• Tidak ada hasil yang ditemukan

KASUS TOLIKARA BATU SANDUNGAN TERHADAP M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KASUS TOLIKARA BATU SANDUNGAN TERHADAP M"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KASUS TOLIKARA: BATU SANDUNGAN TERHADAP

MULTIKULTURALISME, TOLERANSI

& PERSATUAN KEBANGSAAN? (1)

Syarif Ibrahim Alqadrie*)

Hari pertama kuliah dalam kelas ‘Manajemen konflik dan Rekonsiliasi’ pada sebuah fakultas dari PT di kota ini, selalu dimulal diskusi. Sebagian besar mahasiswa merasa bangga sebagai bangsa dengan prediket ‘masyarakat majemuk’ atau ‘beragam’ (plural society) yang dicanangkan oleh PBB. Namun, hanya sebagian kecil saja dari mereka mengetahui bahwa pluralisme sudah selesai dan tak perlu dibicarakan lagi dalam satu seminar atau ceramah resmi dengan mulit berbuih-buih dan hati panas.

Kebanggaan itu memang tidak berlebihan. Bangsa ini sudah lama menjadi masyarakat beragam. Di KalBar sendiri pernah ada 22 (sekarang tinggal tak lebih dari 10) kesultanan yang berdiri di atas pondasi kokoh dari berbagai suku bangsa atau kelompok etnis, bahkan bangsa, dan asal keturunan dengan nilai budaya, tradisi, kebiasaan, agama dan kepercayaan berbeda.

Pluralisme dan Multikulturalisme

Apa yang sebagian terbesar diantara kita belum mengetahui hal terpenting sebagai kelanjutan dari proses pluralisme adalah multikulturalisme. Kalau keberagaman merupakan suatu kenyataan dan fakta yang sudah ada (what it is, das sein) dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia dan tidak dapat dibantah, maka prinsip, bahkan ideologi, seperti Supardi Suparlan (dalam Harian Media Indonesia. 10/12 – 2001:2) katakan bahwa multikulturalisme itu bersifat normatif yaitu apa yang seharusnya kita lakukan (what should be/ought to be atau das sollen) kalau kita beragam dan berbeda.

Jadi, multikulturalisme adalah sesuatu yang belum selesai bahkan merupakan tantangan bagi bangsa ini: untuk menerima, menghormati dan menghargai perbedaan yang terkandung di dalam keberagaman yang berbeda itu. Kalau dihipotesiskan: ‘Multikulturalisme yang di dalamnya terkandung penghargaa, penghormatan dan toleransi terhadap perbedaan, termasuk penghargaan terhadap kejujuran dan karya orang lain, cenderung melahirkan perdamaian dan menciptakan sebuah negara besar dan disegani.’

(2)

perdamaian dan munculnya negara yang disegani, sebagai peubah terikat, di lain fihak. Kasus Tolikara berdarah dan memilukan juga secara langsung atau tak langsung menantang dan menjadikan dirinya sebagai ancaman dan –kalau boleh dikatakan-- penghancuran nilai persatuan dan kemanusiaan yang selama ini telah terbina di Nusantara dan di Bumi Papua, khususnya.

Terorrisme (?) dan Aktor Intelektual

Pertanyaan menggelitik dari seorang mahasiswa adalah mengapa peristiwa Tolikara 17 Juli 2015/1 Syawal 1436H itu meledak? Padahal selama ini peritiwa semacam itu belum pernah terjadi terhadap manusia yang sedang khusuk beribadah menghadap Khalik pada hari dan bulan yang suci penuh Rahmat dan kedamaian itu. Tidak juga itu pernah terjadi di Tanah Papua yang damai. Siapa diantara mereka terlibat baik sebagai pelaksana maupun sebagai biang keladi?

Diskusi kelas pada pertemuan pertama ini tidak bermaksud mencari-cari kesalahan dan mengungkap hal yang selama ini dianggap “tabu” karena menyangkut masalah SARA. Bukan pula diskusi kelas ini ingin mendorong agar orang jangan lagi menyembunyikan peristiwa serupa yang ini selama ini disembunyikan dan ditangani secara tidak adil dengan tuduhan terrorisme.

