TINJAUAN PUSTAKA
Sungai
Perairan umum tawar alami dikenal sebagai sungai, rawa dan danau.
Perairan sungai merupakan suatu perairan yang di dalamnya dicirikan dengan
adanya aliran air yang cukup kuat sehingga digolongkan ke dalam perairan
mengalir (perairan lotik). Pada perairan sungai biasanya terjadi percampuran
massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air
seperti pada perairan lentik. Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif
kencang, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim dan pola aliran air. Kecepatan
arus, erosi dan sedimentasi merupakan fenomena yang umum terjadi di sungai
sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi oleh ketiga
variabel tersebut (Effendi, 2003).
Odum (1993) menyatakan bahwa ada dua zona utama pada aliran air
(sungai), yaitu:
1. Zona air deras merupakan daerah yang dangkal dimana kecepatan arus cukup
tinggi untuk menyebabkan dasar sungai bersih dari endapan dan materi lain
yang lepas, sehingga dasarnya padat. Zona ini dihuni oleh bentos yang
beradaptasi khusus atau organisme perifitik yang dapat melekat atau berpegang
dengan kuat pada dasar yang padat dan oleh ikan yang kuat berenang. Zona ini
umumnya terdapat pada hulu sungai di daerah pegunungan.
2. Zona air tenang merupakan bagian sungai yang dalam dimana kecepatan arus
dasar, sehingga dasarnya lunak, tidak sesuai untuk bentos permukaan tetapi
cocok untuk penggali, nekton dan plankton.
Sungai yang mengalir cepat ditandai oleh tipe substrat berbatu dan
berkerikil, sedangkan sungai yang mengalir lambat ditandai dengan tipe substrat
berpasir dan berlumpur. Faktor pengontrol utama produktivitas pada ekosistem
tersebut adalah arus yang merupakan pembatas bagi jumlah dan tipe organisme
autotrof (Wijaya, 2009).
Odum (1993) menyatakan bahwa salah satu bentuk adaptasi dari organisme
komunitas air deras untuk mempertahankan posisi pada air yang mengalir adalah
melekat permanen pada substrat yang kokoh, seperti batu, kayu, atau massa daun.
Dalam kategori ini termasuk tanaman produsen utama dari aliran air berupa
ganggang hijau yang melekat, seperti Cladophora yang mempunyai serabut yang
panjang; Diatomae yang bertutup keras yang menutupi berbagai permukaan; dan
lumut air dari marga Fontinalis dan beberapa marga yang lain yang menutupi batu
bahkan pada aliran air yang paling deras.
Organisme autotrof pada sistem ekosistem perairan terdiri dari berbagai
macam kumpulan alga dan tanaman air. Produsen primer di sungai, danau dan
waduk terdiri dari fitoplankton, bakteri, alga bentik (perifiton) dan makrofita.
Pada kondisi perairan berarus, perifiton lebih berperan sebagai produsen primer.
Namun, pada sungai yang dalam dan besar, fitoplankton cenderung lebih berperan
dan lebih dominan. Meningkatnya ukuran sungai serta menurunnya kemiringan
dan kecepatan arus umumnya akan meningkatkan produksi fitoplankton (Whitton,
Perifiton
Welch (1980) dalam Natalia (2000) menyatakan bahwa perifiton adalah
mikroflora yang tumbuh di atas substrat di bawah permukaan air. Wetzel dan
Westlake (1974) dalam Widdyastuti (2011) menyatakan bahwa perifiton
mencakup semua organisme tanaman, kecuali makrofita berakar yang tumbuh pada material di bawah permukaan air. Material tersebut meliputi semua substrat,
seperti sedimen, batu, puing-puing dan organisme hidup. Pennak (1964) dalam
Nuraini (2005) mengartikan perifiton sebagai aufwuchs yaitu seluruh kelompok
organisme (umumnya mikroskopis) yang hidup menempel pada benda atau pada
permukaan tumbuhan air yang terendam, tidak menembus substrat, diam atau
bergerak di permukaan substrat tersebut.
