• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUSTER MEDIOR PBHK DAERAH MALUKU DAN KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF

6. Profil Suster Medior

Hidup religius adalah suatu perjalanan rohani menghayati semangat Injil, semangat Yesus Kristus sendiri di bawah bimbingan Roh Kudus menuju Kerajaan Bapa. Perjalanan rohani itu berdimensi komitmen dan bakti yang nyata terhadap sesama. Seluruh ziarah religius diharapkan menjadi persembahan yang hidup dan berkenan kepada Allah itulah ibadat yang sejati (Rom 12 :1). Dari hari ke hari hendaknya hidup para suster medior makin berpola pada Santa Perawan Bunda, makin dijiwai oleh cinta kasih Hati Yesus, makin digerahkan oleh kerinduan eskatologis yakni supaya Allah menjadi semua dalam segalanya (1Kor 15 :28).

Perjalanan rohani berlangsung dalam pangkuan komunitas religius sebagai kesaksian cinta kasih di tengah sesama. Wahana kasih itu ialah kerasulan yang penuh iman menanggapi ”tanda-tanda zaman’’. Demikian hidup religius sekaligus dihayati sebagai kesaksian akan semangat Injil dan secara pribadi mengkonkritkan karisma tarekat yang diturunkan sebagai tradisi spiritualitas tarekat. Pada dasarnya religius sendiri beranggung jawab atas pengembangan hidup rohaninya (Konst.

1993 :101;Direkt.8.6). Sepanjang proses perjalanan itu ia berada dalam wawancara terus menerus dengan Tuhan yang maha setia menyertainya. Pola hidup rohani religius yakni Yesus yang berwawancara dengan Bapa; Santa Perawan Maria yang berdialog dengan malaikat Gabriel tentang karya Yesus puteranya demi keselamatan umat manusia. Motivasi yang menggerakan religius dalam perjalanan rohani pada dasarnya terangkum dalam kerinduan akan Allah, yang hanya dapat ada dan berkembang karena Allah hadir di hati sanubarinya. Pada dasarnya penyertaan Allah Sang Emanuel, Sabda yang menjadi daging dan tinggal di antara manusia dan yang setia hingga hati-Nya dilukai oleh tikaman tombak di salib dikonkritkan dalam rukun hidup bersama rekan-rekan sekomunitas dan setarekat, dalam interaksi yang ‘’formatif’’ atau bernilai bina (Hardawiryana, 1995 : 11).

a. Situasi dan Permasalahan Hidup Religius Jaman Sekarang

Dalam perjalanan rohani religius situasi bukan sekedar ”lingkungan” atau ”konteks”, seolah-olah melulu berada di luar dirinya. Situasi ”sekeliling” berserta gejolak-gejolaknya berpengaruh mendalam atas seluruh pribadi dan proses perkembangannya sebagai religius. Oleh karena itu telaah tentang penghayatan religius memang seharusnya dimulai dengan tinjauan atas situasi sekitar. Identifikasi situasi dan permasalahan hidup religius dalam rangka tujuan tarekat religius apostolik yang menghadapi sekian banyak tantangan zaman sekarang, berfokus pada kesaksian religius akan semangat Injil. Refleksi tentang situasi religius para suster medior perlu untuk menilai pentingnya pengembangan dan pembinaan terus menerus (on going

formation) dan menemukan cara yang tepat, disajikan berupa pertanyaan-pertanyaan berikut :

1) Dimensi Manusiawi :

a. Di bidang sosial : serasikah pola hidup dan kerasulan para religius dengan situasi masyarakat sekitar sehingga kesaksian mereka sungguh menyapa sesama ?

b. Di bidang budaya : bagaimana alam pikiran para religius pada umumnya di satu pihak menyatu dengan rakyat sehingga berintegrasi penuh; di lain pihak berfungsi kritis dengan menjadi teladan.

c. Di bidang psikologi : bagaimana kepribadian religius, mentalitas dan sikap-sikapnya di tengah tantangan zaman sekarang ? Dapatkah citra religius dijadikan teladan bagi sesama ?

