A. Pengaturan Perjanjian Kredit pada Bank Perkreditan Rakyat
Perjanjian kredit (PK) menurut Hukum Perdata Indonesia merupakan salah
satu dari bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga
KUHPerdata. Dalam bentuk apa pun juga pemberian kredit itu diadakan pada
hakikatnya merupakan salah satu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur
dalam Pasal 1757 sampai 1769 KUHPerdata. Namun demikian dalam praktek
perbankan modern, hubungan hukum dalam kredit tidak semata-mata berbentuk
hanya perjanjian pinjam meminjam saja melainkan adanya campuran dengan
bentuk perjanjian yang lainnya seperti perjanjian pemberian kuasa, dan perjanjian
lainnya. Dalam bentuk yang campuran demikian maka selalu tampil adanya suatu
jalinan diantara perjanjian yang terkait tersebut.
Pengertian perjanjian secara umum dapat dilihat dalam Pasal 1313
KUHPerdata, yaitu suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
R. Subekti memberikan rumusan perjanjian yaitu suatu peristiwa dimana
seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal.13
13
Abdul Kadir Muhammad memberikan rumusan perjanjian yaitu suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.14
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan syarat sahnya suatu perjanjian
adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Sepakat berarti bahwa kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus
benar-benar menyetujui isi perjanjian tersebut. Jadi, apa yang dikehendaki oleh
pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya secara bebas atau suka
rela. Menurut Pasal 1321 KUHPerdata kata sepakat tidak sah apabila diperoleh
karena paksaan, kekhilafan dan penipuan. Yang dimaksud paksaan adalah paksaan
rohania atau paksaan jiwa, bukan paksaan badan (fisik) misalnya, seseorang
diancam atau ditakut-takuti sehingga menyetujui suatu perjanjian. Sedang
kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf mengenai barang yang menjadi
pokok perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian
sedemikian rupa, sehingga apabila tidak khilaf ia tidak akan memberikan
persetujuan. Penipuan terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan
keterangna palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk
memberikan persetujuan.
14
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya
adalah cakap menurut hukum. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa
orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :
a. Orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang dibawah pengampuan
Kecakapan harus ada pada subjek yang membuat perjanjian karena ia
harus mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatannya akibat adanya
perjanjian tersebut. KUHPerdata memberikan batas usia dewasa yaitu 21 atau
sudah kawin, sedangkan UU Perkawinan memberikan batas usia dewasa itu 18
tahun. Orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang dewasa yang boros
atau yang tidak sehat pikirannya, karenanya orang ini tidak dapat berbuat bebas
terhadap kekayaannya sehingga ia berada dibawah pengawasan pengampunya
3. Suatu hal tertentu
Pasal 1333 dan Pasal 1334 KUHPerdata dinyatakan bahwa paling tidak
objek perjanjian itu harus dapat ditentukan jenisnya, baik benda itu berwujud
maupun tidak berwujud. Objek perjanjian dapat berupa benda-benda yang baru
akan ada di kemudian hari.
4. Suatu sebab yang halal
Sebab yang halal adalah maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri. Dalam
Pasal 1335 KUHPerdata dinyatakan bahwa perjanjian dinyatakan tidak
palsu atau sebab yang terlarang. Perjanjian yang dibuat tanpa sebab, misalnya,
jika dibuat suatu perjanjian novasi atau suatu perjanjian yang tidak ada
sebelumnya. Perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang palsu untuk menutupi
sebab yang sebenarnya, misalnya, jual beli narkotika untuk sebab pengobatan
ternyata untuk pemakaian secara bebas, sedang sebab yang terlarang adalah sebab
yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat subjektif
karena menyangkut orang atau subjek yang membuat perjanjian, bila syarat ini
tidak dipenuhi maka perjanjian atas permohonan yang bersangkutan dapat
dimintakan pembatalanya kepada hakim yang berlaku sejak putusan hakim
memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Sedang syarat ketiga dan keempat
disebut syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian dan bila salah satu
dari syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum dimana
perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sejak semula dan pembatalan ini juga
harus dimintakan kepada hakim dimana syarat-syarat yang terdapat pada Pasal
1320 KUHPerdata berlaku juga di dalam perjanjian kredit yang merupakan
perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Perjanjian yang diatur dalam
bagian khusus harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata.15
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan menyatakan bahwa
yang dimaksud kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan
15
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan sejumlah bunga.16
Berdasarkan pengertian kredit yang ditetapkan oleh undang-undang
sebagaimana tersebut di atas, suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan
sebagai kredit perbankan sepanjang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut. 17
1. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan penyediaan uang tersebut dilakukan oleh bank. Bank adalah pihak
penyedia dana dengan menyetujui pemberian sejumlah dana yang kemudian
disebut sebagai jumlah kredit atau plafon kredit. Sementara tagihan yang
dapat dipersamakan dengan penyediaan uang dalam praktik perbankan
misalnya berupa pemberian (penerbitan) garansi bank dan penyediaan
fasilitas dana untuk pembukaan letter of credit (LC).
2. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam merupakan dasar
dari penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang tersebut. Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
dibuat oleh bank dengan pihak debitur yang diwujudkan dalam bentuk
perjanjian kredit. Perjanjian kredit sebagai salah satu jenis perjanjian, tunduk
kepada ketentuan hukum perikatan dalam hukum positif di Indonesia.
16
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 angka 11.
17
Pengaturan tentang perjanjian terdapat dalam ketentuan-ketentuan KUH
Perdata, Buku Ketiga tentang Perikatan. Perjanjian kredit yang dibuat secara
sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (antara lain memenuhi
ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata) merupakan undang-undang bagi bank
dan debitur. Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata menetapkan suatu perjanjian
yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang berjanji.
3. Adanya kewajiban melunasi hutang Pinjam-meminjam uang adalah suatu
hutang bagi peminjam. Pinjam meminjam wajib melunasinya sesuai dengan
yang diperjanjikan. Pemberian kredit oleh bank kepada debitur wajib
melakukan pembayaran pelunasan kredit sesuai dengan jadwal pembayaran
yang telah disepakatinya, yang biasanya terdapat dalam ketentuan perjanjian
kredit. Dengan demikian, kredit perbankan bukan suatu bantuan dana yang
diberikan secara cuma-cuma. Kredit perbankan adalah suatu hutang yang
harus dibayar kembali oleh debitur.18
4. Adanya jangka waktu tertentu Pemberian kredit terkait dengan suatu jangka
waktu tertentu. Berdasarkan jangka waktu tertentu yang ditetapkan atas
pemberian kredit, maka kredit perbankan dapat dibedakan atas kredit jangka
pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Kredit jangka pendek adalah
kredit yang mempunyai jangka waktu satu tahun atau dibawah satu tahun.
Kredit jangka menengah adalah yang mempunyai jangka waktu di atas satu
tahun sampai dengan tiga tahun, dan kredit jangka panjang adalah kredit yang
18
mempunyai jangka waktu di atas tiga tahun. Jangka waktu suatu kredit
ditetapkan berdasarkan kebijakan yang berlaku pada masing-masing bank dan
mempertimbangkan tujuan penggunaan kredit serta kemampuan membayar
dari calon debitur setelah dinilai kelayakannya. Berdasarkan pengertian kredit
tentang jangka waktu tertentu dapat disimpulkan bahwa jangka waktu kredit
harus ditetapkan secara tegas karena menyangkut hak dan kewajiban
masing-masing pihak.
5. Adanya pemberian bunga kredit. Terhadap suatu kredit sebagai salah satu
bentuk pinjaman uang ditetapkan adanya pemberian bunga. Bank menetapkan
suku bunga atas pinjaman uang yang diberikannya. Suku bunga merupakan
harga atas uang yang dipinjamkan dan disetujui bank kepada debitur. Namun,
sering pula disebut sebagai balas jasa atas penggu naan uang bank oleh
debitur. Sepanjang terhadap bunga kredit yang ditetapkan dalam perjanjian
kredit dilakukan pembayarannya oleh debitur, merupakan salah satu sumber
pendapatan yang utama bagi bank.19
B. Bentuk Perjanjian Kredit pada Bank Perkreditan Rakyat
Setiap kredit yang telah disepakati oleh pemberi kredit (kreditur) dan
penerima kredit (debitur) maka wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian yaitu
perjanjian kredit. Perjanjian itu sendir diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata.
