PENDAHULUAN
Latar Belakang
Luas lahan sulfat masam di dunia diperkirakan 14 juta ha, diantaranya 10
juta ha tersebar diwilayah tropik. Sebagian lahan gambut dangkal di Indonesia
berasosiasi dengan sulfat masam. Hasil survei Euroconsult (1984) menunjukkan
luas lahan sulfat masam di Indonesia sekitar 2 juta ha. Diperkirakan luas lahan
sulfat masam sekitar 6,70 juta ha. Keadaan ini menunjukkan terjadinya perluasan
lahan sulfat masam. Hal ini memnungkinkan karena terjadinya penipisan lapisan
atas (lapisan organik) sehingga mendekatkan lapisan pirit ke permukaan
(Noor, 1996).
Lahan sulfat masam merupakan ekosistem yang potensial untuk
dikembangkan sebagai lahan pertanian, karena arealnya yang cukup luas sehingga
mempunyai peran yang strategis dalam mendukung peningkatan produksi beras
nasional. Namun lahan sulfat masam bukan hanya cocok untuk tanaman padi, tapi
juga tanaman pangan lainnya dan tanaman hortikultura dan perkebunan. Hal
penting yang harus diperhatikan dalam pemanfaatannya harus hati-hati dan
terencana agar tidak mengalami degradasi dan menimbulkan masalah lingkungan.
Pemanfaatan lahan marginal, seperti lahan sulfat masam, belum
diupayakan secara optimal untuk memenuhi dan mempertahankan kebutuhan
pangan nasional. Tanah sulfat masam dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu
(1) tanah sulfat masam potensial yang dicirinya antara lain lapisan pirit pada
kedalaman >50 cm dari permukaan tanah dan (2) semua jenis tanah yang
digolongkan sebagai tanah sulfat masam aktual. Adapun yang dimaksud dengan
sedang-sampai dengan masam (pH>4.0). sementara itu yang dimaksud dengan
tanah sulfat masam aktual yang dicirikan dengan warna kecoklatan pada
permukaan, dan sangat masam atau pH< 3,5 (Noor, 2004).
Tanah sulfat masam mempunyai ciri yang khas yaitu mempunyai lapisan
bahan sulfidik (liat belerang) yang banyak mengandung pirit (FeS2). Jika tanah ini
dikeringkan atau teroksidasi, maka senyawa pirit akan membentuk ferri
hidroksida (Fe(OH)3), sulfat (SO42-) dan ion hydrogen (H+) sehingga tanah
menjadi sangat masam. Akibatnya kelarutan ion-ion Fe2+, Al3+,dan Mn2+
bertambah di dalam tanah dan dapat bersifat racun bagi tanaman. Ketersediaan
fosfat menjadi berkurang karena diikat oleh besi atau aluminium dalam bentuk
besi fosfat atau aluminum fosfat. Biasanya bila tanah masam kejenuhan basa
menjadi rendah, akibatnya terjadi kekahatan unsur hara di dalam tanah
(Hasibuan, 2008).
Permasalahan yang umum dijumpai pada lahan sufat masam adalah
kemasaman tanah yang tinggi, ketersediaan hara P yang rendah dan fiksasi P yang
tinggi oleh Al dan Fe berakibat pada rendahnya hasil tanaman yang diusahakan.
Kemasaman tanah yang tinggi memicu larutnya unsur beracun dan kahat hara
sehingga tanah menjadi tidak produktif.
Sumber kemasaman tanah sulfat masam berasal dari senyawa pirit (FeS2)
yang teroksidasi melepaskan ion- ion hidrogen dan sulfat yang diikuti oleh
penurunan pH menjadi sekitar 3. Keadaan tersebut menyebabkan kelarutan Al
meningkat sehingga hampir semua tanaman budidaya, termasuk padi tidak dapat
tumbuh secara normal. Pengapuran pada awalnya dianggap mampu mengatasi
berfluktuasi bergantung musim, maka ternyata pengapuran tersebut tidak efektif.
Hal tersebut dicirikan pada tanaman padi yang mengalami keracunan Al walaupun
telah dilakukan pemberian kapur sebelum penanaman. Akibatnya produksi padi
pada tanah sulfat masam menjadi sangat rendah bahkan sampai tidak
menghasilkan. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk
memilih bahan amelioran yang sesuai untuk mengatasi masalah keracunan Al
pada tanaman padi di tanah sulfat masam.
