• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemimpinan dalam arti yang paling mendasar adalah masalah dan tugas setiap orang. Setiap orang suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, sadar atau tidak sadar, tentu harus menjalankan suatu kepemimpinan. Paling tidak, kepemimpinan itu adalah kepemimpinan atas diri sendiri. Demikianlah sebenarnya kepemimpinan pertama-tama tidak bersangkut paut dengan tokoh-tokoh tertentu tetapi berkaitan dengan masalah mengarahkan, membuat pilihan, dan mengambil keputusan. Setiap pemimpin tentu harus bisa mengarahkan yang dipimpin agar bisa mencapai tujuan yang ada. Maka pemimpin juga harus mampu membuat pilihan dan mengambil keputusan. Hal ini juga berlaku atas diri sendiri. Seseorang hanya bisa memimpin dengan baik bilamana ia sudah bisa memimpin dirinya sendiri. Bayangkan saja bila seorang pemimpin tidak pernah yakin dengan dirinya dan pendapatnya sendiri; pikiran dan keputusannya mudah sekali berubah dan tidak konsisten; maka dapat dipastikan kelompoknya akan kacau dan gagal mencapai tujuan kebersamaan mereka ( Martasudjita, 2001 : 11 ).

Memimpin dalam tarekat berarti memimpin sekelompok umat Allah yang memiliki Kristus sebagai Gembala (Yoh 10:1-21) dan Guru-Nya (Yoh 13:12-17), dan Roh Kudus yang akan memimpin menuju kebenaran (Yoh 16:12-13). Maka memimpin umat Allah, entah itu dalam Gereja atau dalam tarekat religius, perlu

memiliki sikap dan ketrampilan khusus. Dengan demikian kepemimpinannya justru mewujudkan kepemimpinan Kristus dan Roh Kudus dalam diri mereka sendiri dan bukan menggantikan atau mewakili apalagi menyaingi. Diharapkan lewat kepemimpinannya, Kristus dan Roh Kudus sendiri yang semakin memimpin warga tarekat (Darminta, 2004:11). Supaya seorang pemimpin tidak menyaingi kepemimpinan Kristus dan Roh Kudus, dapat meneladan semangat Santo Paulus yang mengatakan: “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan “ (1Kor 3:6-7). Dengan mencontoh semangat Santo Paulus, seorang pemimpin akan berusaha sekuat tenaga, menggunakan segala bakat dan kertampilan manusiawi untuk mengembangkan serta memilih cara-cara kepemimpinan yang tepat. Kemudian menyerahkan kepada Tuhan dalam doa dan permohonan supaya Tuhan sendiri yang akhirnya memimpin menuju yang benar menurut kehendak-Nya (Darminta, 2004:11).

Gereja dan hidup religius zaman dahulu selalu memiliki kecenderungan kuat untuk menghayati persekutuan dalam suasana demokratis. Namun perjalanan sejarah membawa Gereja dan tarekat-tarekat religius ke sistem sentralisasi dalam menghayati realitas diri dalam segi institusionalnya. Puncak sentralisasi terjadi pada abad 18 dan 19. Mulai abad 20, ada gerakan untuk menghayati hidup menggereja dan juga hidup religius secara partisipatif lebih besar, secara konsultatif lebih luas dan berbagi tanggung jawab. Semua ini menyingkapkan kecenderungan yang ada di dalam gereja dan masyarakat. Gereja bagaikan berada pada suatu peralihan dari otoritas yang otoritarium menuju ke otoritas yang “otoritatif “. Itu berarti bahwa kuasa yang ada

menuntut adanya wibawa yang tidak melulu karena jabatan tetapi terutama karena hidup yang sungguh berkualitas kristiani dan religius (Darminta, 2004:17). Ungkapan konkrit kepemimpinan dan pemerintahan membentuk pribadi seorang pemimpin. Sebaliknya, pribadi seorang pemimpin juga akan membentuk atau menciptakan gaya kepemimpinan dan pemerintahan. Bisa saja paham serta gaya kepemimpinan mengalami perubahan, namun tugas seorang pemimpin pada hakikatnya tetap sama. Pemimpin yang berlandaskan iman dan kerohanian Gereja diharapkan tetap setia kepada tugas pokok dan tak berubah, yaitu pembawa otoritas Kristus yang melayani (1Tim 3 :13 ; Kol 3 :17), (Darminta, 2004:20).

