BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Diri 2.1.1. Definisi
Konsep diri adalah evaluasi yang menyangkut bidang-bidang tertentu dari diri
(Santrock, 2007). Dalam kamus besar bahasa Indonesia istilah konsep memiliki arti
gambaran, proses atau hal-hal yang digunakan oleh akal budi untuk memahami
sesuatu. Istilah diri berarti bagian bagian dari individu yang terpisah dari yang lain.
Konsep diri dapat diartikan sebagai gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri
atau penilaian terhadap dirinya sendiri (KBBI,2008).
Stuart & Sudenn (1998) dalam Keliat (1994) konsep diri adalah semua ide,
pikiran, keyakinan, kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang
dirinya dan memengaruhi lingkungannya dengan orang lain.
2.1.2. Jenis Konsep Diri
Dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan
konsep diri negatif (Calhoun dan Acocella, 1990) :
a) Konsep diri positif. Lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu
kebanggan yang besar tentang diri. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan
bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu
betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat
keberadaan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri positif akan
merancang tujuan – tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang
memiliki kemungkinan besar untuk dapat di capai, mampu menghadapi
kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses
penuaan.
b) Konsep diri negatif. a). Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar
tidak teratur, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu
tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya, kekuatan dan kelemahannya atau
yang di hargai dalam kehidupannya. b). Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu
stabil dan teratur. Ini bisa terjadi karena individu dididik dengan cara yang sangat
keras, sehingga menciptakan citra diri yang tidak mengijinkan adanya
penyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam pikirannya merupakan cara
hidup yang tepat.
2.1.3. Komponen Konsep Diri
1) Citra Tubuh (Body Image)
Sikap, persepsi, kenyakinan dan pengetahuan individu secara sadar terhadap
tubuhnya yaitu ukuran, bentuk, struktur, fungsi, keterbatasan, makna dan objek yang
kontak secara terus menerus (anting, mak-up, kontak lensa, pakaian, kursi roda) baik
masa lalu maupun sekarang. Citra tubuh membentuk persepsi seseorang tentang
tubuh, baik secara internal maupun eksternal yang di pengaruhi oleh pandangan
pribadi tentang karakteristik, kemampuan fisik, persepsi dari pandangan orang lain,
pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik, serta sikap dan nilai kultural juga
memengaruhi citra tubuh.
2) Ideal Diri (Self-Ideal)
Persepsi individual tentang bagaimana seorang individu harus berperilaku
berdasarkan standart, tujuan, keinginan atau nilai pribadi tertentu yang sering di sebut
bahwa ideal diri sama dengan citi-cita, keinginan, harapan tentang diri sendiri. Ideal
diri mulai berkembang pada masa kanak-kanak yang dipengaruhi orang penting pada
dirinya yang memberikan keuntungan dan harapan. Pada masa remaja ideal diri akan
dibentuk melalui proses identifikasi pada orangtua, guru dan teman.
3) Harga Diri (Self-Esteem)
Penilaian diri terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh
perilaku memenuhi ideal diri. Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga
diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu selalu sukses, maka
cenderung harga diri tinggi. Jika individu sering gagal maka cenderung harga diri
rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek-aspek utamanya
adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain. Harga diri sangat
mengancam pada masa pubertas, karena pada saat ini harga diri mengalami
perubahan, karena banyak keputusan yang harus di buat menyangkut dirinya sendiri.
Remaja di tuntut untuk menentukan pilihan, posisi, peran dan memutuskan apakah
remaja mampu meraih sukses dari suatu bidang tertentu, apakah remaja dapat
4) Peran (Self-Role)
Sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan
posisinya di masyarakat. Peran yang ditetapkan adalah peran yang dimana seseorang
tidak punya pilihan. Peran yang diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh
individu. Posisi dibutuhkaan oleh individu sebagai aktualisasi diri. Harga diri yang
tinggi adalah hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan idel diri.