Teknologi penggunaan bahan amelioran telah terbukti mampu
meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam. Bahan organik (BO) dapat
berperan sebagai sumber asam-asam organik yang mampu mengontrol kelarutan
logam dalam tanah ataupun berperan sebagai unsure hara bagi tanaman.
Asam-asam organik yang terdapat dalam BO mampu mengkhelat unsur-unsur beracun
dalam tanah sehingga menjadi tidak berbahaya bagi tanaman. Asam-asam organik
mampu menurunkan jumlah fosfat yang difiksasi oleh Fe dan Al melalui
mekanisme pengkhelatan sehingga P tersedia bagi tanaman (Arifin, dkk, 2009). Bahan organik banyak mengandung unsur hara ikutan sehingga aplikasi
bahan organik juga berfungsi memperkaya hara tanah termasuk unsur hara mikro.
Tandan kelapa sawit mempunyai potensi yang besar untuk digunakan sebagai
bahan penyubur tanah karena tandan kelapa sawit mempunyai sifat kimia dan fisik
yang dapat memperbaiki kondisi tanah. Menurut Darmosarkoro dkk, (2001) bahan organik dalam tanah berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik tanah seperti struktur
Pupuk kompos merupakan bahan organik yang telah mengalami proses
fermentasi atau dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme. Pada
prinsipnya pengomposan TKS akan menurunkan nisbah C/N yang terkandung
dalam tandan agar mendekati nisbah C/N tanah. TKS yang diubah menjadi
kompos, tidak hanya mengandung nutrien, tetapi juga mengandung bahan organik
lain yang berguna bagi perbaikan struktur organik pada lapisan tanah, terutama
pada kondisi tropis (Fauzi, dkk., 2005).
Tandan kosong kelapa sawit mempunyai kadar C/N yang tinggi yaitu
45-55. Hal ini dapat menurunkan ketersediaan N pada tanah karena N
terimobilisasi dalam proses perombakan bahan organik oleh mikroba tanah. Usaha
menurunkan kadar C/N dapat dilakukan dengan proses pengomposan sampai
kadar C/N mendekati kadar C/N tanah. Proses pengomposan tersebut
menghasilkan bahan organik bermutu tinggi dengan kadar C/N sekitar 15. Selain
kandungan hara relative tinggi seperti N, P, dan K kompos TKS memiliki nilai pH
yang tinggi (mencapai pH 8) sehingga berpotensi sebagai bahan pembenah
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efek pemberian kompos tandan
kosong kelapa sawit dan pupuk SP-36 terhadap perbaikan sifat kimia,
pertumbuhan dan produksi padi (Oryiza sativaL.) pada lahan sulfat masam.
Hipotesis Penelitian
- Pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit sebanyak 10-30 ton/ha dapat
memperbaiki sifat kimia tanah, pertumbuhan dan produksi padi
(Oryza sativaL.) pada lahan sulfat masam.
- Pemberian pupuk SP-36 dengan dosis 0,5-1,5 x takaran anjuran dapat
meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi (Oryza sativa L.) pada lahan sulfat masam.
- Kombinasi perlakuan kompos tandan kelapa sawit dan pupuk SP-36 dapat
memperbaiki sifat kimia, pertumbuhan dan produksi padi (Oryza sativa L.) pada lahan sulfat masam.
Kegunaan Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna bagi kepentingan ilmu
pengetahuan dan dapat dimanfaatkan pula bagi para petani untuk meningkatkan
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Sulfat Masam
Lahan sulfat masam adalah lahan yang memiliki horizon sulfidik dan atau
sulfurik di dalam kedalaman 120 cm dari permukaan tanah mineral. Pada
umumnya lahan sulfat masam terbentuk pada lahan pasang surut yang memiliki
endapan marin. Karena kondisi lingkungannya beragam maka karakteristik lahan
sulfat masam sangat beragam. Klasifikasi lahan sulfat masam juga dikenal
beberapa istilah yang mencerminkan kondisi lingkungan dan tingkat kegawatan
kendala yang dihadapi (Noor, 1996).
Lahan sulfat masam termasuk dalam kelompok lahan rawa pasang surut
yang terdiri atas lahan sulfat masam aktual dan lahan sulfat masam potensial.
