LANDASAN TEORI
2.1. Bus Rapid Transit
Bus Rapid Transit didefinisikan sebagai moda transportasi umum cepat beroda karet yang fleksibel dan mengkombinasikan elemen-elemen halte, kendaraan, pelayanan, jalur khusus dan Intelligent Transportation System (ITS) ke dalam sistem yang terpadu dan mempunyai identitas yang kuat.
2.1.1 Karakteristik Bus Rapid Transit
Karakteristik utama Bus Rapid Transit meliputi: Adanya jalur khusus busway
Halte yang menarik
Bus yang mudah menaikkan dan menurunkan penumpang
Pembelian tiket di halte
Pengoperasian sepanjang hari minimal 16 jam sehari
2.1.2 Manfaat Bus Rapid Transit
Beberapa manfaat dalam penerapan BRT adalah sebagai berikut :
- Penerapan BRT memberikan pilihan yang nyaman bagi pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke angkutan umum, sehingga di baanyak kota pada jam sibuk jumlah penumpang bisa lebih dari 20.000 orang per jam per arah.
2.2. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang analisis Ability To Pay dan Willingness To Pay (WTP. Berikut merupakan penelitian Ability To Pay (ATP ) yang dilakukan didalam negeri dengan beberapa variabel – variabel yang ditinjau serta metode pendekatan yang digunakan tertera pada tabel 2.1.
No Judul(lanjutan) Variabel Pendekatan Keterangan
Beberapa penelitian di luar negeri yang terkait dengan Ability To Pay (ATP ) dan Willingness To Pay ( WTP) yaitu :
2. Mahmoud (2013). Meneliti tentang kemampuan dan membayar untuk fasilitas publik di jalur gaza mengenai listrik dan air. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui nilai faktor utama di balik kemauan dan kemampuan rumah tangga Palestina untuk membayar tagihan mengenai dua utilitas publik tersebut. Dalam penelitian ini, digunakan teknik Stated Preference untuk mengetahui karakteristik responden, kemampuan membayar dan kemauan membayar. Untuk mencapai tujuan ini, tingkat model kemauan dan kemampuan keduanya telah dikembangkan dan diperkirakan. Keputusan yang dibuat oleh rumah tangga yang memiliki kemauan dan atau kemampuan untuk membayar tagihannya, setelah melewati waktu tertentu air atau konsumsi listrik, yang ditentukan dalam model dua persamaan. Karena nilai-nilai variabel terikat dalam model dikodekan 0-5, persamaan dalam model disebut
"ordered probit model". Hasil empiris dari model estimasi menunjukkan satu set personal, ekonomi,variabel sosial dan legislatif yang merupakan penentu utama di balik perilaku rumah tangga terhadap pembayaran tagihan. Oleh karena itu, baik penyedia dan konsumen harus bekerja sama dalam adopsi dan pelaksanaan langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensi pengumpulan tagihan. Selain itu, beberapa jenis paket dukungan atau bantuan harus dilakukan oleh penyedia air dan listrik jasa dalam rangka meningkatkan efisiensi dalam menjalankan utilitas umum di Tepi Gaza.
Untuk mencapai tujuan ini beberapa metode MNL ( Multinomial Logit) dan ML (Mixed Logit ) dikalibrasikan berdasarkan pilihan pengguna didalam survei Stated Preference. Beberapa faktor yang heterogen mengenai persepsi dari mulai atribut reabilitas, bus kepenuhan, informasi di halte bus, dan petugas yang ramah telah diteliti. Nilai standar deviasi yang diperoleh dari kalibrasi model menyatakan bahwa ada perbedaan yang besar dari persepsi pengguna mengenai atribut- atribut tersebut.
2.3 Teori Produk Jasa
Pada umumnya produk dapat diklasifikasikan dengan berdasarkan daya tahan atau wujud suatu produk. Berdasarkan kriteria ini, terdapat tiga kelompok produk, yaitu:
1. Barang Tidak Tahan Lama ( Nondurable Goods)
Yaitu barang berwujud yang biasanya habis pakai atau beberapa kali
pemakaian dan umur ekonomisnya tidak bisa lebih dari setahun.
Contohnya antara lain minuman dan makanan, gula, minyak makan dan
sebagainya.
