• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyar"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM

Nama : Michelle Liemdier NIM : J011171512

Prodi : Pendidikan Dokter Gigi Topik : Sosial Ekonomi dan Budaya

Judul : Kondisi Sosial Ekonomi, dan Budaya

Masyarakat Maritim di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat

A. Pengantar

Secara geografis Indonesia membentang dari 6º LU sampai 11º LS dan 92º sampai 142º BT, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya kurang lebih 17.504 pulau. Seluas tiga perempat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km2), dengan panjang garis pantai

95.161 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Melalui Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, Indonesia menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia (laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia) menjadi satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kemudian Indonesia sebagai negara kepulauan, telah diakui dunia internasional melalui konvensi hukum laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ketiga,

United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Berdasarkan UNCLOS 1982, total luas wilayah laut Indonesia menjadi 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta

km2 perairan teritorial dan 2,7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), luas perairan ini

belum termasuk landas kontinen (continental shelf). Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (the biggest Archipelago in the World).1

Salah satu pulau dari ribuan pulau di NKRI adalah Pulau Gag. Pulau Gag termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Pulau Gag memiliki potensi sumber daya alam yang sangat tinggi, meliputi sumber daya mineral berupa cebakan bijih nikel laterit (Ni, Co, Fe) yang menempati kurang lebih dua pertiga daerah dari pulau tersebut, selain itu perikanan, ekosistem mangrove, terumbu karang,

(2)

rumput laut dan biota laut lainnya juga menjadi kekayaan alam di Pulau Gag. Wilayah ini sebagian besar adalah kawasan konservasi yang terdiri atas pulau-pulau. Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menginginkan agar Pulau Gag tetap dijadikan hutan lindung, namun dipihak lain Kementerian Pertambangan Republik Indonesia menginginkan potensi nikel di pulau tersebut bisa dieksploitasi.2

Masyarakat di Pulau Gag sendiri bingung mengapa daerahnya dijadikan hutan lindung padahal anggapan mereka tidak ada flora atau fauna yang istimewa, yang keberadaannya langka dan perlu dilindungi di kawasannya. Malahan pemerintah Kabupaten Raja Ampat ingin memberikan izin pertambangan karena dampaknya yang positif, yaitu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).3

Tetapi pemerintah pusat mempunyai alasan penetapan SK Menhut No. 81/Kpts-II/1993 tertanggal 16 Februari 1993, bahwa Kepulauan Raja Ampat adalah salah satu Suaka Margasatwa Laut (Marine Wildlife Sanctuary). Ini berarti bahwa Pulau Gag tidak dimungkinkan untuk dieksplorasi maupun dieksploitasi sebagaimana UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa Suaka Margasatwa merupakan kawasan konservasi yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Karena penambangan nikel di Pulau Gag dikhawatirkan akan mengancam keanekaragamanan hayati laut di Kepulauan Raja Ampat. Kegiatan tersebut diduga akan menimbulkan dampak ekologis negatif pada masa mendatang. Misalnya pembuangan limbah (tailing) yang mengandung logam berat (Mercuri dan Sianida) ke laut akan merusak dan mencemari biota laut, sehingga akan merusak ekosistem bawah laut. Hal ini juga berbahaya pada masyarakat yang mengkonsumsi hasil laut yang sudah tercemar oleh logam berat tersebut (Jatam, 2006).3

Masyarakat setempat beranggapan bahwa penambangan akan berdampak positif bagi mereka. Anggapan ini tentu saja dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan tersebut. Masyarakat lebih cenderung menikmati hasil positif jangka pendek, yang segera dapat dirasakan, dibanding kenikmatan atau hasil positif jangka panjang. Oleh sebab itu perlu dipelajari kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan Pulau Gag yang melandasi cara

2 Permanadewi, Sam, Joko Wahyudiono, dan Armin Tampubolon. 2017. Makalah Ilmiah Cebakan Nikel Laterit di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. hal. 55

(3)

berpikir dan berperilaku mereka. Seperti apakah kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat maritim di Pulau Gag?

Artikel ini ditulis dengan tujuan untuk menambah pengetahuan masyarakat mengenai kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dari masyarakat yang bermukim di kawasan konservasi Pulau Gag. Selain itu penulis juga ingin berkontribusi dalam mempublikasikan artikel ilmiah mengenai kemaritiman, untuk memperkaya sumber-sumber bacaan mengenai kemaritiman.

