• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Farmakoekonomi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Pneumonia Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Farmakoekonomi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Pneumonia Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pneumonia 2.1.1 Definisi

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian bawah

yang mengenai parenkim paru (Mansjoer, dkk., 2000). Pneumonia adalah

peradangan pada parenkim paru yang dapat terjadi pada semua umur. Pneumonia

juga merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan gejala demam, batuk,

sesak napas, adanya ronki basah kasar, dan gambaran infiltrat pada foto polos

dada (Setyoningrum, dkk., 2006).

Saluran pernapasan bagian bawah terdiri dari cabang-cabang bronkus,

parenkim paru, dan pleura. Infeksi bakteri atau jamur atau virus yang menyerang

parenkim paru dapat menimbulkan infeksi sekunder pada saluran pernapasan

bagian bawah dimana seluruh persediaan darah harus melewati pembuluh darah

kapiler paru sehingga infeksi bakterti atau jamur atau virus dapat ikut bersama

aliran darah (Shulman, dkk., 1994).

Peneumonia pada pasien alkoholik akut atau kronis atau yang menderita

penyakit berat, infeksi mula-mula akan membentuk koloni pada saluran

pernapasan bagian atas dan melalui sistem saraf sentral yang berpengaruh

terhadap pengurangan refleks tersedak dan fungsi siliar trakeobronkus yang jelek,

maka sistem pertahanan saluran pernapasan bagian bawah akan terganggu

sehingga koloni infeksi tersebut dapat masuk ke dalam saluran pernapasan bagian

(2)

2.1.2 Etiologi

Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorgansime baik virus

maupun bakteri. Sebagian besar pneumonia disebabkan karena infeksi virus yang

kemudian mengalami komplikasi bakteri. Secara klinis, pada anak sulit dibedakan

pneumonia bakteri dengan pneumonia virus. Demikian pula pemeriksaan

radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata (Tjay dan

Raharja, 2006). Selain itu pneumonia dapat juga disebabkan oleh bahan kimia

(Hidrokarbon, lipoid substance) ataupun benda asing yang teraspirasi

(Setyoningrum, dkk., 2006).

Beberapa kasus pasien pneumonia juga mengalami komplikasi seperti efusi

pleura, abses paru, dan sepsis. Bakteri penyebabnya pun berbeda. Berikut bakteri

penyebab pneumonia dengan komplikasi (DepKes RI, 2003):

i. Efusi pleura disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophillus

influenza, Flora mulut, dan Staphylococcus aureus. Efusi pleura adalah akumulasi

cairan di dalam rongga pleura. Timbulnya efusi pleura didahului oleh peradangan

pleura atau pleuritis. Efusi pleura cukup banyak dijumpai. Penyebab terbanyak

adalah peradangan jaringan paru yang meluas ke pleura sekitarnya, misal

bronkopneumonia, dan tuberculosis paru (Alsagaff,2010).

ii. Abses paru disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophillus

influenza, Staphylococcus aureus, dan Flora mulut. Abses paru adalah lesi paru

berupa suprasi dan nekrosis jaringan. Bila terjadi aspirasi, kuman Klebsiela

pneumonia sebagai kuman komensal di saluran atas ikut masuk ke dalam saluran

pernapasan bawah. Akibat aspirasi berulang, aspirat tidak dapat dikeluarkan dan

(3)

Proses peradangan dimulai dari bronkus atau bronkiolus, menyebar ke parenkim

paru yang kemudian dikelilingi jaringan granulasi. Perluasan pleura atau

hubungan dengan bronkus sering terjadi sehingga pus atau jaringan nekrotik dapat

dikeluarkan dan lama kelamaan menjadi abses akut menahun (Alsagaff, 2010).

iii. Sepsis disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus

aureus. Sepsis adalah suatu infeksi di dalam aliran darah. Sepsis merupakan

akibat dari suatu infeksi bakteri di bagian tubuh manusia. Yang sering menjadi

sumber terjadinya sepsis adalah infeksi ginjal, hati atau kandung empedu, usus,

kulit (selulitis), dan paru-paru (pneumonia karena bakteri), gangguan sistem

kekebalan. Gejala yang timbul antara lain demam, hiperventilasi, menggigil, kulit

terasa hangat, takikardi, lingglung, penurunan produksi air kemih (Mahdiana,

2010).