2) Dimensi rohani-religius :

a. Di bidang hidup rohani : seberapa jauh perjalanan religius sudah atau belum mancapai tingkat kematangan yang dituntut untuk secara mandiri dan bertanggung jawab menghadapi situasi kerasulan masa kini. Adakah kepedulian yang serius akan hidup rohani dan perkembangannya ?

b. Di bidang penghayatan semangat Injil dan spesifikasinya ; bagaimana semangat keperawanan, ketaatan dan kemiskinan dimengerti dan dihayati ? tidak hanya dalam hidup pribadi melainkan juga dalam komunitas dan

kerasulan sebagai penghayatan karisma dalam pelayanan kepada sesama demi kerajaan Allah ?

c. Di bidang hidup komunitas : sesuaikan pola/corak hidup komunitas untuk mengembangkan kesaksian Injili di masyarakat lingkungannya? seberapa jauh sudah atau belum didukung oleh kematangan pribadi para anggotanya? sudahkah menampilkan kemandirian yang sekaligus berarti kesadaran bertanggung jawab atas dan terhadap komunitas.

d. Di bidang kerasulan : adakah semangat apostolik (komitmen, dedikasi) berdasarkan kemantapan penghayatan religius yang sekaligus meningkatkan kekayaan spiritualitas religius itu? Dalam perjalanan rohani sempatkah intensitas kontemplasi berkembang dalam kegiatan kerasulan?

e. Bagaimana proses pertumbuhan motivasi panggilan religius, motivasi kerasulan, motivasi untuk mengembangkan diri ? Adakah gerak makin mendalam, makin menyatu memasuki Hati Kudus Yesus, makin menyerupai pola Santa Maria Bunda-Nya (Hardawiryana : 14).

b. Mengapa Para Religius memerlukan Bina Lanjut

Alasan mengapa para religius medior tetap masih memerlukan ‘’on going formation’’ dapat ditemukan dalam bagian pertama yakni unsur situasi dilihat sebagai tantangan. Selain itu pedoman pembinaan dalam lembaga-lembaga religius yang diterbitkan oleh Kongregasi untuk lembaga hidup bakti dan serikat hidup kerasulan

yang menggariskan berbagai pokok penting antara lain mengutip Paus Yohanes Paulus II, dicanangkan isi pokok program pembinaan nomor 66 sebagai berikut :

… setiap lembaga religius wajib merencanakan dan mewujudkan program pembinaan yang tetap dan cocok bagi semua anggotanya. Program hendaknya jangan hanya diarahkan kepada pembinaan akal badi saja, melainkan pada pembinaan seluruh pribadi terutama dalam misi rohaninya, sehingga setiap religius dapat menghayati pembaktian dirinya kepada Allah seutuhnya dan sesuai dengan misi khas yang oleh Gereja diserahkan kepada mereka (Hardawiryana, 1995:15).

Apa yang sekitar karisma dan spiritualitas perlu diperhatikan, manakah maksud "pembinaan berkelanjutan", dan motivasi-motivasi manakah yang harus menopang pelaksanaannya, dipaparkan dalam no. 67 sebagai berikut :

Yang perlu diperhatikan berkenaan dengan karisma pendiri dan spiritualitas tarekat antara lain :

a. Perhatian yang cermat terhadap situasi konkrit dan penafsiran yang teliti terhadap tanda-tanda zaman ( ‘’tanda-tanda Roh’’).

b. Kemampuan untuk berintegrasi dalam Gereja dan kesadaran mematuhi hirarki.

c. Keberanian untuk mengambil prakarsa menjaga keaslian karisma/spiritualitas tarekat (Hardawiryana, 1995:16).

Pembinaan terus menerus membantu para religius memadukan kreativitas dengan kesetiaan, sedangkan pembinaan dasar bertujuan mendidik ke arah otonomi yang memadai, untuk dengan setia menghayati komitmen religius. Panggilan kristiani dan panggilan religius menuntut pertumbuhan yang dinamis dan kesetiaan dalam situasi lingkungan hidup yang konkrit. Hal ini menuntut pembinaan rohani yang menghasilkan kesatuan batin tetapi juga bersifat fleksibel dan penuh perhatian terhadap peristiwa sehari-hari dalam hidup pribadi dan dalam hidup bersama. Mengikuti Kristus berarti selalu berada dalam perjalanan; harus

waspada terhadap kelambanan dan kekakuan sehingga mampu memberi kesaksian yang hidup dan benar tentang Kerajaan Allah. Tiga motivasi dasar bagi pembinaan terus menerus antara lain :

1) Hidup religius memainkan peranan sangat karismatis dan eskatologis; perlu secara khas diperhatikan kehidupan Roh dalam riwayat pribadi dalam harapan dan kecemasan sesama.

2) Dalam dunia yang sedang berubah-ubah dengan pesat bermuncullan tantangan bagi masa depan iman kristiani.

3) Kelangsungan tarekat di masa depan sebagian tergantung dari pembinaan berkelanjutan para anggota sendiri.

Selanjutnya ‘’Pedoman-Pedoman Pembinaan’’ menyebutkan cakupan pembinaan terus menerus adalah nilai-nilai rohani religius manakah yang perlu mendapat perhatian antara lain dalam nomor 68 tentang ‘’Aspek-aspek hidup religius sebagai berikut :

1) Perlu diutamakan spiritualitas atau hidup menurut Roh, mencakup pendalaman iman dan makna profesi religius. Prioritas diberikan kepada retret tahunan dan bentuk-bentuk pembaruan rohani lainnya.

2) Partisipasi dalam hidup Gereja sesuai dengan karisma tarekat dan kerja sama dengan mereka yang melibatkan diri dalam reksa pastoral Gereja.

3) Penyegaran tentang ajaran Gereja dan profesi mencakup pendalaman perspektif-perspektif kitabiah dan teologis :studi tentang dokumen-dokumen Magisterium

universal dan lokal ; peningkatan pengetahuan tentang kebudayaan-kebudayaan setempat ; latihan profesional dll.

4) Kesetiaan terhadap karisma tarekat, pengetahuan makin mendalam tentang pendirinya, sejarahnya, semangatnya, misinya, dan usaha-usaha menghayati karisma secata pribadi atau bersama.

Bagaimanakah dalam pelaksanaan bina lanjut para religius itu kaitan antara usaha-usaha antar tarekat dan tarekat sendiri diuraikan dalam nomor 69 sebagai berikut :

Ada usaha-usaha pembinaan religius terus menerus yang berlangsung dalam konteks antar lembaga. Tarekat tidak dapat menyerahkan seluruh tugas pembinaan berkelanjutan kepada organisasi-organisasi di luar sebab dalam pembinaan itu nilai-nilai karisma dan spiritualitas khas tarekat harus mendapat tempat sewajarnya. Maka setiap tarekat menurut kebutuhan dan kemampuannya harus menyusun program-program dan strukutur-struktur pembinaan para anggotanya sendiri (Hardawiryana, 1995:17).

Masa mediorat meliputi jangka waktu yang cukup panjang. Selama itu religius dapat mengalami perkembangan disposisi pribadi, yang dapat mengemukakan tuntutan-tuntutan khas bagi pendampingan yang berkelanjutan. Masing-masing jenjang usia menghadapi problem-problemnya yang khas yang sebaiknya dipandang justru sebagai tantangan sekaligus peluang untuk mencatat kemajuan dalam perjalanan rohani religius. Maka perlu dibedakan masa-masa khas pembinaan terus menerus dimana tercantum dalam nomor 70 sebagai berikut

Tahap-tahap amat penting, yang perlu dipahami secara fleksibel dengan tetap mengindahkan bimbingan dan karya Roh Kudus :

a. Peralihan dari pembinaan dasar menuju pengalaman pertama hidup religius lebih mandiri; religius harus menemukan cara baru menghayati kesetiaan terhadap Allah.

b. Kurang lebih sampai sepuluh tahun sesudah profesi kekal; muncul resiko hidup menjadi “rutin” belaka dan gairah hidup (atau setidak-tidaknya timbul kelesuan). Religius membutuhkan waktu secukupnya untuk mengundurkan diri dari hidup yang “biasa” dan untuk “membaca kembali” hidupnya dalam terang Injil dan semangat pendiri tarekat. Semacam “tahun ketiga” atau masa “probasi kedua”.

c. Kematangan penuh religius seringkali disertai bahaya berkembangnya individualisme, khususnya bagi religius yang berwatak aktif dan penuh semangat.

d. Krisis berat, yang dapat muncul pada usia manapun, diakibat.kan oleh faktor-faktor luar (misalnya: perubahan tempat karya, kegagalan, merasa tidak dimengerti, terasing, dll), atau oleh faktor-faktor yang lebih bersifat pribadi (penderitaan psikis atau fisik, kekeringan rohani, godaan-godaan yang berat, krisis iman atau perasaan, atau keduanya serentak, dll) Religius membutuhkan bantuan khusus untuk mengatasi krisis itu dalam iman.

e. Waktu mengundurkan diri dari kegiatan rutin, bila religius merasa mengalami apa yang dikatakan Paulus: "kami tidak tawar hati. Tetapi meskipun manusia lahiriah kami makin merosot, manusia batiniah kami diperbaharui dari hari ke hari"(2Kor 4:16;5:1-10). Pengalaman Petrus:"Bila engkau sudah tua, engkau akan mengulurkan tanganmu, dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kau kehendaki" (Yoh 21:15-19). Saat-saat itu dapat dihayati sebagai kesempatan unik untuk membiarkan diri dirasuki oleh pengalaman Paska Yesus, sampai orang mau mati "untuk berada bersama Kristus". Yang kukehendaki ialah mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya, sert.a persekutuan dalam penderitaan-Nya, bila aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya akhir-Nya beroleh kebangkitan dari antara orang mati (Flp 3:10; LG.48).

