• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN SUSTER MEDIOR PUTERI BUNDA HATI KUDUS DAERAH MALUKU DALAM BIDANG KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGEMBANGAN SUSTER MEDIOR PUTERI BUNDA HATI KUDUS DAERAH MALUKU DALAM BIDANG KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF SKRIPSI"

Copied!
312
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN SUSTER MEDIOR

PUTERI BUNDA HATI KUDUS DAERAH MALUKU

DALAM BIDANG KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Damiana Maria Farneubun NIM: 021124020

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

(2)
(3)
(4)

PERSEMBAHAN

SKRIPSI ini dipersembahkan kepada:

Kongregasi Putri Bunda Hati Kudus (PBHK), orang tua, kaum kerabat, sahabat dan rekan- rekan seperjuangan dan Komunitas Studi Deresan –Yogyakarta.

(5)

MOTTO

”Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab jutru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna; ... aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun

menaungi aku” ( 2 Kor 12 : 9 )

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 29 September 2008 Penulis,

Damiana Maria Farneubun

(7)

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah PENGEMBANGAN SUSTER MEDIOR PUTERI BUNDA HATI KUDUS DAERAH MALUKU DALAM BIDANG KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF. Judul ini dipilih berdasarkan kenyataan bahwa kepemimpinan memegang peranan penting dalam hidup bakti religius, dimana karya perutusan tarekat membutuhkan tenaga yang berkualitas secara khusus figur pemimpin yang tranformatif, pemimpin yang berlandaskan iman dan tradisi Gereja diharapkan tetap setia kepada tugas pokok dan tak berubah, yaitu pembawa otoritas Kristus yang melayani (1Tim 3 :13 ; Kol 3 :17). Berdasarkan pengamatan bahkan pengalaman penulis sebagai suster medior, pengembangan suster medior PBHK Daerah Maluku dalam berbagai bidang sangat minim, dimana program pembinaan lanjut juga kurang serius diupayakan termasuk yang menyangkut bidang kepemimpinan transformatif, padahal para suster medior sebagai anggota tarekat terbanyak dan tenaga produktif yang memegang peran penting dalam kepemimpinan maupun karya kerasulan perlu dipersiapkan dalam berbagai hal demi perkembangan pribadi mereka maupun tarekat.

Persoalan mendasar yang menjadi keprihatinan penulisan skripsi ini adalah bagaimana meningkatkan dan mengembangkan kualitas para suster medior dalam bidang kepemimpinan transformatif secara efektif guna melaksanakan karya kerasulan melalui tugas perutusan yang dipercayakan. Untuk itu penulis memikirkan sebuah upaya yang diharapkan cukup efektif bagi peningkatan dan pengembangan suster medior dalam bidang yang dimaksud di atas.

Untuk menanggapi persoalan tersebut, penulis menilai perlunya pengembangan spiritualitas kepemimpinan transformatif bagi para suster medior, terinspirasi dari nilai-nilai kepemimpinan yang ditawarkan oleh Injil. Untuk itu penulis melakukan studi pustaka, refleksi pribadi untuk menggali sekaligus mengembangkannya dalam penulisan ini. Ini semua dimaksudkan sebagai sumbangan pemikiran guna mengembangkan spiritualitas kepemimpinan transformatif para Suster Puteri Bunda Hati Kudus daerah Maluku dalam menghayati tugas perutusan tarekat.

Pada bagian akhir, penulis mengusulkan suatu model pembinaan kerohanian sebagai salah satu upaya mengembangkan spiritualitas kepemimpinan transformatif dalam bentuk rekoleksi. Program rekoleksi dimaksud sebagai salah satu bagian dari pembinaan lanjut ( on going formation ) para suster medior PBHK Daerah Maluku. Program pembinaan kerohanian tersebut bertujuan mengembangkan spiritualitas kepemimpinan transformatif demi terwujudnya kedewasaan rohani dalam kehidupan komunitas dan tugas perutusan yang dipercayakan serta demi perkembangan PBHK Daerah Maluku, di tengah jaman yang semakin berubah ini.

(8)

ABSTRACT

The title of this paper is ‘’THE DEVELOPMENT OF THE MIDIOR NUNS OF THE DAUGHTERS OF OUR LADY OF THE SACRED HEART IN MALUCCAS IN THE FIELD OF THE TRANSFORMATIF LEADERSHIP’’. This title is chosen based on the fact that the leadership has an important role in religious life, in which the apostolic mission needs the quality of the human resources, especially the transformative leader figure, the leader in accordance to the faith and the tradition of the catholic church, namely the holder of the authority of Jesus Christ, who serves (1Tim 3 : 13; Kol 3 : 17). Based on the observation, and even the experience of the writer herself as a medior nuns, the development of the medior nuns of the DOLSH Congregation in Maluccas in many fields are so minimum, in which the on going formation program is not yet taken seriously, including the transformative leadership. Morever the medior nuns are biggest in number in the congregation and be productive resources who hold important roles in the leadership and apostolate, and for this purpose they have to be prepared for many things for their individual growth and congregation it self.

The main concern of the writer in this paper is how to effectively upgrade and develop the quality of the medior nuns in the field of the transformative leadership for being able to carry out the apostolic work entrusted by the congregation. For this concern, the writer tried to think on an effort to upgrade and develop the medior nuns in the purpose above.

To fulfill the task above, the writer thinks on the importance of developing the spirituality of the transformative leadership for the medior nuns, inspired by the leadership values of the Gospel by studied on the literatures and personal reflections to dig down and at the same to develop it in this paper. It is meant as a contribution to develop spirituality of the transformative leadership for the nuns of the Daughters of Our Lady of the Sacred Heart in Maluccas in order to carry out the missionary work of the congregation.

On the last part of this paper, the writer suggests a religious formation model as an effort to develop the spirituality of the transformative leadership in a form of recollections. Recollection program is meant as a part of the on going formation for the DOLSH Medior nuns in Maluccas. The Religious formation is meant to develop spirituality of the transformative leadership for spiritual maturity in the community life and for the missionary work entrusted and for the development of the DOLSH in Maluccas, in the changing era nowadays.

(9)
(10)

KATA PENGANTAR

Pujian dan syukur kehadirat Allah yang Maha Kasih, atas segala berkat dan bimbingan tangan kasih-Nya yang penulis alami selama penulisan dan penyelesaian skripsi yang berjudul PENGEMBANGAN SUSTER MEDIOR PBHK DAERAH MALUKU DALAM BIDANG KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF.

Skripsi ini diilhami oleh pengalaman penulis sebagai suster medior PBHK Daerah Maluku yang mejalani tugas perutusan studi, dimana pengembangan dan pembinaan para suster medior kurang serius diupayakan. Oleh karena itu penyusunan skripsi ini dimaksud sebagai sumbangan pemikiran sekaligus salah satu upaya mengembangkan spiritualitas kepemimpinan transformatif bagi para suster medior PBHK Daerah Maluku.

Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari campur tangan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Segala bantuan yang diterima merupakan rahmat dan anugerah Allah yang memampukan penulis melihat dan mengalami kasih allah dan semakin dekat dan setia menjalankan panggilan dan perutusan sebagai religius PBHK. Pada kesempatan ini, penulis dengan penuh ketulusan hati menghaturkan limpah terima kasih kepada :

1. Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ. selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan perhatian dan meluangkan waktu dengan sabar membimbing,

(11)

mengarahkan, memberi masukan serta memberi inspirasi kepada penulis pemahaman yang mendalam dalam penulisan skripsi ini.

2. Drs. Y.a.C. H. Mardiraharjo, selaku pembimbing kedua dan sekaligus sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing, memberikan semangat baru bagi penulis sehingga penulisan ini dapat terselesaikan dan berkenan menguji skripsi ini.

3. P. Banyu Dewa H.S., S.Ag., M. Si., selaku pembimbing ketiga yang telah membimbing, memberikan semangat baru, serta masukan-masukan yang berarti bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dan berkenan menguji tulisan ini.

4. Bapak-Ibu dosen dan staf prodi IPPAK Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik, membimbing dan mendampingi dengan setia dan menjadi rekan selama penulis menjalankan studi di IPPAK-FKIP-USD Yogyakarta. 5. Suster M. Madeleine Y. PBHK selaku Provinsial PBHK Provinsi Indonesia

dan Para Dewan yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk memperkembangkan pengetahuan, kepribadian, kerohanian dan ketrampilan selama menyelesaikan tugas belajar sebagai tugas perutusan.

6. Sr. M. Regina Tauwurutubun, PBHK selaku Supda Maluku, dan Sr. M. Christien S, PBHK selaku Supda Jawa dan Para Dewan yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Sr. M. Gaudentia PBHK selaku Pemimpin Komunitas dan rekan - rekan seperjuangan di komunitas studi Deresan Yogyakarta yang memberikan

(12)

dukungan doa dan perhatian, motivasi dan persaudaraan sehingga penulis terbantu menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Kedua orang tua, kakak dan adik, kaum kerabat yang setia mendukung dengan doa, memberi semangat cinta dan perhatian selama menempu studi baik secara material maupun spiritual.

9. Rekan-rekan seangkatan yang bersama mengalami jatuh bangun, suka duka selama menjalani tugas belajar pada Prodi IPPAK-FKIP-USD Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Karena itu dengan senang hati dan penuh keterbukaan penulis menerima segala kritik dan saran demi penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut. Penulis berharap semoga skripsi ini menjadi sumbangan pemikiran bagi siapa saja yang merasa terbuka akan pengembangan spiritualitas kepemimpinan transformatif dan bermanfaat bagi suster Puteri Bunda Hati Kudus khususnya para pembina suster medior PBHK Daerah Maluku yang terpanggil untuk mendampingi para suster medior sehingga mereka semakin mampu mewartakan cinta Hati Kudus dan Bunda Hati Kudus dalam karya kerasulan tarekat serta kehidupan komunitas.

