• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201 PID.B 2014 PN.MDN)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201 PID.B 2014 PN.MDN)"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah – perintah dan larangan – larangan) yang mengatur tata tertib dalam masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat1. Pengertian ini menegaskan bahwa hukum haruslah ditaati oleh seluruh elemen masyarakat yang bilamana ketika hukum itu dilanggar tentu mempunyai sanksi bagi yang melanggarnya.

Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 1 ayat (3) dikatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum 2 , negara hukum mempunyai arti bahwa pemerintahannya dilaksanakan bedasarkan hukum.

Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi (supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum yang pada hakikatnya tidak boleh mengabaikan tiga ide dasar hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.3 Dengan adanya sistem hukum, penyelenggaraan negara dan rakyat dapat bersatu di bawah dan tunduk pada sistem hukum yang berlaku.4

1

E.Utrecht/Moh.Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia Cetakan Kesebelas (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan ,1989), hal.3.

2

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3

Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di Perguruan TinggiEdisi Kedua, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), hal. 116.

4Ibid

(2)

Plato mengatakan bahwa negara hukum haruslah mempunyai suatu pengaturan hukum yang baik agar tercipta penyelenggaraan negara yang baik pula5, hal ini berkaitan dengan sifat hukum yaitu untuk mengatur dan memaksa.

Sifat hukum yang memaksa itu dapat kita lihat di dalam sifat dari Hukum Pidana, Hukum Pidana merupakan bagian dari Hukum Publik yang artinya hukum yang mengatur antara negara dengan masyarakatnya dan apabila dilanggar akan ada sanksi yang tegas dari negara melalui perwakilannya. Pemberian sanksi yang tegas ini merupakan suatu kepastian kepada siapa saja yang terbukti melanggar hukum pasti akan dikenai sanksi.

Penegakkan hukum seperti itu merupakan salah satu ciri suatu negara hukum (rechstaat), yang menurut Stahl mempunyai unsur – unsur6 yaitu:

1. Perlindungan hak – hak asasi manusia

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak – hak itu 3. Pemerintah berdasarkan peraturan perundang – undangan

4. Peradilan administrasi dalam perselisihan

Perwujudan negara hukum di Indoenesia dituangkan dalam konstitusi negara , yaitu UUD 1945 yang menempati posisi sebagai hukum negara tertinggi dalam tertib hukum Indonesia.7

Negara Indonesia di dalam konstitusi dengan jelas mengatakan mempunyai 4 (empat) tujuan negara yang tertulis di dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa

5

Tahir Azhari,Negara Hukum (Jakarta: Bulan Bintang,1992), hal. 63. Yang dikutip oleh Ridwan HR dalam bukunya, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: PT. Grafindo Persada,2007), hal.2.

(3)

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan Negara Indonesia ini yang pertama yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, perlindungan ini hanya dapat terjadi apabila hukum itu ditegakkan.

Perlindungan yang diberikan negara kepada rakyatnya dilakukan melalui pembentukan peraturan perundang – undangan yang di dalamnya ada pengaturan tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan serta pelaksanaanya yang tegas di dalam sistem hukum Negara Indonesia.

Hukum yang merupakan peraturan mempunyai tujuan hukum yakni terciptanya keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Tujuan hukum ini saling berkaitan dan mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Melalui penegakkan hukum yang baik maka tujuan hukum ini pun dapat tercipta.

Di dalam penegakkannya, maka hukum tidak terlepas dari sumbernya. Sumber hukum formal yang kita kenal ada 5 (lima), yaitu :8

1. Undang – Undang 2. Kebiasaan

3. Yurisprudensi 4. Traktat 5. Doktrin

8

(4)

Kelima sumber hukum ini menjadi patokan dalam menerapkan hukum di negara Indonesia.

Dalam pembagiannya, hukum dapat dibagi ke dalam beberapa bagian dan salah satunya pembagian hukum menurut bentuknya yaitu Hukum Publik dan Hukum Privat.9

Hukum Publik merupakan hukum yang mengatur hubungan antar negara dengan masyarakatnya sedangkan Hukum Privat merupakan hukum yang mengatur antara orang dengan orang lain. Salah satu yang merupakan Hukum Publik yaitu Hukum Pidana.

Menurut Pompe, Hukum Pidana adalah semua aturan – aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan – perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.10 Sedangkan Simons memberi pendapat bahwa Hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum hukum pidana dalam arti objektif (strafrecht in objectieve zin) dan hukum pidana dalam arti subjektif (strafrecht in subjektieve zin).11

Hukum pidana dapat dibagi dan dibedakan atas berbagai dasar/berikut ini :12 1. Hukum Pidana dalam Keadaan Diam dan dalam Keadaan Bergerak

2. Hukum Pidana dalam Arti Objektif dan dalam Arti Subjektif 3. Atas Dasar pada Siapa Berlakunya Hukumm Pidana

4. Atas Dasar Sumbernya

9Ibid,

hal. 75.

10

http://www.referensimakalah.com/2012/08/pengertian-hukum-pidana-menurut-pakar.html. Tanggal akses Sabtu, 16 Januari 2016. Pukul 19.00 WIB.