Menurut Departemen Kesehatan RI, 2003, Pneumonia dapat dibagi menjadi 2,

sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini:

i. Infectious pneumonia juga dibagi 2, yaitu pneumonia tipikal (karena

bakteri) dan pneumonia atipikal (karena virus dan Mycoplasma).

ii. Non-infectious pneumonia, dapat karena aspirasi makanan, hidrokarbon atau

reaksi hipersensitif.

Pneumonia dapat dibedakan berdasarkan klinis dan epidimiologis, antara

lain (Departemen Kesehatan RI, 2005):

i. Community Acquired Pneumonia (CAP)

Community Acquired Pneumonia (CAP) merupakan pneumonia yang

didapat di luar rumah sakit atau didapat di lingkungan masyarakat. Patogen umum

(4)

influenza, bakteri atipikal, virus influenza, Respiratory Synctial Virus (RSV).

Patogen yang dijumpai pada anak-anak, juga sama seperti patogen yang

menginfeksi pada pasien dewasa, tetapi pada anak-anak sering dijumpai

Mycoplasmapneumonia, Chlamydia pneumonia.

ii. Pneumonia Nosokomial atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP)

Pneumonia nosokomial atau Hospital Acquired Pneumonia (HAP)

merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah sakit yang

perkembangannya lebih dari 48 jam setelah pasien memeriksakan diri ke rumah

sakit. Patogen yang umum menginfeksi adalah bakteri nosokomial yang resisten

terhadap antibiotika yang beredar di rumah sakit. Bakteri nosokomial yang

biasanya adalah bakteri enterik golongan gram negatif batang seperti Klebsiella

sp, Escherichia coli, Proteus sp, Staphylococcus aureus khususnya yang resisten

terhadap methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang dirawat di Intensive

Care Unit (ICU).

iii. Pneumonia Aspirasi

Pneumonia aspirasi merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi flora

arofaring dan cairan lambung. Pneumonia aspirasi biasa didapat pada pasien

dengan status mental yang buruk atau depresi, dan pasien dengan gangguan

refleks menelan. Patogen yang menginfeksi pada Community Acquired Aspiration

Pneumoniae adalah kombinasi dari flora mulut dan flora saluran napas atas, yaitu

Streptococci anaerob, sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae,

bakteri yang sering ditemukan adalah campuran antar gram negatif batang,

(5)

Kelompok pneumonia lain adalah pneumonia khusus yang dapat

disubklasifikasikan ke dalam kelompok yang normal (non-imunosupresi) dan

imunosupresi. Pneumonia pada pasien non-imunosupresi, diantaranya pneumonia

mikroplasma, pneumonia virus, dan pneumonia Legionnaires. Pasien yang

imunosupresi, misal pada pasien AIDS (Acquired Immuno DeficiencySyndrome)

adalah Pneumocystic cariini (Underwood, 1999).

Pneumonia juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya sebagaimana

akan dijelaskan berikut ini (Underwood, 1999).

i. Pneumonia bakteri disebabkan oleh Streptococcus pneumonia,

Haemophillus influenza, Staphylococcus aureus.

ii. Pneumonia atipikal disebabkan oleh Clamydia pneumonia, Mycoplasma

pneumonia, aspirasi.

iii. Pneumonia virus disebabkan oleh Influenza virus, parainfluenza virus,

Rhinovirus, Respiratory synctial virus.

iv. Pneumonia jamur disebabkan oleh Candida, Aspergillus, Crytococcus.

2.1.3 Patofisiologi

Jalan pernapasan yang menghantarkan udara ke paru-paru adalah hidung,

faring, laring, trakea, bronkus dan bronkhiolus. Saluran pernapasan dari hidung

sampai bronkhiolus dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika udara masuk

melalui rongga hidung, maka udara disaring, dihangatkan dan dilembabkan

(Dahlan, 2000).

Dalam keadaan normal, saluran pernapasan bagian bawah mulai dari faring

sampai alveoli selalu dalam keadaan steril. Ada beberapa mekanisme pertahanan

(6)

refleks batuk, sistem pembersihan oleh lapisan mukosiliar, dan respon imun.