19
Perjanjian kredit sendiri berakar pada perjanjian pinjam meminjam sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata.
Pasal 8 ayat (2) huruf a UU Perbankan menjelaskan bahwa pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan dalam bentuk tertulis. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa bank dalam memberikan kredit wajib mempergunakan
perjanjian kredit dalam bentuk tertulis.
Bentuk perjanjian kredit secara tertulis tersebut bertujuan untuk
memudahkan pihak bank maupun nasabah dalam pelaksanaan kredit, karena
dalam isi perjanjian dapat diketahui secara jelas mengenai subjek, objek, maupun
hal-hal lain yang diperjanjikan. Bentuk perjanjian ini juga dianggap lebih aman
bagi para pihak apabila dibandingkan dengan bentuk lisan, karena dengan bentuk
tertulis tersebut para pihak tidak dapat mengingkari apa yang telah diperjanjikan,
dan ini merupakan bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu terhadap
kredit yang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh para
pihak.
Perjanjian kredit dapat dilakukan secara lisan atau tertulis yang terpenting
memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata. Namun dari sudut pembuktian,
perjanjian yang dilakukan secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti,
karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak
yang membuatnya. Dalam dunia modern yang kompleks ini perjanjian lisan tentu
sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun secara teori ini
pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setiap transaksi
apapun haruslah dibuat secara tertulis yang digunakan sebagai alat bukti.
Menyimpan tabungan atau deposito di bank maka akan memperoleh tabungan
atau bilyet deposito sebagai alat bukti. Untuk pemberian kredit perlu dibuat
perjanjian kredit sebagai alat bukti.
Dasar hukum yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah :
1. Instruksi presidium
Kabinet Nomor 115/EK/IN/10/1996 Tanggal 10 Oktober 1996,
menegaskan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai
bentuk tanpa ada perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan debitur, nasabah
atau bank-bank sentral dan bank-bank lainnya. Dari sini jelaslah bahwa dalam
memberikan kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjian atau akad
kreditnya.
2. Surat Keputusan Direksi bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 27/17/UPB Tanggal 31 Maret 1995 tentang
Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank Bagi
Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan
disepakti pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit)
secara tertulis.
3. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap bank devisa No.
03/1093/UPK/PKD Tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang
keputusan-keputusan tersebut maka pemberian kredit oleh bank kepada
debiturnya menjadi pasti bahwa:
a) Perjanjian diberi nama perjanjian kredit
b) Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis
Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai
alat bukti. Setiap kredit yang diberikan harus dituangkan dalam perjanjian kredit
secara tertulis yang sekurang-kurangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah
tangan. Menurut Pasal 1874 KUHPerdata yang dimaksud akta di bawah
tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui
perantara pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti.
Pengikatan yang dilakukan antara bank dan nasabah tanpa dihadapan
notaris.20
20
Jopie Jusuf, Kriteria Jitu Memperoleh kredit bank, Elex Media Komputindo, Jakarta 2003, hal 165.
Artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank
kemudian ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah
dan mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir
perjanjian dalam bentuk standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan
ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. bentuk perjanjian
kredit yang dibuat sendiri oleh bank tersebut termasuk jenis akta di bawah
kredit yang isinya sudah disiapkan bank kemudian disodorkan kepada setiap
calon debitur untuk dipahami mengenai syarat-syarat dan ketentuan pemberian
kredit tersebut yang sebelumnya syarat-syarat tersebut tidak pernah
dirundingkan atau dinegosiasikan dengan calon debitur. Debitur mau tidak
mau harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir
perjanjian kredit karena calon debitur dalam posisi lemah karena sangat
membutuhkan kredit sehingga apapun persyaratan yang tercantum dalam
formulir perjanjian kredit calon debitur dapat menyetujui
2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris atau pengikatan yang
dilakukan dihadapan notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil.