B. Metode Penulisan

Dalam penulisan artikel ini, penulis melakukan kajian pustaka dari jurnal ilmiah, laporan penelitian baik independen, perguruan tinggi, maupun individu. Dalam artikel ini tidak terdapat data primer, penulis hanya menyertakan data sekunder yang didapatkan dari kajian pustaka. Penulis kesulitan menyertakan data primer karena lokasi yang ingin dikaji sulit dijangkau penulis, kemudian penulis tidak memiliki kerabat atau relasi yang bermukim di pulau tersebut.

C. Pembahasan

Nama Pulau Gag berdasarkan mitologi masyarakat setempat berasal dari kata gag

(4)

oleh penduduk di Kepulauan Halmahera. Hal ini disebabkan karena pendatang pertama yang masuk ke daerah ini melihat begitu banyaknya teripang di perairan Pulau Gag. Pulau Gag sebelumnya merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan hanya digunakan untuk berkebun. Penduduk pertama Pulau Gag berasal dari Pulau Gebe yang awalnya datang untuk mencari dan membuka lahan pertanian (berkebun). Sebelumnya terdapat perkampungan kuno yang disebut Kampung Lama yaitu perkampungan yang ada pada masa awal kedatangan penduduk pertama. Kampung tersebut sekarang sudah ditinggalkan penduduk karena sebagian besar penduduk memilih bermukim di Kampung Gambir (Kampung Baru) yang lokasinya lebih strategis karena berdekatan dengan komplek perusahaan, sehingga fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat lebih dekat seperti dermaga, fasitas listrik dan air, sekolah dan kesehatan. Asal mula berkembangnya pemukiman di Pulau Gag dimulai pada saat kemenangan pasukan Trikora yang berdatangan sekembalinya Irian Jaya kepangkuan NKRI, pada tahun 1963. Kata Gambir berasal dari kata gembira dalam Bahasa Indonesia sebagai ungkapan rasa suka cita atas kembalinya Pulau Gag sebagai bagian wilayah Irian Jaya kepada NKRI. Kedatangan pasukan Trikora di Pulau Gag juga diikuti dengan kedatangan pendatang yang ingin mengadu nasib bekerja di pertambangan nikel. Eksploitasi nikel di Pulau Gag telah ada sejak jaman kolonial Belanda. Ketika Belanda meninggalkan Indonesia dan kembalinya Irian Jaya ke pangkuan RI, serta terjadinya nasionalisasi perusahaan milik Belanda pada tahun 1972, penambangan nikel dilanjutkan oleh PT. Pasifik Nikel (perusahaan PMA dari AS) sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pertambangan nikel dikelola oleh PT. Aneka Tambang (salah satu BUMN) yang kemudian melakukan kontrak kerjasama dengan PT. BHP Biliton (perusahaan PMA dari Australia) pada tahun 1995 dengan pembagian saham 3:1, yaitu 75% dimiliki oleh PT. BHP Biliton dan 25% dimiliki oleh PT Aneka Tambang. Dalam perkembangan selanjutnya PT. BHP Biliton menggandeng partner kerja Falcon Bridge (perusahaan penambangan PMA asal Canada) dengan kepemilikan saham 37% dari seluruh proyek nikel di Pulau Gag. Manajemen dan operasional pertambangan nikel di Pulau Gag selanjutnya dikelola oleh PT. Gag Nikel yang melakukan eksplorasi dan pengambilan sampel.4

Pada tahun 1999 PT. Gag Nikel mulai menghentikan kegiatan eksplorasinya bersamaan dengan keluarnya UU No 41 Tahun 1999 dan isu penetapan Pulau Gag sebagai

(5)

hutan lindung. Walaupun eksplorasi pertambangan sudah tidak dilakukan namun keberadaan perusahaan masih ada dan hanya melakukan kegiatan pengambilan sampel. Hal ini berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi Pulau Gag, karena terhentinya operasional pertambangan menyebabkan PHK pada sejumlah karyawannya, sehingga menambah pengangguran dan mengurangi perputaran uang tunai yang ada di Pulau Gag.5