Karakteristik tanah yang menentukan tipologi lahan adalah kedalaman lapisan
sulfidik dan sulfurik. Wiidjaja Adhi (1986) mengusulkan istilah lahan sulfat
masam dan lahan potensial. Lahan sulfat masam adalah lahan sulfat masam aktual
dan sulfat masam potensial dengan lapisan sulfidik < 50 cm. Sedangkan lahan
potensial adalah lahan sulfat masam potensial yang memiliki kedalaman lapisan
sulfidik > 50 cm.
Tanah-tanah sulfat masam cenderung mempunyai konduktivitas hidrolis
yang lebih tinggi daripada tanah-tanah marin yang tidak masam, yang tidak hanya
karena pori-pori tubular yang seimbang yang mungkin dapat dibentuk dalam
dihentikannya pengaruh pasang surut itu menghasilkan sistem celah-celah pada
tanah yang seimbang (Kartasepoetra dan Sutedjo, 1988).
Tanah sulfat masam mempunyai penciri utama, yaitu (1) bahan sulfidik
atau pirit, (2) lapisan (horison) sulfurik, (3) bercak jarosit, dan (4) bahan penetral
berupa karbonat atau basa-basa tertukar lainnya. Sifat tanah sulfat masam ditandai
warna tanah yang kelabu, bersifat mentah, dan kemasaman sedang sampai tinggi.
beberapa pengalaman (sigi) dan penelitian menunjukkan untuk mengenal dan
mengidentifikasi tanah sulfat masam dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan
sederhana, dan identifikasi yang dimaksud adalah pengujian di lapangan
(field laboratorium) (Noor, 2004).
Sifat atau ciri lain yang dapat membantu dalam mengidentifikasi lapisan
pirit adalah (a) adanya warna reduksi kelabu atau kelabu kehijaun, baik dengan
maupun tanpa bercak hitam, (b) adanya bahan organik terutama berupa akar
serabut, atau berseling dengan lapisan mineral berkonsistensi setengan
matang, (c) adanya bau H2S pada tanah yang telah terfanggu atau
diolah (Hakim dkk, 1986).
Hakim dkk (1986) menyatakan bahwa tanah ini biasanya mempunyai tekstur halus, karena fraksi-fraksi kasar sudah diendapkan di daerah aliran sebelah
atas. Endapan-endapan marine (pengendapan sedimen laut) dan sungai inilah
yang merupakan bahan induk tanah sulfat masam yang terbentuk di daerah
tersebut.
Terbentuknya tanah sulfat masam bermula dari adanya endapan pirit
(FeS2) yang mengalami oksida sulfat, ion hydrogen dan ion ferri. Dari daur
bertumpu pada aktivitas oksida-reduksi yang dilakukan oleh mikroba
(bakteri-bakteri belerang) baik dalam keadaan aerobik maupun anaerobik. Dalam
pengendalian sifat fisika dan kimia tanah yang perlu diperhatikan aktifitas
belerang dan mikrobia perombak bahan organik (Noor, 2004).
Pembentukan tanah sulfat masam sebagai proses pengendapan atau
sedimentasi marine berhubungan dengan penurunan permukaan air laut atau
pengangkatan daratan. Selanjutnya tumbuh dan berkembangnya vegetasi di atas
hamparan sedimen marine ini tergantung pada kemampuan adaptasi atau
ketahanannya terhadap kondisi lingkungan, seperti kemasaman dan atau salinitas
yang nisbi tinggi. Perubahan-perubahan akibat bencana alam atau kesalahan
pengelolaan lingkungan mengakibatkan timbulnya pergantian jenis vegetasi asal
yang tadinya bersifat kaya dalam keragaman (biodiversity) menjadi miskin (Noor, 2004).
Tanah-tanah bersulfat masam timbul dan berkembang dimana pirit pada
endapan masam yang potensial beroksidasi pada tingkat pH yang jatuh dibawah
3,5 (4,0 pada tanah pemula) pada lapisan tanah bagian atas, sekitas 50 cm tebal.
Oksidasi ini dibantu oleh mikroba-mikroba ototropis. Zat sulfur dasar dibentuk
dalam proses dan tampil sebagai jarosit burik yang berwarna kuning jerami
(Kartasepoetra dan Sutedjo, 1988).
