PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM KEHIDUPAN
SEHARI-HARI MASYARAKAT SUNDA
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia
Oleh
Nita Herliani
1201951
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG
2012
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas kehendaknyalah makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penelitian makalah yang berjudul “Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Sunda” yang diajukan untuk mengetahui bagaimana penggunaan bahasa Indonesia dalam lingkungan masyarakat
khususnya masyarakat Sunda. Juga untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia semester satu tahun ajaran 2012-2013 di Universitas Pendidikan
Indonesia.
Dalam penyelesaian makalah ini, peneliti banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan oleh kurangnya ilmu pengetahuan. Namun berkat dukungan
dari berbagai pihak akhirnya makalah ini dapat diselesaikan, walaupun masih banyak kekurangan karena itu sepatutnya peneliti mengucapkan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan yang Maha Esa
2. Ayah dan Ibu tercinta yang banyak memberikan dorongan dan
bantuan baik dalam secara moral maupun spiritual.
3. Semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.
i
Peneliti menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya belum
mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif agar makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.
Harapan peneliti, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi pembaca, rekan pelajar dan ibu pertiwi. Amin.
Bandung, November 2012
Peneliti
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah... 5
1.3 Tujuan Penelitian... 6
1.4 Metode Penelitian... 6
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Landasan Teori... 8
2.1.1 Pengertian Bahasa... 8
2.1.2 Kedwibahasaan... 9
2.1.2.1 Tipologi Kedwibahasaan... 11
2.1.2.2 Faktor Penyebab Kedwibahasaan... 13
2.1.2.3 Pola Kedwibahasaan... 15
2.1.3 Kode... 15
iii 2.1.4 Alih Kode... 16
2.1.4.1 Faktor Penyebab Alih Kode... 17
2.1.5.1 Jenis Campur Kode... 19
2.1.5.2 Latar Belakang Adanya Campur Kode... 19
2.1.6 Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dengan Campur Kode.... 20
2.2 Pembahasan... 21
2.2.1 Hasil Rekaman... 24
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan... 25
3.2 Saran... 25
DAFTAR PUSTAKA... 27
RIWAYAT HIDUP... 28
iv
BAB I
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan ciri khas dari suatu negara ataupun wilayah, karena
bahasa adalah unsur paling penting dalam berkomunikasi atau sebagai alat komunikasi yang paling utama. Oleh karena itu, berbahasa sangatlah penting karena dalam melakukan interaksi, hubungan sosial dengan sesama di
kehidupan bermasyarakat, setiap orang menggunakan bahasa sebagai perantaranya. Sehingga sebuah masyarakat tidak akan terlepas dari bahasa.
Bahasa sangat beragam didunia ini, karena setiap negara mempunyai bahasa masing-masing yang berbeda satu sama lain, bahkan bahasa dapat membedakan antara negara yang satu dengan negara yang lain.
Negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau atau wilayah mempunyai berbagai macam bahasa yang berbeda setiap pulau dan
daerahnya, bahasa tersebut yaitu bahasa daerah. Bahasa daerah ini dipakai dalam keadaan non-formal, yaitu saat berkomunikasi dengan sesama warga satu daerah. Sedangkan dalam acara formal menggunakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa penuturnya, dengan demikian bahasa Indonesia sangat penting untuk digunakan karena bahasa Indonesia yang sebagai bahasa perantara
1
2
sudah diakui dan disepakati oleh rakyat Indonesia sebagai bahasa pemersatu
kebahasaan nasional termasuk dalam salah satu butir Sumpah Pemuda yang berbunyi, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia”. Dengan adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, hambatan komunikasi yang disebabkan berbeda latar belakang sosial, budaya, dan bahasa daerah dapat teratasi dengan bahasa pemersatu
yaitu bahasa Indonesia.