Dalam pertemuan itu sebagian besar mahasiswa peserta diskusi menekankan bahwa kasus Tolikara bukan tindakan terror yang dilakukan oleh rakyat Papua, Pemerintah tentu tidak juga mau menyebutnya begitu. Kalaulah demikian, sebagian lagi mahasiswa menyumpulkan bahwa kita juga percaya terhadap peristiwa lain hampir serupa yang secara sangat tidak adil jika dituduh sebagai perbuatan terrorisme, hanya karena dilakukan oleh kelompok lain yang berbeda.

(3)

Pelaksana, Koordinator dan Aktor Intelektual

Dalam diskusi itu, beberapa mahasiswa menyebut tiga pihak yang terlibat langsung dan tak langsung dalam kasus Tolikara: (1) aktor intelektual, (2) koordinator lapangan, dan (3) para peserta dan pelaksana lapangan. Pihak ketiga terdiri dari sejumlah anggota masyarakat yang ikut melempar dan membakar mesjid dan kios-kios. Mereka ialah rakyat kecil, masyarakat setempat yang tak tahu menahu dan tak bersalah, luguh dan tak menyadari mereka telah diperalat oleh actor intelektual. Selama ini, sebelum seminar Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang juga diikuti sejumlah orang asing, termasuk dari Israel, tidak ada masalah khususnya di Tolikara antar sesama saudara Papua dengan bukan Papua dan antara penganut satu agama dengan agama lain.

Pihak kedua adalah 2 (dua) orang telah ditangkap dan sedang diproses oleh Polisi. Menurut ketua kelompok diskusi kelas itu, penangkapan kedua orang itu tidak banyak berarti dalam mengubah keadaan dan memperbaiki hubungan antar kelompok agama dan antar kelompok masyarakat. “Memang benar, pihak kedua merupakan koordinator yang memimpin dan menghasut massa.” Namun,” tambah sekretaris diskusi itu: “mereka bukan penggerak dan bukan pula aktor intektualnya” Kalau begitu, Polisi dan BIN tak jeli dan tidak juga menangkap biang keladinya.” “Bagaimana caranya?,” tanya ingin tahu mahasiswi yang duduk disampingnya.

“Sangat terang benderang dan mudah menemukannya,” jawab sekretaris diskusi: “Siapa pembuat surat edaran yang tidak mengijinkan Shalat Idul Fitri pada 17 Juli dan Adzan serta melarang muslimah berpakaian jilbab, sudah pasti itulah aktor intelektualnya. “Ya, sudah ada saksi dan bukti jelas. Mengapa mereka tidak dijebloskan ke hotel pordeo?,” potong seorang mahasiswa yang duduk di belakang. “Aneh bin ajaib,“ bersuara seorang mahasiswi lain sambil mengutip Ptk Tribun dan Ptk Post, 25 Juli 2015:2. “Seperti ada unsur kesengajaan. Seminar KKR direncanakan 22-27 Juli 2015, tiba-tiba dimajukan menjadi 13 – 19 Juli 2015, padahal jadual baru itu bersamaan dengan Idul Fitri jatuh pada 17 Juli 2015.” “Bukankah itu skenario untuk menciptakan perbenturan?,” tanya seorang mahasiswa yang jarang bersuara. Apakah sebuah organisasi punya hak melarang penduduk melaksanakan perintah agama mereka,” tambahnya. “Tidakkah surat edaran itu merupakan minyak bensin menyiram dua kelompok bersaudara yang sebelumnya tidak pernah terbakar dalam konnflik agama?.”

(4)

libur. Alasan ini meragukan seorang mahasiswa lain: Bukankah hari permulaan sekolah pada 27 Juli? Sampai dengan tanggal itu walaupun baru mulai, tapi sekolah belum belajar penuh.”

“Polisi sedang mengusut sejumlah WNA, termasuk dari Israel dalam KKR tersebut. Tapi panitia tidak menyerahkan kelengkapan data peserta WNA yang diminta kepada MABES POLRI,” jelas seorang mahasiswa anggota BEM fakultas. Lalu ia menambahkan: “Pak, kita harus waspada untuk tidak mengulangi peristiwa sejarah masuknya orang asing ke Nusantara sebagai bom waktu sejak pertama kali, 1596, dengan misi pecah belah dan menguasai. Apalagi masuknya mereka dilandasi oleh motif 3 G yaitu Greatnes, Golden dan Gospel.” Saya berusaha menjelaskan bahwa orang-orang asing sekarang berbeda dengan penjajah masa lalu. Lagi pula, umat berbagai agama, termasuk Islam dan Kristen, hampir tidak pernah berbenturan, karena orang-orang Papua dan saudara mereka pendatang sudah lama memiliki karakter multikltural dan sedang menjadi masyarakat multikultural. Walaupun berbeda agama, mereka tetap bersaudara.