Yogyakarta, 29 September 2008

Penulis

Damiana Maria Farneuubun

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan Skripsi ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 13

C. Tujuan Penulisan ... 13

D. Metode Penulisan ... 14

E. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II GAMBARAN UMUM HIDUP RELIGIUS DAN KEPEMIMPINAN RELIGIUS DALAM GEREJA ... 16

A. Vita Consecrata : Sebuah Perjalanan Hidup Dalam Kasih Tuhan ... 16

1. Vita Consecrata Sebagai Panggilan Tuhan ... 17

2. Profesi dalam Hidup Religius Sebagai Penyerahan Diri ... 19

3. Profesi dan Tantangannya Dalam Jaman Sekarang ... 21

(14)

a. Kaul Kemurnian ... 21

b. Kaul Kemiskinan ... 23

c. Kaul Ketaatan ... 26

4. Menghayati Profesi Religius Dalam Terang Tuhan ... 30

5. Hidup Berprofesi Religius Berarti Hidup yang Disucikan Demi Allah ... 31

B. Kedudukan Kaum Religius Dalam Gereja Menurut Hukum Gereja .. 32

1. Kedudukan Khusus Dalam Gereja ... 32

2. Profesi Sebagai Kekhasan Religius ... 33

3. Anugerah Yang Berbeda-beda ... 37

4. Perlunya Pembaharuan dalam Hidup Religius ... 40

C. Profil Kepemimpinan Dalam Lembaga Hidup Bakti ( Kan. 618 – 619 ) 42 1. Profil Pemimpin Dalam Lembaga Hidup Bakti ... 43

2. Yang Harus Dilaksanakan ... 49

BAB III SUSTER MEDIOR PBHK DAERAH MALUKU DAN KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF ... 53

A. Suster Medior PBHK Daerah Maluku ... 54

1. Nama dan Pendiri Tarekat ... 54

2. Karisma, Spiritualitas dan Tugas Perutusan Tarekat ... 57

3. Visi dan Misi tarekat ... 61

a. Visi Tarekat ... 61

b. Misi Tarekat ... 62

4. Ciri Khas dan Cara Hidup PBHK ... 65

5. Karya Kerasulan PBHK ... 69

a. Karya Pendidikan ... 70

b. Karya Kesehatan ... 71

c. Karya Sosial ... 71

d. Karya Pastoral ... 72

(15)

6. Profil Suster Medior ... 73

a. Situasi dan Pemasalahan Hidup Religius Jaman Sekarang ... 74

b. Mengapa Para Religius memerlukan Bina lanjut ... 76

c. Makna Pembinaan dan Bina Lanjut Para Religius ... 81

d. Profil Suster Medior PBHK ... 84

B. Kepemimpinan Transformatif ... 92

1. Spiritualitas Kepemimpinan Transformatif ... 94

a. Kepemimpinan Sebagai Gembala ... 94

b. Kepemimpinan Sebagai pelayan ... 96

c. Kepemimpinan Sebagai Pengurus Rumah Tangga ... 97

d. Pelayanan paulus Sebagai Teladan Kepemimpinan... 100

2. Makna dan Arah Kepemimpinan transformatif ... 105

a. Kemampuan Dasar Kepemimpinan Transformatif ... 108

b. Model-Model Kepemimpinan Yang baik ... 110

c. Fungsi Kepemimpinan Secara Umum ... 113

3. Memimpin Seperti Yesus Suatu Perjalanan Kepemimpinan Transformatif ... 115

a. Memimpin Seperti Yesus Model Kepemimpinan Transformasi ... 115

1) Kepemimpinan Personal ... 116

2) Kepemimpinan Satu Lawan Satu ... 121

3) Kepemimpinan Tim/Keluarga ... 123

4) Kepemimpinan Organisasi/Komunitas ... 123

b. Belajar dan Menginternalisasi Empat Ranah Kepemimpinan 127

1) Empat Ranah Memimpin Seperti Yesus ... 127

a) Hati ... 128

b) Kepala ... 129

c) Tangan ... 129

d) Kebiasaan ... 130

(16)

2) Belajar dan Menginternalisasi Ranah kepemimpinan... 131

a) Hati Seorang Pemimpin Pelayan... 131

b) Kepala Seorang Pemimpin Pelayan ... 142

c) Tangan Seorang Pemimpin Pelayan... 153

d) Kebiasaan Seorang Pemimpin Pelayan... 164

BAB IV SUMBANGAN PEMIKIRAN PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF SUSTER MEDIOR PBHK DAERAH MALUKU MELALUI REKOLEKSI ... 192

A. Rekoleksi dan Katekese Sebagai Upaya Pengembangan Spiritualitas Kepemimpinan Transformatif... 194

1. Rekoleksi Sebagai salah Satu Alternatif Memelihara, Mengembangkan, Memperdalam Hidup Rohani dan Meningkatkan Spiritualitas... 194

2. Katekese Sebagai Komunikasi Iman Dalam Penghayatan Karya Perutusan Gereja ... 195

a. Pengertian Katekese ... 197

b. Tujuan Katekese ... 199

c. Tugas katekese ... 204

d. Unsur-Unsur katekese ... 204

e. Isi Katekese ... 206

f. Metode Katekese ... 207

g. Sumber katekese ... 208

h. Proses Katekese ... 208

B. Usulan Program Rekoleksi sebagai Upaya Pembinaan Lanjut dalam Pengembangan Suster Medior PBHK Daerah Maluku Dalam Bidang Kepemimpinan Transformatif ... 209

1. Pengertian Program ... 209

2. Latar Belakang Penyusunan Program ... 209

3. Pemikiran Dasar Program ... 211

(17)

4. Tujuan Program ... 213

5. Isi Program ... 214

C. Upaya Pengembangan Suster Medior Dalam Bidang Kepemimpinan Transformatif Dalam Rekoleksi dan Katekese ... 216

1. Maksud dan Tujuan Program Rekoleksi ... 218

2. Penjabaran Tema dan Tujuan sebagai Materi Rekoleksi ... 218

3. Pedoman Pelaksanaan Program Rekoleksi ... 221

a. Jadwal Acara ... 222

b. Matriks Program Tahunan Rekoleksi On Going Formation Suster Medior PBHK Daerah Maluku 2009-2010 ... 225

c. Matriks Program Rekoleksi On Going Formation Suster Medior PBHK Daerah Maluku 28-29 Juni 2009 ... 234

4. Contoh Persiapan Materi Katekese Model Shared Chirstian Praxis 239 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 283

A. Kesimpulan ... 283

B. Saran ... 285

DAFTAR PUSTAKA ... 287

LAMPIRAN Lampiran 1 : Cerita ’’A Pencil In The Hand Of God’’ ... (1)

Lampiran 2 : Cerita ’’Kerohanian Sejati’’ ... (3)

(18)

DAFTTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Deoterokanonika, penerbit Lembaga Alkitab Indonesia, Ciluar – Bogor, terjemahan diterima dan diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia, Jakarta: 1987.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman tentang katekese masa, 16 Oktober 1979.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II tanggal 25 Januari 1983

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964.

PC : Perfectae Caritatis, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, 28 Oktober 1965

VC : Vita Consecrata, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Hidup Bakti bagi para religius, 25 Maret 1996.

(19)

C. Singkatan lain

ACTS : Adoratio Confession Thankgiving Supplication Ams : Kitab Amsal

Art : Artikel

DOLS : Daughthers of Our Lady of The Sacred Heart Ef : Surat Rasul Paulus kepada jemaat Efesus FDNSC : Filia Domina Nostra Sacro Corde

Flp : Surat Rasul Paulus kepada jemaat Filipi Gal : Surat Rasul Paulus kepada jemaat Galatia Hal : Halaman

Ibr : Surat kepada orang Ibrani Im : Kitab Imamat

Kis : Kisah Para Rasul

Konst. : Konstitusi Para Suster Puteri Bunda Hati Kudus Kol : Surat Rasul Paulus kepada jemaat Kolose

Kor : Surat Rasul Paulus kepada jemaat Korintus KWI : Konferensi Waligereja Indonesia

Luk : Injil Lukas Mat : Injil Matius

MSC : Missionarium Sacratisimum Cor Mrk : Injil Markus

Mzm : Kitab Mazmur

(20)

PBHK : Puteri Bumda Hati Kudus Pkh : Kitab Pengkhotbah

PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia Ptr : Surat Rasul Petrus

Raj : Kitab Raja - Raja

Rom : Surat Rasul Paulus kepada jemaat Roma SCP : Shared Christian Praxis

Taw : Kitab Tawarikh

Tim : Surat Rasul Paulus kepada Timotius Ul : Kitab Ulangan

Why : Kitab Wahyu Yoh : Injil Yohanes

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kepemimpinan dalam arti yang paling mendasar adalah masalah dan tugas setiap orang. Setiap orang suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, sadar atau tidak sadar, tentu harus menjalankan suatu kepemimpinan. Paling tidak, kepemimpinan itu adalah kepemimpinan atas diri sendiri. Demikianlah sebenarnya kepemimpinan pertama-tama tidak bersangkut paut dengan tokoh-tokoh tertentu tetapi berkaitan dengan masalah mengarahkan, membuat pilihan, dan mengambil keputusan. Setiap pemimpin tentu harus bisa mengarahkan yang dipimpin agar bisa mencapai tujuan yang ada. Maka pemimpin juga harus mampu membuat pilihan dan mengambil keputusan. Hal ini juga berlaku atas diri sendiri. Seseorang hanya bisa memimpin dengan baik bilamana ia sudah bisa memimpin dirinya sendiri. Bayangkan saja bila seorang pemimpin tidak pernah yakin dengan dirinya dan pendapatnya sendiri; pikiran dan keputusannya mudah sekali berubah dan tidak konsisten; maka dapat dipastikan kelompoknya akan kacau dan gagal mencapai tujuan kebersamaan mereka ( Martasudjita, 2001 : 11 ).