Apabila mekanisme pertahanan paru ini terganggu maka partikel asing atau

organisme dapat masuk atau menginfeksi saluran pernapasan bagian atas hingga

bawah dan kemungkinan besar terjadi pneumonia (Setyoningrum, dkk., 2006).

Rute yang dilalui oleh penyebab infeksi berbeda-beda untuk mencapai

paru-paru dan menyebabkan pneumonia. Penyebab infeksi ini paling sering masuk

ke paru-paru dengan cara terhirup. Penyebab tersering infeksi saluran pernapasan

adalah virus. Infeksi virus primer menyebabkan mukosa membengkak dan

menghasilkan banyak lendir sehingga bakteri dapat berkembang dengan mudah

dalam mukosa. Pneumonia biasanya dimulai pada lobus kanan bawah, kanan

tengah, atau kiri bawah, karena gaya gravitasi. Aktivitas gaya gravitasi pada

daerah tersebut dapat membawa sekresi saluran napas bagian atas yang diaspirasi

pada waktu tidur. Refleks batuk yang menjadi gejala klinik pneumonia dirangsang

oleh zat yang melalui barier-barier yaitu glotis dan laring yang berfungsi

melindungi saluran napas bagian bawah (Isselbacher, dkk., 2001).

Gambaran patologis foto toraks spesifik untuk setiap bakteri. Infeksi

Streptococcus pneumonia biasanya bermanisfestasi sebagai bercak-bercak

konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada remaja

dapat berupa konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau

abses - abses kecil sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus,

karena Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti

hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase (Rahajoe, dkk., 2008).

Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis, pendarahan, dan kavitasi.

(7)

mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen.

Produksi koagulase ditentukan oleh virulensi kuman. Staphylococcus aureus

yang tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius.

Pneumotokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak

memerlukan terapi lebih lanjut (Rahajoe, dkk., 2008).

2.1.4 Gambaran Klinis

Berdasarkan pedoman diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia komunitas

yang diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pada tahun

2003:

i. Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh

meningkat dan dapat melebihi 40°C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen

kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.

ii. Pemeriksaan fisik

Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada

infeksi dapat terlihat bagian yang sakit saat bernapas, pada palpasi fremitus dapat

mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas

bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang

kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan fisik yang biasa dilakukan adalah (Departemen Kesehatan RI, 2005):

i. Gambaran radiologis

Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan

(8)

air broncogram (udara yang terdapat pada percabangan bronkus), penyebab

bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat

secara khas menentukan penyebab pneumonia, tetapi merupakan petunjuk ke arah

diagnosis etiologi. Misalnya gambaran pneumonia lobaris sering disebabkan oleh

Streptococcus pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa. Pneumonia lobaris

sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia,

sedangkan pneumonia yang disebabkan oleh Klebsilla pneumonia sering

menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat

mengenai beberapa lobus.

ii. Pemeriksaan labolatorium

Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,

biasanya lebih dari 10.000/mm3 hingga mencapai 30.000/mm3, dan terjadi

peningkatan laju endapan darah (LED). Untuk menentukan diagnosis etiologi

diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Pemeriksaan kultur

darah menunjukkan hasil yang positif pada 20 - 25% penderita yang tidak

melakukan pengobatan sejak dini. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia

dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

2.2 Antibiotika

2.2.1 Defenisi antibiotika

Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,

yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman.

Pemberian antibiotika kepada pasien yang tidak membutuhkannya dapat

(9)

Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika (Sanjoyo, 2008):

a. Penyebab infeksi

pemilihan antibiotika yang rasional adalah berdasarkan pemeriksaan

mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Pada infeksi berat seringkali harus segera

diberikan antibiotika sementara sebelum diperoleh hasil pemeriksaan

mikrobiologik. Pemilihan antibiotika harus didasarkan kepada pengobatan empiris

yang rasional berdasarkan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika terbaik

untuk infeksi tersebut (Setiabudy dan Vincent, 2007).

b. Faktor pasien

Faktor pasien yang perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotika adalah

fungsi organ tubuh pasien yaitu fungsi ginjal, fungsi hati, riwayat alergi, daya

tahan terhadap infeksi (status imunologis), daya tahan terhadap obat, beratnya

infeksi, usia, untuk wanita apakah sedang hamil atau menyusui.