Masalah kemasaman tanah yang serius, bergantung tidak hanya pada
kualitas pirit-S untuk mana tanah tidak mempunyai kompensasi dalam hubungan
substansi-substansi penetralan masam melainkan pula pada kecepatan pada mana
alkalinitas yang ada dapat dikerahkan dan kecepatan pada masam sulfuris
endapan yang berkandungan pirit dapat dikatakan tidak mempunyai (nihil), akan
tetapi liat-liat secara normal akan menyangga pH tanah sekita 3,8. Dimana
pembentukan masam melebihi kapasitas penyanggaan bahan-bahan campuran,
nilai pH turun sampai 2 atau 3. Kelebihan masam menyela pada struktur –struktur
liat dan membebaskan aluminium, magnesium dan silika. Kondisi-kondisi yang
demikian ekstrim, biasanya ditahan/dibatasi sampai tempat-tempat di mana
drainase yang dalam secara mendadak menyebabkan aerasi berlebihan pada
lapisan berpirit tinggi (Kartasepoetra dan Sutedjo, 1988).
Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Lahan Sulfat Masam
Warna lapisan sulfidik (pirit) cepat berubah menjadi lebih gelap dalam
beberapa detik. Sebagian pakar berpendapat perubahan warna tanah ini akibat
proses oksidasi secara cepat terhadap bahan organik. Pendapat lain menyatakan
bahwa perubahan terjadi akibat oksidasi terhadap pirit setelah bersentuhan dengan
udara (Noor, 2004).
Subiksa, et al (1993) menyatakan bahwa terlalu banyak ion H+ dalam larutan tanah akan merusak struktur mineral liat, dan membebaskan banyak ion
aluminium (Al3+) yang bersifat toksik terhadap tanaman. Sebagian besar dari
besi-III koloidal yang terbentuk, pada akhimya mengkristal menjadi oksida besi
“goethite”, yang berwarna coklat kemerahan, berupa karatan, selaput atau
nodul-nodul dalam tanah, dan dinding-dinding saluran drainase. Dalam kondisi oksidasi
yang sangat kuat, misalnya oleh air tanah yang turun terlalu dalam, atau akibat
penggalian saluran drainase, bahan endapan marin secara tiba-tiba diangkat ke
Reaksi tanah sulfat masam tergolong masam sampai luar biasa masam,
berkisar pada pH 4 (untuk ordo entisol) dan pH < 3,5 (ordo inceptisol). Lahan
sulfat masam yang tergenang mempunyai kemasaman tanah nisbi tinggi dengan
pH 4, tetapi apabila terjadi pengeringan pH dapat turun secara drastis sehingga
menjadi sangat masam (Noor, 2004).
Lahan sulfat masam terbentuk pada lahan pasang surut dengan endapan
marin atau fluvio marin. Subiksa, et al (1993) menyatakan bahwa ciri utama endapan marin adalah adanya lapisan tanah yang mengandung pirit (FeS2). Dalam
kondisi alaminya yaitu dalam suasana jenuh air atau anaerobik, pirit bersifat stabil
dan tidak berbahaya. Karena pengaruh air laut, pH tanah cenderung mendekati
netral sampai agak alkalis. Posisi lapisan tanah yang mengandung pirit ini
bervariasi dari dekat permukaan tanah sampai lebih dari 120 cm. Posisi lapisan
tanah berpirit ini merupakan faktor penentu rapuhnya tanah sulfat masam.
Mikroorganisme perombak bahan organik ini terdiri dari atas jamur dan
bakteri. Pada kondisi aerob, mikroorganisme perombak bahan organik terdiri atas
jamur, sedang pada kondisi anaerob sebagian besar adalah bakteri. Macam
mikroorganisme yang berperan dalam perombakan bahan organiik dalam tanah
secara aerob antara lain terdiri atas Trichoderma, Nocardi, dan Streptomyces,
sedang perombak secara anaerob antara lain terdiri atas Clostridium,
Methanobacter, dan Methanococcus (Noor, 2004).