Tenaga Pengajar di FISIPOL UNTAN & Dosen Tamu di NIAS, Copenhagen, Denmark

(5)

INSIDEN KONFLIK KEKERASAN DI PAPUA (2)

Syarif Ibrahim Alqadrie*

Papua dan Papua Barat, seperti Kalimantan, merupakan kawasan masa depan Indonesia. Itu sebabnya kawasan ini menjadi prioritas utama dan menarik perhatian fihak, luar negeri. Perhatian ini terwujud bukan saja dalam bentuk hadirnya para penanam modal karena SDA yang kaya, dan pendatang baru untuk mengais rejeki. Namun, inceran itu juga terwujud dalam persaingan untuk menyebarkan agama kepada penduduk asli Papua.

Tiga Agama Samawi

Untuk memahami persaingan antara para penyebar agama di Papua, dibawah ini diungkapkan presentasi pemeluk agama di provinsi ini selama 38 tahun dari 1963 – 2001. Komposisi pemeluk agama di Papua sebelum 1963 (ketika belum terjadi pemekaran), menunjukkan bahwa Protestan berjumlah sekitar 130.000 jiwa (18,81%), Katolik 47.000 (6,80 %), Islam 11.000 (1,59%), Hindu/Budha dan Tionghoa 3.000 (0,34%) dan Agama-agama nenek moyang penduduk Papua asli masih mencapai sekitar 500.000 jiwa (72,36 %) dari penduduk seluruhnya yang berjumlah 691.000.

Sebagai perbandingan prosentasi antara pemeluk agama-agama berdasarkan jumlah penduduk seluruhnya dan penduduk asli di Tanah Papua (Papua dan Papua Barat masih satu provinsi), data terkait menunjukkan bahwa presentasi pemeluk agama Islam untuk seluruh penduduk adalah 25.13% dan penduduk pribumi/asli orang Papua 3.53%; berbanding dengan Katolik 16.94% dan 21.04; Protestan 57.60% dan 75.33%; Hindu 0.16% dan 0.01%; Budha 0.07% dan 0.01%; dan lain agama 0.10% dan 0.08%. Persentasi penduduk asli pemeluk agama-agama tersebut terhadap jumlah seluruh penduduk adalah pemeluk agama-agama Islam 9.18%, Katolik 81.24%, Protestan 85.54%, Hindu 4.12%, Budha 5.19%, dan agama lainnya 56.78%. Rata-rata persentasi penduduk asli yang sudah memeluk keenam agama terkait adalah 56.78% (persentasi agama lain/agama penduduk pribumi terhadap jumlah penduduk seluruhnya). Ini berarti masih ada 43.22% penduduk asli belum memeluk agama di Provinsi Papua.

(6)

Budha/Tionghoa. Kenaikan persentasi umat beragama adalah Agama Islam (+23.54%), Katolik (+10.14%), Protestan (+38.79%), dan berkurangnya persentasi penganut agama Hindu/ Budha/ Tionghoa (-0.11%) dan penduduk yang beragama pribumi (-15.58%).

Korelasi Positif: Penyebaran Agama dan Perubahan Sosial Ekonomi

Peningkatan pemeluk agama Protestan, Islam dan Katolik, dan berkurangnya pemeluk agama nenek moyang penduduk asli Papua, menunjukkan keberhasilan organisasi/ lembaga/ misi/dakwah dari tiga agama tersebut dalam menyebarkan agama terhadap penduduk asli Papua. Secara teoritis dan apa yang seharusnya terjadi, peningkatan persentasi pemeluk agama dari tiga agama tersebut merupakan indikasi berhasilnya pembangunan bukan-benda yaitu mental, moral/ spiritual dan pembangunan kebendaan paling dasar: pangan, pakaian dan papan/rumah di Papua. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan program penyebaran agama dalam Kristenitas dan dalam Islam, lebih mendorong pembangunan manusia di Provinsi itu sejak 1963 sampai sekarang. Ini tentu membawa konsekuensi logis terhadap perubahan dalam hubungan sosial keagamaan, seperti menghargai perbedaan, toleransi, menjauhi kekerasan dan mematuhi hukum.