2.2.2 Klasifikasi antibiotika

Antibiotika dapat digolongkan atas dasar mekanisme kerjanya sifatnya

apakah bakterisid atau bakteriostatis (Tjay dan Rahardja, 2006):

a. Bakterisid adalah zat yang pada dosis biasa berkhasiat mematikan kuman.

Contohnya penisilin, sefalosporin, aminoglikosida, polimiksin B, kolistin,

vankomisin, basitrasin, sikloserin, heksamin dan rifampisin.

b. Bakteriostatis adalah zat yang pada dosis biasa terutama berkhasiat

menghentikan pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Pemusnahannya harus

dilakukan oleh sistem pertahan tubuh sendiri dengan jalan fagositosis

(dimakan oleh limfosit) seperti sulfonamid, kloramfenikol, tetrasiklin,

(10)

Penggolongan lain juga didasarkan spektrum aktivitasnya (Siswandono

dan Soekardjo 1995):

a. Antibiotika broad-spektrum (aktivitas luas) efektif terhadap kuman gram

positif dan kuman gram negatif. Antara lain turunan tetrasiklin,

kloramfenikol, rifampisin, beberapa turunan penisilin seperti ampisilin,

amoksisilin, karbenisilin dan sebagian besar turunan sefalosporin.

b. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Gram positif.

Misalnya penisilin G, penisilin V, eritromisin (lebih peka terhadap gram

positif dan larut dalam suasana basa), klindamisin, kanamisin dan asam

fusidat.

c. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Gram negatif.

contohnya streptomisin, gentamisin, polimiksin B dan asam nalidiksat.

d. Antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Mycobacteriae (anti

tuberkulosis). Contoh: streptomisin, kanamisin, rifampisin, sikloserin dan

viomisin.

e. Antibiotika yang aktif terhadap jamur (anti jamur). Contoh: griseofulvin dan

antibiotika polien seperti nistatin,amfoterisin B dan kandisidin.

Berdasarkan perbedaan morfologi dan fungsi biokimia sel-sel mikroba dan

sel-sel host, pada prinsipnya ditemukan lima jenis aktivitas yang dapat dihalang

oleh antibiotika. Berdasarkan sasaran tindakan antibiotika terhadap mikroba,

maka antibiotika dapat digolongkan ke dalam lima golongan (Setiabudy dan

(11)

a. Antibiotika penghambat sintesis dinding sel

Antibiotika yang menghambat sintesis dinding sel mikroba. Obat yang

termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin, sefalosporin, basitrasin,

vankomisin dan sikloserin. Dinding sel bakteri, terdiri dari polipeptidoglikan yaitu

suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida). Sikloserin menghambat

reaksi yang paling dini dalam proses sintesis dinding sel, diikuti berturut-turut

oleh basitrasin, vankomisin dan diakhiri oleh pensilin serta sefalosporin, yang

menghambat reaksi terakhir (transpeptidasi) dalam rangkaian reaksi tersebut. Oleh

karena tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi daripada di luar sel maka

kerusakan dinding sel kuman akan menyebabkan dinding sel pecah atau lisis

(Setiabudy dan Vincent, 2007).

b. Antibiotika penghambat sintesis protein ribosom

Obat yang termasuk ke dalam kelompok menghambat sintesis protein

mikroba adalah aminoglikosid, makrolid, linkomisin, tetrasiklin dan

kloramfenikol. Untuk kehidupannya sel mikroba perlu mensintesis berbagai

protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom. Ribosom pada bakteri terdiri dari

dua sub unit yaitu ribosom 30S dan 50S (Setiabudy dan Vincent, 2007). Untuk

berfungsi pada sintesis protein kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal

rantai messenger-ribonuclic acid (mRNA) menjadi ribosom 70S. Streptomisin

mengikatkan diri pada komponen ribosom 30S menyebabkan kode pada mRNA

salah dibaca oleh transfer-RNA sehingga terbentuk protein abnormal dan tidak

berfungsi bagi sel mikroba, gentamisin, kanamisin dan neomisin memiliki

mekanisme kerja yang sama. Tetrasiklin mengikatkan diri pada ribosom 30S dan

(12)

sedangkan kloramfenikol mengikatkan diri pada ribosom 50S menghambat

pengikatan asam amino oleh enzim peptidil transferase (Nasution dan Ronald,

1988).

c. Antibiotika penghambat sintesis asam nukleat

Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba, yang

termasuk ke dalam kelompok ini ialah rifampisin dan golongan kuinolon.

