BAB II
SEJARAH INDUSTRI PERTENUNAN DI BALIGE
2.1. Gambaran Umum Kota Balige
2.1.1. Letak Geografis
Balige adalah Ibukota Kabupaten Toba Samosir9
Kecamatan Balige terletak pada ketinggian 905-1.200 meter dari permukaan laut sehingga suhu udara cukup lembab. Luas wilayah mencapai 91,05 km2 dan
tersebar di 35 desa/kelurahan. Luas lahan di kecamatan Balige seluas 9.105 Ha dan dimanfaatkan untuk lahan sawah sebanyak 2.926 Ha dan sisanya merupakan lahan
kering. Lokasi bangunan/perumahan dan lainya. Areal lahan sawah terluas ada di , yang merupakan salah satu kota tersibuk di sekitar kawasan Danau Toba. Hal itu dikarenakan kota Balige
merupakan jalur lintas Sumatera yang menghubungkan daerah Balige dengan Tarurung disebelah selatan, dan Pematang Siantar di sebelah utara. Kondisi tersebut lambat laun membuat kota Balige berkembang dengan merespon kebutuhan para
pendatang maupun yang akan maenyebrang, dengan memberikan jasa maupun usaha dagang dan membangun kios – kios maupun toko yang pada akhirnya membentuk
suatu area bisnis.
9 Daerah Tingkat II Kabupaten Toba Samosir atau sering di sebut dengan Tobasa adalah
Desa Baruara seluas 237 Ha dan luas lahan sawah terkecil berada di Desa Siboruan dan kelurahan Balige I masing-masing dengan luas 20 Ha.10
• Sebelah Utara berbatasan dengan Danau Toba.
Kecamatan Balige terdiri dari 29 Desa dan 6 kelurahan dengan ibukota
kecamatan yaitu kelurahan Napitupulu Bagasan. Untuk lebih jelas Kecamatan Balige berbatasan dengan:
• Sebelah Selatan berbatan dengan Kabupaten Tapanuli Utara.
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tampahan.
• Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Laguboti11
Balige merupakan suatu kota yang berada di sebelah selatan tepi danau toba
kota ini merupakan lahan yang subur dan padat penduduk. Kota ini dibelah dua oleh lintasan jalan raya trans-sumatera, ibu kota kecamatan ini terletak sekitar 43 km di sebelah utara kota tarutung (ibu kota kabupaten) dan berada sekitar 230 km di sebelah
selatan kota Medan (ibu kota provinsi). Ciri utama kota ini adalah adanya tegakan empat bangunan balariung besar beraksitektur rumah adat batak toba di pusat kota
yaitu kompleks onan Balige dan berdiri tegak patung pahlawan revolusi Mayjen Anumerta D.I Panjaitan disisi selatan jalan utama kota, dan bagunan museum beraksitektur rumah batak di sebelah utara jalan kota. Di sepanjang sisi kanan dan kiri
jalan utama tadi berdiri bagunan-bangunan rumah-toko, rumah penginapan, rumah makan dan kedai, dan bank yang menberikan ciri pasar pada kota itu.
10 Kantor kecamat Balige
Sebagai Ibukota Kecamatan, Balige berkembang dengan pesat dan menjadi pusat aktifitas masyarakat, seperti pusat jalur transportasi, pusat perdagangan (ekonomi), pusat pendidikan dan juga sebagai pusat pemerintahan. Bukan hanya itu
saja, akan tetapi masih banyak industri – industri kecil dan menengah yang beroperasi di Balige. Hal ini sangat bermanfaat bagi perkembangan ekonomi masyarakat dan
pendapatan kota Balige. Dimana industri kecil dan menengah ini akan mengurangi pengangguran yang ada didaerah ini, dan kehidupan masyarakat bisa lebih berkembang dengan baik.
2.1.2. Keadaan Penduduk
Sebelum tahun 1966, secara resmi Indonesia belum memiliki kebijakan kependudukan yang komprehensif. Dalam rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana juga tidak pernah ada kebijakan kependudukan yang ditujukan untuk menurunkan angka kelahiran dan angka kematian yang akhirnya berpengaruh pada angka pertumbuhan penduduk12
Pertumbuhan angka kelahiran penduduk di Balige memang cukup tinggi, hal ini dapat kita pahami oleh karena mata pencaharian penduduk yang paling dominan adalah bertani. Mata pencaharian sebagai petani dalam proses produksinya membutuhkan sumber tenaga. Sumber tenaga yang paling mungkin adalah dengan
. Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali sangat berpengaruh bagi berhasilnya proses pembangunan nasional itu sendiri. Pertumbuhan jumlah penduduk memang cukup sulit untuk dapat diatasi. Butuh program–program yang tepat serta terarah agar pertumbuhan penduduk dapat diminimalisir.
memakai tenaga keluarga petani itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan bila jumlah anak dalam satu keluarga dari kalangan petani bisa mencapai 8 sampai 10 orang anak.
Tabel 1.
Jumlah Penduduk Kecamatan Balige
Tahun Luas wilayah (km)
Jumlah penduduk (jiwa) Kepadatan penduduk
(jiwa/km) Pria Wanita P + W
1960 - - - 30.336 -
1970 - - - 30.764 -
1980 - - - 35.810 -
1985 115,50 17.441 18.599 36.040 312
1990 115,50 18.164 19.153 37.317 323
Sumber:data sensus penduduk dalam analisa kependudukan serta kaitannya dengan pendidikan di Dati II Tapanuli Utara tahun 1990.