Kasus Manokwari, 2005, Puncak Jaya, 2014, dan Tolikara, 2015, menimbulkan pertanyaan sejumlah pengamat netral sampai dimana strategi penyebaran agama di Papua telah berjalan sesuai dengan prinsip humanisme dan Ketuhanan. Pertanyaan ini timbul karena rakyat Papua tidak memiliki potensi dan karakter kekerasan bermotif agama. Kekerasan selama ini lebih bernuansa etnis. Karena itu, kalau ada konflik bernuansa agama, seperti pada tiga tempat tersebut di atas, itu bukan disebabkan oleh faktor dalam yang terdapat baik dari prinsip dan filosofis agama itu sendiri maupun dari karakter dan tradisi rakyat Papua itu sendiri. Karena itu, konflik bernuansa agama pada ketiga tempat itu, khususnya di Tolikara, itu bukan tidak boleh jadi disebabkan oleh kesalahan manusia atau organisasi yang menyebarkan dan mengajarkan agama itu kepada rakyat yang masih lugu dan perlu bimbingan lebih positif.

(7)

SNPK dan IIK: Aceh dan Papua

Berdasarkan klasifikasi Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK), pada 2014 (Kajian Perdamaian dan Kebijakan oleh the Habibie Center, 2015) Papua mengalami 1425 kali konflik kekerasan. Kasus kekerasan berjumlah 309 kali (21,68%), kriminalitas 986 kali (69,19%), KDRT 120 kali (8,42%), dan kekerasan aparat hukum 10 kali (0,07%).

Berdasarkan Indeks Intensitas Kekerasan (IIK) 2015 (the Habibie Center, 2015; http:// tabloidjubi.com/2015/04/17/papua-dinilai-masih-dalam-situasi-perdamaian-negatif/diakses 8/8-2015), sepanjang 2014 dari kekerasan terkait separatisme di Provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat, insiden terbanyak terjadi di Papua yakni 42 kali dengan korban 34 jiwa, luka 37 orang dan bangunan rusak 2 buah. Wilayah terbanyak adalah Kabupaten Puncak Jaya berjumlah 14 insiden (33,33%). Itu sebabnya Puncak Jaya memiliki IIK separatisme tertingi (6,04), dan sekaligus memberi Propinsi Papua nilai IIK separatisme sebesar 2,21.

Di kota Jayapura 2014 tercatat 783 insiden, diantaranya 93 kekerasan (11,8%), 599 insiden kriminalitas (76,5%), 86 insiden KDRT (10,98%) dan 5 insiden terkait kekerasan aparat (0,08%). Data dari Polresta Jayapura (2014) tahun 2014 jauh lebih banyak dari data SNPK yang tercatat 2956 insiden konflik kekerasan di Kota Jayapura yang didominasi oleh kriminalitas (76%) dengan 599 insiden yang mengakibatkan 11 korban tewas, 441 cedera, 50 korban perkosaan dan 32 bangunan rusak; konflik kekerasan (12%) dengan 93 insiden mengakibatkan 12 korban tewas, 89 korban cedera dan 13 bangunan rusak; KDRT (11%) dengan jumlah insiden berjumlah 86 kasus mengakibatkan 3 orang tewas, 80 orang cedera dan 2 korban kekerasan seksual.

(8)

mempertanyakan peranan yang disebarkan di situ: sebagai pendukung perdamaian atau konflik kekerasan? Pertanyaan di atas akan didiskusikan pada bagian berikut ini.

Polarisasi : Media dan Proses Identifikasi

Akar masalah kekerasan di Papua bukan disebabkan oleh faktor nilai atau ajaran agama dan identitas suku/etnisitas. Karena itu, proses media identifikasi (dalam arti Papua identik dengan agama tertentu) tidak mencuat, sebagaimana terjadi di KalBar. Di Provinsi ini ada polarisasi dalam hal media identifikasi: penduduk yang Muslim dengan mereka non-Muslim. Melayu dan Madura identik dengan Islam, dan Dayak dan Tionghoa yang beragama Islam, diidentikkan dengan atau “masuk Melayu.” Sebaliknya Dayak identik dengan Kristen. Jadi ada dikotomi dan polarisasi: Melayu (dan juga Dayak) yang Islam vs Dayak yang Kristen. Gesekan ini sudah pernah terjadi, walau belum pernah ada kekerasan berarti antara dua bersaudara ini, Melayu dengan Dayak, ketimbang antara Dayak dengan Madura.

