• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK REMAJA PEREMPUAN ATAS HAK REPRODUKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAK REMAJA PEREMPUAN ATAS HAK REPRODUKSI"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

BERDASARKAN HUKUM KESEHATAN,

HAK ASASI MANUSIA DAN JENDER

(FEMALE ADOLESCENT’S RIGHTS TO THEIR REPRODUCTIVE HEALTH AND THE RIGHT TO DECIDE FOR THEMSELVES

BASED ON LAW HEALTH, HUMAN RIGHT, AND GENDER)

Tesis

Program Studi Hukum

Konsentrasi Hukum Kesehatan

Diajukan oleh :

Wawang Setiawan Sukarya

N.I.M : 05.93.0091

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

S E M A R A N G

(2)

HAK REMAJA PEREMPUAN ATAS HAK REPRODUKSINYA

DAN HAK MENENTUKAN DIRI SENDIRI

BERDASARKAN HUKUM KESEHATAN,

HAK ASASI MANUSIA DAN JENDER

(FEMALE ADOLESCENT’S RIGHTS TO THEIR REPRODUCTIVE HEALTH

AND THE RIGHT TO DECIDE FOR THEMSELVES BASED ON LAW

HEALTH, HUMAN RIGHT, AND GENDER)

Diajukan oleh :

Wawang Setiawan Sukarya

N.I.M : 05.93.0091

telah disetujui oleh :

Pembimbing Utama

Prof.Dr. Agnes Widanti,SH tanggal :

……….

Pembimbing Pendamping

(3)

Segala pudji syukur saya ucapkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta Ala, atas segala karunianya yang telah diberikan kepada saya sekeluarga, salah satunya adalah telah selesainya Tesis, dan juga berakhirnya Studi S2 (Magister) Hukum Kesehatan, Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Soegijapranata Semarang. Dalam hidup saya, terus terang tidak pernah terpikir bahwa suatu waktu, saya akan belajar ilmu hukum, apalagi Hukum Kesehatan, yang ahlinya masih sangat jarang. Dari kecil saya hanya bercita-cita menjadi ahli roket atau dokter.

Berhasilnya saya menyelesaikan tugas Tesis dan Ujian Magister saya, tentunya tidak terlepas dari jasanya para pembimbing saya Prof. Dr. Agnes Widanti,SH dan Ibu P. Lindawaty Sewu,SH,Mhum. Terutama Prof Widanti yang selalu mengingatkan saya, bahwa beliau mengharapkan saya selesai dalam rombongan pertama, karena katanya “ Dokter Wawang sebenarnya mampu dan pasti bisa”. Karena motivasi beliaulah, maka saya berhari-hari berupaya keras, bahkan sampai tidak tidur (hal ini yang sebenarnya sudah tidak biasa lagi, kecuali kalau sedang memberikan pertolongan kepada pasien melahirkan atau operasi emergensi). Alhamdulillah selesai juga, boleh maju seminar akhir bahkan ujian dan dinyatakan lulus. Maha besar Allah Subhanahu Wa’Ta Alla, Penguasa Alam Semesta yang mengatur kita semua.

Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Soegijaprata yang sudah bersedia bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia Wilayah Indonesia, telah memberikan Dosen-Dosennya untuk menggembleng para Dokter di Jawa Barat dalam bidang Hukum Kesehatan.

Kepada Prof. Dr. Wila Chandrawila Supriadi, SH, saya atas nama pribadi dan teman-teman, mengucapkan terimakasih kami yang sebesar-besarnya dan setulus-tulusnya karena sudah mau mengurusi kelas Bandung. Kami lihat kesungguhan beliau, sampai yang kecil-kecilpun beliau tidak ragu-ragu untuk mengerjakannya.

Kepada Bu Endang Wahyani,SH,Mhum, Bapak Dr. Sofwan Dahlan, SpF, Bapak Dr. Bambang Shofari, MMR, Bapak Handi Sobandi, SH,Mhum, dan

(4)

kebaikan dan bantuannya dan juga kedekatannya kepada kami semua.

Kepada teman-teman angkatan pertama, baik kelas A, khususnya kelas B, terimakasih atas segala kerjasamanya dan partner debat dalam kelas. Saya mohon maaf kalau ada ucapan-ucapan yang menyinggung. Tidak ada maksud saya untuk melakukan hal tersebut, semuanya saya lakukan adalah demi kemajuan kita bersama dan mencari pengalaman pada ilmu yang baru ini. Kalau tidak ada anda-anda, mungkin saya tidak terlalu semangat mengikuti program ini.

Pada akhirnya tentu saja kepada Isteri tercinta Siti Rusdenia Rusad,Psi, MSc,M.Kes, papah ucapkan terimakasih atas pengertian dan kesabarannya mendampingi suami yang sibuk luar biasa mengurusi segala macam, dari mulai urusan organisasi, program OBGINSOS, P2KS, Yayasan Kanker Indonesia, membantu STIKES A.Yani, memberi kuliah Kedokteran di Bagian OBGIN, di D4 Fakultas Kedokteran, termasuk kuliah akhir minggu di Unisba, di MM dll, rapat-rapat, pembicara di seminar-seminar, praktek, belajar, sampai kadang-kadang masih bisa main musik. Akan sulit mendampingi saya,apabila bukan isteri yang bisa mengerti hal itu. Sampai kapanpun tidak akan terbalas kesabaran dan pengertiannya. Juga anak-anak saya (Feni, Atika, Tria dan Dian) , terimakasih atas pengertian, dorongan bahkan doanya, padahal ayahnya kurang waktu untuk mereka, terimakasih atas segala pengertian, dorongan bahkan doanya. Juga kepada mantu saya Sigit, Soni, terimakasih atas perhatiannya.

Kepada Cucu saya, Abyan dan Rahadian, maaf kalau lagi sibuk, seolah-olah Kiki acuh kepada kalian, padahal sampai kapanpun kalian adalah kesayangan Kiki.

Bandung, Maret 2007.

Wawang Setiawan Sukarya

(5)

form of discrimination to women and their other basic rights, such as the right to have reproductive health service, sexual right, the right to live, the right for freedom and safety, the right to gain information, the right to be not discriminated in the resource supplying, including its availability and accessibility.

The research method used is normative juridical research, to establish a certain right or norm on a specific phenomenon. It is an analytical descriptive research to illustrate several entities related to female adolescents’ rights about their reproductive right and the right to decide for themselves based on law health, human right, and gender. The description is done in a systematic, factual and accurate way on the adolescents’ reproductive health right and its implementation. The type of descriptive research being used is literature study, supported by quantitative research result about human reproduction necessary. The conclusion interpretation is done by deductive method , which means making conclusion from general issues to specific ones.

Data is being collected by literature study. The literature materials used are law materials in the form of primary materials, in the form of related laws and regulations, such a s: Constitution, International declaration. Secondary law materials in the form of the works of experts in law health and public health such as books, scientific writings, and tertiary law materials : supporting materials to primary and secondary law materials, such as : law dictionary, articles in magazines, etc.

The research shows that adolescent is a big group, in their unstable period, and a generation of nation’s hope with their own problems. The government is still unable to provide an optimal health reproduction service, judged from the high mortality rate of mothers and unsafe abortion, lack of access to the adolescents’ health reproductive service, the lack of knowledge about health reproduction, lack of sexual information with its implications, sexually transmitted diseases, contraception, even discriminative treatment for pregnant female adolescents. The research also shows the lack of attention given to the female adolescents’ rights, especially in the sexual and reproductive health related, as well as for various rights such as the right to have reproductive health service, the right to access the center of reproductive health, the right for freedom and safety, the right to gain information, the right to be not discriminated in the resource supplying, including its availability and accessibility the right to have reproductive health service, autonomy right, privacy right in making sexual and reproduction decision, and the right to be treated equally.

Keywords :adolescent, reproductive health, human right , health law, gender.

(6)

Konferensi Kependudukan di Kairo pada tahun 1994 (International Conference on Population and Development) mengakui hak atas kesehatan reproduksi dan seksual sebagai kunci kesehatan seorang perempuan.Konferensi tersebut menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan mencuatkan hak asasi lainnya seperti hak mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya dalam hal hak seksual, - termasuk hak hidup, kebebasan dan keamanan seseorang-, hak mendapatkan informasi, hak untuk tidak diskriminasikan dalam penyediaan sumber daya, termasuk ketersediaan dan aksesnya.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif, untuk menetapkan hak atau norma tertentu terhadap suatu fenomena. Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis untuk menggambarkan hal-hal yang berkaitan dengan hak remaja perempuan atas hak reproduksinya dan hak menentukan diri sendiri berdasarkan hukum kesehatan, hak asasi manusia dan jender. Deskripsi dibuat secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai hak kesehatan reproduksi remaja dan pelaksanaannya. Jenis penelitian deskriptif yang digunakan adalah studi kepustakaan dan ditunjang oleh hasil penelitian kuantitatif tentang reproduksi manusia yang diperlukan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum ke hal yang bersifat khusus.

