• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subyek Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Penerimaan Oleh Guru Dengan Siswa Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SMP Kristen 1 Pulau-Pulau Aru Maluku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subyek Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Penerimaan Oleh Guru Dengan Siswa Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di SMP Kristen 1 Pulau-Pulau Aru Maluku"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Subyek Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP Kristen 1 Pulau-pulau Aru –Maluku dengan uraian subyek penelitian sebagai berikut: siswa dikelompokkan dalam dua puluh lima rombel, kelas 7, 8, 9 dan responden guru berjumlah 45 orang. Siswa dengan kisaran usia 11 sampai 16 tahun, sedangkan guru berusia 21 sampai 55 tahun. Kelas 7 terdiri dari 73 siswa, kelas 8 berjumlah 71 siswa dan kelas 9 sebanyak 89 siswa. Jadi, keseluruhan siswa pada ketiga kelas berjumlah 233 orang siswa dan guru berjumlah 45 orang. Jumlah keseluruhan subyek penelitian dalam penelitian berjumlah 278 responden.

4.2 Karakteristik Responden

Karakteristik responden terjabar dari aspek jenis kelamin dan usia yang terlihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1

Karakteristik Responden Guru Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Guru

frekuensi Prosentase

L 11 24,44 %

P 34 75,56 %

Jml 45 100 %

(2)

Pada tabel 4.1 menunjukan bahwa sebagian besar responden guru dalam penelitian ini berjenis kelamin perempuan sebanyak 75,56 %.

Tabel 4.2

Karakteristik Responden Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Siswa

Frekuensi Prosentase

L 84 36,05%

P 149 63,95 %

Jml 233 100 %

Sumber: data primer diolah Tahun 2014

Pada tabel 4.2 menunjukan bahwa sebagian besar responden siswa dalam penelitian ini berjenis kelamin perempuan 63,95%.

Tabel 4.3

Karakteristik Responden

Guru Berdasarkan Usia

Usia frekuensi Prosentase

21-25 th 5 11%

26-30 th 6 13%

31-35 th 10 22%

36-40 th 11 25%

41-45 th 7 16%

45-50 th 5 11%

51-55 th 1 2%

Jumlah 45 100%

(3)

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini berusia 36- 40 tahun dengan prosentase (25%).

Tabel 4.4

Karakteristik Responden Siswa Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Prosentase

11 th 21 9,01%

12 th 62 26,60 %

13 th 76 32,62%

14 th 67 28,76%

15 th 4 1,72%

16 th 3 1,29 %

Total 233 100 %

Sumber : data primer diolah tahun 2014

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden siswa dalam penelitian ini berusia 13 tahun (32,62%).

Tabel 4.5

Karakteristik Responden Guru Berdasarkan

Masa Kerja Golongan sejak pengangkatan

Masa Kerja Frekuensi Prosentase

01-05 th 35 77,78%

06-10 th 6 13,32%

11-15 th - 0%

16-20 th 3 6,67%

21-25 th 1 2,23%

Jumlah 45 100 %

(4)

Tabel 4.6

Karakteristik Responden Guru

Berdasarkan Status

Status Guru Frekuensi Prosentase

Tetap 34 75,56%

Tidak Tetap 11 24,44%

Jumlah 45 100

Tabel 4.6 menunjukkan dalam penelitian ini bahwa sebagian besar responden berstatus sebagai guru tetap sebanyak 34 (75,56%).

Tabel 4.7

Karakteristik Responden Guru

Berdasarkan Pangkat Golongan

Pangkat Golongan Frekuensi Prosentase

Non Golongan 10 22,22%

II/a-II/b - -

II/c-II/d 6 13,33%

III/a-III/b 24 53,33%

III/c-III/d 3 6,67%

IV/a-IV/b 2 4,45%

Jumlah 45 100 %

(5)

4.3 ANALISIS DATA

4.3.1 Analisis Deskriptif Variabel Penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus.

Deskripsi distribusi frekuensi penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus oleh guru dan siswa dapat terlihat pada tabel 4.8 dan 4.9 sebagai berikut:

Tabel 4.8

Deskripsi Frekuensi Penerimaan Guru

Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

Kategori Rentang Skor frekuensi Guru Prosentase

Sangat Tinggi 57 – 68 17 37,78 %

Sumber : Data primer yang diolah tahun 2014

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 P. P.

Kategori Rentang Skor frekuensi Siswa

(6)

Tabel 4.9 menunjukkan sebagian besar penerimaan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus berada pada kategori Sedang sekitar 50,21%.