Rifampisin berikatan dengan enzim polimerase ribonuclic acid (RNA) sehingga

menghambat sintesis RNA dan deoxyribonucleic acid (DNA). Golongan kuinolon

menghambat enzim DNA girase pada kuman yang berfungsi menata kromosom

yang sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga muat dalam sel kuman yang

kecil (Nasution dan Ronald, 1988).

d. Antibiotika pengganggu fungsi membran sel

Antibiotika yang menggangu keutuhan membran sel mikroba. Obat yang

termasuk dalam kelompok ini ialah polimiksin. Antibiotika seperti polimiksin

mengandung 5 buah gugus NH2 bebas dalam molekulnya sehingga bersifat basa.

Polimiksin ini akan merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada

fosfolipid membran sel mikroba. Polimiksin tidak efektif terhadap bakteri gram

positif karena kadar fosfat bakteri ini sangat rendah sedangkan pada bakteri gram

negatif yang telah resisten terhadap antibiotika ini terhadap antibiotika ini ternyata

telah mempunyai kadar fosfat yang rendah pula pada membran selnya (Nasution

dan Ronald, 1988).

e. Antibiotika penghambat metabolisme energi mikroba (antimetabolit)

Antibiotika yang menghambat metabolisme sel mikroba. Antibiotika yang

(13)

salisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme kerja ini diperoleh efek

bakteriostatik. Mikroba membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya.

Kuman patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam para amino

benzoat (PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Apabila solfonamid atau sulfon

menang bersaing dengan PABA maka terbentuklah analog asam folat yang non

fungsional. Akibatnya kehidupan mikroba akan terganggu. Untuk dapat bekerja

dihidrofolat harus diubah menjadi asam tetrahidrofolat, Enzim dihidrofolat

reduktase yang berperan di sini dihambat oleh trimetropim (Setiabudy dan

Vincent, 2007).

2.3Farmakoekonomi

2.3.1 Pengertian farmakoekonomi

Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang

diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan.

Analisis farmakoekonomi menggambarkan dan menganalisis biaya obat untuk

sistem perawatan kesehatan (Orion, 1997). Farmakoekonomi juga didefenisikan

sebagai deskripsi dan analisis biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan

kesehatan, lebih spesifik sebagai penelitian tentang proses identifikasi,

pengukuran dan perbandingan biaya, risiko dan keuntungan dari suatu program,

pelayanan dan terapi serta determinasi suatu alternatif terbaik. Evaluasi

farmakoekonomi adalah memperkirakan harga dari suatu produk atau pelayanan

berdasarkan satu atau lebih sudut pandang (Vogenberg, 2001).

2.3.2 Manfaat farmakoekonomi

Tujuan farmakoekonomi adalah membandingkan intervensi yang berbeda

(14)

(treatment) yang berbeda untuk kondisi yang berbeda. Adapun prinsip

farmakoekonomi adalah:

a. menetapkan masalah

b. mengidentifikasi alternatif intervensi

c. menentukan hubungan antara income dan outcome sehingga dapat diambil

kesimpulan yang tepat

d. mengidentifikasi dan mengukur outcome dari alternatif intervensi

e. menilai biaya dan efektivitas

f. menginterprestasi dan pengambilan keputusan.

Farmakoekonomi diperlukan karena sumber daya terbatas, misalnya pada

rumah sakit pemerintah dengan dana terbatas, sehingga sangat penting bagaimana

memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia dan pengalokasian

sumber daya yang tersedia secara efisien (Vogenberg, 2001). Hasil analisis

farmakoekonomi bisa dijadikan sebagai informasi yang dapat membantu para

pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan

yang tersedia agar pelayanan kesehatan lebih efisien dan efektif. Informasi

farmakoekonomi pada saat ini sama pentingnya dengan informasi khasiat dan

keamanan obat dalam menentukan pilihan intervensi mana yang akan digunakan

(Trisna, 2010).