(5)

5. Atas Dasar Wilayah Berlakunya Hukum 6. Atas Dasar Bentuk/Wadahnya

Negara Indonesia mengenal dan menerapkan Hukum Pidana baik hukum Pidana Formil maupun Hukum Pidana Materil. Hukum Pidana Formil bertujuan untuk setidak – tidaknya mendekati kebenaran Hukum Pidana Materil.

Di dalam Hukum Pidana Materil terdapat sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggarnya dan sanksi itu diberikan melalui pembacaan putusan oleh Hakim dalam putusan yang diberikan di pengadilan.

Seseorang mendapat hukuman bergantung pada dua unsur, yaitu :13

1. Harus ada suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum, disebut Anasir Objektif.

2. Harus ada seorang pembuat/pelaku (dader) yang bertanggungjawab atas kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu disebut Anasir Subjektif Kedua unsur ini bila terpenuhi maka dapatlah seseorang yang melakukan kejahatan itu dapat diberikan sanksi pidana.

Sanksi ini diberikan kepada 14subjek hukum, dalam pemberian sanksi ini majelis hakim berdasarkan teori yang dianut oleh Indonesia yaitu teori pembuktian negatif, maka majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara khusunya perkara pidana haruslah berdasarkan setidaknya 2 alat bukti ditambah keyakinan hakim, hal ini sebagaimana di atur dalam 15Pasal 183 KUHAP (Kitab

13

E.Utrecht/Moh.Saleh Djindang, Op.cit., hal. 390.

14

Subjek hukum adalah manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Lihat. C.S.T. Kansil, Op.cit.

15

(6)

Undang – Undang Hukum Acara Pidana). Ketika sesorang tersebut memenuhi unsur tindak pidana (delik), maka orang tersebut haruslah bertanggungjawab terhadap kesalahannya yang dikenal dengan istilah Pertanggungjawaban Pidana.

Pertanggungjawaban yang dilakukan oleh Terdakwa ketika ia terbukti bersalah dan mampu untuk bertanggungjawab terhadap kesalahan yang dia lakukan yaitu harus menerima dan menjalani sanksi pidana yang diberikan oleh Majelis Hakim. Salah satu bentuk pemidanaan yang dilakukan adalah pidana penjara contohnya dalam kasus tindak pidana penjualan bayi.

Perdagangan orang merupakan suatu kejahatan yang melanggar Hak Asasi Manusia, hal ini dikarenakan manusia bukanlah objek hukum melainkan subjek hukum. Manusia yang merupakan ciptaan Tuhan yang diberi akal dan pikiran tentu mempunyai martabat yang harus dijaga dan dilindungi bukan sebaliknya.

Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan suatu perbuatan yang dilarang baik menurut hukum positif Negara Indonesia maupun menurut Hukum Internasional. Mengapa? Hal ini dikarenakan ketika Manusia itu menjadi objek yang diperdagangkan maka sebenarnya terjadi suatu pelecehan terhadap harkat dan martabat manusia.

Seseorang yang menjadi korban perdagangan orang, sebenarnya terjadi suatu hal perampasan kemerdekaan atau kebebasan pada dirinya karena ketika dia menjadi korban perdagangan orang haknya sebagai orang yang merdeka diabaikan.

(7)

Negara Indonesia salah satu negara di Asia Tenggara yang menjadi lumbung trafficking, secara tidak langsung memiliki beberapa peran dalam perdagangan

manusia diantaranya sebagai negara asal, perantara, dan tujuan.16

Akhir – akhir ini banyak terjadi kasus Perdagangan Orang yang terjadi di Negara Indonesia dan yang menjadi perhatian adalah yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang tersebut adalah seorang Bayi. Bayi yang seharusnya dilindungi, dirawat, dikasihi, dan dijaga ini menjadi korban tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh orang dewasa yang seharusnya mengerti tentang kasih sayang dan yang seharusnya menjadi pelindung bagi bayi tersebut.

Beberapa kasus yang pernah terungkap sindikat penjualan bayi terjadi Kota Medan dimana bayi laki-laki dibanderol dengan harga Rp15 juta dan bayi perempuan dibanderol seharga Rp20 juta. Sebelum melakukan transaksi, setiap pembeli juga diwajibkan membayar uang muka Rp2 juta. Selain mengamankan seorang bayi yang baru lahir, petugas turut meringkus empat orang tersangka, termasuk seorang bidan dan kedua orangtua bayi.17 Kasus serupa juga pernah terjadi di Bandung sebagaimana yang dikutif dalam halaman web liputan 6.com:18

Bidan Tiur Maruli Harianja (54) yang begitu tega menjual seorang bayi baru lahir. Jaksa Penutut Umum dalam persidangan di Pengadilan Negeri Bandung, Jabar, seperti dikutip Lipuatan6.com, Jakarta, Minggu (16/2/2014) dari laman web kejati-jabar.go.id, jaksa dalam dakwaannya menjerat terdakwa dengan pasal 83 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan bayi-di-medan-1443584687 . diakses Tanggal 29 Februari 2016, Pukul 22:00 WIB.