Graham dan Wilcox (2000) menyatakan bahwa ada lima kelompok besar
pembagian perifiton berdasarkan tempat menempel, yaitu: 1. Epilitik yaitu menempel di permukaan batuan.
2. Epipsammik yaitu hidup dan bergerak di antara butir-butir pasir.
3. Epipelik yaitu menempel di permukaan sedimen.
4. Epifitik yaitu menempel di permukaan tumbuhan.
5. Epizooik yaitu menempel di permukaan hewan.
Substrat benda hidup sering bersifat sementara karena adanya proses
pertumbuhan dan kematian sehingga keberadaan perifiton juga ikut dipengaruhi oleh keberadaannya. Pada substrat benda mati, keberadaan perifiton akan lebih
mantap (permanen), meskipun pembentukan komunitas terjadi secara lambat
namun lebih mantap, tidak mengalami perubahan, rusak, atau mati (Wijaya,
Perifiton dapat tumbuh pada substrat buatan seperti plexiglass, gelas obyek, kayu dan blok-blok beton. Keuntungan dari penggunaan substrat buatan dalam
penelitian adalah mudah standarisasinya, laju pertumbuhan perifiton dapat
ditentukan dengan cepat dan pengumpulan datanya mudah. Perifiton ini juga
dapat menjadi petunjuk yang peka bagi kualitas air. Kerugian penggunaan substrat
buatan adalah bahwa spesies yang hidup secara alami mungkin tidak ikut
terambil, laju akumulasi tidak produktif karena pertumbuhan dimulai pada tempat
yang kosong (Larastri, 2006).
Ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam menggunakan substrat buatan, yaitu waktu pemaparan (akan mempengaruhi perluasan pertumbuhan),
kecepatan arus (dapat menguntungkan beberapa taksa) dan musim. Faktor waktu
pemaparan merupakan yang paling penting karena dapat mengakibatkan fluktuasi
yang besar terhadap biomassa yang tidak berhubungan dengan gangguan fisik
atau kualitas air (Nuraini, 2005).
Faktor-faktor yang umumnya dipertimbangkan sebagai pembatas, hal-hal
yang diperlukan serta penting untuk perkembangan perifiton meliputi tipe
perairan (danau, sungai, atau laut), ketersediaan cahaya (lama penyinaran, kecerahan, kekeruhan), tipe substrat (kondisi, lokasi, kedalaman), pergerakan air
(arus dan kecepatan), pH, alkalinitas, kesadahan, unsur hara (N, P, C),
bahan-bahan terlarut (Ca, S, Si), logam dan logam kelumit (Fe, Cu, Cr, V, Se), juga
suhu, salinitas, oksigen dan CO2 (Weitzel, 1979).
Perkembangan perifiton dapat dianggap sebagai proses akumulasi, yaitu
proses peningkatan biomassa dengan bertambahnya waktu. Akumulasi merupakan
perifiton dan alat penempelnya. Keberadaan substrat sangat menentukan perkembangan perifiton menuju kemantapan komunitasnya. Kemampuan
perifiton menempel pada substrat menentukan eksistensinya terhadap pencucian
oleh arus atau gelombang yang dapat memusnahkannya (Wijaya, 2009).
Natalia (2000) menyatakan bahwa zonasi yang terbentuk di perairan
mempengaruhi struktur komunitas perifiton yang ada. Ada tiga zonasi yang
berperan dalam membentuk struktur komunitas perifiton, yaitu:
a. Zona eulitoral yaitu daerah pinggiran yang masih dalam jangkauan percikan air. Zona ini ditumbuhi oleh perifiton yang mampu bertahan terhadap
perubahan lingkungan yang cukup ekstrim. Jenis-jenis perifiton yang dapat berkembang di antaranya Tilopothrix parietina dan Scytonema myochorus.
b. Zona sublitoral atas yaitu zona air yang masih tembus sinar matahari dengan
nilai suhu serupa dengan di wilayah eufotik dengan perubahan kecil dan tidak berarti. Zona ini memiliki komunitas dengan komposisi yang paling kaya.