Data dikumpulkan melalui penelitian terhadap bahan pustaka dan pengkajian terhadap beberapa penelitian kuantitatif sebagai penunjang. Bahan pustaka yang digunakan adalah bahan hukum yang berupa : Bahan hukum primer, berupa peraturan perundangan yang terkait seperti undang-undang, deklarasi internasional. Bahan hukum sekunder ini merupakan karya-karya ilmiah para ahli hukum, ahli hukum kesehatan dan para ahli kesehatan masyarakat berupa buku, makalah ilmiah serta bahan hukum tersier, berupa bahan-bahan yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti : kamus hukum, artikel majalah, laporan institusi terkait dan sebagainya.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa remaja merupakan kelompok dalam jumlah besar, periode labil, dan merupakan generasi harapan bangsa dengan berbagai permasalahannya sendiri. Pemerintah masih belum mampu memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang optimal, tampak dari masih tingginya angka kematian ibu dan unsafe abortion, kurangnya akses ke pelayanan kesehatan reproduksi remaja, kurangnya pengetahuan kesehatan reproduksi, kurangnya informasi seksual dengan segala macam implikasinya, penyakit menular seksual, kontrasepsi, bahkan perlakuan diskriminasi bagi remaja perempuan yang hamil. Penelitian juga memperlihatkan kurangnya perhatian terhadap hak remaja perempuan, terutama dalam hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksual, selain juga pada berbagai hak seperti hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi, hak akses ke pusat layanan kesehatan reproduksi, hak kebebasan dan keamanan, hak mendapatkan informasi, hak untuk mendapatkan perlakuan tidak diskriminatif dalam ketersediaan dan pengalokasian sumber daya untuk pelayanan kesehatan reproduksi, hak otonomi, hak privasi dalam mengambil keputusan seksual dan reproduksi, serta hak mendapatkan perlakuan kesetaraan jender.

Kata kunci:

Remaja, kesehatan reproduksi, hak asasi manusia,hukum kesehatan, jender.

(7)

ABSTRAK……….. i

ABSTRACT ……….. ii

KATA PENGANTAR ………... iii

DAFTAR ISI ………. v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian……… 1

B. Perumusan masalah……… 10

C. Tujuan penelitian………. 11

D. Manfaat penelitian……… 11

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN A. Kesehatan reproduksi………. 12

B. Kesehatan reproduksi remaja dan jender……… 15

C. Hak perempuan dalam kesehatan reproduksi……… 33

BAB III

METODE PENELITIAN A. Metode penelitian……….. 39

B. Spesifikasi penelitian...………. 39

C. Jenis data...……… 40

D. Definisi operasionil...………. 41

E. Metode pengumpulan data...……….. 41

F. Metode analisis data...………. 42

G. Sistematika penelitian...………... 42

(8)

A. Hak Reproduksi Remaja Perempuan berdasarkan Hukum

Kesehatan……… 44

1. Remaja……… 44

2. Kesehatan Reproduksi Bagi Remaja ………... 45

B. Hak Reproduksi Remaja Perempuan berdasarkan Kesetaraan

Jender………... 47

C. Hak Reproduksi Remaja Perempuan berdasarkan HAM………… 50

1. Remaja dan hak seksual ………

2. Remaja dan hak kontrasepsi ……….

3. Remaja dan hak mendapatkan pelayanan kesehatan

reproduksi ……….

4. Remaja dan hak mendapatkan informasi ………

5. Remaja dan kehamilan ……….. 50

53

55

57

59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………. 77

B. Saran………... 80

LAMPIRAN

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang penelitian

Menurut definisi dari World Health Organization (WHO), kesehatan tidak

hanya berarti kesehatan fisik, tetapi juga berkaitan dengan kesehatan mental dan

sosial. Deklarasi Alma Alta yang dicanangkan oleh WHO dan UNICEF pada

tahun 1978, bahkan menambahkan syarat baru yaitu bahwa setiap orang harus

mampu hidup produktif, baik secara ekonomis maupun sosial. Ini berarti dalam

definisi kesehatan, juga tercakup masalah kualitas hidup.1

Dalam kesehatan, termasuk juga kesehatan reproduksi. Definisi kesehatan

reproduksi yang dicetuskan di Kairo pada International Conference on Population

and Development (ICPD) tahun 1994, yang disusun berlandaskan definisi WHO tersebut diatas, menyatakan :

Keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik,mental dan sosial, dan bukan sekadar tidak adanya penyakit atau gangguan disegala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya maupun proses reproduksi itu sendiri. Dengan demikian, kesehatan reproduksi menyiratkan bahwa setiap orang dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan menyenangkan, dan mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi, serta memiliki kebebasan untuk menetapkan kapan dan seberapa sering mereka ingin bereproduksi.2

Tampak jelas bahwa banyak sekali indikator yang harus dipenuhi untuk

dapat memenuhi berbagai aspek kesehatan reproduksi perempuan. Berbicara

tentang kesehatan reproduksi, berarti tidak hanya menyangkut masalah

kehamilan atau yang langsung berkaitan dengan kehamilan, tetapi juga

mencakup area yang lebih luas seperti : masalah kesehatan seseorang sejak ia

1

WHO. Considerations for formulating reproductive health laws (tanpa tahun) 2

(10)

masih remaja, kesehatan kerja bagi kelompok usia subur dsb. Yang pasti, dalam

masalah kesehatan reproduksi, disentuh juga status dan pendidikan perempuan.

Rekomendasi Umum no. 2 tahun 1999 tentang Perempuan dan Kesehatan

(Pasal 12) oleh Komite Konvensi Wanita atau CEDAW, memperkuat ketentuan

tentang akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan dengan menetapkan

bahwa kesehatan reproduksi perempuan merupakan hak dasar perempuan.

Pengertian dasar ini membawa konsekuensi dalam cara pelayanan kesehatan,

yaitu harus lebih komprehensif, antara lain dengan tidak memandang perempuan

sebagai rahim saja (a woman is not a womb), melainkan sebagai perempuan

yang mempunyai rahim dan berada dalam jaringan sosial budaya yang tidak

selalu memperhatikan hak perempuan.3

Diatas sudah disampaikan bahwa Deklarasi ICPD di Kairo pada tahun

1994 menentukan hak-hak reproduksi perempuan serta ruang lingkup pelayanan

kesehatan reproduksi. Dalam deklarasi tersebut mencuat penekanan tentang hak

reproduksi dengan pelayanan bermutu yang berorientasi kepada pasien (patient

centered approach) yang tampak dalam beberapa keputusan sepuluh program sebagai berikut 4 :

1. Pelayanan sebelum, semasa kehamilan dan setelah persalinan.

2. Pelayanan kemandulan atau infertilitas.

3. Pelayanan keluarga berencana yang optimal.

4. Pelayanan dan penyuluhan HIV/AIDS.

5. Pelayanan aborsi

3

Johanna Debora Imelda. Kesehatan & hak reproduksi. Jakarta: FISIP-UI, 2004. 4

Anita Rahman. Hukum dan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan : Masalah Aborsi. Didalam : Sulistyowati, ed. Perempuan dan Hukum. Jakarta : Yayasan Obor

(11)

6. Pelayanan dan pemberian komunikasi , informasi dan edukasi (KIE) yang

berkaitan dengan kesehatan reproduksi.

7. Pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi remaja.

8. Tanggung jawab keluarga

9. Peniadaan sunat dan mutilasi anak perempuan dan

10. Pelayanan kesehatan Lansia.

Disamping adanya program kesehatan reproduksi tersebut, dalam

deklarasi ICPD juga diakui adanya Hak Reproduksi Perempuan seperti sebagai

berikut 5 :

1. Hak individu untuk menentukan saat mempunyai anak, jumlah anak dan

jarak waktu diantara dua kehamilan.

2. Hak untuk mendapat pelayanan yang berkaitan dengan fungsi reproduksi.

3. Hak untuk mendapatkan informasi, komunikasi dan edukasi (KIE) yang

berkaitan dengan fungsi reproduksi.

4. Hak melakukan kegiatan seksual tanpa paksaan, diskriminasi dan

kekerasan.

Sebagai negara yang ikut menandatangani kesepakatan tersebut, maka

sudah seharusnya Indonesia menterjemahkannya kedalam peraturan-peraturan

dan atau undang-undang yang menyinggung masalah kesehatan reproduksi. Hal

ini jelas tidak bertentangan dengan aturan hukum di Indonesia,karena dalam

Undang-Undang Kesehatan no. 23 tahun 19926, pasal 4 yang menyatakan

bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat

5 Ibid, halaman 2. 6

(12)

kesehatan yang optimal dan pada pasal 13, yang menyatakan bahwa kesehatan

suami isteri diutamakan pada upaya pengaturan kehamilan, dalam rangka

menciptakan keluarga sehat dan harmonis. Kemudian pada pasal 14, dapat

dilihat juga ketentuan bahwa kesehatan isteri meliputi kesehatan pada masa

sebelum kehamilan, kehamilan pasca persalinan dan masa diluar kehamilan dan

persalinan.

Di hampir setiap lingkungan budaya, menjadi ibu (motherhood), merupakan

peran yang sangat dihormati. Walaupun begitu, sering kedudukan tersebut masih

kurang diberi perhatian sehingga kebutuhan kesehatan seorang perempuan tidak

terpenuhi. Hal ini terlihat dari adanya kenyataan seperti dibawah ini :7

1. Masih adanya kebiasaan tradisional yang merugikan kesehatan perempuan,

baik secara umum maupun secara khusus (perempuan hamil.).