(22)

memiliki sikap dan ketrampilan khusus. Dengan demikian kepemimpinannya justru mewujudkan kepemimpinan Kristus dan Roh Kudus dalam diri mereka sendiri dan bukan menggantikan atau mewakili apalagi menyaingi. Diharapkan lewat kepemimpinannya, Kristus dan Roh Kudus sendiri yang semakin memimpin warga tarekat (Darminta, 2004:11). Supaya seorang pemimpin tidak menyaingi kepemimpinan Kristus dan Roh Kudus, dapat meneladan semangat Santo Paulus yang mengatakan: “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan “ (1Kor 3:6-7). Dengan mencontoh semangat Santo Paulus, seorang pemimpin akan berusaha sekuat tenaga, menggunakan segala bakat dan kertampilan manusiawi untuk mengembangkan serta memilih cara-cara kepemimpinan yang tepat. Kemudian menyerahkan kepada Tuhan dalam doa dan permohonan supaya Tuhan sendiri yang akhirnya memimpin menuju yang benar menurut kehendak-Nya (Darminta, 2004:11).

(23)

menuntut adanya wibawa yang tidak melulu karena jabatan tetapi terutama karena hidup yang sungguh berkualitas kristiani dan religius (Darminta, 2004:17). Ungkapan konkrit kepemimpinan dan pemerintahan membentuk pribadi seorang pemimpin. Sebaliknya, pribadi seorang pemimpin juga akan membentuk atau menciptakan gaya kepemimpinan dan pemerintahan. Bisa saja paham serta gaya kepemimpinan mengalami perubahan, namun tugas seorang pemimpin pada hakikatnya tetap sama. Pemimpin yang berlandaskan iman dan kerohanian Gereja diharapkan tetap setia kepada tugas pokok dan tak berubah, yaitu pembawa otoritas Kristus yang melayani (1Tim 3 :13 ; Kol 3 :17), (Darminta, 2004:20).

(24)

lagi menuntut suatu kekuasaan dan previlegi-previlegi tetapi sebagai otoritas dalam pelayanan yang terlaksana melalui kepemimpinan. Kesadaran seperti itu ternyata bersumber dari inspirasi Kitab Suci, yaitu bahwa Yesus datang untuk melayani bukan untuk dilayani (Mat 20:28), karena Aku berada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan (Luk 22:27). Kita yakin bahwa kepemimpinan sebagai pelayanan sungguh berasal dari Roh Kudus, karena itu membawa kita kembali kepada hidup Yesus dan sabda-sabda yang lama tertutup oleh corak hidup menggereja dan hidup religius yang terlalu institusional dan organisatoris (Darminta, 2004:22).

Dokumen Konsili Vatikan ke II dalam Perfectae Caritatis art. 2 menegaskan bahwa semua tarekat hendaklah ikut serta dalam kehidupan Gereja. Maka dengan mengindahkan coraknya sendiri hendaklah melibatkan diri dalam prakarsa-prakarsa serta rencana-rencana Gereja dan ikut mengembangkannya menurut kemampuannya, misalnya di bidang Kitab Suci, liturgi, teologi dogmatik, pastoral, ekumene, misioner dan sosial. Hendaknya tarekat-tarekat mengembangkan pada para anggotanya pengertian yang memadai tentang kenyataan orang-orang pada zamannya pun juga tentang kebutuhan–kebutuhan gereja : maksudnya supaya dengan demikian mereka mampu menilai dalam terang iman dan dengan bijaksana kenyataan dunia zaman sekarang, dan dikobarkan oleh semangat kerasulan mampu membantu orang-orang secara lebih tepat guna.

(25)

Maluku Tenggara. Tiap daerah memiliki kelompok-kelompok etnis dengan keunikan budayanya. Ini merupakan kekayaan sebagai pendukung terbentuknya PBHK Provinsi Indonesia, yang bersatu dalam keanekaragaman (Konst. no. 59).

Sebagai komunitas hidup bakti, PBHK Indonesia memiliki warisan Karisma dan Spiritualitas Hati dari Pendiri Pater Jules Chevalier. Inilah kekuatan yang menjiwai tiap anggota, untuk bersama Maria Bunda Hati Kudus, membantu umat manusia mengalami kasih Allah (Konst. no. 1-2). Panggilan hidup sebagai PBHK merupakan anugerah Allah, yang membawa kita semakin menemukan Hati Yesus sebagai pewahyuan kelembutan tak terbatas cinta kasih Allah, Bapa kita (Konst.no. 1).

(26)

Di Indonesia saat ini masih terjadi peristiwa-peristiwa yang sungguh dramatik. Arus globalisasi menawarkan kemudahan, kecepatan dan kenyamanan, namun sekaligus juga kecemasan, ketidak-amanan dan ancaman. Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan otonomi daerah, yang masih belum jelas aturan mainnya, memungkinkan gampang terjadinya penyalagunaan kekuasaan. PBHK Indonesia, saat ini menghadapi situasi masyarakat yang “Chaos”, terjadi krisis kepercayaan terhadap para pemimpin, menjerit karena dilecehkan martabatnya sebagai manusia serta mengalami penderitaan yang berkepanjangan.

Spiritualitas kepemimpinan yang digariskan dalam KHK berbunyi:

Para pemimpin hendaknya melaksanakan kuasa yang diterima dari Allah lewat pelayanan Gereja dalam semangat pengabdian. Maka dalam melaksanakan tugasnya hendaknya mereka peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya sebagai putera-puteri Allah, serta mengusahakan ketaatan sukarela mereka dengan menghargai pribadi manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta memajukan peranserta mereka demi kesejateraan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan dan memerintahkan apa yang harus dilaksanakan ( KHK. Kan 618 ).

(27)

Dari sini kita dapat melihat bahwa kalau kepemimpinannya itu diperoleh secara tidak wajar entah dengan memalsu kartu pemilihan atau manipulasi yang licik, maka dapatlah dipertanyakan bagaimanakah misi kepemimpinannya itu. Kepemimpinan religius mengemban tugas suci, tugas kesempurnaan dan tugas atau bahkan kewajiban yang semuanya harus bermuara ke kesucian. Kalau ada tindak jahat dengan pemalsuan atau manipulasi, sebenarnya pimpinan itu sudah tidak layak menduduki kursi kepemimpinan. Oleh karena itu nilai kepemimpinan religius sebenarnya terletak dalam kelayakan pimpinan itu melaksanakan tugas sucinya. Arah kepemimpinan religius yang hanya memikirkan masalah program ekonomi, sosial atau pembangunan gedung, rumah-rumah, lalu melupakan berbagai aspek kerohanian dalam hidup religius sendiri, kepemimpinan demikian itu sudah jauh dari yang dikehendaki oleh Allah. Sebab pemimpin religius mengemban tugas Allah sendiri, karena mandatnya berasal dari Allah, yang diterimanya melalui pelayanan Gereja.

(28)

dalam hidupnya, di dalam memimpin para religius lain yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin religius yang kehilangan kepekaan akan kehendak Allah, dapat dinilai sebagai pemimpin yang tidak layak lagi. Dalam sejarah ordo atau kongregasi religius, tidaklah mengherankan kalau ada pemimpin religius yang diturunkan dari jabatannya, atau yang diminta mengundurkan diri dari jabatan kepemimpinannya; atau mengundurkan diri karena merasa tidak layak lagi sebagai pemimpin religius. Justru ukuran kepekaan akan kehendak Allah ini sangat penting.

Hakekat Kepemimpinan Kristiani adalah kegembalaan dan kualifikasi Gembala yang baik dapat digali dari Yohanes 10:11-15 sebagai gambaran kepemimpinan kristiani yang ideal. Dengan demikian pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bersikap seperti “gembala” yang baik terhadap “domba-dombanya”, atau rakyat/umat/anak buah yang harus dilayaninya sedangkan yang berkaitan dengan teknik kepemimpinan bisa mengambil inspirasi dari Keluaran 18 :13-27. Nasihat mertua Musa yang menganjurkan kaderisasi dan pendelegasian wewenang demi tugas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pemimpin yang ditafsirkan dari Yohanes 10 : 11-15 adalah sebagai berikut :

Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Seorang upahan yang bukan gembala, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku, sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa (Yoh 10 : 11-15).

(29)

umat/anak buah yang dipimpin sehingga mereka merasa aman dalam pimpinannya. Dekat dengan umat/anak buah yang dipimpin karena bisa menyesuaikan diri dengan mereka, sehingga dicintai dan dipercaya oleh mereka. Dekat dengan Allah/Bapa karena senantiasa berhubungan dengan Allah, sehingga tindakan-tindakannya pun sesuai dengan kehendak Allah. Selain itu karena ia dekat dan mersa dikenal Allah, maka ia amat berani karena merasa selalu disertai Allah dalam tindakan-tindakan melayani umat/anak buah yang dipercayakan kepadanya.