Melihat betapa pentingnya berbahasa khususnya bahasa Indonesia
sebagai alat pemersatu bangsa, hal ini justru berbanding terbalik dengan kondisi nyata yang ada di lingkungan masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju penggunaan bahasa Indonesia
mendapat pengaruh dari bahasa asing yang masuk ke berbagai sendi kehidupan bangsa Indonesia. Masyarakat kita saat ini sangat gemar sekali
untuk menggunakan bahasa yang bercampur antara bahasa Inggris dan Indonesia. Kekaguman masyarakat kita terhadap bahasa Inggris akhir-akhir ini tampak semakin menjadi-jadi, tapi kekaguman itu hanya sebatas untuk
mencampur penggunaan bahasa tersebut dengan bahasa Indonesia supaya kelihatan sebagai bagian dari masyarakat yang mengikuti perkembangan
globalisasi. saat ini begitu banyaknya yang bangga jika berbahasa dengan
3
menggunakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Memiliki
saat ini, tetapi penggunaannya harus pada tempatnya dan pada orang yang tepat.
Selain bahasa asing, bahasa gaul pun membuat bahasa Indonesia semakin terjepit keadaannya. Penggunaan bahasa gaul oleh masyarakat luas menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan bahasa Indonesia
sebagai identitas bangsa, Bahkan generasi muda inilah yang banyak memakai bahasa gaul daripada pemakaian bahasa Indonesia sebagai bagian dari
hidupnya jika mereka tidak ingin disebut ketinggalan zaman.
Dan kerusakan dalam berbahasa semakin diperparah dengan munculnya bahasa-bahasa alay dan penggunaan huruf besar dan kecil yang tidak pada
tempatnya dalam bahasa tulis di kalangan remaja.
Apa yang terjadi di dalam masyarakat kita ini sebenarnya lebih
disebabkan karena kita sebagai bangsa Indonesia enggan untuk mempelajari bahasa negaranya sendiri dan banyaknya orang yang berpendapat bahwa berbahasa itu yang terpenting lawan berbicara dapat memahami informasi
yang kita sampaikan, dan tidak harus menggunakan bahasa yang baik dan benar sebagaimana yang diatur dalam bahasa Indonesia. Pendapat tersebut
terus berkembang di tengah masyarakat. Dampaknya, bahasa Indonesia menjadi terabaikan.
Dan sikap bangsa Indonesia terhadap bahasa Indonesia cenderung ambivalen, sehingga terjadi dilematis. Artinya, di satu pihak kita
menginginkan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, dan dapat mengikuti perkembangan zaman serta mampu merekam ilmu pengetahuan dan teknologi global, tetapi di pihak lain kita telah melunturkan identitas dan citra diri itu
dengan lebih banyak mengapresiasi bahasa asing sebagai lambang kemodernan.
Selain penggunaan bahasa asing, penggunaan bahasa daerah pun ikut mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu banyaknya bahasa daerah dari setiap daerah yang satu
dengan yang lainnya contohnya untuk wilayah Jawa Barat mempunyai bahasa Sunda sebagai bahasa daerah, sedangkan Medan mempunyai bahasa Batak
sebagai bahasa daerahnya. Bahasa daerah ini dapat membedakan wilayah yang satu dengan wilayah lainnya. Bahasa daerah bagi penuturnya telah mendarah daging karena setiap hari digunakan. Dengan adanya bahasa daerah
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingual (dwibahasa) yang menguasai lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa daerah, bahasa
Indonesia, dan bahasa asing” (Nababan, 1989:27). Masyarakat yang dwibahasa akan mengalami kontak bahasa sehingga melahirkan campur kode. Penguasaaan dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur bahasa
memungkinkan terjadinya dampak, yaitu transfer unsur-unsur bahasa, baik
transfer negatif maupun positif. Transfer positif mengakibatkan terjadinya integrasi yang sifatnya menguntungkan kedua bahasa karena penyerapan
unsur dari suatu bahasa dapat berintegrasi dengan sistem bahasa penyerap. Sebaliknya, transfer negatif akan melahirkan interferensi, yaitu penyimpangan dari norma-norma bahasa sebagai akibat pengenalan terhadap
bahasa lain.