Masyarakat menurut Koentjaraningrat iadalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kesatuan hidup manusia yang disebut masyarakat ialah berupa kelompok, golongan, komunitas, kesatuan suku bangsa (ethic group). Interaksi yang kontinu adalah hubungan pergaulan dan kerja sama antar anggota kelompok atau golongan, hubungan antar warga dari komunitas, hubungan antar warga dalam satu suku bangsa atau antar warga Negara bangsa. Adat istiadat dan identitas adalah kebudayaan masyarakat itu sendiri.6

Konsep kelompok itu misalnya kelompok nelayan. Kelompok nelayan adalah kelompok kerja produktif. Konsep komunitas itu mengacu kepada kesatuan hidup manusia dengan jumlah anggota besar dan keterikatan pada wilayah geografi tertentu seperti komunitas nelayan kota Makassar. Namun akhir-akhir ini juga ditemukan komunitas dimana komponen ruang tidak menjadi prasarat terbentuknya komunitas tersebut, seperti komunitas keagamaan. Dan konsep suku bangsa itu mengacu pada kesatuan hidup manusia yang memiliki kesamaan budaya dan dicirikan berdasarkan budaya tersebut, serta sadar akan kesamaan budaya yang meliputi sistem pengetahuan, bahasa, organisasi sosial, pola ekonomi, teknologi, seni, dan kepercayaan.7

Kemudian dengan mengacu pada konsep masyarakat yang telah dikemukakan sebelumnya, maka masyarakat maritim disebagai kesatuan hidup manusia berupa kelompok kerja (termasuk satuan-satuan tugas), komunitas sekampung atau sedesa, kesatuan suku bangsa, kesatuan administratif berupa kecamatan, provinsi, bahkan bisa merupakan Negara atau kerajaan, yang sebagian besar atau sepenuhnya menggantungkan kehidupan ekonominya secara langsung atau tidak langsung pada pemanfaatan sumber daya laut (hayati maupun

5 Ibid. hal. 162.

6 Tim Pengajar WSBM Universitas Hasanuddin. 2011. Himpunan Materi Kuliah Wawasan sosial Budaya Maritim (WSBM). hal.85.

(6)

non-hayati) dan jasa-jasa laut, yang dipedomani oleh kebudayaan dan dicirikan bersama dengan kebudayaan baharinya.8

Talcott Parson mengatakan bahwa kehidupan sosial itu harus dipandang sebagai sebuah sistem (social). Hal ini dimaksudkan bahwa kehidupan sosial harus dilihat sebagai sesuatu keseluruhan atau totalitas unsur-unsur atau bagian-bagian yang saling berhubungan dan memiliki ketergantungan satu sama lain dan berada dalam satu kesatuan.9

Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem sosial juga dapat didefinisikan sebagai suatu pola interaksi sosial yang terdiri dari komponen-komponen sosial yang teratur dan melembaga. Karakteristik dari sistem sosial adalah kumpulan dari beberapa unsur atau komponen yang dapat kita temukan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat tidak dapat dan tidak wajar hidup dengan sikap soliter dan tidak mau peduli pada sesamanya (lingkungan sosial) termasuk lingkungan budayanya.10

Berdasarkan data persebaran penduduk tahun 2009 di Pulau Gag itu terdapat sejumlah 633 jiwa yang termasuk dalam 133 kepala keluarga (KK), yang terdiri dari 345 orang pria dan 288 orang wanita. Jumlah penduduk prianya lebih banyak ketimbang penduduk wanita. Penduduk di Pulau Gag tersebar ke dalam empat wilayah Rukun Tetangga (RT). Pada wilayah RT satu terdapat sejumlah 137 jiwa yang termasuk dalam 28 KK, terdiri dari 73 orang pria dan 64 orang wanita. Pada wilayah RT dua terdapat sejumlah 131 jiwa yang termasuk dalam 26 KK, terdiri 72 orang pria dan 59 orang wanita. Pada wilayah RT tiga terdapat sejumlah 201 jiwa yang termasuk dalam 47 KK, terdiri dari 111 orang pria dan 90 orang wanita. Pada wilayah RT empat terdapat sejumlah 164 jiwa yang termasuk dalam 32 KK, terdiri 89 orang pria dan 75 orang wanita. Apabila ditinjau dari luas Pulau Gag yang mencapai 7.727 hektar, maka kepadatan penduduk adalah 0,08 orang per hektar, sehingga daerah ini termasuk dalam tingkat kepadatan yang sangat rendah. Jumlah penduduk yang mendiami suatu wilayah itu akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Jikalau semakin besar jumlah penduduk yang mendiami suatu wilayah maka akan semakin besar beban tanggungan ekonomi masyarakat. Apalagi jika sebagian besar penduduk yang berusia produktif itu tidak bekerja atau tidak mempunyai penghasilan. Jumlah