Kepemimpinan kristiani yang efektif, seperti yang dilakukan Yesus sang Guru, selalu berusaha memberdayakan orang-orang untuk dapat menghidupi dan menghayati hidup yang dijanjikan Yesus itu sepenuhnya. Para pemimpin itu akan menunjukkan menurut aneka gaya dan cara mereka masing-masing lain, supaya dapat berkembang menuju kepenuhannya “menurut kepenuhan Kristus” (Ef 4:13). Seluruh hidup Yesus menunjukkan keprihatinan-Nya atas orang-orang lain. Bagi-Nya pribadi-pribadi selalu dinomor satukan. Sumber paling penting bagi seorang pemimpin ialah pribadi manusia. Tanpa orang/manusia sumber materiil ataupun keuangan tidak ada gunanya! Meskipun ada pabrik, mesin, aparat otomatis yang paling mutahir pun, seorang pemimpin yang baik akan memperhatikan sesama. Berbeda dengan sumber-sumber lainnya, manusia mempunyai kebutuhan, perasaan, ada yang disukai dan tidak disukai, dan dapat hanya memikirkan diri sendiri.

(30)

mengenal dirinya yang sebenarnya. Banyak pula orang yang menilai dirinya secara negatif, mungkin karena pengalaman-pengalaman yang negatif. Pengenalan diri yang negatif menimbulkan kecenderungan mengambil keputusan yang negatif dan merugikan keputusan. Sesungguhnya kita dipanggil untuk mengembangkan diri, bukan untuk mengurangi diri, yang justru merugikan orang lain, yang sebenarnya dapat dan harus kita tolong (Manuskrip, September 2006).

Kapitel Umum PBHK dalam pernyataan kapitel tentang Jati diri dan Misi PBHK mengakui bahwa sebagai Puteri-puteri Bunda Hati Kudus, para suster mengakui diri sering gagal menghayati kharisma cinta kasih dalam komunitas dan karya-karya kerasulan tarekat (Kapitel Provinsi I PBHK, 1998; hal.3). Dalam kapitel ini dikemukakan bahwa cukup banyak suster belum memiliki kesadaran yang jelas mengenai identitas dirinya sebagai PBHK, arti spiritualitas hati dan panggilan PBHK di tengah masyarakat. Spiritualitas hati masih belum menjadi milik yang kuat dalam diri para suster PBHK (Kapitel Provinsi II, 2004: hal. 29).

(31)

yang muda dan potensial sudah banyak, ia tak mau mundur. Alasannya, Tanpa saya karya ini akan mati. Yang muda belum mempunyai pengalaman dan belum siap. Provinsial tidak berani memundurkan dia, entah karena budaya pekewuh (enggan atau tidak enak), atau karena takut saja. Kadang-kadang ada yang berucap ’Hanya Tuhan saja yang mampu memundurkan dia.’ Orang yang sedang memimpin dan tidak mau mundur entah apapun alasannya tentu memahami gambaran kepemimpinan yang salah. Mereka mengira bahwa sekai menjadi pemimpin tentunya juga harus terus menjadi pemimpin. Mereka beranggapan bahwa mereka memang dilahirkan untuk menjadi pemimpin dan akan bisa terus memipin untuk segala macam kelompok dan segala macam situasi dan tantangan jaman. Pikiran seperti itu tentu tidak benar (Martasudjita, 2001 : 17-18 ).

(32)

oleh Injil. Menurut hati dan rohnya, kita harus mengembangkan spiritualitas kepemimpinan Injili (Martasudjita, 2001 : 19-20).

Daya hidup tarekat sangat tergantung dari pembinaan lanjut yang konsisten sesudah kaul kekal. Pada dasarnya suster sendiri bertanggung jawab atas pembinaan lanjutnya. Pada setiap tahap apostoliknya ia akan mengutamakan pengembangan hidup doa yang makin mendalam, suatu penghayatan kaul yang semakin mengakar, dan suatu keterlibatan semakin berkobar dalam tugas perutusan dalam Gereja… (Konst,1983:101). Suster medior diharapkan dapat diserahi tanggung jawab penuh dalam tugas perutusan membutuhkan pengembangan kepemimpinan transformatif sebagai pembinaan lanjut sebagai mana yang digariskan dalam konstitusi sebagai pedoman hidup religius. Subyek Pembinaan adalah individu pada setiap tahap hidupnya. Dan obyek pembinaan adalah seluruh pribadi yang diapnggil untuk mencari dan mengasihi Allah “dengan segenap hati, dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatannya” (Ul 6:5) dan sesama seperti dirinya sendiri (Im 19:18; Mat 22:37-39). Cinta akan Allah dan sesame itu kekuatan besar yang dapat mengilhami proses perkembangan dan kesetiaan (VC. 71).

(33)

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Kepemimpinan bagaimanakah yang harus dimiliki oleh para suster medior Puteri Bunda Hati Kudus Daerah Maluku demi efektivitas pelaksanaan karya perutusan tarekat ?

2. Apa makna kepemimpinan transformatif terhadap pelaksanaan karya perutusan tarekat ?

3. Bagaimana cara mengembangkan kepemimpinan transformatif para suster medior demi efektivitas pelaksanaan karya perutusan tarekat ?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Menjelaskan Kepemimpinan yang harus dimiliki para suster medior PBHK Daerah Maluku demi efektivitas pelaksanaan karya perutusan tarekat.

2. Menjelaskan makna kepemimpinan transformatif terhadap pelaksanaan karya perutusan tarekat.

3. Menjelaskan cara mengembangkan kepemimpinan transformatif para suster medior demi efektivitas pelaksanaan karya perutusan tarekat.

(34)

D. METODE PENULISAN

Metode penulisan yang digunakan ini adalah metode deskriptif analitis dengan memanfaatkan studi pustaka sebagai kajian teori, berkaitan dengan pengembangan kepemimpinan transformatif yang menyangkut spiritualitas, pengetahuan dan kertampilan. Untuk melengkapi itu, penulis juga melakukan refleksi pribadi dalam upaya memikirkan pengembangannya.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Bab I menguraikan pendahuluan yang berisi gambaran umum penulisan yang terdiri dari latar belakang penulisan skripsi, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II berbicara tentang gambaran umum Hidup Religius dan Kepemimpinan Religius dalam Gereja. Hidup Religius dalam Gereja meliputi : Vita Consecrata: sebuah perjalanan hidup dalam kasih Tuhan; Kedudukan Religius dalam Gereja menurut Hukum Gereja; Profil Kepemimpinan dalam Lembaga Hidup Bakti (Kanon 618-619).

(35)

Yesus Suatu Perjalanan Kepemimpinan Transformatif yang terdiri dari: Memimpin Seperti Yesus Model Kepemimpinan Transformasi dan Belajar Menginternalisasi Empat Ranah Kepemimpinan.

Bab IV memberikan sumbangan pemikiran pengembangan spiritualitas kepemimpinan transformatif suster medior Puteri Bunda Hati Kudus Daerah Maluku melalui rekoleksi, maka pada bab IV ini akan dipaparkan: Rekoleksi dan katekese sebagai upaya pengembangan spiritualitas kepemimpinan transformatif yang terdiri dari Rekoleksi sebagai salah satu alternatif memelihara, mengembangkan, memperdalam hidup rohani dan meningkatkan spiritualitas dan Katekese sebagai komunikasi iman dalam keseluruhan karya perutusan Gereja: pengertian katekese, tujuan katekese, tugas katekese, unsur-unsur katekese, isi katekese, metode katekese, sumber katekese, proses katekese; Usulan program rekoleksi sebagai upaya pembinaan lanjut pengembangan suster medior PBHK yang meliputi: pengertian program, latar belakang penyusunan program, pemikiran dasar, tujuan program, dan isi program; Upaya pengembangan dalam rekoleksi: maksud dan tujuan program rekoleksi, Penjabaran tema dan tujuan sebagai materi rekoleksi, pedoman pelaksanaan program dan contoh satuan persiapan katekese.

(36)

BAB II

GAMBARAN UMUM HIDUP RELIGIUS DAN

KEPEMIMPINAN RELIGIUS DALAM GEREJA

A. VITA CONSECRATA: SEBUAH PERJALANAN HIDUP DALAM

KASIH TUHAN

Vita Consecrata berarti hidup yang disucikan, hidup yang dibaktikan kepada Allah. Allah memanggil manusia, dan manusia menjawabnya, antara lain dengan cara yang khusus yakni memasuki cara hidup bakti. Hidup bakti merupakan salah satu cara dalam menanggapi panggilan Tuhan. Tuhan memanggil manusia agar bahagia dan manusia menjawabnya dengan penuh kasih, dengan cara meninggalkan segalanya, dan memulai hidup dalam pertobatan, hidup dalam biara.

Hidup bakti di satu pihak dapatlah diartikan sebagai hidup yang dibaktikan kepada Allah, dan Allah menerimanya dengan penyertaan dan bimbingan kasih-Nya serta Allah sendirilah yang menyucikanya. Hidup yang disucikan itu merupakan suatu hidup yang berjuang untuk mencari kesempurnaan dalam Tuhan.

(37)

1. Vita Consecrata sebagai Panggilan Tuhan

Kalau kita membuka Kitab Hukum Kanonik, Kan. 573 § 1 kita akan memperoleh suatu kekhasan hidup yang disucikan (hidup bakti) itu. Dalam kanon ini antara lain dikatakan : “Hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasehat-nasehat injili adalah bentuk kehidupan yang tetap dimana orang beriman dengan mengikuti Kristus secara lebih dekat dan atas dorongan Roh Kudus dipersembahkan secara lebih utuh kepada Allah yang paling dicintai, agar demi kehormatan bagi-Nya dan demi pembangunan Gereja serta keselamatan dunia, mereka dilengkapi dengan alasan baru dan khusus mengejar kesempurnaan cinta kasih dalam pelayanan Kerajaan Allah dan sebagai tanda unggul Gereja mewartakan kemuliaan surgawi”.