c. Zona sublitoral bawah yaitu zona air yang kurang menerima sinar matahari. Intensitas cahaya dan suhu menurun menurut wilayah termoklin. Pada kondisi
ini, komunitas perifiton alga hijau secara kuantitatif menurun, namun masih
layak untuk alga coklat, alga biru dan alga merah. Jenis-jenis yang dapat berkembang di antaranya adalah kelompok Diatomae, Pleurocapsis,
Chroocopsis, Lyngbya dan Hildenbrandia.
d. Zona profundal yaitu zona air gelap. Pada zona ini, komunitas perifiton jenis alga autotrof semakin menghilang dan digantikan oleh jenis heterotrof.
Wijaya (2009) menyatakan bahwa komposisi alga di sungai pada substrat
Rhodophyta, Cryptophyta, Bacillariophyta, Chrysophyta, Euglenophyta dan
Chlorophyta. Alga bentik yang sering ditemukan dalam jumlah besar adalah
Synedra, Nitzschia, Navicula, Diatoma dan Surirella. Pada perairan berarus kuat,
alga bentik yang mendominasi ditandai dengan diatom kelompok Pennales dan
dengan menurunnya arus, keanekaragaman akan meningkat tidak hanya diatom
melainkan juga Chlorophyta dan Myxophyta (Whitton, 1975).
Natalia (2000) menyatakan bahwa perifiton menempel pada substrat dengan
memanfaatkan kelebihan dari morfologinya. Beberapa jenis alat untuk menempel
pada substrat, yaitu:
1. Rhizoid, seperti pada Oedogonium dan Ulothrix.
2. Tangkai bergelatin panjang dan pendek, seperti pada Cymbella, Gomphonema
dan Achnanthes.
3. Bentuk piringan sel basal terutama alga benang.
4. Bantalan gelatin berbentuk setengah bulatan (Sphaerical) yang diperkuat
dengan kapur atau tidak, seperti pada Rivularia, Chaetophora dan Ophirydium.
Sistem penempelan ini tentunya memiliki ketahanan yang berbeda terhadap
arus dan gelombang.
Pada perairan, makroalga, perifiton, dan fitoplankton mempunyai peran
yang sangat penting karena mereka menyediakan struktur komunitas dan
produktivitas primer yang mendukung beragam organisme lain. Di perairan
tergenang, peranan perifiton lebih rendah dari fitoplankton, sedangkan untuk
perairan mengalir, peranan perifiton lebih besar, kecuali di perairan yang keruh
Produktivitas Primer
Produktivitas adalah laju pembentukan bahan organik rata-rata selama beberapa periode waktu tertentu, misalnya satu hari atau tahun. Produktivitas
primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik
dengan bantuan sinar matahari (Wetzel, 1983).
Produktivitas primer pada umumnya dinyatakan dalam gram karbon (C) yang terikat per satuan luas atau volume air per interval waktu. Produksi
merupakan jumlah karbon per m2 per hari (gC/m2/hari). Organisme yang berperan dalam hal ini adalah fitoplankton yang mampu menghasilkan bahan organik dari
zat-zat anorganik melalui proses fotosintesis. Reaksi pada proses fotosintesis adalah:
cahaya
6 CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2
energi + tumbuhan
Dari reaksi di atas, secara teoritis untuk mengukur laju produksi senyawa-senyawa organik dapat diukur dengan cara mengetahui laju hilangnya atau munculnya beberapa komponen yang ada dalam reaksi tersebut. Laju fotosintesis dapat diukur dengan laju hilangnya CO2 atau munculnya O2. Pengukuran ini
dalam praktiknya yang digunakan hanya dua komponen yaitu CO2 dan O2 (Abida,
2008).
Produktivitas primer dibatasi oleh cahaya karena cahaya dibutuhkan untuk proses fotosintesis. Laju fotosintesis akan tinggi bila tingkat intensitas cahaya
komponen utama dalam proses fotosintesis dan secara langsung bertanggung
jawab terhadap nilai produktivitas primer perairan (Taqwa, 2010).