Polarisasi ini diperjelas dengan proses identifikasi etnis dan keagamaan berkaitan dengan tempat pemukiman masyarakat. Di KalBar, kelompok etnis Dayak yang bermukim di kawasan pedalaman jauh (KPJ), mengidentifikasikan diri mereka secara etnis dengan sub-sub kelompok etnis dan secara agama dengan berbagai agama, sebagai contoh: Si A, B, C, D dan sebagainya masing-masing adalah sub kelompok etnis Dayak Iban, Taman, Kayan dan Kenya, dan sebagainya, namun masing-masing beragama I, K, P dan H. Sebaliknya, mereka yang bermukim di Kawasan Pedalam Dekat (KPD) mengidentifikasi diri secara etnis dengan kelompok etnis Dayak secara keseluruhan dan secara agama dengan satu agama, Kristen (Katolik/ Kristen). Konsekuensinya, KPD rentan dengan kekerasan. [Proses identifikasi ini tidak terjadi dalam masyarakat asli Papua baik di KPJ, KPD maupun di pesisir atau perkotaan.]

Tenaga Pengajar di FISIPOL UNTAN & Co-promotor sejumlah Mhs Doktor di UGM & UIN YOGYA

(9)

SEBAGAI PEMERSATU ATAU PEMECAH BELAH ? (3)

Syarif Ibrahim Alqadrie*

Polarisasi seperti ini tidak terjadi dalam masyarakat Jawa, Batak dan Ambon/Maluku. Agama apapun yang mereka anut, mereka tetap merasa dan mengidentikkan masing-masing sebagai orang Jawa, Batak dan Ambon/Maluku. Fenomena seperti ini juga terjadi di Papua dan Papua Barat. Agama apapun yang dianut oleh orang-orang asli Papua, Kristen atau Katolik dan non-Kristen (atau Moslem), mereka tetap merasa sebagai orang Papua. Ini boleh jadi merupakan salah satu faktor penyebab mengapa sangat sulit menemukan konflik kekerasan agama di Tanah Papua, kecuali Manokwari, Puncak Jaya dan Tolikara.

Perdamaian Negatif dan Positif

Kekerasan tampaknya lebih berhubungan dengan hilangnya makna perdamaian pada sebagian masyarakat Papua. Menurut John Galtung (2013) ada dua makna perdamaian: perdamaian negatif pada mana tidak ada perang dan kriminalitas, dan perdamaian positif yaitu menunjukkan situasi tanpa kekerasan, baik langsung, maupun tak langsung dalam bentuk kekerasan struktural, diskrimasi, ketidakadilan, ketidakamanan sosial ekonomi masa depan, dan penyebaran agama yang mengandung bom waktu siap meledak melalui strategi pecah belah demi kepentingan ekonomi dan politik kelompok atau pengurus organisasi agama..

Kasus Manokwari, Puncak Jaya dan Tolikara tampaknya lebih disebabkan oleh ketidakhadiran perdamaian positif/dinamis di Papua, bukan karena peperangan dan ancaman kejahatan. Akan tetapi, situasi itu cenderung diciptakan melalui penyebaran agama yang sangat ambisius yang justru mendorong ekslusivisme dan permusuhan dalam masyarakat.

Contoh konkrit dapat dilihat dalam peristiwa di Jawa, NTT, Ambon dan Papua khususnya Manokwari, 2005, Puncak Jaya, 9, 20, 30 Januari 2012 dan Tolikara, 17 Juli 2015. Kasus Puncak Jaya tidak berkaitan dengan symbol-simbol agama, tetapi lebih pada penyerangan terhadap indivdu dan aparatur negara. Sebaliknya, Peristiwa Manokwari dipicu oleh keinginan kelompok masyarakat Islam di Kabupaten ini untuk mendirikan Islamic Center. Keinginan ini mendapat reaksi keras dari masyarakat mayoritas non-Muslim.

(10)

Beberapa fihak dalam pemerintah menyatakan bahwa sebagian orang-orang di pedalaman kadang terlibat perang suku, tetapi tidak antara penganut agama. Namun, kasus Tolikara adalah satu satu kekerasan berbau agama di Papua (Harian Kompas/Kompas TV/ Kompas.com, Selasa, 4/8 2015:1). Oleh karena itu, kehadiran organisasi-organisasi agama di Papua diharapkan berperan mengurangi kekerasan, bukan justru menambah penderitaan rakyat.

Fungsi Agama: Positif atau Negatif?