(38)

Hidup religius adalah hidup yang disucikan, dibaktikan atau dipersembahkan kepada Allah semata. Allah dipandang sebagai pusat dari seluruh hidup. Dialah yang penting melebihi segala yang ada di dunia ini. Hidup religius diharapkan merupakan bentuk yang tetap untuk mengikuti Kristus sebagai yang dicintai lebih dari segala sesuatu. Dan pernyataan itu ada di dalam profesi religius yang dihayati dalam kehidupan yang nyata di dunia.

Tujuan utama hidup religius adalah mengejar kesempurnaan. Dalam mengejar kesempurnaan itu, berbagai hal haruslah mendukung. Dukungan yang utama adalah kasih kepada Allah. Atau dengan kata lain, Allah kita cintai melebihi segala-galanya. Cinta kepada Allah diwujudkan antara lain dalam doa, ibadat, samadi dan menjadi lebih nyata lagi dalam kasih kepada sesama dalam hidup sehari-hari. Solider, memahami sesama, membantu sesama untuk mengejar kesempurnaan hidup. Hidup religius mendapat bentuknya di dalam hidup bersama yang tetap dalam tarekat. Dalam hidup bersama banyak hal terjadi. Namun yang utama adalah haruslah mengarahkan kepada Allah saja, sehingga Dialah tujuan hidup dan kasih kita kepada-Nya. Allah haruslah ditempatkan dalam yang utama (Sardi, 2008: 7).

(39)

dituntut juga untuk membahagiakan sesama, justru di dalam komunitas, dalam tarekat hal ini menjadi cita-cita yang mau diwujudnyatakan. Persoalannya ialah, mampukah kita untuk melaksanakan kehendak Allah yang luhur itu? Mampukah kita menghadapi berbagai tantangan, hambatan dan godaan, yang mau merusak tujuan mengejar kesempurnaan injili itu? Jawabannya jelas, kalau orang mau sunguh-sungguh mengutamakan Allah di atas segalanya (Sardi, 2008:8).

2. Profesi Dalam Hidup Religius Sebagai Penyerahan diri

Dalam Perfectae Caritatis no. 5 antara lain dikatakan: para anggota tarekat manapun juga hendaknya mengingat bahwa mereka pertama-tama telah menanggapi panggilan Allah dengan memprofesikan (mengikrarkan) nasehat-nasehat Injil, sehingga mereka tidak hanya mati bagi dosa (Rom 6:11), melainkan dengan mengingkari dunia dan hidup bagi Allah semata-mata. Sebab seluruh hidup telah mereka baktikan untuk mengabdi kepada-Nya. Dan itu merupakan suatu penyucian istimewa yang secara mendalam berakar dalam pengudusan baptis dan mengungkapkannya secara lebih utuh. Pengabdian kepada Allah itu harus kuat-kuat mendorong mereka untuk mengamalkan keutamaan-keutamaan dan mengembangkannya terutama kerendahan hati dan ketaatan, kekuatan dan kemurnian yang berarti keikutsertaan mereka dalam pengosongan diri Kristus (Flp 2:7-8) pun juga dalam kehidupan-Nya dalam Roh (Rom 8:1-13).

(40)

satu-satunya yang perlu (Luk10:42; Mat 19:21), seraya mendengarkan sabda-Nya (Luk 10:39) dan memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan (1 Kor 7:32).

Maka para anggota religius setiap tarekat hendaklah mencari Allah satu-satunya dan di atas segalanya. Mereka wajib memadukan kontemplasi yang membuat mereka berpaut pada-Nya dengan budi dan hati, dengan cinta kasih kerasulan yang menjiwai usaha, dengan cinta kasih kerasulan yang menjiwai usaha mereka menggabungkan diri pada karya penebusan dan menyebarluaskan Kerajaan Allah.”

(41)

3. Profesi dan Tantangannya dalam Zaman Sekarang

Konsili Vatikan II dalam Perfectae Caritatis dengan jelas memberi petunjuk mengenai profesi religius yakni kemurnian, kemiskinan dan ketatan. Semuanya itu diarahkan demi kerajaan surga dan demi kebahagiaan. Penghayatan kaul-kaul injili dalam kehidupan religius merupakan salah satu sarana dan bentuk konkret untuk memperkembangkan “kesucian’ yaitu persatuan sempurna dengan Kristus (LG 50 art.1-2). Ketiga nasehat injili merupakan sarana yang ditawarkan Kristus kepada manusia untuk mengikuti-Nya dengan cara yang khas, mengikatkan diri pada pribadi-Nya dan masuk pada tugas perutusan-Nya. Ambil bagian dalam hidup Kristus merupakan norma terakhir hidup religius (PC. 2).

Kaul religius merupakan anugerah untuk menjadi sarana agar manusia dapat memberikan dirinya dengan kebebasan seperti Kristus memberikan diri kepada Gereja dan manusia (ET,7) dengan demikian diakui bahwa hidup religius yang ditandai dengan kaul mempunyai dimensi teosentris, karena hidup berpusatkan pada kepentingan Allah. Kristosentris, karena religius mengambil bagian pada hidup Kristus yang manusiawi, Gerejani karena untuk tugas-tugas gerejawi dan sosial, karena untuk pengabdian kepada umat manusia (Darminta, 1981:13-14).

a. Kaul Kemurnian

Kitab Hukum Kanonik berbicara mengenai kemurnian injili sebagai berikut: Nasehat injili kemurnian yang diterima demi kerajaan Allah, yang menjadi tanda dunia yang akan datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi, membawa serta kewajiban bertarak sempurna dalam selibat (KHK 1985 kan. 599).

Konsili Vatikan menguraikan dan menjelaskan tentang kemurnian religius sebagai berikut :

(42)

amat khas harta surgawi dan upaya yang sangat cocok bagi para religius untuk dengan gembira hati membaktikan diri bagi pengabdian kepada Allah serta karya-karya kerasulan. Begitulah mereka mengingatkan semua orang beriman kristiani akan pernikahan mengagumkan, yang diadakan oleh Allah dan di zaman mendatang akan ditampilkan sepenuhnya antara Gereja dan Kristus Mempelainya yang tunggal (PC art 12).

Memilih dan mencintai Yesus secara radikal berarti menyerahkan diri secara total kepada Tuhan tanpa lepas dari rasa hormat terhadap hidup seksualitas dengan segala kedalaman artinya. Dapat dikatakan bahwa kaul kemurnian merupakan jalan yang menuju ke kepenuhan pribadi, menjadi pribadi yang integral matang menuntut kepribadian yang direfelasikan dalam inkarnasi Kristus (Darminta, 1981: 26).

(43)

aman bila hidup bersama diliputi kasih persaudaraan antara para anggota. Penghayatan pengendalian diri yang sempurna menyentuh kecondongan-kecondongan kodrat manusia secara mendalam (PC. 12).

Kemurnian merupakan istilah yang lebih luas, lebih tepat sebenarnya adalah hidup wadat, tidak menikah. Hidup wadat para religius itu luhur dan dipandang sebagai karunia (LG. 42; PC. 14) dan demi kerajaan Allah. Hidup wadat ada hubungannya yang erat sekali dengan kasih yakni kasih pada Allah setuntas-tuntasnya. Ada tiga tingkat kasih: eros : kasih yang ada hubungannya dengan nafsu (seksual); filial : kasih yang berdasarkan pada fungsinya; agape : kasih murni tanpa mengharapkan balasan dikasihi.

Bahaya yang mengancam kaul kemurnian selalu saja ada, datang dan pergi silih berganti. Dengan kaul kemurnian tidaklah dimatikan seksualitas itu. Dan kaul kemurnian tidak mengijinkan adanya penghayatan seksualitas (eros) seperti orang biasa yang hidup berkeluarga. Karena itu ada bahayannya juga, misalnya : hubungan yang intim tanpa reserve dengan sesama atau lain jenis, mencintai binatang melebihi sesama religius, suka anak-anak - pedofili; kekurang matangan dalam psikologis-fisik lalu mencari kepuasan diri, mencari pornografi (gambar atau film) berlaku kejam terhadap sesama religius dll (Sardi, 2008 : 15).

b. Kaul Kemiskinan

(44)

Dengan nasehat injili kemiskinan orang mengikuti jejak Kristus yang meskipun kaya menjadi miskin demi kita. Nasehat injili kemiskinan berarti hidup miskin dalam kenyataan dan dalam semangat yang harus dihayati tanpa kenal lelah dalam kesederhanaan dan jauh dan kekayaan duniawi. Disamping itu membawa serta penentuan harta benda menurut peraruran masing-masing lembaga (KHK 1985 kan. 600).

Menghayati kemiskinan bukan berarti harus hidup miskin. Namun kemiskinan yang dimaksud yaitu semakin menyadari keterikatan dan ketergantungan pada cinta Allah. Dengan semakin menghayati kemiskinan injili berarti menjadi saksi atas nilai-nilai batin yang kita temukan dalam hubungan cinta dengan Kristus yaitu iman, harapan dan cinta kasih yang kita miliki dalam Kristus (Ridick, 1987: 31).

Sebagaimana ditegaskan dalam Dokumen Konsili Vatikan II yang mengartikan kemiskinan sebagai berikut:

Kemiskinan sukarela untuk mengikuti Kristus merupakan tandanya, yang terutama sekarang ini sangat dihargai. Hendaknya kemiskinan itu dihayati dengan tekun oleh para religius, dan bila perlu diungkapkan juga dalam bentuk-bentuk yang baru. Dengan demikian para religius ikut serta menghayati kemiskinan Kristus, yang demi kita telah menjadi miskin sedangkan Ia kaya, supaya karena kemiskinan-Nya itu kita menjadi kaya (PC art 13).

