• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kitab Hukum Gereja menetapkan dalam Kan. 618 sebagai gambaran profil pemimpin religius :

Para pemimpin hendaknya melaksanakan kuasa yang diterima dari Allah lewat pelayanan Gereja dalam semangat pengabdian. Maka dalam melaksanakan tugasnya hendaklah peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya itu selaku putera-putera Allah, serta menguasahakan ketaatan sukarela dengan menghargai pribadi manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta memajukan peranserta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan apa-apa yang harus dilaksanakan (Kan. 618 ).

Disadari bahwa kuasa yang diembannya adalah kuasa dari Allah. Kuasa itu diterimanya melalui pelayanan Gereja dan haruslah dilaksanakan dalam rangka mengabdi kepada Allah, dan melayani sesama manusia. Kuasa yang diterima berasal dari Allah, mau menunjukkan bahwa tugas perutusannya sebagai pemimpin itu adalah tugas suci, tugas yang melibatkan kuasa ilahi, dan bukan kuasa politik duniawi saja. Oleh karena itu bobot kuasa yang diemban oleh pemimpin religius adalah kuasa ilahi yang harus dilaksanakan dan ditunaikan dalam pelayanannya yang suci pula.

Dari sini dapat dilihat bahwa kalau kepemimpinannya itu diperoleh secara tidak wajar entah dengan memalsu kartu pemilihan atau manipulasi yang licik, maka dapatlah dipertanyakan bagaimanakah misi kepemimpinannya itu. Kepemimpinan religius mengemban tugas suci, tugas kesempurnaan dan tugas atau bahkan kewajiban yang semuanya harus bermuara ke kesucian. Kalau ada tindak jahat dengan pemalsuan atau manipulasi, sebenarnya pimpinan itu sudah

tidak layak menduduki kursi kepemimpinan. Bagaimana mungkin suatu tugas suci diawali dengan tindakan jahat. Oleh karena itu nilai kepemimpinan religius sebenarnya terletak dalam kelayakan pimpinan itu melaksanakan tugas sucinya. Pemimpin religius yang sudah tidak mampu dan tidak menandakan adanya segi rohani, dan tidak adanya segi kesucian yang diemban, sebenarnya sudah kelirulah pemimpin itu. Bila arah kepemimpinan religius hanya memikirkan masalah program ekonomi, sosial atau pembangunan gedung, rumah-rumah dls, lalu melupakan berbagai aspek kerohanian dalam hidup religius sendiri, maka kepemimpinan demikian itu sebenarnya sudah jauh dari yang dikehendaki oleh Allah, sebab pemimpin religius mengemban tugas Allah sendiri, karena mandatnya berasal dari Allah yang diterimanya melalui pelayanan Gereja.

Selain mengemban tugas yang suci, berbagai syarat lainnya pun harus dipenuhi untuk dilaksanakannya. Pemimpin religius "dalam melaksanakan tugasnya harus peka terhadap kehendak Allah, memimpin bawahannya itu selaku putera-putera Allah". Tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemimpin religius adalah peka akan kehendak Allah. Hal ini tidaklah dapat ditawar-tawar, sebab ciri khas kepemimpinan religius itu mengarah pada kehendak Allah saja. Peka akan kehendak Allah, berarti mampu membaca tanda-tanda jaman dan mengartikannya dalam terang cahaya Tuhan. Dengan demikian profil pemimpin religius tak lain dari pada sebagai manusia yang harus peka akan kehendak Allah serta melaksanakannya kehendak Allah itu di dalam hidupnya, di dalam memimpin para religius lain yang dipercayakan kepadanya. Pemimpin religius yang kehilangan

kepekaan akan kehendak Allah, dapat dinilai sebagai pemimpin yang tidak layak lagi. Dalam sejarah Ordo atau Kongregasi religius, tidaklah mengherankan kalau ada pemimpin religius yang diturunkan dari jabatannya, atau yang diminta mengundurkan diri dari jabatan kepemimpinannya; atau mengundurkan diri karena merasa tidak layak lagi sebagai pemimpin religius. Ukuran kepekaan akan kehendak Allah ini sangat penting.