Posisi di masyarakat dan merupakaan stressor terhadap peran karena struktur sosial
yang menimbulkan kesukaran, tuntutan, posisi yang tidak mungkin dilaksanakan.
Stress peran terdiri dari konflik peran yang tidak jelas, peran yang tidak sesuai dan
peran yang terlalu banyak. Tiap individu mempunyai berbagai peran dalam pola
fungsi individu. Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan
sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang
yang berarti.
5) Identitas Diri (Self-Identity)
Kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang
merupakan sintesa dari aspek konsep diri sebagai kesatuan yang utuh. Seseorang
yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat, akan memandang dirinya berbeda
dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (aspek diri sendiri)
dan kemampuan dalam penyesuaian diri. Seseorang yang mandiri dapat mengatur dan
menerima dirinya. Identitas berkembang sejak masa kanak-kanak bersamaan dengan
2.1.4. Konsep Diri Remaja
Santrock (2003) menyebutkan bahwa konsep diri remaja merupakan evaluasi
terhadap domain yang spesifik dari diri. Remaja dapat membuat evaluasi diri
terhadap berbagai domain dalam hidupnya, baik dalam akademik, atletik, penampilan
fisik, dan sebagainya. Konsep diri bukanlah bawaan lahir, melainkan hasil belajar.
Semenjak manusia mengenal lingkungan hidupnya, sejak itu pula ia belajar banyak
hal tentang kehidupan. Berdasarkan pengalaman hidupnya, seseorang akan
menetapkan konsep dirinya berdasarkan berbagai faktor. Menurut Hurlock (1973),
faktor-faktor itu adalah bentuk tubuh, cacat tubuh, pakaian, nama dan julukan,
inteligensi kecerdasan, taraf aspirasi/ cita-cita, emosi, jenis/gengsi sekolah, status
sosial, ekonomi keluarga, teman-teman, dan tokoh/orang yang berpengaruh. Apabila
berbagai faktor itu cenderung menimbulkan perasaan positif (bangga, senang), maka
muncullah konsep diri yang positif. Pada masa kanak-kanak, seseorang biasanya
cenderung menganggap benar apa saja yang dikatakan oleh orang lain. Jika seorang
anak merasa diterima, dihargai, dicintai, maka anak itu akan menerima, menghargai,
dan mencintai dirinya (berkonsep diri positif). Sebaliknya, jika orang-orang yang
berpengaruh di sekelilingnya (orang tua, guru, orang dewasa lainnya, atau
teman-temannya) ternyata meremehkan, merendahkannya, mempermalukan, dan
menolaknya, maka pengalaman itu akan disikapi dengan negatif (memunculkan
2.1.5. Faktor yang Memengaruhi Konsep Diri
Burns (1993) menyebutkan bahwa secara garis besar ada lima faktor yang
mempengaruhi perkembangan konsep diri, yaitu citra fisik, merupakan evaluasi
terhadap diri secara fisik, bahasa, yaitu kemampuan melakukan konseptualisasi dan
verbalisasi, umpan balik dari lingkungan, identifikasi dengan model dan peran jenis
yang tepat, dan pola asuh orang tua. Konsep diri individu akan terbentuk baik dan
menjadi positif jika faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut berfungsi secara
positif juga.
Pendapat Burns ini sejalan dengan Hurlock (1973) yang mengungkapkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri di antaranya
adalah ; fisik, pakaian, nama dan nama panggilan, intelegensi, tingkat aspirasi, emosi,
budaya, sekolah dan perguruan tinggi, status sosial ekonomi, dan keluarga.
Pengaruh keluarga sangat besar bagi pembentukan konsep diri karena untuk beberapa
waktu lamanya anak belum mengenal lingkungan sosial di luar keluarganya.
Pengaruh karakteristik hubungan orang tua dengan anak sangat penting dalam
pembentukan identitas, ketrampilan persepsi sosial, dan penalaran. Sedangkan pada
masa remaja pengaruh lingkungan sosial justru yang sangat berpengaruh.