(45)

dalam ikut ambil bagian misteri salib Kristus dan dalam kesetiaan kepada tindakan Roh Kudus (Darminta, 1981:42-43).

Dengan kemiskinan para religius hendak meneladan Yesus yang miskin, mengalami kebebasan batin dan bebas dari kelekatan dan harta milik. Dengan mengikrarkan kaul kemiskinan para religius dapat memusatkan seluruh perhatian pada Tuhan tanpa memperhitungkan kedudukan, gengsi serta kekuasaan. Adapun mengenai kemiskinan religius tidak cukuplah bahwa dalam menggunakan harta benda para anggota mematuhi para pemimpin. Melainkan mereka wajib menjadi miskin harta dan miskin dalam roh, karena menaruh harta kekayaan mereka di surga (Mat 6:20).

Hendaknya dalam tugas mereka masing-masing para anggota merasa diri terikat pada keharusan umum untuk bekerja. Sambil memperoleh rejeki yang diperlukan bagi kehidupan dan karya-karya mereka. Hendaknya mereka mengesampingkan segala keprihatinan yang tidak wajar, dan mempercayakan diri kepada penyelenggaraan Bapa di surga (Mat 6:25).

Menjadi religius yang miskin berarti kita hanya mengandalkan diri pada Allah saja. Allah dijadikan jaminan hidupnya. Allah dijadikan andalan hidup. Dan hanya pada Allah sajalah segalanya mendapat kepenuhan. Segala yang dimiliki hanyalah sarana saja dan bukan tujuan akhir. Maka itu kekayaan atau harta yang ada haruslah dimanfaatkan demi tercapainya tujuan pengandalan diri pada Allah.

(46)

yang digunakan saja (ad usum) dan bukan dimiliki. Kita di dunia ini bukanlah pemilik tetapi hanya memanfaatkan saja sebagai sarana untuk sampai pada penyerahan diri pada Allah semata (Sardi, 2008:18).

c. Kaul Ketaatan

Konsili Vatikan II dalam dekritnya mengenai pembaharuan dan penyesuaian hidup religius (PC) memberikan garis besar untuk unsur-unsur hakiki tentang ketaatan injili sebagai berikut:

Dengan kaul ketaatan biarawan-biarawati menyerahkan diri kepada Allah kehendaknya sendiri secara penuh sebagai korban. Lewat ketaatan itu mereka dipersatukan lebih teguh dan lebih pasti pada kehendak ilahi yang menyelamatkan. Maka sesuai teladan Kristus, yang datang untuk melakukan kehendak Bapa dan yang menerima rupa hamba serta belajar taat melalui penderitaan-Nya, biarawan-biarawati, terdorong oleh Roh Kudus, menaklukan dirinya dalam iman kepada pemimpin, yang menggantikan Allah. Dengan perantaraan mereka, biarawan-biarawati diantar untuk melayani semua saudara-saudari dalam Kristus, sebagaimana Kristus melayani saudara-saudari karena ketaatan-Nya kepada Bapa dan menyerahkan nyawa-Nya untuk menebus banyak orang. Begitu mereka terikat lebih erat kepada pelayanan Gereja dan berusaha mencapai taraf kedewasaan kepenuhan kemanusiaan di dalam Kristus (PC atr. 14 : 258). Dengan demikian ketaatan dimengerti sebagai suatu penyerahan diri kepada Allah lewat pemimpin yang menggantikannya. Persembahan kebebasan pribadi dan mengikat diri pada Kristus untuk ikut ambil bagian dalam karya keselamatan yang ditawarkan oleh Kristus sendiri. Sebagaimana ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik :

(47)

terhadap pemimpin-pemimpin yang sah, selaku wakil Allah, bila mereka memerintahkan sesuatu seturut konstitusi masing-masing (Kan 601).

Dilihat dari konteks sejarah keselamatan "ketaatan" merupakan suatu realitas teologis, sebab cinta sendiri merupakan keutamaan teologal. Yesus menyelamatkan manusia dengan taat kepada Bapa, sebab pada dasarnya dosa berarti tidak taat kepada Allah (Ensiklopedi Gereja I : 260).

Ketaatan merupakan suatu percobaan dan perjuangan (Mrk 14: 32-39). Bahkan ketaatan menuntut pengorbanan dan derita untuk mencapai kesempurnaan. Ketaatan merupakan penyerahan mutlak kepada Allah (Ibr 5:7-9). Ketaatan berarti meninggalkan diri dan mengosongkan diri untuk mencapai dan ikut ambil bagian dalam hidup orang yang dicintai, sampai pada titik kematian. Dengan ketaatan merupakan jalan ke kemuliaan (Fil 2:5-9).

Ketaatan merupakan ciri dari seluruh hidup Yesus. Yesus yang taat kepada mereka dan Dia meninggalkan orang tua-Nya untuk pergi ke Kenisah, karena Dia taat kepada Bapa-Nya (Luk 2:41-52). "Bukanlah kehendak-Ku yang kucari, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku" (Yoh 5:30). Maka ketaatan merupakan interioritas hidup Yesus. Dan ketaatan Yesus itulah yang menjadi model ketaatan religius (J. Darminta, 1981: 62).

(48)

alamiah serta kurnia-kurnia rahmat dalam menjalankan perintah-perintah dan menyelesaikan tugas-tugas yang diserahkan kepada mereka. Hendaknya mereka sadari, bahwa mereka sedang berkarya demi pembangunan Tubuh Kristus menurut rencana Allah.

Demikianlah ketaatan religius sama sekali tidak mengurangi martabat pribadi manusia, melainkan justru membawanya kepada kematangan karena dikembangkannya kebebasan putera-putera Allah (Sardi, 2008:20).

(49)

berwenang untuk mengambil keputusan dan memerintahkan apa yang harus dijalankan (Sardi, 2008: 22).

(50)

4. Menghayati Profesi Religius Dalam Terang Tuhan

Hidup religius haruslah dihayati dalam terang Tuhan. Sehari-hari dalam terang Tuhan berarti setiap hari hidup di hadirat Allah. Allah dijadikan satu-satunya andalan hidupnya. Dan Allah akan menjadi daya penerang yang menuntun hidup religius itu sendiri.

Semangat kebangkitan Tuhan, yakni Tuhan yang hidup dan tinggal di antara kita haruslah tetap menjadi semangat hidup, semangat untuk bersama di dalam komunitas. Kalau Tuhan hidup di dalam diriku, dalam dirimu dan dalam setiap orang, maka akan ada suatu respek, rasa hormat dan saling menghargai. Dasar ini harus tetap menjadi pedoman yang jelas, khususnya dalam menghayati bersama profesi religius. Hidup religius akan hancur khususnya dalam hidup berkomunitas bila tiada kesadaran yang matang akan kehadiran Allah di dalam sesamanya itu. Kalau kehadiran Allah tidak disadari ada di dalam setiap sesama religius dalam komunitas, maka akan muncul berbagai tindak yang mengarah ke kehancuran hidup berkomunitas.

(51)

5. Hidup Berprofesi Religius Berarti Hidup yang Disucikan Demi Allah

Dengan menjadi religius berarti hidup seseorang mau disucikan kepada Allah. Rahmat Baptisan dimahkotai dengan profesi ketiga nasehat Injili. Berarti orang yang bersangkutan diajak untuk hidup dalam hadirat Allah, dalam penyertaan Allah dan dalam kehendak Allah, yang merupakan satu-satunya jalan, harapan serta tujuan. Dengan berprofesi orang yang bersangkutan disucikan bagi Allah, dikhususkan bagi Allah. Karena dikhususkan kepada Allah, maka segala sikap dan tingkah lakunya, diharapkan akan mengikuti kehendak Allah juga. Yakni berani hidup dalam penyertaan Allah, kehadiran Allah dan dalam tangan Allah sendiri.

(52)

B. KEDUDUKAN KAUM RELIGIUS DALAM GEREJA MENURUT HUKUM

GEREJA

1. Kedudukan Khusus dalam Gereja

Sering ditanyakan, bagaimanakah kedudukan biarawan-biarawati dalam Gereja. Ada sementara orang yang menggolongkan bahwa kedudukan religius dalam kalangan umat beriman awam, dengan alasan bahwa para biarawan-biarawati itu tidak sebagian besar bukan termasuk hirarki. Bahkan beberapa waktu yang lalu dalam siaran TV seorang Bruder yang mengatakan bahwa bruder dan suster itu sebenarnya awam. Apakah hal itu tepat? Kalau kita membaca dengan baik ketetapan dalam Gereja, pendapat yang demikian haruslah ditolak. Para suster dan bruder atau para biarawan-biarawati mempunyai kedudukan khusus dalam Gereja. Kedudukan khusus itu justru terjadi karena para biarawan-biarawati mengucapkan profesi ketiga nasihat Injil: ketaatan, kemiskinan dan kemurnian.

Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen Gentium mendefinisikan mengenai awam menyatakan: “yang dimaksud dengan istilah awam ialah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius yang diakui dalam Gereja” (LG. 31). Dengan demikian biarawan-biarawati atau religius itu bukan awam, tetapi mempunyai kedudukan khusus di dalam Gereja.

(53)

dibaktikan kepada Allah dan bermanfaat bagi misi keselamatan Gereja; status mereka meskipun tidak menyangkut susunan hirarki Gereja, merupakan bagian dari kehidupan dan kekudusannya. Itu berarti bahwa justru karena profesi religius menempatkan para religius dalam status hidup yang khusus di dalam Gereja. Kekhususan terletak di dalam profesi yang harus dihidupi dan dihayati serta dipraktekkan dalam hidup sehari-hari (Sardi, 2008: 29).