Hidup dan perjuangan lembaga hidup bakti yang pemimpinnya sangat peka akan kehendak Allah, tentu akan ada kepastian arah hidupnya. Sebaliknya, kalau pemimpin religius jauh dari kepekaan akan kehendak Allah, dapat dipastikan tarekat itu sebenarnya dipimpin oleh pemimpin yang keliru. Kepekaan terhadap kehendak Allah ini menjadi indikasi bagaimanakah hidup religius pemimpin itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan para anggota yang dipercayakan kepadanya, pemimpin religius juga harus "mengusahakan ketaatan sukarela dengan menghargai pribadi manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta memajukan peranserta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja, tetapi dengan tetap memelihara wewenang mereka sendiri untuk memutuskan serta memerintahkan apa-apa yang harus dilaksanakan". Pada jaman sekarang ini ketaatan terhadap kuasa terkadang merupakan hal yang terlalu mahal, sebab ketaatan dalam banyak hal mau diganti dengan dialog. Zaman sekarang ditandai dengan adanya dialog dan bukannya ketaatan mati terhadap Pemimpin. Dalam rangka membicarakan mengenai ketaatan dalam hidup religius, haruslah

dibedakan dua macam ketaatan. Profesi yang menyangkut ketaatan, berarti ketaatan dalam hubungannya dengan tujuan hidup religius, yakni mau berusaha untuk hidup dengan Kristus, menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah dan Allah menjadi yang paling dicintai dalam hidupnya. Dalam rangka ketaatan religius itu, seorang religius haruslah taat kepada pimpinannya. Religius tidak dapat menghindar dan menawar. Tetapi ketaatan religius tidaklah selalu ada hubungannya dengan perintah atasan. Ketaatan pun harus bermuara dalam hidup berkomunitas, hidup bersama dengan sesama religius, bahkan dengan cara hidup dan Konstitusinya. Hal ini dapat dilihat dalarn rumusan profesi. Menurut ajaran Santo Fransiskus, para religius tidak boleh taat, kalau diperintah oleh atasan untuk berbuat dosa atau berbuat jahat. Dalam hal itu para religius malah harus berani melawannya, agar tindakan jahat dan dosa itu tidak terjadi.

Jenis ketaatan lain berhubungan dengan ketaatan karya. Dalam Kitab Hukum Gereja, Kanon 626 dikatakan sebagai berikut:

Para Pemimpin dalam memberikan tugas dan para anggota dalam memilih hendaknya mentaati norma-norma hukum universal serta hukum tarekat itu sendiri, menjauhkan diri dari penyalahgunaan serta pilih kasih, dan tidak memperhatikan hal-hal lain kecuali Allah dan kepentingan tarekat, mengangkat atau memilih mereka yang di hadapan Tuhan sungguh dipandang pantas dan tepat. Selain itu hendaknya dalam pemilihan-pemilihan mereka tidak mencari suara, langsung atau tidak langsung, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.

Sekalipun demikian, dalam ketaatan yang menyangkut karya, para religius dapatlah mendiskusikan dengan pemimpin. Apa yang diputuskan oleh pemimpin dalam hal karya belum tentu langsung harus diikuti, sebab karya itu tidak

langsung menyangkut inti hidup religius, tetapi merupakan tugas profesionalitasnya atau keahlian atau ketrampilannya, yang diharapkan akan dapat menjadi manisfestasi perealisasian dirinya sebagai manusia. Akan tetapi kalau ada karya yang sungguh-sungguh mengganggu iman dan integritas pribadi religius yang bersangkutan, maka karya yang akan diserahkan itu dapatlah ditolak. Dan dalam hal ini, pemimpin harus berani terbuka serta menjajaki kemungkinan lain untuk karya yang dapat ditangani oleh anggota dengan baik. Karya tidaklah boleh mengganggu hidup religius. Karya haruslah mendukung hidup religius. Kalau ada karya yang dapat merusak integritas diri, maka karya itu tidaklah boleh diserahkan kepada religius itu. Misalnya: seorang religius yang mempunyai ketrampilan memasak, tetapi pemimpinnya memberikan tugas untuk menjadi guru TK. Seorang religius yang trampil sekali dan ahli dalam bidang menjahit, diberi tugas untuk memasak di dapur, padahal dia asma dsb. Suatu penugasan dalam hal karya, tetaplah terbuka untuk didiskusikan, agar dapat berkembang dan mencapai integritasnya.