Sepanjang sejarah agama berfungsi positif memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama dalam masyarakat. Namun, sebaliknya, agama juga dapat menjadi pemicu kekerasan antara masyarakat beragama. Sisi negatif ini telah terjadi pada beberapa tempat, seperti antara lain [dikutip dari sejumlah sumber webside] : (1) Peristiwa Tasikmalaya (Jabar); Situbondo (Jatim) dan Rengasdenklok (Banten), 1997; (2) Peristiwa Ketapang (Jatim), 22/ 11-1998; (3) Peristiwa Kupang (NTT), 30/11 – 1/12-1998; (4) Kasus Poso (SulTeng), 25/12 1998 dan 2006 ; (5) Insiden Ambon (Maluku), 19/1-1999 dan 2001; (6) Kasus MONAS Berdarah (Jkt), 1/6 – 2008; (7) Kasus Penyerangan Jemaat HKBP Bekasi (JaBar), 1/8-2010; dan (8) Kasus Temanggung (Jateng), 3/10- 2012.

Lima dari 8 kekerasan bernuansa agama di luar Papua ditambah 3 insiden di Papua, ternyata adalah penyerangan dilakukan oleh sekelompok orang Islam terhadap simbol-simbol agama non-Islam, empat lainnya adalah penyerangan oleh mayoritas Kristen Protestan terhadap symbol-simbol Islam, dan 2 sisanya ialah serangan terhadap beberapa orang dan aparat keamanan. Ini menunjukkan bahwa ketidakhadiran perdamaian di Papua bukan saja berbentuk negatif, berupa kriminalitas serta gangguan keamanan dan/atau perang yang setiap saat terjadi antara kelompok separatism: OPM cabang militernya dan para pengikutnya, disatu fihak, dengan para aparatur keamanan, dilain fihak. Tidakhadirnya perdamaian di Papua adalah juga perdamaian positif disebabkan oleh faktor-faktor yang sudah disebutkan sebelumnya dan bom waktu yang dipersiapkan oleh strategi organisasi keagamaan yang berfihak pada kekuatan politik di situ.

Ketidakhadiran perdamaian positif juga disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang agama mana paling awal datang di Papua, dan agama mana pula secara konkrit dan riil mampu membuat perubahan sosial ekonomi bagi masyarakat Papua, dan agama mana pula dianggap dapat mencegah masyarakat Papua kehilangan identitas sebagai kelompok etnis besar.

(11)

Perbedaan pandangan itu menimbulkan saling curiga antara dua kelompok masyarakat berdasarkan garis agama yang diperkuat oleh garis komando organisasi keagamaan. Para tokoh masyarakat penganut satu agama tertentu menyesalkan bahwa ajaran agama lain telah mengubah dan menghilangkan cara, pola, kebiasaan, tradisi dan identitas masyarakat asli Papua yang sudah hidup sejak nenek moyang, sehingga mereka dianggap terasing di tanah mereka sendiri.

Tokoh masyarakat penganut agama lain mengkhawatirkan saudara mereka penganut agama tertentu akan terus tertinggal karena dibiarkan meneruskan kondisi seperti hidup dalam zaman batu, bertelanjang dada bagi wanita dan berkoteka bagi laki-laki. Kalau ada strategi penyebaran yang mengarah pada perubahan sosial, pelaksanaan strategi itu dianggap oleh tokoh tersebut (https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Papua_Barat) sebagai telah mengelabui masyarakat Papua. Bahkan ada semacam mitos di lancarkan bahwa asal usul nenek moyang orang-orang asli Papua berkulit putih dan pada satu saat nanti, ketika mereka telah berkeyakinan kuat terhadap agama itu, orang-orang Papua akan berkulit putih kembali.

Perbedaan pendapat dan curiga mencurigai sebenarnya tidak perlu menimbulkan kekerasan sebagaimana terjadi di Tolikara, 17/7 2015. Menurut sejumlah tokoh Papua, bukan prinsip ajaran agama membuat orang-orang Papua asli sangat lama berubah dan menjadikan mereka terasing di tanah mereka sendiri. Namun, kondisi kesenjangan itulah, sebagai akibat dari strategi peninabobokan saudara mereka di pedalaman yang masih lugu, telah meresahkan masyarakat Papua pada umumnya. Selain itu, kesan keterasingan dan kesenjangan itu, bukan tidak boleh jadi dipicu oleh surat edaran yang melarang umat Islam Papua asli baik dalam melaksanakan shalat Idul Fitri dan menyuarakan azan maupun dalam memakai jilbab. Larangan ini, dianggap oleh para tokoh asli Papua sebagai bentuk ketida toleran dan pemaksaan kehendak.

