• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUSTER MEDIOR PBHK DAERAH MALUKU DAN KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF

B. Kepemimpinan Transformatif

2) Belajar dan Menginternalisasi Empat Ranah Kepemimpinan

Dengan memahami pola memimpin seperti Yesus sebagai suatu perjalanan transformasi, diharapkan para pemimpin menerapkan apa yang dimaksud dengan memimpin seperti Yesus dalam hati, kepala, tangan mereka, sehingga mereka

mencapai transformasi kepemimpinan bukan karena kecerdasan tetapi karena seseorang yang akan ditemui yakni Yesus. Mengenal-Nya secara baru sebagai guru sejati dan model kepemimpinan yang efektif akan menjadikannya kekuatan memilih untuk menjawab panggilan-Nya “Marilah, ikutilah Aku” dan belajar memimpin seperti Yesus.

a. Hati Seorang Pemimpin Pelayan

Kepemimpinan berfokus pada perilaku para pemimpin dengan memperbaiki gaya dan metode kepemimpinan. Penekanannya diletakkan pada tangan pemimpin dan mereka mengubah kepemimpinan dari luar. Namun dalam memimpin seperti Yesus, kepemimpinan yang efektif harus dimulai dari dalam; hal itulah yang harus diperhatikan yakni hati. Kendala terbesar untuk memimpin seperti Yesus adalah hati yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi (Ken Blanchard, 2006 :50).

Dalam Flp 2:1- 4, Paulus mengajak untuk memperhatikan kepentingan orang lain bukan kepentingan sendiri antara lain sebagai berikut :

Jadi karena dalam kristus, ada nasehat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentinganya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga ( Flp 2 : 1- 4).

Hati yang didorong oleh kepentingan sendiri melihat dunia dengan membawa keyakinan atau proposisi “memberi sedikit, mengambil banyak”. Orang dengan hati yang didorong

oleh kepentingan diri sendiri menempatkan agenda, keamanan, status dan kepuasan diri sendiri lebih tinggi daripada urusan orang yang terkena akibat dari pikiran dan tindakan mereka (Ken Blanchard, 2006 :52).

Ketika memperhatikan perkara hati dalam kepemimpinan, pertanyaan pertama yang diajukan kepada diri sendiri adalah “ apakah saya adalah seorang pemimpin yang melayani atau pemimpin yang melayani diri sendiri?” kenyataannya adalah bahwa semua manusia tidak sempurna dan mudah menyerah pada godaan untuk berperilaku sebagai pemimpin yang melayani diri sendiri dalam situasi tertentu. Pertanyaan ini jika dijawab dengan ketulusan hati, menyingkapkan motivasi sebagai pemimpin. Apa yang mendorong orang melayani diri sendiri? Ada dua tipe orang yakni orang yang didorong dan orang yang dipanggil. Orang yang didorong berpikir memiliki segalanya. Mereka memiliki hubungan, barang dan posisi. Mereka memahami identitas diri sebagai sejumlah posisi, kepemilikan dan posisi. Akibatnya, orang yang didorong menghabiskan seluruh waktu untuk melindungi apa yang dimiliki. Orang yang dipanggil percaya bahwa segala sesuatu adalah barang pinjaman, mereka percaya hubungan mereka adalah pinjaman. Mereka tahu, bahwa mereka tidak mempunyai jaminan bahwa mereka akan melihat orang yang dicintai pada besok hari. Orang yang dipanggil percaya bahwa barang milik mereka adalah pinjaman dan tidak perlu digenggam erat, harus dinikmati dan dibagi dengan tangan terbuka. Pada akhirnya orang yang dipanggil percaya bahwa posisi mereka adalah pinjaman dari Allah dan orang yang mencoba mempengaruhi mereka. Daripada melindungi apa yang mereka miliki, pemimpin yang dipanggil bertindak

sebagai pengurus yang baik atas apa yang telah dipinjamkan kepada mereka (Ken Blanchard, 2006 :54).