2. Barang Tahan Lama ( Durable Goods)
Adalah barang yang biasanya dapat bertahan lama dan umur
ekonomisnya lebih dari setahun. Contohnya antara lain mobil, kulkas, tv
dan lain-lain.
3. Jasa ( Services)
Adalah manfaat atau kepuasan yang ditawarkan dari satu pihak ke pihak
kepemilikan sesauatu. Contohnya antara lain transportasi, telekomunikasi,
konsultasi dan sebagainya.
Menurut (Simbolon, 2003) jasa mempunyai empat karakteristik
utama yaitu tidak bewujud, tidak terpisah, bervariasi dan mudah lenyap.
1. Tidak bewujud ( Intangible)
Sifat jasa tak berwujud ( service intangibility) artinya jasa tidak dapat
dilihat, diraba, dicium, atau didengar sebelum dibeli. Misalnya,
penumpang kereta api tidak akan mempunyai apapun kecuali tiket dan
jam untuk dijalankan ke tujuan mereka.
2. Tidak terpisahkan ( Insparibility)
Jasa tak terpisahkan berarti bahwa jasa tidak dapat dipisahkan dari
penyediannya, entah penyediaan itu manusia atau mesin. Umumnya jasa
dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan.
3. Bervariasi ( Varibality)
Jasa bersifat sangat beranekaragam karena mempunyai banyak
variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan dan
dimana jasa tersebut dihasilkan.
4. Tidak Tahan Lama ( Perishability)
Jasa merupakan komoditas yang tidak tahan lama dan tidak dapat
disimpan. Kursi kereta api kosong, kamar hotel yang tidak dihuni, atau jam
tertentu tanpa pasien di tempat praktek dokter akan hilang begitu saja
karena tidak dapat disimpan. Dengan demikian bila jasa tidak digunakan,
maka jasa akan berlalu begitu saja. Kondisi ini tidak masalah apabila
2.4 Teori Permintaan 2.4.1. Hukum Permintaan
Teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah
permintaan dan harga. Berdasarkan ciri hubungan antara permintaan dan
harga dapat dibuat grafik kurva permintaan. Permintaan adalah
kebutuhan masyarakat / individu terhadap suatu jenis barang tergantung
kepada faktor- faktor sebagai berikut :
1. Harga barang itu sendiri
2. Harga barang lain
3. Pendapatan konsumen
4. Cita masyarakat / selera
5. Jumlah penduduk
6. Musim / iklim
7. Prediksi masa yang akan datang
Hukum permintaan, pada hakikatnya semakin rendah harga suatu
barang maka makin banyak permintaan terhadap barang tersebut.
Sebaliknya, semakin tinggi harga suatu barang maka semakin sedikit
permintaan terhadap barang tersebut. Dari keterangan diatas dapat
simpulkan, bahwa :
1. Apabila harga suatu barang naik, maka pembeli akan mencari barang
lain yang dapat digunakan sebagai pengganti barang tersebut, dan
sebaliknya apabila barang tersebut turun, konsumen akan menambah
2. Kenaikan harga menyebabkan pendapatan riil konsumen berkurang,
sehingga memaksa konsumen mengurangi pembelian, terutama
barang yang akan naik harganya. Pengaruh faktor bunga harga
terhadap permintaan.
a. Harga barang lain
Hubungan suatu barang dengan barang lain dapat dibedakan
menjadi tiga golongan :
1.) Barang pengganti / barang subsidi, yaitu apabila suatu barang
dapat menggantikan fungsi barang lain.
2) Barang pelengkap, yaitu apabila suatu barang selalu digunakan
secara bersama.
3)
Barang yang tidak saling berhubungan.b. Pendapatan Konsumen, berhubungan pendapatan konsumen akan
menimbulkan perubahan permintaan terhadap berbagai jenis barang.
Jenis barang dapat dibedakan menjadi 2 (Dua) tipe, yaitu :
1.) Barang normal, yaitu barang yang permintaannya akan
meningkat apabila pendapatan konsumen naik.