Normal Parametersa Mean. .0000000 .0000000

Std.Deviation .30134382 .92175616 Most Extreme

Differences

Absolute .104 .054

Positive .098 .054

Negative -.104 -.026

Kolmogorov-Smirnov Z .699 .819

Asymp. Sig. (2-tailed) .714 .514

a. Test distribution is Normal.

(7)

penerimaan guru 0,714>0,05 dan Asymp sig (2-tailed)

penerimaan siswa 0,514>0,05 Maka kedua variabel distribusi

normal dan memenuhi syarat analisis dengan t-test.

4.5 Analisis Perbedaan Mean Variabel Penelitian

4.5.1 Perbedaan Penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus Oleh Guru dan Siswa.

Tabel 4.11

Group Statistics

Penerimaan N Mean

Std.

Deviation

Std. Error

Mean

VAR00

001

1 19 3.53 .772 .177

2 5 3.20 1.095 .490

(8)

4.6.2.Analisis Perbedaan Penerimaan Guru dan Siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

Tabel 4.12

AnalisisPenerimaan Guru dan Siswa Terhadap

Anak Berkebutuhan Khusus

Independent Samples Test Levene's Test

for Equality

of Variances t-test for Equality of Means

Berdasarkan Tabel 4.12 diketahui hasil Fhitung levene test sebesar 2,760 dengan signifikansi 0,111 lebih besar dari

(9)

signifikan antara guru dengan siswa terhadap anak berkebutuhan khusus.

4.6 Uji Hipotesis

Penelitian ini berkepentingan menguji rumusan hipotesis yaitu: Adakah perbedaan penerimaan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus antara guru dan siswa di SMP Kristen 1 Pulau-pulau Aru – Maluku.

Hipotesis yang diajukan Ada Perbedaan Penerimaan yang Signifikan Guru dan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 Pulau-pulau Aru Maluku. Hasil analisis menunjukan bahwa tidak ada perbedaan penerimaan yang signifikan Guru dan Siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di SMP Kristen 1 Pulau-pulau Aru Maluku, sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini ditolak.

4.7 Pembahasan Hasil Penelitian.

(10)

(Evaluation), menghindar (Avoidance) dan memberi alasan (Giving Reason).

Peleburan menjadi faktor penting seseorang mengalami proses penerimaan diri dan sosial secara positif. Penerimaan positif bagi Anak Berkebutuhan Khusus dianalisis dengan cara: pertama, membedah peleburan kognitif dan perasaan guru melalui simbol kata dan perilaku ketika berinteraksi dengan Anak Berkebutuhan Khusus. Kedua, membedakan peleburan kognitif dan perasaan siswa melalui pikiran dan perilaku ketika berinteraksi dengan Anak Berkebutuhan Khusus.

(11)

Prinsip evaluasi juga termasuk faktor penting yang menentukan proses penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus. Fokus evaluasi merujuk pada kesiapan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah, keluarga dan lingkungan sosial untuk menerima pengalaman diskriminatif sebagaimana adanya dan berani mengevaluasi pengalaman pahit tersebut. Berdasarkan hasil penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku sebagai ruang sosial Anak Berkebutuhan Khusus, ditemukan fakta bahwa penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus sebagian besar berada pada kategori sangat tinggi sekitar 37,78%, sementara penerimaan siswa di kategori sedang sebanyak 50,21%. Intinya, penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dinilai baik.

Penulis menemukan adanya relasi mutualistis–simbiosis antara Anak Berkebutuhan Khusus dengan guru. Pada satu sisi, Anak Berkebutuhan Khusus mampu menerima pengalaman diskriminasi oleh guru dan mengevaluasinya secara positif demi pengembangan diri. Sebaliknya, pada sisi lain guru sebagai stakeholder di lembaga pendidikan mampu mengevaluasi praktek diskriminasi Anak Berkebutuhan Khusus dan menghadirkan iklim penerimaan positif di sekolah. Relasi mutualistis – simbiosis memungkinkan terciptanya iklim interaksi sosial positif dan konstruktif sehingga tercapai kualitas pendidikan yang baik.