2. Di berbagai belahan dunia,masih terjadi berbagai diskriminasi yang

berdampak negatif terhadap kesehatan dan hak reproduksi perempuan.

3. Masih adanya ketidaksetaraan perempuan dalam akses pendidikan,

pekerjaan, pengambilan keputusan, dan sumber daya yang tersedia.

Pengalaman berbagai negara menunjukan bahwa kesehatan perempuan

tidak bisa dilepaskan dari hak pendidikan perempuan. Hasil penelitian di

berbagai negara Asia dan Afrika membuktikan bahwa tingkat pendidikan ibu

berpengaruh positif terhadap kesehatan ibu, bayi dan anak. Oleh karena itu perlu

segera dilakukan upaya perbaikan menyeluruh, mulai dari penyempurnaan

persepsi yang benar tentang masalah gender dan hak asasi perempuan,

7 Saparinah Sadli. Kesehatan Reproduksi perempuan dan Hak Asasi Manusia. Didalam

(13)

kebijakan-kebijakan yang mendukung atau yang berpihak kepada hak asasi

perempuan serta implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.8

Jender adalah interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin

dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan

untuk menunjuk pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan

perempuan. Jadi ideologi jender adalah segala aturan, nilai, stereotip yang

mengatur hubungan perempuan dan laki-laki terlebih dahulu melalui

pembentukan idenditas feminim dan maskulin, yang menjadi struktur dan sifat

manusia, dimana ciri-ciri dasar dan sifat itu dibentuk sejak masa kanak-kanak

awal sehingga selalu konservatif dan ketinggalan dibelakang perubahan 9.

Dengan meningkatkan wawasan tentang masalah jender dan hak asasi

perempuan, maka pada gilirannya, kita diharapkan akan dapat meningkatkan

keberpihakan secara nyata kepada perempuan, khususnya dalam masalah

kesehatan reproduksi, yang meliputi kesehatan fisik, mental emosional, dan

sosial, dalam bentuk penurunan angka kematian dan kesakitan ibu - anak,

peningkatan harapan dan mutu hidup (life Expectancy dan Quality of Life).

Dalam deklarasi ICPD di Kairo tahun 1994, ditentukan hak-hak reproduksi

perempuan serta ruang lingkup pelayanan pelayanan yang harus mereka terima.

Jadi mereka sebagai manusia, sebagaimana halnya laki-laki, mempunyai hak

asasi untuk mendapatkan segala haknya.

Esensi Hak Asasi Manusia (HAM) adalah menghormati setiap orang lain,

siapapun dia, tanpa membedakan warna kulit, kelas, suku, agama, dan jenis

kelamin. Harus dipahami bahwa HAM merupakan penghormatan kepada

8

Abdul Bari Saifuddin. Upaya Safe Motherhood dan Making Pregnancy Safer. Didalam : Djamhoer Martaadisoebrata dkk,eds. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka S.P.; 2005.

(14)

nilai manusia, di manapun dia berada dan HAM tidak bertentangan dengan moral

agama. Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) dikukuhkan secara konsensus

oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). DUHAM ini

disusun karena komunitas negara-negara anggota PBB menghadapi suatu

kenyataan bahwa manusia dapat memperlakukan manusia lain secara tidak

manusiawi. Dengan menandatangani DUHAM, berarti bahwa negara peserta

PBB menyetujui adanya norma-norma yang ditentukan dalam DUHAM serta

mempunyai kewajiban moral untuk melindungi hak asasi manusia,siapapun dia.10

Dalam perkembangan sejarah HAM, tepatnya pada konferensi HAM II di

Wiena (1993), secara konsensus disepakati oleh negara anggota PBB bahwa

Hak Asasi Manusia adalah Universal (ia melekat pada manusia, karena ia

manusia), sehingga Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia. Selain itu,

disepakati pula bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran

hak asasi manusia (HAM).11

Di Indonesia,walaupun hak asasi perempuan sebagai HAM sudah

ditetapkan dalam UU No. 39 / 99 tentang HAM pasal (45) dan (51), tetapi jauh

sebelumnya, hak asasi perempuan telah dijadikan agenda pembahasan dalam

konferensi dunia pertama tentang perempuan di Meksiko yang diselenggarakan

pada tahun 1975.Hal ini dilandasi oleh pengalaman para perempuan, bahwa

meskipun negaranya telah menandatangani DUHAM (termasuk Indonesia),

diskriminasi terhadap perempuan tetap terjadi.

Sehubungan dengan kenyataan ini, maka pada Sidang Umum PBB tahun

1979, diadopsi naskah yang diajukan oleh Komisi Status Perempuan di PBB,

10 Saparinah Sadli. Ibid, halaman 4. 11

(15)

dengan menetapkannya sebagai Convention on the Elimination of All Form of

Discrimination against Women (CEDAW), yang diterjemahkan secara resmi sebagai Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan (Konvensi Wanita). Konvensi Wanita ini, hingga sekarang dikenal

sebagai the only gendered convention, karena merupakan satu-satunya konvensi

internasional yang secara khusus menetapkan hak perempuan untuk tidak

menerima perlakuan diskriminasi di berbagai bidang kehidupan 12.

Konvensi ini yang di tingkat internasional merupakan upaya untuk

mempromosikan dan menegakkan hak perempuan agar bebas dari segala

bentuk diskriminasi, di Indonesia diratifikasi dengan undang-undang nomor 7

tahun 1984. Selanjutnya, dengan sepakat dan ikut meratifikasi suatu konvensi

internasional, maka pemerintah Indonesia sudah mengikatkan diri secara moral

dan legal terhadap hukum internasional. Artinya, Indonesia wajib membuat

undang-undang baru, mengubah kebijakan, aturan pemerintah,atau ketetapan

yang tidak sesuai dengan isi konvensi yang telah diratifikasi.

Dalam pasal (12) ayat (2) dari Konvensi Perempuan ini, diatur tentang

kewajiban negara yang menjamin tersedianya pelayanan kesehatan reproduksi

perempuan, yaitu13 :

1. Memastikan pelayanan yang layak untuk perempuan dalam hubungannya

dengan kehamilan, persalinan dan masa setelah persalinan, bila perlu

disediakan pelayanan gratis.

2. Memastikan perempuan mendapatkan gizi yang cukup selama masa

kehamilan dan menyusui.

12

Anita Rahman. Hukum dan Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan : Masalah Aborsi. Didalam : Sulistyowati,ed. Perempuan dan Hukum ; 2006.

13

(16)

Pembicaraan tentang kesehatan reproduksi dan jender, ditinjau dari

berbagai aspek akan luas sekali, sehingga pada tesis ini, penulis hanya akan

memfokuskan pembicaraan kepada masalah kesehatan reproduksi remaja.

Masa remaja adalah suatu bagian dari siklus kehidupan manusia yang

harus dilalui. Masa transisi remaja menjadi dewasa merupakan proses yang

universal yang secara perorangan, daerah, negara dan kebudayaan mempunyai

variasi yang besar. Titik tolak transisi ini, baik untuk untuk perempuan maupun

laki-laki yang berhubungan dengan masa pubertas akan timbul pada berbagai

umur. Tidak ada definisi yang jelas tentang kapan berakhirnya masa transisi ini14.

Begitu pentingnya masa remaja ini dan adanya fakta yang menunjukkan

bahwa masih banyak perlakuan diskriminasi terhadap perempuan, maka dalam

upaya menegakkan status kesehatan reproduksi perempuan (baik dewasa

maupun remaja) perlu ditekankan bahwa kesehatan perempuan merupakan

kelanjutan dari status kesehatan anak-anak. Jadi tampak jelas, bahwa dalam

usaha meningkatkan status kesehatan reproduksi, isu hak kesehatan anak

perempuan atau remaja perempuan menjadi sangat penting.

Adanya diskriminasi terhadap perempuan di berbagai lingkungan budaya

menyebabkan pemenuhan hak kesehatan anak perempuan masih menghadapi

kendala. Kondisi ini berdampak pada kesehatan perempuan dewasa dan remaja.

Oleh karena itu, konferensi Beijing (1995, paragraf 266),15 telah memberi

perhatian khusus pada kondisi kesehatan anak perempuan dengan menyatakan :

14

Zarni Amri, Setyawati B, Azhari A Samudra. Kesehatan Reproduksi. Jakarta : Reproductive Health Program,Faculty of Public Health,University of Indonesia : 2002. 15

(17)

Berlakunya diskriminasi terhadap anak perempuan dalam akses terhadap pelayanan gizi, kesehatan fisik, dan mental, berdampak membahayakan terhadap kondisi kesehatannya, baik pada saat usia anak-anak maupun setelah ia dewasa. Diperkirakan bahwa sekitar 450 juta perempuan dewasa di negara berkembang telah mengalami perkembangan yang tidak optimal karena kekurangan protein dan gizi sewaktu masih usia anak.

Kondisi kesehatan anak perempuan seperti dilukiskan di atas menjadi

dasar bahwa di antara dua belas daerah kritis yang perlu diperhatikan (12 critical

areas of concern) untuk dapat mencapai “kesetaraan pembangunan dan perdamaian”, mutlak perlu ada perhatian khusus pada kondisi kesehatan anak

perempuan (Beijing Plan of Action, 1995) 16.