Dalam kitab Hukum Gereja, kanon 588, § 1. menyatakan bahwa status hidup bakti dari hakekatnya sendiri bukan klerikal atau laikal. Lalu dikatakan apa itu tarekat klerikal dan laikal dalam paragraf selanjutnya. “§ 2. Tarekat klerikal ialah tarekat yang atas dasar tujuan dan cita-cita yang dimaksud oleh pendiri atau dari tradisi yang legitim berada dibawah pimpinan klerus menerima pelaksanaan tabisan suci, dan oleh otoritas Gereja diakui sebagai klerikal. “§ 3. sedang Tarekat laikal adalah tarekat yang oleh kuasa Gereja diakui sebagai laikal berdasarkan hakekat, ciri khas serta tujuannya memiliki tugas khas yang ditetapkan oleh pendiri serta tradisi yang legitim tanpa mencakup pelaksanaan tahbisan suci”. Justru karena adanya profesi religius itu, para biarawan-biarawati mempunyai kedudukan dan tugas khas dalam hidup menggereja (Sardi, 2008:30).

2. Profesi sebagai Kekhasan Religius

(54)

Hidup yang dibaktikan dengan memprofesikan nasehat-nasehat injil adalah bentuk kehidupan yang tetap dimana orang beriman dengan mengikuti Kristus secara lebih dekat dan atas dorongan Roh Kudus, dipersembahkan secara lebih utuh kepada Allah yang paling dicintai agar demi kehormatan bagi-Nya dan demi pembangunan Gereja serta keselamatan dunia mereka dilengkapi dengan alasan baru dan khusus mengejar kesempurnaan cinta kasih dalam pelayanan Kerajaan Allah dan sebagai tanda unggul Gereja mewartakan kemuliaan surgawi”.

Dari kanon ini, dapat ditelusuri status hidup religius yang titik tolaknya terletak pada profesi nasehat-nasehat injil. Memprofesikan ketiga nasehat Injil merupakan ciri khas dari hidup bakti. Orang yang dipanggil secara khusus oleh Allah, menjawabnya dengan penyerahan diri dalam bentuk kaul atau profesi religius. Dan inti profesi itu terdapat dalam hidup religius yang harus semakin dekat dengan Kristus. Usaha untuk lebih dekat dengan Kristus ini, merupakan usaha untuk menanggapi panggilan Tuhan. Tuhan yang telah mencintainya, kini akan lebih dikasihinya dalam kehidupan nyata. Kalau seorang religius hidup semakin dekat dengan Kristus Yesus, berarti dia mau mempersembahkan diri secara lebih utuh. Penyerahan kepada Allah menjadi orientasi dan arah hidup religius. Allah menjadi andalan hidup satu-satunya, tiada andalan lain yang mampu menggantikan Allah. Seluruh hidup religius diserahkan hanya kepada Allah saja. Dengan demikian Allah menjadi yang paling dicintai atau dengan kata lain religius harus mencintai Allah sebagai satu-satunya yang perlu. Hanya Allahlah yang dapat menjadi andalan hidup (Sardi, 2008:32).

(55)

pembangunan Gereja. Dengan hidup yang penuh penyerahan diri kepada Allah, sebenarnya dunia ini dibangun, kasih ditumbuhkan dan harapan akan Allah sebagai satu-satunya yang perlu menjadi nyata. Dan sasaran yang ketiga adalah demi keselamatan dunia. Hidup religius menjadi bermakna justru karena dunia ini akan diselamatkan oleh Allah, Sang penyelamat berperan dalam hidup religius, yang menanggapi panggilannya dalam kancah kehidupan dunia. Dengan demikian hidup religius menjadi bermakna karena Allah menjadi pusat kehidupan dan sumber segala aktivitasnya.

(56)

Menjadi tanda unggul Gereja mau menunjukkan bahwa kewajiban utana ini merupakan suatu kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Justru karena kewajiban itu, maka hidup religius menjadi berarti. Bukan hanya tidak menjadi skandal saja, tetapi menjadi tanda unggul Gereja mewartakan kemuliaan surgawi.

Dalam jaman sekarang yang penuh tantangan ini, mungkinkah religius mampu melaksanakan kewajiban itu? Justru karena penyerahan total kepada Allah, maka Allah sendirilah yang akan memampukan religius dalam rangka menjalani hidup dan menjawab panggilan-Nya itu. Allah menjadi satu-satunya yang perlu dan penting dalam hidup religius (Sardi, 2008:35).

(57)

diperlukan dalam rangka hidup menggereja. Hidup menggereja diperkaya dengan adanya hidup religius.

Oleh karena itu dalam Kanon 573, § 1 disebutkan: “Status mereka yang mengikrarkan nasehat-nasehat injili dalam tarekat-tarekat semacam itu melekat pada kehidupan serta kekudusan Gereja, oleh karena itu haruslah dipupuk dan dimajukan oleh semua saja di dalam Gereja”. Hidup religius sendiri menjadi bagian integral dalam hakikat Gereja, sebab melekat pada kehidupan dan kekudusan Gereja. Gereja yang mengembara dan yang ada di dunia ini haruslah kudus.

Hidup religius diharapkan akan memberikan sumbangan demi kekudusan Gereja. Dengan demikian cara hidup dengan memprofesikan nasehat-nasehat Injil haruslah dibina dan dimajukan oleh semua umat beriman. Hidup membiara yang menpunyai kegiatan pokok memuji dan meluhurkan Allah dan demi kehidupan menggereja dan dunia ini, bagaimanapun juga terap merupakan nafas kehidupan Gereja. Hidup menggereja tidaklah dapat lepas dari hidup religius demikian itu. Hidup menggereja mendapat artinya yang semakin penuh dalam hidup religius (Sardi, 2008:37).

3. Anugerah yang Berbeda-beda

(58)

itu ada berbagai cara dan macamnya. Juga ada berbagai bentuk nyatanya. Semuanya itu akan memperkaya dan memperteguh hidup religius dan hidup menggereja. Dengan adanya berbagai macam cara hidup dan bentuk hidup religius, hidup menggereja menampakkan suatu keindahan yang beraneka ragam menjawab panggilan dan anugerah Allah sendiri. Dalam Kanon 577 dikatakan: “Dalam Gereja sangat banyak tarekat hidup bakti yang memiliki anugerah-anugerah berbeda seturut rahmat yang diberikan kepada mereka; karena mengikuti lebih dekat atau Kristus yang berdoa, Kristus yang mewartakan Kerajaan Allah atau Kristus yang berbuat baik kepada orang-orang, Kristus yang tinggal dan bergaul dengan orang-orang yang berada di dunia ramai tetapi selalu Kristus yang melakukan kehendak Bapa”. Allah yang satu dan sama, yang menjelma dalam diri Yesus Kristus ditanggapi oleh berbagai pihak dengan caranya masing-masing. Dan dalam hidup menggereja tumbuh dan berkembang berbagai macam terekat religius yang semuanya mau menjawab dan menanggapi tawaran Allah sendiri (Sardi, 2008: 38).

(59)

dunia ramai dan lain sebagainya, tetapi selalu Kristus yang melakukan kehendak Bapa menjadi pusat seluruh spiritualitas hidup religius.

Adanya berbagai bentuk hidup religius dan cara hidup dengan memprofesikan nasehat Injil mau menunjukkan betapa kayanya Allah. Allah dalam diri Yesus Kristus dihayati dalam hidup religius dengan berbagai bentuk dan cara yang berbeda-beda, tetapi selalu mengarah pada pelaksanaan kehendak Allah. Dalam rangka itu, apa yang harus dipenuhi dalam rangka hidup membiara menjadi tantangan bagi anggotanya. Dalam Kanon 607, § 1 dinyatakan: “Hidup religius sebagai pembaktian seluruh pribadi menampakkan di dalam Gereja pernikahan yang mengagumkan yang diadakan Allah, pertanda dari jaman yang akan datang. Demikianlah hendaknya biarawan-biarawti menyempurnakan penyerahan dirinya yang tuntas bagaikan kurban yang dipersembahkan kepada Allah; dengan itu seluruh eksistensi dirinya menjadi ibadat yang terus menerus kepada Allah dalam cinta kasih”. Inilah suatu tugas yang menantang dan harus dilaksanakan dalam hidup sehari-hari.

(60)

menyempurnakan penyerahan dirinya yang tuntas bagaikan kurban yang dipersembahkan kepada Allah; dengan demikian seluruh eksistensi dirinya menjadi ibadat terus menerus kepada Allah dalam cinta kasih.”

Tantangan hidup membiara di zaman sekarang ini, yang memeluk hidup membiara bagaimanapun juga, kalau mau memberi arti yang sungguh-sungguh haruslah berani bersaksi dan menjadi sinar yang bercahaya di tengah dunia sekarang ini. Pertanyaannya mungkinkah hidup membiara dapat menjawab tantangan ini? (Sardi, 2008:41).

4. Perlunya Pembaharuan dalam Hidup Religius

Hidup religius haruslah senatiasa dibaharui dalam segala segi dan aspeknya. Hidup religius dalam menghadapi tantangan jaman sekarang, haruslah tetap berpegang pada inti dan tujuannya, namun cara dan ekspresinya dapat disesuaikan. Dalam rangka pembaharuan hidup religius. Konsili Vatikan II melalui dekrit Perfectae Caritatis antara lain menggariskan sebagai berikut :

a. Tolak ukur terakhir hidup religius ialah mengikuti Kristus menurut Injil. Maka semua terekat memandang Injil sebagai pedoman tertinggi.