Madubun (2008) menyatakan bahwa proses fotosintesis dapat dibagi atas
dua bagian yakni reaksi terang dan reaksi gelap. Secara ringkas dijelaskan bahwa pada reaksi terang akan dibebaskan oksigen yang bersumber dari air serta
dihasilkan energi bebas yang bersumber dari serangkaian perubahan ADP
(Adenosine diphosphate) dan fosfat anorganik menjadi ATP (Adenosine
triphosphate). Sedangkan pada reaksi gelap, akan dihasilkan karbohidrat yang
direduksi dari karbondioksida dan menghasilkan sejumlah energi bebas yang sumbernya berasal dari degradasi (decay) ATP yang telah dibentuk selama reaksi
terang.
Faktor-faktor yang membatasi produktivitas primer fitoplankton di perairan
di antaranya adalah intensitas cahaya matahari, suhu, unsur hara dan biomassa fitoplankton. Penyebaran produktivitas primer fitoplankton bervariasi secara luas.
Variasi tersebut berkaitan dengan lintang geografis dan musim. Di daerah
temperate pada musim dingin, cahaya seringkali membatasi nilai produktivitas
primer, sedangkan di daerah tropis, ketersediaan nutrien sering menjadi faktor
pembatas produktivitas primer fitoplankton (Madubun, 2008).
Dalam konsep produktivitas primer dikenal istilah Produktivitas Primer
Kotor (Gross Primer Productivity/GPP) dan Produktivitas Primer Bersih (Net
Primer Productivity/NPP). GPP adalah laju produksi primer dari zat organik
dalam jaringan tumbuhan termasuk yang digunakan untuk respirasi. NPP adalah laju produktivitas primer zat organik dikurangi dengan yang digunakan untuk
respirasi, sedangkan NPP dikurangi R merupakan NCP (Net Community
Production) (Smith, 1992).
Teknik botol gelap-terang untuk memperkirakan produksi primer telah
banyak digunakan. Pada metode oksigen, sampel fitoplankton diinkubasi pada botol terang dan gelap (tidak tembus cahaya) pada kedalaman yang diinginkan.
Konsentrasi awal oksigen terlarut diharapkan menjadi berkurang karena respirasi pada botol gelap dan bertambah pada botol terang yang disebabkan oleh produksi
fotosintesis dan konsumsi untuk respirasi. Jumlah dari aktivitas respirasi dengan aktivitas fotosintesis bersih sama dengan aktivitas fotosintesis kotor. Kelemahan metode oksigen adalah tidak mempunyai ketelitian pada lingkungan perairan yang
produktivitasnya rendah (Wetzel, 1983).
Produktivitas primer suatu perairan dapat saja bernilai negatif, meskipun
konsentrasi oksigen berada di bawah kondisi saturasi. Nilai negatif dapat terjadi karena penerapan yang kurang benar atau kurang teliti. Namun demikian, nilai
negatif tersebut bisa saja betul diduga oleh difusi udara dan air terbatas atau konstan selama 24 jam (Indrayani, 2000).
Parameter Kualitas Air A. Suhu
Widdyastuti (2011) menyatakan bahwa sumber terbesar dari panas pada perairan tawar adalah radiasi sinar matahari. Hal ini berlaku untuk danau, sungai
besar atau sungai kecil yang sebagian besar permukaan perairannya terkena sinar matahari langsung. Pada sungai kecil yang sangat teduh, pemindahan panas dari
mengatur suhu. Fluktuasi pada suhu harian lebih dari 5oC merupakan hal yang
biasa. Fluktuasi suhu tahunan pada sungai kecil sangat penting bagi organisme sungai tersebut. Reproduksi dan pertumbuhan dari organisme perairan mengalir
diatur oleh suhu. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, seperti curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin
dan intensitas radiasi matahari (Nontji, 2007).
Secara alami, suhu air permukaan merupakan lapisan yang lebih hangat
karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Suhu air permukaan di perairan nusantara umumnya berkisar antara 28 – 31oC. Oleh karena angin, maka di lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50 – 70 m dapat terjadi pengadukan.