18

(8)

ancaman maksimal 15 tahun penjara. "Dalam dakwaan disebutkan bahwa terdakwa telah melakukan penjualan anak di tempat prakteknya. Anak tersebut dijual dengan harga Rp 7 juta kepada seseorang," kata Jaksa Juniarto dalam persidangan perdana di PN Bandung, pada Senin 10 Februari 2014 pekan lalu. Dijelaskan jaksa, sang bidan itu melakukan aksinya ditempat prakteknya di Jalan Desa RT 03 RW 05 Kelurahan Cipadung Kecamatan Cibiru Kota Bandung. Namun dalam laman itu, jaksa tak menjelaskan siapa orang tua bayi tersebut, hanya usia ibu bayi itu diperkirakan antara 17 sampai 30 tahun. "Karena orang tua bayi yang tidak menginginkan kehadiran bayi itu rata rata berusia antara 17 tahun hingga 30 tahun dan menyerahkan bayi kepada bidan yang membantu persalinannya," ujar jaksa dalam situs tersebut. Dalam sidang yang digelar di Ruang Anak PN Bandung itu, dipimpin oleh hakim Parlas itu pun menjadi perhatian publik. Bahkan istri Gubernur, Netty Heryawan sempat turun tangan untuk melakukan pengasuhan terhadap bayi yang dijual tersebut. Bidan Tiur Maruli Harianja merupakan PNS pada Dinas Kesehatan Kota Bandung yang sehari-hari bertugas di Puskesmas Cipadung dan membuka praktek bersalin di rumahnya sejak 5 tahun lalu. Sementara Kasipenkum Kejati jabar, Koswara dalam laman kejaksaan.go.id menuturkan kasus ini terungkap berdasarkan adanya informasi masyarakat di sekitar tempat praktek bidan tersebut. Pelaku ditangkap oleh polisi pada Jumat 13 September 2013 usai membantu persalinan di mana saat itu bayi baru berusia 8 jam, jenis kelamin laki-laki, berat 3,2 kilogram, dan panjang 48 cm. Namun jaksa dalam websitenya tidak menjelaskan siapa kedua orangtua si bayi tersebut. Barang bukti yang diamankan penyidik berupa 6 surat pernyataan pelepasan hak asuh dari orangtua bayi, satu bundel buku daftar pasien dan uang Rp 7 juta yang diduga hasil penjualan bayi. Kemungkinan sidang akan dilanjutkan pada Senin 17 Februari.

Kasus ini adalah kasus penjualan bayi yang diperdagangkan oleh seorang Bidan yang semestinya adalah merupakan orang yang wajib menolong dan merawat bayi. Seorang Bidan yang merupakan sebuah pekerjaan di dunia medis haruslah melaksanakan kewajibannya dan tugasnya secara profesional. Bidan haruslah menjadi tenaga profesional yang menjadi pelindung baik bagi si Ibu maupun bagi si bayi.

(9)

kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan.19

Dari pengertian di atas maka kita dapat mengatakan bahwa Bidan merupakan tenaga yang sudah lulus dalam untuk menjadi seorang Bidan yang ditentukan oleh negaranya. Maka ketika bidan tersebut dinyatakan sah menjadi seorang Bidan selayaknyalah Bidan tersebut menaati dan menjunjung tinggi Etika Profesi Kebidanan dan menjalankan janji jabatannya sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan atau tenaga medis yang seharusnya menolong dan merawat baik Ibu yang melahirkan maupun Bayi.

Namun beberapa waktu yang lalu kita melihat dan mendengar kabar bahwa ada beberapa bidan yang terlibat dalam kasus perdagangan bayi di negara Indonesia, pelaku penjualan bayi salah satunya adalah Bidan yang bernama Evelin Purba. Perbuatan ini sangatlah tidak terpuji dan merupakan perbuatan yang melanggar HAM20 oleh karenanya perlulah ditangani secara serius.

Permasalah ini semakin banyak terjadi karena berbagai faktor penyebab, bidan yang merupakan tenaga profesional tetapi melakukan suatu kejahatan memperdagangkan bayi. Oleh karena itu, dalam skripsi ini akan dibahas mengenai Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi

Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201/Pid.B/2014/PN.MDN).

19

https://id.wikipedia.org/wiki/Bidan.,Op.cit., tanggal akses Senin, 25 Januari 2016, Pukul 20.00 WIB.

20

(10)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam skripsi yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi

Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201/Pid.B/2014/PN.MDN) akan

dibahas 3 (tiga) rumusan masalah, yaitu :

1. Bagaimanakah aturan hukum tindak pidana penjualan bayi yang dilakukan oleh Bidan?

2. Bagaimanakah penerapan hukum terhadap bidan pelaku penjualan bayi berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1201/PID.B/2014/PN.MDN?

3. Apa saja hambatan dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang (bayi)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal diatas yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimanakah aturan hukum mengenai Tindak Pidana Penjualan Bayi yang dilakukan oleh Bidan.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum terhadap Bidan pelaku penjulan Bayi berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1201/PID.B/2014/PN.MDN.