Dalam konteks seperti itu, pelaksanakan otoritas kepemimpinan menjadi tantangan dalam membangun gambaran tentang kepemimpinan serta pemimpin. Untuk itu, diperlukan adanya seorang pemimpin yang memiliki keyakinan akan peran dan tugas hakiki sekaligus mampu menerapkan dan menerjemahkan dalam sistem nilai modern. Manusia tidak hanya memiliki daya tahan untuk menanggung beban perjalanan kehidupan. Manusia juga mampu membedakan mana yang memiliki nilai langgeng dan mana yang hanya sementara dan bersifat sarana belaka. Pemimpin zaman sekarang digambarkan sebagai pribadi yang memiliki kemampuan untuk mengadakan penegasan, mampu pula untuk menilai tanda-tanda zaman dan menyesuaikan dengan kesadaran akan peran dan tugasnya. Seorang pemimpin, pada zaman transisi menuju ke era baru, haruslah bagaikan seorang guru yang membawa nilai-nilai dari masa lalu serta menjadi pemrakarsa perubahan ke masa depan. Pelaksanaan otoritas sebagai pelayanan adalah nilai yang sekarang ini disadari tidak

lagi menuntut suatu kekuasaan dan previlegi-previlegi tetapi sebagai otoritas dalam pelayanan yang terlaksana melalui kepemimpinan. Kesadaran seperti itu ternyata bersumber dari inspirasi Kitab Suci, yaitu bahwa Yesus datang untuk melayani bukan untuk dilayani (Mat 20:28), karena Aku berada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan (Luk 22:27). Kita yakin bahwa kepemimpinan sebagai pelayanan sungguh berasal dari Roh Kudus, karena itu membawa kita kembali kepada hidup Yesus dan sabda-sabda yang lama tertutup oleh corak hidup menggereja dan hidup religius yang terlalu institusional dan organisatoris (Darminta, 2004:22).

Dokumen Konsili Vatikan ke II dalam Perfectae Caritatis art. 2 menegaskan bahwa semua tarekat hendaklah ikut serta dalam kehidupan Gereja. Maka dengan mengindahkan coraknya sendiri hendaklah melibatkan diri dalam prakarsa-prakarsa serta rencana-rencana Gereja dan ikut mengembangkannya menurut kemampuannya, misalnya di bidang Kitab Suci, liturgi, teologi dogmatik, pastoral, ekumene, misioner dan sosial. Hendaknya tarekat-tarekat mengembangkan pada para anggotanya pengertian yang memadai tentang kenyataan orang-orang pada zamannya pun juga tentang kebutuhan–kebutuhan gereja : maksudnya supaya dengan demikian mereka mampu menilai dalam terang iman dan dengan bijaksana kenyataan dunia zaman sekarang, dan dikobarkan oleh semangat kerasulan mampu membantu orang-orang secara lebih tepat guna.

Komunitas hidup bakti PBHK Provinsi Indonesia yang terdiri dari 3 (tiga) daerah, yaitu : daerah Jawa, daerah Maluku dan daerah Papua setelah mengalami proses unifikasi yang panjang, terbentuk pada tanggal 13 Juli 1995 di Langgur, Tual,

Maluku Tenggara. Tiap daerah memiliki kelompok-kelompok etnis dengan keunikan budayanya. Ini merupakan kekayaan sebagai pendukung terbentuknya PBHK Provinsi Indonesia, yang bersatu dalam keanekaragaman (Konst. no. 59).

Sebagai komunitas hidup bakti, PBHK Indonesia memiliki warisan Karisma dan Spiritualitas Hati dari Pendiri Pater Jules Chevalier. Inilah kekuatan yang menjiwai tiap anggota, untuk bersama Maria Bunda Hati Kudus, membantu umat manusia mengalami kasih Allah (Konst. no. 1-2). Panggilan hidup sebagai PBHK merupakan anugerah Allah, yang membawa kita semakin menemukan Hati Yesus sebagai pewahyuan kelembutan tak terbatas cinta kasih Allah, Bapa kita (Konst.no. 1).

Hidup bakti para religius dibaktikan bagi perutusan. Kewajiban membaktikan diri seutuhnya bagi misi tercakup dalam panggilan religius. Misi utama kongregasi PBHK adalah untuk mewartakan cinta Hati Kudus Yesus kepada semua orang agar mereka percaya akan kasih Allah yang berbelas kasih. Para Suster PBHK dipanggil dan diutus melalui karya kerasulan yang dipercayakan oleh tarekat kepada mereka untuk mewartakan cinta Hati Kudus dalam berbagai bidang karya kerasulan. Karya kerasulan para Suster PBHK antara lain dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan pastoral. Perutusan bagi para religius berarti menjalankan misi Yesus Kristus. Tujuan perutusan para religius pertama-tama menghadirkan Kristus bagi dunia melalui kesaksian pribadi. Sasaran utama proses pembinaan adalah menyiapkan orang-orang untuk membaktikan diri seutuhnya kepada Allah dengan mengikuti Kristus, dalam pengabdian kepada misi Gereja.