Dengan demikian, dalam makalah ini peneliti akan membahas tentang
penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari masyarakat wilayah Jawa Barat (bahasa Sunda). Karena peneliti merasa perihatin dengan penggunaan bahasa Indonesia yang dicampurkan dengan penggunaan bahasa
daerah. Dengan makalah ini peneliti berharap masyarakat lebih memahami tentang bahasa Indonesia dan penggunaannya dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga kita sebagai generasi muda bisa melestarikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merumuskan masalah, diantaranya :
1. Bagaimana pengertian dari campur kode dan alih kode ?
2. Bagaimana latar terjadinya campur kode ?
3. Bagaimana faktor yang mempengaruhi alih kode ?
4. Bagaimana cara mengatasi adanya interferensi bahasa tersebut ?
1.3 Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan untuk :
1. Mendeskripsikan pengertian dari campur kode dan alih. 2. Mendeskripsikan penyebab terjadinya campur kode.
3. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi alih kode.
4. Mendeskripsikan cara untuk menanggulangi adanya interferensi antara bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda.
1.4 Metode Penelitian
Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, peneliti
mempergunakan metode kualitatif. Adapun teknik-teknik yang dipergunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Teknik Pengamatan Langsung atau Observasi
Pada teknik ini, peneliti mengamati komunikasi yang terjadi di lingkungan masyarakat diantaranya komunikasi antar remaja,
komunikasi orang tua dengan anak, dan komunikasi antar anak. 2. Studi Pustaka
Pada metode ini, peneliti membaca materi yang berhubungan tentang penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah dari internet sehingga dapat membantu peneliti untuk menyelesaikan makalah ini.
7
Selain melalui observasi dan studi pustaka, peneliti juga mendapatkan informasi yang diperoleh secara fakta yang tersimpan
dalam bentuk rekaman komunikasi antar remaja dan antar dewasa.
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Bahasa
suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Bahasa adalah bunyi yang dihasilkan alat ucap manusia, bukan bunyi yang dihasilkan alat lain. Bahasa berasal dari udara yang keluar dari paru-paru menggetarkan pita suara di kerongkongan dan kemudian terujar lewat
mulut. Abidin, dkk (2010:1)
Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua
pengertian bahas. Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalllaaah sistem komunikasi yang
mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.
8
9
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang digunakan untuk
berkomunikasi atau berinteraksi antara anggota masyarakat.
Kedwibahasaan merupakan suatu kenyataan yang dihadapi oleh hampir semua Negara di dunia termasuk Indonesia. Timbulnya
kedwibahasaan di Indonesia disebabkan oleh adanya berbagai suku bangsa dengan bahasanya masing-masing serta adanya keharusan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Selain itu, keterlibatan dengan
negara lain yang memiliki bahasa yang berbeda juga merupakan fakta yang menyebabkan timbulnya kedwibahasaan. Teori kedwibahasaan sangat terkait
dengan campur kode, karena campur kode merupakan aspek kedwibahasaan. Selain itu, subjek yang diteliti merupakan masyarakat kedwibahasaan yang cenderung melakukan campur kode.
Berikut pendapat beberapa ahli sehubungan dengan kedwibahasaan.
Weinreich (dalam Suwito, 1983:39) mengatakan memberikan pendapat mengenai definisi kedwibahasaan yaitu : Apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat
dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak”. Jadi, kontak bahasa terjadi dalam diri penutur secar individual. Individu-individu
10
tempat terjadinya kontak bahasa disebut dwibahasawan. Peristiwa pemakaian dua bahasa (atau lebih) secara bergantian oleh seorang penutur disebut
Sementara itu, Sumarsono (2008:195) menyebutkan “kedwibahasaan (bilingualisme) mengacu pada penguasaan H dan L yang ada dalam
masyarakat”. Apabila bahasa adalah milik kelompok, maka kedwibahasaan adalah milik individu (Baikoeni, 2007). Penggunaan dua bahasa oleh seseorang seolah-olah menunjukkan, bahwa pada dirinya terdapat dua
masyarakat bahasa yang berbeda. Jadi, ia tidak menunjukkan adanya masyarakat dwibahasawan. Masyarakat dwibahasawan dapat dipandang
sebagai kumpulan individu yang dwibahasawan.