(12)

sekitar 50,21% di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus memiliki tingkat inisiatif yang sedang untuk berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Proses interaksi ini menunjukkan bahwa Anak Berkebutuhan Khusus memiliki kemampuan sedang atau biasa untuk mengevaluasi dan menerima pengalaman diskriminatif ketika berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Tingkat evaluasi dan penerimaan pengalaman diskriminatif sedang dari Anak Berkebutuhan Khusus mempengaruhi persepsi diri mereka. Alasannya, interaksi dan penerimaan mempengaruhi bangunan persepsi diri seseorang termasuk kesediaan mengevaluasi dan menerima pengalaman diskriminatif.

Faktor lain yang menentukan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus adalah sikap menghindar dan memberi alasan. Kedua sikap ini memiliki hubungan kausal dengan faktor evaluasi dan penerimaan pengalaman diskriminatif. Kemampuan evaluasi dan penerimaan pengalaman diskriminatif Anak Berkebutuhan Khusus terukur dengan sikap menghindar dan memberi alasan. Artinya, sikap menghindar dan memberi alasan adalah ciri orang yang memiliki kemampuan evaluasi dan penerimaan pengalaman diskriminatif rendah. Selain itu, sikap menghindar dan memberi alasan berhubungan satu dengan lainnya. Salah satu

ciri sikap menghindar adalah kebiasaan memberi alasan.

(13)

ketika berinteraksi dengan guru dan siswa. Dalam relasi yang positif dengan guru, Anak Berkebutuhan Khusus tidak terdorong untuk menghindar, mengelak bahkan berkamuflase. Anak Berkebutuhan Khusus justru lebih jujur dan tulus mengekspresikan diri di hadapan guru. Sebaliknya, dalam relasi sosial dengan teman-teman sebaya, Anak Berkebutuhan Khusus tidak mengekspresikan diri secara utuh. Sikap menghindar ditampilkan dengan kadar sedang. Intinya, Anak Berkebutuhan Khusus dipahami tidak mampu mengeksplorasi dan mengekspresikan diri secara optimal. Menurut penulis, secara psikologis Anak Berkebutuhan Khusus mengalami dilema berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Pada satu sisi, takut dan agak curiga terhadap teman-temannya sehingga cenderung menghindar, mengelak dan berkamuflase. Pada sisi lain, Anak Berkebutuhan Khusus membutuhkan ruang persahabatan dengan teman sebayanya untuk bebas mengekspresikan diri.

Sikap dilematis, Anak Berkebutuhan Khusus perlu dikelola secara baik untuk membentuk kepribadian sehat secara fisik maupun psikis. Sikap menghindar dan memberi alasan adalah ekspresi dan kompensasi masalah perilaku

(14)

mengakui Anak Berkebutuhan Khusus sebagai bagian dari dirinya.

Berdasarkan perbandingan kedua kelompok penerimaan di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku ditemukan fakta bahwa tidak ada perbedaan penerimaan signifikan Anak Berkebutuhan Khusus antara guru dan siswa. Terbukti, hasil perhitungan uji beda rata-rata (mean) penerimaan guru (3.53) terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dengan rata-rata (mean) penerimaan siswa (3,20) terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dengan selisih mean sebesar 0,33. dan signifikansi 0.111>0.05.

4.7.1 Penerimaan Guru Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus

(15)

jawab dan penerimaan guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah.

Sikap positif guru diwujudkan dengan memberi kesempatan yang lebih besar bagi Anak Berkebutuhan Khusus belajar bersama teman sebayanya sehingga menikmati kenyamanan pendidikan yang maksimal (Olson, 2003). Sikap guru yang negatif menggambarkan harapannya rendah bagi Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah (Elliot, 2008). Dalam konteks SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku ditemukan penerimaan bersifat positif guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Ini menunjukkan bahwa guru di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku memberi kesempatan dan kenyamanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus menikmati kualitas pendidikan yang baik.

Menurut Avramidis dan Norwich (2002), ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus, yakni:

a. Pemahaman guru terhadap siswa.

(16)

dengan problem belajar berat (Sharma dkk, 2008; Hasting & Oakford, 2003). Guru kadang bersikap pesimis jika Anak Berkebutuhan Khusus mendapat pelayanan pendidikan di sekolah reguler, karena dianggap tepat dilayani di SLB. Kompensasinya, terkadang guru mengekspresikan penolakan terhadap Anak Bekebutuhan Khusus lewat kata dan perbuatan. Terungkap sterotipe yang melemahkan semangat belajar Anak Berkebutuhan Khusus. Hasil penelitian di SMP Kristen I P. P. Aru – Maluku menunjukkan penerimaan positif guru terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Artinya, guru di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku tidak pesimis terhadap hambatan siswa. Sebaliknya, guru pro-aktif memberi pelayanan pendidikan secara baik dan nyaman bagi kecerdasan Anak Berkebutuhan Khusus.

b. Gender.