Menurut Lerner dan Spanier (dalam Nuryoto, 1993), perkembangan seseorang
selain ditentukan oleh kondisi dirinya, juga dikaitkan dengan kehidupan kelompok
dalam lingkungan masyarakatnya pada setiap tahap perkembangan yang dilaluinya.
perkembangan manusia bisa dilihat dalam perspektif ekologi. Dalam perspektif ini
individu berintraksi dengan lingkungan.
2.1.6. Perilaku Seksual
Menurut Sarwono (2007), perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang
didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis maupun
sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama. Menurut Stuart dan
Sundeen (1999), perilaku seksual yang sehat dan adaptif dilakukan di tempat pribadi
dalam ikatan yang sah menurut hukum. Remaja melakukan berbagai macam perilaku
seksual beresiko yang terdiri atas tahapan-tahapan tertentu yaitu dimulai dari
berpegangan tangan, cium kering, cium basah, berpelukan, memegang atau meraba
bagian sensitif, petting, oral sex, dan bersenggama (sexual intercourse). Sebagian
besar dari remaja biasanya sudah mengembangkan perilaku seksualnya dengan lawan
jenis dalam bentuk pacaran atau percintaan. Bila ada kesempatan para remaja
melakukan sentuhan fisik, mengadakan pertemuan untuk bercumbu bahkan
kadang-kadang remaja tersebut mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual.
Perilaku dari aspek biologis diartikan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas
organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Aktivitas tersebut ada yang dapat
diamati secara langsung dan tidak langsung. Menurut Ensiklopedia Amerika, perilaku
diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku
merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan respons (Skinner (1949)
dalam Notoatmojo 2010). Perilaku tersebut dibagi lagi dalam tiga domain yaitu
dan psikomotor dari tindakan (keterampilan). Perubahan perilaku dalam diri
seseorang dapat terjadi melalui proses belajar. Perilaku manusia merupakan hasil
daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya
yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Dengan kata lain,
perilaku juga merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang
berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respons ini dapat bersifat pasif (tanpa
tindakan yaitu berfikir, berpendapat, bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan)
(Sarwono, 2007).
Sarwono (2007) juga mengatakan bahwa perilaku seksual merupakan segala
bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun
dengan sesama jenis. Bentuk perilaku seksual, mulai dari bergandengan tangan
(memegang lengan pasangan), berpelukan (seperti merengkuh bahu, merengkuh
pinggang), bercumbu (seperti cium pipi, cium kening, cium bibir), meraba bagian
tubuh yang sensitif, menggesek-gesekkan alat kelamin sampai dengan memasukkan
alat kelamin. Demikian halnya dengan perilaku seksual pranikah pada remaja akan
muncul ketika remaja mampu mengkondisikan situasi untuk merealisasikan dorongan
emosional dan pemikirannya tentang perilaku seksualnya atau sikap terhadap perilaku
seksualnya.
Menurut Sarwono (2007) bentuk tingkah laku seks bermacam-macam mulai
dari perasaan tertarik, pacaran, kissing, kemudian sampai intercourse meliputi: a)
Kissing, merupakan ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual,
menimbulkan rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir tertutup merupakan
ciuman yang umum dilakukan. Berciuman dengan mulut dan bibir terbuka, serta
menggunakan lidah itulah yang disebut french kiss. Kadang ciuman ini juga
dinamakan ciuman mendalam/ soul kiss. b) Necking, merupakan berciuman di sekitar
leher ke bawah. Necking merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan
ciuman disekitar leher dan pelukan yang lebih mendalam. c) Petting, merupakan
perilaku menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dan organ
kelamin. Merupakan langkah yang lebih mendalam dari necking. Ini termasuk
merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada,
kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian. d)
Intercrouse, merupakan bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh
pasangan pria dan wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke
dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual.