Tiga pola perilaku yang berbeda menandai perbedaan antara pemimpin yang melayani diri dan pemimpin yang melayani orang lain: bagaimana ia mengelola umpan balik, bagaimana ia mengelola perencanaan lanjutan, dan perspektifnya tentang siapa yang ia kiranya memimpin dan siapa yang mengikuti. Pemimpin yang melayani diri sendiri menggunakan sebagian besar waktunya untuk melindungi dan mempromosikan sesuatu yang telah mereka investasikan demi harga diri dan keamanan; seperti citra publik, reputasi, dan cara kerja kompetitif, posisi, kepemilikan, atau kepenuhan pribadi mereka berada dalam hubungan mereka yang akrab. Jikalau mereka mengetahui adanya ancaman terhadap sesuatu yang mereka pelihara, mereka akan bereaksi dengan penuh rasa takut dan defensif. Hal ini terjadi khususnya ketika mereka mendapatkan umpan balik negatif. Mereka mengira umpan balik negatif berarti orang tidak ingin mereka pimpin lagi. Itu merupakan mimpi malam yang buruk. Ketakutan terbesar dari seorang pemimpin yang melayani diri sendiri adalah kegagalan; mereka takut kehilangan kekuasaan dan posisi yakni hal dasar yang menjadi sandaran harga diri dan keamanan diri (Ken Blanchard, 2006 :56).

Karena pemimpin sebagai pelayan percaya bahwa posisi dan pengaruh mereka merupakan pinjaman dari orang-orang yang mereka layani, maka mereka melihat umpan balik sebagai hadiah bukan ancaman. Sekalipun umpan balik terasa menyakitkan atau diberikan secara negatif, seorang pemimpin sebagai pelayan yang bersandar pada cinta tanpa syarat dari Allah mendapatkan sesuatu yang lebih tinggi daripada emosi negatif

awalnya dan berusaha menemukan kebenaran dan nilai tertentu untuk memperbaiki kepemimpinan mereka.

Selama masa hidupnya di bumi, Yesus membangun satu model cinta yang berkorban untuk memastikan bahwa para pengikut-Nya dipersiapkan untuk melanjutkan kepemimpinan-Nya. Dia menghidupkan warisan-Nya dalam hubungan yang akrab dengan orang-orang yang Ia berdayakan dengan kata-kata dan teladan-Nya.

Dalam buku Transforming Leadership, Leighton Ford menulis sebagai berikut : “Jauh sebelum manager modern Yesus, sibuk mempersiapkan orang-orang bagi masa depan. Dia tidak bermaksud untuk memilih seorang pangeran bermahkota, tetapi untuk menciptakan satu generasi penerus. Ketika tiba waktu-Nya untuk meninggalkan para murid-Nya, Ia tidak melakukan program dadakan tentang pengembangan kepemimpinan. “Kurikulum” itu telah diajarkan selama tiga tahun dalam ruang kelas kehidupan” (Ken Blanchard, 2006 :58).

Yesus mengajukan model hati pemimpin sebagai pelayan sejati dengan mencurahan banyak waktu pelayanan-Nya untuk melatih dan mempersiapkan para murud-Nya dengan suatu model kepemimpinan. Mendekati akhir masa pelayanan-Nya di bumi, Yesus berkata kepada murid-murid-pelayanan-Nya, “Aku tidak memanggil kamu hamba, karena seorang hamba tidak tahu apa yang dibuat oleh tuannya. Sebaliknya Aku memanggil kamu sahabat karena segala sesuatu yang Aku terima dari Bapa, Aku telah memberitahukannya kepadamu” (Yoh 15:15).

Kata pemimpin disebut hanya enam kali dalam Kitab Suci versi King James, sedangkan kata pelayan disebutkan lebih dari sembilan ratus kali. Kenyataan ini menunjukkan perbedaan ketiga antara pemimpin yang melayani diri dan pemimpin sebagai pelayan: siapa yang memimpin dan siapa yang mengikuti? Pemimpin yang melayani diri berpikir bahwa mereka harus memimpin dan orang harus mengikuti. Pemimpin sebagai pelayan, sebaliknya, berusaha menghormati keinginan dari orang-orang yang dipercayakan kepada mereka dengan masa pengaruh dan tanggung jawab (Ken Blanchard, 2006 60).

