• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUSTER MEDIOR PBHK DAERAH MALUKU DAN KEPEMIMPINAN TRANSFORMATIF

B. Kepemimpinan Transformatif

1) Pemimpin yang Melayani Sebagai Pelatih Cara Hidup

Aktivitas penting dari pemimpin pelayan yang efektif adalah bertindak sebagai pelatih cara hidup atau kinerja. Ketika Yesus memanggil para murid untuk mengikuti-Nya, Dia berjanji untuk memberi dukungan dan bimbingan penuh ketika mereka beralih profesi menjadi "penjala manusia". Inilah tugas seorang pemimpin pelayan - investasi jangka panjang dari hidup seorang pemimpin ke dalam kehidupan para pengikut-Nya.

Dengan menjadi pelatih cara hidup dan kinerja serta mengubah gaya kepemimpinan-Nya secara pas ketika para murid-Nya berkembang secara individual dan sebagai satu kelompok, Yesus memberdayakan para pengikut-Nya untuk melanjutkan karya-Nya sesudah kematian-Nya. Melalui tangan-Nya (perilaku pemimpin yang efektif), Yesus mampu mengalihkan kepada para murid-Nya apa yang ada dalam hati dan kepala-murid-Nya tentang kepemimpinan sebagai pelayanan (Ken Blanchard, 2006 :158).

Ada tiga peran untuk menjadi pelatih kinerja: perencanaan kinerja, pelaksanaan pelatihan hari-demi-hari, dan evaluasi kinerja. Perencanaan kinerja berurusan dengan menyediakan arah dan menetapkan sasaran. Pelaksanaan pelatihan haridemi-hari menyangkut membantu orang-orang untuk menang - menyelesaikan sasaran mereka - dengan mengamati kinerja mereka serta memuji kemajuan dan mengarahkan kembali usaha-usaha yang keluar dari rel. Hal itu membawa kita ke peran pelatihan kinerja ketiga: evaluasi kinerja. Evaluasi menuntut duduk bersama dengan orang itu dan mengevaluasi kerja sepanjang waktu.

Ketika Musa naik ke puncak gunung untuk mendapatkan Sepuluh Perintah Allah, dia tidak membawa satu tim atau panitia bersamanya. Sebaliknya, ia turun dengan membawa tiga perintah dan tujuh anjuran atau hukum. Yesus tidak melibatkan banyak murid-Nya dalam target atau sasaran yang Ia hendak capai. Dia mendapatkan sasaran itu dari puncak hirarki - dari Bapa-Nya.

Hal itu tidak berarti bahwa dalam pekerjaan di rumah, komunitas, dan kantor, seseorang tidak melibatkan orang lain dalam menetapkan sasaran atau target. Ia pasti dapat melakukannya di tempat kerja, dengan orang-orang yang berpengalaman, dan di rumah, ketika anak-anak bertumbuh dewasa. Tetapi tanggung jawab pemimpin peran hidup atau organisasilah yang membuat arahan yang pasti dan jelas. Dalam kepemimpinan peran hidup dalam satu keluarga, orangtua harus mengambil tanggung jawab untuk menetapkan sasarannya (Ken Blanchard, 2006 :160). Tidak cukup menekankan pentingnya kejelasan tujuan perencanaan peran kinerja pemimpin yang melayani. Jika tidak ada komunikasi yang jelas tentang pekerjaan baik macam yang hendak ditampilkan setelah pekerjaan itu tuntas, orang menjadi frustrasi - entah pemimpin atau pengikut atau keduanya.

2 ) Perjalanan kepemimpinan dari Panggilan ke Perutusan

Ketika Yesus pertama kali memanggil para murid-Nya dari pekerjaan biasa dan menjadi "penjala manusia", setiap orang membawa pengalaman hidup dan ketrampilan ke tugas baru ini tetapi tidak ada pengetahuan praktis untuk mengisi peran baru ini. Sesudah menghabiskan waktu selama tiga tahun di bawah kepemimpinan Yesus, para murid mengalami transformasi dari orang yang tidak terlatih menjadi pemimpin yang siap bekerja, memiliki dasar spiritual, dan mampu menjalankan Perutusan Agung, yaitu pergi kepada segala bangsa untuk mewartakan kabar gembira.