Berbeda dengan Usia Lanjut, di Indonesia masalah kesehatan reproduksi

remaja tidak secara eksplisit tercantum dalam undang-undang yang ada. Dalam

UU Kesehatan no. 23 tahun 1992 17, tidak tercantum secara khusus masalah hak

remaja untuk mendapat pelayanan kesehatan dan informasi. Dalam pasal (12)

ayat (2), hanya tercantum bahwa kesehatan keluarga sebagaimana yang

dimaksud dalam ayat (1) meliputi kesehatan suami isteri, anak dan anggota

keluarga lainnya.

Karenabanyaknya masalah remaja yang timbul, maka sangat disayangkan

apabila hak remaja tidak secara khusus dibahas pada undang-undang yang ada.

Remaja seperti juga warganegara yang lain, juga mempunyai hak untuk

mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan yang memadai dan bermutu.

16

Anita Rahman. Hukum dan hak kesehatan reproduksi perempuan, masalah aborsi. Didalam : Sulistyowati Irianto,ed. Perempuan dan hukum, menuju hukum yang berperspektif kesetaraan dan keadilan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006.

17

(18)

Sampai sekarang misalnya belum ada klinik khusus yang melayani remaja

tentang kesehatan reproduksi termasuk apabila mereka hamil, perlu kontrasepsi,

konsultasi seks dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan kenyataan diatas, timbul pertanyaan apakah tidak ada

atau jarangnya pelayanan dan informasi khusus untuk remaja, sudah melanggar

prinsip hak remaja untuk mendapatkan pelayanan dan informasi tentang

kesehatan reproduksi. Pertanyaan ini akan dikaji dengan menganalisis bukti-bukti

penelitian yang sudah ada dan pelaksanaan hak remaja di lapangan berdasarkan

undang-undang yang ada.

Sehubungan dengan hal tersebut, akan diteliti berbagai konteks hak

kesehatan reproduksi remaja kaitannya dengan pelaksanaan undang-undang

yang ada di lapangan. Hasil penelitian ini akan dikaji dan dituangkan dalam tesis

yang berjudul “ Hak Remaja Perempuan atas Hak Reproduksinya dan Hak

menentukan diri sendiri berdasarkan Hukum Kesehatan & Hak Asasi Manusia “.

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka

diidentifikasikan masalah-masalah penelitian yang akan diteliti dalam tesis ini

sebagai berikut :

1. Bagaimana hak reproduksi remaja berdasarkan hukum kesehatan, Hak

Asasi Manusia dan Jender ?

2. Bagaimana hak menentukan diri sendiri berdasarkan Hukum Kesehatan

(19)

C. Tujuan penelitian

1. Untuk mendapatkan gambaran tentang hak reproduksi remaja perempuan

berdasarkan hukum kesehatan, Hak Asasi Manusia dan jender.

2. Untuk mendapatkan gambaran tentang hak menentukan diri sendiri

berdasarkan hukum kesehatan dan Hak Asasi Manusia.

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,baik bagi kepentingan

Ilmu Hukum Kesehatan tentang Reproduksi Remaja Perempuan, dan

kepentingan praktis sebagai berikut :

1. Kegunaan teoritis

Secara umum, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan

pemikiran bagi pengembangan ilmu Hukum Kesehatan, dan secara khusus

tentang pelaksanaan hak kesehatan reproduksi dan hak remaja

perempuan untuk menentukan diri sendiri berdasarkan Hukum Kesehatan

dan Hak Asasi Manusia.

2. Kegunaan praktis

Sebagai bahan masukan bagi masyarakat dan para pengambil

kebijakan tentang pelaksanaan hak kesehatan reproduksi dan hak

menetukan diri sendiri remaja perempuan, sehingga berbagai ekses dan

(20)

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

A. Kesehatan reproduksi

Konsep tentang kesehatan dan hak reproduksi mulai dibicarakan pada

United Nation World Conference on Population (UNWCP) di Bucharest tahun

1974. Butir kesepakatannya antara lain adalah “ bahwa segala kegiatan yang

berkaitan dengan issu pembangunan dan kependudukan harus didasarkan pada

hak-hak asasi pasangan atau individu untuk memutuskan secara bebas dan

bertanggung jawab, jumlah anak, dan jarak antar anak yang mereka miliki dan

untuk mendapatkan informasi, pendidikan dan cara-cara untuk melakukannya

(Singh,1998). 18

Konsep tentang hak-hak reproduksi lebih berkembang lagi pada Konferensi

Kependudukan Internasional kedua di Mexico City, pada tahun 1984.

Rekomendasi konferensi ini adalah mendukung hak-hak asasi dari pasangan

maupun individu untuk mendapatkan informasi dan pelayanan Keluarga

Berencana yang memadai

melalui berbagai cara, termasuk melalui kegiatan

kemasyarakatan.

Direkomendasikan juga bahwa kaum laki-laki hendaknya terlibat

dalam program KB, alokasi sumber daya dalam pelayanan KB, kualitas dan

efektivitas pelayanan, serta informasi dan pelayanan yang memadai bagi remaja

(Singh, 1998)19

Arti kesehatan menurut konstitusi WHO pada tahun 1946 adalah complete

physical, mental and social being and not merely the absence of disease or

18 Singh, Jyoti Shankar. Creating a new consensus on population. London : Earthscan

Publication Ltd, 1998. 19

(21)

infirmity. Definisi ini dilanjutkan menurut definisi The Cairo Programme adalah yang berbunyi sebagai berikut : “ a state of complete physical, mental and social

well being and……..not merely the absence of disease or infirmity, in all matters relating to the reproductive system and to its functions and processes.” (WHO) 20. Jadi kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahteraan fisik atau badan, jiwa,

sosial dan budaya yang utuh, dan bukan hanya bebas dari penyakit atau

kelemahan, dalam segala hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi,

fungsi serta berbagai prosesnya.

Dalam hal tersebut diatas, seorang perempuan seharusnya bukan hanya

mampu berketurunan, tetapi juga mempunyai kebebasan untuk menentukan

kapan dan berapa kali hamil, berhak mendapat penyuluhan dan kemudahan

pelayanan keluarga berencana, kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan

yang baik, dapat melalui masa kehamilan, persalinan dan masa nifas yang aman

serta berhak melakukan hubungan seksual yang sehat.

Perkembangan lebih lanjut, pada tahun 1994 dilaksanakan International

Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo. Pada konferensi ini keluarlah definisi mengenai hak-hak asasi dan tanggung jawab pasangan

maupun individual dalam memutuskan secara bebas dalam hal fertilitas dan

perencanaan keluarga mereka (Singh,1998).21 Lebih lengkapnya, definisi

kesehatan reproduksi tersebut adalah sebagai berikut :

Keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik,mental dan sosial, dan bukan sekedar tidak adanya penyakit atau gangguan disegala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya maupun proses reproduksi itu sendiri. Dengan demikian, kesehatan reproduksi menyiratkan bahwa setiap orang dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan menyenangkan, dan mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi, serta memiliki kebebasan untuk menetapkan kapan dan seberapa sering mereka

20

WHO.Considerations for formulating reproductive health laws (tanpa tahun). 21

(22)

ingin berproduksi. Pelayanan kesehatan reproduksi juga mencakup kesehatan seksual yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kehidupan dan hubungan antar pribadi, tidak semata merupakan konseling dan pelayanan yang berhubungan dengan reproduksi dan penyakit menular seksual (UNFPA, 1994) 22.

Melihat definisi tersebut diatas, berarti hak-hak reproduksi sebenarnya

mencakup hak-hak asasi manusia tertentu yang sudah diakui dalam hukum

nasional, merupakan dokumen hak asasi manusia yang bersifat internasional

dan dokumen konsensus Perserikatan Bangsa – Bangsa lain yang relevan.

Hak-hak ini dasarnya adalah pengakuan terhadap Hak-hak-Hak-hak asasi semua pasangan

dan individu untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab dalam

menentukan jumlah anak yang diinginkan, waktu kelahiran anak-anak mereka

dan mendapatkan informasi untuk mendapatkannya, serta hak untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi dengan standar yang

tertinggi.Hak ini juga mencakup hak semua orang untuk membuat keputusan

mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan

seperti yang dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak-hak asasi manusia.

Untuk melaksanakan hak-hak tersebut, mereka harus memperhitungkan

kebutuhan kehidupan dari anak-anak mereka yang sekarang dan dimasa

mendatang, serta tanggung jawab mereka terhadap masyarakat. Promosi

pemakaian hak-hak ini secara bertanggung jawab, harus menjadi dasar

kebijakan dan program yang menggambarkan dukungan pemerintah serta

masyarakat dibidang kesehatan reproduksi, termasuk keluarga berencana.

22 UNFPA. Program of action : Adopted at the ICPD, Cairo, 5-13 September. USA : United Nation

(23)

Dalam hal ini perhatian tentunya lebih ditujukan kepada promosi hubungan

antara jenis kelamin yang saling menghormati dan wajar, khususnya untuk

memenuhi kebutuhan pendidikan dan pelayanan kelompok remaja, sehingga

mereka bisa mengatasi masalah seksualitasnya secara positif dan bertanggung

jawab.