(11)

Penulisan Skripsi ini memiliki manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat secara teoritis

a. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang perdagangan bayi yang dilakukan oleh bidan dan bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadapnya.

b. Memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang apa itu tindak pidana perdagangan bayi dan bagaimana pertanggungjawabannya khususnya di bidang kebidanan.

2. Manfaat secara praktis

a. Dapat dijadikan sebagai pedoman bagi mahasiswa dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

b. Dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat mengenai tindak pidana perdagangan bayi serta pertanggungjawaban tindak pidana perdagangan bayi khususnya yang dilakuakan oleh bidan.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang diketahui dan dicermati oleh penulis, di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Bidan Pelaku Penjualan Bayi (Studi

Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 1201/PID.B/2014/PN.MDN) belum

(12)

permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah hasil dari pemikiran dan merupakan karya penulis yang asli. Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan undang – undang, teori-teori hukum yang berlaku maupun doktrin – doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari yang namanya Hukum Pidana. Hukum Pidana menurut beberapa sarjana punya beberapa pandangan. Banyak sarjana yang memberikan pendapat terkait apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana itu.

Beberapa Sarjana yang memberikan pendapatnya mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana, antara lain sebagai berikut:

a. Moeljatno

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar – dasar dan aturan – aturan untuk :

(13)

2) Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan – larangan itu dapat dikarenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.21

b. Van Kan

Hukum pidana tidak mengadakan norma – norma baru dan tidak menimbulkan kewajiban – kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma – norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma – norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf – recht is wezenlijk sanctie – recht).22

c. Pompe

Hukum pidana adalah semua aturan – aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan – perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.23

Dari tiga sarjana yang memberikan pendapatnya mengenai pengertian dari Hukum Pidana dapat kita simpulkan bahwa hukum pidana berkaitan dengan adanya sanksi pemidanaan bagi pelaku yang diduga melakukan suatu tindak

21

Moeljatno, Azaz – azas Hukum Pidana, (1982), hal. 1 sebagaimana yang dikutif oleh Mohammad Ekaputra, Dasar – Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2013), hal. 2-3.

22Ibid. 23

(14)

pidana. Hal ini dikarenakan dalam Hukum Pidana yang merupakan bagian dari Hukum Publik memuat atau berisi tentang 3(tiga) rumusan, yaitu :24

a. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan – perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu.

b. Syarat – syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya.

c. Tindakan dan upaya – upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat – alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya – upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara menegakan hukum pidana tersebut.

Hukum Pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua disebut dengan hukum pidana materil sedangkan aspek ketiga disebut dengan hukum pidana formil.25

Pidana merupakan suatu kata yang memiliki arti suatu nestapa atau penderitaan. Penderitaan ini merupakan suatu akibat yang dirasakan dari

(15)

diperbuatnya suatu kesalahan26 oleh si pembuat salah dan ini merupakan suatu pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana Indonesia digunakan beberapa macam sistem hukum pidana yaitu: 27

1. Strichtliability

Dapat diartikan bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana telah dirumuskan dalam undang-undang harus dan mutlak dapat dipidana dalam artian lain adalah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku secara perseorangan atau sendiri-sendiri. Strichtliability berlaku terhadap tiga macam delik:

a. Public nuisance (gangguan terhadap kepentingan umum). b. Criminal libel (fitnah, pencemaran nama).

c. Contempt of court (pelanggarana tata tertib pengadilan). 2. Vicarious Liability

Sering diartikan sebagai pertangggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti.”

3. Corporate Liability

Pertanggungjawaban pidana yang dapat dihubungkan dengan pertanggungjawaban korporasi. Korporasi pribadi berdasarkan asal identifikasi. Namun ada beberapa pengecualian, yaitu:

26 Geen straf sonder schuld

atau tiada pidana tanpa kesalahan.

27

(16)

a. Dalam perkara-perkara yang menurut kodartanya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya perkosaan, sumpah palsu.

b. Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, mislanya pidana penjara dan pidana mati.

Korporasi bisa juga dipertanggugjawabkan dalam hukum pidana karena perbuatan seseorang dalam hal memungkinkan adanya vicarious liability

Dalam pemberian sanksi itu maka kita dapat melihat beberapa teori tentang hukum pidana.

Menurut pendapat Wijono Prodjodikoro dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana

di Indonesia”, teori – teori hukum pidana itu antara lain :28 1. Teori Absolut (Mutlak)

Menurut teori ini setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana tidak boleh tidak tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat – akibat apa pun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana sehingga dikenal dengan istilah “pembalasan”.

2. Teori Relatif (Nisbi)

Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Sehingga harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja melainkan harus ada tujuan.

(17)

Tujuan ini pertama – tama harus diarahkan kepada upaya agar dikemyudian hari kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang kembali (prevensi).

Prevensi ini ada dua macam, yaitu prevensi khusus atau special dan prevensi umum atau general. Dalam pengertian ini, prevensi khusus tujannya untuk membuat takut kepada si penjahat sedangkan dalam prevensi umum tujuannya untuk membuat takut adalah kepada semua oknum agar takut melakukan kejahatan.