Bagaimana Yesus menyelesaikan transisi dari panggilan ke perutusan? Walaupun sering dilakukan mujizat, proses transisi itu berlangsung dengan menggunakan mujizat. Transisi itu melalui proses pelaksanaan yang sempurna dari seorang pemimpin yang secara personal bertekad menyelesaikan sasaran atau target kerja itu melalui pertumbuhan dan perkembangan para pengikut-Nya. Pengalaman Yesus sebagai seorang pelajar, yang diajar oleh seorang tukang kayu, memberinya cara praktis untuk menumbuhkan dan mengembangkan para murid-Nya. Dengan pengalaman itu Dia mampu membimbing pengalaman belajar para murid-Nya mulai dari panggilan ke perutusan (Ken Blanchard, 2006 :164).

Murid-murid Yesus tentu saja merupakan orang baru ketika Yesus pertama kali bertemu dengan mereka:

Dan ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat dua orang bersaudara, yaitu Simon yang disebut Petrus dan Andreas, saudaranya. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka adalah penjala ikan. Yesus berkata kepada mereka, "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Lalu mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia (Mat 4:18-20).

Yesus menemukan dalam diri penjala ikan yang bekerja keras ini kemampuan dasar untuk menjadi pemimpin pelayanan-Nya di masa depan, yang Dia akan tinggalkan dalam tangan mereka ketika masa kepemimpinan-Nya di dunia ini berakhir. Dengan penuh semangat, Petrus dan Andreas segera meninggalkan apa yang mereka sedang kerjakan ketika Yesus memanggil mereka untuk suatu tujuan menjadi "penjala manusia" (Ken Blanchard, 2006 :168).

Walaupun mereka sangat bersemangat, mereka tidak tahu secara jelas bagaimana menjalankan dan menangani tugas baru itu. Ingat, tugas itu adalah menjadi "penjala manusia" - bukan penjala ikan. Pada tahap ini, mereka sangat bergantung pada Yesus untuk mengajar mereka tentang tugas baru itu. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan belajar mereka, Yesus berfokus pada apa yang hendak dikerjakan dan bagaimana melakukannya (Ken Blanchard, 2006 :169).

Itulah yang Yesus kerjakan ketika Dia mengirim kedua belas murid-Nya untuk mewartakan kabar gembira untuk pertama kalinya. Dia memberi mereka instruksi dasar tentang ke mana mereka harus pergi, apa yang harus dikatakan, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana melakukan hal itu:

Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada mereka, "janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota-kota orang Samaria, melainkan pergilah ke domba-domba yang hilang dari umat Israel. Pergilah dah beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat. Sembuhkanlah orang-orang sakit, bangkitkanlah orang mati, tahirkanlah orang kusta, usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma. janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu.Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya. Apabila kamu masuk rumah orang, berilah salam kepada mereka.jika mereka layak menerimanya, salammu itu turun ke atasnya,jika tidak, salam itu akan kembali kepadamu.... Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala; sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular tutus seperti merpati (Mat 10:5-13, 16) Seorang murid atau “cantrik” adalah orang yang sedang mengikuti proses pelatihan, orang yang belum menguasai semua informasi ketrampilan yang diperlukan untuk bekerja sendiri. Mereka perlu diyakinkan bahwa mereka sedang

melakukan hal yang benar dengan cara yang tepat dan harus diperbaiki jika mereka belum mencapainya. Mereka juga membutuhkan seseorang yang membantu mereka berkembang maju dalam perspektif yang tepat sehingga mereka tidak menjadi terlalu percaya diri dengan keberhasilan awal mereka atau tidak terlalu patah semangat pada kegagalan yang mereka hadapi (Ken Blanchard, 2006 :171).