(12)

Yewangoe, Ketua Umum PGI, menyatakan umat Kristen diwajibkan untuk berpolitik praktis yang merupakan panggilan agama (Agama dan Kerukunan, hlm 162) dalam mencapai tujuan.

Karakter Misionaris

Para penyebar agama Islam dan Kristen, tampaknya bersaing keras dalam melaksanakan tugas suci mereka. Ini tidak terjadi pada agama lain seperti Budhisme, Hinduisme dan Congfusionisme. Mengapa? Karena kedua agama samawi ini memiliki karakter misi penyebaran agama (missionary character) yang bertujuan. menyebarkan keyakinan agama di luar kelompok etnis atau bangsa mereka bahkan kepada umat manusia di dunia.

Karakter misionaris Kristen adalah misi penyebaran agama ditujukan melalui doktrin membawa Kabar Gembira sampai ke ujung bumi seperti diperintahkan Kristus kepada semua orang beriman: ‘Maka pergilah kamu, jadikanlah segala bangsa muridKu dan permandikanlah atas nama Bapa, Anak dan Roh Kudus’ (Mat 28:19). Dalam misinya, agama ini didukung oleh kekuatan organisasi, finasial yang kuat dan SDM handal dari berbagai penjuru dunia.

Sama dengan Kristen, Islam juga mengandung karakter misionaris yang disebarankan tidak hanya bagi manusia diseluruh dunia tapi juga memberi Rakhmat bagi semesta Alam, termasuk makhluk di darat, di laut, di dalam bumi dan di udara dan tumbuh-tumbuhah (Qs. Al-Anbiya:107). Bedanya adalah tugas misionaris dalam Islam terletak di pundak setiap Muslim dan Muslimah bukan pada organisasi, keuangan, politik, dan milter. Itu sebabnya penyebaran Islam di Papua seakan berjalan lama, karena hadirnya melalui pribadi-pribadi dan dari hati kehati.

Islam ke Papua dibawa para pedagang dan musyafir yang menyatu dengan penduduk asli setempat. Karena Itu, walau agama ini masuk jauh lebih dulu, yakni Abad XVI, 1521, daripada agama Kristen, yaitu dua abad setelah itu yaitu Abad XVII, 1855 (Thomas Arnold [dalam https://id.wikipedia. org/ wiki /Islam_di_Papua]. Namun, jumlah pemeluknya berada nomor dua setelah Protestan. Ini menunjukkan Agama Protestan lebih berjaya di Papua khususnya di kawasan pedalam (https://www. facebook. com/permalink.php?id=153258498092019& story_ fbid= 159751724182854)

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Nanga Beloh. Suatu pertemuan yang indah karena Roh Kudus berkerja sehingga Temenggung Jandir, Tiba dan orang-orang Mualang itu percaya

Tujuan dari penggunaan metafora dalam lirik lagu yang terdapat pada album Tsugi no Ashiato adalah untuk memberikan nilai estetika dan memberikan bayangan dan pengandaian

Indonesia akan tetap menjadi salah satu negara tujuan investasi asing, dikarenakan valuasi bursa sudah turun ke tingkat yang menarik, laju pertumbuhan Indonesia yang tinggi,

Jenis penelitian ini adalah deskriptif developmental yaitu penelitian diskriptif tentang penerapan pelaksanaan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP). Tempat penelitian

Hubungan kausal yang sungguh-sungguh ada antara keadaan iklim dengan kemungklinan-kemungkinan untuk pendayagunaan tanah (Terutama yang menyangkut pembudidayaan tanaman tertentu)

1.5.1.3 Mendapatkan solusi dalam menangani kendala pelaporan kinerja pembinaan gizi masyarakat melalui sistem informasi gizi di Dinas Kesehatan Kota Tangerang

Pada penelitian ini bulan laktasi tidak berpengaruh terhadap kadar bahan kering tanpa lemak susu hal tersebut terjadi karena pengaruh yang diberikan oleh adanya

Lakukan Identifikasi Gejala, Klasifikasi dan tentukan Tindakan yang tepat pada Lakukan Identifikasi Gejala, Klasifikasi dan tentukan Tindakan yang tepat pada Kasus 6 dengan