• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsili Vatikan II dalam Perfectae Caritatis dengan jelas memberi petunjuk mengenai profesi religius yakni kemurnian, kemiskinan dan ketatan. Semuanya itu diarahkan demi kerajaan surga dan demi kebahagiaan. Penghayatan kaul-kaul injili dalam kehidupan religius merupakan salah satu sarana dan bentuk konkret untuk memperkembangkan “kesucian’ yaitu persatuan sempurna dengan Kristus (LG 50 art.1-2). Ketiga nasehat injili merupakan sarana yang ditawarkan Kristus kepada manusia untuk mengikuti-Nya dengan cara yang khas, mengikatkan diri pada pribadi-Nya dan masuk pada tugas perutusan-Nya. Ambil bagian dalam hidup Kristus merupakan norma terakhir hidup religius (PC. 2).

Kaul religius merupakan anugerah untuk menjadi sarana agar manusia dapat memberikan dirinya dengan kebebasan seperti Kristus memberikan diri kepada Gereja dan manusia (ET,7) dengan demikian diakui bahwa hidup religius yang ditandai dengan kaul mempunyai dimensi teosentris, karena hidup berpusatkan pada kepentingan Allah. Kristosentris, karena religius mengambil bagian pada hidup Kristus yang manusiawi, Gerejani karena untuk tugas-tugas gerejawi dan sosial, karena untuk pengabdian kepada umat manusia (Darminta, 1981:13-14).

a. Kaul Kemurnian

Kitab Hukum Kanonik berbicara mengenai kemurnian injili sebagai berikut: Nasehat injili kemurnian yang diterima demi kerajaan Allah, yang menjadi tanda dunia yang akan datang dan merupakan sumber kesuburan melimpah dalam hati yang tak terbagi, membawa serta kewajiban bertarak sempurna dalam selibat (KHK 1985 kan. 599).

Konsili Vatikan menguraikan dan menjelaskan tentang kemurnian religius sebagai berikut :

Kemurnian "demi Kerajaan Surga" (Mat 19:12) yang diikrarkan oleh para religius, harus dihargai sebagai kurnia rahmat yang sangat luhur. Sebab secara istimewa membebaskan hati manusia, supaya ia lebih berkobar cinta-kasihnya terhadap Allah dan semua orang. Maka merupakan tanda yang

amat khas harta surgawi dan upaya yang sangat cocok bagi para religius untuk dengan gembira hati membaktikan diri bagi pengabdian kepada Allah serta karya-karya kerasulan. Begitulah mereka mengingatkan semua orang beriman kristiani akan pernikahan mengagumkan, yang diadakan oleh Allah dan di zaman mendatang akan ditampilkan sepenuhnya antara Gereja dan Kristus Mempelainya yang tunggal (PC art 12).

Memilih dan mencintai Yesus secara radikal berarti menyerahkan diri secara total kepada Tuhan tanpa lepas dari rasa hormat terhadap hidup seksualitas dengan segala kedalaman artinya. Dapat dikatakan bahwa kaul kemurnian merupakan jalan yang menuju ke kepenuhan pribadi, menjadi pribadi yang integral matang menuntut kepribadian yang direfelasikan dalam inkarnasi Kristus (Darminta, 1981: 26).

Dengan demikian pengikraran kaul kemurnian terarah kepada suatu tujuan yakni penyerahan diri pada kesempurnaan dalam pribadi Yesus Kristus. Untuk itu sangat diharapkan agar setiap kongregasi mencari bentuk kemurnian yang khas untuk dihidupinya. Para religius wajib berusaha menghayati kaul mereka dengan setia. Hendaknya mereka percaya akan amanat Tuhan, bertumpuh pada bantuan Allah, tidak mengandalkan kekuatan mereka sendiri, bermatiraga dan mengendalikan panca inderanya. Janganlah mengabaikan upaya-upaya kondrati yang mendukung kesehatan jiwa dan badan. Dengan demikian mereka takkan goyah terpengaruh ajaran-ajaran sesat, yang membayang-bayangkan seolah-olah pengendalian diri yang sempurna itu tidak mungkin atau merugikan bagi perkembangan manusia. Berdasarkan suatu naluri rohani mereka akan menolak segala sesuatu yang membahayakan kemurnian. Selain itu hendaknya semua, terutama para pemimpin perlu ingat bahwa kemurnian akan dihayati dengan lebih

aman bila hidup bersama diliputi kasih persaudaraan antara para anggota. Penghayatan pengendalian diri yang sempurna menyentuh kecondongan-kecondongan kodrat manusia secara mendalam (PC. 12).