Yesus bersifat tanggap terhadap sejumlah situasi yang dihadapi murid-murid-Nya ketika mereka berguru kepada-Nya. Misalnya, para murid menjadi patah semangat ketika mereka tidak mampu mengusir setan keluar dari seorang anak kecil yang dibawa ayahnya kepada mereka. Mengusir setan merupakan salah satu tugas yang diberikan Yesus kepada para murid, dalam Mat 10, ketika Ia mengutus mereka. Dalam Mat 17:15-16, bercerita tentang seorang laki-laki yang meminta Yesus untuk menyembuhkan puteranya. "Tuhan, kasihanilah anakku," pintanya "ia sakit ayan dan sangat menderita’’. Dia sering jatuh ke dalam api dan juga sering ke dalam air. Saya telah membawa kepada murid-murid-Mu tetapi mereka tidak dapat menyembuhkannya."

Ketika para murid masih baru dengan tugas menjadi "penjala manusia", mereka mengalami kemerosotan kepercayaan ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak kompeten untuk menghadapi setiap situasi. Bayangkan bagaimana perasaan para murid ketika mereka tidak berhasil mengusir setan dari seorang anak laki-laki. Mereka pasti frustrasi, tidak pasti dan malu. Bagaimana Yesus menanggapi kekecewaan para murid-Nya yang tidak mampu mengusir setan.

Dalam Mat 17:18-20, dikatakan: “Dengan keras Yesus menegor setan itu, lalu keluarlah setan dari anak kecil itu dan anak itupun sembuh seketika itu juga. Kemudian murid-murid Yesus datang dan ketika mereka sendirian dengan Dia, bertanyalah mereka kepadaNya, "Mengapa kami tidak dapat mengusir setan itu?" la berkata kepada mereka, "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, maka gunung itu pun akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu." (Ken Blanchard, 2006 :180).

Yesus memberi para murid informasi yang tepat soal mengapa mereka tidak mampu mengusir setan itu, "Karena kamu kekurangan iman." Yesus berkata kepada para murid bahwa mengusir setan seperti itu hanya bisa terjadi dengan doa dan puasa. Kita tahu bahwa Yesus "tidak berdosa" (Ibr 4:15), yang berarti Dia tidak pernah kehilangan kontrol atas wataknya dengan cara berdosa. Sekalipun para murid gagal dan Dia datang di belakang untuk "mengatasi kebingungan mereka". Dia masih mencintai mereka dan mengungkapkan cinta itu dengan mengatakan kebenaran dengan cara mencintai.

Sangat mudah untuk berasumsi bahwa para pekerja mandiri adalah orang yang telah memperoleh ketrampilan dalam menjalankan suatu tugas atau peran telah mencapai kemajuan hingga titik tertentu di mana yang mereka butuhkan dari seorang pemimpin adalah informasi atau perintah tentang kapan dan di mana mereka menggunakan keterampilan mereka. Fakta sebenarnya adalah bahwa

mereka mungkin dalam perkembangan waktu menjadi terlalu hati-hati dan penuh pertimbangan, kehilangan rasa percaya diri, atau berkurangnya antusiasme terhadap pekerjaan karena berbagai alasan. Jika hal semacam itu diabaikan oleh pemimpin yang kurang peduli, para pekerja muda dan mandiri itu lama-lama menjadi apatis atau tidak mau menerima risiko perasaan kehilangan kompetensi atau kehilangan panggilan mereka (Ken Blanchard, 2006 :183).

Suatu contoh pemimpin yang memenuhi kebutuhan para pekerja mandiri adalah ayah yang membesarkan hati puterinya sesudah dia menjadi gelisah dan merasa gagal menjalani ujian pertama mengemudi sekalipun dia telah mendapat nilai A dalam pendidikan mengemudi. Begitu dia meraih kembali ketenangan, ayahnya mendorongnya untuk mengarahkan mobil kembali ke rumah. Contoh lain adalah perawat rehabilitasi yang mengingatkan penderita stroke tentang seberapa jauh dia mulai mendapatkan ketrampilan baru dan betapa bangganya penderita itu ketika dia slap menggunakan tongkat di depan keluarga dan teman-temannya.