Reklamasi lahan rawa pasang surut untuk pertanian, diawali dengan
membangun jaringan saluran drainase. Pembangunan saluran ini merubah secara
drastis kondisi anaerob menjadi aerob. Lahan mengalami pengeringan/pengatusan,
menjadi terbuka (exposed). Dalam suasana aerobik, pirit menjadi tidak stabil
karena bereaksi dengan oksigen udara. Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen
berjalan lambat, dan dipercepat oleh adanya bakteri Thiobacillus ferrooxidans.
Seluruh reaksinya digambarkan sebagai berikut:
FeS2 + 15/4O2 + 7/2 H2O Fe(OH)3 + 2SO2- + 4H+
Pirit oksigen besi-III (koloidal) asam sulfat
Bakteri Thiobacillus thiooxidans merupakan bakteri chemolithotrophs yang menggunakan S yang tereduksi sebagai sumber energi. Asam sulfat
merupakan hasil akhir dari reaksi tersebut dan menyebabkan pH lingkungan
disekitarnya 2 atau kurang. Beberapa bakteri pengoksidasi yang toleran terhadap
kemasaman adalah Thiobacillus ferrooxidans, Thiobacillus thiooxidans pada pH
2-3, dan Thiobacillus acidophilus pada pH 1,4 (Khairil, 2011).
Bahan Organik
Bahan orgsnik tidak hanya berperan dalam memperbaiki fisik tanah, tetapi
sekaligus berperan dalam menekan oksidasi pirit. Dalam konteks tanah sulfat
msam, kompos humus (bahan organik) mempunyai fungsi untuk menurunkan atau
mempertahankan suasana reduksi karena dapa mempertahankan kebasahan tanah
sehingga oksidasi pirit dapat ditekan. Penekanan terhadap oksidasi pirit ini
penting artinya bagi pertumbuhan tanaman yang peka terhadap peningkatan
kemasaman dan kadar meracun kation-kation seperti Al3+, Fe2+, Mn2+, dan
Pada beberapa tanah masam, pupuk organik dapat meningkatkan pH tanah
atau menetralkan Al dengan membentuk kompleks Al-organik. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa memberian bahan organik dapat meningkatkan
P-tersedia tana, karena selain mengandung P juga mampu mengurangi pengikatan
P oleh Al dan Fe, meningkatkan ketersedian unsur mikro melalui khelat unsure
mikro dengan bahan organik, dan juga pupuk organik tidak menimbulkan polusi
lingkungan (Sanchez, 1976).
Tandan kosong kelapa sawit merupakan salah satu dari hasil limbah pabrik
kelapa sawit yang jumlahnya cukup besar. Selama ini limbah tersebut hanya
dibakar untuk diambil abunya sebagai pupuk kalium. Pembakaran tandan ini
praktis menghilangkan bahan organik yang ada didalam limbah, sehingga perlu
dilakukan pemanfaatan dengan menggunakan alternatif lain hingga dapat
digunakan sebagai pupuk organik (Hutauruk danMarbun, 1993).
Kompos Tandan Kelapa Sawit (TKS) adalah salah satu limbah padat yang
dihasilkan dari pengolahan pabrik kelapa sawit. Kompos TKS merupakan bahan
organik yang mengandung unsur hara utama N, P, K dan Mg. Selain juga mampu
memperbaiki sifat fisik tanah, kompos tandan kosong sawit diperkirakan mampu
meningkatkan efisiensi pemupukan (Suherman, dkk., 2007).
Dalam proses pembuatan kompos pupuk organik ini memerlukan waktu
yang sangat lama karena sifat kimia dan fisika tersebut yang berkaitan dengan
tingginya kandungan lignoselulosa, hemiselulosa dan lignin masing-masing
sebesar 45,95%, 22,84%, dan 16,45% dasar kering. Dari hasil penelitian diperoleh
hasil yang menunjukkan bahwa pengukuran ukuran, peningkatan kadar air, dan
mempersingkat proses pengomposan tandan kosong kelapa sawit (TKS) menjadi
sekitar 3 bulan (Darnoko, dkk, 1993).