2.1.3. Sistem Sosial Masyarakat
Walau secara fisik Balige tampak sebagai kota kecil, tetapi struktur asli masyarakat Batak Toba masih bertahan dalam masyarakat disana. Dengan struktur
Balige yang dapat melepaskan diri dari struktur sosial asli ini. Pada setiap individu/keluarga Batak Toba di Balige selalu melekat status/peranan tertentu baik dalam konteks sosial Dalihan Na Tolu maupun huta. Balige sendiri adalah sebuah
kota yang terdiri dari sejumlah huta yang merupakan kerajaan-kerajaan kecil.
Hubungan sosial antar tiga unsur Dalihan Na Tolu itu diatur oleh suatu norma
adat. Pada prinsipnya Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga unsur yang kuat dalam
mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat Batak Toba, yakni:
Hula-hula: kelompok pemberi istri
Boru: kelompok penerima istri
Dongan tubu: kelompok semarga.
Sistem Dalihan Na Tolu secara sederhana dapat dijelaskan sebagai suatu pola interaksi sosial segitiga, dimana seorang individu dalam kehidupan sosialnya berinteraksi dengan tiga golongan sosial dengan status berbeda yaitu hula-hulanya,
borunya, dan dongantubu-nya. Sebagai implikasi dan pola interaksi ini, maka
individu tersebut dengan sendirinya menyandang tiga status sosial dalam interaksi
sosialnya yaitu sebagai boru bagi hula-hulanya, hula-hula bagi borunya dan dongan tubu bagi dongan tubu-nya. Dengan merujuk pada tarombo marga (silsilah) seorang
individu batak toba selalu dapat menentukan statusnya ketika berhadapan dengan
individu Batak Toba lainnya, sekalipun sebelumnya mereka tidak saling kenal. Dengan demikian individu tersebut dapat menentukan dirinya harus menyapa dengan
Orang Batak Toba merumuskan norma sebagai berikut: Sombah marhula-hula (hormat terhadap hula-hula), manat martubu (hati-hati terhadap dongan-tubu), elek marboru (Penuh kasih terhadap boru). Intinya adalah bahwa seseorang
diingatkan untuk tidak melakukan sesuatu tindakan atau mengajukan sesuatu perkataan yang dapat menimbulkan ketersinggungan, kemarahan, sakit hati, ataupun
kesedihan dipihak hula-hula, dongan tubu, dan boru-nya. Jika hal itu sampai terjadi, dan tidak disusul dengan suatu upaya permohan maaf, maka ada keyakinan bahwa
orang tersebut tidak akan selamat dalam hidupnya
Sistem Dalihan Na Tolu itu tidak semata-mata berfungsi sebagai acuan tindakan sosial individu, tetapi juga merupakan acuan masyarakat dalam pengorganisasian seperti landasan dalam kegiatan gotong royong dalam masyarakat
petani Batak Toba, misalnya dalam mendirikan rumah, menanggulangi bencana, pemakaman belulang leluhur. Dengan ini hendak dikatakan bahwa sistem sosial
Dalihan Na Tolu adalah sistem sosial masyarakat Batak Toba.
Sistem sosial Dalihan Na Tolu juga merupakan dasar pembentukan struktur huta, satuan sosial-politik terkecil dan bersifat otonom dalam masyarakat Batak Toba.
Huta terdiri dari dua kelompok sosial utama yaitu marga raja dan marga penumpang.
Marga raja atau marga tano (marga tanah), adalah keturunan patrilineal pendiri
dalam rumpun sibagotnipohan13. Marga pardede misalnya meraja di kelurahan pardede onan dan kelurahan lumban dolok-haumabange, sedangkan marga napitupulu meraja di kelurahan napitupulu bagasan dan kelurahan sangkar ni huta.
Masing-masing marga raja itu mempunyai marga rakyat (gomgoman) sendiri yang hidup bersama di suatu wilayah kampung kerajaannya, yaitu penumpang yang terdiri dari
marga boru dan warga pendatang lainnya.
Dalam konteks struktur Dalihan Na Tolu, yang merupakan basis struktur sosial asli suatu kampung, marga raja secara hisotris menempati status hula-hula
yaitu pihak pemberi istri kepada kelompok marga lae yang disebut marga boru, marga boru ini sekaligus merupakan marga penumpang utama yang menjadi pihak
rakyat yang diperintah dalam suatu kampung, disamping kemungkinan adanya
penumpang lain. Berbeda dengan marga raja yang memegang hak milik atas tanah, marga boru hanya memegang hak pakai, dengan pengecualian pada tanah kampung
marga boru yang telah berdiri sendiri atas ijin dan restu marga raja.
13
Marga-marga Sibagot Ni Pohan: TUAN SIHUBIL: Tampubolon, Barimbing, Silaen . TUAN SOMANIMBIL: Siahaan/Nasution, Simanjuntak , Hutagaol. TUAN DIBANGARNA:
2.1.4. Sistem Ekonomi Masyarakat
• Pertanian Masyarakat
Bercocok tanam adalah suatu mata pencaharian pokok bagi penduduk daerah Tapanuli umumnya dan balige khususnya. Hampir setiap rumah tangga di balige memiliki areal pertanian. Umumnya masyarakat Batak Toba sangat berkeinginan
untuk memiliki lahan pertanian, sehingga petani di daerah Tapanuli jarang dijumpai tidak memiliki areal sendiri. Sumber kehidupan masyarakat batak toba di balige
sangat bergantung kepada pertanian. Tinggi rendahnya hasil pertanian juga sangat tergantung kepada luas tanah yang dimiliki oleh masyarakat. Tidak salah masyarakat menggangap bahwa tanah merupakan aset yang sangat berharga.