Petrus memperlihatkan karakteristik perilaku para pekerja mandiri ketika dia berjalan di atas air. Dalam Mat 14:26-30 dikatakan:

Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru, "Itu hantu," lalu berteriakteriak ketakutan. Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka, "Tenanglah! Aku ini, jangan takut!" Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia, "Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air." Kata Yesus, "Datanglah!" Lalu Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus. Tetapi ketika dirasanya tiupan angin takutlah is dan mulai tenggelam lalu berteriak, "Tuhan, tolonglah aku!

Petrus merupakan satu contoh penting seseorang yang mampu menjalankan suatu tugas dengan tangannya sendiri ketika dia melangkah di atas air dan mulai

berjalan. Dibutuhkan iman yang kuat bagi Petrus untuk melangkah keluar dari perahu dan turun ke air. Sekian sering kita berfokus pada Petrus yang berteriak minta tolong sehingga kita lupa bahwa Petrus sungguh berjalan di atas air! Sebetulnya, Petrus lah satu-satunya selain Yesus yang pernah melakukan hal semacam itu. Masalah yang dihadapi Petrus terjadi ketika dia mengalihkan pandangan dari Yesus dan mulai takut dengan angin ribut. Ketika kepercayaan Petrus merosot dari tinggi menjadi rendah, kompetensi yang ditunjukkan tenggelam ke dalam air bersamanya.

Yesus ada di sana untuk memberi dukungan yang dtbutuhkan oleh Petrus ketika dia mulai tenggelam, sekalipun dia telah menunjukkan kemampuan berjalan di atas air. "Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata, orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?" Lalu mereka naik ke perahu dan angin pun menjadi reda.

Apa yang kita bisa pelajari dari tanggapan Yesus sebagai pemimpin ketika Petrus hampir tenggelam di air? Pertama, kita memperhatikan bahwa Yesus langsung bertindak. Dia tidak membiarkan Petrus tenggelam ke dalam air dan tidak berpikir tentang kesalahan Petrus. Yesus langsung memberitahu Petrus bahwa Dia ada di sana untuk memberi dukungan yang dia perlukan. Selanjutnya, kita mengamati bahwa Yesus "mengulurkan tangan-Nya dan memegang dia" (ayat 31). Dia menggunakan sentuhan personal untuk menyelamatkan rasul yang hampir tenggelam. Yesus tahu kebutuhan Petrus pertama-tama adalah dukungan sehingga Dia menggunakan tangan-Nya untuk menyelamatkan Petrus. Dia menegaskan lagi

dukungan lanjutan-Nya kepada Petrus ketika Dia berkata, "Hai, orang yang kurang percaya Mengapa engkau bimbang?" (ayat 31). Dengan kata lain, Yesus mengingatkan Petrus bahwa Dia selalu ada di sana ketika kita membutuhkan Dia.

Penting juga untuk diingat bahwa sesudah Yesus memegang Petrus, mereka masih tetap berada di luar perahu. Gambaran yang kita peroleh dari adegan ini adalah satu adegan di mana Yesus menggenggam lengan Petrus dan membawanya kembali ke dalam perahu. Menyediakan dukungan kepada orang di sekitar kita merupakan kunci perkembangan mereka lebih lanjut, apakah di kantor, di rumah atau di komunitas atau paguyuban.

Guru atau pengajar adalah orang yang telah memiliki ketrampilan hingga ke tingkat yang sudah sangat maju, kepercayaan diri dan motivasi untuk membuahkan hasil yang unggul sebagai pelaku individu, dan juga kebijaksanaan dan wawasan untuk mengajar orang lain. Mereka perlu diberi kesempatan dan tantangan untuk melanjutkan apa yang mereka ketahui ke generasi pelajar berikutnya dan mereka membutuhkan dukungan.