Tabel 1. Kandungan nutrisi yang terkandung di dalam kompos tandan kosong kelapa sawit
Menurut literatur Siahaan, et al, (1997) bahwa aplikasi TKS dengan
berbagai dosis tanpa maupun dengan tambahan pupuk organik secara nyata
meningkatkan perubahan sifat kimia yaitu pH, C-organik, N, P-tersedia, KTK dan
kejenuhan basa. Sedangkan kadar Al tertukar dalam tanah dengan aplikasi tandan
kosong kelapa sawit ini mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa
aplikasi tandan kosong kelapa sawit disamping memperbaiki sifat kimia tanah dan
dapat menekan Al bebas (Al-dd). Tandan kosong kelapa sawit sebagai sumber
bahan organik dapat mengikat (ckelates) Al sehingga berbentuk ikatan
Al-organik. Al tersebut akan menurunkan Al tertukar dan meningkatkan pH tanah
(Suntoro, 2001).
Parameter Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit
Kriteria
pH H2O 7,23 Netral
C-Organik (%) 29,76 Sangat Tinggi
N-total (%) 1,8 Sangat Tinggi
C/N 16,5 Tinggi
P (%) 0,022 Agak Rendah
Unsur Hara Fosfat
Potensi pengembangan pertanian pada lahan kering yang bersifat masam
masih sangat besar, terutama di luar Jawa seperti di Kalimantan, Sumatera, dan
Sulawesi. Kekahatan P merupakan salah satu kendala utama bagi kesuburan tanah
masam. Tanah ini memerlukan P dengan takaran tinggi untuk memperbaiki
kesuburan tanah dan meningkatkan produktivitas tanaman. Untuk mengatasi
kendala kekahatan P umumnya menggunakan pupuk P yang mudah larut seperti
TSP, SP-36, SSP, DAP. Pupuk tersebut mudah larut dalam air sehingga sebagian
besar P akan segera difiksasi oleh Al dan Fe yang terdapat di dalam tanah dan P
menjadi tidak tersedia bagi tanaman kesuburan tanah.
Lahan sulfat masam memiliki tingkat kemasaman tanah yang tinggi
dengan pH tanah bisa mencapai < 4. Sumber kemasaman adalah bahan sulfidik
yang bila bahan ini teroksidasi dapat menghasilkan kondisi sangat masam.
Kemasaman tanah yang tinggi memicu larutnya unsur beracun dan kahat hara
sehingga tanah menjadi tidak produktif. Pengapuran untuk mengurangi
kemasaman tanah dan unsur beracun dan pemupukan P untuk mengurangi kahat P
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan sulfat masam. Penggunaan
pupuk fosfat konvensional seperti SP-36 saat ini paling umum dipakai sebagai
sumber P karena pupuk ini tersedia di pasar. Namun penggunaan SP-36 yang
mudah larut kurang efisien karena jerapan P oleh Fe dan Al cukup tinggi.
(Subiksa dan Diah, 2010).
Fosfor (P) merupakan unsur yang diperlukan dalam jumlah besar (hara
makro). Jumlah fosfor dalam tanaman lebih kecil dibandingkan dengan nitrogen
P didalam tanah dapat digolongkan manjadi P organik dan P anorganik. Tanaman
menyerap fosfor dalam bentuk ion ortofosfat primer (H2PO4) dan ion ortofosfat
sekunder (H2PO42-) (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).
Masalah utama dalam pengambilan fosfor dari dalam tanah oleh tanaman
adalah daya larut yang rendah dari sebagian besar senyawa fosfor yang
mengakibatkan konsentrasi fosfor yang rendah untuk dapat digunakan dalam
larutan tanah pada suatu waktu. Sebagian besar fosfor pada batuan beku dan
bahan induk tanah terdapat sebagai apatit. Fluorapatit (C10(PO4)6F2) merupakan
mineral apatit yang paling umum. Fluorapatit mengandung fluorin (F), yang
menyumbangkan struktur kristal yang sangat stabil yang tahan terhadap
pengikisan (Foth, 1994).
Pupuk fosfat buatan umumnya diklasifikasikan berdasarkan kelarutannya
atas tiga golongan yaitu: (1) pupuk fosfat yang larut dalam air. Pupuk ini
mempunyai fraksi yang mudah larut dalam air, dimana P2O5 nya mudah tersedia
untuk tanaman. (2) pupuk yang larut dalam asam sitrat. Umumnya terdiri dari
dikalsium fosfat, P2O5 nya mudah tersedia bagi tanaman. (3) pupuk fosfat yang
tidak larut dalam asam sitrat. Fraksi ini terutama terdiri bentuk trikalsium fosfat
dan dianggap tidak tersedia untuk tanaman (Hakim, dkk, 1986).