Akibatnya, di lapisan kedalaman 50 – 70 m terdapat suhu hangat yang homogen (sekitar 28oC). Di perairan dangkal, lapisan homogen ini dapat berlanjut sampai
ke dasar (Nontji, 2007).
Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan.
Kelarutan gas-gas H2, N2, CO2 dan O2 menurun dengan meningkatnya suhu
perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan. Alga dari filum Chlorophyta dan diatom tumbuh dengan baik pada
kisaran suhu berturut-turut 30 – 35oC dan 20 – 30oC. Filum Cyanophyta dapat mentoleransi kisaran suhu yang lebih tinggi dari Chlorophyta dan diatom
B. Intensitas Cahaya
Cahaya matahari merupakan energi penggerak utama bagi seluruh ekosistem, termasuk di dalamnya ekosistem perairan. Cahaya adalah sumber
energi dasar bagi pertumbuhan organisme autotrof, terutama fitoplankton yang pada gilirannya mensuplai makanan bagi seluruh kehidupan di perairan. Fungsi
ekosistem yang optimal harus ditunjang oleh adanya cahaya matahari. Salah satu ukuran kualitas suatu ekosistem adalah terselenggaranya proses produksi atau produktivitas primer yang mempersyaratkan adanya cahaya untuk
keberlangsungannya (Sunarto dkk., 2004).
Faktor cahaya dan nutrien sangat penting dalam kajian produktivitas primer.
Perifiton merupakan mikroorganisme yang tumbuh pada daerah yang dapat ditembus cahaya atau daerah eufotik. Pada satuan luas permukaan (m2), perifiton
lebih produktif daripada fitoplankton. Ketersediaan cahaya tahunan dan suhu sebagai faktor pengaturnya (Wijaya, 2009).
Cahaya matahari sebagai sumber energi fotosintesis sangat terkait terhadap
laju produksi primer oleh fitoplankton (Sitinjak, 2009). Wetzel (2001) menyatakan bahwa jika nutrien tersedia dalam jumlah yang cukup untuk
mendukung laju maksimum fotosintesis, maka ketersediaan cahaya adalah faktor dominan yang mengatur laju fotosintesis. Iluminasi (penyinaran) cahaya matahari
di hampir semua habitat akuatik bergantung pada sudut penyinaran matahari sepanjang hari, musim, letak lintang (latitude) dan kondisi iklim setempat (seperti
Cahaya matahari sangat dibutuhkan untuk proses fotosintesis oleh alga di dalam sungai. Kisaran panjang gelombang antara 400 – 700 nm digunakan oleh organisme autotrof seperti alga atau lumut untuk fotosintesis (Widdyastuti, 2011).
C. Arus
Arus dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi perifiton. Pengaruh ini dapat menguntungkan atau merugikan, tergantung pada kekuatan dan arah pergerakan arus. Arus secara terus-menerus dapat memperbarui bahan yang dibutuhkan dan menghilangkan hasil sampingan proses metabolisme. Pada sungai dan perairan mengalir lainnya, oksigen dan biomassa yang dihasilkan dari tempat produksi banyak yang hilang karena adanya arus. Kepadatan perifiton pada jenis substrat berbeda, bervariasi sebagai fungsi dari mutu dan kecepatan air (Weitzel, 1979).
Kecepatan arus akan mempengaruhi jenis dan sifat organisme yang hidup di perairan tersebut (Wijaya, 2009). Whitton (1975) menyatakan bahwa kecepatan arus adalah faktor penting di perairan mengalir. Kecepatan arus yang besar (> 5 m/s) mengurangi jenis flora yang dapat tinggal sehingga hanya jenis-jenis yang melekat saja yang tahan terhadap arus dan tidak mengalami kerusakan fisik.