(61)

c. Semua tarekat hendaknya ikut serta dalam kehidupan Gereja. Maka dengan mengindahkan coraknya sendiri hendaknya melibatkan diri dalam prakarsa-prakarsa serta rencana-rencana Gereja dan ikut mengembangkan menurut kemampuannya. Misalnya, di bidang Kitab Suci, Liturgi, Teologi Dogmatik, Pastoral, Eukumene, Misioner dan Sosial.

d. Hendaknya tarekat-tarekat mengembangkan para anggotanya pengertian yang memadai tentang kenyataan orang-orang pada jamannya pun juga tentang kebutuhan-kebutuhan Gereja; maksudnya supaya dengan demikian mereka mampu menilai dalam terang iman dan dengan bijaksana kenyataan dunia jaman sekarang, dan dikobarkan oleh semangat kerasulan mampu membantu orang-orang secara tepat guna.

e. Tujuan hidup religius pertama-tama yakni: supaya para anggotanya mengikuti Kristus dan dipersatukan dengan Allah melalui pengikraran nasehat-nasehat Injil. Maka perlu dipertimbangkan dengan serius bahwa penyesuaian-penyesuaian yang sebaik mungkin dengan kebutuhan-kebutuhan jaman kita sekarang ini pun tidak akan memperbuahkan hasil, bila tidak dijiwai oleh pembaharuan rohani. Hendaknya pembaharuan rohani itu dalam pengembangan karya-karya di luarpun selalu diutamakan.

(62)

C. PROFIL KEPEMIMPINAN DALAM LEMBAGA HIDUP BAKTI ( Kanon 618 – 619 )

Dalam bagian ini akan diuraikan mengenai profil Kepemimpinan dalam Lembaga Hidup Bakti. Bagaimanakah dan macam apakah profil pemimpin dalam hidup religius yang dikehendaki oleh Bunda Gereja itu? Dimanakah letak keistimewaannya kepemimpinan religius itu? Apakah kepemimpinan dalam lembaga hidup bakti itu bagaikan kepemimpinan dalam dunia politik? Apakah ada bedanya? Dalam kepemimpinan religius, juga ada pemilihann juga ada dukung-mendukung, bahkan dalam berbagai kasus yuridis, tidak jarang ada kecurangan dan bahkan pemalsuan kartu pemilihan.

(63)

1. Profil Pemimpin Dalam Lembaga Hidup Bakti

Kitab Hukum Gereja menetapkan dalam Kan. 618 sebagai gambaran profil pemimpin religius :

Para pemimpin hendaknya melaksanakan kuasa yang diterima dari Allah lewat pelayanan Gereja dalam semangat pengabdian. Maka dalam melaksanakan tugasnya hendaklah peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya itu selaku putera-putera Allah, serta menguasahakan ketaatan sukarela dengan menghargai pribadi manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta memajukan peranserta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan apa-apa yang harus dilaksanakan (Kan. 618 ).

Disadari bahwa kuasa yang diembannya adalah kuasa dari Allah. Kuasa itu diterimanya melalui pelayanan Gereja dan haruslah dilaksanakan dalam rangka mengabdi kepada Allah, dan melayani sesama manusia. Kuasa yang diterima berasal dari Allah, mau menunjukkan bahwa tugas perutusannya sebagai pemimpin itu adalah tugas suci, tugas yang melibatkan kuasa ilahi, dan bukan kuasa politik duniawi saja. Oleh karena itu bobot kuasa yang diemban oleh pemimpin religius adalah kuasa ilahi yang harus dilaksanakan dan ditunaikan dalam pelayanannya yang suci pula.

(64)

tidak layak menduduki kursi kepemimpinan. Bagaimana mungkin suatu tugas suci diawali dengan tindakan jahat. Oleh karena itu nilai kepemimpinan religius sebenarnya terletak dalam kelayakan pimpinan itu melaksanakan tugas sucinya. Pemimpin religius yang sudah tidak mampu dan tidak menandakan adanya segi rohani, dan tidak adanya segi kesucian yang diemban, sebenarnya sudah kelirulah pemimpin itu. Bila arah kepemimpinan religius hanya memikirkan masalah program ekonomi, sosial atau pembangunan gedung, rumah-rumah dls, lalu melupakan berbagai aspek kerohanian dalam hidup religius sendiri, maka kepemimpinan demikian itu sebenarnya sudah jauh dari yang dikehendaki oleh Allah, sebab pemimpin religius mengemban tugas Allah sendiri, karena mandatnya berasal dari Allah yang diterimanya melalui pelayanan Gereja.

(65)

kepekaan akan kehendak Allah, dapat dinilai sebagai pemimpin yang tidak layak lagi. Dalam sejarah Ordo atau Kongregasi religius, tidaklah mengherankan kalau ada pemimpin religius yang diturunkan dari jabatannya, atau yang diminta mengundurkan diri dari jabatan kepemimpinannya; atau mengundurkan diri karena merasa tidak layak lagi sebagai pemimpin religius. Ukuran kepekaan akan kehendak Allah ini sangat penting.

Hidup dan perjuangan lembaga hidup bakti yang pemimpinnya sangat peka akan kehendak Allah, tentu akan ada kepastian arah hidupnya. Sebaliknya, kalau pemimpin religius jauh dari kepekaan akan kehendak Allah, dapat dipastikan tarekat itu sebenarnya dipimpin oleh pemimpin yang keliru. Kepekaan terhadap kehendak Allah ini menjadi indikasi bagaimanakah hidup religius pemimpin itu sendiri.

(66)

dibedakan dua macam ketaatan. Profesi yang menyangkut ketaatan, berarti ketaatan dalam hubungannya dengan tujuan hidup religius, yakni mau berusaha untuk hidup dengan Kristus, menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah dan Allah menjadi yang paling dicintai dalam hidupnya. Dalam rangka ketaatan religius itu, seorang religius haruslah taat kepada pimpinannya. Religius tidak dapat menghindar dan menawar. Tetapi ketaatan religius tidaklah selalu ada hubungannya dengan perintah atasan. Ketaatan pun harus bermuara dalam hidup berkomunitas, hidup bersama dengan sesama religius, bahkan dengan cara hidup dan Konstitusinya. Hal ini dapat dilihat dalarn rumusan profesi. Menurut ajaran Santo Fransiskus, para religius tidak boleh taat, kalau diperintah oleh atasan untuk berbuat dosa atau berbuat jahat. Dalam hal itu para religius malah harus berani melawannya, agar tindakan jahat dan dosa itu tidak terjadi.

Jenis ketaatan lain berhubungan dengan ketaatan karya. Dalam Kitab Hukum Gereja, Kanon 626 dikatakan sebagai berikut:

Para Pemimpin dalam memberikan tugas dan para anggota dalam memilih hendaknya mentaati norma-norma hukum universal serta hukum tarekat itu sendiri, menjauhkan diri dari penyalahgunaan serta pilih kasih, dan tidak memperhatikan hal-hal lain kecuali Allah dan kepentingan tarekat, mengangkat atau memilih mereka yang di hadapan Tuhan sungguh dipandang pantas dan tepat. Selain itu hendaknya dalam pemilihan-pemilihan mereka tidak mencari suara, langsung atau tidak langsung, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.

(67)

langsung menyangkut inti hidup religius, tetapi merupakan tugas profesionalitasnya atau keahlian atau ketrampilannya, yang diharapkan akan dapat menjadi manisfestasi perealisasian dirinya sebagai manusia. Akan tetapi kalau ada karya yang sungguh-sungguh mengganggu iman dan integritas pribadi religius yang bersangkutan, maka karya yang akan diserahkan itu dapatlah ditolak. Dan dalam hal ini, pemimpin harus berani terbuka serta menjajaki kemungkinan lain untuk karya yang dapat ditangani oleh anggota dengan baik. Karya tidaklah boleh mengganggu hidup religius. Karya haruslah mendukung hidup religius. Kalau ada karya yang dapat merusak integritas diri, maka karya itu tidaklah boleh diserahkan kepada religius itu. Misalnya: seorang religius yang mempunyai ketrampilan memasak, tetapi pemimpinnya memberikan tugas untuk menjadi guru TK. Seorang religius yang trampil sekali dan ahli dalam bidang menjahit, diberi tugas untuk memasak di dapur, padahal dia asma dsb. Suatu penugasan dalam hal karya, tetaplah terbuka untuk didiskusikan, agar dapat berkembang dan mencapai integritasnya.

(68)
(69)

pemimpin religius itu tetap harus dihormati wewenangnya dalam mengemban amanat spiritual. Pemimpin yang sudah tidak mengemban dan tidak melaksanakan amanat spiritual, sudah tidak layak menjadi pemimpin religius lagi.

Dengan demikian profil Pemimpin Lembaga Hidup Bakti haruslah berpusatkan pada Kristus sebagai satu-satunya yang perlu, memimpin tarekat religius dengan tetap menyadari bahwa kuasa yang diterimanya itu berasal dari Allah, sebagai kuasa suci, yang harus dipraktekkan dengan berpedoman pada tujuan hidup religius, kesempurnaan hidup injili dan harus mampu menjadi tanda unggul Gereja akan hidup eskatologis. Selain itu pemimpin juga harus berani bersikap lebih manusiawi terhadap sesamanya, dan memperjuangkan agar hidup semua anggotanya itu dapat menyumbangkan kehidupan yang lebih baik bagi tarekatnya dan Gereja pada umumnya. Profil pemimpin religius yang suci, adalah layak di hadapan Allah dan sesama, manusiawi dan rendah hati (Sardi, 2008:63).

2. Yang Harus Dilaksanakan

Referensi

Dokumen terkait