2.) Barang inferior / barang bermutu rendah, yaitu barang yang
diminta konsumen berpenghasilan rendah, apabila pendapatan
konsumen tersebut naik maka permintaan terhadap barang
inferior akan menurun.
c. Corak distirbusi pendapatan, jika Pemerintah menaikkan pajak
pada orang yang berpenghasilan tinggi, untuk menaikkan pendapatan
2.4.2 Elastisitas Permintaan
Pengertian elastisitas permintaan menggambarkan derajat
kepekaan fungsi permintaan terhadap perubahan yang terjadi pada
variabel - variabel yang mempengaruhinya. (C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, 2003) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi elastisitas
seperti berikut :
1. Elastisitas Pendapatan
Elastisitas pendapatan di teknik transportasi dinyatakan dengan :
Suatu barang dikatakan normal apabila permintaan atas barang
tersebut meningkat ketika pendapatan konsumen juga meningkat ( ).
Suatu barang dapat dikatakan superior apabila permintaan akan barang
tersebut meningkat ketika pendapatan konsumen meningkat dan porsi
pengeluaran untuk barang tersebut ikut meningkat ). Suatu barang
dapat dikatakan inferior jika permintaan akan barang tersebut menurun
ketika pendapatan konsumen meningkat.
2. Elastisitas Harga
Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi elastisitas harga :
1.) Jika konsumen membelanjakan pendapatannya dengan persentase
yang cukup besar, konsumen akan berupaya lebih keras untuk
2.) Semakin sempit definisi dari suatu barang, semakin banyak barang
Penganti untuk barang tersebut, sehingga permintaan akan barang
tersebut menjadi lebih elastis.
3.) Jika konsumen mendapati bahwa harga dan ketersediaan barang
pengganti tidak sulit, permintaan akan lebih elastis.
4.) Barang- barang yang digolongkan oleh konsumen sebagai barang
yang harus dimiliki biasanya memiliki permintaan yang tidak elastis,
sedangkan barang- barang yang dianggap mewah biasanya memiliki
permintaan yang elastis.
2.5 Teori Tarif
Tarif adalah suatu pembebanan terhadap barang yang melintasi
daerah pabean (suatu daerah geografis dimana barang bebas bergerak
tanpa dikenakan cukai/bea pabean).
Menurut Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang
ditetapkan oleh pemerintah dalam mengindikasikan penetapan tarif
angkutan umum harus melibatkan tiga , yaitu:
1. Pengelola jasa angkutan kota sebagai pihak yang mengharapkan tarif
dapat seimbang dengan jasa pelayanan yang diberikan.
2. Pengguna jasa angkutan kota sebagai pihak yang mengeluarkan biaya
setiap kali menggunakan angkutan kota, dengan harapan memperoleh
layanan yang baik dan nyaman.
3. Pemerintah sebagai pihak yang menentukan tarif resmi dan sebagai
dengan pengelola, tanpa mengesampingkan pendapatan asli daerah
dari sektor transportasi.
2.5.1 Tarif Jasa Angkutan
Tarif angkutan adalah suatu daftar yang memuat harga-harga untuk
para pemakai jasa angkutan yang disusun secara teratur. Pembebanan
dalam harga dihitung menuurut kemampuan transportasi (what the traffic
will bear).
Adapun jenis tarif yang berlaku dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Tarif menurut trayek
Tarif ini berdasarkan atas pemanfaatan operasional dari moda transport
yang dioperasikan dengan memperhitungkan jarak yang dijalani oleh
mooda transport tersebut (km/miles).
2. Tarif lokal
Tarif ini berlaku dalam satu daerah tertentu.
3. Tarif diferensial
Ialah tarif angkutan dimana terdapat perbedaan tinggi tarif menurut
jarak, berat muatan, kecepatan atau sifat khusus dari muatan yang
diangkut.
4. Tarif peti kemas (container)
Jenis tarif ini diberlakukan untuk membawa kotak atau boks diatas truk
berdasarkan ukuran boks atau kotak yang diangkut (20 feet atau 40
feet) dari asal pengiriman ke tempat tujuan barang. Atau biasa disebut
2.5.2 Sistem Penetapan Tarif Jasa Transportasi
Sistem penetapan tarif jasa angkutan kota dapat dilakukan dengan
menggunakan tiga cara, yaitu :
1. Sistem penetapan tarif berdasarkan produksi jasa angkutan kota.
Sistem penetapan ini berdasarkan biaya produksi jasa angkutan kota
ditambah dengan keuntungan yang layak bagi keberlanjutan dan
pengembangan pengelola jasa angkutan kota. Tarif yang ditetapkan
berdasarkan sistem ini dinyatakan sebagai tarif minimum, dimana
pengelola jasa angkutan kota tidak akan menawarkan lagi tarif jasa
pelayanannya lebih rendah dari tarif tersebut. Sistem ini digunakan
setelah menghitung biaya operasi kendaraan (biaya langsung dan biaya
tidak langsung) yang di dalamnya juga sudah termasuk keuntungan dan
overhead.
