenangkan dan bermakna bagi siswa; 4) Dari sisi media belajar kualitas dapat dilihat dari seberapa efektif media belajar digunakan oleh guru untuk meningkatkan intensitas belajar siswa; 5) Sedangkan dari aspek materi, kualitas dapat dilihat dari kesesuaiannya dengan tujuan dan kompetensi yang harus dikuasai siswa. 2.1.6 Pembelajaran Matematika Realistik

(41)

ormal reasoning begins with the students themselves (Wardono:2016). Menurut Murdani,dkk (2013:24) menyatakan bahwa pembelajaran matematika realistik berpedoman pada 3 prinsip (guided reinvention and progressive mathematizing, didactical phenomenology, self developed models) dan 5 karakteristik (1) the use of context, (2) the use of models, bridging by vertical instrument, (3) student contribution, (4) interactivity and (5) intertwining.

2.1.6.1 Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

Menurut Gravemeijer (1994 : 90) ada tiga prinsip kunci dalam mendesain pembelajaran matematika realistik yaitu sebagai berikut:

a. Penemuan kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided reinvention and progressive mathematizing)

Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan matematisasi secara progresif. Siswa harus di beri kesempatan untuk mengalami proses yang sama dalam membangun dan menemukan kembali tentang ide-ide dan konsep-konsep matematika. Maksud mengalami proses yang sama dalam hal ini adalah setiap siswa diberi kesempatan sama dalam merasakan situasi dan jenis masalah kontekstual yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi.

b. Fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology)

Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam hal ini fenomena pembelajaran menekankan pentingnya masalahkontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa.Topik-topik ini dipilih dengan pertimbangan: (1) aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam pengajaran; dan (2) kecocokan dampak dalam proses matematika secara progresif, artinya prosedur, aturan dan model matematika yang harus dipelajari oleh siswa tidaklah disediakan dan diajarkan oleh guru, tetapisiswa harus berusaha menemukannya dari penyelesaian masalah kontekstual tersebut. c. Mengembangkan sendiri model-model (self-developed models)

(42)

kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi dari kebebasanitu, sangat dimungkinkan muncul berbagai model yang dibangun siswa.

Menurut Hartono (2008: 18-19), pendekatan realistik mempunyai lima karakteristik utama sebagai pedoman dalam merancang pembelajaran

matematika, yaitu:

1. Menggunakan masalah kontekstual

Pembelajaran harus dimulai dari masalah kontekstual yang diambil dari dunia nyata. Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata bagi siswa agar mereka dapat langsung terlibat dalam situasi yang sesuai dengan pengalaman mereka.

2. Menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal

Dunia abstak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus sesuai dengan tingkat abstraksi yang harus dipelajari siswa. Disini model dapat berupa keadaan atau situasi nyata dalam kehidupan siswa, seperti cerita-cerita lokal atau bangunan-bangunan yang ada di tempat tinggal siswa. Model dapat pula berupa alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang juga ada di sekitar siswa.

3. Menggunakan kontribusi siswa

Siswa dapat menggunakan strategi, bahasa, atau simbol mereka sendiri dalam proses mematematikakan dunia mereka. Artinya, siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam

menyelesaikan masalah nyata yang diberikan oleh guru. 4. Interaktivitas

Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antara guru dan siswa maupun antara siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting dalam pembelajaran matematika. Disini siswa dapat berdiskusi dan bekerjasama dengan siswa lain, bertanya dan menanggapi pertanyaan, serta

mengevaluasi pekerjaan mereka.

5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya

Hubungan diantara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan dengan masalah dari dunia nyata diperlukan sebagai satu

(43)

2.1.6.2Kelebihan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

Menurut Suwarsono (dalam Hobri, 2009: 173-174) kelebihan - kelebihan Realistic Mathematics Education (RME) atau Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) adalah sebagai berikut :

1. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari dan tentang kegunaan matematika pada umumnya kepada manusia. 2. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa

bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh setiap orang “biasa” yang lain, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

3. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus sama antara orang satu dengan orang yang lain. 4. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa

bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan suatu yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani sendiri proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep dan materi-materi matematika yang lain dengan bantuan pihak lain yang sudah tahu (guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.

(44)

2.1.6.3Kekurangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

Selain kelebihan-kelebihan seperti yang diungkapkan di atas, terdapat juga kelemahan-kelemahan Realistic Mathematics Education (RME) yang oleh Suwarsono (dalam Hobri, 2009: 175-176) adalah sebagai berikut:

1. Pemahaman tentang RME dan pengimplementasian RME membutuhkan paradigma, yaitu perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal, misalnya seperti siswa, guru, peranan sosial, peranan kontek, peranan alat peraga, pengertian belajar dan lain-lain. Perubahan paradigma ini mudah diucapkan tetapi tidak mudah untuk dipraktekkan karena paradigma lama sudah begitu kuat dan lama mengakar.

2. Pencarian soal-soal yang kontekstual, yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh RME tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih karena soal tersebut masing-masing harus bisa diselesaikan dengan berbagai cara.

3. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan cara untuk menyelesaikan tiap soal juga merupakan tantangan tersendiri.

4. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa dengan memulai soal-soal kontekstual, proses matematisasi horizontal dan proses matematisasi vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat agar guru bisa membantu siswa dalam menemukan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu.

5. Pemilihan alat peraga harus cermat agar alat peraga yang dipilih bisa membantu proses berpikir siswa sesuai dengan tuntutan RME.

6. Penilaian (assesment) dalam RME lebih rumit daripada dalam pembelajaran konvensional.

(45)

2.1.7Model Pembelajaran Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluations (ADDIE)

ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, and Evaluation).ADDIE muncul pada tahun 1990-an yang dikembangkan oleh Reiser dan Mollenda.Salah satu fungsi ADDIE yaitu menjadi pedoman dalam membangun perangkat pembelajaran,metode pembelajaran, media dan bahan ajar yang dinamis dalam mendukung kinerja pembelajaran.Sesuai dengan namanya, model ini terdiri dari lima fase/tahap, yaitu analysis

(analisis), design (desain), development (pengembangan), implementation

(implementasi), dan evaluation (evaluasi). Kelima tahap tersebut digambarkan dengan diagram pada gambar berikut.

Sumber: Benny A. Pribadi (2009)

Gambar 2.1 Tahap Model Pengembangan ADDIE A

Analisis kebutuhan dan kurikulum untuk menentukan tujuan dari pengembangan bahan

ajar

Menentukan kompetensi khusus, metode, bahan ajar, pendekatan, dan strategi pembelajaran

Memproduksi program dan bahan ajar yang akan digunakan dalam prog ram pembelajaran

Melaksanakan program pembelajaran dengan menerapkan metode, strategi, pendekatan, dan

bahan ajar pembelajaran

Melakukan evaluasi program pembelajaran ( metode, strategi, pendekatan, dan bahan ajar)

(46)

Penjelasan dari kelima tahap ADDIE tersebut diuraikan sebagai berikut (Ramdani ,2014:19-20).

1)Analisis

Pada langkah analisis ditetapkan tujuan pengembangan bahan ajar melalui analisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran. Selain itu, tahap analisis dilakukan pula melalui analisis kurikulum. Melalui analisis kurikulum, tujuan pengembangan bahan ajar akan lebih terperinci melalui analisis SK dan KD yang ditetapkan. Hasil analisis SK dan KD inilah yang akan dijadikan sebagai bahan untuk melakukan tahap berikutnya.

2) Desain

Pada tahap ini, hal mendasar yang perlu dilakukan adalah penentuan kompetensi yang harus dikuasai siswa. Selanjutnya, hal-hal yang dilakukan adalah penentuan metode, strategi, pendekatan, dan jenis bahan ajar yang akan dipakai dalam proses pembelajaran. Penentuan unsur-unsur yang perlu dikembangkan dalam penyusunan bahan ajar juga merupakan bagian dalam tahap desain ini. Rancangan struktur bahan ajar menjadi hasil akhir dari tahap kedua dalam model pengembangan ADDIE.

3)Pengembangan

Dalam tahap ini, hal-hal yang dilakukan adalah memproduksi bahan ajar yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Selanjutnya, dilakukan penilaian terhadap bahan ajar yang telah selesai diproduksi sebelum diimplementasikan lebih lanjut.

4)Implementasi

Tahap ini merupakan proses pembelajaran sesungguhnya dengan menerapkan metode, strategi, dan pendekatan yang telah ditetapkan. Penggunaan bahan ajar dalam proses pembelajaran menjadi inti dari tahap keempat dalam model pengembangan ADDIE.

5)Evaluasi

Gambar

gambar berikut.
Tabel 2.1 Aspek-aspek penilaian dalam PISA
Gambar 2.2 Domain Soal PISA
Gambar 2.3 Bentuk Lingkaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan asumsi bahwa penghambatan absorbsi oleh fitosterol akan menurunkan kadar kolesterol intrasel enterosit yang akhirnya dapat menurunkan kadar kilomikron

Simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan adalah pembelajaran kooperatif tipe TPS ( Think Pair Share) yang telah dilaksanakan di kelas XII IPA SMA PGRI 5

Bagi penganut Islam, dalam usaha meningkatkan tahap kualiti hidup penduduk terdapat satu aspek paling utama yang boleh menjadi pemangkin kepada tingginya kualiti

Pengajaran mikro merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa untuk mengambil mata kuliah PPL. Pengajaran mikro merupakan kegiatan praktik

Auditor internal lebih berpreferensi pada penanganan penyalahgunaan aset daripada kecurangan laporan keuangan karena kepentingan manajemen atas keberadaan fungsi

Berdasarkan hasil penelitian dukungan sosial keluarga dengan tingkat depresi yang dilakukan subjek penelitian didapatkan pada dukungan keluarga yang baik dengan

Dari data diatas terlihat bagaimana kurangnya dalam pengupdatean pada Aset Tetap padahal hal ini penting dilakukan karena untuk mengetahui banyak jumlah aset yang masih

Ilmu akuntansi yang berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan berkembangnya penelitian yang dilakukan atas fenomena yang terjadi menyebabkan akuntansi menjadi