Arus berkaitan dengan penyebaran bahan makanan dan nutrien serta mempengaruhi penempelan perifiton pada substrat. Jenis-jenis alga yang melekat umumnya mendominasi perairan berarus kuat, berkurangnya kecepatan arus akan meningkatkan keragaman jenis organisme yang melekat (Wetzel, 1983). Wijaya (2009) menyatakan bahwa sungai dangkal dengan kecepatan arus cepat biasanya didominasi oleh diatom perifitik. Alga bentik yang mendominasi perairan yang berarus kuat dikarakteristikkan oleh adanya diatom golongan Pennales (Tabel 1). Tabel 1. Distribusi Alga dan Kaitannya Dengan Arus
Arus (m/s) Tipe Komunitas Jenis yang Mendominasi
< 0,2 – 1 Alga bentik
Alga epipelik dan epifitik seperti
Nitzschia, Navicula, Caloines,
Eunotia, Tabellaria, Synedra,
Oscillatoria, Oedogonium dan
Bulbochaete
> 1 Alga bentik Alga epilitik seperti Achnantes,
Meridion, Diatoma dan Ceratoneis
> 0,5 – 1 Fitoplankton Diatom kecil bersel tunggal dan alga biru
> 1 Fitoplankton Volvocales dan Chrysomonads Sumber: Round (1964) dalam Wijaya (2009)
D. Kecerahan dan Kekeruhan
Kecerahan air ditunjukkan dengan kedalaman secchi disc. Kedalaman
secchi disc merupakan faktor yang menentukan produktivitas perairan. Semakin
besar nilai kedalaman secchi disc, semakin dalam penetrasi cahaya ke dalam air, yang selanjutnya akan meningkatkan ketebalan lapisan air yang produktif. Tebal lapisan air yang produktif memungkinkan terjadinya pemanfaatan unsur hara secara kontinu oleh produsen primer, akibatnya kandungan unsur hara menjadi berkurang (Elfinurfajri, 2009).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Effendi, 2003).
Kekeruhan di perairan disebabkan oleh bahan organik tersuspensi seperti liat, lempung, partikel karbonat, partikel organik halus, plankton dan organisme renik lainnya. Bahan tersuspensi menyebabkan cahaya menjadi lebih tersebar dan diserap daripada ditransmisi (Madubun, 2008).
E. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO)
Oksigen terlarut adalah besarnya kandungan oksigen yang terlarut dalam air yang biasa dinyatakan dalam satuan mg/l. Kelarutan oksigen di perairan dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas-gas yang ada di udara maupun di air, kadar garam dan unsur-unsur yang mudah teroksidasi di dalam perairan. Semakin meningkat suhu air, kadar garam dan tekanan gas-gas terlarut maka semakin berkurang kelarutan oksigen dalam air (Suparlina, 2003).
Oksigen terlarut sangat berpengaruh terhadap kehidupan perairan seperti proses biogeokimia. Pada sungai yang belum terpolusi, konsentrasi DO tetap bagus yaitu di atas 80% saturasi. Hampir semua organisme perairan peka terhadap konsentrasi oksigen. Pencemaran oleh bahan organik dapat mengurangi konsentrasi DO pada semua aliran sungai seperti proses mikrobial yang menggunakan oksigen dari air. Hal ini disebut Biochemical Oxygen Demand (BOD) (Widdyastuti, 2011).
Oksigen terlarut akan berpengaruh langsung pada kemampuan organisme air untuk bertahan di perairan tercemar. Pada perairan yang jenuh, biasanya mengandung oksigen dalam rentang 8 – 15 mg/l, tergantung pada salinitas dan temperatur. Bagi organisme-organisme akuatik, biasanya membutuhkan oksigen pada konsentrasi 5 – 8 mg/l untuk dapat hidup secara normal (Wibowo, 2004).