3. Teori Gabungan (Vereningings Theorien)

Disamping teori – teori absolut dan teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur “pembalasan” ada juga yang mengakui unsur memperbaiki penjahat yang melekat

pada tiap pidana.

Ketika seseorang yang diduga atau disangka melakukan suatu perbuatan melawan hukum atau tindak pidana maka kepadanya berlaku juga suatu syarat yang menyatakan apakah dia dapat dijatuhi hukuman atau tidak.

Tindak pidana merupakan perbuatan atau tindakan yang tidak dapat diperbolehkan atau yang seharusnya dilakukan tetapi tidak dilakukan, hal mana apabila dilakukan dikenakan sanksi pidana, dimana sanksi pidana itu terdapat atau tertulis dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana29, namun beberapa Sarjana juga memberikan pendapat mereka masing – masing mengenai apa itu yang dimaksud dengan tindak pidana, salah satunya Vos.

29

(18)

Vos mengatakan Tindak Pidana adalah suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang – undangan diberi pidana. Jadi, suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam dengan pidana (eenwettelijke omschreven menschelijke gedraging, onrechmatig, strafwaardig en aan sachuld te wijten).30

Dari pengertian ini kita dapat mengambil suatu garis besar bahwa tindak pidana tidak akan terlepas dari sebuah sanksi dan sanksi itu berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana. Hal ini dikarenakan apabila seseorang yang melanggar hukum pidana yang berlaku maka kepadanya ada ancaman pidana, namun apakah dia dapat dijatuhi pidana atau tidak bergantung kepada apakah si pembuat kesalahan tersebut kepadanya dapat dipertanggungjawabkan mengenai hal tersebut.31

Seseorang yang terbukti mampu bertanggungjawab terhadap kesalahannya sebelum dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim melalui putusan yang di bacakan di pengadilan dalam sidang yang terbuka untuk umum, maka harus terlebih dahulu dilihat apakah orang tersebut telah memenuhi unsur – unsur tindak pidana (delik) yang disangkakan kepadanya.

Unsur – unsur tindak pidana atau peristiwa pidana dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu :32

a. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritis

Dalam bentuk ini kita akan melihat bahwa ada beberapa pandangan dari sarjana memberi pendapat mengenai unsur tindak pidana, diantaranya :

1) Menurut Moeljatno

30Ibid,

hal. 112.

(19)

a) perbuatan

b) yang dilarang (oleh aturan hukum)

c) ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). 2) Menurut Jonkers

a) perbuatan (yang)

b) melawan hukum (yang berhubungan dengan) c) kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat) d) dipertangungjawabkan

b. Unsur Tindak Pidana Menurut Undang – Undang 1) unsur tingkah laku

2) unsur melawan hukum 3) unsur kesalahan 4) unsur akibat konstitutif

5) unsur keadaan yang menyertai

6) unsur syarat tanbahan untuk dapatnya dituntut pidana 7) unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana 8) unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana 9) unsur objek hukum tindak pidana

10) unsur kualitas subjek hukum tindak pidana

11) unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana

(20)

ketika si pembuat kesalahan mampu untuk bertanggungjawab maka dia dapat dijatuhi sanksi sesuai dengan apa yang tertulis di undang – undang.

2. Pengertian Bidan

Keputusan Menteri Kesehatan (KEPMENKES) No. 369/MENKES/SK/III/2007 menuliskan bahwa definisi Bidan sebagaimana merujuk dan mempertimbangkan kebijakan ICM.33 Definisi bidan menurut International Confederation Of Midwives (ICM) yang dianut dan diadopsi oleh

seluruh organisasi bidan di seluruh dunia, dan diakui oleh WHO dan Federation of International Gynecologist Obstetrition (FIGO). Definisi tersebut secara berkala di review dalam pertemuan Internasional / Kongres ICM. Definisi terakhir disusun melalui konggres ICM ke 27, pada bulan Juli tahun 2005 di Brisbane Australia ditetapkan sebagai berikut: Bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.34

Menurut Kepmenkes No. 900/MENKES/SK/VII/2002 mengatakan bahwa Bidan adalah seorang wanita yang telah mengikuti program pendidikan kebidanan dan lulus ujian dengan persyaratan yang berlaku.

Pengertian Bidan sebagaimana yang ditulis di awal merupakan profesi yang diakui. Dikatakan demikian karena dalam falsafah asuhan kebidanan menjelaskan beberapa keyakin salah satunya bahwa profesi kebidanan secara nasional diakui

33

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 369/MENKES/SK/III/2007.