Melalui seluruh masa hidup dan kepemimpinan-Nya, Yesus menegaskan bahwa Allah tidak mencari pemimpin tetapi pelayan yang membiarkan Allah menjadi Pemimpinnya dan yang akan berfokus pertama-tama pada kerajaan Allah. Ketika Allah datang kepada Abraham, Allah membuat rencana dan Abraham diperintahkan untuk menjalankannya sesuai dengan janji Allah. Ketika Allah datang kepada Musa, Allah memberikan kepemimpinan bagi orang yang malu-malu dan kelelahan itu. Ketika Allah datang kepada Maria, dia berserah kepada kehendak Allah dan melaksanakan peran pemimpin sebagai pelayan kepada Putera-Nya. Ketika Allah datang kepada Paulus, Allah mempunyai rencana bahwa orang yang bersemangat besar ini menggunakan sisa hidupnya melalui kepemimpinan dan kesaksian kepada orang bukan Yahudi. Maka Allah adalah pemimpin dan orang-orang yang beriman ini adalah pelayan, rencana-Nya secara efektif terpenuhi.

Seluruh dunia adalah panggung, dan Allah adalah pendengar yang melihat segalanya. Ia menentukan tujuan hidup manusia. Bagaimana banyak pemimpin bisnis dan Gereja berpikir bahwa mereka bisa melarikan diri dengan urusan dan keputusan yang menjebak hanya untuk menyadari bahwa Allah memberitahu dari atap rumah rahasia yang dibisikkan dari dan milik siapakah diri-Nya. Kenyataan ini memungkinkan Dia memperlakukan orang lain dengan cinta dan hormat (Ken Blanchard, 2006 : 65).

Kerendahan hati menyadari dan menekankan pentingnya orang lain. Hal itu tidak merendahkan diri Anda sendiri; kerendahan hati mengangkat orang lain. Kerendahan hati berbicara kepada diri Anda dan orang lain, "Saya berharga di mata Tuhan - demikian pula Anda!" Kerendahan hati yang lahir dari hubungan rasa aman dan ketaatan dengan Bapa-Nya memungkinkan Yesus mendekati setiap situasi dengan kepercayaan diri yang bersandar pada Allah, sifat atau ciri kedua dari hati yang memuji Allah saja. Yesus selalu tahu Dia dicintai tanpa batas oleh Bapa-Nya. Hal itu memberi-Nya kepercayaan diri agar tetap berfokus pada alasan dan tujuan kedatangan-Nya (Ken Blanchard, 2006 :88).

Beralih dari kepercayaan diri ke kepercayaan yang bersandar pada Allah membutuhkan pribadi yang besar dan pribadi yang bahkan lebih besar lagi, Allah yang mencinta. Salah satu hasil sampingan dari kepercayaan diri yang bersandar pada Allah adalah "damai sejahtera Allah, yang mengatasi segala pengertian" (Fil 4:7). Yesus berjanji mengaruniai manusia damai ketika manusia menyerahkan kehidupannya kepada-Nya: "Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai

sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu" (Yoh 14:27).

Alangkah besarnya rahmat ketika menjalani hidup setiap hari dan mengetahui bahwa melalui Yesus, manusia mendapatkan jalan menuju damai sejahtera Allah, yang jauh melebihi kemampuan untuk mengerti. Damai sejahtera manusia dan kepercayaan diri tidak bergantung kepada jasa manusia. Membawa Allah masuk ke dalam kehidupan sehari-hari itulah doa satu-satunya yang dipanjatkan. Manusia bisa bergembira karena rahmat yang mengagumkan, yang mengangkat dan mendukung dan hanya berasal dari Allah (Ken Blanchard, 2006 :89).

Memimpin seperti Yesus melalui pengampunan dan rahmat. Salah satu akibat atau hasil dari tindakan mempersembahkan ego kepemimpinan di altar kehidupan untuk beralih dari perbuatan menyingkirkan Allah ke perbuatan memuji Allah saja mengambil perspektif di sini dan sekarang dalam terang kelak dan di sana. Dengan kata lain, itu berarti mengembangkan cara melihat pilihan kepemimpinan sehari-hari dengan mengingat perspektif keabadian dalam pikiran. Apa yang menjadi fokus selanjutnya akan menentukan pandangan masa depan macam apa, yang mau dihadapi.

Para pemimpin yang melayani diri sendiri bersibuk dengan urusan atau usaha tanpa akhir untuk mengejar kebutuhan dan kenikmatan jangka pendek, yaitu rasa bangga atau kesombongan yang berbasis material. Dalam mengusahakan hal

itu, mereka memanfaatkan manusia lain sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan membenarkan tindakan mereka itu dengan memberi manfaat atau keuntungan tertentu yang menetes kepada para pengikutnya sebagai hasil positif dari kepemimpinan yang melayani diri sendiri (Ken Blanchard, 2006 :100).