Kemurnian merupakan istilah yang lebih luas, lebih tepat sebenarnya adalah hidup wadat, tidak menikah. Hidup wadat para religius itu luhur dan dipandang sebagai karunia (LG. 42; PC. 14) dan demi kerajaan Allah. Hidup wadat ada hubungannya yang erat sekali dengan kasih yakni kasih pada Allah setuntas-tuntasnya. Ada tiga tingkat kasih: eros : kasih yang ada hubungannya dengan nafsu (seksual); filial : kasih yang berdasarkan pada fungsinya; agape : kasih murni tanpa mengharapkan balasan dikasihi.

Bahaya yang mengancam kaul kemurnian selalu saja ada, datang dan pergi silih berganti. Dengan kaul kemurnian tidaklah dimatikan seksualitas itu. Dan kaul kemurnian tidak mengijinkan adanya penghayatan seksualitas (eros) seperti orang biasa yang hidup berkeluarga. Karena itu ada bahayannya juga, misalnya : hubungan yang intim tanpa reserve dengan sesama atau lain jenis, mencintai binatang melebihi sesama religius, suka anak-anak - pedofili; kekurang matangan dalam psikologis-fisik lalu mencari kepuasan diri, mencari pornografi (gambar atau film) berlaku kejam terhadap sesama religius dll (Sardi, 2008 : 15).

b. Kaul Kemiskinan

Kitab Hukum Kanonik menguraikan tentang kemiskinan religius sebagai berikut:

Dengan nasehat injili kemiskinan orang mengikuti jejak Kristus yang meskipun kaya menjadi miskin demi kita. Nasehat injili kemiskinan berarti hidup miskin dalam kenyataan dan dalam semangat yang harus dihayati tanpa kenal lelah dalam kesederhanaan dan jauh dan kekayaan duniawi. Disamping itu membawa serta penentuan harta benda menurut peraruran masing-masing lembaga (KHK 1985 kan. 600).

Menghayati kemiskinan bukan berarti harus hidup miskin. Namun kemiskinan yang dimaksud yaitu semakin menyadari keterikatan dan ketergantungan pada cinta Allah. Dengan semakin menghayati kemiskinan injili berarti menjadi saksi atas nilai-nilai batin yang kita temukan dalam hubungan cinta dengan Kristus yaitu iman, harapan dan cinta kasih yang kita miliki dalam Kristus (Ridick, 1987: 31).

Sebagaimana ditegaskan dalam Dokumen Konsili Vatikan II yang mengartikan kemiskinan sebagai berikut:

Kemiskinan sukarela untuk mengikuti Kristus merupakan tandanya, yang terutama sekarang ini sangat dihargai. Hendaknya kemiskinan itu dihayati dengan tekun oleh para religius, dan bila perlu diungkapkan juga dalam bentuk-bentuk yang baru. Dengan demikian para religius ikut serta menghayati kemiskinan Kristus, yang demi kita telah menjadi miskin sedangkan Ia kaya, supaya karena kemiskinan-Nya itu kita menjadi kaya (PC art 13).

Kaul kemiskinan berarti ikut ambil bagian dalam menegakkan Kerajaan Surga. Ketika Yesus memanggil para murid-Nya Dia menghendaki para murid untuk meninggalkan segala milik mereka, tidak supaya mereka menjadi miskin. Mengikuti Yesus yang miskin merupakan bentuk konkret dari kepercayaan yang absolut dan total, yang diharapkan dimiliki oleh para murid kepada Bapa di surga,

dalam ikut ambil bagian misteri salib Kristus dan dalam kesetiaan kepada tindakan Roh Kudus (Darminta, 1981:42-43).

Dengan kemiskinan para religius hendak meneladan Yesus yang miskin, mengalami kebebasan batin dan bebas dari kelekatan dan harta milik. Dengan mengikrarkan kaul kemiskinan para religius dapat memusatkan seluruh perhatian pada Tuhan tanpa memperhitungkan kedudukan, gengsi serta kekuasaan. Adapun mengenai kemiskinan religius tidak cukuplah bahwa dalam menggunakan harta benda para anggota mematuhi para pemimpin. Melainkan mereka wajib menjadi miskin harta dan miskin dalam roh, karena menaruh harta kekayaan mereka di surga (Mat 6:20).