Sinode para Uskup IX tentang Hidup Bakti dan peranannya dalam Gereja dan masyarakat masa kini menganggap pembinaan terus menerus tidak kalah penting dari pembinaan dasar. Kalau bagi pembinaan dasar tersedia team Pembina (para Pembina), kiranya tidak kalah penting memikirkan siapa yang akan diserahi tanggung jawab atas pembinaan yang berkelanjutan, terdapat pada no. 71 sebagai berikut :

Perlu diangkat penanggung jawab itu tetapi para religius selama hidupnya boleh menggunakan tuntunan-tuntunan rohani atau pembimhing-pembimbing menurut arah pendidikan dasarnya; dan sesuai dengan cara-cara seturut kematangan mereka yang makin penuh dan situasi-situasi aktual lingkungan mereka (Hardawiryana, 1995:20).

c. Makna Pembinaan dan Bina Lanjut Para Religius

Menurut Hardawiryana,1995 :35, kiranya dapat diandaikan bahwa pada usia medior, religius sudah menemukan jatidirinya sebagai religius yakni mengenal diri, mempunyai pendirian tentang makna hidup religius (visi dan misi tarekat) menyadari karisma pribadinya tetapi juga kelemahan-kelemahannya dan mampu mengolah pengalaman-pengalamannya untuk mengembangkan diri.

Pada usia medior perjalanan rohani bercorak ‘’berkembang secara mandiri atas daya kemampuan sendiri’’ (self propeling process of self development). Maka penting inisiatif, kreativitas, ketabahan dll. Religius memerlukan upaya-upaya pembinaan ‘’dari luar’’ (yang hendaknya diatur dengan baik oleh team pembina), tetapi sekedar sebagai bantuan. Sebab proses pembinaan pada intinya adalah proses pertumbuhan dalam diri religius sendiri dengan kata lain proses pembinaan diri sendiri. Proses pertumbuhan rohani berada dalam interaksi dengan kekuatan-kekuatan di masyarakat luas dimana sambil berkarya menanggapi tanda zaman dalam terang dan dengan semangat ‘’Hamba Yahwe’’ melayani sesama dengan memanfaatkan bantuan-bantuan yang disediakan untuk diolah secara pribadi (Hardawiryana, 1995 : 22).

Berikut dikutip ketetapan-ketetapan Tarekat PBHK tentang bina lanjut para anggota seperti terdapat dalam Konstitusi maupun Direktorium sebagai berikut : 1) Konstitusi Para Puteri Bunda Hati Kudus

Mengenai dimensi triniter spiritualitas, peranan Maria Bunda Hati Kudus serta peranan religius sendiri dalam perjalanan rohaninya yang semuanya jelas perlu diindahkan dalam pembinaan terus menerus, dari konstitusi perlu direnungkan nomor-nomor berikut :

Dalam setiap panggilan, Allah mengambil inisiatif, Ia memanggil masing-masing untuk mengikuti Yesus dalam hubungan cinta kasih yang semakin mendalam dengan Dia dan untuk mengambil bagian dalam tugas perutusan-Nya di tengah-tengah manusia. Pembinaan berpusat pada Hati Yesus, tahap demi tahap membimbing menjadi serupa dengan Dia (Konst. No. 88). Maria Bunda Hati Kudus yang terbuka kepada Roh Kudus dan menerima kehendak Bapa memperkenankan sabda yang menjelma itu dibentuk dalam dirinya. Bersama dengan dia dalam iman yang hidup menyerahkan diri dengan penuh sukacita Roh Kudus sehingga Yesus dapat terbentuk dalam diri kita (Konst. no. 89). Sepanjang hidup kita, Roh itu terus membimbing kita menjadi murid-Nya. Dengan membiarkan diri dibentuk oleh pengalaman hidup sehari-hari, dan dengan doa dan refleksi atas pengalaman-pengalaman itu di dalam cahaya Injil dan karisma kita, kita akan tetap diperbaharui baik secara pribadi maupun sebagai komunitas (Konst. no. 90). Daya hidup kongregasi dipelihara pula oleh kesetiaan tanggapan kita atas panggilan Allah yang terus menerus akan pembaharuan diri. Dengan