34

(21)

dalam undang – undang maupun peraturan pemerintah Indonesia yang merupakan salah satu tenaga pelayanan kesehatan profesional dan secara Internasional diakui oleh International confederation of Midwives (ICM), International Federation of International Gynecologist and Obstetrician (FIGO) dan WHO.35

C.V Good menjelaskan bahwa jenis pekerjaan profesional memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu : memerlukan persiapan atau pendidikan khusus bagi pelakunya (membutuhkan pendidikan prajabatan yang relevan), kecakapnnya memenuhi persyaratan yang telah dibakukan oleh pihak yang berwenang (misal, organisasi profesional, konsorsium dari pemerintah), serta jabatan tersebut mendapat pengakuan dari masyarakat dan/atau negara.36

Syarat untuk seorang Bidan dikatakan bahwa mempunyai jabatan profesional, yaitu :37

a. Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat khusus atau spesialis.

b. Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan bidan sebagai tenaga profesional.

c. Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat.

d. Mempunyai kewenangan yang disahkan atau diberikan oleh pemerintah. e. Mempunyai peran dan fungsi yang jelas.

f. Mempunyai kompetensi yang jelas dan terukur. g. Memiliki organisasi profesi sebagai wada. h. Memiliki kode etik bidan.

35

Dwiana Estiwidani,SST, dkk, Konsep Kebidanan,(Yogyakarta: Fitramaya,2009), hal.3.

36

S. Nova Kurnia, Etika Profesi Kebidanan, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2009), hal. 23.

37

(22)

i. Memiliki etika kebidanan. j. Memiliki standar pelayanan. k. Memiliki stansar praktik.

l. Memiliki standar pendidikan yang mendasari dan mengembangkan profesi sesuai dengan kebutuhan pelayanan.

m. Memiliki standar pendidikan berkelanjutan sebagai wahana pengembangan kompetensi.

Dari argumentasi ini disimpulkan bahwa Bidan dalam profesinya mempunyai jabatan yang profesional, sehingga ketika Bidan melakukan pelanggaran dalam jabatannya atau menyalahgunakan wewenang dalam jabatannya maka dapat diancam dengan ketentuan pidana.

3. Tindak Pidana Perdagangan Orang

a. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa :

Pasal 1 ayat (1) :

Perdagangan Orang adalah tindakan prekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegagn kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi.

Pasal 1 ayat (2) :

(23)

Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut perbuatan melawan hukum (wederrechtelijke handeling) dan pelanggaran hukum inilah dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana dikwalifikasi sebagai peristiwa pidana (strafbaar feit).38

Menurut pendapat Pompe yang dikutif H. A. Zainal Abidin Farid dalam buku “Hukum Pidana 1”, Peristiwa pidana atau tindak pidana merupakan suatu situasi yang menggambarkan suatu peristiwa yang oleh undang-undang mengandung unsur handeling (perbuatan) dan unsur natalen (pengabaian; tidak berbuat; berbuat pasif) yang tindakan itu memiliki suatu rangkaian antara satu dengan lainnya yang disebut sebagai suatu peristiwa dan itulah yang disebut sebagai delik.39

Merujuk kepada beberapa pendapat sarjana di atas, maka kita dapat mengerti bahwa tindak pidana sama artinya dengan peristiwa pidana, sama artinya dengan perbuatan pidana, dan sama juga artinya dengan delik.

Dalam perkembangan zaman yang semakin berkembang khususnya di Negara Indonesia, maka kejahatan pun akan semakin beragam bentuknya sehingga akan bermunculan tindak pidana – tindak pidana yang baru dan belum di atur di dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga di atur lebih lanjut dengan undang – undang yang berada di luar KUHP dan ini disebut dengan Tindak Pidana Khusus.

38

E.Utrecht/Moh.Saleh Djindang, Op.cit., hal.390.

39

(24)

Dikatakan Tindak Pidana Khusus hal ini dikarenakan tindak pidana yang diatur secara khusus di luar Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan orang – orang yang menanganinya pun khusus.

Bagaimana Undang – Undang tindak pidana khusus ini dapat berlaku di Negara Indonesia adalah dengan berdasarkan kepada Pasal 103 KUHP.40 Dengan dimuatnya aturan ini maka status dari undang – undang yang mengatur tentang tindak pidana di luar KUHP mempunyai suatu kepastian hukum dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat karena mempunyai daya berlaku di dalam sistem hukum Negara Indonesia.

Beberapa contoh tindak pidana yang di atur di luar KUHP atau yang dikatakan sebagai Tindak Pidana Khusus yaitu Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian dirubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Narkotika yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Tindak Pidana Perdagangan Orang yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan tindak pidana lainnya yang diatur di luar KUHP.

Dalam hal ini sebagaimana skripsi ini tentang perdagangan bayi, maka kita akan melihat apakah yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang itu dengan melihat definisinya dari berbagai pendangan baik menurut pendapat sarjana maupun definisi yang terdapat di dalam undang – undang.

40Pasal 103 KUHP : “ Ketentuan dari delapan bab yang pertama dari Buku ini berlaku

juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang – undang lain, kecuali

(25)

Perdagangan orang (trafficking) saat ini mempunyai pengertian yang diperluas, dimana pada masa sekarang ini trafficking diartikan sebagai perpindahan orang dengan pemaksaan, terutama perempuan dan anak – anak dengan atau tanpa sepengetahuan mereka, baik di dalam maupun di luar negeri untuk tujuan eksploitasi tenaga kerja, prostitusi, dan perkawinan yang tidak seimbang (servile marriage),41serta untuk kepentingan yang lain.