Dalam kesehatan reproduksi, yang menjadi masalah adalah bahwa definisi

definisi ideal diatas tidak mungkin dapat tercapai oleh semua orang, karena ada

berbagai faktor yang mempengaruhinya, seperti tingkat pengetahuan tentang

seksualitas manusia yang kurang, informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi

yang juga kurang atau tidak tepat, perilaku seksual berisiko, praktik sosial yang

diskriminatif, sikap negatif terhadap perempuan, serta keterbatasan kekuasaan

kaum perempuan terhadap kehidupan seksual dan reproduksi mereka. Dalam

hal ini, kelompok remaja adalah kelompok sering kurang terpapar dari informasi

dan pelayanan kesehatan reproduksi.

B. Kesehatan reproduksi remaja dan jender

Karakteristik biologis akan menentukan seks seseorang, yang

mengandung pengertian kelamin secara biologis, yaitu organ kelamin laki-laki

dan perempuan. Tetapi disisi lain, ada istilah istilah jender yang merupakan hasil

konstruk sosial, dengan pengertian status dan peran yang diberikan oleh

masyarakat berdasarkan jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Contoh dari hal

ini adalah ketika masyarakat memberikan status peran perempuan sebagai

pendamping suami atau sebagai pengatur rumah tangga, atau dikalangan

masyarakat tertentu, perempuan harus memuaskan suami. Tampak sekali

bahwa karena yang menentukan status dan peran itu adalah masyarakat,maka

(24)

berarti suatu saat masyarakat, dalam segala hal akan dapat menempatkan

perempuan sejajar dengan laki-laki, bukan hanya sebagai pendamping saja.

Atribut jender meliputi juga norma perilaku yang pantas bagi perempuan

atau laki-laki, yang kemudian disebut sebagai ciri feminin dan maskulin. Ciri-ciri

tersebut adalah gender traits yang akan saling berbeda antarbudaya dan dengan

berkembangnya waktu, bisa berubah. Hasil konstruk sosial seperti itu,

merupakan ketentuan tentang pembagian kerja seksual dan ketentuan tentang

peran sosial yang dianggap pantas bagi perempuan dan laki-laki sesuai dengan

nilai budaya yang berlaku. Contoh yang nyata yang ada pada ketentuan

formal-legal dalam budaya kita misalnya bahwa “ laki-laki adalah kepala keluarga dan

pencari nafkah utama, dan perempuan sebagai pengasuh anak”. Ketentuan ini

telah memperkuat stereotip bahwa peranan sosial laki-laki adalah ruang publik,

sedangkan peran perempuan berada di ruang domestik. Penentuan ruang sosial

dan pembagian kerja seksual dengan memilah-milah bahwa laki-laki

sepantasnya di ruang publik dan perempuan di ruang domestik, telah

menimbulkan berbagai isu diskriminasi berbasis jender. Adalah suatu kenyataan

dan fakta, serta makin lama jumlahnya makin meningkat, bahwa sekarang

banyak perempuan yang bekerja dan juga bertindak sebagai kepala keluarga. 23

Kelompok perempuan ini sering kesulitan untuk mendapatkan

penghargaan dan fasilitas yang sama dengan laki-laki, karena peraturan yang

berlaku menentukan bahwa yang mendapat tunjangan adalah istri dan

anak-anak. Tidak jarang pula terjadi, dalam melakukan jenis pekerjaan yang nilainya

sama, perempuan tidak selalu mendapat imbalan yang sama dengan laki-laki.

23

(25)

Contoh lain adalah jenis pekerjaan yang kebanyakan diisi oleh laki-laki, seperti

supir yang bekerja di ruang publik, masih mempunyai status sosial lebih tinggi

ketimbang jenis pekerjaan yang kebanyakan diisi perempuan seperti pembantu

rumah tangga yang bekerja di ruang domestik. Imbalan yang bekerja di ruang

publik, biasanya juga lebih tinggi daripada yang bekerja di ruang domestik.

Beberapa puluh tahun yang lalu, kesehatan telah ditetapkan sebagai hak

dasar setiap manusia. Yang terlupakan adalah bahwa di berbagai lingkungan

budaya, berlangsung diskriminasi berbasis jender,sehingga dalam melaksanakan

profesi kesehatan,cenderung bersikap bahwa anak adalah anak, dan perempuan

adalah perempuan. Secara sadar ataupun tidak, hal ini akan menimbulkan sikap

membeda-bedakan antara anak atau perempuan dewasa dengan anak dan

laki-laki dewasa.Kenyataan inilah yang menyebabkan standar normatif WHO tentang

penikmat kesehatan sosial yang optimal, oleh perempuan sulit dicapai 24

Beberapa isu jender yang hingga sekarang masih dihadapi perempuan dan

anak perempuan di mana pun mereka berada, adalah dominannya nilai patriarkat

yang menempatkan perempuan, sejak ia masih anak-anak, sebagai orang yang

mempunyai status inferior terhadap laki-laki, yang kemudian berdampak pada

kehidupan perempuan pada umumnya.

Dalam kaitan dengan hal diatas suatu penelitian studi psikologi tentang

perbedaan jender memperlihatkan bahwa sebenarnya secara profesional,

kemampuan perempuan sama dengan laki-laki. Terbukti juga bahwa prestasi

pendidikan perempuan tidak kalah dari laki-laki, bahkan kadang-kadang lebih

24

(26)

baik. Walaupun begitu, dalam kenyataannya, kiprah perempuan di dunia publik

lebih terbatas, khususnya dalam pengambilan keputusan. Gejala ini dikenal

sebagai Gap at the top yaitu suatu gejala yang tidak saja merugikan perempuan,

tetapi juga bagi pembangunan bangsa dan negara, akibat potensi perempuan

tidak dimanfaatkan secara optimal, termasuk dalam pembangunan kesehatan

bangsa. Pengertian lebih lanjut,hal itu berarti, bahwa untuk memenuhi kebutuhan

kesehatan reproduksi sebagai hak dasar perempuan, diperlukan sikap dan upaya

khusus. Sikap dan upaya khusus itu penting, karena kesadaran tentang

diskriminasi berbasis jender dalam kesehatan, relatif masih baru25.

Meningkatnya kesadaran tentang maraknya diskriminasi berbasis jender,

telah menjadi dasar pasal 12, Rekomendasi Umum nomor 2 tahun 1999 tentang

Perempuan dan Kesehatan oleh Komite Konvensi Perempuan atau CEDAW.

Rekomendasi tersebut memperkuat ketentuan tentang akses perempuan

terhadap pelayanan kesehatan, dengan cara menetapkan bahwa kesehatan

reproduksi perempuan merupakan hak dasar perempuan. Pengertian dasar ini,

tentu akan membawa konsekuensi dalam cara pelayanan kesehatan, yaitu harus

lebih komprehensif, misalnya dengan tidak memandang perempuan hanya

sebagai rahim saja (a woman is not a womb), melainkan sebagai perempuan

yang mempunyai rahim dan berada dalam jaringan sosial budaya yang tidak

selalu memperhatikan hak perempuan. 26

Bila seorang perempuan hamil, maka yang berisi bukan hanya rahimnya

saja, tetapi perempuan tersebut akan menghayati seluruh kondisi kehamilannya.

25

Of cit, halaman 16. 26

(27)

Bila ada masalah dengan rahimnya, maka yang mempunyai kekhawatiran,

keinginan,dan kekecewaan adalah perempuan tersebut, bukan organ reproduksinya.

Dalam kenyataannya, yang menjadi masalah adalah bahwa rahim yang dimiliki

oleh seorang perempuan, seringkali tidak dikuasainya, tetapi dikuasai oleh pihak

lain, seperti suami, dokter, petugas kesehatan, dan negara.

Dengan berdasarkan konferensi hasil HAM II di Wina

(1993),

International

Conference on Population and Development

(ICPD) tahun 1994 di Kairo, konferensi

dunia

tentang perempuan tahun 1995 di Beijing (Convention on the Elimination of all

forms of Discrimination Again Women), dan memperhatikan berbagai ketetapan

yang disusun oleh WHO, UNFPA, LSM-LSM, oleh CEDAW kemudian disusun

rekomendasi tentang kesehatan reproduksi perempuan.

Karena diskriminasi terhadap perempuan masih tetap terjadi, maka dalam

upaya menegakkan status kesehatan reproduksi perempuan (baik dewasa

maupun remaja), terus menerus ditekankan bahwa kesehatan perempuan

merupakan kelanjutan dari status kesehatan anak. Dengan demikian,dalam

usaha meningkatkan status kesehatan reproduksi, isu hak kesehatan anak

perempuan atau remaja perempuan menjadi bagian yang sangat penting.