Masyarakat Batak Toba Balige pada awal-mulanya adalah petani sawah. Keadaan ini masih bertahan sampai sekarang. Sistem pemilikan tanah sawah dalam
masyarakat Batak Toba Dibalige bersandar pada hukum adat. Pada prinsipnya hak milik atas tanah melekat pada kelompok marga raja, disebut juga marga tano (marga tanah), atau pargolat (pemilik golat, tanah), yaitu laki-laki pendiri huta. Sistem
kekerabatan patrilineal dan sejalan dengan itu, sistem pewarisan menyebabkan hak milik atas tanah berada ditangan laki-laki. Menurut hukum adat batak toba, seorang
laki-laki memperoleh hak milik atas tanah sawah melalui jalur pewarisan dari ayah, pemberian dari ayah, dan pemberian dari kakek. Namun demikian, kendati hak milik dan pewarisan atas tanah pada prinsipnya ada ditangan laki-laki, tidak tertutup
melalui jalur pemberian dari ayah sebelum dan atau sesudah menikah.14
Dengan jalur pewarisan hak milik tanah yang beragam seperti yang disinggung diatas, maka suatu keluarga batak toba sangat mungkin memiliki
sejumlah bidang persawahan dengan asal usul yang saling berbeda dan lokasi terpencar di dua huta atau lebih. Umumnya bidang-bidang sawah itu sangat sempit,
atau sekurangnya tidak cukup luas Untuk dapat dipecah lagi menjadi petak-petak yang masih ekonomis diusahakan. Sering kali bidang sawah itu terdiri hanya dari satu atau dua petak kecil, sehingga sering disebut sapartataringa (seluas satu petak
tunggku dirumah). Bidang sawah tersebut jelas tidak cukup untuk menopang ekonomi rumah tangga petani, dan penyakapan adalah salah satu cara yang lazim
untuk mengatahi hal tersebut. Sistem penyakapan umumnya berlaku dalam komunitas petani Batak Toba di wilayah Balige adalah mamola pinang (membelah dua buah pinang) suatu sistem bagi hasil yang lazim berlaku dalam usaha tani sawah. Dalam
sistem mamola pinang pemilik sawah hanya menyediakan benih, tetapi ada kalanya juga menyediakan tenaga kerbau untuk mengolah tanah. Selebihnya seluruh proses
14 Jalur-jalur pewarisan tanah sawah dari orang tua kepada anak laki-laki adalah sebagai
berikut: a). pewarisan dari ayah: menurut hukum adat batak toba hanya anak laki-laki yang berhak mewarisi tanah khususnya sawah, b). pemberian dari ayah sebagai hauma panjaean (sebidang sawah untuk modal hidup mandiri sebagai keluarga baru, c). pemberian dari kakek: ini dapat berupa dondon tua (limpahan berkah) yaitu sebidang sawah yang diberikan oleh seorang kakek kepada cucu laki-laki sulung (dari anak laki-laki tertua), dapat pula berupa indahan arian (nasi siang hari) yaitu sebidang sawah yang diberikan seorang kakek kepada cucu laki-laki yang dilahirkan oleh anak perempuannya, atas permohonan ibu cucunya secara adat. Sedangkan jalus pewarisan tanah sawah dari orangtua kepada anak perempuannadalah sbagai berikut: a). pemberian dari ayah sebagai hauma pauseang- sebidang tanah yang diberikan seorang ayah kepada anak perempuannya pada waktu pernikahan anak itu, sebagai modal untuk hidup mandiri sebagai keluarga baru, b). pemberian dari ayah sebagai hauma
bangunan- sebidang sawah yang diperoleh seorang anak perempuan (semasa masih lajang) sebagai
produksi merupakan tanggung jawab pihak penyakap. Pada masa panen pihak pemilik sawah akan memdapat bagiannya dari hasil panen.
Usaha tani dalam masyarakat Batak Toba adalah usaha keluarga inti. Disini
keluarga inti merupakan unit produksi dan konsumsi sekaligus. Tenaga kerja inti adalah anggota keluarga sendiri, atau ditambah dengan anggota keluarga dekat. Dengan demikian hubungan produksi menajadi terbatas diantara anggota keluarga
saja. Walaupun usaha tani sawah merupakan usaha keluarga, tidak berarti bahwa tenaga kerja luar keluarga tidak terlibat sama sekali. Dalam kenyataan sering bahwa
potensi tenaga kerja keluarg tidak mencukupi untuk penyelesaian berbagai tahapan kegiatan bersawah secara tepat waktu. Untuk itu, kegiatan marsiadapari yaitu pertukaran tenaga kerja dalam rangka tolong-menolong menjadi jalan keluar.
Marsiadapari pada umumnya ditempuh terutama untuk tahap-tahap kegiatan
mencangkul, bertanam, menyiangi, dan panen padi. Dengan cara ini pemilik sawah
dapat memecahkan masalah keterbatasan tenaga kerja rumahtangga, tanpa mengeluarkan biaya dalam bentuk upah buruh. Pengeluaran biaya hanya untuk kepentingan konsumsi pekerja yaitu biaya makan dua kali dalam satu hari kerja,
ditambah kopi/teh dan jajanan kecil seta tembakau atau rokok khusus untuk pria.