Yesus menghendaki agar para murid-Nya sungguh-sungguh mampu mendapatkan inspirasi dan kesiapan secara penuh untuk menjalankan tugas menjadi "penjala manusia". Hal ini menjadi jelas dalam kisah tentang Petrus yang mewartakan kabar gembira dalam Kis 2:36 - 41:

Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu menjadi Tuhan dan Kristus." Ketika mereka mendengar hal itu, hati mereka sangat terharu, lalu mereka bertanya kepada Petrus dan para rasul yang lain," Apakah yang harus kami perbuat, saudara-saudara?" jawab Petrus kepada mereka, "Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberikan dirimu dibaptis dalam

nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus. Sebab bagi kamulah janji itu dan anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, sebanyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita." Dan dengan banyak perkataan lain lagi, ia memberi kesaksian yang sungguh-sungguh dan ia mengecam dan menasihati mereka, katanya, "Berilah dirimu diselamatkan daangkatan yang jahat ini." Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa.

Petrus sekali lagi dan menemukan bahwa, di bawah pencurahan Roh Kudus, dia telah menjadi guru pengajar seperti ketika ia berbicara kepada orang banyak dan tiga ribu orang dibaptis pada hari itu. Petrus mempunyai pengetahuan yang hendak dibagikan tentang pesan Yesus, dan ia juga memperlihatkan tingkat komitmen yang tinggi sebagai guru/pengajar. Perhatikan bagaimana Petrus dengan berani berbagi pesan tentang Yesus. Dia berbicara dengan penuh wibawa. Dia adalah "penjala manusia" sejati.

d. Kebiasaan Seorang Pemimpin Pelayan

Manusia memiliki dua sisi diri. Sisi diri yang eksternal, berorientasi pada tugas yang digunakan untuk menjalankan pekerjaan. Sisi diri internal yang lebih reflektif yang sangat mendalam. Sisi diri mana yang lebih dulu terbangun pada pagi hari adalah sisi diri eksternal yang berorientasi tugas atau sisi diri internal yang reflektif? Tentu saja, sisi diri eksternal yang berorientasi tugas. Untuk menghindari situasi kehabisan energi dengan rutinitas yang membosankan dan tekanan hidup, perlu mengembangkan strategi dan kebiasaan spiritual yang dapat membantu mengejar tujuan hidup (Ken Blanchard, 2006 :202).

Seperti Yesus melewati masa kepemimpinannya selama di dunia, dia pun mengalami tekanan dan cobaan untuk menyimpang dari jalan atau menanggapi kelemahan teman dan musuh-Nya. Yesus tetap bertahan pada perjalanan misi-Nya dengan menerapkan lima kebiasaan utama yang mengatasi kekuatan negatif dalam hidup-Nya antara lain :

1. Keheningan 2. Doa

3. Belajar dan menerapkan Kitab Suci

4. Menerima dan menanggapi cinta Allah yang tak bersyarat 5. Keterlibatan dalam hubungan yang saling mendukung

Menerapkan kebiasaan-kebisaan ini amat penting bagi mereka yang mengikuti Yesus sebagai model peran kemimpinan mereka. Dia tidak memimpin tanpa kelima hidup itu, dan manusia tidak akan bisa memimpin jika ingin memimpin seperti Yesus. Tanpa kebiasaan itu, hidup tetap menjadi pengulangan yang membosankan.

Bagaimana pemimpin menjadi seperti Yesus? Seperti dikatakan oleh Rick Warren dalam The Purpose Driven Life, watak atau karakter seseorang pada dasarnya merupakan jumlah dari kebiasaan-kebiasaanya." Jika ia ingin membangun karakter seperti Yesus, ia harus melihat kebiasaan-Nya secara mendalam.

Kebiasaan Yesus mencakup penggunaan waktu untuk menjalani keheningan dan doa, bersandar pada Sabda Allah, percaya akan hubungan cinta-Nya tanpa

syarat dengan Bapa-Nya, dan menemukan kegembiraan dalam persahabatan-Nya dengan kelompok murid-Nya. Kebiasaan-kebiasaan ini mengalir tanpa henti dari watak dasarnya dan mewarnai perjalanan hidup dan kepemimpinan-Nya. Namun kebanyakan manusia harus bekerja keras untuk mendapatkan disiplin hidup seperti ini sebelum menjadi kebiasaan (Ken Blanchard, 2006 :204).