Memimpin seperti Yesus menuntut suatu perubahan yang radikal atas perspektif dan prioritas pertama-tama mencari kerajaan Allah. Dalam Kotbah di Bukit, Yesus menegaskan prioritas yang harus dijalankan oleh para pengikut-Nya: "Carilah dulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka semuanya itu (keperluan hidup) akan ditambahkan kepadamu" (Mat 6:33). Apa maksud carilah kerajaan Allah terlebih dahulu dalam keputusan kepemimpinan kita? Itu berarti memasukkan perspektif abadi ke dalam keputusan kepemimpinan praktis sehari-hari yang memberikan pengaruh dan hubungan yang lebih baik. Itu berarti mengubah cara melihat orang lain, situasi. dan prioritas seperti cara Allah melihat mereka, dan mengundang Roh Kudus untuk masuk ke dalam hubungan kita untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan dua elemen penting dari memimpin seperti Yesus pengampunan dan berkat. Mengapa pengampunan penting sebagai satu aspek kepemimpinan? Karena pengampunan adalah cara yang dipakai oleh para pemimpin pelayan untuk merespons kesalahan dan kekeliruan. Dan pengampunan merupakan suatu cara bagi hati yang bersandar pada cinta Allah yang tanpa batas untuk menanggapi ketidaksempurnaan manusia.

Yesus menegaskan pentingnya pengampunan dalam kepemimpinan-Nya ketika Dia berseru dari salib, "Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu

apa yang sedang mereka perbuat" (Luk 23:34). Salah satu ujian yang paling nyata tentang apakah manusia memiliki sikap hati untuk memimpin seperti Yesus adalah bagaimana menangani kegagalan dari orang-orang yang dipimpin agar melakukan pekerjaan sesuai rencana. Ingat, menata barang-barang secara kurang tepat merupakan bagian dari proses belajar yang mendahului penataan barang-barang secara sangat tepat dan konsisten (Ken Blanchard, 2006 :102).

Para pemimpin, yang berusaha menumbuhkan dan mengembangkan masyarakat sebagai tujuan akhir yang sama pentingnya dengan proses mencapinya, membutuhkan kapasitas yang sehat untuk mengampuni, memperbaiki, dan bergerak maju. Para pemimpin yang didorong ego, yang tidak sabar berproses, memandang dan menilai usaha-usaha yang kurang sempurna sebagai kegagalan; mereka tidak bisa mengampuni dan mengarahkannya kembali. Pengampunan merupakan suatu tindakan ilahi, bukan tanggapan alami karena merasa dilukai atau direndahkan. Ini merupakan suatu tindakan dari seseorang yang berkehendak menyerahkan kontrol kepada pengadilan yang lebih tinggi. Pengampunan merupakan tonggak memimpin seperti Yesus. Dia mengajarkan pengampunan kepada para murid-Nya, Dia memberikan pengampunan kepada orang yang mengkhianati-Nya, dan Dia menganugerahkan pengampunan secara sukarela kepada mereka yang turut serta dalam kematian-Nya di salib.

Sebagai pemimpin, perjalanan pengampunan harus mulai dari diri sendiri seperti Yesus, perjalanan manusiawi pemimpin tidak sempurna hingga 100%. Kadang-kadang melakukan kesalahan yang tidak bisa dihindari. Kadang- kadang

manusia berkata atau melakukan sesuatu pada saat ketika menyesal. Jika ego sangat memperhatikan penampilan hidup dan pendapat orang lain, manusia tidak akan mampu mengampuni kelemahan apalagi kelemahan orang lain (Ken Blanchard, 2006 :103).

Kita tengok sejenak, teks Kitab Suci yang berkata, "Karena itu janganlah kita saling menghakimi lagi! Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan kita membuat saudara kita jatuh atau tersandung!" (Rm (14:13). Dan dalam Yak 4:11, kita membaca, "Janganlah kamu saling memfitnah! Barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya, ia mencela hukum dan menghakimnya; dan jika engkau menghakimi hukum, engkau bukanlah penurut hukum tetapi hakimnya."