pembaktian yang riang, dengan doa, dengan cinta kasih yang tulus kepada orang lain, kita menyiapkan jalan bagi orang-orang yang dipanggil Allah untuk berbagi kehidupan dengan kita dalam tarekat (Konst. 91). "Daya hidup kongregasi sangat tergantung dari pembinaan yang dilanjutkan secara terus-menerus sesudah masa kaul. Pada dasarnya suster sendiri bertanggung jawab atas pembinaan secara terus-menerus. Pada setiap tahap religius-apostolisnya, ia mengutamakan pengembanan suatu kehidupan doa yang makin mendalam, penghayatan kaul secara lebih tegas dan pengabdian diri secara lebih bersemangat dalam tugas-tugas perutusan diri kongregasi dalam Gereja (Konst.no. 101).

2) Direktorium Para Puteri Bunda Hati Kudus

Direktorium sebagian besar memberi pedoman bagi pembinaan dasar para suster bahwa relatif hanya sedikit saja yang secara umum digariskan berkaitan dengan "on going formation" tidak berarti seolah-olah bina lanjut dan sejauh perlu atau berguna,pendampingan para suster medior kurang penting di bandingkan dengan pembinaan dasar para religius muda. Sebaliknya menghadapi tantangan-tantangan cukup berat bagi hidup dan kerasulan tarekat pada zaman moderen ini, perjalanan rohani memerlukan kemantapan yang lebih tangguh. Untuk pembinaan terus menerus dapat dikutip: “Mutu hidup religius dan kesuburan kerasulan sebagian besar tergantung pada usaha tetap untuk penyesuaian dan pembaharuan. Masing-masing di antara kita bertanggungjawab untuk menggunakan baik-baik sarana-sarana yang yang disediakan untuk memperdalam hubungan kita dengan

Allah, seperti waktu-waktu intensif doa dan retret serta pengembangan anugerah-anugerah budi dan hati (Dir.8;16).

d. Profil Suster Medior PBHK

Pengalaman akan kasih kemurahan Allah yang menghangatkam hati religius mendorongnya, untuk mengasihi Allah dengan segenap hati dan jiwanya, dengan seluruh kekuatan dan budinya (Luk 10:27). Kasih yang dengan bertambahnya usia dialami sebagai kerinduan kian mendalam akan Allah itu diharapkan makin intensif dan matang pada suster medior. Kerinduan itu dialami sebagai kekuatan batin yang makin memantapkan ketenangan hati dalam menghadapi beban usia yang kian lanjut. Kalau ditanyakan bagaimanakah orang dapat menjadi tua dengan gembira, kunci kebahagiaannya terletak pada iman akan kasih kesetiaan Alah. Ia mengaruniakan segalanya untuk makin menarik kita memasuki hidup ilahi-Nya. Iman penuh dambaan itulah yang membahagiakan religius menatap masa senja hidupnya. Tentu religius medior diharapkan dapat diserahi tanggung jawab penuh dalam tugas pengabdiannya di lingkup rumah tangga maupun dalam kerasulan. Kedua aspek itu menyatu tak terceraikan dalam karisma kerasulan tarekat menurut spiritualitasnya meneladan Bunda Maria, menunjuk kepada Hati Yesus yang terbuka, melalui kesaksian bakti pelayanannya.

Suster medior diharapkan menjalankan tugas hariannya secara mandiri, dan mengolah suka dukanya secara pribadi sebagai gelanggang penghayatan spiritualitasnya, dalam rangka perjalanan religiusnya, diharapkan agar

demikian makin mekarlah dimensi kontemplatif. Kerinduan menatap wajah Tuhan menunjukkan orientasi ziarah rohaninya, sehingga bermakna penuh. Kontemplasi diwujudkannya tidak di samping atau kendati kesibukannya, melainkan di dalam dan melalui kegiatannya. Suster medior diharapkan makin setulus dan seutuh hati memberi kesaksian religius bagaimana mencari dan menemukan Allah di saat-saat yang suram. maupun yang terang, dalam suka maupun dukanya, meniti perjalanan Yesus mengikuti cita-cita-Nya, sikap dan semangat-Nya serta perilaku-Nya. Yesus itulah yang dialami makin hidup dalam dirinya. Yesus itu pula yang di antaranya menjumpai sesama. Yesus itu yang hendak dilayani dalam sesama.