Menurut badan penelitian dan pengembangan pertanian (1997) takaran
pemberian pupuk di lahan sulfat masam yaitu: pupuk urea (250 kg/ha) diberikan
1/3 takaran pada saat tanam, 1/3 takaran pada saat 4 MST, dan 1/3 takaran pada
saat 7 MST, sedangkan pupuk SP-36 (135 kg/ha) dan pupuk KCl (100 kg/ha)
Tanaman Padi (Oryza sativa L.)
Padi membutuhkan curah hujan yang cukup banyak, rata-rata
200mm/bulan atau lebih, dengan distribusi hujan selama empat bulan. Curah
hujan yang dikehendaki pertahun sekitar 1.500 - 2.000 mm. Curah hujan yang
baik akan membawa dampak positif dalam pengairan, sehingga genangan air yang
diperlukan tenaman padi dapat tercukupi. Tanaman padi memerlukan sinar
matahari untuk proses fotosistesis, terutama pada saat berbunga sampai proses
pemasakan. Padi membutuhkan keadaan tanah yang berlumpur dan dapat tumbuh
baik pada kedalaman tanah 18 -22 cm, dengan pH 4-7 (Girisantoso, 1990).
Tanaman padi dapat tumbuh di lahan pasang surut. Hanya saja padi yang
ditanam di lahan ini haruslah yang toleran terhadap keadaan air yang asin
(salinity). Hal ini disebabkan masuknya air laut ke lahan pertanaman padi. Pada
dasarnya, padi adalah tanaman yang agak toleran (moderately tolerant) terhadap keasinan. Namun, tidak ada varietas padi yang bertahan terus-menerus dalam satu
periode tumbuh terhadap keasinan dan tidak ada padi yang ditanam secara di
lahan yang berkadar garam tinggi. Yang perlu diperhatikan adalah respon tanaman
padi terhadap keasinan selama periode tumbuh. Salah satu varietas yang cocok
untuk lahan pasang surut adalah varietas kapuas. Sifat toleran tanaman padi
bervariasi selama periode tumbuh. Tanaman dapat toleran selama periode
berkecambah, tetapi bibit sensitif selama 4 minggu. Kerusakan yang terjadi
Sensitivitas akan menururn lagi pada periode pemasakan kedua. Sensitivitas
varietas padi terhadap keasinan bervariasi (Suparyono dan Setyono, 1997).
Jenis padi yang dibudidayakan umumnya varietas lokal, semai dilakukan
sekitar bulan Mei dan panen pada akhir tahun dengan mencapai hasil 4 ton ha-1
(Mensvoort, 1996, dalam Sutedjo dan Kartasapoetra, 1988). Umunya rata-rata
hasil padi berkisar antara 0,8-2,9 ton ha-1, pemberian kapur (2 ton ha-1 ) dan
pupuk lengkap (50 kg N, 90 kg P2O5 dan 30 kg K2
Sesuai dengan asalnya, padi merupakan tanaman lahan basah, tetapi adaptasi
tanaman ini telah mampu menghasilkan varietas padi yang tumbuh di lahan kering
atau dikenal dengan padi gogo. Namun, daerah utama penghasil beras diberbagai
belahan dunia adalah daerah padi lahan basah atau daerah tanah sawah. Dari segi
botani terutama sistem perakarannya tanaman padi sebenarnya bukan benar – benar
tanaman air, tetapi padi akan dapat tumbuh dengan baik dalam keadaan tergenang
sehingga padi juga mempunyai sifat yang semiakuatis
(Hardjowigeno danRayes, 2005).
O ha-1 ) dapat menaikkan hasil
mencapai 4 ton padi ha-1, dibandingkan dengan usaha tani padi, nilai pendapatan
yang diperoleh lebih besar mencapai hampir 50%.
Pada penelitian ini, jenis padi yang digunakan adalah padi ciherang
dimana dari beberapa varietas padi, Padi Ciherang adalah varietas yang paling
banyak ditanam oleh petani. Padi jenis ini memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan varietas lainya seperti IR 64 dan IR 66. Keunggulan dari padi
Ciherang tersebut adalah padi Ciherang memiliki keunggulan dalam hal umur
tanam yang pendek , hanya 80 – 96 hari saja atau tiga bulan sepuluh hari,