Lawan dari pengampunan adalah pengadilan. Motivasi untuk melakukan sesuatu sama pentingnya dengan apa yang kamu lakukan. Dalam arti teologis, pengadilan berarti menunjukkan kesalahan dengan maksud untuk menghukum. Sedangkan, discernmentum berarti menunjukkan kesalahan dengan maksud untuk memperbaiki atau memulihkannya. Jika kita menahan pengampunan, apakah itu karena kita secara tulus mencoba memperbaiki atau memulihkan atau karena ada keuntungan yang diperoleh dengan menghukumnya."Rahmat adalah peristiwa hubungan sejati." Pernyataan yang sangat mendalam ini dikemukakan oleh P. Joseph Fox, 0.P., yang bekerja sebagai direktur personil di Vatikan. Ketika dia memberi pernyataan ini, kata-katanya seperti lampu pijar yang terus memancarkan cahaya, dimana kunci penting atau cara penting bagi seorang pemimpin yang

melayani para pengikutnya yang membawa kesombongan dan ketakutan palsu, seperti juga para pengikut yang mengikuti para pemimpin yang membawa dalam dirinya kesombongan dan ketakutan, adalah kekuatan rahmat (Ken Blanchard, 2006 :104).

Rahmat memperluas persahabatan tanpa batas dengan orang lain dengan menghormati martabat mereka sebagai makhluk yang diciptakan seturut citra Allah dan sebagai objek cinta Allah. Rahmat bekerja dalam hubungan ketika kita hadir bagi orang lain, menerima keterbatasan kita masing-masing dan bersiap mempertukarkan usaha bersama untuk meningkatkan kesejahteraan satu sama lain. Hanya dalam keakraban, rahmat menjadi berlipat ganda.

Allah menyatakan diri dengan cara yang sangat mendalam untuk memulihkan hubungan yang akrab dengan-Nya. Sekalipun manusia menjauhkan diri dari-Nya dengan melakukan dosa, rahmat-Nya menjadi berlipat ganda seperti dikatakan, "ketika kita semua masih berdosa, Kristus mati bagi kita" (Rm 5:8). Selama masa kepemimpinan-Nya, Yesus terus mencari mereka yang disingkirkan dari masyarakat dan menerima untuk menyembuhkan dan memulihkan mereka dengan hubungan rahmat dan penerimaan. Untuk memimpin seperti Yesus, manusia harus mulai memahami dinamika spiritual hubungan, baik sebagai pemimpin maupun pengikut sehingga boleh menjadi penyalur rahmat dengan cara yang sama (Ken Blanchard, 2006 :105).

b. Kepala Seorang Pemimpin Pelayan

Perjalanan kepemimpinan yang melayani mulai dari hati dengan motivasi dan niat. Kemudian perjalanan itu berlanjut melalui kepala yang menekankan sistem kepercayaan pemimpin dan perspektifnya tentang peran seorang pemimpin. Semua pemimpin besar memiliki pandangan kepemimpinan yang spesifik, yang menjelaskan bagaimana mereka melihat peran dan hubungan mereka dengan orang yang mereka pimpin dan bersedia mengajarkan kepada orang lain. Pandangan kepemimpinan Yesus menyatakan bahwa kepemimpinan pertama-tama merupakan tindakan melayani. Yesus menggunakan waktu tiga tahun untuk mengajarkan pandangan dan visi kepemimpinan-Nya kepada para murid.

Kepemimpinan yang melayani berarti pemimpin berusaha menyenangkan setiap orang. Namun bukan itu yang dimaksudkan oleh Yesus dengan kepemimpinan sebagai pelayanan. Apakah Yesus berusaha menyenangkan setiap orang? Ketika Dia membasuh kaki para murid-Nya dan mengutus mereka sebagai duta-duta-Nya, apakah Dia mengutus mereka untuk melakukan segala sesuatu yang orang-orang inginkan? Tentu saja, jawabannya tidak. Yesus secara keseluruhan berfokus pada usaha membuat Bapa-Nya berkenan. Itu berarti mewartakan Injil dan membawa keselamatan kepada umat manusia. Dia mengutus para murid-Nya untuk membantu orang menerima kabar baik dan hidup seturut nilai-nilai Kerajaan Allah, bukan melakukan apa yang mereka inginkan. Yesus menjelaskan bahwa apa yang Dia minta agar dilakukan oleh para pengikut-Nya, dalam nama-Nya, tidak bermaksud untuk menyenangkan setiap orang. Dia berkata

kepada mereka sejak awal bahwa mereka bahkan harus rela menghadapi semua perlawanan dan penganiayaan karena mengatakan apa yang tidak ingin didengar orang (Ken Blanchard, 2006 :110).