Pengertian serupa mengenai kedwibahasaan juga dikatakan oleh Jendra dan Fishman. Jendra (1991:85) memaparkan bahwa “dalam pengertian
kedwibahasaan itu seseorang tidak perlu menguasai bahasa kedau (B-2) itu semahir bahasa pertama (B-1) walaupun hanya tahu beberapa kata atau
kurang begitu fasih”. Sementara itu, Fishman (dalam Keriana, 2004:14). mengatakan “hal yang paling mendasar dalam kedwibahasaan adalah kedwibahasaan masyarakat karena merupakan pemakaian dua bahasa atau
lebih oleh masyarakat bahasa”.
11
Menurut Weinreich (dalam Suwito, 1983:39) “tipologi kedwibahasaan didasarkan pada derajat atau tingkat penguasaan seorang
terhadap ketrampilan berbahasa”. Maka kedwibahasaan menjadi beberapa bagian yaitu:
a. Kedwibahasaan Majemuk (Compound Bilingualism)
Kedwibahasaan majemuk adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik
daripada kemampuan berbahasa bahasa yang lain.
b. Kedwibahasaan Koordinatif (Sejajar)
Kedwibahasaan koordinatif/sejajar adalah kedwibahasaan yang
menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu.
c. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (Kompleks)
Kedwibahasaan sub-ordinatif (kompleks) adalah kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering
memasukkan B2 atau sebaliknya.
12
Kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai
bahasa Indonesia.
e. Kedwibahasaan Horisontal (Horizontal Bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi
masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaanmaupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
f. Kedwibahasaan Vertikal (Vertical Bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
g. Kedwibahasaan Diagonal (Diagonal Bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau atau tidak baku
secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
h. Kedwibahasaan Produktif (Productive Bilingualism)
Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism)
13
i. Kedwibahasaan Reseptif (Reseptive Bilingualism)
Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau
kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism)
2.1.2.2 Faktor Penyebab Kedwibahasaan
a. Internasionalisasi
Kondisi kehidupan dunia saat ini termasuk mobilitas buruh
melintasi batas-batas linguistik, memerlukan keterlibatan masyarakat dari latar belakang bahasa yang berbeda-beda. Kerjasama internasional telah membawa kemajuan bahasa tertentu khususnya dalam komunikasi bahasa
Inggris. Pengajaran bahasa asing di sekolah-sekolah dan pendidikan tinggi memberikan kontribusi dalam menciptakan manusia yang terampil berbahasa
bilingual. Bahkan masyarakat dan organisasi dunia secara aktif mempromosikan pengajaran bahasa untuk komunikasi kerjasama internasional. Usaha demikian cenderung menghasilkan keterampilan
bilingual individual dan kelompok seperti adanya kelompok tertentu dari berbagai negara mengadakan pertemuan internasional yang menggunakan
bahasa tertentu sebagai media komunikasi. Kontak bahasa itu menyebabkan
14
terjadinya perbedaan bentuk dan rute multilingualisma apakah bersifat
b. Promosi Bahasa
Merupakan kebijakan pemerintah yang mencerminkan tindakan
yang perlu dibuat sebagaimana mestinya. Faktor ini dapat memberikan kontribusi dalam penyebaran multilingualisma. Tipe yang sangat ekstrem dari kebijakan ini adalah memperkukuh bahasa resmi dengan cara menekan
bahasa daerah. Hal ini banyak terjadi di negara-negara Eropa seperti kasus Basques, Gallegos dan Gaelic dan Welsh di Kawasan United Kingdom.