Hendaknya dalam tugas mereka masing-masing para anggota merasa diri terikat pada keharusan umum untuk bekerja. Sambil memperoleh rejeki yang diperlukan bagi kehidupan dan karya-karya mereka. Hendaknya mereka mengesampingkan segala keprihatinan yang tidak wajar, dan mempercayakan diri kepada penyelenggaraan Bapa di surga (Mat 6:25).

Menjadi religius yang miskin berarti kita hanya mengandalkan diri pada Allah saja. Allah dijadikan jaminan hidupnya. Allah dijadikan andalan hidup. Dan hanya pada Allah sajalah segalanya mendapat kepenuhan. Segala yang dimiliki hanyalah sarana saja dan bukan tujuan akhir. Maka itu kekayaan atau harta yang ada haruslah dimanfaatkan demi tercapainya tujuan pengandalan diri pada Allah.

Tantangan atau bahaya kaul kemiskinan ketika terpukau akan harta dan lupa akan tujuan hidup religius. Harta bagi kaum religius haruslah dipandang sebagai

yang digunakan saja (ad usum) dan bukan dimiliki. Kita di dunia ini bukanlah pemilik tetapi hanya memanfaatkan saja sebagai sarana untuk sampai pada penyerahan diri pada Allah semata (Sardi, 2008:18).

c. Kaul Ketaatan

Konsili Vatikan II dalam dekritnya mengenai pembaharuan dan penyesuaian hidup religius (PC) memberikan garis besar untuk unsur-unsur hakiki tentang ketaatan injili sebagai berikut:

Dengan kaul ketaatan biarawan-biarawati menyerahkan diri kepada Allah kehendaknya sendiri secara penuh sebagai korban. Lewat ketaatan itu mereka dipersatukan lebih teguh dan lebih pasti pada kehendak ilahi yang menyelamatkan. Maka sesuai teladan Kristus, yang datang untuk melakukan kehendak Bapa dan yang menerima rupa hamba serta belajar taat melalui penderitaan-Nya, biarawan-biarawati, terdorong oleh Roh Kudus, menaklukan dirinya dalam iman kepada pemimpin, yang menggantikan Allah. Dengan perantaraan mereka, biarawan-biarawati diantar untuk melayani semua saudara-saudari dalam Kristus, sebagaimana Kristus melayani saudara-saudari karena ketaatan-Nya kepada Bapa dan menyerahkan nyawa-Nya untuk menebus banyak orang. Begitu mereka terikat lebih erat kepada pelayanan Gereja dan berusaha mencapai taraf kedewasaan kepenuhan kemanusiaan di dalam Kristus (PC atr. 14 : 258). Dengan demikian ketaatan dimengerti sebagai suatu penyerahan diri kepada Allah lewat pemimpin yang menggantikannya. Persembahan kebebasan pribadi dan mengikat diri pada Kristus untuk ikut ambil bagian dalam karya keselamatan yang ditawarkan oleh Kristus sendiri. Sebagaimana ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik :

Nasehat injili ketaatan yang diterima dalam semangat iman dan cinta kasih dalam mengikuti jejak Kristus yang sampai mati, mewajibkan tunduk

terhadap pemimpin-pemimpin yang sah, selaku wakil Allah, bila mereka memerintahkan sesuatu seturut konstitusi masing-masing (Kan 601).

Dilihat dari konteks sejarah keselamatan "ketaatan" merupakan suatu realitas teologis, sebab cinta sendiri merupakan keutamaan teologal. Yesus menyelamatkan manusia dengan taat kepada Bapa, sebab pada dasarnya dosa berarti tidak taat kepada Allah (Ensiklopedi Gereja I : 260).

Ketaatan merupakan suatu percobaan dan perjuangan (Mrk 14: 32-39). Bahkan ketaatan menuntut pengorbanan dan derita untuk mencapai kesempurnaan. Ketaatan merupakan penyerahan mutlak kepada Allah (Ibr 5:7-9). Ketaatan berarti meninggalkan diri dan mengosongkan diri untuk mencapai dan ikut ambil bagian dalam hidup orang yang dicintai, sampai pada titik kematian. Dengan ketaatan merupakan jalan ke kemuliaan (Fil 2:5-9).