• Peternakan
Unsur ternak tidak dapat dilepaskan dari kehidupan ekonomi dan budaya masyrakat Batak Toba di Balige. Namun demikian jarang di temukan
utama adalah usaha tani tanaman pangan, sedangkan peternakan adalah usaha sampingan.
Ada empat jenis ternak utama yang dipelihara masyarakat Batak Toba sejak
dahulu adalah babi, kerbau, kuda, dan ayam. Babi adalah ternak komersil sekaligus ternak adat. Sebagai ternak komersil babi adalah tabungan keluarga. Orang Batak Toba lazimnya memelihata ternak babi untuk dijual pada saat kritis, yaitu pada saat
suatu keluarga memerlukan biaya cukup besar untuk suatu keperluan, misalnya biaya sekolah anak dan ongkos anak utuk merantau. Masyarakat batak Toba sendiri adalah
target pasar ternak babi yang paling utama. Sesuai dengan predikat ternak adat, babi adalah jenis ternak yang paling umum disembelih orang Batak Toba untuk keperluan pesta adat. Permintaan ternak babi untuk kepentingan adat ini sangat besar mengingat
frekuensi pesta adat dalam masyrakat Batak Toba tergolong sangat tinggi, baik itu pesta-pesta kecil seperti menyambut bayi lahir dan memberangkatkan anak merantau,
maupun pesta-pesta besar seperti perkawinan, kematian, sampai pesta tugu leluhur atau marga. Di Onan balige terdapat tempat khusus jual-beli babi dimana transaksi
jual-beli babi hidup selalu berlangsung ramai pada setiap hari pekan (Jumat).
Selain babi, kerbau juga memiliki arti penting dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat Batak Toba. Kerbau merupakan ternak kerja, ternak komersil,
dan sekaligus juga ternak adat. Sebagai ternak kerja, yaitu tenaga utama penarik bajak, luku dan garu dalam pengolahan sawah, kerbau menjadi bagian yag tidak terpisahkan dari budaya ekologi budaya sawah batak toba. Untuk wilayah Kecamatan
sudah mulai diganti oleh traktor tangan, walaupun tidak bisa dikatakan bahwa traktorisasi telah sepenuhnya telah menyisihkan peranan kerbau. Selai sebagai ternak kerja, kerbau juga merupakan ternak adat walaupun penyembelihan kerbau untuk
keperluan pesta adat tidak sekerap penyembelihan babi. Penyembelihan kerbau dilaksanakan pada pesta adat-adat besar, misalnya pesta perkawinan, kematian, dan
pesta tugu. Selain itu kerbau juga menyandang fungsi sebagai tabungan, yang dapat dijual sewaktu-waktu pada saat pemilik memerlukan uang dalam jumlah besar. Untuk itu pemilik tidak perlu membawa kerbaunya kepasar kerbau. Cukuplah ia beritahukan
niatnya kepada seorang toke horbo (makelar kerbau) dan toke itu akan datang melakukan transaksi sekaligus membawa pergi kerbau itu setelah harga disepakati.
Selain kerbau kuda juga merupakan ternak kerja untuk keperluan transportasi atau pengangkutan hasil-hasil bumi. Namun seiring perkembangan transportasi modern
peranan kuda sebagai transportasi semakin berkurang.
Dari beberapa jenis ternak utama diatas, maka ternak ayamlah yang paling luas penyebarannya dalam masyarakat Batak Toba dapat di katakan hampir setiap keluarga Batak Toba memelihara ayam. Selain untuk kepentingan konsumsi sendiri,
lazimnya disembelih dalam kesempatan acara-acara terbatas keluarga misalnya, menjamu tamu, anak pulang dari rantau, perayaan natal dan tahun baru.
keluarga-keluarga Batak Toba umumnya juga menjual ayam peliharaannya. Kaum perumpuan (ibu-ibu) datang ke pekan (onan) dengan membawa satu-dua ekor ayam disamping hasil-hasil bumi lain untuk dijual adalah pemandangan yang sangat lazim di onan
digunakan untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari, antara lain ikan asin, gula, kopi, garam dan aneka bumbu dapur lainnya, minyak goreng, dan tembakau, ataupun
untuk membeli perlengkapan sekolah anak antara lain dan buku pelajaran.
• Perdagangan
Kegiatan perdagangan (martiga-tiga) sudah dikenal orang batak toba sejak
lama. Dahulu kegiatan itu berpusat di lingkunan onan baik itu ditingkat onan manogot-nogot (pasar pagi) maupun onan namarpatik. Untuk wilayah balige lembaga
onan namarpatik itu pada masa pra-kolonial adalah onan raja, dimana penduduk
wilayah balige dan wilayah sekitarnya melakukan kegiatan dagang. Dahulu transaksi dagang dilakukan secara barter dimana gabah sebagai alat tukar utama. Pada masa
pemerintahan kolonial ekonomi uang telah meluas ke pedesaan, pekan tersebut telah mengalami transformasi menjadi suatu pasar rakyat yaitu onan Balige yang dikenal sekarang. Setiap hari pekan (Jumat), pekan Balige menjadi pusat transaksi jual beli
ragam jenis hasil bumi, ternak, ikan, dan barang-barang hasil industri yang melibatkan tidak saja pedaganng (partiga-tiga) dan pembeli dari wilayah Balige
tetapi juga dari wilayah Samosir, Silindung, Humbang, Huluan, dan Simalungun. Onan Balige sekarang adalah salah satu dari tiga onan besar di wilayah Toba, satunya
lagi adalah onan Porsea dan onan Ajibata.