Di Indonesia saat ini masih terjadi peristiwa-peristiwa yang sungguh dramatik. Arus globalisasi menawarkan kemudahan, kecepatan dan kenyamanan, namun sekaligus juga kecemasan, ketidak-amanan dan ancaman. Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan otonomi daerah, yang masih belum jelas aturan mainnya, memungkinkan gampang terjadinya penyalagunaan kekuasaan. PBHK Indonesia, saat ini menghadapi situasi masyarakat yang “Chaos”, terjadi krisis kepercayaan terhadap para pemimpin, menjerit karena dilecehkan martabatnya sebagai manusia serta mengalami penderitaan yang berkepanjangan.

Spiritualitas kepemimpinan yang digariskan dalam KHK berbunyi:

Para pemimpin hendaknya melaksanakan kuasa yang diterima dari Allah lewat pelayanan Gereja dalam semangat pengabdian. Maka dalam melaksanakan tugasnya hendaknya mereka peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya sebagai putera-puteri Allah, serta mengusahakan ketaatan sukarela mereka dengan menghargai pribadi manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta memajukan peranserta mereka demi kesejateraan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan dan memerintahkan apa yang harus dilaksanakan ( KHK. Kan 618 ).

Disadari bahwa kuasa yang diembannya adalah kuasa dari Allah. Kuasa itu diterimanya melalui pelayanan Gereja dan haruslah dilaksanakan dalam rangka mengabdi kepada Allah, dan melayani sesama manusia. Kuasa yang diterima berasal dari Allah, mau menunjukkan bahwa tugas perutusannya sebagai pemimpin itu adalah tugas suci, tugas yang melibatkan kuasa Ilahi, dan bukan kuasa politik duniawi saja. Oleh karena itu bobot kuasa yang diemban oleh pemimpin religius adalah kuasa ilahi yang harus dilaksanakan dan ditunaikan dalam pelayanan yang suci pula.

Dari sini kita dapat melihat bahwa kalau kepemimpinannya itu diperoleh secara tidak wajar entah dengan memalsu kartu pemilihan atau manipulasi yang licik, maka dapatlah dipertanyakan bagaimanakah misi kepemimpinannya itu. Kepemimpinan religius mengemban tugas suci, tugas kesempurnaan dan tugas atau bahkan kewajiban yang semuanya harus bermuara ke kesucian. Kalau ada tindak jahat dengan pemalsuan atau manipulasi, sebenarnya pimpinan itu sudah tidak layak menduduki kursi kepemimpinan. Oleh karena itu nilai kepemimpinan religius sebenarnya terletak dalam kelayakan pimpinan itu melaksanakan tugas sucinya. Arah kepemimpinan religius yang hanya memikirkan masalah program ekonomi, sosial atau pembangunan gedung, rumah-rumah, lalu melupakan berbagai aspek kerohanian dalam hidup religius sendiri, kepemimpinan demikian itu sudah jauh dari yang dikehendaki oleh Allah. Sebab pemimpin religius mengemban tugas Allah sendiri, karena mandatnya berasal dari Allah, yang diterimanya melalui pelayanan Gereja.

Selain mengemban tugas yang suci, berbagai syarat lainnya pun harus dipenuhi untuk dilaksanakannya. Pemimpin religius “dalam melaksanakan tugasnya hendaklah peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya itu selaku putera-putera Allah”. Tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemimpin religius adalah peka akan kehendak Allah. Hal ini tidaklah dapat ditawar-tawar, sebab ciri khas kepemimpinan religius itu mengarah pada kehendak Allah saja. Peka akan kehendak Allah, berarti mampu membaca tanda-tanda zaman dan mengartikannya dalam terang cahaya Tuhan. Dengan demikian profil pemimpin religius tak lain dari pada sebagai manusia yang harus peka akan kehendak Allah serta melaksanakannya kehendak Allah itu

dalam hidupnya, di dalam memimpin para religius lain yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin religius yang kehilangan kepekaan akan kehendak Allah, dapat dinilai sebagai pemimpin yang tidak layak lagi. Dalam sejarah ordo atau kongregasi religius, tidaklah mengherankan kalau ada pemimpin religius yang diturunkan dari jabatannya, atau yang diminta mengundurkan diri dari jabatan kepemimpinannya; atau mengundurkan diri karena merasa tidak layak lagi sebagai pemimpin religius. Justru ukuran kepekaan akan kehendak Allah ini sangat penting.