2. Sistem penetapan tarif berdasarkan nilai jasa angkutan kota.
Sistem penetapan ini berdasarkan nilai yang dapat diberikan jasa
pelayanan angkutan kota, dengan fokus pada mutu pelayanan dan
kepuasan penumpang misalnya kenyamanan, ketertiban dan
sebagainya. Biasanya tarif yang ditetapkan berdasarkan nilai jasa
angkutan kota dinyatakan sebagai tarif maksimum.
3. Sistem penetapan tarif berdasarkan bentuk layanan apa yang dapat
diberikan jasa angkutan kota. Tarif yang ditetapkan berdasarkan hal
tersebut berada diantara tarif maksimum dan tarif minimum. Dengan
menitik beratkan pada usaha untuk menutup seluruh variabel biaya
2.5.3 Sistem Pentarifan Angkutan Kota
Ada beberapa bentuk tarif yang dikelompokkan (Frids, 2002) yaitu:
1. Tarif sama rata/seragam (Flat Fare)
Tarif sama rata ini dikenakan sama rata terhadap penumpang dalam
trayek yang bersangkutan tanpa memperhatikan jarak tempuh, tarif
jenis ini cocok untuk trayek di daerah perkotaan karena
memungkinkan transaksi yang cepat dan mudah dalam
pengumpulan ongkos di dalam kendaraan. Tetapi sistem ini
mempunyai kelemahan bila diterapkan untuk trayek yang panjang.
Kelemahan lain dari sistem ini adalah ada kecenderungan panjang
perjalanan rata-rata menjadi lebih panjang.
2. Tarif berdasarkan jarak
Tarif ini disebut juga tarif pos, ditentukan berdasarkan jarak tempuh,
yaitu tarif diperoleh dari hasil perkalian panjang perjalanan dikalikan
dengan harga satuan per kilometer.
3. Tarif berdasarkan zona
Sistem tarif ini adalah penyederhanaan dari tarif bertahap dimana
daerah pelayanan pengangkutan dibagi ke dalam zona-zona. Pusat
kota biasanya sebagai zona terdalam. Kerugian berdasarkan zona
ini adalah penumpang yang hanya melakukan perjalanan pendek di
dalam dua zona yang berdekatan membayar ongkos untuk dua
zona, begitu juga sebaliknya ongkos akan menjadi murah bila
4. Tarif Waktu
Pada sistem ini yang menjadi penetapan tarif adalah waktu, misalnya
waktu 30 menit, 1 jam, 1 jam 30 menit dan seterusnya. Dengan
pentarifan yang demikian walaupun seseorang pindah moda selama
dalam waktu tertera dalam tiket, yang bersangkutan tidak perlu
membayar lagi.
2.6 Ability To Pay dan Willingness To Pay 2.6.1 Ability To Pay
Ability To Pay (ATP) adalah kemampuan seseorang untuk
membayar jasa angkutan yang diterimanya berdasarkan penghasilan
yang dianggap ideal. Pendekatan yang digunakan dalam analisis ATP
didasarkan pada alokasi biaya untuk transportasi dan intensitas
perjalanan pengguna. Besar ATP adalah rasio anggaran untuk untuk
transportasi dengan intensitas perjalanan. Besaran ini menunjukkan
kemampuan masyarakat dalam membayar ongkos perjalanan yang
dilakukannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi ATP adalah :
1. Penghasilan keluarga per bulan
Bila pendapatan total keluarga semakin besar, tentunya semakin
banyak uang yang dimilkinya sehingga akan semakin besar alokasi
biaya transportasi yang disediakannya.