Pasal 1868 KUH Perdata akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang yang dibuat atau dihadapan pegawai yang
berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Yang
menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris namun dalam
praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank
kemudian diberikan kepada kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta
notaril dimana notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa
yang diinginkan para pihak yang bersangkutan dalam bentuk akta notaris atau
akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta
otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan
jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal
dari satu bank).21 Perjanjian Kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit
secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun akta notariil.
C. Prinsip-Prinsip Perjanjian Kredit pada Bank Perkreditan Rakyat
Pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur tentunya memiliki
asas atau prinsip. Layaknya perjanjian pada umumnya maka pmberian kredit yang
dituangkan dalam bentuk perjanjian pun wajib mengikuti asas dan prinsip kontrak
yang baik. Namun selain asas atau prinsip kontrak yang baik pada umumnya,
dalam pemberian kredit juga terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan
sesuai dengan fungsi perbankan dan perkreditan. Pada dasarnya ada dua prinsip
utama yang menjadi pedoman dalam pemberian kredit, yaitu:22
1. Prinsip kepercayaan
Ini dapat dikatakan bahwa pemberian kredit oleh bank kepada nasabah
debitur selalu didasarkan pada kepercayaan. Bank mempunyai kepercayaan bahwa
kredit yang diberikannya bermanfaat bagi nasabah debitur sesuai dengan
peruntukannya, dan terutama sekali bank percaya nasabah debitur yang
bersangkutan mampu melunasi utang kredit beserta bunga dalam jangka waktu
yang telah ditentukan.
Prinsip kehati-hatian bank dalam menjalankan kegiatan usahanya,
termasuk pemberian kredit kepada debitur harus selalu berpedoman dan
21
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003. hal 101
22
menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini antara lain diwujudkan dalam
bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua
persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemberian
kredit oleh bank yang bersangkutan.
Sementara itu, selain kedua prinsip umum tersebut, berdasarkan penjelasan
Pasal 8 UU Perbankan, yang mesti dinilai oleh bank sebelum memberikan kredit
adalah watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah
debitur, yang kemudian dikenal dengan sebutan dengan Prinsip 5 C, yaitu:23
1. Penilaian watak (Character)
Penilaian watak atau kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk
mengetahui kejujuran atau itikad baik calon debitur untuk melunasi atau
mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian
hari. Hal ini dapat diperoleh terutama didasarkan kepada hubungan yang telah
terjalin antara bank dan calon (debitur) atau informasi yang diperoleh dari pihak
lain yang mengetahui moral, kepribadian, dan perilaku calon debitur dalam
kehidupan kesehariannya.
2. Penilaian kemampuan (Capacity)
Bank harus meneliti tentang keahlian calon debiturnya dalam bidang
usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang
akan dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga calon debiturnya
dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya.
23
Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala
besar. Demikian juga jika trend bisnisnya menurun, maka kredit juga semestinya
tidak diberikan. Kecuali jika penurunan itu karena kekurangan biaya sehingga
dapat diantisipasi bahwa dengan tambahan biaya lewat peluncuran kredit, maka
Trend atau kinerja bisnisnya tersebut dipastikan akan semakin membaik.
3. Penilaian modal (Capital)
Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara
menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui
kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyeek
atau usaha calon debitur yang bersangkutan. Dalam praktek selama ini bank
jarang sekali memberikan kredit untuk membiayai seluruh dana yang diperlukan
nasabah. Nasabah wajib menyediakan modal sendiri, sedangkan kekurangannya
itu dapat dibiayai dengan kredit bank. Jadi bank fungsinya adalah hanya
menyediakan tambahan modal, biasanya lebih sedikit dari pokoknya.
4. Penilaian agunan (Collateral)
Untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitur umumnya
wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah
dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit yang diberikan kepadanya.
Untuk itu sudah seharusnya bank wajib meminta agunan tambahan dengan
maksud jika calon debitur tidak dapat melunasi kreditnya, maka agunan tambahan
tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian kredit atau
5. Penilaian prospek usaha (Condition of Economy)
Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar begeri baik
masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil
proyek atau usaha calon debitur yang akan dibiayai bank dapat diketahui.