Kebijakan mempromosikan Bahasa Spanyol Castilian, Perancis dan Inggris bertentangan dengan keinginan masyarakat setempat untuk memberdayakan bahasa ibunda khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun
pendidikan yang sebelumnya terbukti berjalan efektif.
c. Keanekaragaman Suku/Etnik
Kita ketahui bersama bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan etnik yang memiliki bahasa ibu berbeda-beda. Hal ini bias menyebabkan kedwibahasaan.
15
Pola-pola penggunaan bahasa yang muncul dalam komunitas multilingualisma tergantung kepada beberapa faktor yaitu:
a. Faktor yang memberikan kontribusi terhadap kontak bahasa di tempat pertama.
b. Kekuatan yang menentukan ke arah mana bahasa yang terlibat
itu sekarang digunakan
c. Fungsi dimana masing-masing bahasa ditempatkan oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun individu.
2.1.3 Pengertian Kode
Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki
kebahasaan, sehingga selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu kepada variasi bahasa, seperti
varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat,
atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato, bahasa doa, dan bahasa lawak)
Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang
terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.
2.1.4 Alih Kode
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke
kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan
bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mengdukung fungsi
masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena
perubahan situasi.
Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu
1. Alih kode ekstern
Bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan
2. Alih kode intern
Bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah
ke krama.
2.1.4.1 Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah:
1. Penutur
Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi
atau sebaliknya.
2. Mitra Tutur
Mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur
biasanya beralih kode dalam wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih bahasa.
3. Hadirnya Penutur Ketiga
Untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang
kebahasaan mereka berbeda.
4. Pokok Pembicaraan
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam
menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa takbaku,
gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5. Untuk membangkitkan rasa humor
Biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
6. Untuk sekadar bergengsi
Walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional
tidak mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung tidak komunikatif.
2.1.5 Campur Kode
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur
bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri
menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena
keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada
keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
2.1.5.1 Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing): Campur kode yang
bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
2. Campur kode ke luar (outer code-mixing): Campur kode yang berasal dari bahasa asing.
2.1.5.2 Latar belakang terjadinya campur kode dapat digolongkan menjadi dua,
yaitu :
1. sikap (attitudinal type) : latar belakang sikap penutur
2. kebahasaan (linguistik type) : latar belakang keterbatasan bahasa,
sehingga ada alasan identifikasi peranan, identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa.
20
1. penyisipan kata, 2. menyisipan frasa,
3. penyisipan klausa,
4. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
2.1.6 Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan
masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan
campur kode adalah sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi
sebagai sebuah kode. Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur
menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa
bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi
mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.
2.2 Pembahasan
Dalam kehidupan sehari-hari pemakaian bahasa Indonesia oleh masyarakat tidaklah semudah yang dibayangkan. Hal ini dikarenakan
bahasa indonesia yang digunakan untuk berkomunikasi berbeda dengan yang ada pada buku pelajaran.
Ada banyak faktor yang menyebabkan bahasa indonesia dalam pemakaian sehari-hari (lisan) berbeda. Faktor tersebut ada pada penutur, terutama yang menyangkut daerah, usia dan pendidikan si penutur.
Wilayah Indonesia yang sangat luas, yakni dari Sabang sampai Merauke, tapi sebagian wilayah di Indonesia tersebut tidak menggunakan bahasa
Indonesia sebagai alat berkomunikasi mereka, melainkan menggunakana bahasa daerah wilayah tersebut. Bahasa daerah tersebut merupakan bahasa ibu (mother tongue) bagi sebagian besar penduduk daerah tersebut.
Salah satu wilayahnya yaitu Jawa Barat yang tidak menggunakan bahasa Indonesia. Pada umumnya masyarakat Jawa Barat menggunakan
bahasa Sunda dalam berkomunikasi sehari-hari. Dengan demikian masyarakat Jawa Barat mengenal dua bahasa yaitu bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional, dan mau tidak mau mempengaruhi bahasa masyarakat sehingga terjadilah pencampuran kedua bahasa tersebut.