Global Alliance Against Traffick in Women memberi definisi tentang apa yang

dimaksud dengan trafficking yaitu :

Trafficking atau perdagangan perempuan dan anak, adalah segala usaha yang

meliputi tindakan yang berhubungan dengan perekrutan, ransportasi di dalam atau melintasi perbatasan (wilayah atau negara), pembelian, penjualan, transfer, pengiriman, penerimaan seseorang dengan menggunakan penipuan dan tekanan termasuk penggunaan ancaman kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau menahan orang tersebut, baik dibayar maupun tidak, untuk kerja yang tidak diinginkannya, seperti domestik, seksual atau reproduksi, dalam kerja paksa ataunikatan kerja atau dalam kondisi perbudakan, dalam suatu lingkungan yang asing dari tempat tinggalnya semula dengan orangtuanya atau bukam ketika penipuan itu terjadi, tekanan, atau terkena lilitan yang pertama kali.42

Pengertian ini memahamkan kita bahwa kebanyakan yang menjadi korban dari perdagangan orang ini adalah perempuan dan anak – anak dan bahkan sekarang ini, bayi pun kerap menjadi korban atau kerap diperdagangkan.

41

Alfitra, Op.cit., hal.164.

42Ibid.,

(26)

b. Pengertian Tindak Pidana Penjualan Bayi

Lalu, apakah bayi masuk ke dalam pengertian dari yang diperdagangkan? Hal ini dijawab dengan Potokol II Transitional Organized Crime (TOC) di huruf (d) yang memberi pengertian: ”Child” Shall mean any person under eighteen years of age yang terjemahannya adalah “Anak” adalah orang yang berumur di bawah

delapan belas tahun.43

Jadi, setiap orang baik laki – laki maupun perempuan jika usianya dibawah 18 (delapan belas) tahun, termasuk juga Bayi, maka disebut sebagai anak. Oleh karena itu apabila ada seseorang ataupun bersama – sama melakukan perdagangan/penjualan bayi hal itu dapat masuk sebagai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

Di atas telah disingung bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang mempunyai pengertian yang menyangkut tentang penjualan maupun pembelian terhadap perempuan ataupun anak. Perdagangan berasal dari kata dagang44, dalam pengertian ini kita dapat melihat bahwa dari kata “perdagangan” maka ada barang yang dijual, ada penjual dan ada pembeli. Sehingga tentu ada subjek (pelaku) di dalamnya dan inilah yang menjadi perhatian kita.

Pelaku dalam kejahatan ini bisa sebagai penjual, pembeli, atau bahkan perantara. Namun pelaku yang akan kita bahas dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang ini lebih spesifiknya adalah penjual.

43

Alfitra,Op. Cit., hal. 166 – 167.

44

(27)

Penjual merupakan orang yang melakukan penjualan kepada orang lain atau dengan kata lain penjual merupakan orang yang menjual.

Jika dalam hal ini dibahas mengenai tindak pidana perdagangan orang, maka penjual yang dimaksud adalah Subjek yang melakukan perdagangan orang atau Subjek yang menjual orang.

Pelaku – pelaku dalam Tindak Pidana Perdagangan Bayi bukan hanya dalam bentuk individu saja namun juga dalam beberapa bentuk dan sistem yang bermacam juga. Hal ini karena kejahatan tersebut masuk dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang menyangkut juga tentang lintas batas ataupun dalam lintas nasional.

Pelaku – pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang ini di dalama Pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dikatakan adalah “setiap orang”. Setiap orang dapat diartikan dalam beberapa bentuk, yakni :

1) Perseorangan 2) Korporasi

Dari beberapa jenis pelaku tindak pidana perdagangan orang ini kita akan mengaitkan perdagangan orang yang dilakukan oleh Bidan dengan bentuk atau jenis – jenis pelaku tindak pidana perdagang orang di atas.

(28)

Bidan yang merupakan suatu profesi yang sangat erat kaitannya dengan Bayi. Hal itu dikarenakan Bidan mempunyai tugas dan fungsi yang memang berkaitan dengan bayi.

Lalu, dimanakah posisi Bidan dikatakan sebagai pelaku dalam tindak pidana perdagangan orang (bayi) ini? Untuk menjawab hal ini kita harus melihat dari jenis – jenis pelaku (penjual) dalam tindak pidana perdagangan orang ini.

Perseorangan (pleger) menurut Jan Remmelink adalah orang yang memenuhi semua unsur delik.45 Sedangkan korporasi di dalam Pasal 1 ayat (6) menyebutkan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik yang merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.46

Seorang Bidan yang melakukan Tindak Pidana Penjualan Bayi tersebut harus dilihat apakah dia bekerja sendiri atau bersama – sama dalam artian apakah perbuatan Bidan tersebut terorganisir dalam sebuah kelompok atau dilakukan secara perseorangan saja.

Apabila dilakukan secara berkelompok atau bersama – sama, maka dikategorikanlah perbuatannya dilakukan dalam bentuk pelaku korporasi namun apabila tidak maka Bidan tersebur dikatakan sebagai pelaku perseorangan.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa Bidan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelaku dalam bentuk perseorangan namun dapat pula tidak apabila Bidan tersebut melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak secara sendiri melainkan bersama – sama atau berkelompok.