Selain Prinsip 5 C tersebut, dalam pemberian kredit kepada nasabah
debitur, bank juga menerapkan prinsip lain, yaitu Prinsip 5 P, yaitu:24
1. Party (para pihak)
Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap
pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh suatu
“kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur. Bagaimana karakternya,
kemampuannya, dan sebagainya.
2. Purpose (tujuan)
Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak
kreditur. Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif
yang benar-benar dapat menaikkan income perusahaan. Dan harus pula diawasi
agar kredit tersebut benar-benar diperuntukkan untuk tujuan seperti diperjanjikan
dalam perjanjian kredit.
3. Payment (pembayaran)
Harus pula diperhatikan apakah sumber pembayaran kredit dari calon
debitur cukup tersedia dan cukup aman, sehingga dengan demikian diharapkan
bahwa kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar kembali oleh debitur
24
yang bersangkutan. Jadi harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian
kredit nanti, debitur punya sumber pendapatan, dan apakah pendapatan tersebut
mencukupi untuk membayar kembali kreditnya.
4. Profitability (perolehan laba)
Unsur perolehan laba oleh debitur tidak kurang pula pentingnya dalam
suatu pemberian kredit. Untuk itu kreditur harus mengantisipasi apakah laba yang
akan diperoleh oleh perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman dan apakah
pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kredit, cash flow, dan
sebagainya.
5. Protection (perlindungan)
Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitur.
Untuk itu perlindungan dari kelompok perusahaan, atau jaminan dari holding, atau
jaminan pribadi pemilik perusahaan penting untuk diperhatikan. Terutama untuk
berjaga-jaga sekiranya terjadi hal-hal di luar skenario atau di luar prediksi semula.
D. Kedudukan Jaminan pada Perjanjian Kredit Bank pada Bank
Perkreditan Rakyat
Hukum positif di Indonesia terdapat peraturan perundang-undangan yang
sepenuhnya mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan penjaminan utang.
Materi atau isi peraturan perundang-undangan tersebut memuat
penjaminan utang, antara lain mengenai prinsip-prinsip hukum jaminan,
lembaga-lembaga jaminan, objek jaminan utang, penanggungan utang dan sebagainya.
Diikatnya perjanjian antara pihak debitur dan kreditur dengan hak
tanggungan tidak lain dimaksudkan untuk dapat mempermudah eksekusi benda
jaminan dalam proses pengembalian piutang kreditur oleh debitur. Eksekusi
haktanggungan merupakan sarana untuk percepatan proses pengembalian hutang
debitur.
Namun pada kenyataannya seringkali terdapat permasalahan dimana pihak
debitur mempunyai utang kepada lebih dari satu kreditur, dalam hal ini
dimungkinkan salah satu kreditur dari sekian banyak kreditur mengajukan
kepailitan.Hal ini mempunyai konsekuensi terhadap para kreditur, termasuk
terhadap kreditur pemegang hak tanggungan.
Di dalam KUHPerdata tercantum beberapa ketentuan yang dapat
digolongkan sebagai hukum jaminan. Hukum jaminan dalam ketentuan hukum
KUHPerdata adalah sebagaimana yang terdapat pada Buku Kedua yang mengatur
tentang prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-lembaga jaminan (gadai dan
hipotek) dan pada Buku Ketiga yang mengatur tentang penanggungan utang
adalah sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip hukum jaminan
Beberapa prinsip hukum jaminan sebagaimana yang diatur oleh
ketentuan-ketentuan KUHPerdata adalah sebagai berikut:25
25
a. Kedudukan harta pihak peminjam
Pasal 1131 KUHPerdata mengatur tentang kedudukan harta pihak
peminjam, yaitu bahwa harta pihak peminjam adalah sepenuhnya merupakan
jaminan (tanggungan) atas utangnya. Pasal 1131 KUHPerdata menetapkan bahwa
semua harta pihak peminjam, baik yang berupa harta bergerak maupun yang tidak
bergerak baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari merupakan
jaminan atas perikatan utang pihak peminjam.
Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata merupakan salah satu ketentuan pokok
dalam hukum jaminan, yaitu mengatur tentang kedudukan harta pihak yang
berutang (pihak peminjam) atas perikatan utangnya. Berdasarkan ketentuan Pasal
1131 KUHPerdata pihak pemberi pinjaman akan dapat menuntut pelunasan utang
pihak peminjam dari semua harta yang bersangkutan, termasuk harta yang masih
akan dimilikinya di kemudian hari. Pihak pemberi pinjaman mempunyai hak
untuk menuntut pelunasan utang dari harta yang akan diperoleh oleh pihak
peminjam dikemudian hari.
Sebagaimana dalam praktik sehari-hari yang dapat disebut sebagai harta
yang akan ada di kemudian hari adalah misalnya berupa warisan, penghasilan gaji,
atau tagihan yang akan diterima pihak peminjam. Ketentuan Pasal 1131
KUHPerdata sering pula dicantumkan sebagai salah satu klausul dalam perjanjian
kredit perbankan. Ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang dicantumkan sebagai
klausul dalam perjanjian kredit bila ditinjau dari isi (materi) perjanjian disebut
sebagai isi yang naturalia. Klausul perjanjian yang tergolong sebagai isi yang
perjanjian akan lebih baik, tetapi bila tidak dicantumkan, tidak menjadi masalah
kecacatan perjanjian karena hal (klausul) yang seperti demikian sudah diatur oleh
ketentuan hukum yang berlaku.
Dengan memperhatikan kedudukan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata
bila dikaitkan dengan suatu perjanjian pinjaman uang, akan lebih baik ketentuan
tersebut dimasukkan sebagai klausul dalam perjanjian pinjaman uang, termasuk
dalam perjanjian kredit.
b. Kedudukan pihak pemberi pinjaman
Kedudukan pihak pemberi piinjaman terhadap harta pihak peminjam dapat
diperhatikan dari ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata. Berdasarkan ketentuan Pasal
1132 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa kedudukan pihak pemberi pinjaman
dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu :
1) Mempunyai kedudukan berimbang sesuai dengan piutang masing-masing;
dan
2) Mempunyai kedudukan didahulukan dari pihak pemberi pinjaman yang
lain berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan.
Pasal 1132 KUHPerdata menetapkan bahwa harta pihak peminjam
menjadi jaminan bersama bagi semua pihak pemberi pinjaman, hasil penjualan
harta tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya
piutang masing-masing, kecuali apabila di antara pihak pemberi pinjaman itu
mempunyai alasan yang sah untuk didahulukan. Dalam praktik perbankan pihak
pemberi pinjaman disebut kreditur dan pihak peminjam disebut nasabah debitur
lazim disebut sebagai kreditur preferen dan pihak pemberi pinjaman yang
mempunyai hak berimbang disebut sebagai kreditur konkuren. Mengenai alasan
yang sah untuk didahulukan sebagaimana yang tercantum pada bagian akhir
ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata adalah berdasarkan ketentuan dari peraturan
perundang-undangan, antara lain berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh
Pasal 1133 KUHPerdata, yaitu dalam hal jaminan utang diikat melalui gadai atau
hipotek.
c. Larangan memperjanjikan pemilikan objek jaminan utang oleh pihak pemberi
pinjaman.
Pihak pemberi pinjaman dilarang memperjanjikan akan memiliki objek
jaminan utang bila pihak peminjam ingkar janji (wanprestasi). Ketentuan yang
demikian diatur oleh Pasal 1154 KUHPerdata tentang Gadai, Pasal 1178
KUHPerdata tentang Hipotek. Larangan bagi pihak pemberi pinjaman untuk
memperjanjikan akan memiliki objek jaminan utang sebagaimana yang ditetapkan
dalam ketentuan-ketentuan lembaga jaminan tersebut tentunya akan melindungi
kepentingan pihak peminjam dan pihak pemberi pinjaman lainnya, terutama bila
nilai objek jaminan melebihi besarnya nilai utang yang dijamin. Pihak pemberi
pinjaman yang mempunyai hak berdasarkan ketentuan lembaga jaminan dilarang
serta-merta menjadi pemilik objek jaminan utang bila pihak peminjam ingkar
janji. Ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas tentunya akan dapat mencegah
tindakan sewenang-wenang pihak pemberi pinjaman yang akan merugikan pihak