Dalam kenyataannya,menerapkan status kesehatan reproduksi perempuan

ini tidak mudah. Karena diskriminasi terhadap perempuan di berbagai lingkungan

budaya masih juga berlanjut, maka masih ada kendala dalam pemenuhan hak

kesehatan anak perempuan. Hal ini tentu saja akan berdampak terhadap

kesehatan perempuan dewasa dan remaja. Dalam keadaan seperti itu,

konferensi Beijing (1995) telah memberi perhatian khusus kepada kondisi

(28)

Berlakunya diskriminasi terhadap anak perempuan dalam akses terhadap pelayanan gizi, kesehatan fisik, dan mental, berdampak membahayakan terhadap kondisi kesehatannya, baik pada saat usia anak-anak maupun setelah ia dewasa. Diperkirakan bahwa sekitar 450 juta perempuan dewasa di negara berkembang telah mengalami perkembangan yang tidak optimal karena kekurangan protein dan gizi sewaktu masih usia anak.27

Kondisi kesehatan anak perempuan seperti yang digambarkan diatas,

kemudian menjadi dasar diberikannya perhatian terhadap dua belas daerah kritis

(12 critical areas of concern) untuk mencapai kesetaraan pembangunan dan

perdamaian,sehingga mutlak perlu adanya perhatian khusus terhadap kondisi

kesehatan anak perempuan (Beijing Plan of Action, 1995). Sebelumnya, dalam

pertemuan ICPD di Kairo juga diangkat masalah yang berkaitan dengan

kebiasaan dan pendapat agama Islam tentang sunat anak perempuan.

Sunat pada anak perempuan (female genital mutilation) adalah segala

prosedur atau tindakan yang ditujukan untuk menghilangkan sebagian atau

seluruh organ genital luar dari wanita atas nama budaya, adat, agama atau

alasan-alasan lain diluar alasan kesehatan atau penyembuhan. Berdasarkan

WHO information fact sheet nomor 241, Juni tahun 2004, sunat (FGM) sering disamakan dengan sirkumsisi pada perempuan. Tiindakan ini merupakan semua

prosedur, termasuk pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari organ

genital luar perempuan, atau tindakan melukai lainnya terhadap organ genital

perempuan, baik untuk alasan budaya, agama, atau alasan lainnya yang tidak

berkaitan dengan penyembuhan 28.

27

Shalev C. Rights to sexual and reproductive health : The ICPD and the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimintaion Againts Women. In : Puri CP, Van Look PF, Eds. Sexual Reproductive Health:- Recent Advances, Future Directions. New Delhi : New Age International (P) Limited Publishers ; 2001.

28

Debu Batara Lubis. Female genital mutilation : enghilangan hak wanita atas tubuhnya.

(29)

Kebiasaan ini ternyata meningkatkan kerentanan anak perempuan

terhadap hak asasi manusia, seperti sebagai berikut 29 :

1. Adanya praktik sunat yang dilakukan terhadap anak perempuan, padahal dia

tidak bisa atau belum bisa menandatangani informed consent.

2. Adanya kebiasaan di lingkungan budaya tertentu, dimana praktik sunat anak

perempuan mengarah kepada genital mutilation, yang bisa berdampak negatif

terhadap kesehatan anak perempuan, bahkan bisa menyebabkan kematian.

Praktik-praktik sunat perempuan seperti diuraikan diatas, faktanya tetap

ada. Oleh karena itu, dalam hal tindakan sunat anak perempuan, yang paling

penting adalah “perlu adanya suatu prosedur yang jelas”, agar sunat perempuan

bisa aman bila dipandang dari segi teknis medis profesional. Dengan prosedur

yang standar, maka cara tersebut tidak melanggar hak kesehatan anak

perempuan,serta bisa mencegah terjadinya dampak negatif terhadap perempuan

remaja dan dewasa di kemudian hari.

Lebih lanjut, dalam konferensi ICPD di Kairo, secara khusus diyatakan

bahwa semua pimpinan negara di berbagai tingkatan pemerintahan, hendaknya

menentang dan menghapus pola-pola diskriminasi dalam keluarga, yang

berdasarkan preferensi terhadap anak laki-laki. Pernyataan dari kedua konferensi

dunia (Kairo dan Beijing), secara eksplisit memperkuat tema konferensi tentang

perempuan di Nairobi dan Beijing tentang “Kesetaraan dan Perdamaian”.

Pernyataan ini memperingatkan semua kepala negara atau wakilnya yang hadir

di Beijing pada tahun 1995, bahwa penghapusan diskriminasi terhadap

perempuan, adalah merupakan kewajiban negara. Selain pernyataan tersebut,

29 Face to face. International campaign for universal acces to reproductive health care,

(30)

pernyataan penting lainnya adalah bahwa dalam memberikan pelayanan

kesehatan masyarakat (primary health care), sebaiknya dipakai pendekatan life

cycle approach, yaitu cara pendekatan dengan memperhatikan tumbuh kembang anak,karena dalam perkembangannya, seorang anak dalam mencapai standar

sehat fisik, mental dan sosial yang optimal,seorang anak perempuan mempunyai

kebutuhannya sendiri yang spesifik atau khas.

Indonesia, adalah salah satu negara anggota PBB yang menghadiri

konferensi di Kairo (1994) dan Beijing (1995) serta ikut menanda tangani

kesepakatan yang dicetuskan.Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mempunyai

tanggung jawab dan kewajiban moral agar setiap anak perempuan mempunyai

akses yang sama terhadap berbagai pelayanan kesehatan yang berkualitas,

karena hak ini merupakan hak individual dan hak sosial seorang anak

perempuan. Disebut hak individual, karena setiap orang berhak untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan serta menikmati standar kesehatan yang

optimal, sedangkan hak sosial merupakan kewajiban lingkungan sosial untuk

memberikan hak tersebut. Dalam hal ini berarti pemerintah dan segenap

jajarannya mempunyai kewajiban untuk melindungi hak kesehatan perempuan

sejak masa anak-anak, remaja, bahkan sampai usia dewasa lanjut.

Pernyataan penting lainnya yang berkaitan dengan konsep hak kesehatan

reproduksi perempuan adalah bahwa kesehatan perempuan tidak bisa

dilepaskan dari hak pendidikan perempuan. Hasil penelitian di berbagai negara

Afrika dan Asia membuktikan bahwa pendidikan ibu berpengaruh positif terhadap

status kesehatan bayi dan anak. Dalam konferensi ICPD Kairo juga ditetapkan

(31)

hamil, berapa anak yang diinginkan, jenis kontrasepsi apa yang ingin dipakainya,

dan bagaimana dia ingin merencanakan keluarganya.

Apa yang menjadi perhatian khusus di konferensi ICPD Kairo telah terlebih

dahulu menjadi ketentuan dalam pasal 12 Konvensi Wanita yang menyatakan 30

:

¾ Negara mempunyai kewajiban untuk membuat peraturan yang memastikan

atau menjamin perempuan dan laki-laki untuk mempunyai akses yang sama

terhadap pelayanan kesehatan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan

unat perempuan yang bahkan bisa

erupa female genital mutilation (FMG).

risiko bagi kesehatan perempuan.

¾ Didalam suatu negara ada kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang

membahayakan kesehatan perempuan dan anak perempuan, misalnya

kebiasaan yang melarang makan makanan tertentu bagi perempuan hamil,

preferensi terhadap anak laki-laki, dan s

b

Laporan Konferensi Dunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 yang

membahas tentang perempuan, memperlihatkan fakta bahwa akibat kondisi

lokal, pelayanan kesehatan perempuan seringkali tidak berkualitas. Petugas

kesehatan cenderung tidak memperlakukan perempuan dengan menghargai

martabatnya (tidak berdasarkan respek kemanusiaan terhadap perempuan),

kurang mengindahkan kebutuhan perempuan akan privacy dan kerahasiaan

kondisinya, jarang diberi informasi secara jelas dan lengkap mengenai pilihan

atau alternatif apa saja yang tersedia dalam kaitan dengan sistem dan fungsi

reproduksinya. Dibeberapa negara, masih ada perlakuan medis yang berlebihan

30 Kartono Muhammad. Kontradiksi dalam kesehatan reproduksi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan dengan PT Citra

(32)

terhadap seorang perempuan, yang menjadi penyebab dilakukannya intervensi

medis seperti dilakukannya pembedahan atau pemberian pengobatan yang tidak

diperl

nentukan nasib sendiri adalah esensi dari

hak re

emakainya, dan adanya kemudahan untuk mengakses

pelay

ukan (Beijing report) 31.

Status subordinasi seorang perempuan terhadap laki-laki telah

menyebabkan kebanyakan perempuan tidak terbiasa untuk berani dan mau

memilih bagi kepentingan dirinya sendiri. Padahal, seperti yang telah dinyatakan

oleh ketetapan ICPD,memilih dan me

produksi seorang perempuan,

Perempuan, termasuk perempuan sehat, membutuhkan pelayanan yang

komprehensif yaitu dengan cara memandang mereka secara utuh agar bisa

memenuhi fungsi seksual dan reproduksinya secara aman dan sukses. Falsafah

pelayanan kesehatan reproduksi perempuan, harus menempatkan hak

perempuan dalam mengontrol kesuburannya sebagai suatu yang sentral. Contoh

dari hal ini adalah bila hendak membantu perempuan merencanakan

keluarganya, hendaknya perempuan tidak semata-mata dijadikan sasaran untuk

mencapai target yang ditentukan oleh negara, tetapi yang lebih penting dari itu

adalah dengan mengakui bahwa perempuan mempunyai hak untuk memperoleh

informasi yang jelas agar dapat menentukan sendiri kontrasepsi apa yang ingin

dipakai, kapan mau m

anan kesehatan.