(7)

pendapatan masyarakat pada suatu wilayah akan mempengaruhi daya beli dan perputaran uang di daerah tersebut.11

Kemudian tingkat pendidikan masyarakat di Pulau Gag itu terbilang rendah, sebagian besar masyarakat Pulau Gag sejumlah 293 orang itu hanya sampai jenjang pendidikan sekolah dasar dan sebanyak 159 orang tidak bersekolah. Hal ini disebabkan karena akses masuknya pendidikan yang sulit sehingga pendidikan menjadi suatu hal yang mahal karena untuk dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi masyarakat perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk menempuh pendidikan di luar Pulau Gag. Yang sampai ke jenjang perguruan tinggi berdasarkan data yang diambil pada tahun 2009 dalam jurnal “Kondisi Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi: Studi Kasus Di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat” dari empat RT di Pulau Gag itu hanya mencapai sepuluh orang.12

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Pulau Gag itu menyebabkan kurangnya pemahaman mengenai makna penetapan Pulau Gag sebagai daerah konservasi sumber daya alam di masa mendatang. Kemudian dengan pendidikan yang relatif rendah masyarakat jadi kurang kreatif memikirkan peluang-peluang usaha sehingga masyarakat di Pulau Gag itu berharap banyak pada keberadaan lapangan kerja yang disediakan oleh perusahaan sector penambangan setempat tanpa mereka ketahui dampak negatifnya secara ekologis pada lingkungannya yang akan mempengaruhi kehidupan generasi mendatang.

Agama yang dipeluk oleh masyarakat di Pulau Gag hanya dua. Sebagian besar penduduk yang mendiami Pulau Gag itu memeluk agama Islam, yaitu sebanyak 611 orang. Kemudian selebihnya memeluk agama Kristen. Di Pulau Gag hanya terdapat dua buah fasilitas keagamaan berupa satu masjid dan satu gereja. Sangat penting mengetahui agama yang dipeluk oleh masyarakat. Karena agama juga turut berperan dalam mempengaruhi tata kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, pemanfaatan sumber daya alam di Pulau Gag itu dipengaruhi agama yang dianut masyarakat. Pada umumnya masyarakat lebih banyak memenuhi kebutuhan protein dari hasil laut, sehingga tidak mengganggu kehidupan jenis reptil maupun amphibi, karena dalam ajaran agama Islam jenis reptil maupun amphibi diharamkan untuk dimakan atau dikonsumsi. Kendatipun sebagian besar masyarakat di Pulau Gag adalah pemeluk agama Islam, namun masih juga menganut kepercayaan terhadap

(8)

hal yang magis. Ketergantungan masyarakat yang kuat terhadap alam menyebabkan masyarakat percaya adanya kekuatan-kekuatan lain di luar Tuhan yang lebih kecil namun berpengaruh terhadap kehidupan. Oleh sebab itu ritual-ritual adat masih kuat dilakukan oleh masyarakat untuk memperoleh dukungan keselamatan dalam kehidupan sehari-hari. Ritual yang berasal dari tradisi adat antara lain dilakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan siklus hidup seseorang seperti kelahiran, perkawinan dan kematian.13

Pengelompokan sosial yang terdapat di Pulau Gag itu berdasarkan kekuasaan atas tanah. Kepemilikan dan penguasaan tanah umumnya didominasi oleh penduduk asli Pulau Gag yang terdiri dari 6 marga (klen/keret) yaitu: Umsipyat, Umsandim, Magtublo, Magimai, Magbow dan Umlil. Kepemilikan tanah di Pulau Gag bersifat turun temurun dan tidak diperjual belikan. Pendistribusian hak atas tanah akan diberikan pada keturunan yang telah menikah. Pendatang yang telah berkeluarga akan diberikan tanah untuk tempat tinggal dan berkebun tetapi tidak mempunyai hak milik atas tanah. Keturunan penduduk asli Pulau Gag memiliki hak penuh atas penguasaan dan pemanfaatan atas tanah yang diberikan kepadanya. Kepemilikan dan hak penguasaan tanah yang terdapat di Pulau Gag akan mendorong kedatangan pendatang yang akan berpengaruh positif terhadap investasi dan menggerakkan roda ekonomi regional.14