Sampai awal abad ke-20 kegiatan perdagangan dalam masyarakat batak termasuk di Balige belum menjadi suatu kegiatan profesional, dalam arti seseorang
bidang kegiatan itu dimasa lalu didominasi oleh golongan raja atau penguasa dusun, sebagai jalan untuk meningkatkan kemakmuran mereka dengan demikian golongan pedagang pada masa itu pada umumnya adalah golongan penguasa. Salah seorang
putra Balige yang mulai merintis usaha dagang pada masa itu Karl Sianipar, seorang dari perintis pengusaha Batak yang kemudian menjadi sebagai pengusaha tenun lokal
di Balige.
• Industri
Dari segi jumlah unit usaha, kegiatan industri di wilayah Balige didominasi
oleh industri skala rumahan. Di kecamatan Balige industri rumahan itu mencakup terutama jenis-jenis industri tenun adat atau ulos, pengolahan pangan, dan kerajinan
mebel kayu. Dari ragam jenis industri ini yang paling menonjol adalah pertenunan ulos. Sebagai wujud industri awal, yaitu suatu kegiatan kerajinan rumahan sebagai
kerja sampingan diluar kegiatan utama pertanian, pertenunan ulos dengan basis
teknologi tradisional sudah hadir ditengah-tengah masyarakat Batak Toba di Balige atau Tapanuli Utara umumnya sejak masa pra-kolonial. Pertenunan merupakan jenis
industri yang paling menonjol dalam masyarakat Batak dibanding misalnya kerajinan gerabah.
2.2. Munculnya Industri Pertenunan di Balige
Ketika leluhur orang Batak tiba di kaki gunung Pusuk Buhit, mereka masih belum menggunakan bahan pakaian dari kapas melainkan masih menggunakan kulit
Beberapa pendapat mengatakan bahwa pengetahuan bertenun diperoleh dari India. Belakang dan sejak itulah kapas menjadi bahan baku untuk menghasilkan ulos dan bahan pakaian. Ketika kampung-kampung di Toba masih dikelilingi oleh tembok dan
benteng yang tinggi, menjadi kebiasaan bagi ibu-ibu duduk bertenun di halaman rumahnya. Sebagian besar hasil tenunannya digunakan untuk keperluan sendiri, tetapi
kadang-kadang ada juga yang dibawa ke onan (pasar atau pekan) untuk ditukarkan dengan barang kebutuhan sehari-hari.15
Ulos adalah jenis pakaian orang Batak sejak zaman dahulu kala. Cara
memakainnya ialah dengan meletakkan di badan - sampai batas pinggang bagi para pria dan sebatas dada bagi wanita dipakai sebagi penutup dada dan punggung. Cara
berpakaian seperti ini umumnya masih berlangsung hingga sekitar tahun 1850.16
Industri tenun skala kecil dan menengah di Balige yang berkembang saat ini merupakan suatu proses dari kerajinan tenun yang ada sebelumnya. Kerajinan ini
merupakan suatu kegiatan ekonomi diluar sektor ekonomi pertanian yang diusahakan oleh penduduk setempat sebagai usaha produktif untuk memenuhi kebutuhan sandang disamping sebagai mata pencaharian tambahan. Pekerjaan ini dilakukan ketika tidak
ada pekerjaan di sawah karena saat itu produksi pertanian terutama ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri (terbatas) sehingga pekerjaan diluar pertanian
tidak pernah dianggap sebagai pekerjaan pokok. Umumnya mereka melakukan
15
N. Siahaan , Sejarah Kebudayaan Batak, Medan: CV. Napitupuluh Dan SONS Djalan Irian Barat 39, 1964, hlm., 130-131.
16
pekerjaan ini semata mata untuk memperoleh uang tunai guna untuk membeli kebutuhan dapur dan kebutuhan lainnya. Alat tenun yang dipergunakan masih sederhana, yaitu alat tenun gedogan. Ulos yang panjangnya bisa mencapai kurang
lebih 2 meter dengan lebar 70 cm ditenun dengan tangan. Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung tingkat kerumitan motif. Biasanya
para perempuan menenun ulos itu di bawah kolong rumah.
Pada zaman pra-Kristen dan pra-kolonial, untuk membuat ulos tertentu harus menyediakan tiga lembar daun sirih dan tiga rupa tepung (putih, kuning, merah) yang
ditempatkan pada bakul kecil. Hal ini didoakan secara berhala dan disertai dengan mantra-mantra dan tonggo-tonggo kepada dewata atau roh.17
3. Jika disebuah kampung ada kemalangan (meninggal), kendi atau mencampur tempat cat harus segera ditutup dengan duri, supaya begu (roh) orang meninggal
Tujuannya adalah agar dalam proses pertenunan ulos dapat diselesaikan dengan baik, karena dalam
pengerjaan ulos terdapat beberapa larangan atau pantangan yang tidak boleh dilanggar. Misalnya:
1. Kalau ujung benang putus ketika menggulung dan ujungnya tidak dapat ditemukan kembali, merupakan pertanda bahwa kain yang ditenun akan menjadi penutup mayat pemiliknya.