Sachmitz (1971) dalam Wijaya (2009) menyatakan bahwa ada lima golongan kualitas air di perairan mengalir berdasarkan kandungan oksigen terlarut seperti yang terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Penggolongan Kualitas Air Berdasarkan Kandungan Oksigen Terlarut
Golongan Kandungan Oksigen Terlarut (ppm) Kualitas Air
I > 8 atau perubahan terjadi dalam waktu pendek Sangat baik
II 6 Baik
III 4 Kritis
IV 2 Buruk
V < 2 Sangat buruk
Sumber: Sachmitz (1971) dalam Wijaya (2009)
F. Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Biochemical Oxygen Demand (BOD) diartikan sebagai jumlah oksigen yang
diperlukan oleh mikroorganisme dalam memecah atau mengoksidasi bahan-bahan
organik terlarut. Parameter BOD tidak menunjukkan jumlah materi organik yang
terlarut dalam air, melainkan hanya mengukur atau mengestimasi jumlah oksigen
secara relatif yang dibutuhkan mikroorganisme dalam mengoksidasi bahan-bahan
organik. Biasanya BOD ditunjukkan dengan BOD5 yang berarti kebutuhan
oksigen mikroorganisme tersebut selama lima hari (Fardiaz, 1992).
Wijaya (2009) menyatakan bahwa pada perairan alami, yang berperan
sebagai sumber bahan organik adalah tanaman dan hewan yang telah mati.
Perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5 – 7,0 mg/l. Selain itu, buangan hasil
limbah domestik dan industri juga dapat mempengaruhi nilai BOD (Effendi,
2003). Lee dkk., (1978) dalam Wijaya (2009) mengklasifikasikan besarnya
tingkat pencemaran perairan untuk kehidupan organisme akuatik berdasarkan
Tabel 3. Kriteria Kualitas Air Berdasarkan BOD5
BOD5 (mg/l) Kualitas Air
< 3 Tidak tercemar
3,0 – 4,9 Tercemar ringan
5,0 – 15 Tercemar sedang
> 15 Tercemar berat
Sumber: Lee dkk., (1978) dalamWijaya (2009)
G. Chemical Oxygen Demand (COD)
COD merupakan gambaran jumlah oksigen total yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara
biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non
biodegradable) (Wijaya, 2009). Keberadaan bahan organik tersebut dapat berasal
dari alam ataupun aktivitas manusia melalui limbah rumah tangga dan industri.
Nilai COD pada perairan tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan
pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l (Wijaya, 2009). Fardiaz
(1992) menyatakan bahwa bahan-bahan organik yang masuk ke perairan mungkin
tidak dapat terurai secara biologis. Sehingga uji kebutuhan oksigen yang
diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik ditentukan dengan bahan-bahan
oksidan (yang sering digunakan adalah kalium kromat).
Kelebihan COD dibandingkan dengan BOD adalah hasil kuantitas oksidasi
yang lebih banyak. Hasil yang didapatkan BOD selama lima hari, setara dengan
hasil COD selama 10 menit. Hasil oksidasi bahan-bahan organik terlarut berupa
H. Derajat Keasaman (pH)
Wibowo (2004) menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) adalah istilah
untuk mengekspresikan intensitas dari asam atau basa suatu larutan atau cairan.
Derajat keasaman bukan hanya berfungsi untuk menyatakan konsentrasi ion
hidrogen, namun juga mampu mengekspresikan aktivitas ion hidrogen dan tingkat
alkalinitas perairan. Nilai pH air yang normal (pH netral) berkisar antara 6 – 8,
sedangkan air yang tercemar bervariasi menurut bahan kontaminan yang masuk
ke badan perairan (Fardiaz, 1992).
Suparlina (2003) menyatakan bahwa batas toleransi organisme terhadap pH
bervariasi bergantung pada suhu, oksigen terlarut dan kandungan garam-garam
ionik suatu perairan. Nilai pH optimum untuk perkembangan diatom antara 8 – 9.
Diatom mulai berkurang perkembangannya pada pH 4,6 – 7,5, namun pada
kisaran tersebut masih didapatkan berbagai jenis diatom. Pada umumnya, diatom
yang hidup di perairan dengan kisaran pH yang netral keanekaragaman jenisnya
akan baik (Weitzel, 1979).
Effendi (2003) menyatakan bahwa sebagian besar biota perairan sensitif
terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH sangat
menentukan dominansi fitoplankton. Pada umumnya, alga biru lebih menyukai
pH netral sampai basa dan respon pertumbuhan negatif terhadap asam (pH < 6)
(Weitzel, 1979).
Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan
terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004). Baker dkk., (1990)
dalam Nuraini (2005) menyatakan bahwa terdapat pengaruh pH terhadap
komunitas biologi perairan seperti pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan
Nilai pH Pengaruh Umum
6,0 – 6,5
Keanekaragaman plankton dan bentos mengalami sedikit penurunan
Kelimpahan total, biomassa dan produktivitas tidak mengalami perubahan
5,5 – 5,9
Kelimpahan total, biomassa dan produktivitas masih belum mengalami perubahan berarti
Alga hijau berfilamen mulai nampak pada zona litoral
Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan bentos semakin besar
5,0 – 5,4
Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos
Alga hijau berfilamen semakin banyak
Proses nitrifikasi terhambat
4,5 – 4,9
Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan bentos semakin besar
Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos
Alga hijau berfilamen semakin banyak
Proses nitrifikasi terhambat Sumber: Baker dkk., (1990) dalam Nuraini (2005)
I. Nitrogen
Nitrogen menjadi salah satu unsur yang menarik banyak ilmuwan
lingkungan karena peranannya yang penting, baik di atmosfer maupun dalam
siklus kehidupan organisme, baik hewan maupun tumbuhan. Kompleksitas kimia
nitrogen dikarenakan sebagian tahap siklus nitrogen berada dalam siklus hidup
organisme. Bahkan siklus nitrogen yang teroksidasi oleh bakteri dapat bersifat
positif maupun negatif, tergantung pada kondisi lingkungan bakteri tersebut,
Weitzel (1979) menyatakan bahwa nitrogen merupakan salah satu unsur
penting dalam pembentukan protein dan pertumbuhan organisme. Nitrogen di
perairan terdapat dalam bentuk senyawa anorganik dan organik. Senyawa
anorganik meliputi nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan amonia (NH3) (Widdyastuti,
2011).
Nitrogen dapat terlarut pada perairan dalam bentuk nitrogen organik
(biasanya berasal dari limbah domestik), ammonia atau garam ammonium selain
dalam bentuk nitrit dan nitrat. Tingkat kandungan nitrogen selain dapat
mempengaruhi produktivitas primer juga dapat dijadikan parameter terjadinya
pencemaran oleh limbah organik (Wibowo, 2004).
Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar nitrat di perairan tidak tercemar
biasanya lebih tinggi daripada kadar amonia. Nitrat merupakan nutrien utama bagi
pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat bersifat stabil dan mudah larut. Nitrat
umumnya terdapat dalam jumlah yang banyak di perairan. Kisaran nitrat yang
baik untuk pertumbuhan perifiton antara 0,01 – 5 mg/l. Batas toleransi perifiton
terhadap kandungan amonia di perairan adalah < 0,2 mg/l (Widdyastuti, 2011).
Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di perairan karena
bersifat tidak stabil terhadap keberadaan oksigen (Effendi, 2003).
J. Fosfor
Widdyastuti (2011) menyatakan bahwa fosfor tidak selalu terdapat melimpah di perairan, tetapi dibutuhkan untuk pertumbuhan organisme walaupun dalam jumlah sedikit. Fosfor yang masuk ke perairan berasal dari pelapukan tanah dan batu, hasil dari siklus fosfor (organisme yang mati) dan fosfor yang sudah terlarut di perairan itu sendiri. Fosfor tersebut baru bisa dimanfaatkan oleh fitoplankton maupun tumbuhan air yang lain setelah diubah menjadi ion ortofosfat atau fosfat organik dengan bantuan bakteri (Wibowo, 2004).
Fosfor yang terdapat di air berasal dari dekomposisi organisme yang telah mati. Senyawa fosfat dapat berasal dari proses erosi tanah, buangan dari hewan dan pelapukan tumbuhan serta limbah industri, pertanian dan domestik. Keberadaan fosfat di air dikendalikan oleh proses biologi dan fisika yaitu pemanfaatan oleh fitoplankton maupun pergerakkan massa air. Kandungan fosfat akan meningkat dengan meningkatnya kedalaman (Nuraini, 2005).