Hakekat Kepemimpinan Kristiani adalah kegembalaan dan kualifikasi Gembala yang baik dapat digali dari Yohanes 10:11-15 sebagai gambaran kepemimpinan kristiani yang ideal. Dengan demikian pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bersikap seperti “gembala” yang baik terhadap “domba-dombanya”, atau rakyat/umat/anak buah yang harus dilayaninya sedangkan yang berkaitan dengan teknik kepemimpinan bisa mengambil inspirasi dari Keluaran 18 :13-27. Nasihat mertua Musa yang menganjurkan kaderisasi dan pendelegasian wewenang demi tugas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang pemimpin yang ditafsirkan dari Yohanes 10 : 11-15 adalah sebagai berikut :

Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Seorang upahan yang bukan gembala, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku, sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa (Yoh 10 : 11-15).

Sikap utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah rela berkorban/mau direpotkan oleh umat/anak buah yang dipimpinnya. Sikap melindungi

umat/anak buah yang dipimpin sehingga mereka merasa aman dalam pimpinannya. Dekat dengan umat/anak buah yang dipimpin karena bisa menyesuaikan diri dengan mereka, sehingga dicintai dan dipercaya oleh mereka. Dekat dengan Allah/Bapa karena senantiasa berhubungan dengan Allah, sehingga tindakan-tindakannya pun sesuai dengan kehendak Allah. Selain itu karena ia dekat dan mersa dikenal Allah, maka ia amat berani karena merasa selalu disertai Allah dalam tindakan-tindakan melayani umat/anak buah yang dipercayakan kepadanya.

Kepemimpinan kristiani yang efektif, seperti yang dilakukan Yesus sang Guru, selalu berusaha memberdayakan orang-orang untuk dapat menghidupi dan menghayati hidup yang dijanjikan Yesus itu sepenuhnya. Para pemimpin itu akan menunjukkan menurut aneka gaya dan cara mereka masing-masing lain, supaya dapat berkembang menuju kepenuhannya “menurut kepenuhan Kristus” (Ef 4:13). Seluruh hidup Yesus menunjukkan keprihatinan-Nya atas orang-orang lain. Bagi-Nya pribadi-pribadi selalu dinomor satukan. Sumber paling penting bagi seorang pemimpin ialah pribadi manusia. Tanpa orang/manusia sumber materiil ataupun keuangan tidak ada gunanya! Meskipun ada pabrik, mesin, aparat otomatis yang paling mutahir pun, seorang pemimpin yang baik akan memperhatikan sesama. Berbeda dengan sumber-sumber lainnya, manusia mempunyai kebutuhan, perasaan, ada yang disukai dan tidak disukai, dan dapat hanya memikirkan diri sendiri.

Sambil berusaha mengembangkan diri pribadi orang lain, seorang pemimpin harus juga berusaha mengembangkan suatu gambaran diri (self-image) yang sehat dan positif. Pada umumnya orang melewati jalan hidupnya tanpa menemukan dan

mengenal dirinya yang sebenarnya. Banyak pula orang yang menilai dirinya secara negatif, mungkin karena pengalaman-pengalaman yang negatif. Pengenalan diri yang negatif menimbulkan kecenderungan mengambil keputusan yang negatif dan merugikan keputusan. Sesungguhnya kita dipanggil untuk mengembangkan diri, bukan untuk mengurangi diri, yang justru merugikan orang lain, yang sebenarnya dapat dan harus kita tolong (Manuskrip, September 2006).

Kapitel Umum PBHK dalam pernyataan kapitel tentang Jati diri dan Misi PBHK mengakui bahwa sebagai Puteri-puteri Bunda Hati Kudus, para suster mengakui diri sering gagal menghayati kharisma cinta kasih dalam komunitas dan karya-karya kerasulan tarekat (Kapitel Provinsi I PBHK, 1998; hal.3). Dalam kapitel ini dikemukakan bahwa cukup banyak suster belum memiliki kesadaran yang jelas mengenai identitas dirinya sebagai PBHK, arti spiritualitas hati dan panggilan PBHK di tengah masyarakat. Spiritualitas hati masih belum menjadi milik yang kuat dalam diri para suster PBHK (Kapitel Provinsi II, 2004: hal. 29).