(17)

penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku bahwa bahwa responden dalam penelitian ini sebagian besar responden guru menerima secara positif Anak Berkebutuhan Khusus berjenis kelamin perempuan sebanyak 75,56 % bagi guru dibandingkan responden laki-laki sekitar 24,44%.

c. Usia dan Pengalaman Mengajar.

(18)

golongan kerja, sebagian besar responden guru berusia muda sekitar 36 – 40 tahun (25%) dengan pangkat golongan III/a – III/b (53,33%) dan masa kerja 1 - 5 tahun (77,78%) memiliki penerimaan tinggi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.

4.7.2 Penerimaan Siswa Normal Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.

Sikap penerimaan siswa normal terhadap Anak Berkebutuhan Khusus juga sejalan dengan guru terpola dalam tiga pilihan, yakni: pertama, penilaian negatif yang cenderung menolak Anak Berkebutuhan Khusus, kedua, penilaian positif, lebih aktif menerima Anak Berkebutuhan Khusus dan ketiga, penilaian ganda situasional, satu sisi menolak, tapi di sisi lain dapat menerima. Berdasarkan hasil penelitian di SMP Kristen 1 P. P. Aru – Maluku ditemukan tingkat penerimaan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus pada kategori sedang, sekitar 50,21%. Artinya, sikap penerimaan siswa terhadap Anak Berkebutuhan Khusus tidak terlalu tinggi maupun rendah.

Penulis memakai hasil penelitian sebelumnya dari

Marloes Koster (2010) berjudul “Social Participation of

Students with Special Needs in Regular Primary Education in

the Netherlends” untuk menjelaskan sikap penerimaan siswa

(19)

Perbedaan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus antara guru dan siswa normal menunjukkan fakta tentang persepsi diri Anak Berkebutuhan. Anak Berkebetuhan Khusus terindikasi memiliki perspesi diri berbeda di hadapan guru dan siswa normal. Dalam relasi dengan guru, Anak Berkebutuhan Khusus memiliki tingkat persepsi diri baik dan positif. Sebaliknya dengan siswa normal, Anak Berkebutuhan Khusus dinilai memiliki tingkat persepsi diri dikategorikan sedang atau biasa saja. Persepsi diri Anak Berkebutuhan Khusus akan semakin baik dan positif jika ruang interaksi dan penerimaan terbangun baik. Sebaliknya, persepsi diri menjadi lemah ketika terbangun relasi yang buruk.

b. Penerimaan oleh Teman-teman Sekelas

(20)

terkesan labil dalam menentukan sikap positif bagi teman sebayanya.

c. Persahabatan.

Tingkat penerimaan yang sedang mempengaruhi relasi persahabatan Anak Berkebutuhan Khusus dengan teman-teman sebayanya. Anak Berkebutuhan Khusus masih tersudutkan dalam ambiguitas peran. Pada satu sisi diposisikan peran isolasi, tetapi pada sisi lain terdorong memainkan peran partisipatif. Ketegangan peran isolasi dan peran partisipatif dipengaruhi oleh cara pandang dan sikap yang belum menerima Anak Berkebutuhan Khusus secara utuh.

d. Kontak/ interaksi.

Anak Berkebutuhan Khusus diterima pada tingkat sedang oleh siswa dilatari karena kurang adanya inisiatif untuk membangun relasi dengan siswa normal dan ketidaksiapan mental untuk menerima pengalaman diskriminasi. Kedua belah pihak, Anak Berkebutuhan Khusus dan siswa normal belum memiliki kemampuan mental psikologis dan pemahaman yang baik untuk menerima dan mengevaluasi pengalaman diskriminasi sebagai realitas yang lumrah dan manusiawi. Realitas ini mempengaruhi komitmen untuk membangun ruang interaksi sosial yang sehat dan positif demi pengembangan mutu hidup.