L”Engle et.al. (2005) dalam Tjiptanigrum, (2009) mengatakan bahwa perilaku
seksual ringan mencakup : 1) menaksir; 2) pergi berkencan, 3) mengkhayal, 4)
berpegangan tangan, 5) berciuman ringan (kening, pipi), 6) saling
memeluk,sedangkan yang termasuk kategori berat adalah : 1) Berciuman bibir/mulut
dan lidah, 2) meraba dan mencium bagian bagian sensitive seperti payudara, alat
kelamin, 3) menempelkan alat kelamin, 4) oral seks, 5) berhubungan seksual
(senggama).
Faktor yang juga diasumsikan sangat mendukung remaja untuk melakukan
hubungan seksual sebelum menikah banyak diantara berasal dari keluarga yang
bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik dan perpecahan.
Hubungan orangtua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang
optimal terhadap perkembangan kepribadian remaja dan sebaliknya orangtua yang
sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga. Keluarga yang tidak
lengkap misalnya karena perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan
ekonomi yang kurang, dapat mempengaruhi perkembangan remaja. Dalam kelompok
teman sebaya (peer group) yang dilihat dari konformitas remaja pada kelompoknya di
mana konformitas tersebut memaksa seorang remaja harus melakukan hubungan
seksual. Santrock (2003) mengatakan bahwa konformitas kelompok bisa berarti
kondisi di mana seseorang mengadopsi sikap atau perilaku dari orang lain dalam
kelompoknya karena tekanan dari kenyataan atau kesan yang diberikan oleh
kelompoknya tersebut. Apabila lingkungan peer remaja tersebut mendukung untuk
dilakukan perilaku seksual, serta konformitas remaja yang juga tinggi pada peer-nya,
maka remaja tersebut sangat berpeluang untuk melakukan hubungan seksual
pranikah.
2.2. Pola Asuh Orangtua 2.2.1. Definisi
Pengasuhan menurut (Prasetya, 2013) adalah orang yang melaksanakan tugas
membimbing, memimpin, atau mengelola. Pengasuhan yang dimaksud di sini adalah
memelihara anak itu, mengurus makan, minum, pakaiannya, dan keberhasilannya
dalam periode yang pertama sampai dewasa. Dengan pengertian diatas dapatlah
dipahami bahwa pengasuhan anak yang dimaksud adalah kepemimpinan, bimbingan,
yang dilakukan terhadap anak berkaitan dengan kepentingan hidupnya. Pola asuh
merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak, yaitu bagaimana cara sikap atau
perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak,termasuk cara penerapan
aturan,mengajarkan nilai / norma,memberikan perhatian dan kasih sayang serta
menunjukkan sikap dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi sikap anaknya.
2.2.2. Jenis Pola Asuh
Hurlock (1973) mengatakan bahwa perilaku orangtua terhadap anak sesuai
dengan tipe pola asuh yang dianutnya diantaranya adalah:
a) Pola Asuh Otoriter, perilaku orangtua dalam kehidupan keluarga adalah: Orangtua menentukan segala peraturan yang berlaku dalam keluarganya, anak
harus menuruti atau mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditentukan
orangtua tanpa kecuali, anak tidak diberi tahu alasan mengapa peraturan tersebut
ditentukan, anak tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya
mengenai peraturan-peraturan yang telah ditetapkan orangtua, kemauan orangtua
dianggap sebagai tugas atau kewajiban bagi anak, dan bila tidak mengikuti
peraturan yang berlaku, maka hukuman yang diberikan berupa hukuman fisik.
Penelitian Maryatun (2013) menyimpulkan bahwa pola asuh orang tua
mempunyai peran dengan perilaku seksual remaja. Pada hasil uji statistik
perilaku seksual yang wajar sembilan belas kali lebih besar dibandingkan dengan
remaja yang diasuh dengan pola permisif.
b) Pola Asuh Permisif, perilaku orangtua dalam kehidupan keluarga adalah: Tidak pernah ada peraturan dari orangtua, anak tidak pernah dihukum, tidak ada
ganjaran dan pujian karena perilaku dari si anak, dan anak bebas menentukan
kemauannya/keinginannya.