Realitas yang ditemui bahwa dari kepengurusan paroki, yayasan-yayasan yang katanya bernafas kristiani, sampai di kalangan religius, suasana yang tidak sehat dalam hal kepemimpinan sering terdengar. Kita mungkin mengelus dada, ketika mendengar orang ini itu tidak mau turun dari jabatannya. Padahal jabatan itu tidak mendatangkan uang. Tetapi jabatan itu memang memberikan prestise, status dan martabat ’orang besar’ terkadang masih ada juga religius yang meski sudah S3 (alias sampun sepuh sanget, artinya : sudah sangat sepuh atau tua) masih ingin terus menjabat sebagai pemimpin komunitas atau pemimpin karya. Meski anggota tarekat

yang muda dan potensial sudah banyak, ia tak mau mundur. Alasannya, Tanpa saya karya ini akan mati. Yang muda belum mempunyai pengalaman dan belum siap. Provinsial tidak berani memundurkan dia, entah karena budaya pekewuh (enggan atau tidak enak), atau karena takut saja. Kadang-kadang ada yang berucap ’Hanya Tuhan saja yang mampu memundurkan dia.’ Orang yang sedang memimpin dan tidak mau mundur entah apapun alasannya tentu memahami gambaran kepemimpinan yang salah. Mereka mengira bahwa sekai menjadi pemimpin tentunya juga harus terus menjadi pemimpin. Mereka beranggapan bahwa mereka memang dilahirkan untuk menjadi pemimpin dan akan bisa terus memipin untuk segala macam kelompok dan segala macam situasi dan tantangan jaman. Pikiran seperti itu tentu tidak benar (Martasudjita, 2001 : 17-18 ).

Yang benar, kepemimpinan hanyalah bersifat fungsional. Seorang ditunjuk atau diangkat menjadi pemimpin untuk suatu fungsi dan tugas tertentu. Kepemimpinan dalam kelompok tidak melekat pada dirinya seumur hidup. Dinamika kelompok akan terus berubah dan berkembang sesuai dengan tantangan jaman dan perkembangan internal kelompok itu. Akibatnya sifat dan bentuk kepemimpinan dalam kelompok juga harus berkembang dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Pada giliranya, figur-figur pemimpin kelompok juga perlu mentransformasi (mengubah) diri dan kalau perlu diubah alias diganti. Demikian pula kekuasaan dan wewenang tidak pernah melekat pada diri seseorang sebagai sifat. Kuasa dan wewenang hanya selalu ada dalam konteks hubungannya dengan kelompok. Kepemimpinan Transformatif adalah kepemimpinan yang justru kembali kepada nilai-nilai kepemimpinan yang ditawarkan

oleh Injil. Menurut hati dan rohnya, kita harus mengembangkan spiritualitas kepemimpinan Injili (Martasudjita, 2001 : 19-20).

Daya hidup tarekat sangat tergantung dari pembinaan lanjut yang konsisten sesudah kaul kekal. Pada dasarnya suster sendiri bertanggung jawab atas pembinaan lanjutnya. Pada setiap tahap apostoliknya ia akan mengutamakan pengembangan hidup doa yang makin mendalam, suatu penghayatan kaul yang semakin mengakar, dan suatu keterlibatan semakin berkobar dalam tugas perutusan dalam Gereja… (Konst,1983:101). Suster medior diharapkan dapat diserahi tanggung jawab penuh dalam tugas perutusan membutuhkan pengembangan kepemimpinan transformatif sebagai pembinaan lanjut sebagai mana yang digariskan dalam konstitusi sebagai pedoman hidup religius. Subyek Pembinaan adalah individu pada setiap tahap hidupnya. Dan obyek pembinaan adalah seluruh pribadi yang diapnggil untuk mencari dan mengasihi Allah “dengan segenap hati, dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatannya” (Ul 6:5) dan sesama seperti dirinya sendiri (Im 19:18; Mat 22:37-39). Cinta akan Allah dan sesame itu kekuatan besar yang dapat mengilhami proses perkembangan dan kesetiaan (VC. 71).

Kesadaran akan pentingnya kepemimpinan transfomatif bagi para suster Medior PBHK, perlu terus dikembangkan. Untuk mengembangkan kepemimpinan trasformatif para Suster Medior PBHK sebagai sumbangan pemikiran guna mengembangkan kualitas para suster Medior PBHK Daerah Maluku, maka dalam tulisan ini penulis mengambil judul “Pengembangan Suster Medior Puteri Bunda Hati Kudus Daerah Maluku Dalam Bidang Kepemimpinan Transformatif”.