2. Alokasi biaya transportasi
Semakin besar alokasi biaya transportasi yang disediakan sebuah
keluarga, maka secara otomatis akan meningkatkan kemampuan
3. Intensitas perjalanan
Semakin besar intensitas perjalanan keluarga tentu akan semakin
panjang pula jarak (panjang) perjalanan yang ditempuhnya maka akan
semakin banyak alokasi dana dari penghasilan keluarga per bulan yang
harus disediakan.
4. Jumlah anggota keluarga
Semakin banyak jumlah anggota keluarga tentunya akan semakin
banyak intensitas perjalanannya, semakin panjang jarak yang
ditempuhnya dan secara otomatis akan semakin banyak alokasi dana
dari penghasilan keluarga per bulan yang harus disediakan.
Untuk menganalisis kemampuan membayar dari masyarakat pada
dasarnya dilakukan dengan pendekatan travel budget, dengan asumsi
bahwa setiap keluarga akan selalu mengalokasikan sebagian dari
penghasilannya untuk kebutuhan akan aktivitas pergerakan, baik yang
menggunakan kendaraan pribadi maupun yang menggunakan angkutan
umum. Faktor-faktor ATP diilustrasikan seperti pada gambar 2.1.
Penghasilan keluarga per bulan
Alokasi biaya transportasi
Intensitas perjalanan
Jumlah anggota keluarga
Gambar 2.1Faktor-Faktor ATP
Besarnya biaya perjalanan atau tarif merupakan salah satu
pertimbangan masyarakat dalam memilih moda angkutan untuk
memenuhi kebutuhannya. Jika tarif yang harus dibayar mempunyai
proporsi yang besar dari tingkat pendapatannya maka masyarakat akan
memilih moda yang lebih murah, tetapi jika tidak ada pilihan lain maka ia
akan menggunakan moda tersebut secara terpaksa. Secara eksplisit
tampak bahwa pendapatan merupakan faktor yang mempengaruhi daya
beli atas jasa pelayanan angkutan umum. Selanjutnya diperhitungkan
persentase alokasi dana untuk transportasi untuk setiap keluarga dari total
pendapatannya. Setelah dilakukan perhitungan terhadap persentase
alokasi biaya transportasi keluarga, maka kemudian diperhitungkan ATP
tiap keluarga.
Dengan menggunakan metode travel cost individual ATP yang
dapat diterima oleh pengguna jasa, adalah :
Dimana :
Ic = Penghasilan
%TC = Persentase dari penghasilan untuk travel cost
2.6.2 Willingness To Pay (WTP)
Willingness To Pay (WTP) adalah kesediaan pengguna untuk
mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya. Pendekatan yang
digunakan dalam analisis WTP didasarkan pada persepsi pengguna
terhadap tarif dari jasa pelayanan angkutan umum tersebut. Dalam
permasalahan transportasi WTP dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pada gambar 2.2, diantaranya adalah:
Gambar 2.2 Faktor-faktor WTP
1. Produk yang ditawarkan/disediakan oleh operator jasa pelayanan
transportasi. Semakin banyak jumlah armada angkutan yang melayani
tentunya lebih menguntungkan pihak pengguna.
2. Kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan.
Dengan produksi jasa angkutan yang besar, maka tingkat kualitas
Willingness To Pay (WTP)
Produk yang ditawarkan
Penghasilan keluarga per bulan
Utilitas atau maksud pengguna
tidak berdesak-desakkan dengan kondisi tersebut tentunya konsumen
dapat membayar yang lebih besar.
3. Utilitas atau maksud pengguna terhadap angkutan tersebut
Jika manfaat yang dirasakan konsumen semakin besar terhadap suatu
pelayanan transportasi yang dirasakannya tentunya semakin besar pula
kemauan membayar terhadap tarif yang berlaku, demikian sebaliknya
jika manfaat yang dirasakan konsumen rendah maka konsumen akan
enggan untuk menggunakannya, sehingga kemauan membayarnya pun
akan semakin rendah.
4. Penghasilan pengguna
Bila seseorang mempunyai penghasilan yang besar maka tentunya
kemauan membayar tarif perjalanannya semakin besar hal ini disebabkan
oleh alokasi biaya perjalanannya lebih besar, sehingga akan memberikan
kemampuan dan kemauan membayar tarif perjalanannya semakin besar.