Tanah adalah salah satu harta yang dapat diwariskan. Kepemilikan tanah yang ada di Pulau Gag umumnya diwariskan sesuai dengan hukum Islam, dimana laki-laki akan memperoleh hak yang lebih besar dari perempuan. Pengalihan hak dari orang tua kepada anaknya dilakukan ketika orang tua sudah meninggal dan anak telah berkeluarga. Selain diwariskan kepada keturunannya tanah di Pulau Gag juga diberikan untuk kepentingan umum (hibah), sesuai dengan hukum Islam hibah adalah pemberian yang dilakukan untuk kepentingan umum dengan harapan pemberi hibah akan mendapatkan pahala sepanjang tanah itu dimanfaatkan. Hibah tanah umumnya digunakan untuk bangunan masjid dan sekolah.15

Secara umum terdapat tiga jenis mata pencaharian utama masyarakat maritim di Pulau Gag, yaitu: nelayan, pegawai dan petani. Namun disamping mata pencaharian pokok tersebut, penduduk juga mempunyai mata pecaharian sampingan, seperti: berkebun, meramu

13 Ibid. hal.154. 14 Ibid.

(9)

sagu, membuat kopra dan berdagang. Mata pencaharian yang paling disukai adalah sebagai nelayan, kemudian yang kedua adalah melalui berkebun.16

Adapun teknik penangkapan ikan oleh masyarakat di Pulau Gag, antara lain dengan menggunakan jaring, menggunakan racun dari akar bore, tombak, busur dan anak panah, bahan peledak dan jerat ikan. Nelayan di Pulau Gag itu termasuk nelayan tradisional, belum menggunakan teknologi mutakhir dalam proses penangkapan ikan. Hal ini juga disebabkan oleh tingkat pendidikan yang masih kurang. Karena Tingkat pendidikan yang rendah dan desakan kebutuhan ekonomi menyebabkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang konservasi sumber daya alam, sehingga masyarakat mempunyai kebiasaan menggunakan bahan peledak dan bahan-bahan yang merusak kehidupan biota laut dalam menangkap ikan. Jadi cara-cara yang dilakukan itu masih ada yang kurang efektif, efisien dan belum ramah lingkungan. Selanjutnya karena minim teknologi untuk pengawetan ikan terkadang menyebabkan rendahnya harga jual ikan di tingkat nelayan. Harga jual selain dipengaruhi oleh kualitas ikan juga dipengaruhi oleh permintaan maupun penawaran di pasaran.17

Terdapat enam karakteristik sosial mencolok masyarakat maritim, terutama masyarakat nelayan dan pelayar, yakni: hubungan dengan dan ketergantungan secara fisik dan psiko-sosio-budaya pada lingkungan alamnya; pemanfaatan lingkungan dan sumber daya laut secara bersama; hubungan dengan dan kebutuhan secara mutlak pada kelembagaan lokal; hubungan dengan dan ketergantungan secara mutlak pada pasar lokal, regional, dan global; hubungan dengan dan ketergantungan pada berbagai pihak berkepentingan dari luar; dan mobilitas geografi yang tinggi dan jaringan kesukubangsaan yang luas. Diasumsikan bahwa terbentuknya karakteristik sosial masyarakat bahari tersebut terkondisikan oleh sifat lingkungan sumber daya laut pada satu sisi dan juga dipengaruhi secara dominan oleh budaya masyarakat maritime itu sendiri.18

Berdasarkan pemaparan data dalam jurnal penelitian kehutanan Wallacea yang berjudul “Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi: Studi Kasus Di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat” dapat diketahui karakteristik sosial masyarakat maritim di Pulau Gag, yaitu mereka memanfaatkan laut dan sumber daya alam di