Ketaatan merupakan ciri dari seluruh hidup Yesus. Yesus yang taat kepada mereka dan Dia meninggalkan orang tua-Nya untuk pergi ke Kenisah, karena Dia taat kepada Bapa-Nya (Luk 2:41-52). "Bukanlah kehendak-Ku yang kucari, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku" (Yoh 5:30). Maka ketaatan merupakan interioritas hidup Yesus. Dan ketaatan Yesus itulah yang menjadi model ketaatan religius (J. Darminta, 1981: 62).

Oleh karena itu hendaknya para anggota dalam semangat iman dan cintakasih terhadap kehendak Allah, dengan rendah hati mematuhi para pemimpin mereka menurut kaidah pedoman serta konstitusi mereka. Hendaknya mereka mengerahkan daya kemampuan akal budi dan kehendak maupun bakat-bakat

alamiah serta kurnia-kurnia rahmat dalam menjalankan perintah-perintah dan menyelesaikan tugas-tugas yang diserahkan kepada mereka. Hendaknya mereka sadari, bahwa mereka sedang berkarya demi pembangunan Tubuh Kristus menurut rencana Allah.

Demikianlah ketaatan religius sama sekali tidak mengurangi martabat pribadi manusia, melainkan justru membawanya kepada kematangan karena dikembangkannya kebebasan putera-putera Allah (Sardi, 2008:20).

Adapun para pemimpin, yang akan memberi pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa yang diserahkan kepada mereka (Ibr 13:17), hendaknya dalam menunaikan tugas mereka membiarkan diri dibimbing oleh kehendak Allah. Hendaknya mereka mengamalkan kewibawaan dalam semangat pengabdian kepada para saudara, sehingga mengungkapkan cinta kasih Allah terhadap mereka. Hendaknya mereka memimpin para bawahan sebagai putera-putera Allah, dengan menghormati pribadi manusia, seraya mengembangkan kepatuhan mereka yang sukarela. Maka khususnya hendaklah mereka memberi kebebasan sewajarnya kepada para anggota berkenaan dengan sakramen tobat dan bimbingan suara hati. Hendaknya mereka membimbing para anggota sedemikian rupa, sehingga dalam melaksanakan tugas-tugas serta mengambil prakarsa-prakarsa mereka itu bekerja sama dalam ketaatan aktif dan penuh tanggung jawab. Maka para pemimpin hendaknya dengan suka hati mendengarkan para anggota dan mengembangkan kerjasama mereka demi kesejahteraan tarekat dan Gereja, sementara mereka tetap

berwenang untuk mengambil keputusan dan memerintahkan apa yang harus dijalankan (Sardi, 2008: 22).

Hendaknya kapitel-kapitel dan dewan-dewan dengan setia menunaikan tugas kepemimpinan yang diserahkan kepada mereka, serta masing-masing dengan caranya sendiri mengungkapkan keikutsertaan dan usaha semua anggota demi kesejahteraan segenap persekutuan hidup. Ketaatan Yesus pada Bapa, sebagai modelnya. Yesus taat sepenuhnya sampai menyerahkan diri demi manusia. Dalam rangka kaul religius, menurut pendapat saya, haruslah dibedakan dua hal mengenai ketaatan: 1) ketaatan Religius dan 2) Ketaatan karya. Dalam rangka ketaatan religius, haruslah taat sungguh, dalam ketaatan karya, dapatlah didiskusikan. Suatu contoh yang indah dari Fransiskus, yakni setiap saudara harus menolak untuk taat, bila diperintah oleh atasannya untuk berbuat dosa. Ketaatan religius berarti ketaatan yang berkaitan dengan inti hidup religius, yakni mengejar kesempurnaan injili dengan berbagai segi dan aspeknya. Sedangkan ketaatan karya dapatlah dirumuskan ketaatan dalam rangka karya suatu tarekat. Pimpinan tidaklah dapat memaksakan suatu karya kepada anggota religius bawahannya, kalau bawahan itu memang tidak sanggup, tidak mampu dan dengan karya yang mau diserahkan itu religius itu bahkan dapat kehilangan orientasi imannya. Oleh karena itu, dalam hal karya dapatlah didiskusikan, dibicarakan dan manakah yang tepat bagi religius yang bersangkutan. Sehingga dengan karya itu yang bersangkutan benar-benar dapat merealisasikan dirinya sebagai religius yang mempunyai integritas diri dan matang dalam hidup religiusnya (Sardi, 2008:24).