(21)

oleh jenjang pendidikan dan tidak ditentukan oleh usia. Menurut Sherly (2012), perbedaan penerimaan Anak Berkebutuhan Khusus tergantung perbedaan jenjang pendidikan. Ibu yang berpendidikan tinggi memiliki penerimaan lebih besar terhadap Anak Berkebutuhan Khusus dibanding ibu dengan berpendidikan rendah. Terbukti, dalam penelitian Sherly (2012) di SLB Semarang, ibu yang berpendidikan rendah memiliki nilai rata-rata sebesar 83,53 yang dikategorikan sedang (66,84) dengan standar deviasi 10,63. Penerimaan berdasarkan jenjang pendidikan terjabar, pendidikan rendah 21 orang, jenjang pendidikan sedang 24 orang dan jenjang pendidikan tinggi sebanyak 25 orang. Sebaliknya penelitian ini menemukan fakta guru dengan pendidikan tinggi dan siswa berpendidikan rendah tidak memiliki perbedaan penerimaan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Terbukti dari hasil perhitungan uji beda rata-rata antara dua kelompok penerimaan terhadap Anak Berkebutuhan Khusus diperoleh hasil thitung sebesar 0,773 untuk kelompok guru dan kelompok siswa sebesar 0,626 dengan signifikansi 0.111 > 0.05.

(22)

penerimaan tinggi terhadap Anak Berkebutuhan Khusus. Penulis menilai guru di usia 36 - 40 tahun termasuk kategori usia produktif dan pola pikirnya terbuka terhadap perubahan sehingga mampu menerima Anak Berkebutuhan Khusus secara positif dan transformatif. Sebaliknya, pada usia 51 - 55 tahun termasuk kategori usia matang yang terjebak dalam kemapanan sehingga sulit berinteraksi dan melebur secara supel. Secara kejiwaan, guru pada usia ini sulit berinteraksi dan melebur dengan Anak Berkebutuhan Khusus (Kohlberg, 1995).

Pada kelompok siswa, penulis menemukan fakta berbeda bahwa sebagian besar responden siswa berusia 13 tahun (32,62%) dibandingkan usia 16 tahun berjumlah sedikit sekitar 1,29%. Dalam perspektif psikologi perkembangan, usia 13 tahun adalah masa atau etape seorang anak membutuhkan relasi sosial tinggi dengan teman-teman sebayanya. Nilai hidup anak ditentukan dengan relasi sosial disekitarnya, karena itu wajar jika anak pada usia 13 tahun jauh lebih terbuka dan supel untuk melebur sekaligus menerima keberadaan Anak Berkebutuhan Khusus. Kondisi berbeda dengan usia 16 tahun yang memasuki usia dewasa dan cenderung individualis sehingga sulit melebur dan menerima Anak Berkebutuhan Khusus (Kohlberg, 1995).

(23)
(24)

Gambar

Tabel 4.1 Karakteristik Responden Guru Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.2 Karakteristik Responden Siswa Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.4 Karakteristik Responden Siswa Berdasarkan Usia
Tabel 4.6 Karakteristik Responden Guru
+5

Referensi

Dokumen terkait

Semua responden pada kelompok perla-kuan telah berperilaku menggunakan garam berYodium dan memberikan suplemen gizi sesuai anjuran setelah diberikan konseling sedangkan

Hasil dari penelitian ini yaitu banyaknya variasi citra data pelatihan mempengaruhi tingkat akurasi sistem pengenalan jenis golongan darah dan algoritma yang digunakan

Data lengkap mengenai aktivitas belajar siswa pada siklus I pertemuan kedua selama proses pembelajaran dengan menerapkan pendekatan Contextual Teaching and Learning

JABATAN FUNGSIONAL PENELITI DARI KEMENTERIAN/LEMBAGA PEMERINTAH NON-KEMENTERIAN DAFTAR NAMA UNTUK DINILAI OLEH PENILAI I DAN II. Ilmu Sistem Informasi Geografi

Metode demonstrasi dalam penelitian tindakan ini berhasil meningkatkan kompe- tensi siswa dalam menyiapkan dan menyajikan minuman nonalkohol karena: (1) guru melaku- kan

24 Gambar 2.18 Daftar Terbitan Berkala Ilmiah yang Dikelola Pengelola dapat melakukan perubahan dan melengkapi data identitas terbitan berkala ilmiah atau jurnal yang meliputi

Analisis yang dilakukan untuk menghitung jumlah armada adalah dengan metode yang dipublikasikan oleh Departemen Perhubungan tahun 2002, dengan hasil bahwa armada

Dari hasil yang diperoleh pada penelitian ini, membuktikan bahwa model pemebelajaran based learning dapat meningkatkan mutu perkuliahan dan hasil belajar mahasiswa