Pemimpin bagaimana pun juga dalam bersikap terhadap para anggota yang dipercayakan kepadanya haruslah "menghargai pribadi manusiawi mereka, dengan senang hati mendengarkan mereka serta memajukan peran serta mereka demi kebaikan tarekat dan Gereja". Pemimpin yang hanya mau menunjukkan kuasanya, pada umumnya berlaku kurang manusiawi, dan terkadang memperlakukan sesama religius hanya sebagai obyek pembicaraan belaka. Kalau demikian, kepemimpinan itu tidaklah bermakna lagi. Orang harus ingat bahwa menjadi pemimpin dalam

Tarekat religius itu dibatasi oleh waktu dan kelayakannya. Perlakuan yang manusiawi sangatlah penting, yaitu memandang sesama religius sebagai yang juga sedang berjuang untuk mengejar kesempurnaan injili. Kalau orang tidak bersikap manusiawi, pada umumnya ia akan sulit untuk mendengarkan dan memahami sesamanya. Padahal menjadi pemimpin dalam hidup religius itu sebenarnya menjadi pelayan. Kepemimpinan religius yang tidak manusiawi hanyalah akan mengotori lembaga hidup bakti saja. Kepemimpinan religius memerlukan sikap yang manusiawi, yang rendah hati dan siap sedia mendengarkan sesamanya. Dengan demikian sebenarnya saat kepemimpinan adalah saat yang indah untuk menampakkan sikap manusiawi. Pemimpin religius yang demikian akan semakin manusiwi. Dalam berhadapan dengan manusia, Yesus dalam seluruh hidupnya selalu manusiawi. Para pendosa dikasihinya agar bertobat, tetapi dosa dibencinya. Kejahatan tidak pernah ditolerirnya, tetapi penjahat dicintai-Nya agar bertobat, kembali ke hidup yang baik dan ke kebaikan. Wajah pemimpin religius yang manusiawi sangatlah dibutuhkan pada jaman sekarang ini. Wajah pemimpin religius yang masih dapat senyum, rendah hati dan penuh perhatian kepada para anggotanya, sangat diperlukan di jaman sekarang ini. Banyak religius yang sungguh mengalami kesulitan untuk mendapatkan pemimpin yang manusiawi dan rendah hati di jaman modern ini. Penampilan pemimpin dan sikapnya banyak kali menjadi skandal bagi para anggotanya, entah karena arogan entah karena tidak menyadari bahwa sikap-sikapnya itu dirasa tidak manusiawi oleh kebanyakan anggota tarekatnya, suatu kepemimpinan yang tragis. Walaupun demikian,

pemimpin religius itu tetap harus dihormati wewenangnya dalam mengemban amanat spiritual. Pemimpin yang sudah tidak mengemban dan tidak melaksanakan amanat spiritual, sudah tidak layak menjadi pemimpin religius lagi.

Dengan demikian profil Pemimpin Lembaga Hidup Bakti haruslah berpusatkan pada Kristus sebagai satu-satunya yang perlu, memimpin tarekat religius dengan tetap menyadari bahwa kuasa yang diterimanya itu berasal dari Allah, sebagai kuasa suci, yang harus dipraktekkan dengan berpedoman pada tujuan hidup religius, kesempurnaan hidup injili dan harus mampu menjadi tanda unggul Gereja akan hidup eskatologis. Selain itu pemimpin juga harus berani bersikap lebih manusiawi terhadap sesamanya, dan memperjuangkan agar hidup semua anggotanya itu dapat menyumbangkan kehidupan yang lebih baik bagi tarekatnya dan Gereja pada umumnya. Profil pemimpin religius yang suci, adalah layak di hadapan Allah dan sesama, manusiawi dan rendah hati (Sardi, 2008:63).