Dalam sistem pelayanan kesehatan yang tersedia, seharusnya bisa

dirasakan oleh seorang perempuan sebagai hal yang bermakna dalam menjalani

kehidupannya, sesuai dengan kebutuhan diri dan keluarganya. Contoh dari hal

31

(33)

ini adalah bila fokus pelayanan keluarga berencana ditujukan hanya untuk

mencapai transisi demografis saja, maka hal ini memperlihatkan bagaimana

negara meniadakan kebutuhan dan hak perempuan dalam mengatur kesehatan

repro

menderita kemandulan

(infer

duksi yang sesuai dengan pilihannya.

Kehamilan secara alamiah merupakan kelebihan dan keunikan yang dapat

dialami perempuan, yang sekaligus juga merupakan beban kesehatan. Meskipun

dalam kondisi kesetaraan perempuan dan laki-laki, di mana tanggung jawab

mengenai kehamilan menjadi tanggung jawab bersama, tetapi tetap masih ada

alasan biologis dan sosial yang menyebabkan kehamilan tersebut lebih

dibebankan kepada perempuan. Demikian pula beban yang harus ditanggung

perempuan bila dia menderita penyakit menular seksual (PMS), pengaturan

kesuburan oleh negara, atau bila seorang perempuan

tilitas) atau mengalami kekerasan berbasis jender.

Sejak konferensi internasional tentang kependudukan dan pembangunan di

Kairo (1994) dan Konferensi Dunia IV di Beijing (1995), komunitas kesehatan

masyarakat telah menyusun agenda kesehatan reproduksi yang lebih

komprehensif dan pelayanan yang terintegrasi. Pelayanan terintegrasi ini berarti

memberi perhatian khusus pada hak klien (pasien), kualitas pelayanan, pilihan

berdasarkan pengetahuan (informed choice) dan sensitif jender. Perhatian

kepada hak klien berarti memenuhi kebutuhan kesehatan reproduksi dan

seksual, serta memenuhi perubahan kebutuhan yang dialami sesuai dengan

tingkat perkembangannya. Dalam konteks pemikiran sosial, hal ini berarti perlu

dikembangkan sistem pelayanan yang peka terhadap isu jender disetiap tingkat

perkembangan perempuan, serta mengetahui bahwa seorang perempuan terikat

(34)

selain juga bahwa perempuan tidak terbiasa memilih untuk kepentingan dirinya

sendiri. Penelitian di Honduras memperlihatkan bahwa penentuan besarnya

keluarga dan keluarga berencana lebih banyak dilakukan laki-laki dibanding

perem

dan keluarganya, yang berakar kepada struktur legal, sosial, agama

dan p

oleh seorang klien, karena dapat mempengaruhi pilihan yang diambil, perlakuan

puan yaitu 20,5% dibanding 16,7% (Ilene Speizer dkk,2005).32

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, perlu dirintis suatu pelayanan

kesehatan yang peka terhadap kebutuhan klien serta dibuat suatu pelatihan dan

dukungan institusional dalam mengembangkan keterampilan berkomunikasi

terhadap klien tentang berbagai isu yang terkait dengan kesehatan reproduksi

dan seksual, seperti misalnya anatomi alat reproduksi dan perilaku seksual.

Termasuk didalamnya adalah pemahaman tentang keyakinan yang dianut

perempuan

olitik.

Kepekaan terhadap kebutuhan pasien merupakan hal yang penting, karena

di dalam lingkungan budaya kita, seksualitas dan kesehatan reproduksi

merupakan isu kesehatan, tetapi bagi klien dan petugas kesehatan masih

merupakan topik pembicaraan yang menimbulkan ketidak nyamanan. Tentang

kenyamanan atau kepuasan ini, Kusnandi Rusmil dalam penelitiannya di Instalasi

Rawat Jalan Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, mendapatkan bahwa dari

383 responder yang diteliti (54,8 % diantaranya adalah perempuan), sebanyak

80,7 % responden merasa tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan 33.

Disisi lain,kenyamanan dan pemahaman yang benar dan tepat sangat diperlukan

32

Ilene S Speizer, Lisa Whittle and Marion Carter. Gender relations and reproductive decision making in Honduras. In : International Family Planning Perspectives, Vol. 31, number 3 ; 2005. 33

(35)

(treatment) yang akan diperolehnya, yang pada gilirannya akan berdampak

kepada status kesehatan seorang perempuan.

Kondisi kehidupan dan kesehatan manusia memang telah mengalami

berbagai kemajuan baik dinegara berkembang maupun yang sedang

berkembang dengan tingkat harapan hidup perempuan secara konsisten lebih

tinggi daripada laki-laki. Walaupun begitu, bila hal ini dikaitkan dengan definisi

sehat yang paripurna, yaitu sehat mental, emosional, dan sosial, maka bukan

berarti secara otomatis seorang perempuan lebih sehat daripada laki-laki.

Kondisi lain yang dialami perempuan yang tidak termasuk kondisi sehat

adalah masalah kehamilan yang tidak dikehendaki (unwanted pregnancy).

Dikebanyakan negara berkembang, perempuan yang mengalami unwanted

pregnancy, tidak mendapat pelayanan yang berkualitas. Hal tersebut juga terjadi pada perempuan yang tidak subur (mandul). Dalam keadaan demikian,

perempuan tersebut akan menderita secara sendirian, serta cenderung

menyimpannya sendiri. Dia tidak akan mau, tidak berani, atau bahkan tidak boleh

menceritakannya kepada orang lain. Perempuan tersebut cenderung

menerimanya, karena dianggap merupakan takdir dan bagian dari kondisi

biologisnya dan atau malahan sebagai bagian dari keperempuanannya yang

memang harus diterima. Sikap seperti inilah sebenarnya, yang menyebabkan

tidak selalu mudah untuk memakai ukuran kuantitatif sebagai indikator kesehatan

perempuan (misalnya dengn cara menggunakan indikator angka harapan hidup).

Kehamilan akan dihayati secara khas, tetapi sekaligus menjadi beban

spesifik bagi seorang perempuan. Contoh dari hal ini adalah, bila seorang

perempuan melahirkan anak yang tidak sehat, baik karena faktor genetik

(36)

perempuan. Hal ini terjadi karena dikebanyakan masyarakat, pengasuhan anak

adalah merupakan peran utama dari seorang ibu. Sehingga dianggap biasa bila

anak yang “tidak sehat” menjadi beban tambahan bagi seorang ibu.

Disisi lain, seorang laki-laki, sesuai dengan nilai sosial yang berlaku, lebih

berani memilih pola perilaku yang membawa risiko bagi dirinya sendiri ataupun

orang lain, misalnya minum alkohol, menunjukkan kejantanannya secara agresif,

dan melakukan kekerasan atau pelecehan seksual. Akibat pilihan pola ini, maka

hal tersebut sering menjadi penyebab dari penyakit seorang laki-laki. Lain halnya

dengan perempuan. Beban penyakit sering terkait dengan sistem dan fungsi

reproduksi yang dipunyainya serta harapan masyarakat terhadap dirinya dalam

jender untuk menjalankan fungsinya sebagai pengasuh kebutuhan orang lain.

Dari uraian-uraian tersebut diatas, sangat jelas bahwa kesehatan

perempuan tidak selalu berkaitan dengan tidak adanya penyakit. Bila seorang

perempuan mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki,lalu pada pemeriksaan

tekanan darahnya normal, dan bayi yang dikandungnya secara biofisik juga

sehat, maka hal ini tidak harus berarti bahwa perempuan tersebut sehat secara

emosional dan sosial. Adalah tugas dan kewajiban masyarakat (termasuk dokter)

untuk tidak memandang perempuan itu sebagai rahim, tetapi merupakan

perempuan yang mempunyai rahim dengan berbagai konsekuensi positif dan

negatif bagi kesehatannya, karena rahim yang dimilikinya tidak selalu dikuasai

oleh dirinya sendiri.

Dalam siklus kehidupan, seorang manusia akan melalui suatu periode yang

disebut remaja. Masa transisi remaja menjadi dewasa merupakan proses yang

universal yang secara perorangan, daerah, negara dan kebudayaan mempunyai

(37)

perempuan maupun laki-laki yang berhubungan dengan masa pubertas, akan

timbul pada berbagai umur. Tidak ada definisi yang jelas tentang kapan

berakhirnya masa transisi ini.

Pubertas merupakan proses fisik pematangan seksual termasuk

pertumbuhan karakteristik seksual sekunder seperti payudara pada anak

perempuan dan tumbuhnya rambut pubis (kemaluan) anak perempuan dan

laki-laki. Secara umum pada masa pubertas, laki-laki mulai memproduksi sperma dan

mengalami ejakulasi pertama, sedangkan perempuan akan mendapatkan

menstruasi pertama (menarche), serta mulai mengalami ovulasi (keluarnya sel

telur dari indung telur). Masa pubertas ini akan terjadi secara bertahap dalam

beberapa tahun. Sebagai tambahan, selama periode transisi ini, untuk menjadi

matang (mature) secara fisiologis, seorang remaja akan mengalami perubahan

kognitif dan psikologis. Ketergantungan terhadap orangtua akanmenjadi

berkurang dan mereka akan lebih lebih terlibat dalam kelompoknya. Remaja

mulai membentuk identitas pribadi dan mengembangkan kapasitas lebih lanjut

untuk hubungan interpersonal. Selama masa ini, remaja akan berubah dari

ketergantungan sosial, finansial dan relatif menjadi lebih mandiri.