45

Mohammad Eka Putra/Abul Khair, Percobaan dan Penyertaan, (Medan: USU Press), hal. 45.

(29)

4. Tindak Pidana Penjualan Bayi Menurut Undang-Undang Perlindungan

Anak

a. Pengertian Tindak Pidana Penjualan Bayi Menurut UU No. 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 ayat (1) menyebutkan :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Bayi merupakan korban yang banyak “diperdagangkan”, dengan mengacu

pada pengertian Pasal 1 ayat (1) ini maka bayi mendapat perlindungan hukum melalui pasal ini.

Mengenai aturan yang membahas mengenai tindak pidana penjualan bayi dalam undang-undang ini di atur dalam Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur bahwa :

Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

b. Pengertian Tindak Pidana Penjualan Bayi Menurut UU No. 35 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

(30)

Perlindungan Anak dalam Pasal 1 ayat (2) pengertiannya adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Oleh karena dalam undang-undang ini hanya merubah undang-undang sebelumnya maka hanya beberapa ketentuan yang diubah dan beberpa ketentuan lain seperti misalkan pengertian anak pada bagian ketentuan umum masih menggunakan penertian yang sama dengan undang-undang sebelumnya.

Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83:

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 76F berbunyi : Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak.

Oleh karena itu, menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 aturan mengenai penjualan bayi mendapat penambahan unsur perbuatan di dalamnya.

F. Metode Penelitian

(31)

keilmuan yang terjaga sehingga hasil penelitian yang dilakukan memiliki nilai ilmiah yang dihargai oleh komunitas ilmuwan terkait (intersubjektif).47

1. Jenis Penelitian

Penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh dari masyarakat dan dari bahan – bahan pustaka.48 Dalam skripsi ini penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yang mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.49

2. Sumber Data

Data merupakan sesuatu yang diketahui atau dianggap yang artinya bahwa data berisi tentang informasi atau berisi tentang pendapat.50

Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang diperoleh dari:51

a. Bahan hukum primer, yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, yaitu Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang-Undang-Undang Republik Indonesia

47

Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hal. 25.

48

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hal. 12.

49

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.cit, hal. 13-14.

50

Muslan Abdurahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), hal. 111.

51

(32)

Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 yang dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009, dan Kepmenkes Ri No. 369/Menkes/Sk/Iii/2007 Tentang Standar Profesi Bidan, dan Kepmenkes Ri No. 938/ Menkes/Sk/Iii/2007 Tentang Standar Asuhan Kebidanan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil – hasil penelitian, karya tulis ilmiah, atau karya dari kalangan hukum, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer dan skunder seperti seperti kamus,ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Research (studi kepustakaan). Metode Library Research yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas dalam skrispsi ini.

(33)

Analisis dapat dibedakan menjadi analisis yang kualitatif dan analisis yang kuantitatif. Analisis kualitatif adalah apabila data itu hanya bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sedangkan analisis kuantitatif adalah apabila data yang dikumpulkan tersebut berjumlah besar dan oleh karenanya diklasifikasikan ke dalam kategori-kategori.52

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan studi putusan pengadilan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisa kualitatif merupakan suatu kegiatan menganalisa data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab yang terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistmatika penulisan ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN

Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum, yaitu : Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.

BAB II ATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PENJUALAN BAYI YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN

52

(34)

Dalam Bab ini akan diuraikan pembahasan tentang : Perkembangan Hukum Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Aturan Hukum Mengenai Tindak Pidana Penjualan Bayi.

BAB III PENERAPAN HUKUM TERHADAP BIDAN PELAKU

PENJUALAN BAYI BERDASARKAN PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI MEDAN NOMOR

1201/PID.B/2014/PN.MDN.

Dalam Bab ini akan dibahas mengenai Penerapan Hukum yang Diberikan Terhadap Bidan Penjual Bayi dalam Putusan No. 1201/PID.B/2014/PN.MDN.

BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERKAIT BIDAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENJUALAN BAYI

Dalam Bab ini akan dibahas mengenai hambatan – hambatan dalam penegakan hukum terhadap bidan pelaku penjualan bayi. BAB V PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

respected and applied in connection with forest management rights, access to forest resources, sharing of benefits, etc. National Law No. - Approved ILO Convention 169 on

Diajukan Kepada Program Vokasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk.. Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Ahli Madya (A.Md.) Program Studi D3

Beberapa trik yang digunakan di program password ini berupa : anti-debugging yang sederhana, anti-break, kata kunci teracak (encrypted), dan dapat mengunci keyboard. Program

Dalam penulisan ini penulis memakai salah satu contoh bahasa pemrograman visual, yaitu, Bahasa Pemrograman Visual Basic 6 yang sangat mendukung dalam pembuatan beberapa

Keterangan lain-lain Jika proses pembimbingan Skripsi selesai mohon dilaporkan kepada Ketua Jurusan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN

Untuk meningkatkan validitas eksternal penelitian ditempuh langkah-langkah sebagai berikut : (1) pemilihan kelompok diambil secara random, dalam hal ini kelompok

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual