• Tidak ada hasil yang ditemukan

Epilog oleh: Noer Fauzi ~ 642 Biografi Singkat Mochammad Tauchid ~ 662

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Epilog oleh: Noer Fauzi ~ 642 Biografi Singkat Mochammad Tauchid ~ 662"

Copied!
681
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta

Pasal 2 :

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 72 :

1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(4)

M

OCHAMMAD

T

AUCHID

P

ENGANTAR

: P

ROF

. D

R

. E

NDRIATMO

S

OETARTO

STPN P

RESS

,

2009

XI. Macam-macam Kewajiban dan Beban Rakyat Berhubung dengan Hak Tanah dan Adat ~ 218

Bab 6 AKIBAT POLITIK AGRARIA KOLONIAL SERTA IKATAN ADAT BAGI PENGHIDUPAN DAN

KEMAKMURAN RAKYAT INDONESIA ~ 232

BAGIAN KEDUA

Bab 7 ZAMAN PENJ AJ AHAN J EPANG SAMPAI

SEKARANG ~ 255

I . Masalah Tanah di Zaman Penjajahan J epang ~ 255 I I . Masalah Tanah Sesudah Proklamasi Kemerdekaan ~ 259 I I I . Sengketa Tanah ~ 268

I V. Usaha Pemerintah dalam Mengatasi Keadaan dan Cara Penyelesaian Lain-lainnya ~ 296

Bab 8 DASAR-DASAR HUKUM DAN POLITIK AGRARIA DI MASA DATANG ~ 310

I . Riwayat Hukum Agraria di Indonesia ~ 311 I I . Persoalan Mengenai Dasar-dasar Hak Tanah ~ 335 I I I . Dasar-dasar Hukum dan Politik Agraria ~ 351 I V. Bagaimana Melaksanakan Dasar-dasar dan Tujuan ~ 361

a. Indonesia sebagai pulau-pulau ~ 363 b. Luas tanah dan kepadatan penduduk ~ 363 c. Macam-macam Kualitas Tanah untuk

Kepentingan Pertanian ~ 375

V. Syarat-syarat dan Dasar Pem baharuan ~ 376 a . Transmigrasi ~ 384

b . Industrialisasi ~ 396

VI . Pembaharuan Bentuk dan Cara-cara Pertanian ~ 398 VI I . Memelihara Kebaikan dan Kesuburan Tanah,

Arti Hutan bagi Manusia ~ 435

(5)

Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia

©2009 STPN Press, Yogyakarta

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Tjakrawala, Jakarta, 1952.

Diterbitkan kembali oleh STPN Press,

bekerjasama dengan Pewarta (Persaudaraan Warga Tani) Yogyakarta, 2009

Penulis : Mochammad Tauchid

Editor : Tim LIBRA

Layout & Cover : Eja ADesign

691 + xix hlm, 14 x 21 cm ISBN : 978-602-8129-56-5

Cetakan pertama, November 2009

Diterbitkan oleh:

Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Jl. Tata Bumi No. 5, Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta, 55293

Telp. 0274-587239 Fax. 0274-587138

TIDAK UNTUK

DIPERJUALBELIKAN

Bab 3 HAK TANAH DENGAN HAK-HAK ORANG ~ 60

I . Persewaan Tanah ~ 60

a . Persewaan Tanah Negeri ~ 63

b . Persewaan Tanah Milik Rakyat kepada Orang Asing ~ 74

II. Hak Pinjam ~ 90 III. Hak Pakai ~ 90

Bab 4 HAK TANAH BAGI WARGA ASING DI DAERAH SWAPRAJ A DI LUAR J AWA DAN MADURA ~ 91

I. Hak Konsesi ~ 94

Tanah Konsesi di Sumatera Timur ~ 98

I I . Konsesi untuk Perkebunan dan Pertanian Kecil di Daerah Sumatera Timur ~ 10 4

I I I .Erpacht buat Bangunan Perumahan ~ 10 6 I V. Hak Opstal ~ 10 6

V. Erfpacht di Daerah Swapraja di Luar J awa dan Madura ~ 10 8

VI . J aminan untuk Mendapatkan Tenaga Keperluan Eksploitasi Tanah ~ 114

Bab 5 HAK TANAH BAGI RAKYAT INDONESIA ~ 131

I . Hak Wilayah ~ 131

VIII.Macam-macam Corak dan Bentuk Hak Milik Tanah Rakyat di Daerah-daerah ~ 158

IX. Macam-macam Peraturan Mengenai Soal Tanah Berhubung dengan Adat di Daerah-daerah ~ 211 X. Pembagian Warga Desa Berhubungan dengan Hak

(6)

Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan

Nasional

Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) di

Yogyakar-ta, adalah Perguruan Tinggi Kedinasan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) dan

meru-pakan satu-satunya institusi pendidikan tinggi pertanahan di

tanah air yang berstatus milik negara. Lebih dari 3 (tiga) tahun terakhir 20 0 6-20 0 9 ini, STPN, utam anya berkat dukungan

pimpinan BPN RI, telah mampu menggiatkan beragam upaya

pengembangan diri seraya berobsesi menjadi salah satu insti-tusi yang berpredikat pusat unggulan (center of excellent)

da-lam ranah pendidikan dan kajian-kajian pertanahan/ agraria.

Dalam konteks ini STPN selain mengemban amanah dalam bidang pendidikan, penggem blengan, dan pengadaan

kader-kader pertanahan dan agraria yang handal untuk keperluan

lingkungan BPN RI; ia juga didorong untuk mampu menjadi

salah satu institusi akademis yang penting dan berwibawa da-lam memproduksi pengetahuan mutakhir tentang pertanahan

dan agraria (un tuk selan jutn ya akan disebut agraria saja). Kata Pengantar STPN ~ v

Kata Pengantar Keluarga ~ xi Kata Pengantar Penulis ~ xiv

BAGIAN PERTAMA

MASALAH AGRARIA DI INDONESIA ~ 3

Bab 1 KEKUASAAN RAJ A ATAS TANAH ~ 15

I. Kekuasaan Raja-raja atas Tanah:Masa Sebelum Tahun 187 ~ 15

II. Zaman Feodalisme Baru: Masa Sesudah Tahun 1870 ~ 22

Bab 2 HAK TANAH BAGI BANGSA ASING ~ 31

I . Hak Tanah yang Disertai dengan Kekuasaan Kenegaraan ~ 32

I I . Hak Tanah bagi Orang Asing yang tidak Disertai Kekuasaan Kenegaraan ~ 45

(7)

Dalam ungkapan yang lebih beraroma sloganistik ’STPN adalah

Cermin dan sekaligus Pembaharu BPN RI’.

Sebagai jalan untuk memenuhi hasrat tersebut STPN

an-tara lain sedan g dan telah m em fasilitasi pen erbitan -pen

er-bitan karya-karya keagrariaan terbaik yan g dihasilkan oleh kalangan pakar, akademisi, scholar, pegiat, termasuk seniman

melalui STPN Press. Mereka ini datang tidak saja dari kalangan

internal staf pengajar STPN sendiri, nam un m encakup pula mereka yang tergabung dalam associate scholars, mitra

jeja-ring, dan kalangan luas lainnya.

Dimulai pada tahun 20 0 7, STPN Press mulai meluncurkan satu buku berjudul ’Pemberdayaan Setengah Hati’ ditulis oleh

rekan Sutaryono staf pengajar STPN yang mendasarkan

sub-stansi karangannya pada hasil riset studi m agisternya pada disiplin sosiologi. Sementara di awal 20 0 9 STPN Press secara

berun tun m elun curkan dua buku, m asin g-m asin g bertajuk

’Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad ke 21’ dan

’Refor-m a Agraria: Dina’Refor-m ika Aktor dan Kawasan’. Kedua buku ini berisi naskah-naskah terkini (tahun 20 0 0 -an) yang ditulis oleh

para pakar agraria ternama berkebangsaan asing yang

kemu-dian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Namun sebelum dibukukan naskah-naskah tersebut

men-jalani suatu proses yang terbilang istim ewa karena

didisku-sikan lebih dahulu secara intensif melalui suatu forum diskusi

yan g d isebu t ’Lin gkar Belajar Ber sam a Refor m a Agr ar ia’ (LIBBRA). Forum diskusi ini m ula-m ula dirintis oleh STPN,

Lembaga Karsa di Yogyakarta, dan Sajogyo Institut di Bogor

pada tahun 20 0 8,

Gelar forum Diskusi LIBBRA (Cross Border Learn in g

Circle of Agrarian Reform ) dipandu rekan Noer Fauzi, kini

H in d ia Bela n d a , b a ga im a n a p r a kt ekn ya d en ga n sega la

akibatnya. J uga hak-hak tanah menurut hukum adat dengan segala peraturan yan g m en gikutin ya, un tuk sekedar dapat

m em b er i ga m b a r a n ya n g jela s, a p a ya n g d ija la n ka n

Pem er in tah H in d ia Belan d a d u lu , agar d alam u sah a kita m en yelesaikan soal in i m em pun yai gam baran , m en getahui

pokok pangkal yang menimbulkan keadaan semacam ini.

Mengingat bahwa soal agraria itu m erupakan soal yang m eliputi seluruh penghidupan, m aka persoalannya tidak

ha-nya terbatas kepada soal hukum dan politik, tetapi

soal-soal teknis menjadi juga persoal-soalan yang bersangkutan. Dengan uraian dalam buku ini Penulis berharap akan

da-pat m enyum bangkan pikirannya dalam soal yang m engenai

salah satu tiang penghidupan Rakyat Indonesia, terutama bagi kebahagiaan Tani Indonesia.

Bogor, J anuari 1952

(8)

kandidat doktor pada University of California, Columbia, AS

yang kompetensi akademik dan pergumulan praksis lapangan-n ya sulapangan-n gguh sarat. Rekalapangan-n Noer Fauzi ilapangan-n i pula yalapangan-n g secara

khusus kami minta untuk menulis bagian epilog dari buku M.

Tauchid yang kini ada di hadapan kita. Dapat dicatat diskusi-diskusi LIBBRA sepanjang tahun 20 0 8 diselenggarakan secara

bergilir di berbagai kampus, diawali dari STPN di Yogyakarta,

lalu diikuti di IPB Bogor, UIN di Yogyakarta, UIN di J akarta, UGM di Yogyakarta, dan UI Depok, sesuai dengan latar

bela-kang institusi asal sebagian partisipannya.

Satu buku berikut yang telah diluncurkan STPN berjudul: ’Reson an si Agr ar ia’: Mem per in gati H ar i Agr ar ia Nasion al

20 0 8’, yang berisi kum pulan tulisan terbaik peserta sayem

-bara karya tulis ilm iah m em peringati hari Agraria Nasional ke 48 tahun 20 0 8. Sementara itu, sejumlah buku agraria

lain-nya lebih dulu diusung oleh STPN Press bersam a sejum lah

institusi dalam dan luar negeri. Salah satunya dikarang Prof.

Sediono MP Tjondronegoro (Ketua Dewan Penyantun STPN yang juga Guru Besar Emeritus IPB Bogor). Salah satu buku

tersebut berjudul ’Negara Agraris Ingkari Agraria’. Satu buku

lain yang sudah diterbitkan oleh STPN Press berjudul ’Tanah Untuk yang Tak Bertanah’: Perjalanan Landreform pada Era

Dem okrasi Terpim pin 1960 -1965’, karan gan salah seoran g

pegiat LIBBRA, Andi Achdian.

Karya-karya lain yang telah terbit dan diluncurkan saat ran gkaian acara wisuda STPN Agustus 20 0 9, adalah buku

’Keistim ewaan Yogyakar ta: Yan g Diin gat d an Dilu pakan ’,

karan gan para sejarawan m uda yan g dipim pin oleh rekan Ahmad Nashih Luthfi yang meninjau keistimewaan DIY dari

p er sp ekt if p er t a n a h a n . Ka r ya la in d en ga n ed it or J u liu s

Kata Pengantar Penulis

Masalah agraria sebagai masalah pokok bagi penghidupan

Bangsa dan Rakyat Indonesia, sekarang sudah m enjadi

soalan umum, persoalan masyarakat. Tidak saja menjadi persoalan , tetapi d i san asin i su d ah m en im bu lkan kejad ian

-kejadian yang m enyedihkan.

Persoalan agraria adalah persoalan hidup Rakyat Indo-n esia.

Politik pen jajahan Belan da di In don esia dapat digam

-barkan terutam a dengan politik agrarianya.

Rakyat langsung merasakan akibat politik Agraria

Kolo-nial Belanda berupa kemiskinan dan kesengsaraan.

Sesudah Bangsa Indonesia lepas dari penjajahan seha-rusnya segera m enyelesaikan lebih dulu m asalah agraria.

Pengetahuan tentang politik agraria di Indonesia belum

menjadi pengetahuan bagi umum. Pengetahuan itu selama ini

baru dimiliki terutama oleh orang-orang yang akan memper-gunakan politik itu bagi kepentingannya.

Kam i sajikan dalam buku in i sekedar kupasan ten tan g

(9)

Sem biring (dosen STPN) m enghasilkan buku bertajuk ’10 0 0

Peribahasa Daerah Tentang Tanah/ Pertanahan di Indonesia’ yang digali dari khazanah kekayaan budaya suku-suku bangsa

di berbagai pelosok tanah air.

Buku berikut yang sedang ditekuni penyelesaiannya ada-lah ’Mazhab Agraria Yogya’ dan ’Potret Perjuan gan Bapak

Hukum Agraria Prof. Boedi Harsono’. Karya-karya tulis di atas

hanyalah sebagian contoh dari sejumlah kajian-kajian agraria lain yang telah diterbitkan dan diluncurkan oleh STPN Press

secara m andiri atau bersam a dengan m itra jejaringnya yang

memiliki minat dan kepedulian yang sama dalam soal agraria. Tentu tidak boleh dilupakan 2 (dua) buku lain yang telah

ditulis oleh Gunawan Wiradi, seorang pemikir sekaligus pegiat

agraria senior yang sekaligus anggota Dewan Penyantun STPN. Buku tersebut masing-masing berjudul ’Ranah Studi Agraria,

Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraris’ dan ’Masalah

Agra-ria dan Dinamika Pelaksanaan Reforma AgraAgra-ria’. Buku-buku

tersebut merupakan hasil suntingan atas artikel-artikel lepas beliau yang sebelumnya pernah diajukan dalam berbagai

fo-rum penting dan kini m enjelm a m enjadi suatu bacaan yang

mengalir sehingga enak dibaca dan sekaligus pencerah kritis bagi kita yang peduli masalah agraria.

Hal yang hendak kami garisbawahi dari gambaran di atas

adalah, karena naskah-naskah publikasi tersebut lahir dibidani

atau ikut diusung oleh STPN (yang notabene merupakan pergu-ruan tinggi kedinasan di lingkungan BPN RI), maka langsung

maupun tidak ia membawakan suatu isyarat pula tentang ’apa,

bagaimana, dan sampai di mana capaian pemikiran-pemikiran kritis agraria hidup dan bergelora di kalangan aparat BPN RI

dewasa ini.

bitkan kembali buku ini. Melalu prakarsa ketuanya, Prof. Dr.

Endriatmo Soetarto, dan berbagai pihak yang terlibat di STPN, buku ini dapat tersaji ke hadapan pembaca. J uga kepada Bung

Tri Chandra AP., Bung Moh. Shohibuddin, serta Bung A. N.

Luthfi dan Bung Amin Tohari yang menambah buku ini dengan sajian biografi penulis.

Semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca budiman.

(10)

Dengan ungkapan yang lebih spesifik ia mengisyaratkan

juga tentang sejauhmana insan-insan BPN RI telah turut ber-proses m em bangun perspektif dan wawasan pikirnya untuk

secara kritis memahami, memaknai, dan mengkonstrusikan

dis-kursus mutakhir mengenai berbagai problema agraria di berbagai aras (mikro, meso, maupun makro), khususnya yang mengimbas

pada nasib lapisan lemah yang merupakan mayoritas penduduk.

Lalu dapat pula digali pertanyaan sejauhmana kontribusi dari keselu r u h an gam bar an tad i bagi p en ajam an p en yu su n an

kebijakan pertanahan yang dikeluarkan pem erintah, dalam

hal ini oleh para pengambil keputusan di lingkungan BPN RI. Dalam konteks itu buku karya M. Tauchid yang

publika-sinya kali ini diemban dan dipercayakan kepada STPN Press

dalam edisi ’cetak ulan g’ sepatutn ya juga perlu dibaca dan ditafsirkan dalam konteks meneguhkan penyikapan kritis kita

di hadapan dinamika problema keagrariaan yang ada di sekitar

kita. Muaranya tak lain untuk memastikan keberpihakan setiap

diri kita para pembaca, termasuk jajaran birokrasi agraria (me-m inja(me-m istilah rekan Noer Fauzi) dala(me-m perjuangan kolektif

m em ban gun keIn don esiaan yan g m en yokon g pen guasaan

dan pengusahaan sumber-sumber agraria bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat (amanat fasal 33 UUD 1945).

Catatan pokok lain atas buku M. Tauchid (diterbitkan

per-tam akali tah u n 1952) ad alah , ia secar a jeli telah ber h asil

m en yin gkapkan secara teran g-ben deran g bagaim an a keru-sakan struktural telah terjadi pada fondasi pokok kehidupan

mayoritas rakyat (desa) akibat politik agraria yang eksploitatif

dalam rentang waktu yang panjang sejak masa kolonial sampai dengan dekade awal pasca proklamasi kemerdekaan

(mengi-kuti periode terbitan buku tersebut). Kom plikasi sosial yang bahwa buku yang sarat dengan data-data ini akan bisa dipakai

untuk kajian-kajian agraria di kem udian hari. Nam un harus kam i akui, kam i tidak m em perkirakan bahwa oleh ban yak

orang buku tersebut ternyata juga dianggap sebagai ibu dari

buku-buku tentang agraria yang ditulis orang kemudian. kami juga tidak memperkirakan bahwa buku ini telah memberi

do-rongan dan inspirasi bagi mereka yang bekerja dan berjuang

di bidang agraria. Hal ini sungguh m erupakan penghargaan yang sangat tinggi bagi penulisnya, dan m erupakan

kebang-gaan bagi kam i, anak-anak, cucu-cucu dan buyut-buyutnya.

Lebih dari itu, bagi kam i, penerbitan kem bali buku ini menunjukkan bahwa masalah agraria masih merupakan

ma-salah yang sangat penting bagi kehidupan kaum tani di

Indo-n esia, yaIndo-n g m asih terus diperjuaIndo-n gkaIndo-n oleh baIndo-n yak oraIndo-n g. Karena itu, bagi kami, penerbitan kembali buku ini juga

me-nunjukkan besarnya kom itm en STPN dan Pewarta terhadap

nasib dan perjuangan kaum tani tersebut. Mudah-m udahan

buku masalah agraria, karangan ayah, kakek dan buyut kami ini bisa memberikan kontribusi bagi perjuangan mereka itu.

Secara khusus, kami ucapkan terimakasih dan kami

beri-kan penghargaan yang tinggi kepada Bung Rudi Casrudi, Mbak Nana Nirwana Hidayati, Bung Dodi Ujiharyono, Bung Yudi

Irandha, Bung Iwan Nurdin. J uga kepada Bung Saiful Bahari

d an Bu n g H en r i Sar agih yan g selain m en jad i p en d or on g

diterbitkannya kembali buku ini, mereka adalah juga pejuang pem baharuan agraria yang sejati, yang tidak henti-hentinya

dan secara kon sisten m em perjuan gkan kepen tin gan kaum

tan i.

Kami juga menyampaikan terima kasih setulusnya kepada

(11)

er-lahir daripadanya sekarang kita kenal dalam istilah ’kemiskinan

agraria yang akut dan kronis’ karena absennya kebijakan pem-baharuan agraria. Akibat lanjutannya sama-sama kita ketahui

telah memunculkan semakin intensif berbagai perkara, sengketa,

dan konflik agraria yang merebak di berbagai pelosok tanah air. Dengan begitu pertanyaannya sekarang adalah, ke mana

gerangan kecenderungan yang sedang dan akan ditarik oleh

kebijakan politik kita dari ’segitiga abadi’ hubungan agraria yang di dalam n ya teren tan g ketegan gan -ketegan gan , m en cakup

dalam hal ini: land, conflict and Justice’ (meminjam judul buku

Avery Kollers, 20 0 9). Akankah m engarah pada m enguatnya harapan lahirnya struktur penguasaan, pemilikan, pengelolaan,

dan pem anfaatan sum ber-sum ber agraria yang lebih m erata

dan berkeadilan; atau sebaliknya, justru memicu pada meluas dan menajamnya konflik-konflik agraria yang ada di sekitar kita.

Atas semua jerih payah dan kerja keras para pihak yang

karena keterbatasan ruang tidak dapat disebutkan satu per

satu namanya di sini, kami mengucapkan banyak terimakasih disertai pen ghargaan tin ggi sehin gga m em un gkin kan ram

-pungnya penerbitan buku ’cetak ulang’ ini. Demikian pula

kepa-da keluarga besar alm arhum bapak M. Tauchid yan g telah merestui terbitnya buku klasik agraria ini, dan PEWARTA atas

kerjasamanya, tak lupa kami ucapkan banyak terimakasih.

Ha-rapan kami dengan keberadaan buku ini ia dapat menjadi salah

satu penyumbang penting dalam pengayaan sumber rujukan kajian agraria berbahasa Indonesia.

Yogyakarta, Oktober 20 0 9

Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA.

Kata Pengantar Keluarga

Pertama-tama, keluarga besar mengucapkan terimakasih

dan penghargaan yang tinggi kepada Sekolah Tinggi Perta-nahan Nasional, Yogyakarta dan bekerjasama dengan Pewarta

yan g telah m en gam bil in isiatif un tuk m en erbitkan kem bali

buku masalah agraria yang ditulis oleh Moch. Tauchid, ayah, kakek dan buyut kami.

Rasa terimakasih dan penghargaan ini juga kami

sampai-kan kepada semua pihak yang telah memungkinsampai-kan penerbitan kembali buku ini, yaitu kepada mereka yang ikut mendukung

dan mendorong gagasan untuk menerbitkannya, sampai pada

mereka yang bekerja secara langsung untuk benar-benar bisa

menerbitkannya secara nyata, yaitu mereka yang telah bekerja keras untuk menulis kembali (karena buku ini ditulis dengan

ejaan lama), mengoreksi, mengedit, mencetak dan kemudian

m en gedarkan n ya.

Sejak awal kami paham dan yakin bahwa buku masalah

agraria ini pasti akan bermanfaat bagi mereka yang menaruh

(12)

1. H ak tan ah yan g disertai hak dan kekuasaan ken egaraan

(ov erheidsrechten) yaitu yang berupa Tanah Partikelir. 2 . H ak t an ah yan g t id ak d iser t ai keku asaan ken egar aan ,

dengan mendapat hak benda (zakerlijke rechten) yang kuat.

Ada kalanya disertai jaminan seperti mendapat kekuasaan kenegaraan juga, seperti dengan adanya punale sanctie

3 . H ak tanah dengan hak persorangan (persoon alijke

rech-ten).

Masing-masing hak yang tersebut di atas membawa

im-plikasi sendiri-sendiri. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan

pada bab berikut ini.

I. Hak Tanah yang Disertai dengan Kekuasaan Kenegaraan

a. Tanah Partikelir

Tanah Partikelir itu terdapat di daerah J akarta, kota J

a-karta, Bogor, Surabaya, dan Kediri. Milik orang-orang Tiong-hoa, Arab, atau orang asing lainnya. Ada yang menjadi milik perseorangan, ada pula yang milik Badan Hukum.

Asal tanah ini ialah tanah hak ulayat yang sejak zam an kompeni (VOC) dan zaman Inggris, terutama pada tahun 1627

sampai tahun 1829 yang dijual oleh kompeni dan Pemerintah Belanda serta Inggris kepada orang-orang partikelir. Terka-dang juga dijual kepada famili, dan terutama pada waktu

peme-rintah Hindia Belanda sangat kekurangan uang, berturut-turut terjadi sebagai berikut:

a . pem berian tanah Eigendom dengan tidak bayaran (1627-168 5);

(13)

Soal Agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan

penghi-dupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi m anusia.

Perebutan tanah berarti perebutan m akanan, perebutan

tian g hidup m an usia. Un tuk in i, oran g rela m en um pahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan

hidup selan jutn ya. Pujan gga ilm u jiwa, Freud, m en gatakan

bahwa soal pokok hidup manusia ialah mempertahankan hi-d u p hi-d a n m em p er t a h a n ka n t u r u n a n (z elf b eh ou d d a n

soortbehoud). Untuk mempertahankan hidup, orang berjuang guna m endapatkan m akanan, dan untuk m em pertahankan

kekalnya keturunan orang membela keluarga, anak-isteri dan b a n gsa n ya . Per ju a n ga n b er eb u t m a ka n a n d a n m em b ela

turunan adalah perjuangan hidup manusia di dunia ini.

Peperangan sejak zam an purbakala hingga zam an yang m odern ini, tidak lain untuk berebut tanah dan m em

perta-hankan keturunan. Sejak zaman purbakala, ketika orang masih

(14)

berakhir den gan pen yerahan tan ah dan hasiln ya dari yan g

kalah kepada yang menang.

Orang tidak segan menumpahkan darah dan

mengorban-kan nyawanya untuk sebidang tanah dan untuk wanita (oleh

laki-laki) atau untuk laki-laki (oleh wanita), sehingga tidak salah ketika m uncul adagium yang berbunyi “sany ari bum i

sadu-m uk batuk, ditohi tekaning pati”.

Siapa menguasai tanah, ia menguasai makanan

Bagi Indonesia, soal tanah adalah tiang dan sumber bagi

penghidupannya. Hasil tanah Indonesia adalah pokok

peng-hidupan bagi rakyat Indonesia. Dan karena hasilnya yang besar dan berharga tinggi itulah yang menarik kaum penjajah untuk

menguasai tanah di negeri ini, dengan tujuan mengambil

hasil-nya bagi kepentingan hiduphasil-nya (penjajah).

Penyerahan tanah dari bangsa Indonesia kepada

penja-jah, bukan penyerahan dengan suka rela atau keikhlasan, tetapi

p en yer ah an yan g ber laku sesu d ah ber gu lat d an ber ju an g den gan pen gorban an darah dan jiwa. Tidak pern ah terjadi

pen yerahan sebidan g tan ah oleh ban gsa In don esia kepada

kaum pen jajah berjalan den gan dam ai. Pen yerahan terjadi setelah kekuatan habis untuk bertahan, dengan rasa getir dan

m engandung dendam .

Siapa menguasai tanah, dialah yang menguasai makanan

Untuk menguasai tanah ini, pemerintah jajahan

menye-diakan serdadu dengan segala perlengkapannya untuk menjaga

tanah agar jangan direbut lagi kembali oleh yang berhak.

(15)

statistik yang tercantum pada tabel di bawah ini. Tabel

terse-but m enggam barkan bagaim ana perbandingan antara keka-yaan negara yang dihasilkan dari tanah dengan kekakeka-yaan dari

hasil lainnya. Dari angka-angka tersebut orang dapat

menge-tahui bahwa hasil dan kekayaan Indonesia yang besar adalah hasil pertanian.

Jumlah ekspor hasil pertanian dari Jawa dan luar Jawa, berat dan harganya

-

.

-

Di pasar dunia, hasil bumi Indonesia merupakan barang

yan g pen tin g, dan san gat dibutuhkan oleh sem ua oran g di seluruh dunia. Barang-barang yang di ekspor tersebut

terma-suk barang-barang yang paling dibutuhkan di seantero dunia

dan jum lahnya cukup besar di banding negara-negara lain.

(16)

auchid

1938*) 1947*) 1948 1949 1950 1950 dlm %

th ‘38

Jumlah golongan I 8.725,43 934,46 4.625,14 6.900,52 6.886,86 78,9

Jumlah golongan I, tidak termasuk minyak tanah dan hasil-hasilnya]

2.658,04 162,71 775,64 1.208,25 992,36 37,3

II. Hasil-hasil terutama diusahakan anak negeri

Balur (kotor) 5,54 1,57 2,48 1,91 3,29 59,4

(17)

7

Jumlah golongan II 1.807,98 253,50 494,51 658,20 1.104,38 61,1

Jumlah golongan I dan II

Jumlah ekspor**) 10.994,43 1.213, 5.185,32 7.648,91 8.200,78 74,6

Jumlah ekspor Indonesia tidak termasuk minyak tanah dan hasil-hasilnya

4.927,04 442,90 1.335,82 956,64 2.306,28 46,8

*) : Angka-angka tertentu

(18)

auchid [dalam jutaan rupiah, termasuk pendapatan bea keluar]

1938*) 1947*) 1948 1949 1950 1950 dlm %

th ‘38

Jumlah golongan I 473,00 168,92 640,87 1.011,27 1.337,28 282,7

Jumlah golongan I, tidak termasuk minyak tanah dan hasil-hasilnya]

309,60 106,69 380,85 599,07 798,59 257,9

II. Hasil-hasil terutama diusahakan anak negeri

(19)

9

Jumlah golongan II 182, 159, 368, 421, 1.336, 732, 189

Jumlah golongan I dan II

Jumlah ekspor**) 687, 339, 1.040, 1.477, 2.741, 399, 17

Jumlah ekspor Indonesia tidak termasuk minyak tanah dan hasil-hasilnya

523, 276, 780, 1.065, - 420, 175

*) : Angka-angka tertentu

(20)

Minyak tanah dan hasil-hasilnya Kopra

Karet Teh Tembakau Timah Putih dan Bijinya

Minyak sawit dan Biji Sawit

Gula

1928 1938

1950 1949

(21)

Bagian besarnya ekspor hasil bumi Indonesia di dunia

An gka-an gka ter sebut di atas dapat ber bicar a sen dir i bahwa begitu pentingnya kedudukan Indonesia sebagai negeri

agraria di tengah-tengah dunia. Tetapi, bagaimanapun

besar-nya hasil kekayaan bumi dan alam Indonesia, terbesar-nyata belum bisa m em berikan kem akm uran bagi rakyatnya, sebab

keku-asaan tidak ada pada rakyat.

Dah ulu kekuasaan tan ah dipegan g oleh raja, h asiln ya

untuk raja, makanan dikuasai oleh raja dan kaki tangannya dan rakyat tetap miskin. Dari tangan raja Indonesia, tanah

diram-pas oleh raja Belanda, makanan dan penghidupan tetap saja

dikuasai oleh penjajah. Alhasil, rakyat masih tetap sengsara. Kekayaan In don esia dari h asil pertan ian seperti yan g

disebutkan dalam angka-angka di atas, tidak menjadi kekayaan

rakyat, karena politik tanah masih dipegang oleh kaum

penja-jah, tidak di tangan rakyat. Rakyat hanya alat untuk mengha-silkan sesuatu dari tanah, tetapi hasilnya dikuasai orang lain.

Rakyat tetap saja hidup menderita di atas tanahnya yang subur

dan kaya. Rakyat kelaparan di atas tim bun an h asil bum i. Rakyat miskin di atas kekayaan alam yang melimpah-limpah.

(22)

Keka ya a n a la m d a n b u m in ya b elu m b er a r t i u n t u k

r a kya t n ya . H a sil ya n g b er t im b u n -t im b u n b elu m b er a r t i kenyang bagi rakyat. Hal ini dapat dicari dari pangkal

pokok-nya, yakni politik tanah atau politik agraria, tidak ditujukan

untuk kemakmuran rakyat. Hasil tanah tidak untuk rakyat. Bagi Belanda dan kaum pemodal asing lainnya, kekayaan

Indonesia yang berlimpah itu, betul-betul merupakan sumber

kekayaan. Hingga 15 % dari penghasilan nasional Belanda ber-asal dari Indonesia. Penghasilan tersebut berber-asal dari

keun-tungan dan laba modalnya yang ditanamkan di sini.

In don esia ben ar-ben ar m en jadi gan tun gan hidup bagi Belanda, sebagaim ana yang dikatakan oleh Menteri Belanda

Baud; “Java w as de kurk, w aarop Nederland dreef”.

Kekayaan nasional Belanda sebesar 25% ditanam kan di In don esia. Terutam a di lapan gan perkebun an , yan g m

eru-pakan 75% dari modal seluruhnya yang ditanamkan di

Indo-nesia, di samping modal Inggris, Perancis, dan Belgia 19% dan

Am er ika 3%. Pen an am an m odal Belan da sebelum per an g dapat dilihat dari angka-angka di bawah ini :

(23)

Dengan laba dan keuntungan yang didapat tiap-tiap tahun

ditaksir :

Kekayaan Indonesia dari bumi dan alamnya yang sebesar

itu tidak untuk rakyat. Kalau kaum modal dapat menghitung keuntungan dari sini tiap-tiap tahun dengan berbilang juta

dan ratus juta rupiah, maka rakyat Indonesia mendapat hasil

berupa: “kemiskinan, kelaparan, buta huruf, dan kebodohan”. Pembagian kekayaan itu, pada 1936 dapat diterangkan sebagai

berikut:

Baik sistem nasional feodalism e maupun sistem kolonial kapitalisme pada pengelolaan tanah tetap saja mengakibatkan

kesengsaraan bagi rakyat.

Dalam buku ini selanjutnya akan diuraikan bagaim ana politik agraria dari zaman ke zaman. Penelusuran dalam buku

(24)

ini akan dim ulai dari zam an kekuasaan raja-raja Indonesia

sampai ke zaman yang terakhir. Selanjutnya, bagaimana kedu-dukan rakyat dalam soal hukum tanah dan bagaimana

(25)

KEKUASAAN RAJA ATAS TANAH

I. Kekuasaan Raja-raja atas Tanah: Masa Sebelum Tahun 1870

Pada zaman kekuasaan raja-raja, hukum tanah yang

ber-dasar sistem feodalisme berlaku di beberapa daerah di seluruh Indonesia. Yang m endasari sistem ini adalah:

1. tanah adalah milik raja;atau raja adalah pemilik tanah dalam

kerajaan n ya,

2 . rakyat adalah milik raja juga, yang dapat dipergunakan

un-tuk kepentingan dan kehorm atannya.

Di daerah Kerajaan Mataram yaitu Surakarta dan Yogya-karta sekarang, serta daerah-daerah sekelilingnya, dulu

dinya-takan bah wa tan ah ad alah kep u n yaan Su ltan d an Su n an

(kagungan dalem). Rakyat hanya sebagai pem aro (

deelbou-w er) dan hanya berhak meminjam (wewenang anggaduh). Di Gorontalo, pada hari penobatan Raja, bate-bate

(kepala-ke-pala adat) menyerukan ucapan di muka raja: “Angin, api, air,

(26)

Paduka”. Begitu juga di daerah-daerah lainnya di seluruh

Indo-nesia, di mana raja-raja berkuasa dan memerintah, maka sega-la isi negerinya (terutama tanah) dianggap kepunyaan mutsega-lak raja.

Tanah kepunyaan raja diberikan kepada

pegawai-pega-wainya yang dipercaya yang harus menyerahkan bakti. Tanah-tan ah itu lalu dibagikan lagi kepada pegawai di bawahn ya

untuk seterusnya dikerjakan oleh rakyat tapi dengan beberapa

keharusan:

a. Menyerahkan Separo Hasilnya

Sebagai kebiasaan, raja yang ditaklukkan harus

mengan-tar upeti, yang dalam bahasa J awa terkenal dengan nama bulu

bekti (bulu=hasil, wulu wetu; bekti=bakti; bulu bekti = bakti berupa hasil bumi); ngaturaken bulu bekti, peni-peni raja peni,

guru bakal guru dadi, glondong pengareng-areng (mengantar upeti, berupa buah-buahan yang lezat, barang dan bahan yang

sudah jadi, bahan-bahan kayu yang m asih glondongan dan

yang sudah menjadi arang). Biasanya bulu bekti ini diteruskan dari raja-raja yan g ditaklukan yan g harus m en gan tar upeti

kepada raja penakluk dan menyerahkan beban upeti itu kepada

r akyatn ya.

b. Harus Bekerja untuk Raja dengan Cuma-cuma

Hal ini harus dipenuhi sebagai kewajiban dan tanda

bak-tinya kepada raja atau disebut dengan heerendienst.

Heeren-dienst ini kemudian oleh pemerintah Hindia Belanda disyah-kan sebagai kewajiban rakyat yang harus dilanjutdisyah-kan yang

ke-mudian diatur oleh Undang-undang. Selain heerendienst

(27)

pancendiensten, janggolan, kuduran di J awa, pajak kepala

(sebagai gantinya heerendienst) di Yogyakarta (sekarang su-dah dihapuskan), pajak jalan di Sulawesi dan daerah-daerah

lainnya di Indonesia Tim ur, rodi di Sum atera dan lain-lain

tem pat, pin on tol saw an g di Min ahasa dan m acam -m acam lagi sebagai terusan heerendienst zaman kekuasaan raja-raja.

Kemudian di J awa disyahkan oleh Inl. Gemeente Ordonantie

(Stbl. 190 6 no. 83 yang berturut-turut diubah dan ditambah p ad a t ah u n 1910 , 1913, d an 1919). Rod i yan g d it et ap kan

umumnya 52 hari dalam 1 tahun, namun pada praktiknya

sela-lu lebih karena tiap-tiap pegawai selasela-lu meminta tenaga rakyat lagi hingga melebihi ketentuan waktu itu untuk kepentingan

dan kehorm atan n ya.

Masyarakat feodalism e m erupakan wajah perbudakan dalam hal ekonomi, politik, dan sosial. Wajah perbudakan ini

ditunjukkan dengan dikuasainya tanah oleh raja. Rakyat

di-minta mengerjakan dengan kewajiban menyerahkan hasilnya

kepada raja. Rakyat adalah alat untuk kekuasaan dan kehor-matan bagi yang berkuasa. Hukum dipegang oleh orang-orang

yang berkuasa dan rakyat untuk raja.

Perbudakan ini diselubungi dengan kata-kata “m

anung-galing kaw ula-gusti” (persatuan antara raja dan rakyat), di m ana raja dianggap atau m enganggap dirinya sebagai wakil

Tuhan di dun ia. Raja dikatakan m elin dun gi, sedan g rakyat

(diharuskan) mengabdi, sebagai bentuk pengabdiannya kepa-da Tuhan . Pem erasan akepa-dalah sebagai kewajiban bakti yan g

m em punyai arti lebih dalam , sebagai kewajiban batin yang

harus dipenuhi. Rakyat tidak takut kepada hukuman dari Un-dan g-un Un-dan g, tetapi takut kepada “kutuk Un-dan walat” dar i

(28)

Dalam selu bu n g p er bu d akan in i ter selip ju ga p r oses

“demokrasiyangditunjukkan dengan adanya cara bermufakat di balairun g, di m an a raja m em bicarakan urusan pem erin

-tahan dengan pegawai-pegawainya. Ketika raja menyampaikan

kata-katanya, maka perintah tersebut harus dipertimbangkan lebih dulu. Tetapi dalam praktiknya, rakyat harus mengiakan

kemauan raja. Rakyat dalam musyawarah selalu menghasilkan

suara bulat, dengan istilah “saur m anuk” (menjawab serentak seperti burung). Tidak ada tempat ber-ia dan ber-bukan. Apa

yang dikatakan putih mesti di-iakan putih.

Kewajiban m en yer ah kan bakti oleh pegawai-pegawai kepada raja biasanya kewajiban tersebut ditim pakan kepada

rakyat. Hal itu terjadi karena pegawai-pegawai ingin

mengu-rangi beban berat yang ditim pakan oleh pegawai atasannya, maka banyak terjadi pegawai-pegawai yang paling rendah yang

seharusnya mengurus tanah lalu membagikan tanah tersebut

kepada orang lain untuk digarap. Hal ini dilakukan untuk

mem-peringan tanggunganya kepada atasannya. Untuk menambah orang memikul beban kepada raja itu, maka terpaksa bagian

garapan tanah diperkecil, untuk memberikan bagian itu

kepa-da orang yang baru. Dan hal ini berakibat pengecilan (

versnip-pering) tanah garapan rakyat.

Pemerasan dan penindasan biasa dijalankan oleh

pegawai-pegawai raja dari yang paling atas sampai yang paling bawah,

mereka biasanya berdalih atas nama raja. Tidak jarang mereka berbuat sewenang-wenang dan meraja lela, sebagaimana

ke-biasaan di mana tiada elang, belalang mengaku sebagai elang.

Kewajiban rakyat untuk para pegawai raja sangatlah berat. Itulah sebabnya maka di beberapa tempat umumnya hak

(29)

diberikan kepada orang yang sanggup dan dapat bekerja berat

sebagai imbangan hak (menerima tanah) yang diterimanya. Penaklukan raja-raja oleh Belanda, sejak zaman Kompeni

(VOC) berarti juga perampasan atas kekuasaan raja. Kekuasaan

raja itu ditafsirkan menurut kepentingan dan tujuan politiknya. Hak raja atas tanah dan tenaga rakyat seringnya hanya

meru-pakan kekuasaan de jure, sedang kekuasaan de facto ada pada

pegawai-pegawai raja di bawahnya, dan itu ditafsirkan sebagai kekuasaan yang tidak berbatas. Oleh Belanda dipergunakan

sebagai senjata untuk kepentingan politiknya, dengan alasan

sekadar m eneruskan kebiasaan yang sudah berlaku.

Tanah m ilik raja-raja itu jatuh ke tangan Raja Belanda,

d an d i In d on esia h al in i d iwakili oleh Gu ber n u r J en d r al.

Tanah-tanah tersebut di antaranya digunakan untuk: 1. Penjualan Tanah-tanah oleh Belanda

Hal ini berlaku sejak zam an Kom peni dan berturut-turut

diikuti oleh Gubernur J endral Daendels, Raffles, dan

se-lanjutnya kepada orang-orang partikelir, terutam a kepada famili-famili dan juga untuk dirinya, hal inilah yang

memun-culkan adanya tanah partikelir.

Hak raja atas tanah dan tenaga rakyatnya yang diram pas dari tangan raja oleh Belanda turut dijual kepada tuan tanah

yang sudah m em beli tanah itu. Tuan tanah m enjadi raja

at as t an ah yan g su d ah d ibeli, d en gan keku asaan yan g

diberikan oleh si penjual tanah. Kuasa atas rakyat yang ada di dalam nya, dan dianggapnya sebagai orang-orang yang

berkewajiban m enyerahkan bakti kepada raja baru, yaitu

tuan tanah tersebut.

2 . Menarik Sewa Tanah (landrente)

(30)

yang tadinya sudah dibeli kembali, Raffles juga menarik sewa

tanah (landrente) atas dasar tafsiran bahwa sem ua tanah yang ada di tangan rakyat adalah kepunyaan raja. Setelah

raja ditaklukkan, maka jatuhlah hak raja itu kepada

keku-asaan pemerintah yang baru. Karena itu, maka rakyat yang mengerjakan tanah diharuskan membayar sewa (rent)

beru-pa uang yang besarnya kira-kira sesuai dengan kebiasaan

yang berlaku dalam menyerahkan hasil kepada raja dahulu. Raffles menghapuskan sistem contingenten dan leverancien

dengan paksa dari rakyat yang dijalankan oleh V.O.C. dan

diteruskan oleh Daendels. Atas dasar teori di atas, m aka rakyat disuruh m em bayar lan dren te sebagai sewa tan ah

raja (yang sudah diganti) yang dikerjakan rakyat. Landrente

(yang lalu dikatakan “pajak bumi”) berlaku di daerah-daerah J awa dan Madura, Sulawesi Selatan , Bali dan sebagian

Kalimantan (di lain-lain daerah tidak), berlaku sampai pada

akhir tahun 1950 .

Pajak bumi ini sangat berat untuk rakyat karena jumlahnya yang besar, juga tidak adanya tingkatan progesiviteit, dan

ditetapkan antara 5-10 tahun sekali. Karena beratnya, tidak

jarang para petani harus menjual tanahnya untuk memba-yar pajak tanah tersebut.

Politik tanah yang dijalankan oleh Hindia Belanda sebagian

besar didasarkan atas teori Raffles tentang hak milik tanah

(dom ein theorie). Dom ein theorie Raffles itu sebagai hasil d ar i pen yelid ikan satu kom isi yan g d iben tu kn ya u n tu k

m enyelidiki soal-soal penghidupan dan m asalah sosial di

J awa serta m engenai hukum adat terutam a hubungannya dengan hak milik tanah. Komisi-komisi itu dibentuk pada

(31)

seor a n g b a n gsa Bela n d a . H a sil d a r i p en yelid ika n in i

kemudian menerangkan bahwa tanah di J awa adalah milik raja, karena kekuasaan raja berpindah ke tangan kekuasaan

yang baru (Inggris), m aka penguasa baru berhak m

engu-asainya sebagaim ana raja m enguengu-asainya.

3. Pada waktu pemerintahan Gubernur J endral V.D. Bosch, di

waktu Belanda sangat m em erlukan uang, kem udian m

en-jalankan cara baru atas dasar yang lama, yaitu dengan ada-n ya Cu lt u u r st elsel ya n g sela n ju t n ya t er ken a l seb a ga i

m alapetaka bagi rakyat In don esia. Berlakun ya

Cultuur-stelsel meneruskan prinsip yang diambil oleh Raffles. Hanya b ed a n ya ka la u Ra ffles m en a r ik sewa a t a s t a n a h ya n g

dikerjakan rakyat, V.D. Bosch tidak m enarik sewa tanah,

m elain kan m en gam bil 1/ 5 tan ah yan g dikerjakan rakyat (dipilih yang baik) di atas tanah itu ditanami tanaman yang

diperlukan oleh Belanda yang akan m enghasilkan bahan

ekspor yang berharga tinggi di Eropa. Atas dasar kewajiban

heeren dien st, m aka tan ah itu disuruh dikerjakan rakyat dengan tanpa imbalan. Dan karena pemeliharaan tanaman

ekspor itu (tebu, kopi, nila, tembakau, teh, dll,) memerlukan

tenaga yang sangat banyak, m aka praktiknya tenaga para petani hanya dipergunakan untuk mengerjakan tanah

Cul-tuurstelsel, hingga pertaniannya sendiri terlantar, sedang-kan dari Cultuurstelsel tidak m endapat upah. Karena

cul-tuurstelsel itu, maka perkebunan barat yang sudah ada pada waktu itu tertekan hidupn ya. Un tuk m en yin gkirkan

per-sain gan dalam soal perkebun an tan am an bahan ekspor,

m aka m ulai waktu itu ditetapkan pem erin tah tidak lagi menjual tanah kepada orang partikelir seperti yang

(32)

oleh pem erintah. Bahaya kelaparan terjadi di

daerah-da-erah cultuurstelsel. Kematian rakyat meningkat tinggi. Bagi Belanda, hal ini sangat menguntungkan sebab dapat

meng-hasilkan ratusan juta rupiah dalam waktu yang tidak lama.

Kesen gsaraan , kelaparan , dan m alapetaka han ya dibalas dengan pernyataan hutang budi (eere schuld), sesudah

dide-sak oleh orang-orang yang beraliran etis di Negeri Belanda.

Demikianlah sistem feodalisme yang dijalankan oleh V.D. Bosch dengan alat cultuurstelsel, yang menjadikan V.D. Bosch

sebagai raja baru. Mem ang caranya berbeda dari yang

sebe-lum nya, akan tetapi pada dasarnya sam a yaitu m enyengsa-rakan rakyat.

II. Zaman Feodalisme Baru: Masa Sesudah Tahun 1870

Cara pem erasan lan gsun g oleh kekuasaan pem erin tah

Kolonial dengan cara-cara perbudakan di luar batas perike-m anusiaan seperti diuraikan di atas dipandang sudah tidak

sesuai lagi den gan zam an yan g sopan . Di Neger i Belan da

sendiri timbul dua aliran. Pertama dari golongan Liberal yang m enghendaki cara yang baru, supaya pem erintah tidak lagi

m en jalan kan p em er asan d an p en in d asan yan g lan gsu n g

seperti yang dijalankan oleh Cultuurstelsel dan sebelum nya. Golongan ini mengusulkan agar diserahkan saja pekerjaan itu

kepada orang (modal) partikelir. Aliran yang kedua ialah

go-lon gan Kon servatif yan g m em pertah an kan cara-cara lam a yang terang-terang m enguntungkan bagi Belanda.

Rencana Cultuurw et Fransen van de Putte (Menteri J

a-jahan) pada tahun 1866 untuk m engubah hukum agraria di

(33)

1854 tentang tanah sangat tidak berdasarkan pengertian yang

dalam. Rencana V.D. Putte ialah agar semua tanah yang berupa hutan belukar (w oeste gron den) dijual saja kepada oran

g-oran g partikelir un tuk m en dapatkan uan g dan juga un tuk

d iu sah akan sebaik-baikn ya. Pem er in t ah akan m en d ap at keun tun gan juga dari hasil pen gusahaan tan ah itu, sedan g

rakyat Indonesia diberi hak agraris eigendom atas tanahnya.

Baru pada tahun 1870 , rencana de W aal (Menteri J aja-han) tentang hukum agraria baru, sebagai kompromi dari dua

aliran itu diterima, dan lahirlah Agrarische W et (biasa

dika-takan w et de W aal) 9 April 1870 , dan kemudian lahir Agraris

Besluit (Algem een e Maatregel van Bestuur tan ggal 20 Mei 1870 no. 15 Stbl. No. 118, diubah dan ditambah dengan Stbl.

1872 No. 116; 1874 No. 78; 1877 No. 196; dan 270 ; 1888 No. 78; 1893 No 151; 1895 No. 199; 1896 No. 140 ; 190 4 No. 325;

1910 No. 185; 1912 No. 235; 1916 No. 647; dan 683 dan 1926

No. 231); yang memuat pernyataan hak negeri atas tanah yang

b ia sa d iseb u t d en ga n Dom ein v er k la r in g . Set er u sn ya m elahirkan berm acam -m acam Undang-undang tanah di

In-donesia untuk kepentingan m enjam in m odal partikelir

teru-tam a m odal partikelir Belan da. Dom ein v erklarin g term uat dalam pasal 1 dari Agraris Besluit (Stbl. 1870 No. 118),

ber-bunyi: “Sem ua tan ah y an g tidak tern y ata dim iliki den gan

hak eigendom , adalah kepuny aan N egeri”.

Dengan pernyataan itu, maka semua tanah yang tidak dimi-liki dengan hak eigendom adalah kepunyaan Negeri (

Lands-dom ein), yang berarti bahwa semua tanah yang dimiliki oleh rakyat den gan n am a hak apa saja, tetapi tidak den gan hak

“eigendom ”, adalah kepunyaan Negeri.

(34)

tan ah n egeri y an g bebas (v rije landsdom ein), yaitu

tanah-tanah yang belum dim iliki atau diusahakan oleh orang atau sesuatu Badan Hukum, yang biasaannya berupa hutan belukar

yang lazim juga disebut tanah GG (Gouvernem ents Grond),

dan ada tanah negeri yang tidak bebas(onvrij landsdom ein), yaitu tanah-tanah yang sudah dimiliki (diusahakan) oleh

orang-orang Indonesia atau Badan Hukum.

Un dan g-un dan g Agraria yan g lahir pada 9 April 18 70 , yang menjadi pasal 51 dari W et op de Indische Staatsregeling,

isinya sebagai berikut:

1. Gubernur J endral tidak boleh menjual tanah,

2 . larangan itu tidak mengenai tanah-tanah kecil untuk

perlu-asan kota d an d esa u n tu k m en d ir ikan per u sah aan d an

ban gun an ,

3 . Gubern ur J en dral dapat m en yewakan tan ah yan g diatur

dalam Undang-undang. Dalam peraturan ini tidak termasuk

tanah yang telah dibuka oleh Rakyat Indonesia atau

diper-gun akan un tuk tem pat m en ggem bala tern ak bagi um um atau yang masuk dalam lingkungan desa untuk keperluan

um um lainnya,

4 . d en ga n Un d a n g-u n d a n g a ka n d ib er ika n t a n a h -t a n a h dengan hak pakai turun-tem urun untuk selam a-lam anya

75 tahun ,

5 . Gubernur J endral menjaga agar jangan sampai pemberian

tanah itu melanggar hak-hak rakyat Indonesia,

6 . Gubernur J endral tidak boleh mengambil tanah-tanah yang

telah dibuka oleh rakyat Indonesia untuk keperluan mereka

sen diri, atau un tuk keperluan lain , kecuali un tuk kepen -tingan umum berdasarkan pasal 133 I.S. dan untuk

(35)

m en u r u t p er at u r an -p er at u r an yan g ber laku u n t u k it u ;

semuanya itu dengan pemberian ganti rugi yang layak, 7 . tanah-tanah yang dimiliki oleh rakyat Indonesia dapat

dibe-rikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan

syarat-sya-rat dan pem batasan yan g diatur dalam Un dan g-un dan g, dan harus tercantum dalam surat tanda eigendom itu, yaitu

mengenai kewajiban-kewajiban pemilik tanah kepada

nega-ra dan desa, dan juga tentang hak menjualnya kepada onega-rang yang bukan orang Indonesia,

8 . persewaan tanah oleh rakyat Indonesia kepada orang asing

berlaku m enurut Undang-undang.

Seterusnya dalam Undang-undang itu termasuk juga

hak-hak baru atas tanah, di antaranya disebutkan:

1. pemberian hak erfpacht atas tanah yang berupa hutan be-lukar;

2 . perlindungan hak rakyat Indonesia atas tanah;

3 . membuka kemungkinan bagi rakyat Indonesia untuk

men-dapatkan hak yang lebih kuat atas tanahnya;

4 . persewaan tan ah oleh ban gsa In don esia kepada ban gsa

asin g.

Maksu d yan g t er kan d u n g d alam u n d an g-u n d an g it u m en yatakan :

1. m enjam in kepentingan m odal besar partikelir, yang akan

menanamkan modalnya di lapangan pertanian dan

perke-bunan, dengan m em beri kesem patan kepada m odal besar partikelir untuk mendapatkan tanah, dengan jaminan dan

perlindungan akan perkem bangannya,

2 . m elindungi hak m ilik rakyat atas tanah sebagai golongan yang lemahdari akibat no. 1 di atas, dengan memberi

(36)

agraris eigendom atas tanahnya sebagai hak yang lebih kuat,

serta perlin dun gan den gan Un dan g-un dan g agar jan gan sampai tanahnya itu gampang jatuh ke tangan orang asing.

Isi dua maksud dari Undang-undang di atas sangat

ber-tentangan antara yang satu dengan yang lain. Dari dua maksud tersebut dapat ditarik benang merahnya yaitu harus

mengor-bankan salah satu di antaranya. Dan dua-duanya merupakan

pilihan yang cukup sulit, ibaratnya memelihara harimau dan kambing dalam satu kandang. Harimau harus gemuk, kambing

perlu hidup dan jangan mati.

Atas dasar Agraris W et dan Agraris Besluit (Dom

einver-klarin g) itulah kem udian lahir berm acam -m acam Undang-undang tanah di Indonesia dengan macam-macam bentuk dan

cor akn ya.

Dom einverklaring adalah satu pernyataan peram pasan tanah di Indonesia dari tangan raja-raja Indonesia -yang sudah

ditaklukkan -, ke tan gan Belan da un tuk dipergun akan bagi

kepentingan politik penjajahannya. Kekuasaan itu kemudian diserahkan kepada Gubernur J endral yang bertindak sebagai

raja baru yang maha kuasa di atas kekuasaan raja-raja

Indone-sia sebelumnya yang masih dianggap keramat dan sakti oleh r akyat .

Hukum agraria yang baru (Ind. Staatsregeling pasal 51,

dulu RR. No. 62), pada hakikatnya merupakan:

1. pen am pun g politik “pin tu terbuka”(open deur politiek) yan g lah ir n ya “kebetu lan ” ber sam aan waktu n ya, u n tu k

memberikan tempat perlombaan bagi modal raksasa itu di

sini,

2 . sebagai “perkawinan” antara sistem feodalisme dengan

(37)

me dengan kapitalisme, melainkan di atas sistem

feodalis-m e, di atas susun an dan jiwa feodalis-m asyarakat feodalisfeodalis-m e itu ber jalan pem er asan kapitalism e den gan or gan isasi dan

peralatan n ya yan g m odern ,

3 . pergantian dari pemerasan langsung oleh kekuasaan Peme-rintah Kolonial, pindah ke tangan kaum m odal partikelir

terutam a m odal partikelir Belanda, dengan jam inan

sebe-sar-besarnya untuk perkem bangannya.

Sem uanya itu m erupakan pokok dan dasar pokok

pen-jajahan Belanda di Indonesia.

Per lin d u n gan h ak r akyat at as t an ah d en ga n a d a n ya

“Gr on d v er v r eem d in g sv er bod ” (St bl. 18 75 n o. 179 ) yan g m elarang pem belian tanah oleh orang asing dari bangsa

In-don esia, sejatin ya lahir sebagai sikap yan g m elin dun gi hak r akyat dar i bah aya yan g m en gan cam n ya, tetapi ber akibat

sebaliknya, karena:

1. dengan larangan itu, rakyat Indonesia hanya dapat menjual

tanahnya di kalangan bangsanya sendiri yang tidak mampu, dan menyebabkan harga tanah rakyat sangat rendah;

2 . bagi para pemodal partikelir hal itu berarti satu keuntungan.

Karena akan selalu mendapat tanah yang murah harganya, karena penjualan dan penyewaan tanah untuk kaum modal

menjadi monopoli pemerintah yang melindungi dan

mem-belanya, dengan tidak ada saingannya;

3 . praktikn ya m asih dapat saja oran g asin g m em beli tan ah dari rakyat Indonesia dengan sistem kedok, dengan harga

yang murah seperti harga umum untuk rakyat Indonesia;

4 . pelanggaran atas larangan itu (yang diancam dengan hu-kum an seperti tersebut dalam Stbl. 1912 n o. 1777), yan g

(38)

No. 45; Stbl. 1863 No. 160 ; Stbl. 1875 No. 199 b; Stbl. 1878

No. 281; dan Stbl. 1879 No. 279; dalam praktiknya selalu diberi jalan bagi pelanggar itu, dengan Undang-undang

lain-nya yang dapat menjadikan “ontw etige occupatie” menjadi

“w ettig”, dengan menjadikan tanah itu menjadi tanah hak

eigendom, opstal, atau tanah sewa lainnya yang melindungi pelanggaran. Dengan mempergunakan dasar bahwa

penju-alan tanah itu diartikan sebagai pelepasan hak dan pengem-balian hak itu kepada Negara (jadi tidak menjual, katanya),

maka dapatlah tindakan melanggar undang-undang itu

dibe-narkan dengan istilah yang lain;

5 . dengan harga tanah yang m urah itu, karena hanya dapat

m enjual kepada golongan bangsanya yang tidak m am pu,

dan eratnya hubungan para petani dengan tanahnya, yang merupakan hubungan batin (m agisch-, religeus verband),

m aka sekalipun tanahnya sudah sangat sem pit dan tidak

lagi dapat m em beri hidup padanya, bahkan hanya m

eru-pakan beban (m eer last dan lust), - karena hak tanah itu disertai berm acam -m acam kewajiban , tidak juga rin gan

un tuk m elepaskan tan ahn ya. Den gan m em iliki tan ahn ya

yang kecil itu, dia tidak dapat lagi hidup dari hasil tanah tersebut, maka terpaksa ia menjual tenaganya untuk

men-cari upah sekedar m enam bah penghidupannya.

Andaikata orang-orang diperkenankan menjual tanahnya

kepada orang asing, maka dikhawatirkan akan habis tanahnya. Tetapi bukan ini yang penting, yang penting ialah, kalau para

petani tersebut kehabisan tanahnya, maka dikhawatirkan akan

muncul satu “barisan buruh” yang akan membahayakan bagi hidupn ya perusahaan dan m em bahayakan juga bagi

(39)

meng-hendaki adanya tenaga penggarap yang murah, tetapi jiwanya

tetap “borjuis kecil” yang terikat oleh tanahnya yang dicintai-nya, serta jiwa feodal yang masih kuat berakar. Hal ini dapat

dijadikan ham batan akan “proses proletariseering” di

Indo-n esia, yaIndo-n g perlu dipertahaIndo-n kaIndo-n uIndo-n tuk keselam ataIndo-n kaum m odal dan pem erintah Kolonial. Dengan sistem seperti ini,

m aka terdapat ban yak petan i di In don esia yan g statusn ya

setengah buruh dan setengah tani. Dengan cara seperti ini, para petani tersebut tidak akan dapat memeperjuangkan

nasib-nya sebagai buruh dan juga tidak dapat lagi mendapatkan hasil

dari tanahnya, sebab keduanya tetap dalam kuasa pemerintah kolon ial.

Itulah sebabnya, maka Kom isi Spit (th. 1930 ) diberi tugas

un tuk m em pelajari kem un gkin an pen in jauan politik yan g lam a, berhubung dengan adanya desakan dari beberapa

go-longan agar orang asing (terutam a Belanda Indo) diberikan

hak tan ah dan dapat m em beli tan ah dari oran g In don esia.

Komisi ini memberikan pendapatnya bahwa politik yang lama (Grondvervreem dingsverbod) itu harus dipertahankan. Dengan

alasan untuk m elindungi rakyat Indonesia sebagai golongan

yan g lem ah ekon om in ya. Tetapi seben arn ya alasan di atas itulah yang m enyebabkan Pemerintah Hindia Belanda harus

terus “m em bela” hak rakyat Indonesia.

Politik ini lebih disempurnakan lagi dengan tidak

didiri-kan n ya perin dustrian yan g besar-besar di sin i, yan g dapat m elah irkan kelas buruh yan g sadar dan kon sekuen dalam

perjuangannya, yang akan membahayakan kedudukan kaum

pemodal di sini. Hal ini harus dipertahankan supaya Indonesia terus menjadi sumber bahan-bahan mentah yang berharga di

(40)

Laran gan m en jual tan ah bagi oran g In don esia kepada

orang asing di antara banyaknya kaum pem odal untuk ber-lomba-lomba, bersaing mengadu kekuatan di sini dapat

dium-pamakan seperti pengurungan kambing di sudut kandang, di

mana harimau hidup bersama-sama di situ. Supaya kambing tidak mati ditelan mentah-mentah olah harimau, perlu

dilin-dungi dengan dibuatkan di sudut kandang bersama kandang

kecil. Akhirnya kambing tidak mati ditelan harimau langsung, tetapi mati karena gerak harimau yang leluasa di kandang itu,

tem pat hidup bersam a-sam a, yang m em ang dilindungi oleh

yan g m em elihara.

Kalau h ar im au in gin m en er kam kan ku ku n ya kep ad a

kambing, ada akal dengan membungkus kukunya dengan kuku

kambing atau kaos tangan yang halus. Kalau sudah terlanjur menerkam, harimau dimaafkan, boleh membawa mangsanya

itu keluar, dengan Undang-undang yang m em benarkan

tin-dakannya, karena katanya si kambing sudah menyatakan suka

untuk diterkam .

Dalam uraian di belakang nanti akan terlihat bagaimana

artinya dan praktiknya Grondvervreem dingsverbod tersebut.

(41)

HAK TANAH BAGI BANGSA ASING

Lahirnya Undang-undang Agraria tahun 1870 telah m e-munculkan masalah agraria yang bersifat dualistis dan sangat

ruwet di Indonesia. Hal ini ditandai dengan dengan adanya

beberapa hak.

1. Hak tanah menurut Hukum Barat untuk orang asing, yang diatur dalam Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk

W etboek) sebagai jaminan perkembangan modal partikelir asing di Indonsia dengan hak benda yang kuat.

2 . H ak tan ah bagi Rakyat In don esia yan g berlaku m en urut

hukum adat.

Hak tanah bagi bangsa asing ada bermacam-macam yang

diatur dengan undang-undang yang lengkap. Sem uanya itu untuk melayani kepentingan perkembangan modal besar

par-tikelir m enurut keadaan dan obyeknya m asing-m asing. Bagi

daerah-daerah Gubernemen (Gouvernem entslanden) disedia-kan bermacam-macam kesempatan dengan jaminan

Undang-undangnya. Sedangkan untuk daerah-daerah Swapraja di luar

(42)

1. H ak tan ah yan g disertai hak dan kekuasaan ken egaraan

(ov erheidsrechten) yaitu yang berupa Tanah Partikelir. 2 . H ak t an ah yan g t id ak d iser t ai keku asaan ken egar aan ,

dengan mendapat hak benda (zakerlijke rechten) yang kuat.

Ada kalanya disertai jaminan seperti mendapat kekuasaan kenegaraan juga, seperti dengan adanya punale sanctie

3 . H ak tanah dengan hak persorangan (persoon alijke

rech-ten).

Masing-masing hak yang tersebut di atas membawa

im-plikasi sendiri-sendiri. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan

pada bab berikut ini.

I. Hak Tanah yang Disertai dengan Kekuasaan Kenegaraan

a. Tanah Partikelir

Tanah Partikelir itu terdapat di daerah J akarta, kota J

a-karta, Bogor, Surabaya, dan Kediri. Milik orang-orang Tiong-hoa, Arab, atau orang asing lainnya. Ada yang menjadi milik perseorangan, ada pula yang milik Badan Hukum.

Asal tanah ini ialah tanah hak ulayat yang sejak zam an kompeni (VOC) dan zaman Inggris, terutama pada tahun 1627

sampai tahun 1829 yang dijual oleh kompeni dan Pemerintah Belanda serta Inggris kepada orang-orang partikelir. Terka-dang juga dijual kepada famili, dan terutama pada waktu

peme-rintah Hindia Belanda sangat kekurangan uang, berturut-turut terjadi sebagai berikut:

a . pem berian tanah Eigendom dengan tidak bayaran (1627-168 5);

(43)

c . pen jualan “regen tlan d en” (1751-1778 );

d . penjualan zam an Daendels (180 8-1811)

e . penjualan zam an kekuasaan Inggris (Raffles) (1811-1816);

f. penjualan sesudah zaman Inggris

Penjualan-penjualan tanah itu atas dasar pengertian dan tafsiran tentang hak milik tanah zam an feodal, di mana raja

sebagai pem ilik tanah yang tidak terbatas boleh m em

perla-kukan menurut keperluannya. Kalau perlu menjualnya kepada orang lain. Hak raja atas orang-orang serta kekuasaan tanah

ikut serta dijualnya, dengan memberikan kekuasaan

kenega-raan kepada tuan tanah yang m em beli tanah itu. Ini berarti juga bahwa rakyat yang m enduduki tanah partikelir itu ikut

dijual kepada tuan tanah, dan nasibnya diserahkan m

entah-mentah kepada para partikelir itu.

Tanah partikelir yang ada (di J awa) biasanya dibedakan

menjadi dua, ialah:

1. tanah partikelir di sebelah Barat kali Cimanuk;

2 . tanah partikelir di sebelah Timur kali Cimanuk;

Perbedaan ini mengenai peraturan-peraturan yang

dike-nakan kepada dua daerah tanah partikelir itu. Untuk tanah

partikelir di sebelah Barat kali Cimanuk sudah sejak tahun 1836 (Stbl. 1836 no 19) diatur dengan undang-undang tentang

hak-hak tuan tanah atas tanah dan penduduk di situ, begitu juga

hak-hak dan kewajiban penduduk kepada tuan tanah.

Un tuk tan ah partikelir di sebelah Tim ur kali Cim an uk diatur dengan Stbl. 18 8 0 no. 150 , yang paling akhir diubah

dengan Stbl. 1931 no. 168 . Dalam undang-undang itu sam a

sekali tidak m em beri ketentuan hukum serta hak-hak tanah bagi penduduk di situ. Hak m ereka atas tanah paling besar

(44)

yang didiami dan dipakainya, sebagaimana yang tersebut

da-lam putusan Raad van J ustitie di Semarang pada tanggal 27 Mei 190 3.

Hak-hak penduduk di tanah partikelir daerah Surabaya,

m en urut putusan Raad Van J ustitie, Surabaya 22 J an uari 1913, dinyatakan bahwa penduduk tanah partikelir di daerah

it u m em p u n yai h ak p er seor an gan secar a t u r u n -t em u r u n

(erfelijk individueel bezitsrecht). Kemudian menurut putusan Raad van J ustitie di Surabaja tanggal 7 J uni 1916, penduduk

berhak atas tan ah (pekaran gan n ya) den gan hak-hak ben da

(zakelijke rechten), yang dapat dipindahkan haknya kepada orang lain. Menurut putusan Raad van J ustitie di Surabaya

pada tanggal 12 September 1917, penduduk di tanah partikelir

di sekeliling kota Surabaya mempunyai hak milik atas peka-rangan yang didiam i, dan berhak m em akai tanah pertanian

lain-lainnya dengan memenuhi beberapa kewajiban terhadap

tuan tanah.

Atas tanah partikelir yang sudah dibeli oleh Pemerintah di daerah Semarang ditentukan dengan Undang-undang Stbl.

1919 no. 673. Haknya atas tanah pekarangan diberikan seperti

hak penduduk di tanah-tanah partikelir di sebelah Barat kali Cim anuk. Tetapi para penduduk ini tidak m em iliki hak atas

tanah tersebut, karena tanah itu dikuasai langsung oleh tuan

tanah, sedang rakyat yang m engerjakan tanahnya dianggap

sebagai pen yewa.

Berhubung dengan itu, maka dalam peraturan ditetapkan

bahwa dalam perpindahan tanah partikelir yang kembali

kepa-da pem erintah, pekarangan kepa-dan kebun diakui sebagai m ilik perseorangan yang turun-temurun. Sedang sawah dan kolam

(45)

sewa untuk pemakaian selanjutnya seperti yang diuraikan di

belakang dalam soal persewaan tanah.

Hak-hak kenegaraan (overheidsrechten) diberikan

kepa-da Tuan tanah m enurut Stbl. 1912 no. 422 m ulai berlaku 1

Maret 1913, sebagai pengganti Stbl. 1836 no, 19 untuk tanah partikelir di sebelah Barat kali Cimanuk, sebagai berikut:

a . hak m en gan gkat para pejabat ban gsa In don esia (Kepala

Kampung, camat tanah, demang dsb). Kepala Kampung di-m aksudkan un tuk di-m edi-m idi-m pin pedi-m un gutan cukai kepada

penduduk. J uga hak m engangkat polisi yang harus dapat

pengesahan Residen;

b . hak menarik cukai dan contingent* atas tanah yang dengan hak usaha dalam daerahnya serta m enarik pajak lainnya.

Besarnya cukai dan contingent ditetapkan tidak boleh lagi lebih dari 1/ 5-nya hasil kotor. Sebelumnya itu boleh

dikata-kan tidak terbatas, tergantung kepada tudikata-kang yang

mena-rikn ya;

c . hak atas tenaga orang-orang penduduk di situ dengan per-cum a, (pancen, kum penian) sehari tiap-tiap m inggu atau

52 hari dalam setahun. Sebelum nya itu ham pir tidak ada

keten tuan n ya, tergan tun g keperluan on d em em in g akan tenaga itu. Kerja pancen ini dapat diganti dengan membayar

uang yang dinamakan “uang kompenian” besarnya

menu-rut besarnya upah harian.

Dalam undang-undang yang baru itu juga ditetapkan bah-wa tuan tanah tidak boleh lagi m engusir penduduk dengan

sem aunya, kecuali terhadap orang-orang yang tinggalnya di

* Cukai dipungut menurut bagian (20%) dari basil panen. Contingent dipungut

(46)

situ dan belum m endapat izin dari tuan tanah. Sebelum itu

tuan tanah dapat mengusir penduduk dengan semaunya. Tanah partikelir itu merupakan negara dalam negara. Di

d alam n ya m er u p akan p em er in t ah an p er bu d akan , p en u h

dengan tindakan sewenang-sewenang, penindasan dan peme-rasan. Rakyat tidak mendapat hak apa-apa, hanya beban yang

berupa pajak, cukai, kontingen, rodi, dan seribu satu macam

beban lainnya yang bertum puk-tum puk di atas pundaknya. Kepentingan dan nasib penduduk sama sekali tidak

diperha-tikan. Pengambilan cukai dijalankan dengan keras oleh

pega-wai-pegawai yang curang dan korup, dengan diberi hak leluasa untuk bertindak mengutip pajak. Korupsi menjadi kebiasaan

dijalankan oleh pegawai-pegawai, rakyat yang m enjadi

sasa-rannya. Menjadi kebiasaan petani waktu itu untuk m encuri padinya sendiri di sawahnya, sekedar untuk meringankan

be-ban cukai. Mengenai hal ini, tuan tanah dengan kaki tangannya

tidak kalah cerdik, mereka selalu mendapat akal untuk

menin-das para petani.

Karena keadaan semacam itu, rakyat sangat miskin,

seng-sara dan menjadi kebiasaan kemudian melakukan perampokan

dan pem bunuhan karena dorongan untuk m em bela diri dan kelaparan dari siksaan yang semena-mena.

Terdesak oleh keadaan yang buruk, maka terpaksalah

pe-merintah mulai membeli kembali tanah-tanah partikelir, yang

dimulai pada tahun 1910 dengan undang-undang 7 Nopember 1910 n o. 18 dan firm an Raja 12 Agustus 1912 n o. 54 (Stbl.

1912 no. 480 ). Sejak tahun 1829 sudah dikatakan tidak lagi

akan ada penjualan tanah kepada orang partikelir lagi. Pada tahun 1854 dalam Regerings Reglem ent dengan terang

(47)

berangsur-angsur tanah partikelir akan dibeli kembali, sekalipun

nyata-nya masih terus terjadi di J awa Barat. Kemudian pada tahun 1910 dalam un dan g-un dan g tersen diri (Stbl. 1911 No. 28 )

dengan 2 firman raja tentang pelaksanaan undang-undang

ter-sebut, diatur pencabutan dengan paksa terhadap tanah parti-kelir. Tetapi n yatan ya sam pai akhir kekuasaan pem erin tah

Hindia Belanda masih terdapat tanah partikelir yang luasnya

beratus-ratus ribu hektar, seperti tertera dalam daftar berikut, dan hingga kini belum lagi selesai pembelian tanah partikelir

itu.

Pern yataan tidak akan m en jual tan ah (partikelir) pada tahun 18 29 itu tidak boleh terjadi kecuali terdesak oleh

ke-adaan yang buruk. Namun yang terpenting ialah dengan

ber-lakunya Cultuurstelsel, yang berm aksud m enjadikan perusa-haan kebun dan perdagangan hasil tanaman sebagai monopoli

perusahaan. Dengan begitu, perusahaan dan perdagangan

par-tikelir m en jadi tertekan . Itulah sebab utam a yan g m en jadi

m aksud penghentian penjualan tanah partikelir.

Undang-undang 1912 no. 422 seperti tersebut di atas

nya-tanya masih memberikan kekuasaan kepada tuan tanah untuk

m elaku kan p er bu at an sewen an g-wen an g d an m en in d as. Dengan undang-undang itu pula rakyat tetap menjadi budak

tuan tan ah yan g diram pas kem erdekaan n ya, diperas ten

a-ganya, dan dikeruk hartanya dari jerih payahnya mengerjakan

tanah. Undang-undang yang membatasi kekuasaan tuan tanah di atas masih memberikan hak tuan tanah untuk mengambil

tenaga rakyat dengan percuma 52 hari dalam setahun di

sam-ping pungutan-pungutan lain yang sangat berat, (lihat di bela-kang tentang hak usaha).

(48)

(StbL 1880 No. 150 ), tidak banyak menyebutkan tentang

bebe-rapa peraturan. Hanya mengatur hubungan antara tuan tanah dengan penduduk serta pemerintah. Di antaranya

menyebut-kan pengangkatan kapala-kepala kam pung oleh tuan tanah

yang menurut adat adalah menjadi hak rakyat untuk memili-linya. Hak-hak tanah bagi penduduk tanah partikelir di sebelah

tim ur Cim an uk tidak disebutkan . Sedan gkan hak-hak tuan

tanah untuk menarik pajak dan pungutan lain-lainnya semua-nya diatur dalam kontrak pembelian tanah.

Dengan pembelian tanah partikelir itu, maka

tanah-tanah yang sudah menjadi perkebunan (cultuur ondernem ing) banyak yang sekarang m enjadi tanah dengan hak erfpacht.

Tanah hak usaha (lihat di belakang) dalam lingkungan tanah

partikelir, yang menjadi kepunyaan orang Tionghoa dijadikan tanah Eigendom dan altijddurende erfpacht, yang kemudian

dengan Stbl. 1926 no. 421 hak sem acam itu dijadikkan hak

benda yang baru, dengan nama landerijen bezitsrecht, sebagai

hak milik.

Berapa luasn ya tan ah partikelir di seluruh J awa dapat

diterangkan sebagai berikut (dari angka-angka Statistik tahun

1938 ):

Luas tanah yang dijual oleh Belanda dan Inggris menjadi

tanah partikelir seluas 1.146.950 ha ini m erupakan Ik. 8,7%

dari luasnya tanah J awa dan Madura (13.217.40 0 ha), atau, hampir 15% dari luasnya tanah pertanian rakyat di J awa dan

Daerah Yang belum Jumlah 488.945 ha 417.428 ha 240.577 ha 1.146.950

(49)

Madura.

Sampai tahun 1938 tanah yang belum dibeli kembali oleh Pem erin tah Belan da seluas 48 8 .945 ha itu terdiri dari 119

pem ilik tanah partikelir, jadi rata-rata tiap-tiap m ilik tanah

partikelir luasnya 4965 ha, sedang di Karesidenan Bogor rata-rata 90 10 ha.

Pengum um an Gubernur J enderal pada tanggal 28

Feb-ruari 18 36 (Stbl. no. 19 R eglem en t om tren t de particuliere

landerijen ten w esten de Cim anuk) yang mengatur hubungan antara tuan tanah dengan penduduk kem udian dicabut dan

diganti dengan ordonansi tertanggal 3 Agustus 1912 (Stbl. no. 22). Baik dalam Reglem ent 18 36, m aupun dalam ordonansi

1912, tidaklah jelas pengertian tanah partikelir pada um um

-nya. Dalam Reglem ent 1836 menyebutkan bahwa tanah-tanah partikelir adalah tanah yang luas yang diberikan kepada

seseo-rang terutama untuk pertanian dan peternakan, di mana

pen-duduk di situ dapat membuka tanah milik tuan tanah dengan

konsekuensi kewajiban-kewajiban terhadap tuan tanah. Tan ah-tan ah partikelir di kota J akarta dan J atin egara

berupa persil-persil yan g kecil, hin gga disan gsikan apakah

tanah-tanah partikelir itu dulu pernah menjadi tanah partikelir dengan maksud dan pemakaian seperti di atas (untuk pertanian

dan peternakan) atau sebagai tanah-tanah partikelir di daerah

J akarta luar kota dan daerah lainnya. Dalam Reglem ent 1836

diterangkan bahwa tanah-tanah persil yang kecil-kecil itu yang biasa dinamakan “tanah merdeka,” terlalu kecil untuk

mem-punyai kepala sendirim , lalu digabung-gabungkan di bawah

pimpinan seorang Vijkm eester. Tanah-tanah yang berupa per-sil-persil itu asaln ya adalah tem pat kediam an oran g-oran g

Gambar

Grafik tentang pemakaian kalori di Jawa dan Madura perhari

Referensi

Dokumen terkait