Penelitian Maryatun (2013) mengatakan pola asuh orang tua dengan tipe
permisif berpeluang untuk melakukan perilaku seksual yang wajar sebesar tiga
kali lebih besar dibandingkan dengan remaja yang diasuh dengan pola autoritatif
(demokratis).
c) Pola Asuh Demokratis, perilaku orangtua dalam kehidupan keluarga adalah: Orangtua sebagai penentu peraturan, anak berkesempatan untuk menanyakan
alasan mengapa peraturan dibuat, dan anak boleh ikut andil dalam mengajukan
keberatan atas peraturan yang ada.
2.3. Peer Group 2.3.1. Definisi
Peer group sebagai sebuah kelompok sosial sering didefinisikan sebagai
semua orang yang memiliki kesamaan ciri-ciri seperti kesamaan tingkat usia.
Santrock (2007) mengatakan di beberapa budaya kawan-kawan sebaya (peer group)
2.3.2. Pengaruh Peer Group terhadap Perilaku Seksual
Peer group adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira
sama. Dalam pembentukan kelompok peer group selain diperhatikan persamaan usia,
para remaja juga memperhatikan persamaan-persamaan lainnya, seperti hobbi, status
sosial, ekonomi, latar belakang keluarga, persamaan sekolah, tempat tinggal, agama
dan juga ras (Santrock, 2007). Dalam perkembangan sosial remaja maka remaja
mulai memisahkan diri dari orangtua dan mulai memperluas hubungan dengan peer
group. Pada umumnya remaja menjadi anggota kelompok usia sebaya (peer group).
Kelompok usia sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam
kehidupan sosial remaja. Kelompok sebaya juga merupakan wadah untuk belajar
kecakapan-kecakapan sosial, karena melalui kelompok remaja dapat mengambil
berbagai peran. Di dalam kelompok sebaya, remaja menjadi sangat bergantung
kepada teman sebagai sumber kesenangannya dan keterikatannya dengan peer group
begitu kuat. Kecenderungan keterikatan (kohesi) dalam kelompok tersebut akan
bertambah dengan meningkatnya frekuensi interaksi di antara anggota-anggotanya
(Santrock, 2007).
Remaja menganggap teman sebayanya sebagai sesuatu hal yang penting.
Remaja menganggap kelompok sebayanya memberikan sebuah dunia tempat kawula
muda mulai melakukan sosialisasinya, dimana nilai yang berlaku bukanlah
nilai-nilai yang ditetapkan orang dewasa melainkan oleh teman-temannya. Karena remaja
sering berada diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok,
pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar dari pada pengaruh
keluarga Hurlock (2003). Remaja dan dorongan seksual adalah dua hal yang sangat
berhubungan erat sehingga tidak bisa dipisahkan. Ini di karenakan fase remaja,
mereka umumnya memiliki dorongan seksual yang sangat kuat, sedangkan resiko
akibat kegiatan seksual yang menjurus pada hubungan seks belum sepenuhnya
mereka ketahui. Umumnya remaja lebih sering melakukan kegiatan bersama
kelompok teman-sebayanya, hal ini memicu munculnya pergaulan yang menganut
nilai-nilai kebebasan dalam berinteraksi dengan lawan jenis akan ia turuti demi
memperoleh pengakuan dan penerimaan dari kelompoknya. Akan dianggap kuno dan
ketinggalan zaman kalau tidak mencium atau berciuman dengan pacarnya.
Dalam kelompok peer group terjadi interaksi yang saling memengaruhi yaitu
konformitas. Santrock (2003) mengatakan, bahwa konformitas kelompok bisa berarti
kondisi di mana seseorang mengadopsi sikap atau perilaku dari orang lain dalam
kelompoknya karena tekanan dari kenyataan atau kesan yang diberikan oleh
kelompoknya tersebut. Sarwono (2011) menjelaskan karena kuatnya ikatan emosi dan
konformitas kelompok pada remaja, maka biasanya hal ini sering dianggap juga
sebagai faktor yang menyebabkan munculnya tingkah laku remaja yang buruk.
Apabila lingkungan peer remaja tersebut mendukung untuk dilakukan seks bebas,
serta konformitas remaja yang juga tinggi pada peer-nya, maka remaja tersebut
sangat berpeluang untuk melakukan seks bebas (Cynthia, 2007). Berdasarkan
menyatakan bahwa bagi remaja, hubungan teman sebaya merupakan bagian yang
paling besar dalam kehidupannya.
Peer group dapat memberi pengaruh positif atau negatif pada remaja.
Memiliki teman-teman yang nakal meningkatkan resiko remaja menjadi nakal pula
(Santrock, 2003). Remaja menjadi nakal karena mereka tersosialisasi dan beradaptasi
ke dalam kenakalan, terutama oleh kelompok pertemanan. Sebaliknya secara positif,
kelompok peer group adalah tempat terjadinya proses belajar sosial, yakni suatu
proses dimana individu mengadopsi dengan kebiasaan-kebiasaan, sikap, gagasan,
keyakinan, nilai-nilai dan pola tingkah laku dalam bermasyarakat dan
mengembangkannya menjadi suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya.
Karena remaja sering berada di luar rumah bersama dengan teman-peer group
sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-peer group
pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar daripada
pengaruh keluarga. Misalnya, sebagian besar remaja mengetahui bahwa bila mereka
memakai model pakaian yang sama dengan pakaian anggota kelompok yang populer,
maka kesempatan baginya untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar.
Demikian pula bila anggota kelompok mencoba minum alkohol, obat-obatan
terlarang, merokok, seks bebas maka remaja cenderung mengikutinya tanpa
2.4. Landasan Teori
Hurlock (1973) yang mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan konsep diri di antaranya adalah ; fisik, pakaian, nama
dan nama panggilan, intelegensi, tingkat aspirasi, emosi, budaya, sekolah dan
perguruan tinggi, status sosial ekonomi, dan keluarga. Pengaruh keluarga sangat besar
bagi pembentukan konsep diri karena untuk beberapa waktu lamanya anak belum
mengenal lingkungan sosial di luar keluarganya. Pengaruh karakteristik hubungan
orang tua dengan anak sangat penting dalam pembentukan identitas, ketrampilan
persepsi sosial, dan penalaran. Sedangkan pada masa remaja pengaruh lingkungan
sosial justru yang sangat berpengaruh.
Burns (1993) menyebutkan bahwa secara garis besar ada lima faktor yang
mempengaruhi perkembangan konsep diri, yaitu citra fisik, merupakan evaluasi
terhadap diri secara fisik, bahasa, yaitu kemampuan melakukan konseptualisasi dan
verbalisasi, umpan balik dari lingkungan, identifikasi dengan model dan peran jenis
yang tepat, dan pola asuh orang tua. Konsep diri individu akan terbentuk baik dan
menjadi positif jika faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut berfungsi secara
positif juga.
Santrock (2007) yang mengutip pendapat Bandura (2000) menyatakan bahwa
faktor perilaku dan faktor lingkungan dapat berinteraksi secara timbal-balik. Dengan
demikian dalam pandangan Bandura, lingkungan dapat memengaruhi perilaku
seseorang, namun seseorang dapat bertindak untuk mengubah lingkungan. Prinsip
sosial dan moral terjadi melalui peniruan dan penyajian contoh perilaku (modeling),
dalam hal ini dapat dikatakan pola asuh orang tua dan peer group.
Dilihat dari teori tersebut maka landasan teori ini lebih menspesifikasikan
bahwa konsep diri remaja tentang perilaku seksual dapat dipengaruhi oleh pola asuh
orang tua dan peer group.
2.5. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Pola Asuh Orang Tua
Konsep Diri Remaja Tentang Perilaku Seksual