2.3.3 Metode farmakoekonomi

Ada lima jenis metode farmakoekonomi yang telah dikenal, yaitu:

a. Cost-Minimization Analysis (CMA)

b. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

(15)

d. Cost-Utility Analysis (CUA) dan

e. Cost of Illness (COI) .

Persamaan dan perbedaan dari kelima jenis farmakoekonomi tersebut dapat

dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Metode farmakoekonomi

No Metode Satuan Unit Satuan Hasil

1. Cost-Minimization Analysis (CMA) Mata Uang Hasil yang sama

2. Cost-Effectiveness Analysis (CEA) Mata Uang Natural unit

3. Cost-Benefit Analysis (CBA) Mata Uang Mata uang

4. Cost-Utility Analysis (CUA) Mata Uang Kualitas hidup

5. Cost of Illness (COI) Mata Uang -

a. Cost-Minimization Analysis (CMA)

Cost-Minimization Analysis (CMA) adalah analisis yang digunakan untuk

menguji biaya yang dihubungkan dengan intervensi terhadap program yang sama

dengan hasil yang sama (Orion, 1997). Misalnya, terapi dengan menggunakan

antibiotika generik dan antibiotika bermerek. Outcome klinik (efikasi dan efek

samping sama) maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per harinya

lebih murah (Vogenberg, 2001).

Pada pola ini perlu studi epidemiologis sebelumnya, yang mungkin

menunjukkan bahwa dua intervensi atau lebih terhadap suatu kegiatan

menghasilkan suatu luaran (output) yang sama (Fatma, 2009).

b. Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

Cost-Effectiveness Analysis (CEA) adalah tipe analisis yang

membandingkan biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran non-moneter,

(16)

beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih.

Kriteria penilaian program mana yang akan dipilih didasarkan pada discounted

unit cost dari masing-masing alternatif program sehingga program yang

mempunyai discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para

analisis/pengambil keputusan (Tjiptoherianto dan Soesetyo, 2008).

Ketika menganalisis suatu penyakit, Analisis Cost-Effectiveness didasarkan

pada perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan tertentu dan akibat

dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan kasus yang bisa

dicegah. Aplikasi Analisis Cost-Effectiveness, misalnya dua obat atau lebih

digunakan untuk mengobati suatu indikasi yang sama tapi cost dan efikasi

berbeda. Analisis Cost-Effectiveness mengkonversi cost dan benefit (efikasi) ke

dalam rasio pada obat yang dibandingkan (Tjiptoherianto dan Soesetyo, 2008).

c. Cost-Benefit Analysis (CBA)

Cost-Benefit Analysis (CBA) merupakan tipe analisis yang mengukur biaya

dan manfaat suatu intervensi dengan ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap

hasil perawatan kesehatan. Cost-Benefit Analysis (CBA) digunakan untuk

membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda (Vogenberg,

2001). Contoh, membandingkan program penggunaan vaksin dengan program

perawatan suatu penyakit. Pengukuran dapat dilakukan dengan menghitung

jumlah episode penyakit yang dapat dicegah, kemudian dibandingkan dengan

biaya kalau program perawatan penyakit dilakukan. Semakin tinggi benefit cost,

maka program makin menguntungkan (Trisna, 2010). Oleh karena CBA

membantu untuk menentukan apakah sesuatu program harus dilakukan, maka ada

(17)

i. hanya mengerjakan program/intervensi yang mempunyai manfaat lebih

besar dari biayanya.

ii. jangan memilih mengerjakan program/intervensi yang manfaatnya lebih

kecil dari biayanya. Kedua hal ini diukur dalam uang.

d. Cost-Utility Analysis (CUA)

Penetapan output pada cost-utility analysis adalah dalam bentuk outcome,

yaitu berupa peningkatan kualitas hidup. Seperti CEA, CUA membandingkan

biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan

peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan. Dalam CUA,

peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality

adjusted life years/QALYs) dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya per

penyesuaian kualitas hidup. Dalam kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi

kedalam nilai QALYs. Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk

mengetahui kualitas hidup, kelemahannya yaitu bergantung kepada penentuan

QALYs pada status tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997).