Misalnya dalam hal pelafalan kata saya, apa, siapa, sini, sana, situ
dalam masyarakat Jawa Barat pelafan kata-kata tersebut mengalami penambahan bunyi (h) di belakang kata tersebut (sayah), (apah), (siapah),
(sinih), (sanah), (situh). Dengan demikian akan mempengaruhi pelafalan kata lainnya, seperti kata mempersilakan sering dilafalkan
(mempersilahkan). Padahal lafal yang benar yaitu tanpa adanya bunyi huruf (h).
Faktor lainnya yaitu berhubungan dengan tingakt pendidikan,
terutama pelafalan kata serapan dari bahasa asing yang mengandung fonem, misalnya, /f/, /v/, dan /ks/ seperti pada kata fakultas, televisis,
kompleks. Kata-kata tersebut oleh sebagian besar masyarakat Jawa Barat yang tidak memiliki pendidikan tinggi akan diucapkan dengan (pakultas), (telepisi), (komplek).
Dalam segi kosakata, masyarakat Sunda sering mencampurkan kosakata bahasa sundanya kedalam percakapan bahasa Indonesia.
Misalnya, “Ini teh apa?” dan “saya mah dari Bandung.” Kata partikel ‘teh’ dan ‘mah’ sering muncul dalam percakapan bahasa Indonesia sehari-hari masyarakat Jawa Barat. Kata-kata tersebut tidak ada pedomannya
dalam bahasa Indonesia, yang benar dalam bahasa Indonesia adalah “ini apa?” dan “ saya dari Bandung.”
Dalam segi struktur, sering terdengar kalimat “bukunya dikesayakan aja” dan “sudah ditulis oleh saya.” Kalimat tersebut sebenarnya berasal dari struktur bahasa sunda “bukuna dikaabdikeun we”
dan “parantos ditulis ku abdi. Dalam bahasa Indonesia bentuk ke saya dan oleh saya tidak dikenal. Dalam bahasa Indonesia untuk kedua kalimat
tersebut adalah “bukunya dititipkan saja kepada saya” dan “sudah saya tulis.”
Di Bandung remaja tidak lagi menggunakan bahasa Indonesia
dalam situasi formal, tetapi dalam situasi non formal pun bahasa Indonesia digunakan, misalnya di tempat-tempat umum. Tetapi bahasa Indonesia
yang digunakan bukanlah bahasa Indonesia yang standar melainkan bahasa Indonesia ragam Jakarta. Para remaja di kota Bandung dan kota-kota besar di Indonesia sering terdengar kata ‘gua(e)’ yang artinya saya
dan ‘lu’ yang artinya kamu. Disamping itu, adanya pemakaian akhiran –in.
Akhiran itu digunakan para remaja untuk menggantikan akhiran –kan. Dengan demikian kata ‘bawain, kerjain, habisin’ lebih banyak digunakan
menggantikan kata-kata bahasa Indonesia formal bawakan, kerjakan, habiskan. Kejadian seperti ini tidak terlepas dari pusat pengaruh sosial, budaya, ekonomi yakni kota Jakarta sebagai ibukota Indonesia, kota
kosmopolitan yang menjadi simbol kemodernan dan “gaul” bagi kalangan remaja di kota-kota besar Indonesia, termasuk remaja Jawa Barat.
2.2.1 Hasil Rekaman
1. Antar remaja
komunikasi antar remaja.wav
Transkrip :
Karena hasil rekaman yang kurang jelas, maka percakapan tidak bisa
ditampilkan. Kesimpulannya dari rekaman di atas adalah penggunaan kata ‘teh’ dalam perkataan “kakakku teh kan dikasih....” padahal sebenarnya kata ‘teh’ dalam bahasa Indonesia tidak ada, yang benar yaitu “kakakku itu dikasih....”.