Kesehatan Reproduksi merupakan isu kritis remaja. Istilah Kesehatan

Remaja meliputi kesehatan dan kesejahteraan seorang perempuan dan laki-laki

dalam keterkaitannya dengan masalah seksual, kehamilan, persalinan dan

berbagai kondisi terkait seperti penyakit dan kesakitan. Karena luasnya masalah,

maka pembahasan ini secara khusus hanya akan membahas isu kesehatan

reproduksi yang berkaitan dengan kehamilan dan Penyakit Menular Seksual

(PMS). Hal ini difokuskan oleh penulis, karena ditinjau dari sudut aspek medis,

(38)

perkawinan yang terlalu dini, remaja dengan karakteristiknya yang khas jelas

merupakan permasalahan tersendiri terutama hubungannya dengan kehamilan

serta penyakit menular seksual (PMS) yang mungkin timbul.

Data diseluruh dunia, memperlihatkan bahwa lebih dari satu diantara 4

orang berada pada usia antara 10 dan 24 tahun. Pada usia ini anak berkembang

menjadi dewasa secara fisik, kognitif, emosional,moral, sosial dan ekonomi.

Adalah fakta bahwa remaja merupakan sumber daya yang potensial untuk masa

depan dengan energi yang segar, banyak berbagai ide dan harapan-harapan.

Oleh karena itu,agar potensi yang besar ini dapat tercapai maksimal, perlu

dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan

mereka. Data yang ada juga memperlihatkan bahwa angka aktivitas seksual

remaja yang tidak terlindungi adalah cukup tinggi. Tentu hal ini sangat berisiko

karena hal terkait dengan kejadian kehamilan dini yang tidak diinginkan, PMS

termasuk HIV/AIDS dan aborsi tidak aman (aborsi yang dilakukan bukan oleh

tenaga profesional). Dalam hal lain, remaja khususnya yang perempuan, sering

berhadapan dengan kejahatan seksual dan eksploitasi. Risiko yang

ditanggungnya ini dapat menyebabkan konsekuensi masalah medis, psikologis,

sosial dan ekonomi yang serius. 34

Untuk menggambarkan masa transisi remaja ke dewasa, terdapat

perbedaan kata, definisi, usia dan karakteristik yang digunakan. Untuk remaja

dengan umur antara 10-19 tahun, WHO menggunakan kata ‘adolesen’,

sedangkan untuk yang berusia antara 10-24 tahun digunakan istilah dewasa

muda (WHO) 35.

34

Global reproductive health forum : research library: Gender, biology and technology : information. Http://www.haph.harvard.edu/organizations/health net/jender/info.html.

35

(39)

Di Amerika,US Agency for International Development menggunakan istilah

dewasa muda untuk masa transisi dari anak-anak ke dewasa, tanpa adanya usia

tertentu yang spesifik. Istilah “teenagers” (usia belasan) biasanya digunakan

untuk remaja berumur antara 13-19 tahun. Dalam banyak konteks, berdasarkan

rentang usia, tidak ada istilah formal yang dipergunakan untuk remaja (WHO)36

Pemberian informasi kepada remaja berumur antara 10-24 tahun tentunya

sangat tergantung kepada kultur yang ada, pernikahan, pendidikan dan berbagai

faktor lainnya. Informasi tentang pendidikan seks, dapat diberikan pada rentang

usia yang lebih awal, misalnya diberikan pada anak umur sekitar 10 tahun,

sedangkan masalah kontrasepsi diberikan kepada remaja yang lebih tua. 37

Walaupun usia atau umur merupakan salah satu cara untuk membuat

definisi remaja pada suatu populasi, tetapi hal tersebut bukan merupakan hal

yang terpenting dalam mempertimbangkan "kesehatan reproduksi" yang

dibutuhkan remaja. Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah status

pernikahan, norma jender, riwayat hubungan seksual, remaja putus sekolah,

memiliki anak atau aborsi pada usia muda, status ekonomi, tempat tinggal (di

desa atau di kota), tekanan kelompok, suhu politik dan kultur yang berlaku

setempat.

Status menikah pada seorang remaja merupakan karakteristik biologis

yang dapat mempengaruhi kesehatan reproduksi. Status perkawinan seorang

36

WHO. Ibid halaman 30. 37

(40)

remaja memerlukan penjelasan yang lebih mendalam dan akurat tentang tubuh

atau badan mereka, masalah seksual, komunikasi relasi, kontrasepsi, kehamilan

dan isu-isu lainnya.

Selain itu, status perkawinan akan mempengaruhi diberikannya informasi

kesehatan reproduksi kepada seorang remaja, termasuk juga informasi tentang

suatu pusat pelayanan kesehatan. Remaja yang sudah menikah, tentunya harus

memiliki akses terhadap suatu pelayanan kesehatan reproduksi yang sama

dengan orang dewasa yang menikah. Walaupun begitu,adalah suatu kenyataan

bahwa pada remaja yang sudah melakukan hubungan seks tetapi belum

menikah, akan lebih sering menghadapi hambatan ketimbang yang sudah

menikah.

Kebutuhan informasi kontrasepsipun berbeda. Seorang remaja yang tidak

menikah, tentunya akan berusaha mencari informasi tentang kontrasepsi untuk

menghindari kehamilan, sementara yang sudah menikah, justru sebaliknya,

karena mereka ingin tahu kemampuannya untuk mempunyai keturunan.

Dalam hal ini, remajapun mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang

status perkawinan, penjelasan yang lebih mendalam dan akurat tentang tubuh

atau badan mereka, masalah seksual, komunikasi relasi, kontrasepsi, kehamilan

dan isu-isu lainnya, termasuk dimana adanya pusat pelayanan kesehatan

reproduksi. Hak mendapatkan informasi ini tercantum dalam International

(41)

Hak-hak reproduksi berlandaskan pada pengakuan terhadap hak asasi pasangan atau individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menetapkan jumlah, jarak dan waktu kelahiran anaknya dan hak untuk memperoleh informasi serta cara untuk melakukan hal tersebut, dan hak untuk mencapai standar kesehatan reproduksi dan seksual setinggi mungkin ( UNFPA, 1996) 38.

C. Hak perempuan dalam kesehatan reproduksi

Dokumen ICPD di Kairo dan FWCW di Beijing membicarakan tentang

kesamaan jender atas kesehatan, termasuk kesehatan seksual dan

reproduksi. Dokumen ini memperlihatkan bahwa sudah ada kemauan politik

(political will) dalam hak-hak perempuan, khususnya dalam bidang reproduksi. Dokumen ini dan dokumen-dokumen lainnya tentang hak asasi

manusia, merupakan sumber hukum yang bersifat internasional dan

mengikat secara hukum bagi negara-negara yang ikut menanda tanganinya.

Konvensi perempuan, merupakan acuan utama tentang segala hak asasi

perempuan, sehingga disebut juga International Bill of Women’s Rights.39

Secara umum, negara anggota konvensi perempuan tersebut

mempunyai kewajiban menghilangkan segala bentuk diskriminasi jender,

serta menjamin bahwa perempuan bisa memperoleh hak yang sama dengan

laki-laki atas kebebasan dasar, baik dalam ruang lingkup pribadi maupun

publik, termasuk diskriminasi dalam memperoleh layanan kesehatan dan hak

untuk sehat. Komite CEDAW dibentuk berdasarkan ayat (17) dari konvensi.

Komite ini terdiri dari 23 anggota ahli yang dipilih oleh negara anggota

38

Ratna Batara Munti. Wacana seksualitas dakam sistem hukum di Indonesia.Didalam : Irwan MH, Dian S, Ida Ruwaida N dkk,Eds. Seksualitas : Teori dan Realitas. Jakarta : Diterbitkan oleh Program Gender dan Seksualitas FISIP – UI : 2004.

39

Referensi

Dokumen terkait

kepribadian penutur yang ingkar itu meliputi 15 aspek kepribadian yang diungkapkan satu kaili oleh penutur, yaitu: pendirian/sikap, keayakinan belah dua, pengakuan

Jadi dari hasil penelitian yang dilakukan di Perumnas Sako dan ditunjang dari teori yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara durasi duduk terhadap keluhan nyeri

Melalui program ini diharapkan dapat diperoleh luaran sebagai berikut: (a) memberikan variasi produk batik dengan mengkreasikan kain perca batik sebagai aksesoris

Jadi jelas, bahwa nilai-nilai pluralisme dalam Islam dapat dijumpai dalam Al- Qur’an. Indonesia yang memiliki masyarakat yang plural seharusnya dapat mengambil pelajaran dari

LBM vaporl づざ  キ LBMliquid stごごj ・..[ニと示i§jドゾミとこ2ensate a)Steam-LBMcondenser/evaporator LBMvapor   → Hotwater ・a− → Hotwater

Siapkan alat yang diperlukan: bor kayu dengan mata bor berdiameter 13 mm untuk melubangi batang, gergaji, spidol sebagai penanda tempat pelubangan, alat ukur, kapas, spatula,

dengan memberikan kuisioner kepada responden untuk mengetahui tingkat pengetahuan remaja tentang seks bebas, kemudian dilakukan post test yaitu memberikan kuesioner

BPR Bank Jogja ini meliputi proses pra produksi, produksi, dan pasca produksi telah dilakukan pengamatan kembali baik dari peneliti dan dari pihak Bank Jogja,