e. Cost of Illness (COI)

COI mengidentifikasi dan memperkirakan biaya keseluruhan penyakit

tertentu dalam suatu populasi. Metode evaluasi ini sering disebut sebagai beban

penyakit. Dengan berhasil mengidentifikasi biaya langsung dan biaya tidak

langsung dari suatu penyakit maka dapat ditentukan nilai relatif dari pengobatan

atau strategi pencegahannya. Misalnya dengan menentukan biaya penyakit

tertentu kepada masyarakat, biaya dari pencegahan dapat dikurangkan dari biaya

yang harus dikeluarkan apabila sakit untuk menghasilkan keuntungan apabila

(18)

membandingkan alternatif pengobatan tetapi untuk memberikan estimasi beban

keuangan untuk mengobati penyakit tertentu. Jadi, nilai biaya pencegahan dan

pengobatan dapat diukur melalui COI (Eisenberg, dkk., 1994).

2.4 Biaya Pelayanan Kesehatan

Biaya pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi enam kategori,

(Vogenberg, 2001) yaitu:

1. Biaya langsung medis (direct medical cost)

Biaya langsung medis adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien terkait

dengan jasa pelayanan medis, yang digunakan untuk mencegah atau mendeteksi

suatu penyakit seperti kunjungan pasien, obat-obat yang diresepkan, lama

perawatan.

2. Biaya langsung non-medis (direct non-medical cost)

Biaya langsung non-medis adalah biaya yang dikeluarkan pasien tidak

terkait langsung dengan pelayanan medis, seperti transportasi pasien ke rumah

sakit, makanan, jasa pelayanan lainnya yang diberikan pihak rumah sakit.

3. Biaya tidak langsung (indirect cost)

Biaya tidak langsung adalah biaya yang dapat mengurangi produktivitas

pasien, atau biaya yang hilang akibat waktu produktif yang hilang.

4. Biaya tak berwujud (Intangible cost)

Biaya tak berwujud merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil tindakan

medis, tidak dapat diukur dalam mata uang. Biaya tak terwujud contohnya rasa

nyeri/cacat, kehilangan kebebasan, efek samping. Sifatnya psikologis, sukar

(19)

5. Opportunity Cost

Jenis biaya ini mewakili manfaat ekonomi bila menggunakan suatu terapi

pengganti dibandingkan dengan terapi terbaik berikutnya. Oleh karena itu, jika

sumber daya telah digunakan untuk membeli program atau alternatif pengobatan,

maka Opportunity Cost menunjukkan hilangnya kesempatan untuk

menggunakannya pada tujuan yang lain. Dengan kata lain, Opportunity Cost

adalah nilai yang dikorbankan. Misalnya, hilangnya kesempatan ataupun

dikorbankannya penghasilan/pendapatan.

6. Incremental Cost

Disebut juga biaya tambahan, merupakan biaya tambahan atas alternatif atau

perawatan kesehatan dibandingkan dengan pertambahan manfaat, efek ataupun

hasil (outcome) yang ditawarkan. Incremental Cost adalah biaya tambahan yang

diperlukan untuk mendapatkan efek tambahan dari suatu alternatif dan

menyediakan cara lain untuk menilai dampak farmakoekonomi dari layanan

Gambar

Tabel 2.1 Metode farmakoekonomi

Referensi

Dokumen terkait

[r]

3.3 Mengenal teks buku harian tentang kegiatan anggota keluarga dan dokumen milik keluarga dengan bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 dan Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 1 Tahun 2004, penetapan hasil seleksi calon

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 108 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama secara terbuka

Dengan berlakunya Peraturan ini ketentuan mengenai besaran honorarium pada Lampiran I dan II Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 034/U/2003, Surat

[r]

The offspring of the low-licking/grooming arched-back nursing mothers show increased CRF receptor levels in the locus coeruleus and decreased central benzodiazepine receptor levels

A patient-specific 3D modelling and printing procedure (Figure 1), for surgical planning in case of complex heart diseases was developed.. The procedure was applied to two