16 Ibid.hal. 156. 17 Ibid.

(10)

lingkungannya secara kekeluargaan, dan kepemilikan perusahaan; masyarakat juga tergantung pada pengumpul di luar Pulau Gag, hasil laut maupun komoditas dagang yang lain mereka pasarkan kepada pengumpul dari luar Pulau Gag dan masyarakat daerahnya. Datangnya para pengumpul dari luar Pulau Gag yang datang secara periodik baik dari Pulau Gebe, Ternate maupun dari Bitung dengan menumpang kapal perintis yang masuk Pulau Gag setiap 3 minggu sekali. Demikian halnya pengumpul dari Sorong akan datang pada saat kapal perintis tersebut kembali dari Sorong untuk melanjutkan rutenya kembali ke Bitung. Sebagian besar transaksi jual beli yang dilakukan oleh masyarakat cenderung menggunakan sistem barter dengan standar harga pasaran, karena kebetulan para pemilik kios juga merupakan pedagang pengumpul/pengepul (colector). Masyarakat di Pulau Gag menggunakan sistem barter karena Perputaran uang di Pulau Gag sangat rendah sekali. Tidak ada pasar dan hanya terdapat beberapa kios yang menyediakan kebutuhan masyarakat. Pada umumnya masyarakat jarang sekali memiliki uang tunai, sehingga untuk memperoleh barang-barang yang dibutuhkan dari kios maka masyarakat akan berhutang dulu dan akan dibayar ketika memperoleh hasil baik dari nelayan, berkebun, membuat kopra atau meramu sagu atau dengan sistem barter.

D. Penutup

Jadi, kesimpulan dari artikel ini adalah ada banyak faktor yang mempengaruhi kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat suatu daerah, seperti tingkat pendidikan dan budaya masyarakat itu sendiri. Faktor sosial ekonomi dan budaya itu pun mempengaruhi bagaimana masyarakat setempat itu bersikap dan bagaimana sudut pandang mereka terhadap suatu masalah yang terjadi di lingkungannya. Contohnya pada masyarakat di Pulau Gag, karena kondisi ekonomi dan budayanya mereka lebih cenderung menerima dan setuju dengan adanya perusahan tambang, mereka tidak memikirkan dampak negatif jangka panjang pada kondisi ekologis Pulau Gag.

(11)

Daftar Pustaka

Hastanti, Baharinawati W. dan Triantoro, R. Gatot Nugroho. 2012. Kondisi Sosial Ekonomi Dan Budaya Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi: Studi Kasus Di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. Vol. I. No. 2. Hal 149-164. Dalam

https://media.neliti.com/media/publications/123676-ID-kondisi-sosial-ekonomi-dan-budaya-masyar.pdf. Diakses pada 21 November 2017.

Lasabuda, Ridwan. 2013. Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan Dalam Perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah Platax. Vol. I. No.2. ISSN: 2302-3589. Hal 92-101.

Permanadewi, Sam, Joko Wahyudiono, dan Armin Tampubolon. 2017. Cebakan Nikel Laterit di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Dalam http://buletinsdg.geologi.esdm.go.id/index.php/bsdg/article/view/BSDG%20Vol

%2012%20No%201%20Artikel%205/pdf. Diakses pada 21 November 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan responden yang merokok tetapi tidak terkena katarak, dari hasil wawancara bahwa penyebabnya karena usia responden (<50 tahun) dan faktor-faktor

Agar mahasiwa dapat membuat program memainkan file suara dengan format MIDI sebagai salah satu komponen

Sesuai dengan prinsip keterbukaan dalam negara demokrasi yang mengharuskan Penyelenggara Negara membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang

Hasil pengukuran dan analisis data pada Tabel 2 terlihat bahwa berat benih panen, berat benih saat polong pecah, berat benih kering dan berat benih saat terjadi

Selain menggunakan uji performa untuk mengetai keadaan pada jaringan di SMK N 1 Bancak seperti pada gambar 2, pengujian juga menggunakan pengujian menggunakan torch yang

Menurutnya, ada tiga asumsi dasar yang melandasi bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan (1) bahwa makhluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah laki-laki, bukan perempuan,

Oleh itu, kegagalan guru dalam mengajar sesuatu teori atau konsep fizik yang tidak disertakan dengan aktiviti-aktiviti yang melibatkan pelajar serta dihubungkaitkan

menyukai komik dalam waktu yang lebih lama juga memiliki kemampuan rekognisi emosi melalui ekspresi wajah yang lebih tinggi. Meskipun demikian, asumsi bahwa seseorang yang lebih