Lalu dalam rekaman ada kata “ditanem” seharusnya “ditanam” kata tersebut melenceng karena adanya bahasa ragam Jakarta yang merubah huruf ‘a’ menjadi
Alasan adanya beberapa partikel seperti ‘teh’ dan ‘mah’ memang tidak bisa dihindari sebagai warga sunda yang sudah terbiasa menambahkan kata tersebut.
PENUTUP
3.1 Simpulan
Jadi, dengan adanya bahasa daerah (bahasa sunda) tidak dapat menutup kemungkinan adanya interferensi atau pencampuran bahasa antara bahasa indonesia sebagai bahasa nasional dengan bahasa sunda sebagai bahasa ibu
itu sendiri dalam berkomunikasi kehidupan sehari-hari. Adanya pencampuran bahasa tersebut bisa memberikan nilai positif maupun negatif yaitu membuat
bahasa indonesia menjadi tidak baik dan benar bahkan akan membuat bahasa indonesia jauh dari para pemiliknya . Oleh karena itu penggunaan bahasa daerah hendaknya digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat,
sehingga tidak membuat bahasa indonesia yang digunakan menjadi salah.
3.1.2 Saran
Dari simpulan diatas, peneliti merumuskan saran sebagai berikut :
1. Pemerintah harus aktif dalam melakukan penyuluhan bahasa indonesia.
Hal ini paling tidak menyadarkan masyarakat indonesia akan
pentingnya kecermatan dalam berbahasa.
25
2. Menanamkan sikap cinta terhadap bahasa sendiri. Misalnya dengan
mengadakan lomba puisi,dan lain-lain.
3. Dan yang paling penting dimulai dari diri sendiri untuk
membudidayakan bahasa indonesia dan meningkatkan kembali
eksistensinya.
Hardyanto, Tri. (2011). Pentingnya bahasa Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat? dan Benarkah bahasa dapat mempengaruhi
kehidupan manusia. [Online]. Tersedia:
mempengaruhi-kehidupan-manusia. [16 Desember 2012]
Rahardjo, Mudjia. (2011). Metode Pengumpulan Data Penelitian Kualitatif.
[Online].
Tersedia:http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/materi-kuliah/288-metode-pengumpulan-data-penelitian-kualitatif.html. [16
Desember 2012]
Rendi, Muhammad. (2011). Pentingnya Bahasa Indonesia dalam tatanan Kehidupan Bermasyarakat. [Online].
Tersedia:http://sirendi.blogspot.com/2011/10/pentingnya-bahasa-indonesia-dalam.html. [16 Desember 2012]
http://anaksastra.blogspot.com/2009/02/alih-kode-dan-campur-kode.html. [16 Desember 2012]
http://bahasa.kompasiana.com/2011/01/06/bahasa-indonesia-bahasa-yang-jelek-332403.html. [16 Desember 2012]
http://datayuni.blogspot.com/2010/06/campur-kode.html. [16 Desember 2012]
pertemua-1.pdf. [2 Desember 2012]
http://kangarul.wordpress.com/2009/07/31/pengertian-dan-fungsi-bahasa. [2
Desember 2012
27
Peneliti bernama Nita Herliani ini lahir di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 27 September 1994, putri ketiga dari Bapak Suryadi dengan Ibu Tati
Rohaeti. Pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Bugenvil tamat tahun 2000, melanjutkan ke SD Nugraha dan tamat pada tahun 2006 lalu melanjutkan ke tingkat SMP Negeri 3 dan tamat pada tahun 2009 serta menyelesaikan sekolah di
SMA Negeri 17 pada tahun 2012 pada jurusan Pasti Alam (IPA), kesemuanya di kota Semarang.
Tahun 2012 pula peneliti melanjutkan pendidikan di Universitas Pendidikan Indonesia pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni.
Sampai saat ini peneliti masih terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.