Nilai WTP yang diperoleh dari masing-masing responden yaitu berupa nilai maksimum rupiah yang bersedia dibayarkan oleh responden untuk tarif angkutan jasa Bus Rapid Transit, diolah untuk mendapatkan nilai rata-rata (mean) dari nilai WTP tersebut, dengan rumus :
Dimana :
MWTP = Rata-rata WTP
WTPi = Nilai WTP maksimum responden ke- i
2.6.3 Hubungan Ability To Pay (ATP) dan Willingness To Pay (WTP)
Menurut (Tamin,1999) dalam pelaksanaan untuk menentukan tarif sering terjadi benturan antara besarnya WTP dan ATP, kondisi ini dinyatakan dalam ilustratif yang terdapat pada gambar 2.3
Gambar 2.3 Hubungan ATP dan WTP
1. ATP > WTP
2. ATP < WTP
Kondisi ini merupakan kebalikan dari kondisi diatas, dimana keinginan pengguna untuk membayar jasa tersebut lebih besar daripada kemampuan membayarnya. Hal ini memungkinkan terjadi bagi pengguna yang mempunyai penghasilan yang relatif rendah tetapi utilitas terhadap jasa tersebut sangat tinggi, sehingga keinginan pengguna untuk membayar jasa tersebut cenderung lebih dipengaruhi oleh utilitas, pada kondisi ini pengguna disebut captive riders.
3. ATP = WTP
Kondisi ini menunjukkan bahwa antara kemampuan dan keinginan membayar jasa yang dikonsumsi pengguna tersebut sama, pada kondisi ini terjadi keseimbangan utilitas pengguna dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar jasa tersebut.
Pada prinsipnya penentuan tarif dapat ditinjau dari beberapa aspek utama dalam sistem angkutan umum. Aspek- aspek tersebut adalah ;
1. Pengguna (User) 2. Operator
3. Pemerintah (Regulator)
Gambar 2.4 Perhitungan Tarif Berdasarkan ATP dan WTP
1. ATP merupakan fungsi dari kemampuan membayar, sehingga nilai tarif yang diberlakukan, sedapat mungkin tidak melebihi nilai ATP kelompok masyarakat sasaran. Intervensi/ campur tangan pemerintah dalam bentuk subsidi langsung atau silang dibutuhkan pada kondisi, dimana nilai tarif berlaku lebih besar dari ATP, sehingga didapat nilai tarif yang besarnya sama dengan nilai ATP ( sesuai Gambar 2.4 )
2. WTP merupakan fungsi dari tingkat pelayanan angkutan umum, sehingga bila nilai WTP masih berada dibawah ATP maka masih dimungkinkan melakukan peningkatan nilai tarif dengan perbaikan kinerja pelayanan ( sesuai Gambar 2.4 )
2.7 Metode Stated Preference
Metode stated preference merupakan suatu teknik yang menggunakan pernyataan atau pendapat responden secara individu mengenai pilihannya terhadap suatu set pilihan. Terdapat beberapa cara mengukur preferensi seseorang dalam melakukan survey SP. Diantara lain adalah:
a. Conjoint Analysis
Conjoin Rating, dalam metode ini responden
memberikan penilaian pada alternative yang ditawarkan dengan menggunakan skala rating ( misalnya memilih satu skala diantara 1 sampai 10), Metode ini menggunakan atribut yang bervariasi dan telah dipertimbangkan terlebih dahulu.
Conjoint Rangking, perbedaan metode ini dengan
Conjoint Rating adalah responden diberi 3 atau lebih alternatif dalam satu pertanyaan dan diharapkan membuat rangking atau urutan dari alternatif-alternatif tersebut.
Paired Comparison, melalui metode ini responden
b. Discrete Choice Method
Refendum Contingen Choice, teknik ini meliputi
pertanyaan yang ditujukan kepada responden dan responden diharuskan menetapkan satu pilihan diantara dua alternatif. Model pertanyaan yang sering digunakan untuk metode ini adalah model biner dimana responden hanya diberi pilihan jawaban ya atau tidak.
Choice Modeling, dalam metode ini terdapat banyak
data sehingga responden memilih diantara lebih dari dua alternatif dimana setiap alternatif digambarkan dengan beberapa atribut.