2. Jika sewaktu bertenun, balobas (kayu berbentuk penggaris) yang dipakai untuk merapatkan benang dengan tidak sengaja memukul seekor lalat hingga mati,
merupakan pertanda bahwa tidak lama lagi anak pemilik kain akan meninggal.
tidak masuk ke dalam mengaduk-aduk larutan cat, mengakibatkan campuran yang telah diracik dengan susah payah menjadi rusak.
4. Seorang penenun tidak boleh meninggalkan kampug membawa ulos yang masih
setengah selesai, dengan maksud menyelesaikannya di kampung lain. Jika aturan ini dilanggar, tondi (roh) kain tenun akan menghilang.
5. Kedua potongan kain yang dijahitkan pada kedua ujung ulos sebagai penghias,tidak boleh sama panjangnya. Jika ukurannya sama akan membawa kematian bagi pemiliknya.18
Kemudian ulos ini telah banyak dihasilkan oleh pabrik atau dikerjakan oleh perseorangan di desa atau di kota dilaksanakan tanpa mantra. Pola pikir suku batak
purba pra-kolonial dan pra-Kristen merupakan perpaduan hidup aninisme dan adat-istiadat (kebudayaan). Setelah suku Batak mendapat pengaruh Eropah (Kolonial dan Missionaris Zending) sudah tentu nuansa berhala lambat laun ditinggalkan. Dengan
demikian, ulos sebagai benda tidaklah memiliki kesucian, tetapi hanyalah berupa benda yang dipergunakan sebagai simbol (lambang) upacara seremonial adat Batak19
Sebagai wujud industri awal, yaitu suatu kegiatan kerajian rumahan sebagai
kerja sampingan diluar kegiatan utama pertanian, pertenunan ulos dengan basis teknologi gedogan sudah hadir ditengah-tengah masyarakat Batak Toba di Balige
atau Tapanuli Utara umumnya sejak masa pra-kolonial. Pertenunan merupakan jenis industri yang paling menonjol dalam masyarakat Batak dibanding misalnya kerajinan gerabah, kerajinan kayu, dan jaring ikan. Balige sendiri menurut penuturan para
.
18
N. Siahaan, op. cit,. hal: 132
orang tua termasuk sebagai salah satu wilayah produsen ulos batak yang menonjol di masa lalu20
“Dalam leganda sejarah batak, ketika itu masih generasinya Tuan Sori Mangaraja hiduplah satu keluarga suami istri, suami bernama Si Raja Purbalaning Guru Satia Bulan dan istri bernama Si Boru Jongga Anian Si Boru Tebal Tudosan setelah sekian lama berkeluarga. Si Boru Jongga Anian Si Boru Tebal Tudosan kemudian mengandung dan setelah tiba waktunya diapun melahirkan. Tetapi alangkah kagetnya ketika yang dilahirkan bukanlah seorang bayi melainkan sebuah pustaha (pustaka) yang berisi tentang hadatuon (perdukunan). Setelah sekian lama kemudian Si Boru Jongga Anian Si Boru Tebal Tudosan mengandung untuk yang kedua kalinya, dan setelah tiba waktunya diapun melahirkan tetapi yang dilahirkan bukan juga seorang bayi tetapi yang dilahirkan adalah seperangkat alat untuk bertenun. Walaupun demikian bagi si suami yaitu Si Raja Purbalaning Guru Satia Bulan tidak begitu kecewa dan bersedih meskipun istrinya melahirkan pustaha dan seperangkat alat-alat tenun, karena sebelumnya telah diketahui melalui mimpi. Untuk . Dimasa lalu ulos batak digunakan sebagai pakain harian dan adat sekaligus tetapi kemudian semakin meluasnya penerimaan busana gaya Eropah yang
dibawakan oleh Missionaris Zending (Jerman) dan penguasa Belanda sejak penghujung abad ke-19, masyarakat Batak mulai berkostum seperti orang Eropah
yaitu laki-laki berkemeja dan bercelana panjang dan perempuan batak mengenal gaun dan rok meniru pola berpakaian Barat. Secara perlahan fungsi ulos mengalami penyempitan menjadi pakaian adat saja. Sejak saat itu pertenunan ulos dengan
sendirinya juga mengalami kemunduran, karena pemasarannya semakin terbatas. . Pada masyarakat Batak khususnya Toba asal usul ulos dan pengetahuan
bertenun diyakini ada sejak orang batak ada dan kemudian terus mengalami perkembangan. Namun asal usul ulos dan pengetahuan bertenun juga mempunyai legenda tersendiri bagi orang batak,seperti yang terangkum dalam buku Lembaga
Adat Dalihan Natolu yang mengisahkan sebagai berikut:
yang ketiga kalinya kemudian Si Boru Jongga Anian Si Boru Tebal Tudosan mengandung, setelah tiba waktunya, diapun melahirkan bayi yang marpohas (kembar) yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan. Laki-laki diberi nama Si Aji Donda Hatautan, dan yang perempuan diberi nama Si Boru Sopak Panaluan. Kedua anak itu tumbuh menjadi besar dan menjadi anak yang patuh dan rajin dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan masing-masing. Si Aji Donda Hatautan sangat pandai dalam melakukan pekerjaan hadatuon sesuai dengan pustaha yang dilahirkan ibunya, sedangkan Si Boru Sopak Panaluan menjadi sangat pintar bertenun dengan menggunakan alat-alat tenun yang telah dilahirkan oleh ibunya sebelum dia dilahirkan”21
Demikian asal usul ulos dan pengetahuan bertenun menurut legenda batak
yang kemudian mengalami perkembangan sampai sekarang ini. Ulos pada mulanya ditenun untuk pemenuhan kebutuhan diri dan kerabat, namun lambat laun
berkembang menjadi suatu usaha kerajinan rumah tangga yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber mata pencaharian diluar pertanian dan biasanya ditekuni oleh kaum perempuan. Perkembangan industri menjadi bagian dari perekonomian
rakyat pribumi, pada dasarnya bukan merupakan hal yang kebetulan, melainkan salah satu akibat dari perubahan-perubahan ekonomi yang membawa akibat terjadinya
pergeseran kehidupan dari pertanian ke non pertanian, sehingga membuka kesempatan kerja dari luar sektor pertanian dengan pendapatan yang lebih baik dan
kerja yang relatif berkesinambungan sepanjang tahun .
22
Kemudian pada sekitar tahun 1930-an telah muncul industri tekstil di Balige yang memproduksi ulos dengan mekanisasi dari alat tenun tradisional ke ATBM dan
juga produksi lainnya seperti sarung, kain sela, selimut, kelambu. Hasil tersebut banyak di pasarkan kedaerah lain seperti Medan, Siantar, Dairi, Sibolga bahkan
.
21
Lembaga Adat Dalihan Natolu (LADN),. Adat Batak Dalihan Natolu, Tarutung. 2002. Hal: 13-14
sampai pada daerah Palembang dan Jawa23. Para pendiri dan perintis usaha pertenunan tersebut seperti yang diutarakan pada bab sebelumnya yaitu: Baginda Pipin Siahaan, H.O. Timbang Siahaan, dan Karl Sianipar, Eli Simanjuntak. Keempat
pengusaha ini tidak asing lagi dalam dunia tekstil karena pada awalnya sebelum terjun ke dalam usaha tenun mereka sebelumnya berprofesi sebagai pedagang kain
dan benang dan mendapat gelar sebagai orang kaya Balige. Melihat profesinya sebagai pedagang otomatis pengalaman mereka menjadi luas, adanya modal dan pengetahuan berdagang benang dan kain inilah timbul pemikiran mereka untuk
mendirikan usaha tenun24
Pada tahun selanjutnya 1950 mulai bermunculan pengusaha-pengusaha tenun yang baru hingga sampai pada tahun 1970 dan pada masa ini Balige menjadi
pusat sentra industri tenun yang menghasilkan produk utamanya yaitu sarung dan ulos. Kemunculan para pengusaha baru ini dipengaruhi oleh beberapa faktor dari
dalam diri mereka untuk mengikuti jejak keberhasilan orang lain. Dalam masyarakat batak Toba berlaku suatu umpasa (pepatah) sebagai berikut: Eme na masak di gagat ursa, ia i na masa ima niula ( Padai menguning dimakan rusa, jika itu yang berlaku
secara umum maka itulah yang dikerjakan). Umpasa ini merumuskan bahwa orang batak dengan cepat dan mudah meniru atau mengikuti kegiatan orang lain yang
dinilai dapat menguntungkan. Hal ini juga berlaku pada hadirnya pengusaha-pengusaha tenun baru termasuk Bapak Julius Sianipar. Adapun pengusaha-pengusaha-pengusaha-pengusaha
.
23S.B. Simanjuntak, Kabupaten Tapanuli Utara: Masalah, Masa Kini, dan Prospek Masa
yang baru tersebut pada umumnya adalah karyawan-karyawan yang pernah bekerja dipabrik-pabrik sebelumnya yaitu Karlsitex, Eli Company dan dua pengusaha lainnya.
Selain itu juga ada masyarakat dari golongan pedagang dan petani yang beralih menjadi pengusaha tenun. Munculnya para pengusaha baru ini dipengaruhi
oleh para pengusaha lama karena dalam usaha ini para pengusaha lama dapat meraup untung yang banyak dan menjadi sumber mata pencaharian yang berkesinambungan dan layak untuk ditiru. Hal inilah yang mendorong sebagian dari para karyawan
kilang tenun dan para pengusaha non-pertenunan di Balige terjun menjadi pengusaha tenun. Akibatnya pada tahun 1950-1960-an di Balige telah berdiri sekitar 20 unit
industri tenun termasuk pertenunan Boi-Tulus dengan kapasitas industri kecil hingga menengah dengan mesin produksi berupa gedogan dan alat tenun ATBM25
Melihat usaha tenun di Balige mengalami pertumbuhan dalam bidang jumlah unit usaha maka pemerintah Orde Lama pada tahun 1960-an mendukung usaha ini.
Dukungan yang di berikan oleh pemerintah pada pengusaha tenun di Balige adalah .
Sekitar tahun 1950-an tiga orang dari kelompok perintis telah memindahkan
lokasi usahanya dari Balige ke Sumatera Timur yaitu Baginda Pipin ke Pematang Siantar, H.O Timbang Siahaan juga ke pematang siantar, dan Toke Eli Simanjuntak ke Medan. Satu-satunya kelompok perintis yang bertahan di Balige, dan tergolong
skala besar adalah Toke Karel Sianipar. Tetapi pada tahun 1970-an, setelah Toke Karel meninggal dunia, usaha pertenunan karlsitex rintisannya menyusul mati
ditangan anaknya Sutan Badia Raja dan cucunya Mitsu Sianipar.
pemberian modal kerja berupa bahan baku benang dan alat tenun mesin secara bertahap. Pemberian modal kerja ini telah membuka peluang dan melapangkan jalan bagi mereka untuk memasuki usaha industri pertenunan. Sehingga pada tahun
1960-1970 telah berdiri industri pertenunan di Balige sekitar 82 unit sakala kecil hingga menengah. Pemberian modal kerja ini diberikan kepada setiap pengusaha tenun
dengan jatah benang sebanyak 1 bal/bulan untuk setiap pengusaha ATBM. Pemberian jatah benang ini guna untuk memberikan ransangan kepada para pengusaha Balige untuk tetap melakukan produksi guna untuk menunjang kebijakan
pemerintah untuk ketersediaan sandang.
Pemerintah memberikan dua pilihan untuk mendapatkan benang tersebut
yaitu sistem tunai dan kontrak. Sistem tuanai yaitu langsung membayar kepada pemerintah dengan tunai sesuai dengan harga yang ditetapkan. Sedangkan Sistem kontrak yaitu hasil produksi dibagi dua antara pengusaha dan pemerintah. Untuk
pembayarannya disetorkan kepada pemerintah melalui PN.Sejati Bakti yang berpusat di Medan atau penyalur benang yaitu Koperasi TobaTex yang berkedudukan di Tarutung26
26 Hasil wawancara dengan bapak J. Situmorang, pemilik kilang tenun Timbultex, Balige,15 Juni 2013. Dari hasil wawancara informan tidak dapat memastikan berapa harga untuk setiap bal
. Kemudian koperasi ini dipindahkan ke Balige karena pada saat itu
pertenunan lebih banyak berkembang di daerah ini. Alasan lain pemindahan ini adalah untuk mempermudah dalam pendistribusian subsidi benang tersebut kepada
diberi jatah maksimal 5 unit, alat tenun ini merupakan alat tenun mesin buatan Indonesia dengan merek Malabar dan daya Yasa yang di kembangkan oleh Institut Teknologi Textil Bandung yang semula bernama Textile Inrichting Bandung (TIB) 27
Kemudian pada tahun 1966 (sehubungan dengan peralihan kekuasaan dari Pemerintahan Orde Lama kepada pemerintahan Orde Baru), pasokan subsidi benang
pun mulai pasang surut sekitar tahun 1966 dan terhenti pada tahun 1967 dan ternyata para pengusaha tenun di Balige tidak siap dengan kondisi tersebut. Ada sebagian para pengusa mencari alternatif untuk memperoleh bahan baku agar usahanya tetap
berjalan dengan cara mencari distributor benang diluar Balige seperti Medan dan Bandung. Tetapi kebanyakan dari mereka memilih menghenti kegiatan produksi dan kembali bertani, dan ada yang kembali menjadi pedagang. Karena banyak penduduk
di Balige menjadi pengusaha tenun akibat dari pemberian subsidi atau penjatahan benang tersebut, karena setiap penduduk yang memiliki alat tenun baik itu gedogan
atau ATBM maka mereka berhak menerima subsidi tersebut. Kebanyakan dari pengusaha tenun yang yang menghentikan usahanya adalah mereka yang menjadi pengusaha karena subsidi dari pemerintah
.
Alat tenun mesin ini masih menggunakan kerangka kayu yang merupakan mekanisasi dari alat tenun bukan mesin yang hanya saja ditambah mesin dinamo sebagai
penggeraknya dan alat ini dikenal dengan alat tenun mesin. Alat tenun mesin ini pertama kali dioperasikan di Majalaya bandung sekitar tahun tigapuluhan dan di Balige pada tahun 1960-an.
28
27 Log Cit Herlison Enie dan Koestini Karmayu, 1980, hal: 6-8 28 Wawacara dengan Esron Sianipar, Balige, 15 Juni 2013
saaat itu menjadi tidak stabil karena pasokan benang subsidi dari pusat tidak lancar sehingga pengurusan koperasi bubar dengan sendirinya. Boleh dikatakan sejak tahun 1970 keatas dukungan pemerintah tidak ada lagi dirasakan oleh para pengusaha tenun
Balige.
Sulitnya pasokan bahan baku membuat pengusaha industri tenun lokal yang
kekurangan modal gulung tikar. Pemilik usaha tenun yang bertahan adalah mereka yang memiliki modal cukup, mampu mempertahankan kualitas, dan kreatif menciptkan terobosan model-model baru seperti mengganti ATBM menjadi ATM.
Beberapa diantaranya adalah usaha tenun milik bapak Julius Sianipar dan beberapa usaha lainnya seperti James Pardede, Adenan Pardede, Manaris Napitipulu dan
beberapa pengusaha lainnya29
No
yang memang mempunyai ketekunan dan sehingga bisa mengelola usahanya sampai sekarang.
Tabel 2.
Perkembangan jumlah perusahaan pertenunan di Balige, 1935-1990
Tahun Jumlah Unit Perusahaan
1 1935 4
2 1950 20
3 1960-1970 82
4 1985 18
5 1990 9
Sumber: hasil wawancara dengan informan di Balige.